Anda di halaman 1dari 69

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB)
merupakan salah satu indikator pembangunan kesehatan dalam RPJMN 2015-
2019 dan SDGs. Menurut data SDKI, Angka Kematian Ibu sudah mengalami
penurunan pada periode tahun 1994- 2012 yaitu pada tahun 1994 sebesar 390
per 100.000 kelahiran hidup, tahun 1997 sebesar 334 per 100.000 kelahiran
hidup, tahun 2002 sebesar 307 per 100.000 kelahiran hidup, tahun 2007 sebesar
228 per 100.000 kelahiran hidup namun pada tahun 2012 , Angka Kematian
Ibu meningkat kembali menjadi sebesar 359 per 100.000 kelahiran hidup.
Untuk AKB dapat dikatakan penurunan on the track (terus menurun) dan pada
SDKI 2012 menunjukan angka 32/1.000 KH (SDKI 2012). Dan pada tahun
2015, berdasarkan data SUPAS 2015 baik AKI maupun AKB menunjukan
penurunan (AKI 305/ 100.000 KH; AKB 22,23/ 1000 KH).
AKI berupakan salah satu indikator mutu pelayanan kesehatan di suatu
negara. Helmizar (2014) berpendapat bahwa alat ukur yang paling banyak
dipakai oleh negara-negara didunia adalah, usia harapan hidup (life
expectancy), Angka Kematian Ibu (AKI), Angka Kematian Bayi (AKB).
Angka-angka ini pula yang menjadi bagian penting dalam membentuk indeks
pembangunan manusia atau Human Development Index (HDI), yang
menggambarkan tingkat kemjuan suatu bangsa.
Menurut laporan WHO yang telah dipublikasikan pada tahun 2014
Angka Kematian Ibu (AKI) di dunia mencapai angka 289.000 jiwa. Di mana
terbagi atas beberapa Negara, antara lain Amerika Serikat mencapai 9300 jiwa,
Afrika Utara 179.000 jiwa dan Asia Tenggara 16.000 jiwa. (Irawan, 2015).
Data SDKI tahun 2012 menunjukkan peningkatan AKI yang signifikan
yaitu menjadi 359 kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup. AKI kembali
menujukkan penurunan menjadi 305 kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup
berdasarkan hasil Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) 2015.
(Kementerian Kesehatan RI, 2017).
Gambar 1.1
Angka Kematian Ibu Di Indonesia Tahun 1991 – 2015

Sumber : BPS, SDKI 1991-2015


Sementara AKI di Jawa Barat menunjukan kecenderungan menurun daro
450 per 100.000 menjadi 390 per 100.000. AKI di Jawa Barat masih berada di
atas AKI rata-rata nasiolnal yang mencapai 373 per 100.000 kelahiran hidup
(pikiran rakyat, 2006).
Berdasarkan uraian diatas, penulis merasa penting untuk melakukan
asuhan kebidanankehamilan dan didokumentasikan dalam laporan kasus yang
berjudul “Asuhan Kebidanan Komprehensif Pada Ny. A Usia 26 Tahun G1P0A0
Gravida 42-43 Minggu dengan Oligohidramnion dan Hipertensi Gestasional di
RSUD Arjawinangun Kabupaten Cirebon 2019”.

B. Rumusan Masalah
Dengan memperhatikan latar belakang tersebut maka rumusan masalah
studi kasus ini adalah “Bagaimana Asuhan Kebidanan Komprehensif Pada Ny.
A Usia 26 Tahun G1P0A0 Gravida 42-43 Minggu dengan dengan
Oligohidramnion dan Hipertensi Gestasional di RSUD Arjawinangun
Kabupaten Cirebon 2019?”

C. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Mahasiswa mampu memberikan Asuhan Kebidanan Komprehensif
Pada ibu dengan oligohidramnion dan hipertensi gestasional, khususnya
pada salah satu pasien di RSUD Arjawinangun.
2. Tujuan Khusus
a. Mampu melakukan pengkajian data subjektif dan objektif pada Asuhan
Kebidanan Komprehensif Pada Ny. A Usia 26 Tahun G1P0A0 Gravida
42-43 Minggu dengan dengan Oligohidramnion dan Hipertensi
Gestasional di RSUD Arjawinangun Kabupaten Cirebon 2019
b. Mampu membuat analisis secara tepat berdasarkan pengkajian data
subjektif dan objektif Pada Ny. A Usia 26 Tahun G1P0A0 Gravida 42-43
Minggu dengan dengan Oligohidramnion dan Hipertensi Gestasional di
RSUD Arjawinangun Kabupaten Cirebon 2019.
c. Mampu melakukan penatalaksanaan yang sesuai berdasarkan analisis
Pada Ny. A Usia 26 Tahun G1P0A0 Gravida 42-43 Minggu dengan
dengan Oligohidramnion dan Hipertensi Gestasional di RSUD
Arjawinangun Kabupaten Cirebon 2019.
d. Mampu membuat pendokumentasian Asuhan Kebidanan Kehamilan
dalam bentuk Pada Ny. A Usia 26 Tahun G1P0A0 Gravida 42-43
Minggu dengan dengan Oligohidramnion dan Hipertensi Gestasional di
RSUD Arjawinangun Kabupaten Cirebon 2019.
e. Untuk menambah pengetahuan dan wawasan mahasiswa di lapangan.

D. Manfaat
1. Bagi Rumah Sakit
Sebagai bahan referensi review internal mutu pelayanan di RSUD
Arjawinangun dan menjadikan RSUD Arjawinangun semakin berkualitas
dalam memberikan pelayanan khususnya asuhan kebidanan.
2. Bagi Bidan
Membantu menambah referensi dalam hal pemahaman perkembangan
pengetahuan dan penatalaksanaan serta dapat digunakan untuk menetapkan
strategi yang tepat sehingga dapat memberikan asuhan kebidanan yang
berkualitas meliputi bio- psiko- sosial- spritual yang berhubungan dengan
asuhan kebidanan normal.
3. Bagi Institusi Pendidikan
Sebagai wacana bagi institusi pendidikan dalam meningkatkan mutu
pendidikan di masa yang akan datang seperti mutu keterampilan atau
kompetensi kebidanan, sebagai bahan parameter penilaian mahasiswa sejauh
mana menerapkan teori yang sudah didapatkan di Pendidikan dan menjalin
hubungan kerjasama antara pihak kampus dan pihak RSUD Arjawinangun
4. Bagi Pasien dan Keluarga
Mendapatkan pelayanan kebidanan yang baik sesuai harapan pasien dengan
asuhan kebidanan pada kehamilan di RSUD Arjawinangun.
5. Bagi Pembaca
Dapat memberikan informasi mengenai masalah kebidanan khususnya
asuhan kebidanan pada pasien dengan kehamilan normal.
6. Bagi Penulis
Agar penulis mampu memahami dan memberikan asuhan kebidanan
kehamilan yang berkualitas serta dapat mengimplementasikan asuhan
kebidanan yang berkualitas tersebut saat ditempatkan di lahan.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Persalinan
1. Definisi
Persalinan adalah proses membuka dan menipisnya serviks dan janin
turun ke dalam jalan lahir. Persalinan dan kelahiran nornal (spontan) adalah
proses lahirnya bayi secara spontan dengan letak belakang kepala atau
dengan tenaga ibu sendiri tanpa melalui pacuan, tanpa komplikasi baik ibu
maupun janin, tanpa buatan dan bantuan alat-alat serta tidak melukai ibu
dan bayi yang umumnya berlangsung kurang dari 24 jam dan persalinan
dengan usia kehamilan yang aterm yaitu 37-42 minggu dan berat janin di
atas 2500 gram (Asri dan Cristine, 2012:1).
Berdasarkan Peraturan Kementrian Kesehatan 2014 No.79 Pasal 1
Ayat 3, persalinan adalah setiap kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan
yang ditujukan pada ibu sejak dimulainya persalinan hingga 6 (enam) jam
sesudah melahirkan. Persalinan merupakan suatu proses pengeluaran hasil
konsepsi yang dapat hidupdari dalam uterus melalui vagina ke dunia luar
dengan umur kehamilan di atas 28 minggu. (Rohani, 2011).
Menurut World Health Organization (WHO)persalinan normal adalah
persalinan yang dimulai secara spontan, beresiko rendah pada awal
persalinan dan tetap demikian selama proses persalinan, bayi dilahirkan
secara spontan dalam presentasi belakang kepala pada usia kehamilan antara
37- 42 minggu. Setelah persalinan ibu maupun bayi dalam kondisi baik.
(WHO, 2014).
Persalinan Normal adalah proses pengeluaran bayi, plasenta dan
selaput ketuban dari uterus pada usia kehamilan cukup bulan (umur
kehamilan lebih dari 37 minggu) tanpa disertai penyulit (JNPK-KR, 2010).
2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Persalinan
Menurut Sumarah (2009), faktor-faktor yang mempengaruhi
persalinan yaitu power, passage, passanger, posisi ibu dan psikologis.
Menurut Bandiyah (2009), faktor-faktor yang mempengaruhi persalinan
adalah power, passage, passanger, psycian dan psikologis.
a. Power (Kekuatan)
Power adalah kekuatan janin yang mendorong janin keluar.
Kekuatan yang mendorong janin keluar dalam persalinan ialah his,
kontraksi otot-otot perut, kontraksi diafragma dan aksi dari ligament,
dengan kerja sama yang baik dan sempurna. (Oxorn, 2010).
Kekuatan terdiri dari kemampuan ibu melakukan kontraksi
involunter dan volunteer secara bersamaan untuk mengeluarkan janin
dan plasenta dari uterus. Kontraksi involunter disebut juga kekuatan
primer, menandai dimulainya persalinan. Apabila serviks berdilatasi,
usaha volunteer dimulai untuk mendorong, yang disebut kekuatan
sekunder, dimana kekuatan ini memperbesar kekuatan kontraksi
involunter.
Kekuatan primer berasal dari titik pemicu tertentu yang terdapat
pada penebalan lapisan otot di segmen uterus bagian atas. Dari titik
pemicu, kontraksi dihantarkan ke uterus bagian bawah dalam bentuk
gelombang, diselingi periode istirahat singkat. Kekuatan sekunder
terjadi segera setelah bagian presentasi mencapai dasar panggul, sifat
kontraksi berubah yakni bersifat mendorong keluar. Sehingga wanita
merasa ingin mengedan. Usaha mendorong ke bawah ini yang disebut
kekuatan sekunder. Kekuatan sekunder tidak mempengaruhi dilatasi
serviks, tatapi setelah dilatasi serviks lengkap. Kekuatan ini penting
untuk mendorong bayi keluar dari uterus dan vagina. Jika dalam
persalinan seorang wanita melakukan usaha volunteer (mengedan)
terlalu dini, dilatasi serviks akan terhambat. Mengedan akan
melelahkan ibu dan menimbulkan trauma pada serviks (Sumarah,
2009).
b. Passage way (Jalan Lahir)
Jalan lahir terdiri dari panggul ibu, yakni bagian tulang padat, dasar
panggul, vagina, dan introitus (lubang luar vagina). Meskipun jaringan
lunak, khususnya lapisan-lapisan otot dasar panggul ikut menunjang
keluarnya bayi, tetapi panggul ibu jauh lebih berperan dalam proses
persalinan. Janin harus berhasil menyesuaikan dirinya terhadap jalan
lahir yang relatif kaku.
c. Passenger (Janin dan Plasenta)
Faktor lain yang berpengaruh terhadap persalinan adalah faktor
janin,yang meliputi sikap janin, letak janin, presentasi janin, bagian
terbawah janin, dan posisi janin. (Rohani, 2011).
Passanger atau janin, bergerak sepanjang jalan lahir merupakan
akibat interaksi beberapa faktor, yakni ukuran kepala janin, presentasi,
letak, sikap, dan posisi janin. Karena plasenta juga harus melewati
jalan lahir, maka ia dianggap juga sebagai bagian dari passenger yang
menyertai janin. Namun plasenta jarang menghambat prosespersalinan
pada kehamilan normal (Sumarah, 2009).
d. Psychology (Psikologi Ibu)
Tingkat kecemasan wanita selama bersalin akan meningkat jika ia
tidak memahami apa yang terjadi pada dirinya atau yang disampaikan
kepadanya. Wanita bersalin biasanya akan mengutarakan
kekhawatirannya jika ditanya. Perilaku dan penampilan wanita
pasangannya merupakan petunjuk berharga tentang jenis dukungan
yang akan diperlukannya. Membantu wanita berpartisipasi sejauh yang
diinginkan dalam melahirkan, memenuhi harapan wanita akan hasil
akhir mengendalikan rasa nyeri merupakan suatu upaya dukungan
dalam mengurangi kecemasan pasien. Dukungan psikologis dari
orang-orang terdekat akan membantu memperlancar proses persalinan
yang sedang berlangsung. Tindakan mengupayakan rasa nyaman
dengan menciptakan suasana yang nyaman dalam kamar bersalin,
memberi sentuhan, memberi penenangan nyari non farmakologi,
memberi analgesia jika diperlukan dan yang paling penting berada
disisi pasien adalah bentuk-bentuk dukungan psikologis. Dengan
kondisi psikologis yang positif proses persalinan akan berjalan lebih
mudah (Sumarah, 2009).
e. Penolong
Peran dari penolong persalinan adalah mengantisipasi dan
menangani komplikasi yang mungkin terjadi pada ibu atau janin. Bila
diambil keputusan untuk melakukan campur tangan, ini harus
dipertimbangkan dengan hati-hati, tiap campur tangan bukan saja
membawa keuntungan potensial, tetapi juga risiko potensial. Pada
sebagian besar kasus, penanganan yang terbaik dapat berupa
“observasi yang cermat”. Dalam menghadapi persalinan seorang calon
ibu dapat mempercayakan dirinya pada bidan, dokter umum, dokter
spesialis obstetri dan ginekologi, bahkan melakukan pengawasan hamil
12-14 kali sampai pada persalinan. Pertemuan konsultasi dan
menyampaikan keluhan, menciptakan hubungan saling mengenal antar
calon ibu dengan bidan atau dokteryang akan menolongnya.
Kedatangannya sudah mencerminkan adanya “informed consent”
artinya telah menerima informasi dan dapat menyetujui bahwa bidan
ataudokter itulah yang akan menolong persalinannya.
Pembinaan hubungan antara penolong dan ibu saling mendukung
dengan penuh kesabaran sehingga persalinan dapat berjalandengan
lancar. Kala I, perlu dijelaskan dengan baik bahwa persalinan akan
berjalan aman, oleh karena kepala masuk pintu atas panggul, bahkan
pembukaan telah maju dengan baik. Keberadaan bidan atau dokter
sangat penting untuk memberikan semangat sehingga persalinan dapat
berjalan baik. Untuk menambah kepercayaan ibu, sebaiknya setiap
kemajuan diterangkan sehingga semangat dan kemampuannya untuk
mengkoordinasikan kekuatan persalinan dapat dilakukan. Pemindahan
penderita keruangan dimana anaknya telah menunggu, masih
merupakan tanggung jawab bidan atau dokter paling sedikit selama 2
jam pertama (Bandiyah, 2009).
3. Tanda dan Gejala Inpartu
a. Kekuatan his bertambah, makin sering terjadi dan teratur dengan jarak
kontraksi makin pendek sehingga menimbulkan rasa sakit yang lebih
hebat.
b. Keluar lendir dan darah lebih banyak.
c. Kadang ketuban pecah dengan sendirinya.
d. Pada pemeriksaan dalam serviks mulai mendatar dan pembukaan
lengkap. (Prawirohardjo,2009).
4. Tahapan Persalinan
Persalinan dibagi menjadi 4 tahap.Pada kala I serviks membuka dari 0
sampai 10 cm. Kala I dinamakan juga kala pembukaan. Kala II disebut juga
dengan kala pengeluaran, oleh karena kekuatan his dan kekuatan mengedan,
janin di dorong keluar sampai lahir. Dalam kala III atau disebut juga kala
uri, plasenta terlepas dari dinding uterus dan dilahirkan. Kala IV mulai dari
lahirnya plasenta sampai 2 jam kemudian. Dalam kala tersebut diobservasi
apakah terjadi perdarahan post partum. (Rohani, 2011).
a. Kala I (Kala Pembukaan)
Inpartu ditandai dengan keluarnya lendir bercampur darah karena
serviks mulai membuka dan mendatar. Darah berasal dari pecahnya
pembuluh darah kapiler sekitar kanalis servikalis karena pergeseran-
pergeseran, ketika serviks mendatar dan membuka.
Kala I persalinan dimulai sejak terjadinya kontraksi uterus dan
pembukaan serviks hingga mencapai pembukaan lengkap (10 cm).
Persalinan kala I dibagimenjadi 2 fase, yaitu fase laten dan fase aktif.
1) Fase Laten Persalinan
Dimulai sejak awal kontraksi yang menyebabkan penipisan
dan pembukaan serviks secara bertahap. Frekuensi dan lama kontraksi
uterusumumnya jarang (kontraksi dianggap adekuat atau memadai jika
terjadi 2x atau lebih dalam waktu 10 menit, dan berlangsung-langsung
selama 25 detik atau lebih). Pembukaan serviks kurang dari 4 cm.
Biasanya berlangsung hingga 8 jam.
2) Fase Aktif Persalinan
Frekuensi dan lama kontraksi uterus umumnya meningkat
(kontraksi dianggap adekuat atau memadai jika terjadi 3x atau lebih
dalam waktu 10menit, dan berlangsung-langsung selama 40 detik atau
lebih). Serviks membuka dari 4-10 cm, biasanya dengan kecepatan 1
cm atau lebih perjam hingga pembukaann lengkap. Terjadi penuruan
bagian terbawah janin. Fase aktif persalinan dibagi menjadi 3 :
a) Fase Akselerasi, dalam waktu 3 jam pembukaan serviks dari 3 cm
menjadi 4 cm.
b) Fase Dilatasi Maksimal, dalam waktu 2 jam pembukaan
berlangsung sangat cepat dari 4 cm menjadi 9 cm.
c) Fase Deselerasi, pembukaan menjadi lambat kembali dalam waktu
2 jam, pembukaan dari 9 cm menjadi lengkap.
Pada fase aktif persalinan, frekuensi dan lama kontraksi uterus
umumnya meningkat (kontraksi dianggap adekuat jika terjadi tiga kali
atau lebih dalam waktu 10 menit dan berlangsung selama 40 detik atau
lebih) dan terjadi penurunan bagian terbawah janin. Berdasarkan kurve
Friedman, diperhitungkan pembukaan pada primigravida 1 cm/jam dan
pembukaan multigravida 2 cm/ jam. 
b. Kala II
Kala II persalinan adalah kala pengeluaran bayi, di mulai dari
pembukaan lengkap sampai bayi lahir. Uterus dengan kekuatan hisnya di
tambah kekuatan meneran akan mendorong bayi hingga lahir. Proses ini
biasanya berlangsung 2 jam pada primigravida dan 1 jam pada
multigravida.
Diagnosa persalinan kala II ditegakkan dengan melakukan
pemeriksaan dalam untuk memastikan pembukaan sudah lengkap dan
kepala janin sudah tampak pada vulva. Kontraksi selama kala dua adalah
sering, kuat dan sedikit lebih lama yaitu kira-kira 3 kali dalam 10 menit
yang berlangsung selama 35 detik. Tanda dan gejala Kala II :
1) Dorongan meneran
2) Tekanan anus
3) Perineum menonjol
4) Vulva membuka
c. Kala III
Batasan kala III, masa setelah lahirnya bayi dan berlangsungnya
proses pengeluaran plasenta. Tanda-tanda pelepasan plasenta : terjadi
perubahan bentuk uterus dan tinggi fundus uteri, tali pusat memanjang
atau menjulur keluar melalui vagina atau vulva, adanya semburan darah
secara tiba-tiba kala III, berlangsung tidak lebih dari 30 menit. (Asrinah,
2010)
Setelah bayi lahir, uterus teraba keras dengan fundus uteri setinggi
pusat beberapa menit kemudian uterus berkontraksi lagi lagi untuk
melepaskan plasenta dari dindingnya. Biasanya plasenta lepas dalam 6
menit-15 menit setelah bayi lahir dan keluar spontan atau dengan tekanan
pada fundus uteri. Pengeluaran plasenta, disertai pengeluaran darah.
Komplikasi yang dapat timbul pada kala III adalah perdarahan akibat
atonia uteri, retensio plasenta, perlukaan jalan lahir, tanda gejala tali 11
pusat. (Rukiyah, 2009).
d. Kala IV
Dimulainya dari saat lahirnya plasenta sampai 2 jam pertama post
partum. Komplikasi yang dapat timbul pada kala IV adalah sub involusi
dikarenakan oleh uterus tidak berkontraksi, perdarahan yang disebabkan
oleh atonia uteri, laserasi jalan lahir, sisa plasenta. (Sondakh, 2013).
B. Kehamilan Posterm
1. Definisi
Kehamilan umumnya berlangsung 40 minggu atau 280 hari dihitung
dari hari pertama haid terakhir. Kehamilan aterm ialah usia kehamilan
antara 38-42 minggu dan ini merupakan periode terjadinya persalinan
normal. Namun, sekitar 3,4-14% atau rata-rata 10% kehamilan berlangsung
sampai 42 minggu atau lebih. Angka ini bervariasi dari beberapa peneliti
bergantung pada kriteria yang dipakai.
Kehamilan posterm terutama berpengaruh terhadap janin, meskipun hal
ini masih banyak diperdebatkan dan sampai sekarang masih belum ada
persusaian paham. Dalam kenyataannya kehamilan postterm mempunyai
pengaruh terhadap perkembangan janin sampai kematian janin. Ada janin
yang dalam masa kehamilan 42 minggu atau lebih berat badannya
meningkat terus, ada yang tidak bertambah, ada yang lahir dengan berat
badan kurang dari semestinya, atau meninggal dalam kandungan karena
kekurangan zat makanan dan oksigen. Kehamilan postterm mempunyai
hubungan erat dengan mortalitas, morbiditas perinatal, ataupun
makrosomia. Sementara itu, risiko bagi ibu dengan kehamilan postterm
dapat berupa perdarahan pascapersalinan ataupun tindakan obstetrik yang
meningkat. Berbeda dengan angka kematian ibu yang cenderung menurun,
kematian perinatal tampaknya msih menunjukkan angka yang cukup tinggi,
sehingga pemahaman dan penatalaksanaan yang tepat terhadap kehamilan
postterm akan memberikan sumbangan besar dalam upaya menurunkan
angka kematian, terutama kematian perinatal.
Kehamilan postterm disebut juga kehamilan serotinus, kehamilan lewat
waktu, kehamilan lewat bulan, prolonged pregnancy, extended pregnancy,
postdate/ post datisme atau pascamaturitas adalah kehamilan yang
berlangsung sampai 42 minggu (294 hari) atau lebih, dihitung dari hari
pertama haid terakhir menurut rumus naegele dengan siklus haid rata-rata
28 hari (WHO 1977, FIGO 1986)
Seringkali istilah pascamaturitas dipakai sebagai sinonim dismaturitas.
Sebenarnya hal ini tidak tepat. Pascamaturitas merupakan diagnosis waktu
yang dihitung menurut rumus Naegele. Sebaliknya, dismaturitas hanya
menyatakan kurang sempurnanya pertumbuhan janin dalam kandungan
akibat plasenta yang tidak berfungsi dengan baik, sehingga janin tidak
tumbuh seperti biasa. Hal ini dapat terjadi pada beberapa keadaan seperti
hipertensi, preeklamsia, gangguan gizi, ataupun pada kehamilan postterm
sendiri. Jadi, janin dengan dismaturitas dapat dilahirkan kurang bulan,
genap bulan, ataupun lewat bulan.
Istilah pascamaturitas lebih banyak dipakai oleh dokter spesialis
kesehatan anak, sedangkan istilah postterm banyak digunakan oleh dokter
spesialis kebidanan. Dari dua istilah ini sering menimbulkan kesan bahwa
bayi yang dilahirkan pada kehamilan postterm disebut sebagai
pascamaturitas.
2. Sebab Terjadinya Kehamilan Postterm
Seperti halnya teori bagaimana terjadinya persalinan, sampai saat ini
sebab terjadinya kehamilan postterm belum jelas. Beberapa teori yang
diajukan pada umumnya menyatakan bahwa terjadinya kehamilan postterm
sebagai akibat gangguan terhadap timbulnya persalinan. Beberapa teori
diajukan antara lain sebagai berikut :

a. Pengaruh Progesteron
Penurunan hormon progesteron dalam kehamilan dipercaya
merupakan kejadian perubahan endokrin yang penting dalam memacu
proses biomolekular pada persalinan dan meningkatkan sensitivitas
uterus teerhadap oksitosin sehingga beberapa penulis menduga bahwa
terjadinya kehamilan postterm adalah karena masih berlangsungnya
pengaruh progesteron.
b. Teori Oksitosin
Pemakaian oksitosin untuk induksi persalinan pada kehamilan
postterm memberi kesan atau dipercaya bahwa oksitosin secara fisiologis
memegang peranan penting dalam menimbulkan persalinan dan
pelepasan oksitosin dari neurohopofisis ibu hamil yang kurang pada usia
kehamilan lanjut diduga sebagai salah satu faktor penyebab kehamilan
postterm.
c. Teori Kortisol/ ACTH Janin
Dalam teori ini diajukan bahwa sebagai “pemberi tanda”
untuk dimulainya persalinan adalah janin, diduga akibat
peningkatan kadar kortisol plasma janin.
Kortisol janin akan mempengaruhi plasenta sehingga produksi
progesteron berkurang dan memperbesar sekresi estrogen, yang
dapat berpengaruh
terhadap meningkatnya produksi prostaglandin. Pada cacat bawaan janin 
sepertianensefalus, hypoplasiaadrenaljanin dan tidak adanya kalenjar hip
ofisis pada janin akan menyebabkan kortisol janin tidak diproduksi
dengan baik sehingga kehamilan dapat berlangsung lewat bulan.
d. Saraf Uterus
Tekanan pada ganglion servikalis dari pleksus Frankenhauser akan
membangkitkan kontraksi uterus. Pada keadaan dimana tidak ada tekanan
pada pleksus ini, seperti pada kelainan letak, tali pusat pendek dan bagian
bawah masih tinggi kesemuanya diduga sebagai penyebab terjadinya
kehamilan postterm.
e. Herediter
Beberapa penulis menyatakan bahwa seorang ibu yang mengalami
kehamilan postterm mempunyai kecenderungan untuk melahirkan lewat
bulan pada kehamilan berikutnya. Mogren (1999) seperti dikutip
Cunningham, menyatakan bahwa bilamana seorang ibu mengalami
kehamilan postterm saat melahirkan anak perempuan, maka besar
kemungkinan anak perempuannya akan mengalami kehamilan postterm.
3. Diagnosis
Tidak jarang seorang dokter mengalami kesulitan dalam menentukan
diagnosis kehamilan postterm karena diagnosis ini ditegakkkan berdasarkan
umur kehamilan, bukan terhadap kondisi kehamilan. Beberapa kasus yang
dinyatakan sebagai kehamilan posterm merupakan kesalahan dalam
menentukan umjur kehamilan. Kasus kehamilan posterm yang tidak dapat
ditegakkan secara pasti diperkirakan sebesar 22%.
Dalam menentukan diagnosis kehamilan posterm disamping dari
riwayat haid, sebaiknya dilihat pula dari hasil pemeriksaan antenatal.
a. Riwayat Haid
Diagnosis kehamilan posterm tidak sulit untuk ditegakkan bilamana
hari pertama haid terakhir (HPHT) diketahui dengan pasti. Untuk riwayat
haid yang dapat dipercaya, diperlukan beberapa kriteria antara lain :
1) Penderita harus yakin dengan HPHT nya
2) Siklus 28 hari dan teratur
3) Tidak minum pil antihamil setidaknya 3 bulan terakhir
Selanjutnya diagnosis ditentukan dengan menghitung menurut rumus
Neagel. Berdasarkan riwayat haid, seorang penderita yang ditetapkan
sebagai kehamilan posterm kemungkinan adalah sebagai berikut :
1) Terjadinya kesalahan dalam menentukan hpht atau akibat menstruasi
abnormal
2) Tanggal haid terakhir diketahui jelas, tetapi terjadi kelambatan ovulasi
3) Tidak ada kesalahan menentukan haid terakhir dan kehamilan memang
berlangsung lewat bulan (keadaan ini sekitar 20-30 % dari seluruh
penderita yang diduga kehamilan posterm).
b. Riwayat Pemeriksaan Antenatal
1) Tes Kehamilan
Bila pasien melakukan pemeriksaan tes imunologik sesudah terlambat 2
minggu, maka dapat diperkirakan kehamilan memang telah
berlangsung 6 minggu.
2) Gerak Janin
Pada umumnya dirasakan ibu pada usia kehamilan 18-20 minggu. Pada
primigravida dirasakan sekitar usia kehamilan 18 minggu, sedangkan
pada multigravida pada 16 minggu. Petunjuk umum untuk menentukan
persalinan adalah quickening ditambah 22 minggu pada primigravida
atau ditambah 24 minggu pada multigravida.
3) Derak Jantung Janin (DJJ)
Dengan stetoscop leanec DJJ dapat didengar mulai umur kehamilan 18-
20 minggu, sedangkan dengan dopler dapat terdengar pada usia
kehamilan 10-12 minggu.
Kehamilan dapat dinyatakan sebagai kehamilan posterm bila didapat 3
atau lebih dari 4 kriteria hasil pemeriksaan sebagai berikut :
1) Telah lewat 36 minggu sejak tes kehamilan positif
2) Telah lewat 32 minggu sejak djj pertama terdengar dengan doppler
3) Telah lewat 24 minggu sejak dirasakan gerak janin pertama kali
4) Telah lewat 22 minggu sejak terdengarnya djj pertama kali dengan
stetoskop leannec.
c. Tinggi Fundus Uteri
Dalam trimester pertama pemeriksaan TFU serial dalam centimeter
(cm) dapat bermanfaat bila dilakukan pemeriksaan secara berulang tiap
bulan. Lebih dari 20 minggu, TFU dapat menentukan umur kehamilan
secara kasar.
d. Pemeriksaan Ultrasonografi (USG)
Ketetapan usia gestasi sebaiknya mengacu pada hasil pemeriksaan
USG pada trimester pertama. Kesalahan perhitungan dengan rumus
Neagle dapat mencapai 20%. Bila telah dilakukan pemeriksaan
USG Serial terutama sejak trimester pertama, hampir dapat dipastikan
usia kehamilan. Pada trimester pertama pemeriksaan panjang kepala-
tungging (crown-rump lenght/CRL) memberikan ketepatan kurang lebih
4 hari taksiran persalinan.
4. Permasalahan Kehamilan Postterm
Kehamilan posterm mempunyai resiko lebih tinggi daripada kehamilan
aterm, terutama terhadap kematian perinatal (antepartum, intrapartum dan
postpartum) berkaitan dengan aspirasi mekonium dan asfiksia. Pengaruh
kehamilan posterm antara lain sebagai berikut :
a. Perubahan Pada Plasenta
Disfungsi plasenta merupakan faktor penyebab terjadinya
komplikasi pada kehamilan posterm dan meningkatnya risiko pada janin.
Penurunan fungsi plasenta dapat dibuktikan dengan kadar estriol dan
plasental laktogen. Perubahan yang terjadi pada plasenta sebagai berikut :
1) Penimbunan Kalsium : pada kehamilan postterm terjadi penigkatan
penimbunan kalsium pada plasenta. Hal ini dapat menyebabkan gawat
janin dan bahkan kematian janin intrauterin yang dapat meningkat
sesuai dengan progresivitas degenerasi plasenta. Namun beberapa vili
mungkin mengalami degenerasi tanpa mengalami klasifikasi.
2) selaput vaskulosinsisial menjadi tambah tebal dan jumlahnya
berkurang. Keadaan ini dapat menurunkan mekanisme transpor
plasenta.
3) terjadi proses degenerasi jaringan plasenta seperti edema, timbunan
fibrinoid, fibrosis, trombosis intervili, dan infark vili.
b. Pengaruh Pada Janin
Pengaruh kehamilan posterm terhadap janin sampai saaat ini masih
diperdebatkan. Beberapa ahli menyatakan bahwa kehamilan posterm
menambah bahaya pada janin, sedangkan beberapa ahli lainnya
menyatakan bahwa bahaya kehamilan posterm terhadap janin terlalu
dilebihkan. Kiranya kebenaran terletak diantara keduanya. Fungsi
plasenta mencapai puncak pada kehamilan 38 minggu dan kemudian
mulai menurun terutama setelah 42 minggu. Akibat dari proses penuaan
plasenta, pemasokan makanan dan oksigen akan menurun disamping
adanya spasme arteri spiralis. Sirkulasi utero plasenter akan berkurang
dengan 50% menjadi hanya 250 ml/menit.
c. Pengaruh Pada Ibu
Morbiditas / mortalitas ibu : dapat meningkat sebagai akibat dari
makrosomia janin dan tulamg tengkorak menjadi lebih keras yang
menyebabkan terjadi distosia persalinan, incoordinate uterine action,
partus lama, meningkatkan tindakan obstetrik dan persalinan
traumatis/perdarahan pospartum akibat bayi besar.
Aspek emosi : ibu dan keluarga menjadi cemas bilamana kehamilan
terus berlangsung melewati taksiran persalinan. Komentar tetangga atau
teman seperti “belum lahir juga ?” akan menambah frustasi ibu .
C. Cairan Amnion
Cairan amnion merupakan pelindung dan bantalan untuk proteksi
sekaligus menunjang pertumbuhan. Osmolaritas, kadar natrium, ureum,
kreatinin tidak berbeda dengan kadar pada serum ibu, artinya kadar dicairan
amnion merupakan hasil difusi dari ibunya. Cairan amnion mengandung
banyak sel janin (lanugo, vernik kaseosa). Fungsi cairan amnion yang juga
penting ialah menghambat bakteri karena mengandung zat seperti fosfat dan
seng (Prawirohardjo, 2010:155).
Cairan ketuban mempunyai peranan yang sangat penting bagi
perkembangan dan pertumbuhan janin. Kelainan jumlah cairan ketuban dapat
terjadi, dan seringkali merupakan pertanda yang paling awal terlihat pada janin
yang mengalami gangguan. Di pihak lain, kelainan jumlah cairan ketuban
dapat menimbulkan gangguan pada janin, seperti hipoplasia paru, deformitas
janin, kompresi tali pusat, pertumbuhan janin terhambat (PJT), prematuritas,
kelainan letak dan kematian janin. Oleh sebab itu, kelainan jumlah amnion
yang terjadi oleh sebab apapun akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas
(Wiknosastro, 2009:267).
1. Komposisi air ketuban
Air ketuban merupakan ultrafiltrasi dari plasma maternal dan dibentuk
oleh sel amnionnya. Pada trimester II kehamilan, air ketuban dibentuk oleh
difusi ekstraseluler melalui kulit janin sehingga komposisinya mirip dengan
plasma janin. Selanjutnya, setelah trimester II, terjadi pembentukan zat tanduk
kulit janin dan menghalangi difusi plasma janin sehingga sebagian besar air
ketubannya dibentuk oleh:
a. Sel amnionnya
b. Air kencing janin
Ginjal janin mulai mengeluarkan urin sejak 12 minggu dan setelah
mencapai usia 18 minggu sudah dapat mengeluarkan urin sebanyak 7-14
cc/hari. Janin aterm mengeluarkan urin 27 cc/jam atau 650 cc dalam sehari
(Manuaba, dkk, 2007:500) Menurut Manuaba, dkk (2007:500)
Komposisi yang membentuk air ketuban adalah:
1) Bertambahnya air ketuban bukan merupakan kenaikan linier tetapi
bervariasi sebagai berikut:
a) Bertambah 10 cc, sampai usia 8 minggu
b) Bertambah 60 cc, sampai usia 21 minggu
c) Terjadi penurunan produksi sampai usia hamil 33 minggu
d) Pertambahan tetap sampai usia aterm dan mencapai jumlah sekitar
800-1500 cc
e) Melewati usia kehamilan 42 minggu, terjadi penurunan sekitar 150
cc/minggu sehingga terjadi oligohidramnion
2) Setelah usia kehamilan melebihi 12 minggu, yang ikut membentuk air
ketuban yaitu
a) Ginjal janin sehingga dijumpai:
(1) Urea
(2) Kreatinin
(3) Asam urat
b) Deskuamasi kulit janin
(1) Rambut lanugo
(2) Vernik kaseosa
c) Sekresi dari paru janin
d) Transudat dari permukaan amnion plasenta
Komposisinya mirip plasma maternal, komposisi umum air ketuban
yaitu

(1) Air sekitar 99%


(2) Bahan sekitar organik 1%
(3) Berat jenis 1007-1008 gram
e) Hormonal atau zat mirip hormon dalam air ketuban
(1) Epidermal Growth Faktor (EGF) dan EGF Like Growth Faktor
dalam bentuk Transforming Growth Faktor alfa. Fungsi kedua
hormon ini ikut serta menumbuh kembangkan paru janin dan sistem
gastrointestinalnya.
(2) Parathyroid Hormone-related Protein (PTH-rP) dan endothelin-1
berfungsi untuk memberikan rangsangan pembentukan surfaktan
yang sangat bermanfaat saat bayi mulai bernapas diluar kandungan.
Air ketuban dapat digunakan untuk melakukan evaluasi tentang
kelainan kongenital janin, gangguan tumbuh kembang janin
intrauteri, kematangan paru, kemungkinan terjadi infeksi intrauteri,
asfiksia janin intrauteri-bercampur mekonium, cairan amnion
diambil melalui amniosentesis.
3) Sirkulasi air ketuban janin Sirkulasi air ketuban sangat penting
artinya sehingga jumlahnya dapat dipertahankan dengan tetap.
Pengaturannya dilakukan oleh tiga komponen penting sebagai
berikut:
a) Produksi yang dihasilkan oleh sel amnion
b) Jumlah produksi air kencing
c) Jumlah air ketuban yang ditelan janin
Setelah trimester II sirkulasinya makin meningkat sesuai dengan tuanya
kehamilan sehingga mendekati aterm mencapai 500 cc/hari. (Manuaba, dkk,
2007:500)
D. Oligohidramnion
1. Pengertian Oligohidramnion
Oligohidramnion adalah air ketuban kurang dari 500 cc.
Oligohidramnion kurang baik untuk pertumbuhan janin karena pertumbuhan
dapat terganggu oleh perlekatan antara janin dan amnion atau karena janin
mengalami tekanan dinding rahim (Sastrawinata, dkk, 2004:40).
Jika produksinya semakin berkurang, disebabkan beberapa hal
diantaranya: insufisiensi plasenta, kehamilan post term, gangguan organ
perkemihan-ginjal, janin terlalau banyak minum sehingga dapat
menimbulkan makin berkurangnya jumlah air ketuban intrauteri
“oligohidramnion” dengan kriteria :
1) Jumlah kurang dari 500 cc
2) Kental
3) Bercampur mekonium
(Manuaba, dkk, 2007:500)
2. Etiologi
Penyebab pasti terjadinya oligohidramnion masih belum diketahui.
Beberapa keadaan berhubungan dengan oligohidramnion hampir selalu
berhubungan dengan obsrtuksi saluran traktus urinarius janin atau renal
agenesis (Khumaira, 2012:188).
Oligohidramnion harus dicurigai jika tinggi fundus uteri lebih rendah
secara bermakna dibandingan yang diharapkan pada usia gestasi tersebut.
Penyebab oligohidramnion adalah absorpsi atau kehilangan cairan yang
meningkat ketuban pecah dini menyebabkan 50 % kasus oligohidramnion,
penurunan produksi cairan amnion yakni kelainan ginjal kongenital akan
menurunkan keluaran ginjal janin obstruksi pintu keluar kandung kemih
atau uretra akan menurunkan keluaran urin dengan cara sama (Rukiyah dan
Yulianti, 2010:232).
Sebab oligohidramnion secara primer karena pertumbuhan amnion yang
kurang baik, sedangkan secara sekunder yaitu ketuban pecah dini (Marmi,
ddk, 2011:111)
3. Patofisiologis
Pecahnya membran adalah penyebab paling umum dari
oligohidramnion. Namun, tidak adanya produksi urine janin atau
penyumbatan pada saluran kemih janin dapat juga menyebabkan
oligohidramnion.
Janin yang menelan cairan amnion, yang terjadi secara fisiologis, juga
mengurangi jumlah cairan. Beberapa keadaan yang dapat menyebabkan
oligohidramnion adalah kelainan kongenital, Pertumbuhan Janin Terhambat
(PJT), ketuban pecah, kehamilan postterm, insufiensi plasenta dan
obatobatan (misalnya dari golongan antiprostaglandin). Kelainan kongenital
yang paling sering menimbulkan oligohidramnion adalah kelainan sistem
saluran kemih dan kelainan kromosom (Prawirohardjo, 2010:155).
Pada insufisiensi plasenta oleh sebab apapun akan menyebabkan
hipoksia janin. Hipoksia janin yang berlangsung kronik akan memicu
mekanisme redistribusi darah. Salah satu dampaknya adalah terjadi
penurunan aliran darah ke ginjal, produksi urin berkurang dan terjadi
oligohidramnion (Prawirohardjo, 2010:269).
4. Komplikasi oligohidramnion
Menurut Manuaba, dkk. (2007:500) Komplikasi oligohidramnion dapat
dijabarkan sebagai berikut:
1) Dari sudut maternal Komplikasi oligohidramnion pada maternal tidak ada
kecuali akibat persalinannya oleh karena:
a) Sebagian persalinannya dilakukannya dengan induksi
b) Persalinan dilakukan dengan tindakan secsio sesaria
Dengan demikian komplikasi maternal adalah trias komplikasi
persalinan dengan tindakan perdarahan, infeksi, dan perlukaan jalan lahir.
2) Komplikasi terhadap janinya
a) Oligohidramnionnya menyebabkan tekanan langsung terhadapat
janinnya:
(1) Deformitas janin adalah:
a. Leher terlalu menekuk-miring
b. Bentuk tulang kepala janin tidak bulat
c. Deformitas ekstermitas
d. Talipes kaki terpelintir keluar
(2) Kompresi tali pusat langsung sehingga dapat menimbulkan fetal
distress
(3) Fetal distress menyebabkan makin terangsangnya nervus vagus
dengan dikeluarkannya mekonium semakin mengentalkan air
ketuban
(a) Oligohidramnion makin menekan dada sehingga saat lahir
terjadi kesulitan bernapas karena paru-paru mengalami
hipoplasia sampai atelektase paru
(b) Sirkulus yang sulit diatasinya ini akhirnya menyebabkan
kematian janin intrauterin
b) Amniotic band
Karena sedikitnya air ketuban, dapat menyebabkan terjadinya
hubungan langsung antara membran dengan janin sehingga dapat
menimbulkan gangguan tumbuh kembang janin intrauterin. Dapat
dijumpai ektermitas terputus oleh karena hubungan atau ikatan dengan
membrannya.
5. Diagnosis Oligohidramnion
Untuk mengetahui oligohidramnion dengan jelas dapat dilakukan
tindakan “Amnioskopi” dengan alat khusus amnioskop. Indikasi amnioskopi
adalah:
a. Usia kehamilan sudah diatas 37 minggu
b. Terdapat preeklamsia-berat atau eklampsia
c. Bad Obstetrics History
d. Terdapat kemungkinan IUGR
e. Kelainan ginjal
f. Kehamilan post date
Hasil yang diharapkan adalah:
a. Kekeruhan air ketuban
b. Pewarnaan dengan mekonium
Komplikasi tindakan amnioskopi adalah:
a. Terjadi persalinan prematur
b. Ketuban pecah-menimbulkan persalinan prematur
c. Terjadi perdarahan-perlukaan kanalis servikalis
d. Terjadi infeksi asendens
Tehnik diagnosis oligohidramnion dapat mempergunakan
Ultrasonografi yang dapat menentukan:

1) Amniotic Fluid Index (AFI) kurang dari 5 cm


2) AFI kurang dari 3 cm disebut Moderate Oligohidramnion
3) AFI kurang dari 2-1 cm disebut Severe Oligohidramnion (Manuaba,
dkk, 2007:501)
6. Gambaran klinis
Pada ibu yang mengalami oligohidramnion biasanya uterusnya akan
tampak lebih kecil dari usia kehamilan, ibu merasa nyeri di perut pada setiap
pergerakan anak, sering berakhir dengan partus prematurus, bunyi jantung
anak sudah terdengar mulai bulan kelima dan terdengar lebih jelas,
persalinan lebih lama biasanya, sewaktu ada his akan sakit sekali, bila
ketuban pecah air ketubannya sedikit sekali bahkan tidak ada yang keluar
dan dari hasil USG jumlah air ketuban kurang dari 500 ml (Rukiyah dan
Yulianti, 2010:232-233).
7. Prognosis
Prognosis oligohidramnion tidak baik terutama untuk janin. Bila
terjadi kehamilan muda akan mengakibatkan gangguan bagi pertumbuhan
janin, bahkan bisa terjadi foetus papyreceous, yaitu picak seperti kertas
karena tekanan-tekanan. Bila terjadi pada kehamilan lanjut akan terjadi
cacat bawaan, cacat karena tekanan atau kulit menjadi tebal dan kering.
Selain itu, dapat mengakibatkan kelainan musculoskeletal (Sistem otot)
(Khumaira, 2012:189).
Oligohidramnion yang berkaitan dengan PPROM pada janin kurang
dari 24 minggu dapat mengakibatkan terjadinya hipoplasia paru-paru. Ada
tiga kemungkinan yang akan terjadi, yaitu:
a. Kompresi toraks, mengakibatkan pengembangan dinding dada dan paru-
paru terhambat
b. Terbatasnya pernapasan janin menurunkan pengembangan paru-paru.
c. Terganggunya produksi serta aliran cairan paru-paru berakibat pada
pertumbuhan dan perkembangan paru-paru (Khumaira, 2012:189).
8. Diagnosa banding
Menurut Sastrawinata dkk, (2005:41) diagnosa pada ibu yang
mengalami oligohidramnion yaitu Ketuban pecah sebelum waktunya .

9. Penatalaksanaan
Penanganan oligohidramnion bergantung pada situasi klinik dan
dilakukan pada fasilitas kesehatan yang lebih lengkap mengingat prognosis
janin yang tidak baik. Kompresi tali pusat selama proses persalinan biasa
terjadi pada oligohidramnion, oleh karena itu persalinan dengan sectio
caesarea merupakan pilihan terbaik pada kasus oligohidramnion (Khumaira,
2012:189).
Menurut Rukiyah dan Yulianti (2010:233) Penatalaksanaan pada ibu
dengan oligohidramnion yaitu :
a. Tirah baring
b. Hidrasi dengan kecukupan cairan
c. Perbaikan nutrisi
d. Pemantauan kesejahteraan janin (hitung pergerakan janin)
e. Pemeriksaan USG yang umum dari volume cairan amnion
E. Induksi Persalinan
1. Pengertian Induksi persalinan
Induksi persalinan ialah suatu tindakan terhadap ibu hamil yang belum
inpartu, baik secara operatif maupun medisinal, untuk merangsang
timbulnya kontraksi rahim sehingga terjadi persalinan. Induksi persalinan
berbeda dengan akselerasi persalinan, dimana pada akselerasi persalinan
tindakan-tindakan tersebut dikerjakan pada wanita hamil yang sudah inpartu
(Wiknjosastro, dkk, 2005:73).
2. Indikasi
Menurut Wiknjosastro, dkk (2005:74) indikasi terhadap janin dan
ibunya yaitu:
a. Indikasi janin
1) Kehamilan lewat waktu
2) Ketuban pecah dini
3) Janin mati
b. Indikasi ibu
1) Kehamilan dengan hipertensi
2) Kehamilan dengan diabetes millitus
3. Kontra indikasi
Menurut Wiknjosastro, dkk (2005:74) kontra indikasi yaitu:
a. Malposisi dan malpresentasi janin
b. Insufisiensi plasenta (plasenta yang mengalami gangguan/ hambatan)
c. Disproporsi sefalopelvik
d. Cacat rahim, misalnya pernah mengalami seksio sesarea
e. Grande multipara
f. Gemelli
g. Distensi rahim yang berlebihan misalnya pada hidramnion
h. Plasenta previa
4. Syarat
Syarat-syarat pemberian infus oksitosin
a. Agar infus oksitosin berhasil dalam menginduksi persalinan dan tidak
memberikan penyulit baik pada ibu maupun janin, maka diperlukan
syarat-syarat sebagai berikut:
1) Kehamilan aterm
2) Ukuran panggul normal
3) Tidak ada CPD (Disproporsi antara pervis dan janin)
4) Janin dalam presentasi kepala
5) Serviks sudah matang yaitu, porsio teraba lunak, mulai mendatar
dan sudah mulai membuka
b. Untuk menilai serviks ini dapat juga dipakai Skor Bishop, yaitu bila nilai
skor bishop lebih dari 8, induksi persalianan kemungkinann besar akan
berhasil.
5. Prosedur
Menurut Wiknjosastro, dkk (2005:75) Teknik infus oksitosin
berencana sebagai berikut:
a. Semalam sebelum infus oksitosin, hendaknya penderita sudah tidur
dengan nyenyak
b. Pagi harinya penderita diberikan obat pencahar
c. Infus oksitosin hendaknya dikerjakan pada pagi hari dengan observasi
yang baik
d. Disiapkan cairan Dextrose 5% 500 ml yang diisi dengan 5 unit
oksitosin
e. Cairan yang sudah mengandung 5 IU oksitosin ini dialirkan secara
intravena melalui saluran infus dengan jarung no. 20 G
f. Jarum suntik intravena dipasang pada vena di bagian volar lengan
bawah
g. Timbulnya kontraksi rahim dinilai dalam setiap 30 menit. Bila dalam
waktu 30 menit ini his tetap lemah, tetesan dapat dinaikan. Umumnya
tetesan maksimal diperolehkan sampai mencapai kadar oksitosin 30-40
tpm UI permenit.
F. Hipertensi Dalam Kehamilan
1. Definisi
Hipertensi dalam pada kehamilan adalah hipertensi yang terjadi saat
kehamilan berlangsung dan biasanya pada bulan terakhir kehamilan atau
lebih setelah 20 minggu usia kehamilan pada wanita yang sebelumnya
normotensif, tekanan darah mencapai nilai 140/90 mmHg, atau kenaikan
tekanan sistolik 30 mmHg dan tekanan diastolik 15 mmHg di atas nilai
normal (Junaidi, 2010).
2. Epidemiologi
Hipertensi pada kehamilan berperan besar dalam morbiditas dan
mortalitas maternal dan perinatal. Hipertensi diperkirakan menjadi
komplikasi sekitar 7-10% seluruh kehamilan. Dari seluruh ibu yang
mengalami hipertensi selama hamil, setengah sampai dua pertiganya
didiagnosis mengalami preeklampsi atau eklampsi (Bobak, 2005).
Di Indonesia, mortalitas dan morbiditas hipertensi pada kehamilan juga
masih cukup tinggi. Hal ini disebabkan oleh etiologi yang tidak jelas, dan
juga perawatan dalam persalinan masih ditangani petugas non medik serta
sistem rujukan yang belum sempurna. Hipertensi pada kehamilan dapat
dipahami oleh semua tenaga medik baik di pusat maupun di daerah
( Prawirohardjo, 2013).
Angka kematian ibu (AKI) di Provinsi Lampung pada tahun 2012
berdasarkan laporan dari kabupaten terlihat kasus kematian ibu (kematian
ibu pada saat hamil, melahirkan, dan nifas) seluruhnya sebanyak 179 kasus
dimana kasus kematian ibu terbesar (59,78%) terjadi pada saat persalinan
dan 70,95% terjadi pada usia 20 – 34 tahun, dan kasus kematian ibu
tertinggi berada di Kota Bandar Lampung (Profil Kesehatan Lampung,
2012).
3. Klasifikasi
Klasifikasi yang dipakai di Indonesia adalah berdasarkan The National
High Blood Pressure Education Program Working Group on High Blood
Pressure in Pregnancy (NHBPEP) memberikan suatu klasifikasi untuk
mendiagnosa jenis hipertensi dalam kehamilan, (NHBPEP, 2000) yaitu :
a. Hipertensi kronik adalah hipertensi yang timbul sebelum umur kehamilan
20 minggu atau hipertensi yang pertama kali didiagnosis setelah umur
kehamilan 20 minggu dan hipertensi menetap sampai 12 minggu
pascapersalinan.
b. Preeklampsia adalah hipertensi yang timbul setelah 20 minggu kehamilan
disertai dengan proteinuria. Eklampsia adalah preeklampsi yang disertai
dengan kejang-kejang dan/atau koma.
c. Preeklampsia pada hipertensi kronik (preeclampsia superimposed upon
chronic hypertension) adalah hipertensi kronik disertai tanda-tanda
preeklampsi atau hipertensi kronik disertai proteinuria.
Hipertensi Hipertensi

Gambaran Klinis Preeklampsia


Kronik Gestasional
Saatnya Muncul Kehamilan Biasanya Kehamilan <20
Hipertensi <20 minggu trimester III Minggu
Derajat HT Ringan-berat Ringan Ringan-berat
Proteinuria Tidak ada Tidak ada Biasanya ada
Serum Urat > 5,5 Ada pada semua

Jarang Tidak ada


mg/dl kasus
Ada pada kasus

Hemokonsenterasi Tidak ada Tidak ada


preeklampsi berat
Ada pada kasus

Trombositopenia Tidak ada Tidak ada


preeklampsi berat
Ada pada kasus

Disfungsi Hati Tidak ada Tidak ada


preeklampsi berat

Tabel 1. Perbedaan gambaran klinis antara hipertensi kronik, hipertensi


gestasional dan preeklampsia (Suyono S, 2009).

d. Hipertensi gestasional adalah hipertensi yang timbul pada kehamilan tanpa


disertai proteinuria dan hipertensi menghilang setelah 3 bulan pascapersalinan
atau kematian dengan tanda-tanda preeklampsi tetapi tanpa proteinuria
(Prawirohardjo, 2013).

4. Faktor Risiko
Hipertensi dalam kehamilan merupakan gangguan multifaktoral.
Beberapa faktor risiko dari hipertensi dalam kehamilan adalah (KatsikiN et
al., 2010) :
a. Faktor maternal
1) Usia maternal
Usia yang aman untuk kehamilan dan persalinan adalah usia
20-30 tahun. Komplikasi maternal pada wanita hamil dan melahirkan
pada usia di bawah 20 tahun ternyata 2-5 kali lebih tinggi dari pada
kematian maternal yang terjadi pada usia 20-29 tahun. Dampak dari
usia yang kurang, dapat menimbulkan komplikasi selama kehamilan.
Setiap remaja primigravida mempunyai risiko yang lebih besar
mengalami hipertensi dalam kehamilan dan meningkat lagi saat usia
diatas 35 tahun (Manuaba C, 2007).
2) Primigravida
Sekitar 85% hipertensi dalam kehamilan terjadi pada
kehamilan pertama. Jika ditinjau dari kejadian hipertensi dalam
kehamilan, graviditas paling aman adalah kehamilan kedua sampai
ketiga (Katsiki N et al., 2010).
3) Riwayat Keluarga
Terdapat peranan genetik pada hipertensi dalam kehamilan. Hal
tersebut dapat terjadi karena terdapat riwayat keluarga dengan
hipertensi dalam kehamilan (Muflihan FA, 2012).
4) Riwayat Hipertensi
Riwayat hipertensi kronis yang dialami selama kehamilan dapat
meningkatkan risiko terjadinya hipertensi dalam kehamilan, dimana
komplikasi tersebut dapat mengakibatkan superimpose preeclampsi
dan hipertensi kronis dalam kehamilan (Manuaba, 2007).
5) Tingginya Indeks Masa Tubuh
Tingginya indeks massa tubuh merupakan masalah gizi karena
kelebihan kalori, kelebihan gula dan garam yang bisa menjadi faktor
risiko terjadinya berbagai jenis penyakit degeneratif, seperti diabetes
melitus, hipertensi dalam kehamilan, penyakit jantung koroner,
reumatik dan berbagai jenis keganasan (kanker) dan gangguan
kesehatan lain. Hal tersebut berkaitan dengan adanya timbunan
lemak berlebih dalam tubuh (Muflihan FA, 2012).
6) Gangguan Ginjal
Penyakit ginjal seperti gagal ginjal akut yang diderita pada ibu
hamil dapat menyebabkan hipertensi dalam kehamilan. Hal tersebut
berhubungan dengan kerusakan glomerulus yang menimbulkan
gangguan filtrasi dan vasokonstriksi pembuluh darah (Muflihan FA,
2012).
b. Faktor Kehamilan
Faktor kehamilan seperti molahilatidosa, hydrops fetalis dan
kehamilan ganda berhubungan dengan hipertensi dalam kehamilan.
Preeklampsi dan eklampsi mempunyai risiko 3 kali lebih sering terjadi
pada kehamilan ganda. Dari 105 kasus bayi kembar dua, didapatkan
28,6% kejadian preeklampsi dan satu kasus kematian ibu karena
eklampsi (Manuaba, 2007)
5. Manifestasi Klinis
Hipertensi dalam kehamilan merupakan penyakit teoritis, sehingga
terdapat berbagai usulan mengenai pembagian kliniknya. Pembagian
klinik hipertensi dalam kehamilan adalah sebagai berikut (Manuaba,
2007) :
a. Hipertensi dalam kehamilan sebagai komplikasi kehamilan
1) Preeklampsi
Preeklampsi adalah suatu sindrom spesifik kehamilan
berupa berkurangnya perfusi organ akibat vasospasme dan
aktivasi endotel. Diagnosis preeklampsi ditegakkan jika terjadi
hipertensi disertai dengan proteinuria dan atau edema yang
terjadi akibat kehamilan setelah minggu ke-20. Proteinuria
didefinisikan sebagai terdapatnya 300 mg atau lebih protein
dalam urin 24 jam atau 30 mg/dl (+1 dipstik) secara menetap
pada sampel acak urin (Cunningham G, 2013). Preeklampsi
dibagi menjadi dua berdasarkan derajatnya yang dapat dilihat
pada tabel 2.

Derajat Preeklampsi

Ringan Berat

1. Hipertensi ≥ 160/110
mmHg
2. Proteinuria ≥ 500 mg/24
jam atau > +3 dipstik
3. Oliguria < 500
mg/24jam
4. Gangguan penglihatan
dan serebral
5. Edema paru dan sianosis
6. Nyeri epigastrium atau
kuadran kanan atas
7. Trombositopenia
8. Pertumbuhan janin
1. Hipertensi ≥ 140/90 mmHg
terganggu.
2. Proteinuria ≥ 300 mg/24 jam
atau ≥ + 1 dipstik

Proteinuria yang merupakan tanda diagnostik preeklampsi dapat


terjadi karena kerusakan glomerulus ginjal. Dalam keadaan normal,
proteoglikan dalam membran dasar glomerulus menyebabkan muatan
listrik negatif terhadap protein, sehingga hasil akhir filtrat glomerulus
adalah bebas protein. Pada penyakit ginjal tertentu, muatan negatif
proteoglikan menjadi hilang sehingga terjadi nefropati dan proteinuria
atau albuminuria. Salah satu dampak dari disfungsi endotel yang ada pada
preeklampsi adalah nefropati ginjal karena peningkatan permeabilitas
vaskular. Proses tersebut dapat menjelaskan terjadinya proteinuria pada
preeklampsi. Kadar kreatinin plasma pada preeklampsi umumnya normal
atau naik sedikit (1,0-1,5mg/dl). Hal ini disebabkan karena preeklampsi
menghambat filtrasi, sedangkan kehamilan memacu filtrasi sehingga
terjadi kesimpangan (Guyton, 2007).

2) Eklampsi
Eklampsia adalah terjadinya kejang pada seorang wanita dengan
preeklampsia yang tidak dapat disebabkan oleh hal lain. Kejang
bersifat grand mal atau tonik-klonik generalisata dan mungkin timbul
sebelum, selama atau setelah persalinan. Eklampsia paling sering
terjadi pada trimester akhir dan menjadi sering mendekati aterm. Pada
umumnya kejang dimulai dari makin memburuknya preeklampsia dan
terjadinya gejala nyeri kepala daerah frontal, gangguan penglihatan,
mual, nyeri epigastrium dan hiperrefleksia. Konvulsi eklampsi dibagi
menjadi 4 tingkat, yaitu (Prawirohardjo, 2013) :
a) Tingkat awal atau aura
Keadaan ini berlangsung kira-kira 30 detik. Mata penderita terbuka
tanpa melihat, kelopak mata bergetar demikian pula tangannya dan
kepala diputar ke kanan atau ke kiri.
b) Tingkat kejang tonik
Berlangsung kurang lebih 30 detik. Dalam tingkat ini seluruh otot
menjadi kaku, wajah kelihatan kaku, tangannya menggenggam dan
kaki membengkok ke dalam. Pernapasan berhenti, muka terlihat
sianotik dan lidah dapat tergigit.
c) Tingkat kejang klonik
Berlangsung antara 1-2 menit. Kejang tonik menghilang. Semua
otot berkontraksi secara berulang-ulang dalam tempo yang cepat.
Mulut membuka dan menutup sehingga lidah dapat tergigit disertai
bola mata menonjol. Dari mulut, keluar ludah yang berbusa, muka
menunjukkan kongesti dan sianotik. Penderita menjadi tak sadar.
Kejang klonik ini dapat terjadi demikian hebatnya, sehingga
penderita dapat terjatuh dari tempat tidurnya. Akhirnya kejang
berhenti dan penderita menarik napas secara mendengkur.
d) Tingkat koma
Lamanya ketidaksadaran tidak selalu sama. Secara perlahan-lahan
penderita menjadi sadar lagi, akan tetapi dapat terjadi pula bahwa
sebelum itu timbul serangan baru yang berulang, sehingga
penderita tetap dalam koma. Selama serangan, tekanan darah
meninggi, nadi cepat dan suhu meningkat sampai 40 C.
e) Kejang pada eklampsi berkaitan dengan terjadinya edema serebri.
Secara teoritis terdapat dua penyebab terjadinya edema serebri
fokal yaitu adanya vasospasme dan dilatasi yang kuat. Teori
vasospasme menganggap bahwa over regulation serebrovaskuler
akibat naiknya tekanan darah menyebabkan vasospasme yang
berlebihan yang menyebabkan iskemia lokal. Akibat iskemia akan
menimbulkan gangguan metabolisme energi pada membran sel
sehingga akan terjadi kegagalan ATP-dependent Na/K pump yang
akan menyebabkan edema sitotoksik. Apabila proses ini terus
berlanjut maka dapat terjadi ruptur membran sel yang
menimbulkan lesi infark yang bersifat irreversible.
Teori force dilatation mengungkapkan bahwa akibat
peningkatan tekanan darah yang ekstrim pada eklampsi
menimbulkan kegagalan vasokonstriksi autoregulasi sehingga
terjadi vasodilatasi yang berlebihan dan peningkatan perfusi darah
serebral yang menyebabkan rusaknya barier otak dengan
terbukanya tight junction sel-sel endotel pembuluh darah. Keadaan
ini akan menimbulkan terjadinya edema vasogenik. Edema
vasogenik ini mudah meluas keseluruh sistem saraf pusat yang
dapat menimbulkan kejang pada eklampsi (Sudibjo P, 2010).

b. Hipertensi dalam kehamilan sebagai akibat dari hipertensi menahun


1) Hipertensi Kronik
Hipertensi kronik dalam kehamilan adalah tekanan darah ≥140/90
mmHg yang didapatkan sebelum kehamilan atau sebelum umur
kehamilan 20 minggu dan hipertensi tidak menghilang setelah 12
minggu pasca persalinan. Berdasarkan penyebabnya, hipertensi kronis
dibagi menjadi dua, yaitu hipertensi primer dan sekunder. Pada
hipertensi primer penyebabnya tidak diketahui secara pasti atau
idiopatik. Hipertensi jenis ini terjadi 90-95% dari semua kasus
hipertensi. Sedangkan pada hipertensi sekunder, penyebabnya
diketahui secara spesifik yang berhubungan dengan penyakit ginjal,
penyakit endokrin dan penyakit kardiovaskular (Manuaba, 2007).
2) Superimposed preeclampsia
Pada sebagian wanita, hipertensi kronik yang sudah ada sebelumnya
semakin memburuk setelah usia gestasi 24 minggu. Apabila disertai
proteinuria, diagnosisnya adalah superimpose preeklampsi pada
hipertensi kronik (superimposed preeclampsia). Preeklampsia pada
hipertensi kronik biasanya muncul pada usia kehamilan lebih dini
daripada preeklampsi murni, serta cenderung cukup parah dan pada
banyak kasus disertai dengan hambatan pertumbuhan janin (Manuaba,
2007).
c. Hipertensi Gestasional
Hipertensi gestasional didapat pada wanita dengan tekanan
darah ≥140/90 mmHg atau lebih untuk pertama kali selama
kehamilan tetapi belum mengalami proteinuria. Hipertensi gestasional
disebut transien hipertensi apabila tidak terjadi preeklampsi dan
tekanan darah kembali normal dalam 12 minggu postpartum. Dalam
klasifikasi ini, diagnosis akhir bahwa yang bersangkutan tidak
mengalami preeklampsi hanya dapat dibuat saat postpartum. Namun
perlu diketahui bahwa wanita dengan hipertensi gestasional dapat
memperlihatkan tanda-tanda lain yang berkaitan dengan preeklampsi,
misalnya nyeri kepala, nyeri epigastrium atau trombositopenia yang
akan mempengaruhi penatalaksanaan (Cunningham G, 2013).
6. Diagnosis
Klasifikasi diagnosis dalam hipertensi dalam kehamilan menurut Buku Saku
Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan
(Kemenkes RI, 2013) :
a. Hipertensi Kronik
1) Tekanan darah ≥140/90 mmHg
2) Sudah ada riwayat hipertensi sebelum hamil, atau diketahui adanya
hipertensi pada usia kehamilan <20 minggu
3) Tidak ada proteinuria (diperiksa dengan tes celup urin)
4) Dapat disertai keterlibatan organ lain,seperti mata,jantung dan ginjal
b. Preeklampsia dan Eklampsia
1) Preeklampsia Ringan
 Tekanan darah ≥140/90 mmHg pada usia kehamilan >20
minggu
 Tes celup urin menunjukkan proteinuria 1+ atau pemeriksaan
protein kuantitatif menunjukkan hasil >300 mg/24 jam
2) Preeklampsia Berat
 Tekanan darah >160/110 mmHg pada usia kehamilan >20
minggu
 Tes celup urin menunjukkan proteinuria ≥2+ atau pemeriksaan
protein kuantitatif menunjukkan hasil >5 g/24 jam
 Atau disertai keterlibatan organ lain:
- Trombositopenia (100.000 sel/uL), hemolisis
mikroangiopati
- Peningkatan SGOT/SGPT, nyeri abdomen kuadran kanan
atas
- Sakit kepala, scotoma penglihatan
- Pertumbuhan janin terhambat, oligohidramnion
- Edema paru dan/gagal jantung kongestif
- Oliguria (,500ml/24 jam), kreatin >1,2 mg/dl
-
c. Superimposed preeklampsia pada hipertensi kronik
1) Ibu dengan riwayat hipertensi kronik (sudah ada sebelum usia
kehamilan 20 minggu)
2) Tes celup urin menunjukkan proteinuria >+1 atau trombosit
<100.000 sel/uL pada usia kehamilan >20 minggu
d. Eklampsia
1) Kejang umum dan/atau koma
2) Ada tanda dan gejala preeklampsia
3) Tidak ada kemungkinan penyebab lain (misalnya epilepsi,
perdarahan subarachnoid, dan meningitis).
7. Cara menentukan diagnosis
1) Anamnesis
Dilakukan anamnesis pada pasien/keluarganya mengenai adanya
gejala, penyakit terdahulu, penyakit keluarga dan gaya hidup sehari-
hari. Gejala dapat berupa nyeri kepala, gangguan visus, rasa panas
dimuka, dispneu, nyeri dada, mual muntah dan kejang. Penyakit
terdahulu seperti hipertensi dalam kehamilan, penyulit pada pemakaian
kontrasepsi hormonal, dan penyakit ginjal. Riwayat gaya hidup meliputi
keadaan lingkungan sosial, merokok dan minum alkohol (POGI, 2010).

2) Pemeriksaan Fisik
Evaluasi tekanan darah dilakukan dengan cara meminta pasien
dalam posisi duduk di kursi dengan punggung bersandar pada
sandaran kursi, lengan yang akan diukur tekanan darahnya,
diletakkan setinggi jantung dan bila perlu lengan diberi penyangga.
Lengan atas harus dibebaskan dari baju yang terlalu ketat
melingkarinya. Pada wanita hamil bila tidak memungkinkan duduk,
dapat miring kearah kiri. Pasien dalam waktu 30 menit sebelumnya
tidak boleh minum kopi dan obat dan tidak minum obat-obat
stimulant adrenergik serta istirahat sedikitnya 5 menit sebelum
dilakukan pengukuran tekanan darah (POGI, 2010).

Alat yang dipakai untuk mengukur tekanan darah adalah


sphygmomanometer. Letakkan manset atau bladder cuff di tengah
arteri brachialis pada lengan kanan, sisi bawah manset kurang lebih
2,5 cm diatas fosa antecubital. Manset harus melingkari sekurang-
kurangnya 80% dari lingkaran lengan atas dan menutupi 2/3 lengan
atas. Menentukan tekanan sistolik palpasi dengan cara palpasi pada
arteri radialis dekat pergelangan tangan dengan dua jari sambil
pompa cuff sampai denyut nadi arteri radialis menghilang. Baca
berapa nilai tekanan ini pada manometer, kemudian buka kunci
pompa. Selanjutnya untuk mengukur tekanan darah, cuff dipompa
secara cepat sampai melampaui 20-30 mmHg diatas tekanan sistolik
palpasi. Pompa dibuka untuk menurunkan mercury dengan kecepatan
2-3 mmHg/detik. Tentukan tekanan darah sistolik dengan
terdengarnya suara pertama (Korotkoff I) dan tekanan darah diastolik
pada waktu hilangnya denyut arteri brakhialis (POGI, 2010).

Pengukuran tekanan darah dengan posisi duduk sangat praktis,


untuk skrining. Namun pengukuran tekanan darah dengan posisi
berbaring, lebih memberikan hasil yang bermakna, khususnya untuk
melihat hasil terapi. Pengukuran tekanan darah tersebut dilakukan
dalam dua kali atau lebih (POGI, 2010).

3) Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan yang perlu dilakukan dalam kasus hipertensi
sebagai komplikasi kehamilan adalah proteinuria, untuk diagnosis
dini preeklampsi yang merupakan akibat dari hipertensi kehamilan.
Pemeriksaan proteinuria dapat dilakukan dengan dua metode, yaitu
secara Esbach dan Dipstick. Pengukuran secara Esbach, dikatakan
proteinuria jika didapatkan protein ≥300 mg dari 24 jam jumlah urin.
Nilai tersebut setara dengan kadar proteinuria ≥30 mg/dL (+1
dipstick) dari urin acak tengah yang tidak menunjukkan tanda-tanda
infeksi saluran kencing.

Interpretasi hasil dari proteinuria dengan metode dipstick adalah


(POGI, 2010) :
+1 = 0,3 – 0,45 g/L

+2 = 0,45 – 1 g/L

+3 = 1 – 3 g/L

+4 = > 3 g/L.

Prevalensi kasus preeklampsi berat terjadi 95% pada hasil


pemeriksaan +1 dipstick, 36% pada +2 dan +3 dipstick (Prasetyo R,
2006).

Gambar 2. Alur Penilaian Klinik Hipertensi Dalam Kehamilan (Prawirohardjo S, 2006)

8. Penatalaksanaan

a. Tatalaksana Umum Hipertensi Gestasional


1) Pantau tekanan darah, urin (untuk proteinuria), dan kondisi janin
setiap minggu
2) Jika tekanan darah meningkat, tangani sebagai preeklampsia ringan
3) Jika kondisi janin memburuk atau terjadi pertumbuhan janin
terhambat, rawat untuk penilaian kesehatan janin
4) Beri tahu pasien dan keluarga tanda bahaya dan gejala preeklampsia
dan eklampsia
5) Jika tekanan darah stabil, janin dapat dilahirkan secara normal.
b. Tatalaksana umum Preeklampsia dan Eklampsia
Ibu hamil dengan preeklampsia harus segera di rujuk ke rumah sakit

Pencegahan dan tatalaksana kejang :

1) Bila terjadi kejang, perhatikan jalan napas, pernapasan (oksigen),


dan sirkulasi (cairan intravenna).
2) MgSO4 diberikan secara intravena kepada ibu dengan eklampsia
(sebagai tatalaksana kejang) dan preeklampsia berat (sebagai
pencegahan kejang). Cara pemberian dapat dilihat sebagai berikut.
3) Pada kondisi dimana MgSO4 tidak dapat diberikan seluruhnya,
berikan dosis awal (loading dose) lalu rujuk ibu segera ke fasilitas
kesehatan yang memadai.
4) Lakukan intubasi jika terjadi kejang berulang dan segera kirim ibu
ke ruang ICU (bila tersedia) yang sudah siap dengan fasilitas
ventilator tekanan positif.
CARA PEMBERIAN MgSO4 :

(a) Berikan dosis awal 4 g MgSO4 sesuai prosedur untuk mencegah


kejang atau kejang berulang
(b) Sambil menunggu rujukan, mulai dosis rumatan 6 gr MgSO4 dalam
6 jam sesuai prosedur.

Syarat pemberian MgSO4 :

- Tersedia Ca Glukonas 10%


- Ada refleks patella
- Jumlah urin minimal 0,5 ml/kg BB/jam
Cara pemberian dosis awal :

- Ambil 4 g MgSO4 (10 ml larutan MgSO4 40%) dan larutan


dengan 10 ml akuades
- Berikan larutan tersebut secara perlahan IV selama 20 menit
- Jika akses intravena sulit, berikan masing-masing 5g MgSO4
(12,5 ml larutan MgSO4 40%) IM di bokong kiri dan kanan
Cara pemberian dosis rumatan

- Ambil 6 g MgSO4 (15 ml larutan MgSO4 40%) dan larutkan


dalam 500 ml larutan Ringer Laktat/Ringer Asetat, lalu berikan
secara IV dengan kecepatan 28 tetes/menit selama 6 jam, dan
diulang hingga 24 jam setelah persaliann atau kejang berakhir
(bila eklampsia)
c) Lakukan pemeriksaan fisik tiap jam, meliputi tekanan darah,
frekuensi nadi, frekuensi pernapasan, refleks patella, dan jumlah
urin.
d) Bila frekuensi pernapasan <16 x/menit, dan/atau tidak didapatkan
refleks tendon patella, dan/atau terdapat oliguria (Produksi urin
<0,5 ml/kg BB/jam, segera hentikan pemberian MgSO4.
e) Jika terjadi depresi napas, berikan Ca glukonas 1 g IV (10 ml
larutan 10%) bolus dalam 10 menit.
f) Selama ibu dengan preeklampsia dan eclampsia dirujuk, pantau dan
nilai adanya perburukan preeklampsia. Apabila terjadi eclampsia,
lakukan penilaian awal dan tatalaksana kegawatdaruratan. Berikan
kembali MgSO4 2 g IV perlahan (15-20 menit). Bila setelah
pemberian MgSO4 ulangan masih terdapat kejang, dapat
dipertimbangkan pemberian diazepam 10 mgg IV selama 2 menit.

Antihipertensi:
a) Ibu dengan hipertensi berat selama kehamilan perlu mendapat
terapi antihipertensi
b) Pilihan antihipertensi didasarkan terutama pada pengalaman
dokter dan ketersediaan obat. Beberapa jenis antihipertensi yang
dapat digunakan misalnya:
Nama obat Dosis Keterangan

Nifedipin 4x10-30 mg per oral Dapat menyebabkan


(short acting) hipoperfusi pada pada
ibu dan janin bila
1x20-30 mg per oral
diberikan sublingual
(long acting

Adalat OROS®)

Nikardipin 5 mg/jam, dapat


dititrasi 2,5 mg/jam
tiap 5 menit hingga
maksimum 10 mg/jam

Metildopa 2x250-500 mg per oral


(dosis maksimum
2000 mg/hari).

9. Pencegahan

Strategi yang dilakukan guna mencegah hipertensi dalam


kehamilan meliputi upaya nonfarmakologi dan farmakologi. Upaya
nonfarmakologi meliputi edukasi, deteksi prenatal dini dan manipulasi
diet. Sedangkan upaya farmakologi mencakup pemberian aspirin dosis
rendah dan antioksidan (Cunningham G, 2013).

a. Penyuluhan untuk kehamilan berikutnya


Wanita yang mengalami hipertensi selama kehamilan harus
dievaluasi pada masa postpartum dini dan diberi penyuluhan
mengenai kehamilan mendatang serta risiko kardiovaskular
mereka pada masa yang akan datang. Wanita yang mengalami
preeklampsi-eklampsia lebih rentan mengalami penyulit
hipertensi pada kehamilan berikutnya (James R dan Catherine N,
2004). Edukasi mengenai beberapa faktor risiko yang
memperberat kehamilan dan pemberian antioksidan vitamin C
pada wanita berisiko tinggi dapat menurunkan angka morbiditas
hipertensi dalam kehamilan (Cunningham G, 2013).
b. Deteksi pranatal dini
Selama kehamilan, waktu pemeriksaan pranatal
dijadwalkan 1 kali saat trimester pertama, 1 kali saat trimester
kedua dan 2 kali pada trimester ketiga. Kunjungan dapat ditambah
tergantung pada kondisi maternal. Dengan adanya pemeriksaan
secara rutin selama kehamilan dapat dilakukan deteksi dini
hipertensi dalam kehamilan. Wanita dengan hipertensi yang nyata
(≥140/90mmHg) sering dirawat inapkan selama 2 sampai 3 hari
untuk dievaluasi keparahan hipertensi kehamilannya yang baru
muncul. Meskipun pemilihan pemeriksaan laboratorium dan
tindakan tambahan tergantung pada sifat keluhan utama dan
biasanya merupakan bagian rencana diagnostik, pemeriksaan sel
darah lengkap dengan asupan darah, urinalisis serta golongan
darah dan rhesus menjadi tiga tes dasar yang memberikan data
objektif untuk evaluasi sebenarnya pada setiap kedaruratan
obstetri ginekologi. Hal tersebut berlaku pada hipertensi dalam
kehamilan, urinalisis menjadi pemeriksaan utama yang dapat
menegakkan diagnosis dini pada preeklampsi (Cunningham G,
2013).
c. Manipulasi diet
Salah satu usaha awal yang ditujukan untuk mencegah
hipertensi sebagai penyulit kehamilan adalah pembatasan asupan
garam. Diet tinggi kalsium dan pemberian kapsul dengan
kandungan minyak ikan dapat menyebabkan penurunan bermakna
tekanan darah serta mencegah hipertensi dalam kehamilan
(Cunningham G, 2013).
d. Aspirin dosis rendah
Penelitian pada tahun 1986, melaporkan bahwa pemberian
aspirin 60 mg atau placebo pada wanita primigravida mampu
menurunkan kejadian preeklampsi. Hal tersebut disebabkan
karena supresi selektif sintesis tromboksan oleh trombosit serta
tidak terganggunya produksi prostasiklin (Cunningham G, 2013).
e. Antioksidan
Terapi antioksidan secara bermakna menurunkan aktivasi
sel endotel dan mengisyaratkan bahwa terapi semacam ini
bermanfaat dalam pencegahan hipertensi kehamilan, terutama
preeklampsi. Antioksidan tersebut dapat berupa vitamin C dan E
(Cunningham G, 2013)
G. Masa Nifas
1. Pengertian Masa Nifas
Menurut Sarwono dikutip dari Astutik (2015) mengatakan bahwa
masa nifas adalah mulai setelah partus selesai, dan berakhir setelah kira-kira
6 minggu. Akan tetapi, seluruh otot genetalia baru pulih kembali seperti
sebelum ada kehamilan dalam waktu 3 bulan.
2. Tujuan Asuhan Masa Nifas
Menurut Saleha dikutip dari Astutik (2015), tujuan asuhan masa nifas
antara lain:
a. Menjaga kesehatan ibu dan bayinya, baik fisik maupun psikologis
b. Melaksanakan skrining yang komprehensif, mendeteksi masalah,
mengobati atau merujuk bila terjadi komplikasi pada ibu dan bayinya.
c. Memberikan pendidikan kesehatan tentang perawatan kesehatan diri,
nutrisi, keluarga berencana, menyusui, pemberian imunisasi kepada
bayinya dan perawatan bayi sehat.
d. Memberikan pelayanan  keluarga berencana
3. Program dan Kebijakan Teknis
Kunjungan masa nifas paling sedikit empat kali kunjungan, dilakukan
dengan tujuan untuk menilai keadaan ibu dan BBL dan untuk mencegah,
mendeteksi dan menangani masalah-masalah yang terjadi. Asuhan yang
diberikan sewaktu melakukan kunjungan ulang (Astutik, 2015):
Tabel 2.

Kunjungan Tujuan

Kunjungan I 1. Mencegah perdarahan masa nifas


(6-8 jam Masa 2. Mendeteksi dan melakukan tindakan penyebab
Nifas) lain seperti perdarahan rujuk jika perdarahan
berlanjut
3. Pemberian ASI awal
4. Melakukan hubungan antara ibu dan BBL
5. Menjaga bayi tetap sehat dengan cara
mencegah hipotermi
6. Petugas kesehatan yang menolong persalinan
harus tinggal 2 jam pertama setelah kelahiran
dengan mantau vital sign
Kunjungan II 1. Memastikan involusi uterus berjalan dengan
(6 hari Masa Nifas) normal
2. Menilai adanya tanda-tanda demam, infeksi,
dan perdarahan
3. Memastikan ibu mendapat istirahat yang
cukup
4. Memastikan ibu mendapat makanan yang
bergizi dan cukup cairan
5. Memastikan ibu menyusui dengan baik dan
benar serta tidak ada tanda-tanda kesulitan
menyusui
6. Memberikan konseling tentang perawatan bayi
baru lahir
Kunjungan III 1. Asuhannya sama seperti 6 hari Masa Nifas
(2minggu Masa 2. Rencana KB
Nifas) 3. Kelanjutan hubungan sex

Kunjungan IV 1. Menanyakan penyulit-penyulit yang dialami


(6minggu Masa ibu selama masa nifas
Nifas) 2. Memberikan konseling KB secara dini

Sumber: Prawirohardjo: 2009

4. Tahapan Masa Nifas


Menurut Mochtar dikutip dari Astutik (2015), tahapan masa nifas
(peurperium) antara lain:
a. Peurperium Dini, masa kepulihan dimana ibu sudah diperbolehkan
berdiri dan berjalan-jalan
b. Peurperium Intermedial, masa kepulihan menyeluruh dari organ-organ
genital, kira-kira antara 6-8 minggu
c. Remote Peurperium, waktu yang diperlukan untuk pulih dan sehat
sempurna terutama apabila ibu selama hamil atau persalinan
mempunyai komplikasi.
5. Perubahan Fisiologis Masa Nifas
a. Involusi Uterus
Menurut Astutik (2015) involusi atau pengerutan uterus merupakan
suatu proses dimana uterus kembali ke kondisi sebelum hamil dengan
berat sekitar 60 gram. Proses ini dimulai segera setelah plasenta lahir
akibat kontraksi otot-otot polos uterus. Secara rinci proses involusi
uterus dapat dilihat pada tabel dibawah ini
Tabel 3
Proses Involusi Uterus

Involusi TFU Berat Uterus

Bayi Lahir Setinggi pusat 1000 gram

Uri Lahir 2 jari dibawah pusat 750 gram

1 minggu Pertengahan pusat-symphisis 500 gram

2 minggu Tidak teraba diatas symphisis 350 gram

6 minggu Bertambah kecil 50 gram


8 minggu Sebesar normal 30 gram

Sumber: Astutik, Reni Yuli: 2015

b. Bekas Implantasi
Bagian implantasi plasenta seluas 12x15 cm dengan
merupakan suatu luka yang kasar dan menonjol ke dalam kavum
uteri dimana pembuluh darah besar bermuara, segera setelah
persalinan. Bekas implantasi dengan cepat mengecil pada minggu
ke dua sebesar 6-8 cm, dan akhir masa nifas sebesar 2 cm.
(Astutik, 2015)
c. Luka –Luka Perineum
Menurut Suhaeni dikutip dari Rukiyah (2011) terjadi
robekan pada hampir semua persalinan pertama dan tidak jarang
juga pada persalinan berikutnya. Robekan perineum umumnya
terjadi di garis tengah dan bisa menjadi luas apabila kepala janin
lahir terlalu cepat.
d. After Pains
Menurut Suherni dikutip dari Rukiyah (2011) After Pains adalah
rasa sakit yang mencengkra, (kram) pada abdomen bagian bawah
yang sering dijumpai pada hari ke-7 hingga ke-10 postnatal
e. Lochea
Menurut Astutik (2015), macam-macam Lochea antara lain:
1) Lochea Rubra
Berisi darah segar dan sisa-sisa selaput ketuban, sel desidua,
verniks caseosa, alnugo dan meconium. Terjadi 1-3 hari pasca
persalinan.
2) Lochea Sanguinolenta
Warnanya merah kuning berisi darah dan lender. Ini terjadi
pada hari ke 3-7 pasca persalinan.
3) Lochea Serosa
Berwarna kuning dan cairan ini tidak berdarah lagi pada hari
ke 7-14 pasca persalinan.
4) Lochea Alba
Cairan putih yang terjadi pada hari setelah 2 minggu.
5) Lochea Purulenta
Terjadi infeksi, keluar cairan seperti nanah berbau busuk.
6) Locheastasis
Lochea tidak lancer keluar.
d. Serviks
Menurut Sulistyawati dikutip dari Astutik (2015) perubahan
yang terjadi pada servik ialah bentuk servik agak mengangga
seperti corong,segera setelah bayi lahir. Bentuk ini disebabkan oleh
corvus uteri yang dapat mengadakan kontraksi, sedangkan servik
tidak berkontreaksi sehingga seolah-olah pada perbatasan antara
corvus dan servik berbentuk semacam cincin.
Muara servik yang berdilatasi sampai 10 cm sewaktu
persalinan akan menutup secara perlahan dan bertahap. Setelah
bayi lahir, tangan dapat masuk ke dalam rongga rahim. Setelah 2
jam, hanya dapat dimasukin 2-3 jari. Pada minggu ke 6 post
partum,servik sudah menutup kembali.
e. Ligamen-Ligamen
Ligamen-ligamen dan diafragma pelvis, serta fasia yang
merenggang sewaktu kehamilan dan partus, setelah janin lahir,
berangsur-angsur menciut kembali seperti sediakala. Tidak jarang
ligamentum rotundum menjadi kendur yang mengakibatkan letak
uterus menjadi retrofleksi. Tidak jarang pula wanita mengeluh
“kandungannya turun” setelah melahirkan oleh karena ligament,
fasia, dan jaringan penunjang alat genetalia menjadi agak kendur.
(Dewi, 2011)

f. Perubahan Sistem Pencernaan


Menurut Astutik (2015) diperlukan waktu 3-4 hari sebelum
faal usus kembali normal. Meskipun kadar progesteron menurun
setelah melahirkan, namun asupan makanan juga mengalami
penurunan selama satu atau dua hari, gerak tubuh berkurang dan
usus bawah sering kosong jika sebelum melahirkan diberikan
enema. Rasa sakit di daerah perineum dapat menghalangi
keinginan untuk Buang Air Besar (BAB) sehingga pada masa nifas
sering timbul keluhan konstipasi akibat tidak teraturnya BAB.
g. Perubahan Sistem Perkemihan
Menurut Sulistyawati dikutip dari Astutik (2015) setelah
proses persalinan berlangsung, biasanya ibu akan sulit untuk buang
air kecil dalam 24 jam pertama. Kemungkinan penyebab dari
keadaan ini adalah terdapat spasme sfingter dan edema leher
kandung kemih sesudah bagian ini mengalami kompresi (tekanan)
antara kepala janin dan tulang pubis selama persalinan
berlangsung. Urine dalam jumlah besar akan di hasilkan dalam 13-
36 jam postpartum. Kadar horman estrogen yang bersifat menahan
air akan mengalami penurunan yang mencolok. Keadaan tersebut
disebut “ diuresis” ureter yang berdilatasi akan kembali normal
dalam 6 minggu.
h. Sistem Kardiovaskuler
Menurut Astutik (2015) setelah terjadi diuresis akibat
penurunan kadar estrogen, volume darah kembali kepada keadaan
tidak hamil. Jumlah sel darah merah dan hemoglobin kembali
normal pada hari ke lima. Meskipun kadar estrogen mengalami
penurunan yang sangat besar selama masa nifas, namun kadarnya
masih tetap lebih tinggi daripada normal. Plasma darah tidak begitu
mengandung cairan dan dengan demikian daya koagulasi
meningkat. Pembekuan darah harus dicegah dengan penanganan
yang cermat dan penekanan pembuluh darah pada ambulasi dini.

6. Proses Adaptasi Psikologis Ibu Pada Masa Nifas


Periode masa nifas merupakan waktu dimana ibu mengalami stress
pascapersalinan, terutama pada ibu primipara. Hal – hal yang dapat
membantu ibu dalam beradaptasi pada masa nifas adalah sebagai berikut.
a. Fungsi yang dapat mempengaruhi untuk sukses dan lancarnya masa
transisi menjadi orang tua.
b. Respon dan dukungan dari keluarga dan teman dekat.
c. Riwayat pengalaman hamil dan melahirkan sebelumnya.
d. Harapan, keinginan, dan aspirasi ibu saat hamil juga melahirkan.

7. Kebutuhan Dasar Ibu Masa Nifas


Menurut Rukiyah (2010) kebutuh dasar ibu masa nifas antara lain:
a. Nutrisi
Nutrisi atau gizi adalah zat yang diperlukan oleh tubuh untuk
keperluan metabolismenya. Kebutuhan gizi pada masa nifas terutama
bila menyusui akan meningkat 25%, karena berguna untuk proses
kesembuhan karena sehabis melahirkan dan untuk memproduksi air
susu yang cukup untuk menyehatkan bayi. Semua itu akan meningkat 3
kali lipat dari kebutuhan biasa.
Ibu nifas membutuhkan nutrisi yang cukup, gizi seimbang,
terutama kebutuhan protein dan karbohidrat. Nutrisi yang baik dapat
mempercepat penyembuhan ibu dan sangat mempengruhi susunan air
susu. Ibu menyusui harus memenuhi kebutuhan akan gizi sebagai
berikut:
1) Mengkonsusi tambahan 500 kalori tiap hari.
2) Minum sedikitnya 3 liter air setiap hari.
3) Pil zat besi harus diminum untuk menambah zat gizi, setidaknya
selama 40 hari pasca peralinan.
4) Minum kapsul viamin A 200.000 unit agar dapat memberikan
vitamin A kepada bayinya melalui ASI.

b. Ambulasi Dini
Ibu yang baru melahirkan mungkin enggan banyak bergerak
karena merasa letih dan sakit. Namun ibu harus dibantu turun dari
tempat tidur dalam 24 jam pertama setelah kelahiran pervaginam.
Ambulasi dini sangat penting dalam mencegah thrombosis vena. Tujuan
dari ambulasi dini adalah untuk membantu menguatkan otot-otot perut
dan dengan demikian menghasilkan bentuk tubuh yang baik,
mengencangkan otot dasar panggul sehingga mencegah atau
memperbaiki sirkulasi darah keseluruh tubuh.
c. Eliminasi
1) BAK
Rasa nyeri kadang mengakibatkan ibu nifas engga untuk berkemih
(miksi), tetapi harus diusahakan untuk tetap berkemih secara teratur.
Hal ini dikarenakan kandung kemih yang penuh dapat menyebabkan
pendarahan uterus. Buang Air Kecil (BAK) sebaiknya dilakukan
secara spontan/mandiri. BAK yang normal pada masa nifas adakan
BAK spontan setiap 3-4 jam.
2) BAB
BAB normal sekitar 3-4 hari masa nifas. Setelah melahirkan, ibu
nifas sering mengeluh mengalami kesulitan untuk Buang Air Besar
(BAB), yang disebabkan pengosongan usus besar sebelum
melahirkan serta faktor individual misalnya nyeri pada luka
perineum ataupun perasaan takut jika BAB menimbulkan robekan
jahitan perineum.
d. Kebersihan Diri
Ajarkan ibu bagaimana membersihkan daerah vagina dengan sabun dan
air. Pastikan bahwa ia mengerti untuk membersihkan daerah vagina
terlebih dahulu dari depan ke belakang anus. Sarankan ibu untuk
mencuci tangan dengan sabun dan air sebelum dan sesudah
membesihkan daerah vaginanya. Sarankan ibu untuk mengganti
pembalut atau kain pembalut setidaknya dua kali sehari.

e. Istirahat
Ibu postpartum sangat membutuhkan istirahat yang berkualitas untuk
memulihkan kembali keadaan fisiknya. Keluarga disarankan untuk
memberikan kesempatan kepada ibu untuk beristirahat yang cukup
sebagai persiapan untuk menyusui bayinya nanti. Kerugian kurang
istirahat adalah mengurangi jumlah ASI yang diproduksi,
memperlambat proses involusi dan memperbanyak perdarahan,
menyebabkan depresi dan ketidaknyamanan untuk merawat bayi dan
dirinya sendiri. Menurut Jannah (2011) dibutuhkan sekitar 8 jam bagi
ibu nifas istirahat pada malam hari dan 1 jam pada siang hari.
8. Proses Laktasi dan Menyusui
Laktasi adalah keseluruhan proses menyusui mulai dari ASI
diproduksi sampai proses bayi menghisap dan menelan ASI. Masa laktasi
mempunyai tujuan meningkatkan pemberian ASI eksklusif dan
meneruskan pemberian ASI sampai anak umur 2 tahun secara baik dan
benar serta anak mendapatkan kekebalan tubuh secara alami. (Ambarwati,
2009).
a. Fisiologi Laktasi
Menurut Astutik (2015) dalam pembentukan air susu ada dua refleks
yang membantu dalam  pembentukan dan pengeluaran air susu yaitu
reflek prolaktin dan reflek oksitosin.
1) Reflek Prolaktin
Setelah persalinan kadar estrogen dan progersteron menurun,
ditambah lagi dengan adanya isapan bayi yang merangsang puting
susu dan kalang payudara, akan merangsang ujung-ujung saraf
sensoris yang berfungsi sebagai reseptor mekanik. Rangsangan ini
akan dilanjutkan ke hipotalamus yang akan menekan pengeluaran
faktor- faktor penghambat  sekresi prolaktin dan sebaliknya. Faktor
faktor yang memacu sekresi prolaktin akan merangsang
adenohipofise sehingga keluar prolaktin. Hormon ini merangsang
sel-sel alveoli yang berfungsi untuk membuat air susu.

2) Reflek Oksitosin
Dengan dibentuknya hormone prolaktin rangsangan yang
berasal dari isapan bayi akan dilanjutkan ke neurohipofise yang
kemudian dikeluarkan oksitosin. Melalui aliran darah, hormon ini
akan menuju uterus yang dapat menimbulkan kontraksi pada uterus
sehingga terjadi involusi pada organ tersebut. Oksitosin yang sampai
pada alveoli akan mempengaruhi sel miopitelium. Kontraksi sel akan
memeras air susu yang telah terbuat keluar dari alvoli dan masuk ke
sistem duktus yang untuk selanjutnya akan mengalir melalui duktus
laktiferus masuk ke mulut bayi.
9. Teknik Menyusui dan ASI Eksklusif
a. Teknik Menyusui
1) Menyusui dengan sikap duduk
2) Tangan kanan menyangga payudara kiri dan keempat jari dan
ibu jari menekan payudara bagia atas areola
3) Bayi diberi rangsangan untuk membuka mulut (rooting reflex)
dengan cara menyentuh pipi denga putting susu atau
menyentuh sisi mulut bayi
4) Setelah bayi membuka mulut, dengan cepat kepal bayi
didekatkan ke payudara ibu dengan putting serta areola
dimasukkan kemulut bayi, sehingga putting susu berada
dibawah langit-langit dan lidah bayi akan menekan ASI keluar
dari tempat penampungan ASI yang terletak dibawah areola
5) Melepas isapan bayi, setelah menyusui pada satu payudara
sampai terasa kosong, sebaiknya diganti menyusui pada
payudara lain.
6) Setelah menyusui, ASI dikeluarkan sedikit kemudian di
oleskan pada putting susu dan areola sekitarnya. Biarkan kering
dengan sendirinya
7) Menyendawakan bayi, tujuan menyendawkan bayi adalah
mengeluarkan udara dari lambung supaya bayi tidak muntah
(gumoh) setelah menyusu.
b. ASI Eksklusif
Asi eksklusif adalah pemberian ASI selama 6 bulan tanpa
dicampur dengan tambahan cairan lain seperti susu formula, jeruk,
madu, air teh, air putih, dan tanpa tambahan makanan padat seperti
pisang, papaya, bubur susu, biscuit, bubur nasi tim. (Maryunani,
2009)
10. Tanda-Tanda Bahaya Masa Nifas
Menurut Kemenkes (2015) tanda-tanda bahaya masa nifas antara lain:
a. Pendarahan lewat jalan lahir
b. Keluar cairan berbau dari jalan lahir
c. Bengkak di wajah, tangan dan kaki, atau sakit kepala dan kejang-
kejang
d. Demam lebih dari 2 hari
e. Payudara bengkak, merah disertai rasa sakit
f. Ibu terlihat sedih, murung dan menangis tanpa sebab (depresi)
11. Komplikasi Masa Nifas
a. Infeksi Masa Nifas
Menurut Prawirohardjo (2009) infeksi masa nifas merupakan
morbaditas dan mortalitas bagi ibu pasca bersalin. Faktor
predisposisinya antara lain kurangnya gizi atau malnutrisi, anemia,
hygiene, kelelehan, proses persalinan bermasalah (partus
lama/macet, korioamnionitis, persalinan traumatik, manipulasi
yang berlebihan, dapat berlanjut ke infeksi dalam masa nifas).
Macam-macam infeksi masa nifas:
1) Metritis
Metritis adalah infeksi uterus setelah persalinan yang
merupakan salah satu penyebab terbesar kematian ibu. Bila
pengobatan terhambat akan menjadi abses pelvik, peritonitis,
syok septik, thrombosis vena yang dalam, emboli pulmonal,
infeksi pelvik yang menahun.
2) Bendungan Payudara
Bendungan payudara adalah peningkatan aliran vena dan limfe
pada payudara dalam rangka mempersiapkan diri untuk laktasi.
Hal ini bukan disebabkan overdistensi dari saluran sistem
laktasi.
3) Infeksi Payudara
Infeksi payudara sesudah persalinan, seperti mastitis yaitu
payudara tegang dan kemerahan, dan abses payudara yaitu
terdapat masa padat yang mengeras di bwah kulit yang
kemerahan.
4) Abses Pelvis
Terdapat tanda cairan fluktuasi pada daerah cul-de-sac.
5) Peritonitis
Pada parionitis umum terjadi peningkatan suhu tubuh, nadi
cepat dan kecil, perut kembung dan nyeri, dan ada defence
musculaire. Muka yang semula kemerah-merahan menjadi
pucat, mata cekun, kulit dingin, terdapat fasies hippocratica.
Pada peritonitis yang terbatas didaerah pelvis, gejalanya tidak
seberat peritonitis umum.
6) Infeksi Luka Perineal dan Luka Abdominal
Disebabkan oleh keadaan yang kurang bersih dan tindakan
pencegahan infeksi yang kurang baik.
7) Tromboflebitis
Perluasan infeksi yang mengikuti aliran darah disepanjang vena
dan cabang-cabangnya.
8) Pelviotromboflebitis
Nyeri pada perut bawah atau samping, pada hari ke 2-3 masa
nifas dengan atau tanpa panas. Tampak sakit berat, menggigil
berulang kali, suhu badan naik turun secara tajam, dapat
berlangsung selama 1-3 bulan, terdapat leukositosis. Pada
periksa dalam hampir tidak ditemukan apa-apa karena yang
paling banyak terkena ialah vena ovarika yang sukar pada
pemeriksaan dalam.
9) Tromboflebitis Femoralis
Mengenai vena-vema pada tungai, misalnya vena femoralis,
vena popliteal dan vena safena.
b. Pendarahan Masa Nifas
Menurut Rukiyah (2011) definisi pendarah masa nifas nifas
keluarnya darah ± 500 ml atau lebih, sesudah lahir atau setelah
Kala III. Perdarahan ini bisa terjadi segera begitu ibu meahirkan.
Terutama di dua jam pertama. Kalau terjadi pendarahan, maka
tinggi rahim akan bertambah naik, tekanan darah menurun, dan
denyut nadi ibu menjadi cepat.
Klasifaksi klinisnya antara lain perdarahan pasca persalinan
primer yaitu perdarahan yang terjadi dalam 24 jam pertama, dan
perdarahan paca persalinan sekunder yaitu perdarahan yang terjadi
setelah 24 jam pertama. Faktor predisposisi perdarahan dalam
masa nifas adalah sebagai berikut:
1) Atonia Uteri (>75%) atau uteri tidak berkontraksi dalam 15
detik setelah dilakukan massase fundus uteri.
2) Robekan jalan lahir atau robekan yang terjadi pada jalan lahir
disebabkan oleh robekan spontan atau memang sengaja
dilakukan episiotomy, robekan jalan lahir dapat terjadi di
serviks, perlukaan vagina, dan robekan perineum.
3) Retensio plasenta dan sisa plasenta (plasenta tertahan di dalam
rahim baik sebagian atau seluruhnya).
4) Inversion Uterus (uterus keluar dari rahim).
5) Gangguan pembekuan darah (koagulopati).
c. Infeksi Saluran Kemih
Kejadian infeksi saluran kemih pada masa nifas relative tinggi
dan hal ini dihubungkan dengan hipotomi kandung kemih akibat
trauma kandung kemih waktu persalinan, pemeriksaan dalam yang
terlalu sering, kotaminasi kuman dari perineum, atau kateterisasi
yang sering.
d. Patologi Menyusui
Masalah yang terjadi adalah masalah-masalah yang biasanya
terjadi dalam pemberian ASI.
1) Putting susu lecet, disebabkan karena tekanan jari ibu yang
terlalu kuat pada saat menyusui.
2) Payudara bengkak, disebabkan karena pemakaian bra yang
ketat.
Saluran susu tersumbat, disebabkan karena air susu yang terkumpul
tidak segera dikeluarkan sehingga terbentuklah sumbatan
H. Bayi Baru Lahir
1. Definisi
Bayi baru lahir (neonatus) adalah bayi yang berusia 0-28 hari
(Kementerian Kesehatan RI, 2010). Bayi baru lahir adalah bayi berusia satu
jam yang lahir pada usia kehamilan 37-42 minggu dan berat badannya
2.500-4000 gram (Dewi, 2010)
2. Ciri-ciri
Bayi baru lahir normal mempunyai ciri-ciri berat badan lahir 2500-
4000 gram, umur kehamilan 37-40 minggu, bayi segera menangis, bergerak
aktif, kulit kemerahan, menghisap ASI dengan baik, dan tidak ada cacat
bawaan (Kementerian Kesehatan RI, 2010).
Bayi baru lahir normal memiliki panjang badan 48-52 cm, lingkar
dada 30-38 cm, lingkar lengan 11-12 cm, frekuensi denyut jantung 120-160
x/menit, pernapasan 40-60 x/menit, lanugo tidak terlihat dan rambut kepala
tumbuh sempurna, kuku agak panjang dan lemas, nilai APGAR >7, refleks-
refleks sudah terbentuk dengan baik (rooting, sucking, morro, grasping),
organ genitalia pada bayi laki-laki testis sudah berada pada skrotum dan
penis berlubang, pada bayi perempuan vagina dan uretra berlubang serta.
adanya labia minora dan mayora, mekonium sudah keluar dalam 24 jam
pertama berwarna hitam kecoklatan (Dewi, 2010)
3. Klasifikasi Neonatus
Bayi baru lahir atau neonatus di bagi dalam beberapa kasifikasi
menurut Marmi (2015) , yaitu :
a. Neonatus menurut masa gestasinya :
1) Kurang bulan (preterm infant) : < 259 hari (37 minggu)
2) Cukup bulan (term infant) : 259-294 hari (37-42 minggu)
3) Lebih bulan (postterm infant) : > 294 hari (42 minggu atau lebih)
b. Neonatus menurut berat badan lahir :
1) Berat lahir rendah : < 2500 gram
2) Berat lahir cukup : 2500-4000 gram\
3) Berat lahir lebih : >4000gram
c. Neonatus menurut berat lahir terhadap masa gestasi (masa gestasi
dan ukuran berat lahir yang sesuai untuk masa kehamilan) :
1) Nenonatus cukup/kurang/lebih bulan (NCB/NKB/NLB)
2) Sesuai/kecil/besar untuk masa kehamilan (SMK/KMK/BMK)

4. Penatalaksanaan Bayi Baru Lahir Normal


Semua bayi diperiksa segera setelah lahir untuk mengetahui apakah
transisi dari kehidupan intrauterine ke ekstrauterine berjalan dengan
lancar dan tidak ada kelainan. Pemeriksaan medis komprehensif
dilakukan dalam 24 jam pertama kehidupan. Pemeriksaan rutin pada
bayi baru lahir harus dilakukan, tujuannya untuk mendeteksi kelainan
atau anomali kongenital yang muncul pada setiap kelahiran dalam 10-
20 per 1000 kelahiran, pengelolaan lebih lanjut dari setiap kelainan
yang terdeteksi pada saat antenatal, mempertimbangkan masalah
potensial terkait riwayat kehamilan ibu dan kelainan yang diturunkan,
dan memberikan promosi kesehatan, terutama pencegahan terhadap
sudden infant death syndrome (SIDS) (Lissauer, 2013)
Tujuan utama perawatan bayi segera sesudah lahir adalah untuk
membersihkan jalan napas, memotong dan merawat tali pusat,
mempertahankan suhu tubuh bayi, identifikasi, dan pencegahan infeksi
(Saifuddin, 2008). Asuhan bayi baru lahir meliputi :
a. Pencegahan Infeksi (PI)
b. Penilaian awal untuk memutuskan resusitasi pada bayi
Untuk menilai apakah bayi mengalami asfiksia atau tidak
dilakukan penilaian sepintas setelah seluruh tubuh bayi lahir dengan
tiga pertanyaan :
1) Apakah kehamilan cukup bulan?
2) Apakah bayi menangis atau bernapas/tidak megap-megap?
3) Apakah tonus otot bayi baik/bayi bergerak aktif?
Jika ada jawaban “tidak” kemungkinan bayi mengalami asfiksia
sehingga harus segera dilakukan resusitasi. Penghisapan lendir
pada jalan napas bayi tidak dilakukan secara rutin (Kementerian
Kesehatan RI, 2013)
c. Pemotongan dan perawatan tali pusat
Setelah penilaian sepintas dan tidak ada tanda asfiksia pada bayi,
dilakukan manajemen bayi baru lahir normal dengan mengeringkan
bayi mulai dari muka, kepala, dan bagian tubuh lainnya kecuali
bagian tangan tanpa membersihkan verniks, kemudian bayi
diletakkan di atas dada atau perut ibu. Setelah pemberian oksitosin
pada ibu, lakukan pemotongan tali pusat dengan satu tangan
melindungi perut bayi.
Perawatan tali pusat adalah dengan tidak membungkus tali pusat
atau mengoleskan cairan/bahan apa pun pada tali pusat (Kementerian
Kesehatan RI, 2013). Perawatan rutin untuk tali pusat adalah selalu
cuci tangan sebelum memegangnya, menjaga tali pusat tetap kering
dan terpapar udara, membersihkan dengan air, menghindari dengan
alkohol karena menghambat pelepasan tali pusat, dan melipat popok
di bawah umbilikus (Lissauer, 2013).
d. Inisiasi Menyusu Dini (IMD)
Setelah bayi lahir dan tali pusat dipotong, segera letakkan bayi
tengkurap di dada ibu, kulit bayi kontak dengan kulit ibu untuk
melaksanakan proses IMD selama 1 jam. Biarkan bayi mencari,
menemukan puting, dan mulai menyusu. Sebagian besar bayi akan
berhasil melakukan IMD dalam waktu 60-90 menit, menyusu
pertama biasanya berlangsung pada menit ke-45-60 dan berlangsung
selama 10-20 menit dan bayi cukup menyusu dari satu payudara
(Kementerian Kesehatan RI, 2013).
Jika bayi belum menemukan puting ibu dalam waktu 1 jam, posisikan
bayi lebih dekat dengan puting ibu dan biarkan kontak kulit dengan
kulit selama 30-60 menit berikutnya. Jika bayi masih belum
melakukan IMD dalam waktu 2 jam, lanjutkan asuhan perawatan
neonatal esensial lainnya (menimbang, pemberian vitamin K, salep
mata, serta pemberian gelang pengenal) kemudian dikembalikan lagi
kepada ibu untuk belajar menyusu (Kementerian Kesehatan RI,
2013).
e. Pencegahan kehilangan panas melalui tunda mandi selama 6 jam,
kontak kulit bayi dan ibu serta menyelimuti kepala dan tubuh bayi
(Kementerian Kesehatan RI, 2013).
f. Pemberian salep mata/tetes mata
Pemberian salep atau tetes mata diberikan untuk pencegahan infeksi
mata. Beri bayi salep atau tetes mata antibiotika profilaksis
(tetrasiklin 1%, oxytetrasiklin 1% atau antibiotika lain). Pemberian
salep atau tetes mata harus tepat 1 jam setelah kelahiran. Upaya
pencegahan infeksi mata tidak efektif jika diberikan lebih dari 1 jam
setelah kelahiran (Kementerian Kesehatan RI, 2013).
g. Pencegahan perdarahan melalui penyuntikan vitamin K1 dosis
tunggal di paha kiri
Semua bayi baru lahir harus diberi penyuntikan vitamin K1
(Phytomenadione) 1 mg intramuskuler di paha kiri, untuk mencegah
perdarahan BBL akibat defisiensi vitamin yang dapat dialami oleh
sebagian bayi baru lahir (Kementerian Kesehatan RI, 2010).
Pemberian vitamin K sebagai profilaksis melawan hemorragic
disease of the newborn dapat diberikan dalam suntikan yang
memberikan pencegahan lebih terpercaya, atau secara oral yang
membutuhkan beberapa dosis untuk mengatasi absorbsi yang
bervariasi dan proteksi yang kurang pasti pada bayi (Lissauer, 2013).
Vitamin K dapat diberikan dalam waktu 6 jam setelah lahir (Lowry,
2014).
h. Pemberian imunisasi Hepatitis B (HB 0) dosis tunggal di paha kanan
Imunisasi Hepatitis B diberikan 1-2 jam di paha kanan setelah
menyuntikan vitamin K1 yang bertujuan untuk mencegah penularan
Hepatitis B melalui jalur ibu ke bayi yang dapat menimbulkan
kerusakan hati (Kementerian Kesehatan RI, 2010).
i. Pemeriksaan Bayi Baru Lahir (BBL)
Pemeriksaan BBL bertujuan untuk mengetahui sedini mungkin
kelainan pada bayi. Bayi yang lahir di fasilitas kesehatan dianjurkan
tetap berada di fasilitas tersebut selama 24 jam karena risiko
terbesar kematian BBL terjadi pada 24 jam pertama kehidupan. saat
kunjungan tindak lanjut (KN) yaitu 1 kali pada umur 1-3 hari, 1 kali
pada umur 4-7 hari dan 1 kali pada umur 8-28 hari (Kementerian
Kesehatan RI, 2010).
j. Pemberian ASI eksklusif
ASI eksklusif adalah pemberian ASI tanpa makanan dan
minuman tambahan lain pada bayi berusia 0-6 bulan dan jika
memungkinkan dilanjutkan dengan pemberian ASI dan makanan
pendamping sampai usia 2 tahun. Pemberian ASI ekslusif
mempunyai dasar hukum yang diatur dalam SK Menkes Nomor
450/Menkes/SK/IV/2004 tentang pemberian ASI Eksklusif pada
bayi 0-6 bulan. Setiap bayi mempunyai hak untuk dipenuhi
kebutuhan dasarnya seperti Inisiasi Menyusu Dini (IMD), ASI
Ekslusif, dan imunisasi serta pengamanan dan perlindungan bayi
baru lahir dari upaya penculikan dan perdagangan bayi. Tanda bayi
mendapat asi yang cukup yaitu :
1) Buang air kecil sebanyak 6x/24 jam
2) Buang air besar bayi berwarna kekuningan “berbiji”
3) Bayi tampak puas setelah minum ASI
4) Payudara ibu terasa lembut dan kosong setelah menyusu
5) Berat badan bayi bertambah
5. Pola Eliminasi
a. Buang Air Kecil
Biasanya sejumlah kecil urine terdapat kandung kemih bayi saat lahir,
tapi bayi baru lahir mungkin tidak mengeluarkan urine selama 12-24
jam. Umumnya bayi cukup bulan mengeluarkan urine 15-
16ml/kg/hari, sedangkan bayi dengan hipotermi yang ada
hubungannya dengan bayi berat badan lahir rendah mempunyai
masalah pada sistem perkembihannya, dimana ginjal bayi tersebut
karena belum matang maka tidak mampu mengelola air, elektrolit dan
asam basa, tidak mampu mengeluarkan hasil metabolisme dan obat-
obatan dengan memadai serta tidak mampu mengeluarkan urine (Putri
Nida Hana, dikutip dari Anik Maryunani, 2009 hal 27).
b. Buang Air Besar
Biasanya, mekonium keluar dalam 24 jam pertama setelah lahir
(Kementrian Kesehatan RI, 2012). Mekonium berwarna hitam
kecoklatan.
6. Perawatan Bayi Di Rumah
a. Pemberian ASI pada Bayi Baru Lahir
1) Pada keadaan normal, bayi menyusu sebanyak 8 kali per hari. Jika
bayi telah tidur selama 2-3 jam, bangunkan bayi untuk diteteki. 
2) Untuk meningkatkan produksi ASI, ibu harus meneteki sesuai
kebutuhan bayi, pagi, siang, sore dan malam sampai bayi puas,
meneteki dengan payudara kiri sampai kosong dilanjutkan kanan
bergantian. 
3) Ibu nifas harus merawat payudara dengan cara membersihkannya
sebelum dan sesudah menyusui. Ibu dapat membersihkan payudara
dengan membasuhkan kapas yang dicelupkan air hangat. 
4) Ibu menyusui eksklusif yaitu ibu hanya memberikan ASI saja
(kecuali obat, vitamin dan ASI peras) sampai bayi berumur 6
bulan. 
5) Ibu yang menyusui eksklusif memberikan banyak keuntungan,
antara lain : ASI mudah dicerna dan diserap bayi, ASI melindungi
bayi dari penyakit, menyusui membantu menunda kehamilan,
menyusui mempercepat pemulihan rahim. 
b. Posisi menyusui yang benar 
1) Posisi ibu menyusui : Santai, pakai kursi dengan sandaran, bantal 
2) Memasukan putting susu 
3) Payudara kanan, kepala bayi pada siku badan bayi menghadap ke
ibu 
4) Lengan kiri bayi di pinggang ibu, tangan kanan ibu di pantat bayi 
5) Sanggalah payudara kanan ibu dengan keempat jari tangan kiri
dibawahnya, ibu jari diatasnya, tetapi tidak diatas bagian yang
berwarna hitam 
6) Sentulah mulut bayi dengan putting susu
7) Tunggu sampai bayi membuka mulut besar – besar 
8) Masukkan putting susu secepatnya kedalam mulut sampai daerah
berwarna hitam 
c. Memandikan Bayi
Di daerah yang panas, bayi dimandikan setiap pagi dan sore hari,
tetapi di daerah pegunungan cukup sehari, misalnya sore hari saja.
Waktu memandikan bayi harus sebelum makan, dan sebaiknya antara
pukul 09.00 sampai 10.00 pagi, dan sore antara pukul 15.00 sampai
16.00. 
1) Merawat Tali Pusat Bersih, Kering, Terbuka
2) Mengganti Popok : Pada umumnya setiap kali bayi kencing atau
buang air besar popoknya harus diganti.Tetapi penggantian popok
tidak boleh mengganggu ketenangan bayi.
3) Merawat Genetalia 
4) Menjemur bayi : Sinar matahari dan udara segar sangat penting
untuk pertumbuhan dan pemeliharaan kesehatan. Bayi sejak
berumur beberapa hari sebaiknya setiap pagi dibawa keluar untuk
mendapatkan sinar matahari dan hawa sejuk.
5) Menjaga Bayi Agar Tetap Sehat (periksa rutin)

7. Tanda – Tanda Bahaya pada Bayi Baru Lahir


Berikut berapa tanda yang perlu anda perhatikan dalam mengenali
kegawatan pada bayi baru (neonatus):
a. Bayi tidak mau menyusu
b. Kejang
c. Lemah
d. Sesak Nafas
e. Merintih
f. Pusar Kemerahan
g. Demam atau Tubuh Merasa Dingin
h. Mata Bernanah Banyak
i. Kulit Terlihat Kuning
Tindakan yang harus dilakukan bila ada salah satu saja tanda bahaya :
Merujuk segera ke rumah sakit atau puskesmas. Masalah atau kondisi akut
perlu tindakan segera dalam satu jam kelahiran (oleh tenaga di kamar
bersalin) :
a. Tidak bernafas
b. Sesak nafas
c. Sianosis sentral ( kulit biru)
d. Bayi berat lahir rendah (BBLR ) < 2500 gram
e. Letargis
f. Hipotermi atau stress dingin (suhu aksila <36.5°c)
g. Kejang

I. MISOPROSTOL
1. Deskripsi
Misoprostol merupakan obat yang telah disahkan oleh Badan
Pengawasan Obat dan Makanan di Amerika Serikat ( Food abd Drug
Administration/FDA ) sejak tahun 1985 dan diindikasikan untuk mencegah
ulkus lambung akibat penggunaan obat anti inflamasi non steroid (Depkes
RI)
Misoprostol adalah suatu analog prostaglandin/sintesis hormon
prostaglandin, stabil pada suhu tubuh, aman dan efektif digunakan secara
oral, sublingual, rektal ataupun intra vaginal. Preparat ini telah banyak
digunakan dalam induksi persalinan di bidang ginekology. dan dipilih
sebagai langkah awal induksi karena persentase efektifitas dan keamanan
dapat mencapai 95%. Faktor resiko pendarahan akibat persalinan normal
ataupun tindakan kuret tidak ditemukan dalam studi kasus pemakaian
misoprostol, diperoleh data bahwa 400mcg misoprostol sebanding dengan
efek oksitosin pada persalinan normal.
Misoprostol (Cytotec) adalah prostaglandin E1 sintetik, dan saat ini
terseda sebagai tablet 100 mcg untuk mencegah ulkus peptic. Obat ini
digunakan “off-label” (di luar indikasi resmi) untuk pematangan serviks
prainduksi dan induksi persalinan. Misoprostol berharga murah, stabil pada
suhu kamar, dan mudah diberikan peroral atau dengan memasukkannya ke
vagina, tetapi tidak ke serviks (Jordan, 2010)
Misoprostol, suatu analog prostaglandin E telah dipakai secara luas di
bidang obstetri ginekologi pada kehamilan trimester I dan II untuk
pematangan serviks sebelum tindakan kuratase sampai tindakan aborsi
medis tanpa kuretase (Agoes, 2005)
2. Keunggulan
Misoprostol memiliki banyak keunggulan dan mudah digunakan
terutama jika dibandingkan dengan preparat prostaglandin lainnya,
misoprostol relatif murah, , tidak perlu penyimpanan yang khusus dan stabil
pada suhu ruangan. Misoprostol  pada  awalnya tidak digunakan sebagai 
obat pada saat kehamilan, tetapi pada perkembangannya penggunaan obat
tersebut di banyak negara telah diketahui dapat menyebabkan   kontraksi
uterus pada awal kehamilan dan pada beberapa penelitian telah digunakan
untuk induksi abortus,   pematangan serviks dan pengobatan pada
perdarahan pasca persalinan.
Keuntungan dari penggunaan misoprostol termasuk lebih efektif, murah
biayanya, stabil pada suhu ruangan dan mudah pemberiaanya baik diberikan
secara oral, intravaginal, ataupun rektal (Hall, et al, 2002; Bennet, 2000).
Penelitian berikutnya melaporkan bahwa misoprostol intravaginal lebih
menguntungkan dibandingkan dengan obat lain yang sering digunakan
dalam pematangan serviks, termasuk oksitosin dan prostaglandin (Bennet,
2000).
3. Indikasi Dan Kontraindikasi
Indikasi :
 Oksitosik
 Menstimulus kontraksi uterus
 Untuk induksi persalinan.
 Pasien dengan Tukak lambung.
 Tukak duodenum.
 Tukak karena obat anti inflamasi non steroid (AINS).
 Refluks esofagitis.
 Refluks duodenogastral.
 Keluhan lambung (neurologis), sendawa asam, rasa kenyang, dan
nyeri di sekitar perut bagian atas (semasa hamil karena obat atau salah
makan, penyalahgunann nikotin, alkohol,kafein).

Kontraindikasi

 Untuk proteksi GI, misoprostol dikontraindikasikan pada kehamilan


karena resiko aborsi.
 Pasien-pasien harus diberi tahu untuk tidak memberikan misoprostol
kepada orang lain.
 Pasien pasien yang menerima terapi jangka lama AINSS untuk
reumotoid arthritis, misoprostol 200µg qid lebih baik daripada
antagonis reseptor H2 atau sukralfat dalam mencegah gastric ulcer
yang induksinya oleh AINS.
Walaupun demikian misoprostol tidak menghilangkan nyeri G1 atau
rasa tidak enak yang dihubungkan dengan pengunaan AINS
 Rencana kehamilan.
 Hipersensitivitas.

Perhatian!

Jangan menggunakan misoprostol untuk pencegahan sakit maag jika


Anda sedang hamil. Misoprostol di FDA kehamilan kategori X. Ini berarti
bahwa misoprostol dikenal berbahaya bagi bayi yang belum lahir.
Misoprostol dapat menyebabkan keguguran atau aborsi spontan (kadang-
kadang tidak lengkap yang dapat menyebabkan perdarahan berbahaya dan
memerlukan rawat inap dan operasi), kelahiran prematur, atau cacat lahir.
Misoprostol juga telah dilaporkan menyebabkan pecahnya rahim (robek)
ketika diberikan setelah delapan minggu kehamilan, yang dapat
mengakibatkan perdarahan hebat, histerektomi, dan / atau kematian ibu
atau janin.

Tes kehamilan dengan hasil negatif akan diperlukan dalam waktu 2


minggu setelah mulai pengobatan dengan misoprostol, dan pengobatan
akan dimulai hanya pada hari kedua atau ketiga dari siklus menstruasi
yang teratur. Juga, kontrasepsi yang tepat akan diperlukan untuk mencegah
kehamilan selama pengobatan dan perawatan untuk satu berikut siklus
menstruasi. Dalam beberapa kasus, misoprostol dapat digunakan di bawah
pengawasan dokter untuk induksi persalinan atau aborsi.

Jangan berbagi obat dengan orang lain. Misoprostol telah diresepkan


untuk kondisi tertentu, mungkin bukan pengobatan yang tepat untuk orang
lain, dan akan berbahaya jika orang lain sedang hamil.

JIKA DOSIS TERLEWAT maka Minum obat waktu untuk dosis


berikutnya, lewati dosis yang tidak terjawab dan mengambil hanya dosis
teratur dijadwalkan berikutnya. Jangan mengambil dosis ganda dari obat
ini.
JIKA TERJADI overdosis SEGERA Cari bantuan medis darurat.
Gejala overdosis misoprostol tidak terkenal tetapi mungkin termasuk sakit
perut, sakit perut, diare, mengantuk, tremor, kejang, kesulitan bernapas,
demam, tekanan darah rendah, dan denyut jantung tidak teratur.

Apa yang harus saya hindari saat mengambil misoprostol?

Jangan berbagi obat dengan orang lain. Misoprostol telah diresepkan


untuk kondisi tertentu, mungkin bukan pengobatan yang tepat untuk orang
lain, dan akan berbahaya jika orang lain sedang hamil.

J. FEBRIS ATAU DEMAM


1. Pengertian
Febris/demam adalah tindak balas normal badan terhadap sebarang
jangkitan dan penyakit-penyakit lain. Ia bukanlah satu penyakit tetapi gejala
yang selalunya menandakan anda mempunyai penyakit-penyakit yang ringan
(tidak serius). Suhu badan normal adalah 37°C, jika melebihi tahap ini anda
akan disahkan demam (Anonim,B, 2009).
Demam adalah tanda infeksi, namun penderita penyakit serius dengan
infeksi dapat tanpa demam atau suhu lebih rendah daripada normal. Lagipula
ada banyak penyebab demam selain infeksi. Demam adalah akibat kondisi
yang ditimbulkan oleh perubahan dalam pusat pengatur panas melalui
pengaruh sitokin yang dihasilkan oleh makrofag (Shulman et al, 1994).
Demam karena infeksi bersifat menguntungkan karena mengurangi
stabilitas lisosom, meningkatkan efek interferon, dan merangsang mobilitas
leukosit dan aktivitas bakterisidal. Demam berbeda dengan hiperpireksia
maupun dengan hipertermia karena keduanya tidak memiliki batasan atas
kenaikan suhu. Demam tidaklah sama dengan hipertermia, yang diartikan
sebagai peningkatan suhu tubuh yang tidak terkontrol. Hipertermia dapat
diakibatkan oleh pembentukan panas yang berlebihan atau gangguan
pengeluaran panas (Declan, 1997).
Menurut Suriadi (2001), demam adalah meningkatnya temperatur suhu
tubuh secara abnormal.
Tipe demam yang mungkin kita jumpai antara lain :
a. Demam septik
Suhu badan berangsur naik ketingkat yang tinggi sekali pada malam hari
dan turun kembali ketingkat diatas normal pada pagi hari. Sering disertai
keluhan menggigil dan berkeringat. Bila demam yang tinggi tersebut turun
ketingkat yang normal dinamakan juga demam hektik.
b. Demam remiten
Suhu badan dapat turun setiap hari tetapi tidak pernah mencapai suhu
badan normal. Penyebab suhu yang mungkin tercatat dapat mencapai dua
derajat dan tidak sebesar perbedaan suhu yang dicatat demam septik.
c. Demam intermiten
Suhu badan turun ketingkat yang normal selama beberapa jam dalam satu
hari. Bila demam seperti ini terjadi dalam dua hari sekali disebut tersiana
dan bila terjadi dua hari terbebas demam diantara dua serangan demam
disebut kuartana.
d. Demam kontinyu
Variasi suhu sepanjang hari tidak berbeda lebih dari satu derajat. Pada
tingkat demam yang terus menerus tinggi sekali disebut hiperpireksia.
e. Demam siklik
Terjadi kenaikan suhu badan selama beberapa hari yang diikuti oleh
beberapa periode bebas demam untuk beberapa hari yang kemudian diikuti
oleh kenaikan suhu seperti semula.
Suatu tipe demam kadang-kadang dikaitkan dengan suatu penyakit
tertentu misalnya tipe demam intermiten untuk malaria. Seorang pasien
dengan keluhan demam mungkin dapat dihubungkan segera dengan suatu
sebab yang jela seperti : abses, pneumonia, infeksi saluran kencing,
malaria, tetapi kadang sama sekali tidak dapat dihubungkan segera dengan
suatu sebab yang jelas. Dalam praktek 90% dari para pasien dengan
demam yang baru saja dialami, pada dasarnya merupakan suatu penyakit
yang self-limiting seperti influensa atau penyakit virus sejenis lainnya.
Namun hal ini tidak berarti kita tidak harus tetap waspada terhadap inveksi
bakterial.
2. Etiologi
Penyebab demam selain infeksi juga dapat disebabkan oleh keadaan
toksemia, keganasan atau reaksi terhadap pemakaian obat, juga pada
gangguan pusat regulasi suhu sentral (misalnya: perdarahan otak, koma).
Pada dasarnya untuk mencapai ketepatan diagnosis penyebab demam
diperlukan antara lain: ketelitian penggambilan riwayat penyakit pasien,
pelaksanaan pemeriksaan fisik, observasi perjalanan penyakit dan evaluasi
pemeriksaan laboratorium.serta penunjang lain secara tepat dan holistik.
Beberapa hal khusus perlu diperhatikan pada demam adala cara timbul
demam, lama demam, tinggi demam serta keluhan dan gejala lian yang
menyertai demam.
Demam belum terdiagnosa adalah suatu keadaan dimana seorang pasien
mengalami demam terus menerus selama 3 minggu dan suhu badan diatas
38,3 derajat celcius dan tetap belum didapat penyebabnya walaupun telah
diteliti selama satu minggu secara intensif dengan menggunakan sarana
laboratorium dan penunjang medis lainnya.
3. Patofisiologi Febris
 Suhu badan tengah/core “biasa” 37º C
 Dalam 24 jam bervariasi +/- ~0,5º C:
 turun pada pagi, naik pada malam
 Definisi klasik febris/fever: ≥ 38º C, rektal diukur dengan thermometer-
Hg kaca.
 Suhu badan diatur melalui aksi para prostoglandin pada hipotalamus
dengan mengubah konstriksi sistem peredahan darah.
4. Bayi Kecil & Febris
 Febris pada Neonatus (<28 hr) & bayi kecil (<60 hr) dianggap kena
sepsis sampai dibuktikan bukan sepsis.
 Bakteri pada bayi ini sering berbeda & lebih patologis
 Sistem imun bayi kurang mampu mengopsonisasi & isolirkan bakteri.
 HIPOTERMIA (< 36,5ºC) juga menandai infeksi sepsis pada bayi kecil.
 Suhu REKTAL harus diukur pd semua bayi kecil yg tidak sehat.
5. Anamnesa Untuk Bayi Kecil Febris
Bayi kecil (<60 hari) Bertanyalah tentang:
 Nafsu makan/mengisap 
 Muntah
 Interaksi sosial 
 Episode apne > sering / lama (>20 dtk)
 Gaya menangis berbeda
 Lahir prematur
 Air ketupan keluar dini (>24 jam sblm lahir atau > 6 jam untuk infeksi
herpes)
 Infeksi kelamin pd ibu (herpes)
 Kejang
 Sulit bernafas

Anda mungkin juga menyukai