Anda di halaman 1dari 15

INTREPETASI HUKUM PIDANA

RIFKI FIRDAUS
2020.7434.025
rifqifirdaus810@gmail.com
Hukum Ekonomi Syariah/ Hukum Pidana

ABSTRAK
Proses mengadili suatu perkara, seorang hakim sebagai aparat penegak hukum yang
memeriksa, mengadili dan memutus perkara termasuk dalam hal ini perkara pidana, akan
selalu dihadapkan pada tugas untuk menilai bukti-bukti yang dihadapkan kepadanya
kemudian mendapatkan keyakinan dari hati nuraninya. Setelah itu, ia memberikan
pertimbangan dan putusan yang tepat bagi seorang terdakwa. Dalam memutus suatu perkara,
suatu masalah yang selalu dihadapi oleh hakim adalah kerap kali suatu hukum tertulis
ternyata tidak mampu menyelesaikan masalah yang dihadapi. Dalam kondisi seperti ini
seorang hakim dituntut untuk menemukan hukum dan atau menciptakan hukum untuk
melengkapi hukum yang telah ada dalam memutus suatu perkara. Hal ini didasarkan pula
pada asas bahwa hakim tidak boleh menolak suatu perkara dengan dalil hukumnya tidak
jelas. Hakim harus mampu menafsirkan suatu kasus hukum dengan benar sehingga diperoleh
satu ketentuan hukum yang tepat sebagai dasar untuk mengadili. Penafsiran yang dilakukan
oleh hakim disebut metode intrepetasi. Metode interpretasi adalah penafsiran yang dilakukan
hakim yang masih berpegang pada teks undang-undang. Menafsirkan merupakan satu
kemampuan dasar yang sangat penting bagi seorang hakim dalam menangani suatu kasus
yang diajukan kepadanya.
Kata Kunci: Interpretasi, hukum pidana, penemuan hukum.

1
PENDAHULUAN
Adanya undang-undang yang berlaku, yang menjadi pedoman dalam penetapan hukum
disetiap permasalahan, sangatlah penting. Tapi terkadang adanya undang-undang tersebut
tidak sedetail yang diharapkan, ketika dihadapkan dengan permasalahan yang ada di
masyarakat. Karena hukum tersebut bersifat statis, sedangkan perbuatan manusia bersifat
dinamis. Sehingga hukum digiring untuk bisa menyesuaikan dengan keadaan manusia dimasa
mendatang, karena akan terus mengalami perubahan dalam permasalahan yang baru di
kehidupan yang mendatang. Mengingat perkembangan masyarakat yang terus berubah
sangat dibutuhkan ketentuan hukum yang dapat mengakomodasi kebutuhan masyarakat
dengan tepat.

Hal tersebut bisa dirumuskan, karena;1

1. Ketentuan hukum memiliki sifat abstrak dan umum karena masih dalam bentuk
rumusan aturan yang belum jelas kejadian apa yang terjadi pada kenyataan dan masih
terbuka kemungkinan untuk diterapkan dalam berbagai kasus.
2. Sedangkan di sisi lain, kasus konkrit memiliki karakteristik yang sangat berlawanan
dengan ketentuan hukum. Kasus konkrit lebih bersifat riil dan khusus tentang kejadian
atau peristiwa yang benar-benar terjadi.

Solusi dari permasalaham tersebut, bisa didapatkan dengan adanya penafsiran-penafsiran


hukum yang mendekati dengan permasalahan yang baru tersebut. Penafsiran hukum
mempunyai peranan yang sangat penting dalam memahami ketentuan hukum yang berlaku.
penafsiran hukum memainkan peranannya sebagai jembatan penghubung antara ketentuan
hukum yang bersifat umum-abstrak dan kasus pidana yang bersifat konkrit-khusus.

Metode interpretasi memiliki karakteristik istimewa yaitu memperluas makna rumusan


Undang-undang dengan tetap berpegang pada maksud asli atau bunyi undang-undang.
Ketentuan yang menyatakan bahwa Hakim tidak boleh menolak perkara dengan alasan tidak
ada ketentuan hukum yang mengatur dengan jelas menekankan pentingnya penggunaan
metode penafsiran yang tepat dan sesuai dengan asas legalitas sehingga tidak menimbulkan
ketidakpastian hukum bagi salah satu pihak.

1
Hwian Christianto. Batasan dan Perkembangan Penafsiran Ekstensif dalam Hukum Pidana. Pamator, Volume
3, Nomor 2, Oktober 2010. Hal. 101.

2
Oleh karena itu, dengan memperhatikan latar belakang di atas dapat diajukan beberapa isu
hukum yang dapat dibahas, seperti:1) apa pengertian interpretasi; 2) apakah penafsiran sangat
penting? 2) bagaimana penemuan hukum oleh hakim pidana? 3) apa jenis jenis penafsiran? 4)
Dan bagaimana analogi hukun?.

PEMBAHASAN

Pengertian Penafsiran (Interpretasi) Hukum

Manurut Kamus Besar Bahasa Indonesia penafsiran diartikan sebagai proses, cara, perbuatan
menafsirkan, upaya untuk menjelaskan sesuatu arti yang kurang jelas.2 Secara etimologis,
penafsiran berasal dari kata "tafsir” yang diserap dari Bahasa Arab, fassara-yufassiru-
tafsiran, yang berarti penjelasan, pemahaman, dan perincian. Istilah ini kemudian diserap ke
dalam Bahasa Indonesia menjadi "tafsir. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah tafsir
adalah kata benda yang berarti keterangan atau penjelasan tentang ayat-ayat Al Qur'an agar
maksudnya lebih mudah dipahami.3

Sedangkan makna interpretasi adalah pemberian kesan, pendapat atau pandangan teoretis
terhadap sesuatu; tafsiran.4 Istilah "Interpretasi" itu sendiri berasal dari kata interpretation
yang berasal dari Bahasa Latin yang berarti pendapat dari ahli hukum Romawi (seorang
penafsir hukum, bukan advokat) yang tidak selalu muncul di pengadilan. Pendapat tersebut
pada awalnya tidak mengikat, tetapi seringkali dikutip.

Dalam kamus hukum Black's Law Dictionary penafsiran atau interpretation adalah proses
untuk menentukan apa yang dimaksud oleh sesuatu, khususnya hukum atau dokumen hukum;
dapat juga disebut sebagai proses penentuan makna. Hal yang sama dikemukakan pula oleh
James Nolan, bahwa Interpretation can be defined in a nutshell as conveying understanding,
bahwa manfaatnya berawal dari fakta bahwa makna yang dibawa oleh si pembicara yang
diungkapkan dalam bahasanya sendiri menjadi dipahami oleh si pendengar atau si pembaca.5

Pentingnya Penafsiran (Intrepetasi) Hukum

2
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online Edisi V.
3
Diah Imaningrum Susanti. Penafsiran Hukum Yang Komprehensif Berbasis Lingkar Hermeneutika. (IPHILS
(Indonesian Philosophical Studies), Malang: 2015). Hal. 2
4
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online Edisi V.
5
Diah Imaningrum Susanti. Penafsiran Hukum Yang Komprehensif Berbasis Lingkar Hermeneutika. Hal. 3-4.

3
Menafsirkan merupakan satu kemampuan dasar yang sangat penting bagi seorang hakim
dalam menangani suatu kasus yang diajukan kepadanya. Hakim harus mampu menafsirkan
suatu kasus hukum dengan benar sehingga diperoleh satu ketentuan hukum yang tepat
sebagai dasar untuk mengadili. Penafsiran yang dimaksud di sini bukanlah penafsiran secara
umum melainkan penafsiran yang secara khusus bertujuan untuk memahami hukum itu
sendiri yang disebut dengan penafsiran hukum (legal interpretation).6

Penafsiran hukum (legal interpretation) adalah sebuah pendekatan pada penemuan hukum
dalam hal peraturannya ada tetapi tidak jelas untuk dapat diterapkan pada peristiwanya.
Sebaliknya dapat terjadi juga hakim harus memeriksa dan mengadili perkara yang tidak ada
peraturannya yang khusus. Di sini hakim menghadapi kekosongan atau ketidaklengkapan
undang-undang yang harus diisi atau dilengkapi, sebab hakim tidak boleh menolak
memeriksa dan mengadili perkara dengan dalih tidak ada hukumnya atau tidaklengkap
hukumnya. Hakim menemukan hukum itu untuk mengisi kekosongan hukum tersebut.7

Penafsiran hukum (legal interpretation) senantiasa diperlukan dalam penerapan hukum


tertulis untuk menemukan dan membentuk hukum. Penemuan hukum merupakan kegiatan
untuk memperjelas tentang ketentuan-ketentuan hukum tertulis yang sudah ada, yang dapat
diberlakukan bagi suatu aspek kehidupan tertentu. Pembentukan hukum bertujuan untuk
membentuk, menyusun atau membangun hukum bagi aspek kehidupan tertentu yang belum
ada hukumnya. Penafsiran hukum hendaknya diikuti dengan penalaran hukum (legal
reasoning), yaitu upaya yang dilakukan untuk memberi alasan dan penjelasan hukum agar
hasil penafsiran hukum masuk akal dan dapat dipahami secara logika. Hasil penafsiran dan
penalaran hukum tersebut disampaikan dengan menggunakan argumentasi hukum yang
rasional agar kepastian hukum, keadilan, dan kebenaran dapat ditegakkan.8

Penafsiran merupakan metode untuk memahami makna yang terkandung dalam teks-teks
hukum untuk dipakai dalam menyelesaikan kasus-kasus atau mengambil keputusan atas hal-
hal yang dihadapi secara konkrit.9

6
Hwian Christianto. Batasan dan Perkembangan Penafsiran Ekstensif dalam Hukum Pidana. Hal. 102.
7
Afif Kholid. Penafsiran Hukum Oleh Hakim Dalam Sistem Peradilan Di Indonesia. Al Adl, Volume- VI
Nomor 11, Januari-Juni 2014. Hal. 10
8
Isharyanto dan Aryoko Abdurrachman. Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi (Studi terhadap Pengujian
Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air). (Halaman Moeka Publishing, Jakarta: 2016).
Hal. 17.
9
Afif Kholid. Penafsiran Hukum Oleh Hakim Dalam Sistem Peradilan Di Indonesia. Hal. 11.

4
Tidak semua metode penafsiran dapat disebut sebagai penafsiran hukum. Suatu metode
penafsiran dapat diakui sebagai penafsiran hukum jika dilakukan di dalam“kegiatan juridis”
Kegiatan juridis yang dimaksud di sini merupakan kegiatan berpikir untuk menemukan
hukum yang berlaku atas suatu kasus yang sedang terjadi. Dalam kaitan dengan hal ini maka
kegiatan juridis bagi seorang hakim adalah merupakan kegiatan berpikir dalam menentukan
putusan atau dalam menentukan hukumnya. Kegiatan juridis ini mempunyai ciri khusus yang
membedakan dengan kegiatan yang lainnya, sebab di dalam kegiatan ini terkandung suatu
kegiatan penalaran oleh hakim yang bersifat logis dan analitis. Kegiatan penalaran yang
bersifat logis berarti menuntut adanya kegiatan berpikir menurut suatu pola tertentu atau
menurut logika tertentu. Sedangkan kegiatan bersifat analitik menuntut kegiatan berpikir
yang menyandarkan diri kepada suatu analisis dan kerangka berpikir yang digunakan untuk
analisis adalah logika penalaran yang bersangkutan. Dari pemahaman ini dapat dipahami
bahwa kegiatan yuridis harus berisikan kegiatan berpikir yang logis dan analitis. Dikarenakan
pentingnya hal tersebut diatas, maka dalam setiap buku teks ilmu hukum lazim diuraikan
adanya berbagai metode penafsiran.

Penemuam Hukum Oleh Hakim Pidana

Proses mengadili suatu perkara, seorang hakim sebagai aparat penegak hukum yang
memeriksa, mengadili dan memutus perkara termasuk dalam hal ini perkara pidana, akan
selalu dihadapkan pada tugas untuk menilai bukti-bukti yang dihadapkan kepadanya
kemudian mendapatkan keyakinan dari hati nuraninya. Setelah itu, ia memberikan
pertimbangan dan putusan yang tepat bagi seorang terdakwa. Dalam memutus suatu perkara,
suatu masalah yang selalu dihadapi oleh hakim adalah kerap kali suatu hukum tertulis
ternyata tidak mampu menyelesaikan masalah yang dihadapi. Dalam kondisi seperti ini
seorang hakim dituntut untuk menemukan hukum dan atau menciptakan hukum untuk
melengkapi hukum yang telah ada dalam memutus suatu perkara. Hal ini didasarkan pula
pada asas bahwa hakim tidak boleh menolak suatu perkara dengan dalil hukumnya tidak
jelas.10

Menurut Sudikno Martokusumo sebagaimana yang dikutip oleh Rodrigo, bahawa penemuan
hukum diartikan sebagai proses pembentukan hukum oleh hakim, atau aparat hukum lainnya
yang ditugaskan untuk menerapkan peraturan hukum umum pada peristiwa hukum konkret.
Sedangkan, penerapan hukum adalah konkretisasi atau individualisasi peraturan hukum (das
10
Rodrigo Fernandes Elias. Penuemuan Hukum Dalam Proses Peradilan Pidana di Indonesia. Jurnal LPPM
Bidang EkoSosBudKum Volume 1 Nomor 1 Tahun 2014. Hal. 2-3.

5
Sollen) yang bersifat umum dengan mengingat akan peristiwa konkrit tertentu (das Sein).
Penemuan hukum dalam arti ini oleh van Eikema Hommes disebut sebagai pandangan
peradilan yang typis logicistic, di mana aspek logis analitis dibuat absolut, atau yang oleh
Wiarda disebut penemuan hukum heteronom.11

Penemuan hukum dilakukan dalam suatu kondisi tertentu. Dalam hal ini terdapat 2 (dua)
pendapat, yaitu pendapat dari penganut doktrin seins-clair yang menyatakan penemuan
hukum oleh hakim hanya dibutuhkan ketika: 1) tidak ditemukan peraturan untuk suatu kasus
yang konkrit, dan 2) peraturan yang ada belum/tidak jelas. Pendapat kedua menyatakan
hakim selalu dan tidak pernah tidak melakukan penemuan hukum. Dalam menghadapi setiap
kasus yang diajukannya, hakim selalu melakukan penemuan hukum dengan menerapkan
hukum yang bersifat abstrak ke dalam peristiwa konkret.12

Lanjut Rodrigo, beliau mengutip dari Achmad Ali, bahwa Ada beberapa jenis metode
penemuan hukum, yaitu:

1) Metode subsumtif, yaitu interpretasi terhadap teks undang-undang dengan sekedar


subsumtif ini adalah memasukkan peristiwanya dalam peraturan perundang-undangan.
2) Metode interpretasi formal atau disebut juga interpretasi otentik, yakni penjelasan
resmi yang diberikan undang-undang dan terdapat pada teks undang-undang tersebut.
3) Interpretasi gramatikal, yaitu menafsirkan kata-kata dalam undang-undang sesuai
kaidah bahasa dan kaidah hukum tata bahasa. Dalam metode ini hakim berusaha
menemukan makna kata dengan menelusuri kata mana yang oleh pembuat undang-
undang digunakan dalam mengatur peristiwa sejenis dan sekaligus menelusuri di
tempat mana lainnya dan dalam hubungan apa pembentuk undang-undang
menggunakan kata yang sama.
4) Interpretasi historis, yakni dengan melihat sejarah dan latar belakang pembentukan
undang-undang agar diketahui secara pasti tujuan dibentuknya peraturan.
5) Interpretasi sistematis, yaitu metode yang menafsirkan undang-undang atau peraturan
sebagai bagian dari keseluruhan sistem perundang-undangan yang terkait. Hakim
harus memahami seluruh bagian dari suatu peraturan yang mengatur terhadap suatu
peristiwa yang terkait, dan tidak boleh memisah-misahkannya. Demikian juga antara
undang-undang yang satu dengan undang-undang yang lain yang mempunyai
hubungan yang sama dan atau sejenis.
11
Rodrigo Fernandes Elias. Penuemuan Hukum Dalam Proses Peradilan Pidana di Indonesia. Hal. 4.
12
Rodrigo Fernandes Elias. Penuemuan Hukum Dalam Proses Peradilan Pidana di Indonesia. Hal 6.

6
6) Interpretasi sosiologis atau teleologis. Penafsiran ini merupakan penyesuaian antara
peraturan hukum dengan keadaan baru yang dibutuhkan dalam masyarakat.
7) Interpretasi komparatif membandingkan antara dua atau lebih aturan hukum terhadap
suatu peristiwa tertentu untuk diambil salah satu di antaranya yang lebih memenuhi
rasa keadilan, serta berkemanfaatan, dan berkepastian hukum.
8) Interpretasi futuris atau disebut juga interpretasi antisipatif, yaitu pemecahan yang
dilakukan dengan menggunakan peraturan-peraturan yang belum berlaku yang sedang
dalam proses pengundangan (Rancangan Undang-Undang).
9) Interpretasi restriktif, yaitu metode yang sifatnya membatasi, artinya peraturan
perundang-undangan itu tidak bisa diperluas karena sifatnya yang mutlak dan
terbatas.
10) Interpretasi ektensif, yaitu kebalikan dari metode restriktif, yaitu penafsiran yang
bersifat meluas, artinya apa yang disebut dalam undang-undang itu diperluas
maksudnya.menerapkan sillogisme. Terhadap intepretasi model ini ciri khas cara
berfikir sistem.

Metode penemuan hukum sebagaimana disebutkan di atas oleh Achmad Ali digolongkan ke
dalam penemuan hukum dengan interpretasi, karena masih berpegang pada teks undang-
undang. Sedangkan yang termasuk dalam konstruksi hukum yang dilakukan hakim dalam
menghadapi kekosongan atau ketidak sempurnaan undang-undang dapat dilakukan melalui
beberapa instrument, sebagai berikut:

a. Argumentum peran alogian, yaitu metode berfikir analogi.


b. Argumentum a contrario, yaitu jika undang-undang menetapkan hal tertentu untuk
suatu peristiwa tertentu, maka peraturan itu terbatas pada peristiwa tersebut.
c. Rechtsverfinding (penyempitan hukum) yaitu pengkonkretan hukum atau ada juga
yang menyebut penghalusan hukum atau penyulingan hukum.
d. Fiksi hukum, yaitu menciptakan sesuatu yang belum ada atau belum nyata, tetapi
untuk kepentingan hukum perlu diadakan atau dianggap ada.

Menurut pendapat Achmad Ali, dalam membedakan penemuan hukum adalah penemuan
hukum metode interpretasi dan penemuan hukum dengan metode konstruksi. Metode
interpretasi adalah penafsiran yang dilakukan hakim yang masih berpegang pada teks
undang-undang. Sedangkan metode konstruksi, seorang hakim menggunakan penalaran
logisnya untuk mengembangkan lebih jauh suatu teks undang-undang, dimana hakim tidak

7
lagi berpegang pada bunyi teks, tetapi dengan syarat hakim tidak mengabaikan hukum
sebagai suatu sistem.13

Dalam melakukan penafsiran suatu aturan hukum, hakim hendaknya mengacu pada beberapa
prinsip, yaitu:

a. Prinsip Objektivitas, yaitu prinsip yang mengisyaratkan bahwa penafsiran hendaknya


berdasarkan pada arti dan hakikat secara literal dari aturan hukum dan harus dibuat secara
jelas, sehingga dapat dipergunakan untuk perkembangan selanjutnya.

b. Prinsip Kesatuan, yaitu mengisyaratkan setiap norma hukum harus dibaca sebagai suatu
kesatuan teks yang tidak bisa dipisahkan/tidak terpisahkan.

c. Prinsip Genetis, yaitu mengisyaratkan dalam melakukan penafsiran hukum keberadaan


teks asli harus dijadikan pertimbangan utama, demikian pula dengan tata bahasa, budaya dan
kondisi sosial dari pembentukan hukum serta maksud dari perbuatan hukum.

d. Prinsip Perbandingan, yaitu mengisyaratkan dalam melakukan suatu penemuan hukum


perlu dilakukan perbandingan dengan teks hukum lainnya yang menyangkut hal yang sama di
suatu waktu.

Hakim dalam melakukan penemuan hukum yang mengacu pada keempat prinsip di atas,
maka akan melahirkan suatu putusan yang memberikan kepastian hukum, keadilan dan
kemanfaatan bagi masyarakat.14

Jenis-Jenis Penafsiran

Interpretasi atau penafsiran adalah cara mencari arti dan makna suatu peraturan perundang-
undangan. Penafsiran menurut para ahli hukum dapat dilakukan antara lain:

1. Interpretasi bahasa atau tata bahasa : (grammatikale intepretatie). Di sini ketentuan atau
kaidah hukum (tertulis) diartikan menurut arti kalimat atau bahasa sebagaimana diartikan
oleh orang biasa yang menggunakan bahasa secara biasa (sehari-hari). “Peralatan rumah
tangga” dan “alat angkutan” misalnya harus diartikan secara wajar dalam hubungannya
dengan perkara yang diperiksa pengadilan. Ini tidak menghalangi kemungkinan penggunaan
istilah yang lebih teknis bila hal itu diperlukan. Contoh : kendaraan (air) : Segala alat

13
Hartanto. Penemuan Hukum Dalam Peradilan Hukum Pidana dan Peradilan Hukum Perdata. Jurnal Hukum
POSITUM Vol. 1, No. 1, Desember 2016, Hal 56.
14
Hartanto. Penemuan Hukum Dalam Peradilan Hukum Pidana dan Peradilan Hukum Perdata. Hal. 57.

8
angkutan orang atau barang, yang bergerak dari suatu tempat ke tempat lain di atas atau di
bawah permukaan air.

2. Penafsiran Historis atau sejarah. Penafsiran cara ini adalah meneliti sejarah daripada
undang-undang yang bersangkutan. Penafsiran historis ini adalah 2 macam :

a. Penafsiran menurut sejarah pembuatan undang-undang (wetshistorische


interpretatie). Penafsiran wetshistorische ini juga dinamakan penafsiran sempit dan
hanya menyelidiki “apakah maksud pembuat undang-undang dalam menetapkan
peraturan perundang-undangan itu atau siapa yang membuat rancangan untuk undang-
undang, apa dasar-dasarnya, apa yang diperdebatkan dalam sidang-sidang DPR dan
sebagainya sehingga undang-undang itu dapat ditetapkan secara resmi.

b. Penafsiran menurut sejarah hukum (Rechtshistorische Interpretatie).Penafsiran


historis ini dinamakan penafsiran yang luas, karena penafsiran wetshistorisch
termasuk di dalamnya. Penafsiran menurut sejarah hukum ini menyelidiki apakah
asal-usul peraturan itu dari suatu sistem hukum yang dahulu pernah berlaku atau dari
sistem hukum lain yang sekarang masih berlaku atau dari sistem hukum lain yang
sekarang masih berlaku di negara lain, misalnya KUH Perdata yang berasal
daBurgerlijk Wetboek (BW) Negeri Belanda. BW ini berasal dari Code Civil Prancis
atau Code Napoleon. Masuknya Code Civil Prancis ke Negeri Belanda (BW)
berdasarkan asas kankordansi sama halnya dengan masuknya BW Negeri Belanda ke
Indonesia sebagai negara jajahan.

3. Penafsiran Sistematis. Yang dimaksud dengan penafsiran sistematis, ialah suatu penafsiran
yang menghubungkan pasal yang satu dengan pasal yang lain dalam suatu perundang-
undangan yang bersangkutan atau pada perundang-undangan hukum lainnya, atau membaca
penjelasan suatu perundang-undangan, sehingga kita mengerti apa yang dimaksud. Contoh :

- Pasal 1330 KUH Perdata mengemukakan tidak cakap untuk membuat perjanjian antara lain
orang-orang yang belum dewasa.Untuk mengetahui pengertian orang dewasa kita dapat
melihat ketentuan Pasal 330 KUH Perdata yang memberikan batas belum berumur 21 tahun,
akan tetapi meskipun belum berumur 21 tahun apabila telah kawin orang tersebut
dikualifikasikan telah dewasa. Jadi dalam hal ini ketentuan Pasal 1330 KUH Perdata
ditafsirkan secara sistematis dengan ketentuan Pasal 330 KUH Perdata.

9
4. Penafsiran Sosiologis. Penafsiran sosiologis ialah penafsiran yang disesuaikan dengan
keadaan masyarakat. Penafsiran sosiologis adalah penafsiran yang disesuaikan dengan
keadaan sosial yang di dalam masyarakat agar penerapan hukum dapat sesuai dengan
tujuannya ialah kepastian hukum berdasarkan asas keadilan masyarakat. Contoh penafsiran
sosiologis :

- Dalam pasal 362 KUH Pidana, ditegaskan larangan untuk mencuri barang kepunyaan orang
lain. Bunyi pasal 362 KUH Pidana sebagai berikut “Barangsiapa mengambil sesuatu barang
yang sama sekali atau sebagian termasuk kepunyaan orang lain, dengan maksud akan
memiliki barang itu dengan melawan hak, dihukum karena pencurian dengan hukuman
penjara selama-lamanya lima tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 900.”Apakah yang
dimaksud dengan barang itu ? Mula-mula pengertian barang ialah segala yang bisa dilihat,
diraba dan dirasakan secara riil. Waktu itu listrik tidak termasuk sebagai barang dan pencuri
listrik tidak dapat dihukum berdasarkan pasal 362 KUH Pidana. Kemudian penafsiran
sosiologis berlaku terhadap listrik yang dianggap sebagai barang, karena listrik itu
mempunyai nilai. Untuk mengadakan proyek perlistrikan diperlakukan penafsiran sosiologis
atas listrik, maka siapa yang mengkait kabel listrik PLN di jalan, dapat dikatakan melakukan
pencurian dan berlaku pasal 362 KUH Pidana.

5. Penafsiran Otentik . Penafsiran otentik atau penafsiran secara resmi (authentieke


interpretatie atau officieele interpretatie) ialah penafsiran secara resmi. Penafsiran yang
dilakukan oleh Pembuat Undang-Undang sendiri dapat diikuti dalam penjelasan Undang-
Undang sebagai lampiran dan tambahan Lembaran Negara dari Undang-Undang yang
bersangkutan.

6. Penafsiran Perbandingan (Komparatif). Penafsiran perbandingan ialah suatu penafsiran


dengan membandingkan antara hukum lama dengan hukum positif yang berlaku saat ini,
antara hukum nasional dengan hukum asing dan hukum kolonial.

- Hukum lama dengan hukum positif yang berlaku saat ini, mungkin hukum lama cocok
untuk diterapkan lagi pada masa sekarang ini. Umpamanya beberapa hukum dan asas hukum
adat, yang menggambarkan unsur kekeluargaan, dapat diambil untuk dijadikan hukum
nasional.

10
- Hukum nasional sendiri dengan hukum asing. Pada hukum nasional terdapat kekeurangan.
Apabila ada keinginan untuk mengambil hukum asing/negara lain apakah hukum asing itu
cocok dan sesuai dengan kepentingan nasional.15

7. Penafsiran Futuristis. Penafsiran futuristis adalah penafsiran hukumyang dilakukan dengan


mengacu kepada rancangan peraturan perundang-undangan yang akandiberlakukan di masa
yang akan datang. Sebagai contoh adalah penafsiran terhadap UU Nomor 4 Tahun 2009
tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara jo. UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dengan memperhatikan beberapa RPPdari
kedua UU yang akan diterbitkan.16

8. Teori penafsiran filosofis (what is philosophical thought behind the ideas formulated in the
text) Penafsiran dengan fokus perhatian pada aspek filosofis. Misalnya, ide Negara hukum
dalam Kostitusi dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun
1945 yang menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Contoh lain lagi
adalah rumusan ide demokrasi terpusat (centralized democrazy) dalam Konstitusi Cina.

9. Teori penafsiran holistik. Penafsiran ini mengaitkan suatu naskah hukum dengan konteks
keseluruhan jiwa dari naskah tersebut.

10. Teori penafsiran teleologis (what does the articles would like to achieve by the
formulated text). Penafsiran ini difokuskan pada penguraian atau formulasi kaidah-kaidah
hukum menurut tujuan dan jangkauannya. Tekanan tafsiran pada fakta bahwa pada kaidah
hukum terkandung tujuan atau asas sebagai landasan dan bahwa tujuan dan atau asas tersebut
mempengaruhi interpretasi. Dalam penafsiran demikian juga diperhitungkan konteks
kenyataan kemasyarakatan yang aktual.17

11. Penafsiran Antisipatif. Penafsiran ini dilakukan dengan cara merujuk RUU yang sudah
disiapkan untuk dibahas atau sedang dibahas dalam parlemen. Dengan cara ini sebenarnya
hakim melihat ke masa yang akan datang (forward looking). Dengan perkataan lain, hakim
dapat saja berpendirian bahwa penafsiran terhadap norma hukum yang dilakukannya
didasarkan atas penelahaan dari sudut pandang hukum baru.

15
Enju Juanda. Kontruksi Hukum dan Metode Intrepetasi Hukum. Volume 4, No. 2 September 2016. Hal. 162-
164.
16
Menurut pendapat Tommy Hendra Purwaka. Tommy Hendra Purwaka. Penafsiran, Penalaran, dan
Argumentasi Hukum Yang Rasional. MMH,Jilid40 No. 2 April 2011. Hal. 119.
17
Menurut pendapat Arif Sidharta, sebagaimana yang dikemukakan oleh Afif Kholid. Afif Kholid. Penafsiran
Hukum Oleh Hakim Dalam Sistem Peradilan Di Indonesia. Hal.14.

11
12. Penafsiran Evolutif-Dinamis. Penafsiran ini dilakukan karena ada perubahan pandangan
masyarakat dan situasi kemasyarakatan. Makna yang diberikan kepada suatu norma bersifat
mendobrak perkembangan setelah diberlakukannya hukum tertentu. Salah satu cirri penting
penafsiran ini ialah pengabaian maksud pembentuk undang-undang. Makna obyektif atau
aktual maupun subyektif dari suatu norma sama sekali tidak berperan lagi.18

13. Fituristis (antisipatif). Penafsiran dengan mengacu kepada rumusan dalam rancangan
undang-undangan atau rumusan yang di cita-citakan (ius constituendum). Contoh: rumusan
“wilayahpesisir” ditafsirkan sebagai “Kawasanperairan yang menghubungkan ekosistemdarat
dan laut, yang sangat rentan terhadapperubahan akibat aktivitas manusia di daratdan dilaut,
secara geografis kea rah daratsejauh pengaruh dari darat, seperti air sungai,sedimen, dan
pencemaran dari darat,” Menurut Pasal 1 Butir 3 RUU PengelolaanWilayah Pesisir. Apabila
RUU ini sudah diundangkan, maka penafsirannnya tidak dapat lagi dikatakan futuristis.

14. Restriktif. Penafsiran dengan membatasi cakupan suatu ketentuan. Contoh: istilah “
menteri yang ditugasi untuk mengelola lingkungan hidup” dalam Pasal 1 Butir 25 UU No. 23
Tahun 1997 tentang pengelolaan Lingkungan Hidup, hanya ditafsirkan sebagai Menteri
Negara lingkungan Hidup.

15. Ekstensif. Penafsiran dengan memperluas cakupan suatu ketentuan. Contoh:


istilah”menteri yang ditugasi untuk mengelola lingkungan hidup” dalam Pasal 1 Butir 25 UU
No. 23 Tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup, ditafsirkan secara luas mencakup
semua mentri yang bidang tugasnya bersinggungan langsung dengan lingkungan hidup, yaitu
Mentri Negara Lingkungan Hidup dan mentri-mentri teknis terkait pada cabinet tersebut
(contoh Menteri Kehutanan, Mentri Pertambangan, Menteri Pertanian, Menteri Kelautan dan
Perikanan).19

Penafsiran Analogi

Penafsiran analogi adalah memberi penafsiran pada suatu peraturan hukum dengan memberi
persamaan pada kata-kata dalam peraturan tersebut sesuai dengan azas hukumnya sehingga
suatu peristiwa yang sebenarnya tidak masuk kedalamnya di anggap sesuai dengan peraturan
tersebut, yang di maksud penafsiran analogi ialah memperluas cakupan atau pengertian dari
ketentuan undang-undang. Analogi sangat erat hubungannya dengan penguraian pasal 1

Menurut pendapat Utrech, sebagaimana yang dikemukakan oleh Afif Kholid. Afif Kholid. Penafsiran Hukum
18

Oleh Hakim Dalam Sistem Peradilan Di Indonesia. Hal.18-19.

19
Siti Mawar. Metode Penemuan Hukum (interpretasi dan kontruksi) Dalam Rangka Harmonisasi Hukum.

12
KUHP. Dari ketentuan pasal 1 KUHP di simpulkan bahwa salah satu asas yang terkandung di
dalamnya adalah :” dilarang menggunakan analogi”.

Penafsiran analogi telah menimbulkan perdebatan para yuris, menentang dan menerima
penafsiran analogi. Secara ringkas penafsiran analogi adalah apabila terhadap suatu perbuatan
yang pada saat di lakukannya tidak merupakan tindak pidana, di terapkan ketentuan hukum
pidana yang berlaku untuk tindak pidana yang lain serta mempunyai sifat dan bentuk yang
sama dengan perbuatan tersebut, sehingga kedua perbuatan tersebut di pandang analogi satu
dengan yang kainnya.

Menurut Andi Hamzah, ada dua macam analogi, yaitu: Gesetz Analogi ialah analogi terhadap
perbuatan yang sama sekali tidak ada dalam hukum pidana. Recht Analogi ialah analogi
terhadap perbuatan yang mempunyai kemiripan dengan perbuatan yang dilarang dalam
ketentuan hukum pidana.

Ada alasan yang di kemukakan oleh pihak yang menyetujuai adanya penafsiran analogi yaitu
perkembangan masyarakat yang sangat cepat seingga hukum pidana harus berkembang sesuai
dengan masyarakat tersebut. Sementara yang menentang adanya penafsiran analogi ini
beralasan bahwa penerapan analogi sangat berbahaya karena dapat menyebabkan ketidak
pastian hukum dalam masyarakat.20

Hakim dalam melakukan undang-undang secara analogi harus berhati-hati dalam


penggunaannya, oleh karena itu terdapat hal-hal yang harus diperhatikan sebagai berikut:21

a. Apabila antara perkara yang dihadapi dan perkara yang diatur oleh undang-undang
cukup persamaannya sehingga penerapan asas yang sama dapat
dipetanggungjawabkan serta tidak bertentangan dengan asas keadilan.
b. Apabila keadilan yang tertarik dari analogi hukum itu serasi dan cocok dengan sistem
serta maksud perundang-undangan yang ada.
Dengan demikian tujuan melakukan secara analogi adalah untuk mengisi kekosongan norma
dalam undang-undang sehingga dapat diwujudkan tujuan hukum.

KESIMPULAN

20
Maizul Imran. Qiyas dan Analogi Hukum (Suatu Telaah dan Perbandingannya dalam Penemuan Hukum).
ALHURRIYAH : Jurnal Hukum Islam. Vol. 02 , No. 01., Januari-Juni 2017. Hal. 104-105.
21
Lucky Endrawati. Rekonstruksi Analogi Dalam Hukum Pidana Sebagai Metode Penafsiran Hukum
Untuk Pembaharuan Hukum Pidana Dengan Pendekatan Aliran Progresif. Hermeneutika. Volume 2, nomor 1,
Februari 2018. Hal. 90-91.

13
Penafsiran hukum (legal interpretation) adalah sebuah pendekatan pada penemuan hukum
dalam hal peraturannya ada tetapi tidak jelas untuk dapat diterapkan pada peristiwanya.
Sebaliknya dapat terjadi juga hakim harus memeriksa dan mengadili perkara yang tidak ada
peraturannya yang khusus. Di sini hakim menghadapi kekosongan atau ketidaklengkapan
undang-undang yang harus diisi atau dilengkapi, sebab hakim tidak boleh menolak
memeriksa dan mengadili perkara dengan dalih tidak ada hukumnya atau tidaklengkap
hukumnya. Hakim menemukan hukum itu untuk mengisi kekosongan hukum tersebut.

Penafsiran hukum (legal interpretation) senantiasa diperlukan dalam penerapan hukum


tertulis untuk menemukan dan membentuk hukum. Penemuan hukum merupakan kegiatan
untuk memperjelas tentang ketentuan-ketentuan hukum tertulis yang sudah ada, yang dapat
diberlakukan bagi suatu aspek kehidupan tertentu. Pembentukan hukum bertujuan untuk
membentuk, menyusun atau membangun hukum bagi aspek kehidupan tertentu yang belum
ada hukumnya. Penafsiran hukum hendaknya diikuti dengan penalaran hukum (legal
reasoning), yaitu upaya yang dilakukan untuk memberi alasan dan penjelasan hukum agar
hasil penafsiran hukum masuk akal dan dapat dipahami secara logika. Hasil penafsiran dan
penalaran hukum tersebut disampaikan dengan menggunakan argumentasi hukum yang
rasional agar kepastian hukum, keadilan, dan kebenaran dapat ditegakkan.

DAFTAR PUSTAKA

Christianto, Hwian. Batasan dan Perkembangan Penafsiran Ekstensif dalam Hukum Pidana.
Pamator, Volume 3, Nomor 2, Oktober 2010.

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online Edisi V.

Susanti, Diah Imaningrum. Penafsiran Hukum Yang Komprehensif Berbasis Lingkar


Hermeneutika. (IPHILS (Indonesian Philosophical Studies), Malang: 2015).

Kholid, Afif. Penafsiran Hukum Oleh Hakim Dalam Sistem Peradilan Di Indonesia. Al Adl,
Volume- VI Nomor 11, Januari-Juni 2014.

Isharyanto dan Aryoko Abdurrachman. Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi (Studi terhadap
Pengujian Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air). (Halaman Moeka
Publishing, Jakarta: 2016).

14
Fernandes Elia, Rodrigos. Penuemuan Hukum Dalam Proses Peradilan Pidana di Indonesia.
Jurnal LPPM Bidang EkoSosBudKum Volume 1 Nomor 1 Tahun 2014.

Hartanto. Penemuan Hukum Dalam Peradilan Hukum Pidana dan Peradilan Hukum
Perdata. Jurnal Hukum POSITUM Vol. 1, No. 1, Desember 2016,

Juanda, Enju. Kontruksi Hukum dan Metode Intrepetasi Hukum. Volume 4, No. 2 September
2016.

Hendra Purwaka, Tommy. Penafsiran, Penalaran, dan Argumentasi Hukum Yang Rasional.
MMH,Jilid40 No. 2 April 2011.

Maizul Imran. Qiyas dan Analogi Hukum (Suatu Telaah dan Perbandingannya dalam
Penemuan Hukum). ALHURRIYAH : Jurnal Hukum Islam. Vol. 02 , No. 01., Januari-Juni
2017. Hal. 104-105.

Lucky Endrawati. Rekonstruksi Analogi Dalam Hukum Pidana Sebagai Metode Penafsiran
Hukum Untuk Pembaharuan Hukum Pidana Dengan Pendekatan Aliran Progresif.
Hermeneutika. Volume 2, nomor 1, Februari 2018. Hal. 90-91.

15

Anda mungkin juga menyukai