Anda di halaman 1dari 12

Psikologi Sastra

Novel sebagai salah satu genre sastra merupakan


konstruksi kehidupan imajinatif yang di dalamnya terjadi peristiwa
dan terdapat perilaku yang dialami dan dilakukan manusia
sebagai tokoh cerita. Pengarang dalam karya fiksi lazimnya
berusaha mengungkapkan sisi kepribadian sang tokoh. Oleh
sebab itu, mudah dipahami bahwa terdapat hubungan yang tak
terpisahkan antara sastra –terutama karya fiksi (cerita pendek
dan novel) dengan psikologi.
Psikologi merupakan suatu ilmu yang menyelidiki dan
mempelajari tentang tingkah laku atau aktivitas-aktivitas manusia,
tingkah laku serta aktivitas-aktivitas itu merupakan manifestasi
hidup kejiwaan (Walgito, 1997:9). Psikologi meliputi ilmu
pengetahuan mengenai jiwa yang diperoleh secara sistematis
dengan metode- metode ilmiah yang dimufakati sarjana psikologi
pada zaman ini. Psikologi modern memandang bahwa jiwa dan
raga manusia adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan,
kegiatan jiwa tampak pada kegiatan raga (Gerungan, 1996:3).
Gerungan (1996:19) lebih lanjut mengemukakan bahwa psikologi
menguraikan dan menyelidiki kegiatan-kegiatan psikis pada
umumnya dari manusia dewasa dan normal, termasuk kegiatan-
kegiatan pengamatan, intelegensi, perasaan, kehendak, motif-
motif, dan seterusnya.
Sastra menyajikan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu
sendiri sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial. Dalam
pengertian ini, kehidupan mencakup hubungan antarmasyarakat
dengan orang- orang, antar manusia, antar peristiwa yang terjadi
dalam batin seseorang. Oleh karena itu, memandang karya sastra
sebagai penggambaran dunia dan kehidupan manusia, kriteria
utama yang dikenakan pada karya sastra adalah kebenaran
penggambaran, atau yang hendak digambarkan (Pradopo,
1994:26).
Semi (1993:79) menyatakan, pendekatan psikologis
menekankan analisis terhadap karya sastra dari segi intrinsik,
Pengkajian Sastra │
khususnya pada penokohan atau perwatakannya. Penekanan ini
dipentingkan, sebab tokoh ceritalah yang banyak mengalami
gejala kejiwaan. Secara kategori, sastra berbeda dengan
psikologi, sebab sebagaimana sudah kita pahami sastra
berhubungan dengan dunia fiksi, drama, esai yang
diklasifikasikan ke dalam seni (art) sedang psikologi merujuk
kepada studi ilmiah tentang perilaku manusia dan proses mental.
Meski berbeda, keduanya memiliki titik temu atau kesamaan,
yakni keduanya berangkat dari manusia dan kehidupan sebagai
sumber kajian.
Psikologi sastra adalah kajian sastra yang memandang
karya sebagai aktivitas kejiwaan (Endraswara, 2003:96). Psikologi
sastra mengenal karya sastra sebagai pantulan kejiwaan,
pengarang akan menangkap gejala kejiwaan itu kemudian diolah
ke dalam teks dan dilengkapi dengan kejiwaannya. Proyeksi
pengalaman sendiri dan pengalaman hidup di sekitar pengarang
akan terproyeksi secara imajiner ke dalam teks sastra. Orang
dapat mengamati tingkah laku tokoh-tokoh dalam sebuah roman
atau drama dengan memanfaatkan pengetahuan psikologi. Andai
kata ternyata tingkah laku tokoh-tokoh tersebut sesuai dengan
apa yang diketahuinya tentang jiwa manusia, maka dia telah
berhasil menggunakan teori-teori psikologi modern untuk
menjelaskan dan menafsirkan karya sastra (Harjana, 1985:66).
Psikologi sastra diartikan sebagai lingkup gerak jiwa, konflik
batin tokoh-tokoh dalam sebuah karya sastra. Dengan demikian
pengetahuan psikologi dapat dijadikan sebagai alat bantu dalam
menelusuri sebuah karya sastra secara tuntas (Jatmanto,
1985:164). Tugas psikologi adalah menganalisis kesadaran
kejiwaan manusia yang terdiri dari unsur-unsur struktural yang
sangat erat hubungannya dengan proses-proses pancaindera.
Kaitannya dengan psikologi sastra, Wellek dan Warren (1990:41)
mengemukakan bahwa karakter dalam cerita novel-novel,
lingkungan, dan plot dalam cerita fiksi (cerita pendek/novel dan
drama) yang terbentuk sesuai dengan kebenaran dalam psikologi.
Hal itu wajar sebab kadang-kadang ilmu jiwa dipakai oleh
pengarang untuk melukiskan tokoh-tokoh serta lingkungannya.
Hubungan antara psikologi dengan sastra adalah bahwa di
2 │ Pengkajian Sastra
satu pihak karya sastra dianggap sebagai hasil aktivitas dan
ekspresi manusia. Di pihak lain, psikologi sendiri dapat membantu
pengarang dalam mengentalkan kepekaan dan memberi
kesempatan untuk menjajaki pola-pola yang belum pernah
terjamah sebelumnya. Hasil yang dapat diperoleh adalah
kebenaran yang mempunyai nilai-nilai artistik yang dapat
menambah koherensi dan kompleksitas karya sastra tersebut
(Wellek dan Waren, 1989:108).
Ada hubungan tak langsung yang fungsional antara
psikologi dan sastra karena manusia dan kebudayaan menjadi
sumber dan struktur yang membangun solidaritas antara psikologi
dan sastra. Misal, kearifan kejiwaan dalam sastra dan juga
makna kehidupan seperti yang diungkapkan oleh sastra (Jatman,
1985:165). Secara lebih tegas, psikologi dan sastra memiliki
hubungan fungsional, yakni sama-sama berguna untuk sarana
mempelajari keadaan kejiwaan orang lain. Perbedaannya adalah
bahwa gejala kejiwaan yang terdapat dalam sastra adalah gejala
kejiwaan dari manusia-manusia imajiner, sedangkan dalam
psikologi adalah manusia -manusia riil dalam kehidupan
masyarakat nyata (Aminuddin, 1990:93 ).
Dengan demikian dapat dkemukakan bahwa sastra dan
psikologi benar sama-sama mempelajari keadaan kejiwaan orang
lain. Namun demikian, sastra dan psikologi memiliki perbedaan.
Di dalam psikologi gejala-gejala kejiwaan dalam diri manusia
tersebut terjadi dalam kehidupan masyarakat yang nyata (riil),
sedangkan di dalam sastra gejala-gejala tersebut bersifat
imajinatif yakni dalam diri tokoh-tokoh cerita yang fiktif. Namun
demikian, keduanya dapat saling melengkapi dan saling mengisi
untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam terhadap
kejiwaan manusia karena terdapat kemungkinan apa yang
tertangkap oleh sang pengarang tidak mampu dinikmati oleh
psikolog atau sebaliknya. Dengan demikian Psikologi dan karya
sastra memiliki hubungan fungsional, yakni sama-sama
mempelajari keadaan- keadaan kejiwaan orang lain.
Psikologi sastra merupakan pendekatan yang menekankan
pada hakikat dan kodrat manusia. Melalui tinjauan psikologi akan
tampak bahwa fungsi dan peran sastra adalah untuk menyajikan
citra manusia yang seadil-adilnya dan sehidup-hidupnya. Paling
Pengkajian Sastra │
sedikit melalui tinjauan psikologi sastra akan dapat dijelaskan
bahwa karya sastra pada hakikatnya bertujuan untuk melukiskan
lingkungan manusia (Hardjana, 1994:66). Siswantoro (2004:32)
mengemukakan bahwa psikologi sastra mempelajari fenomena
kejiwaan tertentu yang dialami oleh tokoh utama dalam karya
sastra ketika merespon atau bereaksi terhadap diri dan
lingkungannya. Dengan demikian gejala kejiwaan dapat
terungkap lewat tokoh dalam sebuah karya sastra.
Orang dapat mengamati tingkah laku tokoh-tokoh dalam
sebuah novel atau drama dengan memanfaatkan pengetahuan
psikologi. Andai kata ternyata tingkah laku tokoh-tokoh tersebut
sesuai dengan apa yang diketahuinya tentang jiwa manusia,
maka dia telah berhasil menggunakan teori-teori psikologi modern
untuk menjelaskan dan menafsirkan karya sastra (Harjana,
1985:66).
Psikologi sastra memiliki peran penting dalam pemahaman
sastra. Menurut Semi (dalam Endraswara, 2008:12), ada
beberapa kelebihan penggunaan psikologi sastra yaitu (1)
psikologi sastra sangat sesuai untuk mengkaji secara mendalam
aspek perwatakan, (2) pendekatan psikologi sastra dapat
memberikan umpan balik kepada penulis tentang permasalahan
perwatakan yang dikembangkannya, dan (3) psikologi sastra
sangat membantu penelaah dalam meng- analisis karya sastra
dan dapat membantu pembaca dalam memahami karya sastra.
Dari fungsi-fungsi tersebut, dapat diketengahkan bahwa daya
tarik psikologi sastra adalah pada masalah manusia yang
melukiskan potret jiwa. Tidak hanya jiwa sendiri yang muncul
dalam sastra, tetapi juga dapat mewakili jiwa orang lain. Setiap
pengarang sering menambahkan pengalaman diri dalam
karyanya. Namun, pengalaman kejiwaan pribadi itu sering kali
dialami orang lain pula. Kondisi ini merupakan daya tarik
penelitian psikologi sastra.
Adapun tujuan kajian psikologi sastra adalah memahami
aspek- aspek kejiwaan yang terkandung dalam suatu karya
sastra (Endraswara, 2008:11). Pada dasarnya psikologi sastra
memberikan perhatian dalam kaitannya dengan unsur-unsur
kejiwaan tokoh fiksional yang terkandung dalam karya.
2 │ Pengkajian Sastra
Perilaku manusia tidak lepas dari aspek kehidupan yang
membungkusnya dan mewarnai perilakunya. Cerpen sebagai
bentuk sastra, merupakan jagad kehidupan imajinatif yang di
dalamnya terjadi peristiwa dan perilaku yang dialami dan
diperbuat manusia yang disebut dengan tokoh (Siswantoro,
2005:29). Selain apa yang telah disebutkan di atas, sastra juga
sebagai “gejala kejiwaan” yang di dalamnya terkandung
fenomena-fenomena yang menampak lewat perilaku tokoh-
tokohnya. Karya sastra dapat didekati dengan menggunakan
pendekatan psikologi karena antara sastra dengan psikologi
memiliki hubungan lintas yang bersifat tak langsung dan
fungsional. Bersifat tak langsung, artinya hubungan itu ada karena
baik sastra maupun psikologi memiliki tempat berangkat yang
sama, yakni kejiwaan manusia. Pengarang dan psikolog sama-
sama manusia biasa. Mereka mampu menangkap keadaan
kejiwaan manusia secara mendalam. Hasil penangkapannya itu
setelah mengalami proses pengolahan diungkapkan dalam
bentuk sebuah karya.
Sebagai disiplin ilmu, psikologi sastra dibedakan menjadi
tiga pendekatan, yaitu (1) pendekatan ekspresif, yaitu kajian
aspek psikologis penulis dalam proses kreativitas yang
terproyeksi lewat karya sastra, (2) pendekatan tekstual, yaitu
mengkaji aspek psikologi sang tokoh dalam sebuah karya sastra,
(3) pendekatan reseptif pragmatik yang mengkaji aspek psikologi
pembaca yang terbentuk setelah melakukan dialog dengan karya
yang dinikmati serta proses kreatif yang ditempuh dalam
menghayati teks (Aminudin, 1990:89).
Penelitian psikologi sastra dilakukan dengan dua cara.
Pertama, melalui pemahaman teori-teori psikologi kemudian
diadakan analisis terhadap suatu karya sastra. Kedua, dengan
terlebih dahulu memutuskan sebuah karya sastra sebagai objek
penelitian, kemudian ditentukan teori psikologi yang dianggap
tepat untuk melakukan analisis psikolohis terhadap gejala-gejala
kejiwaan dan perilaku para tokoh dalam sastra (Ratna, 2004:344).
Akhirnya, dapat disimpulkan bahwa psikologi sastra dapat
diartikan sebagai suatu cara analisis berdasarkan sudut pandang
psikologi dan bertolak dari asumsi bahwa karya sastra selalu saja
Pengkajian Sastra │
membahas tentang peristiwa kehidupan manusia yang
merupakan pancaran dalam menghayati dan menyikapi
kehidupan. Di sini fungsi psikologi itu sendiri adalah melakukan
penjelajahan ke dalam jiwa/batin tokoh-tokoh yang terdapat
dalam karya sastra dan untuk mengetahui lebih jauh tentang
seluk-beluk tindakan manusia dan responnya terhadap tindakan
lainnya.
Psikologi sastra merupakan sebuah pendekatan dalam
pengkajian karya sastra yang memandang karya sebagai aktivitas
kejiwaan para tokoh. Dalam perspektif psikologi sastra, karya
sastra merupakan pantulan atas gejala kejiwaan manusia.
Pengarang akan menangkap gejala kejiwaan itu kemudian
direfleksikan ke dalam teks sastra setelah diolah dengan
pengalaman kejiwaan sendiri dan pengalaman hidup di sekitar
pengarang. Kesemuanya itu kemudian diproyeksikan secara
imajiner ke dalam teks sastra.
Psikologi dengan sastra memiliki hubungan yang integral
meskipun hubungan tersebut bersifat tidak langsung. Sastra
berhubungan dengan dunia fiksi, drama, puisi, esai yang
diklasifikasikan ke dalam seni, sedangkan psikologi merujuk
kepada studi ilmiah tentang kejiwaan dan perilaku manusia.
Meskipun berbeda, keduanya memiliki titik temu atau kesamaan,
yakni keduanya berangkat dari manusia dan kehidupan sebagai
sumber kajian. Objek kajiannya sama- sama manusia/tokoh tetapi
psikologi mengkaji fenomena kejiwaan dan perilaku manusia
dalam kehidupan masyarakat yang nyata (riil) sedangkan
psikologi sastra mengkaji fenomena kejiwaan dan perilaku tokoh
cerita dalam dunia imajinatif.
Dalam pandangan Wellek dan Warren (1990) dan Hardjana
(1985:60-61), psikologi sastra mempunyai empat kemungkinan
penelitian. Pertama, penelitian terhadap psikologi pengarang
sebagai tipe atau sebagai pribadi. Studi ini cenderung ke arah
psikologi seni. Peneliti berusaha menangkap kondisi kejiwaan
seorang pengarang pada saat menelorkan karya sastra. Kedua,
penelitian proses kreatif dalam kaitannya dengan kejiwaan. Studi
berhubungan pula dengan psikologi proses kreatif. Bagaimana
langkah-langkah psikologis ketika mengekspresikan karya sastra
2 │ Pengkajian Sastra
menjadi fokus. Ketiga, penelitian hukum-hukum psikologi yang
diterapkan pada karya sastra. Dalam kaitan ini studi dapat
diterapkan pada teori-teori psikologi, misalnya psikoanalisis
kedalam sebuah teks sastra. Asumsi dari kajian ini bahwa
pengarang sering menggunakan teori psikologi tertentu dalam
penciptaan. Studi ini yang benar-benar mengangkat teks sastra
sebagai wilayah kajian. Keempat, penelitian 65 dampak psikologis
teks sastra kepada pembaca. Studi ini lebih cenderung ke arah
aspek-aspek pragmatik psikologis teks sasra terhadap
pembacanya. Penelitian psikologi sastra memang memiliki
landasan pijak yang kokoh. Karena, baik sastra maupun psikologi
sama-sama mempelajari hidup manusia. Bedanya, kalau sastra
mempelajari manusia sebagai ciptaan imajinasi pengarang,
sedangkan psikologi mempelajari manusia sebagai ciptaan Illahi
secara riil. Namun, sifat-sifat manusia dalam psikologi maupun
sastra sering menunjukki kemiripan, sehingga psikologi sastra
memang tepat dilakukan. Meskipun karya sastra bersifat kreatif
dan imajiner, pencipta tetap sering memanfaatkan hukumhukum
psikologi untuk menghidupkan karakter tokohtokohnya. Pencipta
sadar atau tidak telah menerapkan teori psikologi secara diam-
diam.

Hubungan Sastra Dan Psikoanalisa


Psikoanalisa adalah wilayah kajian psikologi sastra.
Model kajian ini pertama kali dimunculkan oleh Sigmund Freud
(Milner,1992:43), seorang dokter muda dari Wina. Ia
mengemukakan gagasannya bahwa kesadaran merupakan
sebagian kecil dari kehidupan mental sedangkan bagian
terbesarnya adalah ketaksadaran atau tak sadar. Ketaksadaran
ini dapat menyublim kedalam proses kreatif pengarang. Ketika
pengarang menciptakan tokoh, kadang “bermimpi” seperti halnya
realitas. Semakin jauh lagi pengarang juga sring “gila”, sehingga
yang diekspresikan seakan-akan lahir bukan dari kesadarannya.
Dalam kajian psikologi sastra, akan berusaha mengungkap
psikoanalisa kepribadian yang dipandang 68 meliputi tiga unsur
kejiwaan, yaitu: id, ego dan super ego. Ketiga sistem kepribadian
Pengkajian Sastra │
ini satu sama lain saling berkaitan serta membentuk totalitas, dan
tingkah laku manusia yang tak lain merupakan produk
interaksinya. Id (das es) adalah sistem kepribadian manusia yang
paling dasar. Dalam pandangan Atmaja (1988:231) Id merupakan
acuan penting untuk memahami mengapa seniman/sastrawan
menjadi kreatif. Melalui Idpula sastrawan mampu menciptakan
simbol-simbol tertentu dalam karyanya. Jadi apa yang kemudian
dinamakan novel psikologis, misalnya ternyata merupakan karya
yang dikerjakan berdasarkan interpretasi psikologis yang
sebelumnya telah menerima perkembangan watak untuk
kepentingan struktur plot.
Id adalah aspek kepribadian yang “gelap” dalam bawah
sadar manusia yang berisi insting dan nafsu-nafsu tak kenal nilai
dan agaknya berupa ‘energi buta”. Dalam perkembangannya
tumbulah ego yang perilakunya didasarkan atas prinsip
kenyataan. Sementara super ego berkembang mengontrol
dorongan-dorongan “buta” Id tersebut. Hal ini berarti ego (das ich)
merupakan sistem kepribadian yang bertindak sebagai pengarah
individu terhadap dunia objek dari kenyataan, dan menjalan
fungsinya berdasarkan prinsip kenyataan. Ego adalah
kepribadian implementatif, yaitu berupa kontak dengan dunia luar.
Adapun super ego (das euber ich) adalah sistem kepribadian
yang berisi nilai-nilai atau aturan yang bersifat evaluatif
(menyangkut baik buruk).
Dari uraian demikian, dapat diketahui bahwa ada hubungan
antara sastra dengan psikoanalisa. Hubungan tersebut, menurut
Milner (1992:32) ada dua hal, pertama ada kesamaan antara
hasrat-hasrat yang tersembunyi pada setiap manusia yang
menyebakan kehadiran karya sastra yang mampu menyentuh
perasaan kita, karena karya sastra itu memberikan jalan keluar
terhadap hasrathasrat rahasia tersebut. Kedua ada kesejajaran
antara mimpi dan sastra, dalam hal ini kita menghubungkan
elaborasi karya sastra dengan proses elaborasi mimpi, yang oleh
Freud disebut “pekerjaan mimpi’. Baginya, mimpi seperti tulisan
yaitu sistem tanda yang menunjuk pada sesuatu yang berbeda
dengan tanda-tanda itu sendiri. Keadaan orang yang bermimpi
adalah seperti seorang penulis yang menyembunyikan pikiran-
2 │ Pengkajian Sastra
pikirannya.
Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa proses
krestivitas penulis dalam menciptakan karyanya sangat
dipengaruhi oleh sistem sensor intern yang mendorongnya untuk
menyembunyikan atau memutar balikkan hal-hal penting yang
ingin dikatakan dan mendorongnya untuk mengatakan dalam
bentuk tak langsung atau telah diubah. Jadi karya sastra
merupakan ungkapan kejiwaan pengarang yang menggambarkan
emosi dan pemikirannya. Karya sastra lahir dari endapan
pengalaman yang telah dimasak dalam jiwanya.

Langkah Dan Proses Analisis


Langkah yang perlu dilakukan oleh peneliti psikologi sastra,
tidak akan tidak akan lepas dari sasaran penelitian. Apakah
peneliti sekadar menitikberatkan pada psikologi tokoh. Yang
penting harus dilakukan dari sasaran 72 penelitian tentang
psikologi tokoh ada beberapa proses, yaitu: pertama, pendekatan
psikologi sastra menekankan kajian keseluruhan baik berupa
unsur intrinsik maupun ekstrinsik. Namun, tekanan pada unsur
intrinsik, yaitu tentang penokohan dan perwatakannya.
Kedua, di samping tokoh dan watak, perlu di kaji pula
masalah tema karya. Analisis tokoh seharusnya ditekankan pada
nalar perilaku tokoh. Tokoh yang disoroti tak hanya fokus pada
tokoh utama, baik protagonis maupun antagonis. Tokoh-tokoh
bawahan yang dianggap tak penting pun harus di ungkap. Yang
lebih penting, peneliti harus memiliki alasan yang masuk akal
tentang watak tokoh, mengapa oleh pengarang diberi perwatakan
demikian.
Ketiga, konflik perwatakan tokoh perlu dikaitkan dengan alur
cerita. Misalkan saja, ada tokoh yang phobi, neurosis, halusinasi,
gila dan sebagainya harus di hubungkan dengan jalan cerita yang
struktual. Itulah sebabnya struktur karya harus tetap menjadi
pegangan dari wal sampai akhir penelitian. Hal ini untuk
menghindari agar peneliti tidak terjebak hanya pada penggunaan
teori psikologi.
Pengkajian Sastra │
Jika yang terakhir ini sampai terjadi, berarti ini mejadi
wilayah penelitian psikologi, bukan penelitian psikologi sastra.
Jika sasaran penelitian pada aspek kreativitas, peneliti dapat
melakukan tiga langkah. Pertama, aspel ekstrinsik perlu dibahas,
yang meliputi cita-cita, aspirasi, keinginan, falsafah hidup, obsesi
dan tuntutan-tuntutan personal. Dalam kaitan ini, perlu dicari
riwayat hidup pengarang sejak kecil sampai dewasa. Dengan
cara ini, peneliti akan mengetahui endapan pengalaman pribadi
yang diekspresikan dalam karyanya. Kedua, proses penciptaan
perlu di gali yaitu tentang motif penciptaan. Misalkan, mengapa
NH. Dini menciptakan novel Pada Sebuah Kapal, Tamsir
ASmenciptakan novel Wong Wadong Dinarsih, SH.Mitardja
mencipta cerita bersambung Apu di Bukit Menoreh dan
sebagainya. Dari sini akan terungkap apakah pengarang memang
mengungkapkan pengalaman batin yang mendalam, atau
sekadar ada tekan tertentu, misalkan ada tekanan politik. Apakah
pengarang sekadar ingin meluapkan rasa kecewa terhadap
pemerintahan, atau ada motif lain. 73 Ketiga, peneliti dapat pula
mengaitkan dengan dampak psikologis karya tersebut terhadap
pembaca. Apakah pembaca menjadi paham dengan gambaran
psikologis tokoh atau tidak. Peneliti perlu memasuki wilayah ini
agar diketahui seberapa jauh pengaruh psikologis karya tersebut.
Dari dua sasaran yang memiliki langkah-langkah demikian,
tampak bahwa penelitian perwatakan tokoh dapat disebut
sebagai kajian tekstual. Yaitu kajian yang harus sampai
membahas isi dan makna perwatakan dalam kaitannya dengan
struktur alur secara keseluruhan. Sedangkan sasaran penelitian
kreativitas, hanya bisa ditempuh melalui studi dokumen, misalnya
biografi pengarang dan atau wawancara kepada pengarang (jika
masih hidup).
Langkah-langkah demikian, sebaiknya dibantu dengan
menggunakan kartu-kartu data sebagai instrumen praktis. Melalui
kartu data itu, sebelum peneliti menuangkan hasil penelitian, telah
mampu membuat kategori-kategori data. Gambaran secara
keseluruhan akan segera tampak melalui kartu data tersebut.
Oleh karena pengarang adalah seoran “pelamun” dan
kadang-kadang juga “gila”, peneliti harus pandai menyelam
2 │ Pengkajian Sastra
didalamnya. Itulah sebabnya, peneliti perlu sampai pada titik
analisis yang di tunjukkan Nietzsche(Wellek dan Warren,
1989:96) bahwa ada dua tipe imajinasi sastrawan, yaitu: (1) tipe
“plastis” (2) tipe diffluent (cair). Pengarang tipe “plastis” biasanya
mampu membuat citraan visual yang tajam, yang dirangsang oleh
penginderaan dari luar dirinya. Pengaran tipe diffluent yaitu
memulai imajinasinya dari emosi, lalu menungkan melalui irama
dan pencitraan.
Sedikit berbeda dengan tipe pengarang yang dikemukakan
L Rusu, yaitu: (1) tipe sympathique (riang, gembira, spontan,
kreatif), (2) demoniaque anarchique, yaitu pengarang yang
agresif dan bersikap menyerang sesuatu, (3) demoniaque
equilibre, yaitu pengarang yang mampu perang melawan iblis dan
berakhir dengan kemenangan. Dari tiga tipe tersebut, peneliti
mampu memahami karya yang dihadapi tergolong pada tipe
mana, begitu pula pengarangnya. Dengan mengetahui tipe
tersebut, peneliti akan mampu menghakimi seorang 74
pengarang tertentu mampu atau tidak mengekspresikan
pengalaman batinnya.
Kajian psikologi sastra juga dapat menitikberatkan pada
pengaruh karya tersebut secara psikologis. Dalam kaitan ini,
kalau kita membagi kategori sastra menjadi tiga segmen, yaitu
sastra anak-anak, sastra remaja dan sastra dewasa- peneliti
dapat mengkaji masing-masing segmen lebih mendalam. Kajian
dapat mempergunakan gabungan pendekatan psikologi dengan
resepsi atau pragmatik sastra. Melalui kajian semacam ini, karya
sastra benar-benar akan sampai atau tidak kepada sasarannya.
Pada saat mengkaji psikologi sastra anak, remaja, dewasa,
peneliti dapat mengungkap berbagai hal, antara lain” (1)
bagaimana pengaruh karya itu terhadap perkembangan
bahasanya. Dari aspek psikologis bahasa seseorang akan
dipengaruhi oleh apa saja yang mereka baca. Jika yang di baca
adalah sastra yang indah, tentu saja akan mempengaruhi
keindahan bahasanya; (2) peneliti juga perlu mengungkap
seberapa jauh sastra tersebut dapa mempengaruhi aspek-aspek
kognitif, konasi(keinginan) anak, dan emosi (perasaan). Hal ini
dapat dibayangkan ketika anak-anak suntuk menonton flem anak-
Pengkajian Sastra │
anak ditelevisi, ternyata mereka mudah bergerak jiwanya, bahkan
satu dua anak ada yang mencoba meniruniru gerakan flem
tersebut. Pada remaja menonton dan membaca cerita romantik,
seringkali tergerak jiwanya ingin berbuat seperti yang ada dalam
cerita. Begitu pula orang dewasa seringkali terbakar jiwanya
setelah membaca atau menonton pertunjukan sastra.
Di samping itu, dalam kaitannya dengan aspek pragmatik,
kajian psikologi sastra dapat diarahkan pada perubahan
kepribadian seseorang setelah menikmati karya sastra. Manakala
seseorang menjadi lebih arif ketika membaca sastra, berarti
secara psikologis telah terpengaruh oleh karya tersebut. Hal ini
dapat dipahami ketika masyarakat Jawa membaca karya-karya
klasik, misalkan Serat Tripama, Serat Wedatama, serat centhini,
dan sebagainya-sering terpengaruh sehingga ingin menyontoh
kepribadian yang di pesankan oleh pujangga.

2 │ Pengkajian Sastra

Anda mungkin juga menyukai