KESYARAFAN KEJANG
DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 7
2021/2022
VISI DAN MISI
VISI
DIPLOMA IV KEPERAWATAN
MISI
DIPLOMA IV KEPERAWATAN
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah
wawasan serta pengetahuan kita. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam
tugas ini terdapat kekurangan-kekurangan dan jauh dari apa yang kami harapkan. Untuk
itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan di masa yang akan
datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa sarana yang membangun.
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Mengidentifikasi faktor faktor yang mempengaruhi kejadian epilepsi
2. Tujuan Khusus
a. Menganalisis faktor jenis kelamin terhadap kejadian epilepsi
intraktabel pada pasien epilepsi
b. Menganalisis faktor komplikasi perinatal terhadap kejadian epilepsi
c. Menganalisis faktor etiologi epilepsi terhadap kejadian epilepsi
d. Menganalisis faktor adanya abnormalitas pada pemeriksaan
neurologi terhadap kejadian epilepsi
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi
Epilepsi adalah Cetusan listrik lokal pada substansia grisea otak yang
terjadi sewaktu-waktu, mendadak, dan sangat cepat yang dapat mengakibatkan
serangan penurunan kesadaran, perubahan fungsi motorik atau sensorik,
perilaku atau emosional yang intermiten dan stereotipik. Pelepasan aktifitas
listrik abnormal dari sel-sel neuron di otak terjadi karena fungsi sel neuron
terganggu. Gangguan fungsi ini dapat berupa gangguan fisiologik, biokimia,
anatomi dengan manifestasi baik lokal maupungeneral.
Epilepsi adalah suatu kelainan di otak yang ditandai adanya bangkitan
epileptik yang berulang (lebih dari satu episode). International League Against
Epilepsy (ILAE) dan International Bureau for Epilepsy (IBE) pada tahun 2005
merumuskan kembali definisi epilepsi yaitu suatu kelainan otak yang ditandai
oleh adanya faktor predisposisi yang dapat mencetuskan bangkitan epileptik,
perubahan neurobiologis, kognitif, psikologis, dan adanya konsekuensi sosial
yang diakibatkannya. Definisi ini membutuhkan sedikitnya satu riwayat
bangkitan epileptik sebelumnya. Sedangkan bangkitan epileptik didefinisikan
sebagai tanda dan / gejala yang timbul sepintas (transien) akibat aktivitas
neuron yang berlebihan atau sinkron yang terjadi diotak.
Terdapat beberapa elemen penting dari definisi epilepsi yang baru
dirumuskan oleh ILAE dan IBE yaitu:
B. Manifestasi klinis
Epilepsi Kejang demam biasanya terjadi pada awal demam. Umumnya
serangan kejang tonik-klonik, awalnya dapat berupa menangis, kemudian tidak
sadar dan timbul kekakuan otot. Selama fase tonik, mungkin disertai henti nafas
dan inkontinensia. Kemudian diikuti fase klonik berulang, ritmik dan akhirnya
anak setelah kejang letargi atau tidur. Bentuk kejang lain dapat juga terjadi
seperti mata terbalik ke atas dengan disertai kekakuan atau kelemahan,
gerakansentakanberulang tanpa didahului kekakuan, atau hanya hentakan atau
kekakuan fokal.
Serangan kejang terjadi dalam 24 jam pertama sewaktu demam,
berlangsung singkat dengan sifat bengkitan dapat berbentuk tonik, klonik, tonik-
klonik, fokal atau akinetik. Pada kejang demam sederhana, umumnya kejang
berhenti sendiri, setelah kejang berhenti anak tidak memberikan reaksi apapun
untuk sejenak, tetapi setelah beberapa detik atau menit anak akan sadar kembali
tanpa adanya kelainan saraf. Sedangkan pada kejang demam kompleks dapat
disertai hemiparesis, kemudian dapat pula berkembang menjadi status
epileptikus.
C. Etiologi
Epilepsi merupakan salah satu penyakit saraf kronik kejang berulang
yang muncul tanpa diprovokasi. Penyebabnya adalah kelainan bangkitan listrik
jaringan saraf yang tidak terkontrol baik sebagian maupun seluruh bagian otak.
Keadaan ini bisa diindikasikan sebagai disfungsi otak. 15Gangguan fungsi otak
yang bisa menyebabkan lepasnya muatan listrik berlebihan di sel neuron saraf
pusat, bisa disebabkan oleh adanya faktor fisiologis, biokimiawi, anatomis atau
gabungan faktor tersebut. Tiap-tiap penyakit atau kelainan yang dapat
menganggu fungsi otak atau fungsi sel neuron di otak, dapat menyebabkan
timbulnya bangkitan kejang atau serangan epilepsi.
Untuk menentukan faktor penyebab dapat diketahui dengan melihat usia
serangan pertama kali. Misalnya : usia dibawah 18 tahun kemungkinan faktor
penyebabnya ialah trauma perinatal, kejang demam, radang susunan saraf pusat,
struktural, penyakit metabolik, keadaan toksik, penyakit sistemik, penyakit
trauma kepala, dan lain-lain.6Bangkitan kejang juga dapat disebabkan oleh
berbagai kelainan dan macam-macam penyakit diantaranya ialah trauma lahir,
trauma kapitis, radang otak, tumor otak, perdarahan otak, gangguan peredaran
darah, hipoksia, anomali kongenital otak, kelainan degeneratif susunan saraf
pusat, gangguan metabolisme, gangguan elektrolit, demam, reaksi toksis-alergis,
keracunan obat atau zat kimia, dan faktorhereditas.
D. Patofisiologi
Neuron memiliki potensial membran, hal ini terjadi karena adanya
perbedaan muatan ion-ion yang terdapat di dalam dan di luar neuron. Perbedaan
jumlah muatan ion-ion ini menimbulkan polarisasi pada membran dengan
bagian intraneuron yang lebih negatif. Neuron bersinapsis dengan neuron lain
melalui akson dan dendrit. Suatu masukan melalui sinapsis yang bersifat
eksitasi akan menyebabkan terjadinya depolarisasi membran yang berlangsung
singkat, kemudian inhibisi akan menyebabkan hiperpolarisasi membran. Bila
eksitasi cukup besar dan inhibisi kecil, akson mulai terangsang, suatu
potensial aksi akan dikirim sepanjang akson, untuk merangsang atau
menghambat neuron lain, sehingga terjadilahepilepsi.
Epilepsi ditandai oleh bangkitan berulang yang diakibatkan oleh
aktivitas listrik yang berlebihan pada sebagian atau seluruh bagian otak.
Seorang penderita dikatakan menderita epilepsi bila setidaknya mengalami dua
kali bangkitan tanpa provokasi. Bangkitan epilepsi disebabkan oleh
ketidakseimbangan antara faktor eksitasi dan inhibisi serebral, bangkitan akan
muncul pada eksitabilitas yang tidak terkontrol. Pada sebagian besar kasus tidak
dijumpai kelainan anatomi otak, namun pada beberapa kasus epilepsi disertai
oleh kerusakan struktural otak yang mengakibatkan disfungsi fisik dan retardasi
mental.
E. Patway
Kejang Demam
Hipoksia
Asidosis laktat
Kerusakan Neuron Otak
F. Diagnosis
Ada 3 langkah untuk menuju diagnosis epilepsi, yaitu:
1. Langkah pertama : Memastikan apakah kejadian yang bersifat
paroksisimal merupakan bangkitanepilepsi.
2. Langkah kedua : Apabila benar terdapat bangkitan epilepsi, maka
tentukanlah bangkitan tersebut termasuk tipe bangkitan yang mana.
3. Langkah ketiga : tentukan sindrom epilepsi apa yang ditunjukkan oleh
bangkitan tadi, atau penyakit epilepsi apa yang diderita oleh pasien dan
tentukanetiologinya.
Diagnosis epilepsi ditegakkan atas dasar adanya bangkitan epilepsi
berulang (minimum 2 kali) tanpa provokasi, dengan atau tanpa adanya
gambaran epileptiform padaEEG.
Secara lengkap urutan pemeriksaan untuk menuju ke diagnosis adalah
sebagai berikut :
1. Anamnesis
Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci dan menyeluruh.
Penjelasan perihal segala sesuatu yang terjadi sebelum, selama dan
sesudah serangan (meliputi gejaladan lamanya serangan) merupakan
informasi yang sangat berarti dan merupakan kunci diagnosis.Anamnesis
(auto dan aloanamnesis), meliputi:
a. Gejala sebelum, selama dan paskabangkitan
1) Keadaan penyandang saat bangkitan : duduk / berdiri / berbaring
/ tidur /berkemih.
2) Gejala awitan (aura, gerakan / sensasi awal / speech arrest).
3) Apa yang tampak selama bangkitan (Pola / bentuk bangkitan) :
gerakan tonik / klonik, vokalisasi, otomatisme, inkontinensia,
lidah tergigit, pucat, berkeringat, maupun deviasimata.
4) Keadaan setelah kejang : bingung, terjaga, nyeri kepala, tidur,
gaduh gelisah, atau Todd’sparesis.
5) Apakah terdapat lebih dari satu pola bangkitan, atau terdapat
perubahan polabangkitan.
b. Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang, maupun riwayat
penyakit neurologik dan riwayat penyakit psikiatrik maupun penyakit
sistemik yang mungkinmenjadi penyebab.
c. Usia awitan, durasi, frekuensi bangkitan, dan interval terpanjang antar
bangkitan.
d. Riwayat bangkitan neonatal / kejangdemam.
1) Pemeriksaan fisik umum danneurologis
Pemeriksaan fisik harus menepis sebab-sebab terjadinya
serangan dengan menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai
pegangan. Pada pasien anak, pemeriksa harus memperhatikan
adanya keterlambatan perkembangan, organomegali, dan perbedaan
ukuran antara anggota tubuh dapat menunjukkan awal gangguan
pertumbuhan otakunilateral.
G. Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium
Perlu diperiksa kadar glukosa, kalsium, magnesium, natrium,
bilirubin, dan ureum dalam darah. Keadaan seperti Hiponatremia ,
hipoglikemia, hipomagnesia, uremia, dan hepatik ensefalopati dapat
mencetuskan timbulnya serangan kejang. Pemeriksaan serum
elektrolit bersama dengan glukose, kalsium, magnesium, Blood
Urea Nitrogen, kreatinin dan test fungsi hepar mungkin dapat
memberikan petunjuk yang sangatberguna.
2. Elektro ensefalografi(EEG)
Elektroensefalograf ialah alat yang dapat merekam aktifitas
listrik di otak melalui elektroda yang ditempatkan dikulit kepala.
Kelainan EEG yang sering dijumpai pada penderita epilepsi disebut
epileptiform discharge atau epileptiform activity. Pemeriksaan EEG
harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan merupakan
pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk
rnenegakkan diagnosisepilepsi.
Adanya kelainan fokal pada EEG menunjukkan kemungkinan
adanya lesi struktural di otak, sedangkan adanya kelainan umum
pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya kelainan genetik
ataumetabolik.
a. Rekaman EEG dikatakan abnormal ditentukan atas dasar adanya:
1) Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang
sama di kedua hemisferotak.
2) Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat
dibanding seharusnya misal gelombangdelta.
3) Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak
normal, misalnya gelombang tajam, paku(spike),
paku-ombak, paku majemuk, dan gelombang lambat yang timbul
secaraparoksimal.
b. Rekaman videoEEG
Pemeriksaan video-EEG ini berhasil membedakan apakah
serangan kejang oleh karena epilepsi atau bukan dan biasanya
selama perekaman dilakukan secara terus-menerus dalam waktu 72
jam, sekitar 50-70% dari hasil rekaman dapat menunjukkan
gambaran serangan kejang epilepsi.
c. Pemeriksaan Radiologis
Ct Scan (Computed Tomography Scan) kepala dan MRI
(Magnetic Resonance Imaging) kepala merupakan Pemeriksaan
yang dikenal dengan istilah neuroimaging yang bertujuan untuk
melihat apakah ada atau tidaknya kelainan struktural di otak dan
melengkapi dataEEG.
CT Scan kepala ini dilakukan bila pada MRI ada kontra
indikasi, namun demikian pemeriksaan MRI kepala ini merupakan
prosedur pencitraan otak pilihan untuk epilepsi dengan sensitivitas
tinggi dan lebih spesifik dibanding dengan CT Scan. Oleh karena
dapat mendeteksi lesi kecil diotak, sklerosis hipokampus, disgenesis
kortikal, tumor dan hemangioma kavernosa, maupun epilepsi
refrakter yang sangat mungkin dilakukan terapi pembedahan. MRI
bermanfaat untuk membandingkan hipokampus kanan dan kiri.
d. Pemeriksaan neuropsikologi
Pemeriksaan ini mungkin dilakukan terhadap pasien epilepsi
dengan pertimbangan akan dilakukan terapi pembedahan.
Pemeriksaan ini khususnya memperhatikan apakah ada tidaknya
penurunan fungsi kognitif, demikian juga dengan pertimbangan
bila ternyata diagnosisnya ada dugaan serangan kejang yang bukan
epilepsi.
H. Penatalaksanaan
Evaluasi tanda vital serta penilaian airway, breathing, circulation (ABC) harus
dilakukan seiring dengan pemberian obat anti-konvulsan. Pemilihan jenis obat
serta dosis anti-konvulsan pada tata laksana SE sangat bervariasi antar institusi.
Berikut ini adalah algoritma tata laksana kejang akut dan status epileptikus
berdasarkan Konsensus UKK Neurologi Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Keterangan :
Diazepam IV: 0,2 - 0,5 mg/kg IV (maksimum 10 mg) dalam spuit, kecepatan 2
mg/menit. Bila kejang berhenti sebelum obat habis, tidak perlu dihabiskan.
Fenobarbital: pemberian boleh diencerkan dengan NaCl 0,9% 1:1 dengan
kecepatan yang sama Midazolam buccal: dapat menggunakan midazolam
sediaan IV/IM, ambil sesuai dosis yang diperlukan dengan menggunakan spuit 1
cc yang telah dibuang jarumnya, dan teteskan pada buccal kanan, selama 1
menit. Dosis midazolam buccal berdasarkan kelompok usia;
1. 2,5 mg (usia 6 – 12 bulan)
2. 5 mg (usia 1 – 5 tahun)
3. 7,5 mg (usia 5 – 9 tahun)
4. 10 mg (usia ≥ 10 tahun)
Tapering off midazolam infus kontinyu: Bila bebas kejang selama 24 jam
setelah pemberian midazolam, maka pemberian midazolam dapat diturunkan
secara bertahap dengan kecepatan 0,1 mg/jam dan dapat dihentikan setelah 48
jam bebas kejang.
Medazolam: Pemberian midazolam infus kontinyu seharusnya di ICU, namun
disesuaikan dengan kondisi rumah sakit Bila pasien terdapat riwayat status
epileptikus, namun saat datang dalam keadaan tidak kejang, maka dapat
diberikan fenitoin atau fenobarbital 10 mg/kg IV dilanjutkan dengan pemberian
rumatan bila diperlukan.
BAB III
PENUTUP
A. kesimpulan
Epilepsi adalah Cetusan listrik lokal pada substansia grisea otak yang
terjadi sewaktu-waktu, mendadak, dan sangat cepat yang dapat mengakibatkan
serangan penurunan kesadaran, perubahan fungsi motorik atau sensorik,
perilaku atau emosional yang intermiten dan stereotipik. Epilepsi Kejang
demam biasanya terjadi pada awal demam
Goldstein JA, Chung MG. Status epilepticus and seizures. Dalam: Abend NS,
Helfaer MA, penyunting. Pediatric neurocritical care. New York:
Demosmedical; 2013. h 117–138.
Moe PG, Seay AR. Neurological and muscular diorders. Dalam: Hay WW,
Hayward AR, Levin MJ, Sondheimer JM, penyunting. Current pediatric:
Diagnosis and treatment. Edisi ke-18. International Edition: McGrawHill; 2008.
h. 735.
Ngastiyah, 1997, Perawatan anak sakit, cetakan I, EGC, Jakarta
Greene, et all, 2005, Pertolongan pertma untuk anak, alih bahasa susi purwoko,
Gramedia, Jakarta
Sisodiya S.M, Duncan J (2000) : Epilepsy : Epidemiology, Clinical
Assessment,Investigation and Natural History, Medicine International,00(4);36-
41.
DAFTAR PUSTAK DAFTAR PUSTAKA
http://eprints.undip.ac.id/69459/2/LAPORAN_KTI_NUH_GUSTA_ADY_YOLA
NDA_22010115130231_BAB_I.pdf