konstruksi kehidupan imajinatif yang di dalamnya terjadi peristiwa dan terdapat perilaku yang dialami dan dilakukan manusia sebagai tokoh cerita. Pengarang dalam karya fiksi lazimnya berusaha mengungkapkan sisi kepribadian sang tokoh. Oleh sebab itu, mudah dipahami bahwa terdapat hubungan yang tak terpisahkan antara sastra –terutama karya fiksi (cerita pendek dan novel) dengan psikologi. Psikologi merupakan suatu ilmu yang menyelidiki dan mempelajari tentang tingkah laku atau aktivitas-aktivitas manusia, tingkah laku serta aktivitas-aktivitas itu merupakan manifestasi hidup kejiwaan (Walgito, 1997:9). Psikologi meliputi ilmu pengetahuan mengenai jiwa yang diperoleh secara sistematis dengan metode- metode ilmiah yang dimufakati sarjana psikologi pada zaman ini. Psikologi modern memandang bahwa jiwa dan raga manusia adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, kegiatan jiwa tampak pada kegiatan raga (Gerungan, 1996:3). Gerungan (1996:19) lebih lanjut mengemukakan bahwa psikologi menguraikan dan menyelidiki kegiatan-kegiatan psikis pada umumnya dari manusia dewasa dan normal, termasuk kegiatan- kegiatan pengamatan, intelegensi, perasaan, kehendak, motif- motif, dan seterusnya. Sastra menyajikan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial. Dalam pengertian ini, kehidupan mencakup hubungan antarmasyarakat dengan orang- orang, antar manusia, antar peristiwa yang terjadi dalam batin seseorang. Oleh karena itu, memandang karya sastra sebagai penggambaran dunia dan kehidupan manusia, kriteria utama yang dikenakan pada karya sastra adalah kebenaran penggambaran, atau yang hendak digambarkan (Pradopo, 1994:26). Semi (1993:79) menyatakan, pendekatan psikologis menekankan analisis terhadap karya sastra dari segi intrinsik, Pengkajian Sastra │ khususnya pada penokohan atau perwatakannya. Penekanan ini dipentingkan, sebab tokoh ceritalah yang banyak mengalami gejala kejiwaan. Secara kategori, sastra berbeda dengan psikologi, sebab sebagaimana sudah kita pahami sastra berhubungan dengan dunia fiksi, drama, esai yang diklasifikasikan ke dalam seni (art) sedang psikologi merujuk kepada studi ilmiah tentang perilaku manusia dan proses mental. Meski berbeda, keduanya memiliki titik temu atau kesamaan, yakni keduanya berangkat dari manusia dan kehidupan sebagai sumber kajian. Psikologi sastra adalah kajian sastra yang memandang karya sebagai aktivitas kejiwaan (Endraswara, 2003:96). Psikologi sastra mengenal karya sastra sebagai pantulan kejiwaan, pengarang akan menangkap gejala kejiwaan itu kemudian diolah ke dalam teks dan dilengkapi dengan kejiwaannya. Proyeksi pengalaman sendiri dan pengalaman hidup di sekitar pengarang akan terproyeksi secara imajiner ke dalam teks sastra. Orang dapat mengamati tingkah laku tokoh-tokoh dalam sebuah roman atau drama dengan memanfaatkan pengetahuan psikologi. Andai kata ternyata tingkah laku tokoh-tokoh tersebut sesuai dengan apa yang diketahuinya tentang jiwa manusia, maka dia telah berhasil menggunakan teori-teori psikologi modern untuk menjelaskan dan menafsirkan karya sastra (Harjana, 1985:66). Psikologi sastra diartikan sebagai lingkup gerak jiwa, konflik batin tokoh-tokoh dalam sebuah karya sastra. Dengan demikian pengetahuan psikologi dapat dijadikan sebagai alat bantu dalam menelusuri sebuah karya sastra secara tuntas (Jatmanto, 1985:164). Tugas psikologi adalah menganalisis kesadaran kejiwaan manusia yang terdiri dari unsur-unsur struktural yang sangat erat hubungannya dengan proses-proses pancaindera. Kaitannya dengan psikologi sastra, Wellek dan Warren (1990:41) mengemukakan bahwa karakter dalam cerita novel-novel, lingkungan, dan plot dalam cerita fiksi (cerita pendek/novel dan drama) yang terbentuk sesuai dengan kebenaran dalam psikologi. Hal itu wajar sebab kadang-kadang ilmu jiwa dipakai oleh pengarang untuk melukiskan tokoh-tokoh serta lingkungannya. Hubungan antara psikologi dengan sastra adalah bahwa di 2 │ Pengkajian Sastra satu pihak karya sastra dianggap sebagai hasil aktivitas dan ekspresi manusia. Di pihak lain, psikologi sendiri dapat membantu pengarang dalam mengentalkan kepekaan dan memberi kesempatan untuk menjajaki pola-pola yang belum pernah terjamah sebelumnya. Hasil yang dapat diperoleh adalah kebenaran yang mempunyai nilai-nilai artistik yang dapat menambah koherensi dan kompleksitas karya sastra tersebut (Wellek dan Waren, 1989:108). Ada hubungan tak langsung yang fungsional antara psikologi dan sastra karena manusia dan kebudayaan menjadi sumber dan struktur yang membangun solidaritas antara psikologi dan sastra. Misal, kearifan kejiwaan dalam sastra dan juga makna kehidupan seperti yang diungkapkan oleh sastra (Jatman, 1985:165). Secara lebih tegas, psikologi dan sastra memiliki hubungan fungsional, yakni sama-sama berguna untuk sarana mempelajari keadaan kejiwaan orang lain. Perbedaannya adalah bahwa gejala kejiwaan yang terdapat dalam sastra adalah gejala kejiwaan dari manusia-manusia imajiner, sedangkan dalam psikologi adalah manusia -manusia riil dalam kehidupan masyarakat nyata (Aminuddin, 1990:93 ). Dengan demikian dapat dkemukakan bahwa sastra dan psikologi benar sama-sama mempelajari keadaan kejiwaan orang lain. Namun demikian, sastra dan psikologi memiliki perbedaan. Di dalam psikologi gejala-gejala kejiwaan dalam diri manusia tersebut terjadi dalam kehidupan masyarakat yang nyata (riil), sedangkan di dalam sastra gejala-gejala tersebut bersifat imajinatif yakni dalam diri tokoh-tokoh cerita yang fiktif. Namun demikian, keduanya dapat saling melengkapi dan saling mengisi untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam terhadap kejiwaan manusia karena terdapat kemungkinan apa yang tertangkap oleh sang pengarang tidak mampu dinikmati oleh psikolog atau sebaliknya. Dengan demikian Psikologi dan karya sastra memiliki hubungan fungsional, yakni sama-sama mempelajari keadaan- keadaan kejiwaan orang lain. Psikologi sastra merupakan pendekatan yang menekankan pada hakikat dan kodrat manusia. Melalui tinjauan psikologi akan tampak bahwa fungsi dan peran sastra adalah untuk menyajikan citra manusia yang seadil-adilnya dan sehidup-hidupnya. Paling Pengkajian Sastra │ sedikit melalui tinjauan psikologi sastra akan dapat dijelaskan bahwa karya sastra pada hakikatnya bertujuan untuk melukiskan lingkungan manusia (Hardjana, 1994:66). Siswantoro (2004:32) mengemukakan bahwa psikologi sastra mempelajari fenomena kejiwaan tertentu yang dialami oleh tokoh utama dalam karya sastra ketika merespon atau bereaksi terhadap diri dan lingkungannya. Dengan demikian gejala kejiwaan dapat terungkap lewat tokoh dalam sebuah karya sastra. Orang dapat mengamati tingkah laku tokoh-tokoh dalam sebuah novel atau drama dengan memanfaatkan pengetahuan psikologi. Andai kata ternyata tingkah laku tokoh-tokoh tersebut sesuai dengan apa yang diketahuinya tentang jiwa manusia, maka dia telah berhasil menggunakan teori-teori psikologi modern untuk menjelaskan dan menafsirkan karya sastra (Harjana, 1985:66). Psikologi sastra memiliki peran penting dalam pemahaman sastra. Menurut Semi (dalam Endraswara, 2008:12), ada beberapa kelebihan penggunaan psikologi sastra yaitu (1) psikologi sastra sangat sesuai untuk mengkaji secara mendalam aspek perwatakan, (2) pendekatan psikologi sastra dapat memberikan umpan balik kepada penulis tentang permasalahan perwatakan yang dikembangkannya, dan (3) psikologi sastra sangat membantu penelaah dalam meng- analisis karya sastra dan dapat membantu pembaca dalam memahami karya sastra. Dari fungsi-fungsi tersebut, dapat diketengahkan bahwa daya tarik psikologi sastra adalah pada masalah manusia yang melukiskan potret jiwa. Tidak hanya jiwa sendiri yang muncul dalam sastra, tetapi juga dapat mewakili jiwa orang lain. Setiap pengarang sering menambahkan pengalaman diri dalam karyanya. Namun, pengalaman kejiwaan pribadi itu sering kali dialami orang lain pula. Kondisi ini merupakan daya tarik penelitian psikologi sastra. Adapun tujuan kajian psikologi sastra adalah memahami aspek- aspek kejiwaan yang terkandung dalam suatu karya sastra (Endraswara, 2008:11). Pada dasarnya psikologi sastra memberikan perhatian dalam kaitannya dengan unsur-unsur kejiwaan tokoh fiksional yang terkandung dalam karya. 2 │ Pengkajian Sastra Perilaku manusia tidak lepas dari aspek kehidupan yang membungkusnya dan mewarnai perilakunya. Cerpen sebagai bentuk sastra, merupakan jagad kehidupan imajinatif yang di dalamnya terjadi peristiwa dan perilaku yang dialami dan diperbuat manusia yang disebut dengan tokoh (Siswantoro, 2005:29). Selain apa yang telah disebutkan di atas, sastra juga sebagai “gejala kejiwaan” yang di dalamnya terkandung fenomena-fenomena yang menampak lewat perilaku tokoh- tokohnya. Karya sastra dapat didekati dengan menggunakan pendekatan psikologi karena antara sastra dengan psikologi memiliki hubungan lintas yang bersifat tak langsung dan fungsional. Bersifat tak langsung, artinya hubungan itu ada karena baik sastra maupun psikologi memiliki tempat berangkat yang sama, yakni kejiwaan manusia. Pengarang dan psikolog sama- sama manusia biasa. Mereka mampu menangkap keadaan kejiwaan manusia secara mendalam. Hasil penangkapannya itu setelah mengalami proses pengolahan diungkapkan dalam bentuk sebuah karya. Sebagai disiplin ilmu, psikologi sastra dibedakan menjadi tiga pendekatan, yaitu (1) pendekatan ekspresif, yaitu kajian aspek psikologis penulis dalam proses kreativitas yang terproyeksi lewat karya sastra, (2) pendekatan tekstual, yaitu mengkaji aspek psikologi sang tokoh dalam sebuah karya sastra, (3) pendekatan reseptif pragmatik yang mengkaji aspek psikologi pembaca yang terbentuk setelah melakukan dialog dengan karya yang dinikmati serta proses kreatif yang ditempuh dalam menghayati teks (Aminudin, 1990:89). Penelitian psikologi sastra dilakukan dengan dua cara. Pertama, melalui pemahaman teori-teori psikologi kemudian diadakan analisis terhadap suatu karya sastra. Kedua, dengan terlebih dahulu memutuskan sebuah karya sastra sebagai objek penelitian, kemudian ditentukan teori psikologi yang dianggap tepat untuk melakukan analisis psikolohis terhadap gejala-gejala kejiwaan dan perilaku para tokoh dalam sastra (Ratna, 2004:344). Akhirnya, dapat disimpulkan bahwa psikologi sastra dapat diartikan sebagai suatu cara analisis berdasarkan sudut pandang psikologi dan bertolak dari asumsi bahwa karya sastra selalu saja Pengkajian Sastra │ membahas tentang peristiwa kehidupan manusia yang merupakan pancaran dalam menghayati dan menyikapi kehidupan. Di sini fungsi psikologi itu sendiri adalah melakukan penjelajahan ke dalam jiwa/batin tokoh-tokoh yang terdapat dalam karya sastra dan untuk mengetahui lebih jauh tentang seluk-beluk tindakan manusia dan responnya terhadap tindakan lainnya. Psikologi sastra merupakan sebuah pendekatan dalam pengkajian karya sastra yang memandang karya sebagai aktivitas kejiwaan para tokoh. Dalam perspektif psikologi sastra, karya sastra merupakan pantulan atas gejala kejiwaan manusia. Pengarang akan menangkap gejala kejiwaan itu kemudian direfleksikan ke dalam teks sastra setelah diolah dengan pengalaman kejiwaan sendiri dan pengalaman hidup di sekitar pengarang. Kesemuanya itu kemudian diproyeksikan secara imajiner ke dalam teks sastra. Psikologi dengan sastra memiliki hubungan yang integral meskipun hubungan tersebut bersifat tidak langsung. Sastra berhubungan dengan dunia fiksi, drama, puisi, esai yang diklasifikasikan ke dalam seni, sedangkan psikologi merujuk kepada studi ilmiah tentang kejiwaan dan perilaku manusia. Meskipun berbeda, keduanya memiliki titik temu atau kesamaan, yakni keduanya berangkat dari manusia dan kehidupan sebagai sumber kajian. Objek kajiannya sama- sama manusia/tokoh tetapi psikologi mengkaji fenomena kejiwaan dan perilaku manusia dalam kehidupan masyarakat yang nyata (riil) sedangkan psikologi sastra mengkaji fenomena kejiwaan dan perilaku tokoh cerita dalam dunia imajinatif. Dalam pandangan Wellek dan Warren (1990) dan Hardjana (1985:60-61), psikologi sastra mempunyai empat kemungkinan penelitian. Pertama, penelitian terhadap psikologi pengarang sebagai tipe atau sebagai pribadi. Studi ini cenderung ke arah psikologi seni. Peneliti berusaha menangkap kondisi kejiwaan seorang pengarang pada saat menelorkan karya sastra. Kedua, penelitian proses kreatif dalam kaitannya dengan kejiwaan. Studi berhubungan pula dengan psikologi proses kreatif. Bagaimana langkah-langkah psikologis ketika mengekspresikan karya sastra 2 │ Pengkajian Sastra menjadi fokus. Ketiga, penelitian hukum-hukum psikologi yang diterapkan pada karya sastra. Dalam kaitan ini studi dapat diterapkan pada teori-teori psikologi, misalnya psikoanalisis kedalam sebuah teks sastra. Asumsi dari kajian ini bahwa pengarang sering menggunakan teori psikologi tertentu dalam penciptaan. Studi ini yang benar-benar mengangkat teks sastra sebagai wilayah kajian. Keempat, penelitian 65 dampak psikologis teks sastra kepada pembaca. Studi ini lebih cenderung ke arah aspek-aspek pragmatik psikologis teks sasra terhadap pembacanya. Penelitian psikologi sastra memang memiliki landasan pijak yang kokoh. Karena, baik sastra maupun psikologi sama-sama mempelajari hidup manusia. Bedanya, kalau sastra mempelajari manusia sebagai ciptaan imajinasi pengarang, sedangkan psikologi mempelajari manusia sebagai ciptaan Illahi secara riil. Namun, sifat-sifat manusia dalam psikologi maupun sastra sering menunjukki kemiripan, sehingga psikologi sastra memang tepat dilakukan. Meskipun karya sastra bersifat kreatif dan imajiner, pencipta tetap sering memanfaatkan hukumhukum psikologi untuk menghidupkan karakter tokohtokohnya. Pencipta sadar atau tidak telah menerapkan teori psikologi secara diam- diam.
Hubungan Sastra Dan Psikoanalisa
Psikoanalisa adalah wilayah kajian psikologi sastra. Model kajian ini pertama kali dimunculkan oleh Sigmund Freud (Milner,1992:43), seorang dokter muda dari Wina. Ia mengemukakan gagasannya bahwa kesadaran merupakan sebagian kecil dari kehidupan mental sedangkan bagian terbesarnya adalah ketaksadaran atau tak sadar. Ketaksadaran ini dapat menyublim kedalam proses kreatif pengarang. Ketika pengarang menciptakan tokoh, kadang “bermimpi” seperti halnya realitas. Semakin jauh lagi pengarang juga sring “gila”, sehingga yang diekspresikan seakan-akan lahir bukan dari kesadarannya. Dalam kajian psikologi sastra, akan berusaha mengungkap psikoanalisa kepribadian yang dipandang 68 meliputi tiga unsur kejiwaan, yaitu: id, ego dan super ego. Ketiga sistem kepribadian Pengkajian Sastra │ ini satu sama lain saling berkaitan serta membentuk totalitas, dan tingkah laku manusia yang tak lain merupakan produk interaksinya. Id (das es) adalah sistem kepribadian manusia yang paling dasar. Dalam pandangan Atmaja (1988:231) Id merupakan acuan penting untuk memahami mengapa seniman/sastrawan menjadi kreatif. Melalui Idpula sastrawan mampu menciptakan simbol-simbol tertentu dalam karyanya. Jadi apa yang kemudian dinamakan novel psikologis, misalnya ternyata merupakan karya yang dikerjakan berdasarkan interpretasi psikologis yang sebelumnya telah menerima perkembangan watak untuk kepentingan struktur plot. Id adalah aspek kepribadian yang “gelap” dalam bawah sadar manusia yang berisi insting dan nafsu-nafsu tak kenal nilai dan agaknya berupa ‘energi buta”. Dalam perkembangannya tumbulah ego yang perilakunya didasarkan atas prinsip kenyataan. Sementara super ego berkembang mengontrol dorongan-dorongan “buta” Id tersebut. Hal ini berarti ego (das ich) merupakan sistem kepribadian yang bertindak sebagai pengarah individu terhadap dunia objek dari kenyataan, dan menjalan fungsinya berdasarkan prinsip kenyataan. Ego adalah kepribadian implementatif, yaitu berupa kontak dengan dunia luar. Adapun super ego (das euber ich) adalah sistem kepribadian yang berisi nilai-nilai atau aturan yang bersifat evaluatif (menyangkut baik buruk). Dari uraian demikian, dapat diketahui bahwa ada hubungan antara sastra dengan psikoanalisa. Hubungan tersebut, menurut Milner (1992:32) ada dua hal, pertama ada kesamaan antara hasrat-hasrat yang tersembunyi pada setiap manusia yang menyebakan kehadiran karya sastra yang mampu menyentuh perasaan kita, karena karya sastra itu memberikan jalan keluar terhadap hasrathasrat rahasia tersebut. Kedua ada kesejajaran antara mimpi dan sastra, dalam hal ini kita menghubungkan elaborasi karya sastra dengan proses elaborasi mimpi, yang oleh Freud disebut “pekerjaan mimpi’. Baginya, mimpi seperti tulisan yaitu sistem tanda yang menunjuk pada sesuatu yang berbeda dengan tanda-tanda itu sendiri. Keadaan orang yang bermimpi adalah seperti seorang penulis yang menyembunyikan pikiran- 2 │ Pengkajian Sastra pikirannya. Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa proses krestivitas penulis dalam menciptakan karyanya sangat dipengaruhi oleh sistem sensor intern yang mendorongnya untuk menyembunyikan atau memutar balikkan hal-hal penting yang ingin dikatakan dan mendorongnya untuk mengatakan dalam bentuk tak langsung atau telah diubah. Jadi karya sastra merupakan ungkapan kejiwaan pengarang yang menggambarkan emosi dan pemikirannya. Karya sastra lahir dari endapan pengalaman yang telah dimasak dalam jiwanya.
Langkah Dan Proses Analisis
Langkah yang perlu dilakukan oleh peneliti psikologi sastra, tidak akan tidak akan lepas dari sasaran penelitian. Apakah peneliti sekadar menitikberatkan pada psikologi tokoh. Yang penting harus dilakukan dari sasaran 72 penelitian tentang psikologi tokoh ada beberapa proses, yaitu: pertama, pendekatan psikologi sastra menekankan kajian keseluruhan baik berupa unsur intrinsik maupun ekstrinsik. Namun, tekanan pada unsur intrinsik, yaitu tentang penokohan dan perwatakannya. Kedua, di samping tokoh dan watak, perlu di kaji pula masalah tema karya. Analisis tokoh seharusnya ditekankan pada nalar perilaku tokoh. Tokoh yang disoroti tak hanya fokus pada tokoh utama, baik protagonis maupun antagonis. Tokoh-tokoh bawahan yang dianggap tak penting pun harus di ungkap. Yang lebih penting, peneliti harus memiliki alasan yang masuk akal tentang watak tokoh, mengapa oleh pengarang diberi perwatakan demikian. Ketiga, konflik perwatakan tokoh perlu dikaitkan dengan alur cerita. Misalkan saja, ada tokoh yang phobi, neurosis, halusinasi, gila dan sebagainya harus di hubungkan dengan jalan cerita yang struktual. Itulah sebabnya struktur karya harus tetap menjadi pegangan dari wal sampai akhir penelitian. Hal ini untuk menghindari agar peneliti tidak terjebak hanya pada penggunaan teori psikologi. Pengkajian Sastra │ Jika yang terakhir ini sampai terjadi, berarti ini mejadi wilayah penelitian psikologi, bukan penelitian psikologi sastra. Jika sasaran penelitian pada aspek kreativitas, peneliti dapat melakukan tiga langkah. Pertama, aspel ekstrinsik perlu dibahas, yang meliputi cita-cita, aspirasi, keinginan, falsafah hidup, obsesi dan tuntutan-tuntutan personal. Dalam kaitan ini, perlu dicari riwayat hidup pengarang sejak kecil sampai dewasa. Dengan cara ini, peneliti akan mengetahui endapan pengalaman pribadi yang diekspresikan dalam karyanya. Kedua, proses penciptaan perlu di gali yaitu tentang motif penciptaan. Misalkan, mengapa NH. Dini menciptakan novel Pada Sebuah Kapal, Tamsir ASmenciptakan novel Wong Wadong Dinarsih, SH.Mitardja mencipta cerita bersambung Apu di Bukit Menoreh dan sebagainya. Dari sini akan terungkap apakah pengarang memang mengungkapkan pengalaman batin yang mendalam, atau sekadar ada tekan tertentu, misalkan ada tekanan politik. Apakah pengarang sekadar ingin meluapkan rasa kecewa terhadap pemerintahan, atau ada motif lain. 73 Ketiga, peneliti dapat pula mengaitkan dengan dampak psikologis karya tersebut terhadap pembaca. Apakah pembaca menjadi paham dengan gambaran psikologis tokoh atau tidak. Peneliti perlu memasuki wilayah ini agar diketahui seberapa jauh pengaruh psikologis karya tersebut. Dari dua sasaran yang memiliki langkah-langkah demikian, tampak bahwa penelitian perwatakan tokoh dapat disebut sebagai kajian tekstual. Yaitu kajian yang harus sampai membahas isi dan makna perwatakan dalam kaitannya dengan struktur alur secara keseluruhan. Sedangkan sasaran penelitian kreativitas, hanya bisa ditempuh melalui studi dokumen, misalnya biografi pengarang dan atau wawancara kepada pengarang (jika masih hidup). Langkah-langkah demikian, sebaiknya dibantu dengan menggunakan kartu-kartu data sebagai instrumen praktis. Melalui kartu data itu, sebelum peneliti menuangkan hasil penelitian, telah mampu membuat kategori-kategori data. Gambaran secara keseluruhan akan segera tampak melalui kartu data tersebut. Oleh karena pengarang adalah seoran “pelamun” dan kadang-kadang juga “gila”, peneliti harus pandai menyelam 2 │ Pengkajian Sastra didalamnya. Itulah sebabnya, peneliti perlu sampai pada titik analisis yang di tunjukkan Nietzsche(Wellek dan Warren, 1989:96) bahwa ada dua tipe imajinasi sastrawan, yaitu: (1) tipe “plastis” (2) tipe diffluent (cair). Pengarang tipe “plastis” biasanya mampu membuat citraan visual yang tajam, yang dirangsang oleh penginderaan dari luar dirinya. Pengaran tipe diffluent yaitu memulai imajinasinya dari emosi, lalu menungkan melalui irama dan pencitraan. Sedikit berbeda dengan tipe pengarang yang dikemukakan L Rusu, yaitu: (1) tipe sympathique (riang, gembira, spontan, kreatif), (2) demoniaque anarchique, yaitu pengarang yang agresif dan bersikap menyerang sesuatu, (3) demoniaque equilibre, yaitu pengarang yang mampu perang melawan iblis dan berakhir dengan kemenangan. Dari tiga tipe tersebut, peneliti mampu memahami karya yang dihadapi tergolong pada tipe mana, begitu pula pengarangnya. Dengan mengetahui tipe tersebut, peneliti akan mampu menghakimi seorang 74 pengarang tertentu mampu atau tidak mengekspresikan pengalaman batinnya. Kajian psikologi sastra juga dapat menitikberatkan pada pengaruh karya tersebut secara psikologis. Dalam kaitan ini, kalau kita membagi kategori sastra menjadi tiga segmen, yaitu sastra anak-anak, sastra remaja dan sastra dewasa- peneliti dapat mengkaji masing-masing segmen lebih mendalam. Kajian dapat mempergunakan gabungan pendekatan psikologi dengan resepsi atau pragmatik sastra. Melalui kajian semacam ini, karya sastra benar-benar akan sampai atau tidak kepada sasarannya. Pada saat mengkaji psikologi sastra anak, remaja, dewasa, peneliti dapat mengungkap berbagai hal, antara lain” (1) bagaimana pengaruh karya itu terhadap perkembangan bahasanya. Dari aspek psikologis bahasa seseorang akan dipengaruhi oleh apa saja yang mereka baca. Jika yang di baca adalah sastra yang indah, tentu saja akan mempengaruhi keindahan bahasanya; (2) peneliti juga perlu mengungkap seberapa jauh sastra tersebut dapa mempengaruhi aspek-aspek kognitif, konasi(keinginan) anak, dan emosi (perasaan). Hal ini dapat dibayangkan ketika anak-anak suntuk menonton flem anak- Pengkajian Sastra │ anak ditelevisi, ternyata mereka mudah bergerak jiwanya, bahkan satu dua anak ada yang mencoba meniruniru gerakan flem tersebut. Pada remaja menonton dan membaca cerita romantik, seringkali tergerak jiwanya ingin berbuat seperti yang ada dalam cerita. Begitu pula orang dewasa seringkali terbakar jiwanya setelah membaca atau menonton pertunjukan sastra. Di samping itu, dalam kaitannya dengan aspek pragmatik, kajian psikologi sastra dapat diarahkan pada perubahan kepribadian seseorang setelah menikmati karya sastra. Manakala seseorang menjadi lebih arif ketika membaca sastra, berarti secara psikologis telah terpengaruh oleh karya tersebut. Hal ini dapat dipahami ketika masyarakat Jawa membaca karya-karya klasik, misalkan Serat Tripama, Serat Wedatama, serat centhini, dan sebagainya-sering terpengaruh sehingga ingin menyontoh kepribadian yang di pesankan oleh pujangga.