Anda di halaman 1dari 11

TUGAS UJIAN TENGAH SEMESTER (UTS)

MATA KULIAH KONSELING LINTAS BUDAYA


“KONSELOR LINTAS LINTAS BUDAYA “
Dosen Pembimbing Agus Wibowo M.Pd

Disusun Oleh:

NAMA : IRVAN HERMAWANTO


NPM : 12130005

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH METRO


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
PRODI BIMBINGAN DAN KONSELING
2015
Kemampuan Konselor Dalam Konseling Lintas Budaya

A. Konseling Lintas Budaya


Sebelum membahas mengenai konselor konseling lintas budaya, terlebih
dahulu saya uraiakan sedikit mengenai pengertian budaya, budaya dapat
diartikan sebagai hasil budi manusia, hasil perjuangan manusia terhadap dua
pengaruh yang kuat, yakni alam dan jaman (kodrat dan masyarakat), dalam
mana terbukti kejayaan hidup manusia untuk mengatasi berbagai rintangan dan
kesukaran didalam hidup penghidupannya, guna mencapai keselamatan dan
kebahagiaan, yang pada lahirnya bersifat tertib dan damai. Budaya adalah gaya
hidup yang unik suatu kelompok manusia tertentu. Budaya adalah bagian
lingkungan yang dibuat oleh manusia. Selanjutnya manusia menjadi pelaku
budaya itu sendiri. Fenomena budaya ada di mana-mana. Hampir seluruh
dimensi perilaku manusia merupakan dimensi budaya. Fenomena tumbuh
melalui makhluk yang berbahasa, dan berkembang ketika manusia berinteraksi
dengan lingkungan. Tidak sedikit akibat yang dimunculkan ketika manusia
memperlakukan lingkungannya menurut persepsi yang berbeda. Dari gejala ini
timbul bermacam-macam usaha manusia untuk mempertahankan lingkungan
budayanya. Keinginan untuk mempertahankan ini dapat dilihat baik dalam satuan
perilaku manusia selaku individu maupun melalui perilaku komunitas. Tidak
jarang terjadi konflik ketika perilaku itu berinteraksi dengan perilaku lain yang
dilatarbelakangi oleh sistem berpikir, budaya dan nilai yang berbeda satu sama
lain.Di pandang dari perspektif lintas budaya , konseling dapar diartikan sebuah
‘perjumpaan kultural’ (cultural encounter) antara konselor dengan klien. Oleh
karena itu Konseling lintas budaya mempunyai arti yaitu suatu hubungan
konseling dimana dua peserta atau lebih, berbeda dalam latar belakang budaya,
nilai nilai dan gaya hidup.
Asumsi dasar konseling lintas budaya adalah bahwa individu yang terlibat
dalam konseling itu hidup dan terbentuk oleh lingkungan budaya, baik keluarga
maupun masyarakat. Perbedaaan yang dimiliki sebenarnya meliputi berbagai
macam hal misalnya agama, jenis kelamin, pekerjaan, suku bangsa, bahasa dan
lainnya. Disamping itu faktor masyarakat menjadi hal yang penting dalam
pembentukan individu. Untuk itu dapat disimpulkan bahwa perbedaan antara
konselor dan klien bukan hanya mencakup bangsa tetapi juga mencakup aspek
kebudayaan yang luas.

2
B. Konselor Konseling Lintas Budaya
konseling lintas budaya sebagai suatu proses konseling yang melibatkan
antara konselor dan klien yang berbeda budayanya, dan dilakukan dengan
memperlihatkan budaya subyek yang terlibat dalam konseling. untuk itu konselor
diharapkan mengetahui aspek-aspek khusus dalam proses konseling dan dalam
gaya konseling, agar proses pendampingan menjadi sangat terampil dan efektif.
konseling lintas budaya juga akan terjadi jika antara konselor dan klien
mempunyai perbedaan. Dalam konseling lintas budaya klien dan konselor
mempunyai perbedaan budaya yang sangat mendasar. Perbedaan budaya itu
bisa mengenai nilai-nilai, keyakinan, perilaku dan lain sebagainya. Perbedaan ini
muncul karena antara konselor dan klien berasal dari kultur budaya yang
berbeda. Perbedaan ini muncul karena antara konselor dan klien berasal dari
budaya yang berbeda dan dalam kegiatan sehari-hari, konselor akan
berhadapan dengan klien yang berbeda latar belakang sosial budayanya.
Dalam proses konseling akan terjadi suatu proses belajar, tranferensi dan
kounter-transferensi, dan saling menilai. Dari segi konselor, ketepatan inferensi
ini yang kemudian mendasari tindakannya dalam konseling akan tergantung
pada kemampuan pemahamannya secara utuh terhadap klien.
Dilihat Dari segi klien, ketepatan inferensi merujuk pada pola-pola
perilaku yang dimiliki sebelumnya, Masalah akan timbul manakala ada
perbedaan antara persepsi dan nilai-nilai yang menjadi keyakinan kedua belah
pihak, hal ini dapa terjadi karena ketidakpekaan konselor terhadap latar belakang
budaya klien.
Penerapan konseling lintas budaya mengharuskan konselor peka dan
tanggap terhadap adanya keragaman budaya dan adanya perbedaan budaya
antar klien yang satu dengan klien lainnya, dan antara konselor sendiri dengan
kliennya. Konselor harus sadar akan implikasi diversitas budaya terhadap proses
konseling. Budaya yang dianut sangat mungkin menimbulkan masalah dalam
interaksi sosial manusia dalam kehidupan sehari-hari. Masalah tersebut dapat
muncul akibat interaksi individu dengan lingkungannya. Sangat mungkin masalah
terjadi dalam kaitannya dengan unsur-unsur kebudayaan, yaitu budaya yang
dianut oleh individu, budaya yang ada di lingkungan individu, serta tuntutan-
tuntutan budaya lain yang ada di sekitar individu tersebut. Manusia tidak dapat
terlepas dari budaya, keduanya saling memberikan pengaruh yang cukup besar.
Pengaruh budaya terhadap kepribadian individu akan terlihat pada perilaku atau

3
tingkah laku yang ditampilkan. Oleh karena itu dalam proses konseling tidak
dapat dihindari adanya keterkaitan unsur-unsur budaya. Keragaman budaya
dapat menimbulkan konsekuensi munculnya etnosetrisme dan kesulitan dalam
berkomunikasi.

Konselor lintas budaya hendaknya dapat melakukan tugasnya secara efektif,


maka untuk itu konselor perlu memahami bagaimana dirirnya sendiri dan diri
klien atau konseli. Sikap konselor dalam melaksanakan hubungan konseling
akan menimbulkan perasaan-perasaan tertentu pada diri klien, dan akan
menentukan kualitas dan keefektifan proses konseling. Oleh karena itu, konselor
dapat menghormati sikap klien, termasuk nilai-nilai agama, budaya,
kepercayaan, dan lain sebagainya. Selain itu Konselor harus pandai dalam
memahami persoalan-persoalan konseli yang memiliki pandangan berbeda-
beda. Keadaan yang ada pada konseli itu juga terjadi pada konselor, namun
karena posisi konselor sebagai helper, maka konselor harus memiliki kesadaran
diri. Tidak mudah bagi konselor untuk melakukan hal tersebut, untuk itu konselor
harus menerapkan pendekatan-pendekatan dalam prosos konseling lintas
budaya.
Konselor yang efektif adalah konselor yang dapat mengadaptasikan
model-model, teori-teori, atau teknik konseling dengan kebutuhan individu yang
unik dari masing-masing konseli. Dalam konseling lintas budaya memerlukan
pengenalan tentang :
1. pentingnya anggota kelompok ras/etnis bagi sosialisasi konseli,
2. pentingnya dan uniknya individu,
3. adanya dan tempat nilai-nilai dalam proses konseling, dan
4. keunuikan gaya belajar, tujuan pekerjaan, dan tujuan hidup konseli.

Maka dari itu konseling lintas budaya dapat terjadi antara konselor dan
klien yang mempunyai perbedaan maupun dari segi nilai-nilai, keyakinan,
perilaku dan sebagainya.
Sehingga dalam proses konseling lintas budaya ini konselor seharusnya :

1. Memahami nilai-nilai pribadi serta asumsinya tentang perilaku manusia


dan mengenali bahwa tiap manusia berbeda.
2. Sadar bahwa tidak ada yang netral secara politik dan moral.
3. Dapat berbagi pandangan tentang dunia klien dan tidak tertutup.

4
Berdasarkan pengertian tentang konseling lintas budaya di atas, aspek-
aspek yang harus ada dan diperhatikan dalam melaksanakan konseling lintas
budaya adalah sebagai berikut:

1. Latar belakang budaya yang dimiliki oleh konselor


2. Latar belakang budaya yang dimiliki oleh klien
3. Asumsi-asumsi terhadap masalah yang dihadapi selama konseling
4. Nilai-nilai yang mempengaruhi hubungan dalam proses Konseling

Adapun beberapa faktor yang menjadi penghambat dalam pelaksanaan


konseling lintas budaya, faktor-faktor yang dimaksud diantaranya adalah :

1. Bahasa

Perbedaan bahasa merupakan penghambat besar yang perlu


diperhatikan dalam konseling lintas budaya. Hambatan ini bisa dijumpai jika
konselor menghadapi klien yang kemungkinan menguasai bahasa lain,
tingkat penguasaan budayanya kurang, sering konselor menguasai bahasa
daerahnya disamping bahasa Indonesia.
2. Nilai

Nilai ikatan budaya merupakan suatu penghambat pada konseling


lintas budaya. Misalnya perbedaan nilai budaya tentang sikap terbuka,
pengungkapan diri, pembukaan diri antara nilai yang ada pada konselor
dengan nilai klien. tidak sedikit terdapat perbedaan nilai yang ada pada
konselor dan nilai-nilai yang dianut oleh klien. Klien menganut nilai-nilai dari
kehidupan keluarganya itupun masih sering terdapat kesenjangan nilai
dengan orang tua apalagi dengan konselor yang merupakan orang lain bagi
klien, maka kesenjangan nilai sering terjadi.

3. Stereotipe

Stereotipe adalah opini atau pendapat yang terlalu disederhanakan.


Stereotipe merupakan generalisasi mengenai orang-orang dari kelompok
lain, dimana seseorang memberi definisi terlebih dahulu kemudian baru
mengamati. Stereotipe meruapakan kendala konseling (termasuk hambatan
sikap) karena terbentuk secara lama dan berakar sehingga sulit untuk
diubah. Hal ini dapat dipahami karena stereotipe itu sebagai hasil belajar,

5
sehingga makin lama belajar makin sulit diubah. Lebih-lebih menjadi kendala
jika konselor dihinggapi stereotipe, apalagi klien juga punya stereotipe, dan
keadaannya berlawanan. Ungkapan-ungkapan stereotipe misalnya orang
Solo itu halus, Madura itu keras, anak itu malas, anak itu badung. Stereotipe
itu bisa berupa kelompok dan bisa perorangan.

4. Kelas Sosial

Di salam masyarakat terdapat kelas sosial atas (atas-atas, atas-


menengah, atas-bawah); Menengah (Menengah-atas, menengah-
menengah, menengah-bawah); dan bawah (Bawah-atas, bawah-menengah,
bawah-bawah). Pada proses konseling, tingkat perbedaan antara
pengalaman antara konselor dengan klien, persepsi dan wawasan mereka
terhadap dunia dapat merupakan hambatan besar. Konselor dari kelas sosial
menengah mungkin kurang paham terhadap kebiasaan klien dan kelas
sosial bawah atau atas.

5. Suku atau Bangsa

Perbedaan suku seringkali merupakan penghambat proses konseling,


karena masing-masing suku memiliki kebiasaan dan budaya yang berbeda,
hal ini yang perlu dipahami oleh konselor.

6. Jenis Kelamin

Perbedaan jenis kelamin antara konselor dengan klien juga merupakan


penghambat proses konseling. Apalagi diantara mereka terhinggapi
stereotipe terhadap jenis kelamin tertentu. Misalnya, konselor pria
mempunyai stereotipe terhadap klien wanita yang mudah terpengaruh dan
mudah emosi. Sedangkan Klien pria mempunyai stereotipe terhadap
konselor wanita yang tidak tegas. Sebaliknya, klien wanita menganggap
konselor pria yang tidak dapat memahami perasaannya, karena pada
dasarnya pria itu banyak menggunakan rasionya.

7. Usia

6
Proses konseling tidak hanya untuk anak-anak usia remaja.
Perkembangan berikutnya konseling melayani segala usia, dari anak-anak
sampai usia tua. Masing-masing periode perkembangan (usia) memiliki
karakteristik yang berbeda, yang harus dipahami terutama oleh konselor.
Usia merupakan penghambat karena pada dasarnya pada usia tertentu ada
kebutuhan, karakteristik, atau hal-hal yang perlu dipahami oleh konselor.
Misalnya, konselor yang masih muda membantu klien yang lebih tua
usianya. Hal ini bukan berarti tidak ada problem bagi konselor yang melayani
anak-anak usia muda.

8. Keadaan Orang-orang Cacat

Keadaan orang cacat merupakan penghambat bagi proses konseling.


Keadaan cacat yang dimiliki seseorang akan memperngaruhi perilaku, sikap,
kepekaan perasaan, dan reaksinya terhadap lingkungan.

9. Gaya Hidup

Gaya hidup dapat dibagi menjadi gaya hidup tradisional, dengan


perkawainan dan anak-anak, dan gaya hidup alternatif yang kadang-kadang
dan seringkali tidak diakui oleh masyarakat luas. Gaya hidup alternatif
misalnya hidup sendiri, perkawainan tanpa anak, hidup bersama tanpa
pernikahan, hidup sederhana tanpa harta benda. Ada banyak gaya hidup
yang merupakan penghambat proses konseling, terutama gaya hidup
alternatife yang sulit dimengerti dan diterima oleh masyarakat umum
termasuk konselor.

Untuk menghadapi faktor – faktor yang menghambat diatas, dasar-dasar


utama pribadi konselor agar dapat melaksanakan konseling lintas budaya
dengan efektif , yaitu :

1. Congruence

Konselor harus genuine, integrated, dan whole person dimana ia


berusaha menjadi dirinya yang utuh dalam setiap setting sosial artinya pada
saat ia menjadi konselor ia akan mampu memanfaatkan bagian dari dirinya
yang relevan dengan peranannya sebagai konselor.

7
2. Empati

Kemampuan konselor untuk merasakan apa yang klien rasakan


bahkan konselor mampu membayangkan seandainya ia yang berada pada
posisi klien mengakibatkan terciptanya hubungan sosioemosinal yang dalam
dan itu membuat klien dapat bercerita dengan sukarela dan terbuka
mengenai dirinya bahkan yang menjadi rahasinya.

3. Unconditional positive regard


Menerima keadaan klien secara utuh tanpa memberikan penilaian
apapun terhadap keberadaan dan prilaku klien. Konselor berusaha berpikir
positif memahami dunia klien apa adanya tanpa adanya kritikkan yang akan
membuat klien membangun mekanisme pertahanan diri yang kuat, sehingga
menciptakan rasa aman yang membuat klien bisa memahami masalahnya
secara utuh.

Seorang konselor konseling lintas budaya juga harus mempunyai


karakteristik yang mantap agar melaksanakan konseling lintas budaya dapat
berjalan efektif. Adapun karakteristiknya antara lain :

1. Konselor lintas Budaya sadar terhadap nilai-nilai pribadi yang dimiliki dan
asumsi-asumsi terbaru tentang prilaku manusia
2. Konselor sadar bahwa dia memiliki nilai-nilai sendiri yang dijunjung tinggi
dan akan terus dipertahankan. Disisi lain, konselor juga menyadari bahwa
klien memiliki nilai-nilai dan norma yang berbeda dengan dirinya. Oleh
karena itu, konselor harus bisa menerima nilai-nilai yang berbeda itu
sekaligus mempelajarinya.
3. Konselor lintas budaya sadar terhadap karakteristik konseling secara
umum. Konselor memiliki pemahaman yang cukup mengenai konseling
secara umum sehingga akan membantunya dalam melaksanakan
konseling, sebaiknya konselor sadar terhadap pengertian dan kaidah
dalam melaksanakan konseling. Hal ini sangat perlu karena pengertian
terhadap kaidah konseling akan membantu konselor dalam memecahkan
masalah yang dihadapi oleh klien.
4. Konselor lintas budaya harus mengetahui pengaruh kesukuan dan
mereka mempunyai perhatian terhadap lingkungannya. Konselor dalam
melaksanakan tugasnya harus tanggap terhadap perbedaan yang

8
berpotensi untuk menghambat proses konseling. Terutama yang
berkaitan dengan nilai, norma dan keyakinan yang dimiliki oleh suku
agama tertentu. Untuk mencegah timbulnya hambatan tersebut, maka
konselor harus mau belajar dan memperhatikan lingkungan di mana dia
melakukan praktik, baik agama maupun budayanya. Dengan
mengadakan perhatian atau observasi, diharapkan konselor dapat
mencegah terjadinya rintangan selama proses konseling.
5. Konselor lintas budaya tidak boleh mendorong klien untuk dapat
memahami budaya dan nilai - nilai yang dimiliki konselor. Untuk hal ini
ada aturan main yang harus ditaati oleh setiap konselor. Konselor
mempunyai kode etik konseling, yang secara tegas menyatakan bahwa
konselor tidak boleh memaksakan kehendaknya kepada klien. Hal ini
mengimplikasikan bahwa sekecil apapun kemauan konselor tidak boleh
dipaksakan kepada klien. Klien tidak boleh diintervensi oleh konselor
tanpa persetujuan klien.
6. Konselor lintas budaya dan agama dalam melaksanakan konseling harus
mempergunakan pendekatan ekletik. Pendekatan ekletik adalah suatu
pendekatan dalam konseling yang mencoba untuk menggabungkan
beberapa pendekatan dalam konseling untuk membantu memecahkan
masalah klien. Penggabungan ini dilakukan untuk membantu klien yang
mempunyai perbedaan gaya dan pandangan hidup. Untuk itu konselor
harus memiliki wawasan keilmuan yang luas.

Dapat disimpulkan dari pemaparan diatas, Dalam proses konseling lintas


budaya seorang konselor perlu memperhatikan kebudayaan yang ada pada
konselinya demi memperlancar proses konseling tersebut, sebab konselor yang
tidak dapat menyesuaikan dirinya dengan budaya yang dimiliki oleh konseli maka
keefektifitasan konseling lintas budaya menjadi tidak efektif , yang dapat
mengakibatkan proses konseling terganggu. Untuk dapat memperhatikan
kebudayan konseli , konselor harus memiliki pribadi yang peka atau sensitif
terhadap keadaan konseli.
Kemampuan konselor dalam konseling lintas budaya sangat dibutuhkan ,
sebab konseling lintas budaya akan berjalan efektif bila konselor memiliki
kemampuan (skill) dan pribadi yang mantap atau sensitifitas terhadap klien

9
DAFTAR PUSTAKA

Boy Soedarmadji, Konseling lintas Budaya,

10
https://irvanhermawanto.blogspot.co.id

Prayitno. 1987. Profesionalisasi Konseling dan Pendidikan Konselor. Jakarta:


Depdikbud.

Yusuf, Yusmar. Psikologi Antar Budaya. Bandung: Remaja Rosdakarya


www.boy_soedarmadji.wordPress.com

11

Anda mungkin juga menyukai