Bab 1 2
Bab 1 2
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB)
merupakan salah satu indikator pembangunan kesehatan dalam RPJMN 2015-
2019 dan SDGs. Menurut data SDKI, Angka Kematian Ibu sudah mengalami
penurunan pada periode tahun 1994- 2012 yaitu pada tahun 1994 sebesar 390
per 100.000 kelahiran hidup, tahun 1997 sebesar 334 per 100.000 kelahiran
hidup, tahun 2002 sebesar 307 per 100.000 kelahiran hidup, tahun 2007 sebesar
228 per 100.000 kelahiran hidup namun pada tahun 2012 , Angka Kematian
Ibu meningkat kembali menjadi sebesar 359 per 100.000 kelahiran hidup.
Untuk AKB dapat dikatakan penurunan on the track (terus menurun) dan pada
SDKI 2012 menunjukan angka 32/1.000 KH (SDKI 2012). Dan pada tahun
2015, berdasarkan data SUPAS 2015 baik AKI maupun AKB menunjukan
penurunan (AKI 305/ 100.000 KH; AKB 22,23/ 1000 KH).
AKI berupakan salah satu indikator mutu pelayanan kesehatan di suatu
negara. Helmizar (2014) berpendapat bahwa alat ukur yang paling banyak
dipakai oleh negara-negara didunia adalah, usia harapan hidup (life
expectancy), Angka Kematian Ibu (AKI), Angka Kematian Bayi (AKB).
Angka-angka ini pula yang menjadi bagian penting dalam membentuk indeks
pembangunan manusia atau Human Development Index (HDI), yang
menggambarkan tingkat kemjuan suatu bangsa.
Menurut laporan WHO yang telah dipublikasikan pada tahun 2014
Angka Kematian Ibu (AKI) di dunia mencapai angka 289.000 jiwa. Di mana
terbagi atas beberapa Negara, antara lain Amerika Serikat mencapai 9300 jiwa,
Afrika Utara 179.000 jiwa dan Asia Tenggara 16.000 jiwa. (Irawan, 2015).
Data SDKI tahun 2012 menunjukkan peningkatan AKI yang signifikan
yaitu menjadi 359 kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup. AKI kembali
menujukkan penurunan menjadi 305 kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup
berdasarkan hasil Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) 2015.
(Kementerian Kesehatan RI, 2017).
Gambar 1.1
Angka Kematian Ibu Di Indonesia Tahun 1991 – 2015
B. Rumusan Masalah
Dengan memperhatikan latar belakang tersebut maka rumusan masalah
studi kasus ini adalah “Bagaimana Asuhan Kebidanan Komprehensif Pada Ny.
A Usia 26 Tahun G1P0A0 Gravida 42-43 Minggu dengan dengan
Oligohidramnion dan Hipertensi Gestasional di RSUD Arjawinangun
Kabupaten Cirebon 2019?”
C. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Mahasiswa mampu memberikan Asuhan Kebidanan Komprehensif
Pada ibu dengan oligohidramnion dan hipertensi gestasional, khususnya
pada salah satu pasien di RSUD Arjawinangun.
2. Tujuan Khusus
a. Mampu melakukan pengkajian data subjektif dan objektif pada Asuhan
Kebidanan Komprehensif Pada Ny. A Usia 26 Tahun G1P0A0 Gravida
42-43 Minggu dengan dengan Oligohidramnion dan Hipertensi
Gestasional di RSUD Arjawinangun Kabupaten Cirebon 2019
b. Mampu membuat analisis secara tepat berdasarkan pengkajian data
subjektif dan objektif Pada Ny. A Usia 26 Tahun G1P0A0 Gravida 42-43
Minggu dengan dengan Oligohidramnion dan Hipertensi Gestasional di
RSUD Arjawinangun Kabupaten Cirebon 2019.
c. Mampu melakukan penatalaksanaan yang sesuai berdasarkan analisis
Pada Ny. A Usia 26 Tahun G1P0A0 Gravida 42-43 Minggu dengan
dengan Oligohidramnion dan Hipertensi Gestasional di RSUD
Arjawinangun Kabupaten Cirebon 2019.
d. Mampu membuat pendokumentasian Asuhan Kebidanan Kehamilan
dalam bentuk Pada Ny. A Usia 26 Tahun G1P0A0 Gravida 42-43
Minggu dengan dengan Oligohidramnion dan Hipertensi Gestasional di
RSUD Arjawinangun Kabupaten Cirebon 2019.
e. Untuk menambah pengetahuan dan wawasan mahasiswa di lapangan.
D. Manfaat
1. Bagi Rumah Sakit
Sebagai bahan referensi review internal mutu pelayanan di RSUD
Arjawinangun dan menjadikan RSUD Arjawinangun semakin berkualitas
dalam memberikan pelayanan khususnya asuhan kebidanan.
2. Bagi Bidan
Membantu menambah referensi dalam hal pemahaman perkembangan
pengetahuan dan penatalaksanaan serta dapat digunakan untuk menetapkan
strategi yang tepat sehingga dapat memberikan asuhan kebidanan yang
berkualitas meliputi bio- psiko- sosial- spritual yang berhubungan dengan
asuhan kebidanan normal.
3. Bagi Institusi Pendidikan
Sebagai wacana bagi institusi pendidikan dalam meningkatkan mutu
pendidikan di masa yang akan datang seperti mutu keterampilan atau
kompetensi kebidanan, sebagai bahan parameter penilaian mahasiswa sejauh
mana menerapkan teori yang sudah didapatkan di Pendidikan dan menjalin
hubungan kerjasama antara pihak kampus dan pihak RSUD Arjawinangun
4. Bagi Pasien dan Keluarga
Mendapatkan pelayanan kebidanan yang baik sesuai harapan pasien dengan
asuhan kebidanan pada kehamilan di RSUD Arjawinangun.
5. Bagi Pembaca
Dapat memberikan informasi mengenai masalah kebidanan khususnya
asuhan kebidanan pada pasien dengan kehamilan normal.
6. Bagi Penulis
Agar penulis mampu memahami dan memberikan asuhan kebidanan
kehamilan yang berkualitas serta dapat mengimplementasikan asuhan
kebidanan yang berkualitas tersebut saat ditempatkan di lahan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Persalinan
1. Definisi
Persalinan adalah proses membuka dan menipisnya serviks dan janin
turun ke dalam jalan lahir. Persalinan dan kelahiran nornal (spontan) adalah
proses lahirnya bayi secara spontan dengan letak belakang kepala atau
dengan tenaga ibu sendiri tanpa melalui pacuan, tanpa komplikasi baik ibu
maupun janin, tanpa buatan dan bantuan alat-alat serta tidak melukai ibu
dan bayi yang umumnya berlangsung kurang dari 24 jam dan persalinan
dengan usia kehamilan yang aterm yaitu 37-42 minggu dan berat janin di
atas 2500 gram (Asri dan Cristine, 2012:1).
Berdasarkan Peraturan Kementrian Kesehatan 2014 No.79 Pasal 1
Ayat 3, persalinan adalah setiap kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan
yang ditujukan pada ibu sejak dimulainya persalinan hingga 6 (enam) jam
sesudah melahirkan. Persalinan merupakan suatu proses pengeluaran hasil
konsepsi yang dapat hidupdari dalam uterus melalui vagina ke dunia luar
dengan umur kehamilan di atas 28 minggu. (Rohani, 2011).
Menurut World Health Organization (WHO)persalinan normal adalah
persalinan yang dimulai secara spontan, beresiko rendah pada awal
persalinan dan tetap demikian selama proses persalinan, bayi dilahirkan
secara spontan dalam presentasi belakang kepala pada usia kehamilan antara
37- 42 minggu. Setelah persalinan ibu maupun bayi dalam kondisi baik.
(WHO, 2014).
Persalinan Normal adalah proses pengeluaran bayi, plasenta dan
selaput ketuban dari uterus pada usia kehamilan cukup bulan (umur
kehamilan lebih dari 37 minggu) tanpa disertai penyulit (JNPK-KR, 2010).
2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Persalinan
Menurut Sumarah (2009), faktor-faktor yang mempengaruhi
persalinan yaitu power, passage, passanger, posisi ibu dan psikologis.
Menurut Bandiyah (2009), faktor-faktor yang mempengaruhi persalinan
adalah power, passage, passanger, psycian dan psikologis.
a. Power (Kekuatan)
Power adalah kekuatan janin yang mendorong janin keluar.
Kekuatan yang mendorong janin keluar dalam persalinan ialah his,
kontraksi otot-otot perut, kontraksi diafragma dan aksi dari ligament,
dengan kerja sama yang baik dan sempurna. (Oxorn, 2010).
Kekuatan terdiri dari kemampuan ibu melakukan kontraksi
involunter dan volunteer secara bersamaan untuk mengeluarkan janin
dan plasenta dari uterus. Kontraksi involunter disebut juga kekuatan
primer, menandai dimulainya persalinan. Apabila serviks berdilatasi,
usaha volunteer dimulai untuk mendorong, yang disebut kekuatan
sekunder, dimana kekuatan ini memperbesar kekuatan kontraksi
involunter.
Kekuatan primer berasal dari titik pemicu tertentu yang terdapat
pada penebalan lapisan otot di segmen uterus bagian atas. Dari titik
pemicu, kontraksi dihantarkan ke uterus bagian bawah dalam bentuk
gelombang, diselingi periode istirahat singkat. Kekuatan sekunder
terjadi segera setelah bagian presentasi mencapai dasar panggul, sifat
kontraksi berubah yakni bersifat mendorong keluar. Sehingga wanita
merasa ingin mengedan. Usaha mendorong ke bawah ini yang disebut
kekuatan sekunder. Kekuatan sekunder tidak mempengaruhi dilatasi
serviks, tatapi setelah dilatasi serviks lengkap. Kekuatan ini penting
untuk mendorong bayi keluar dari uterus dan vagina. Jika dalam
persalinan seorang wanita melakukan usaha volunteer (mengedan)
terlalu dini, dilatasi serviks akan terhambat. Mengedan akan
melelahkan ibu dan menimbulkan trauma pada serviks (Sumarah,
2009).
b. Passage way (Jalan Lahir)
Jalan lahir terdiri dari panggul ibu, yakni bagian tulang padat, dasar
panggul, vagina, dan introitus (lubang luar vagina). Meskipun jaringan
lunak, khususnya lapisan-lapisan otot dasar panggul ikut menunjang
keluarnya bayi, tetapi panggul ibu jauh lebih berperan dalam proses
persalinan. Janin harus berhasil menyesuaikan dirinya terhadap jalan
lahir yang relatif kaku.
c. Passenger (Janin dan Plasenta)
Faktor lain yang berpengaruh terhadap persalinan adalah faktor
janin,yang meliputi sikap janin, letak janin, presentasi janin, bagian
terbawah janin, dan posisi janin. (Rohani, 2011).
Passanger atau janin, bergerak sepanjang jalan lahir merupakan
akibat interaksi beberapa faktor, yakni ukuran kepala janin, presentasi,
letak, sikap, dan posisi janin. Karena plasenta juga harus melewati
jalan lahir, maka ia dianggap juga sebagai bagian dari passenger yang
menyertai janin. Namun plasenta jarang menghambat prosespersalinan
pada kehamilan normal (Sumarah, 2009).
d. Psychology (Psikologi Ibu)
Tingkat kecemasan wanita selama bersalin akan meningkat jika ia
tidak memahami apa yang terjadi pada dirinya atau yang disampaikan
kepadanya. Wanita bersalin biasanya akan mengutarakan
kekhawatirannya jika ditanya. Perilaku dan penampilan wanita
pasangannya merupakan petunjuk berharga tentang jenis dukungan
yang akan diperlukannya. Membantu wanita berpartisipasi sejauh yang
diinginkan dalam melahirkan, memenuhi harapan wanita akan hasil
akhir mengendalikan rasa nyeri merupakan suatu upaya dukungan
dalam mengurangi kecemasan pasien. Dukungan psikologis dari
orang-orang terdekat akan membantu memperlancar proses persalinan
yang sedang berlangsung. Tindakan mengupayakan rasa nyaman
dengan menciptakan suasana yang nyaman dalam kamar bersalin,
memberi sentuhan, memberi penenangan nyari non farmakologi,
memberi analgesia jika diperlukan dan yang paling penting berada
disisi pasien adalah bentuk-bentuk dukungan psikologis. Dengan
kondisi psikologis yang positif proses persalinan akan berjalan lebih
mudah (Sumarah, 2009).
e. Penolong
Peran dari penolong persalinan adalah mengantisipasi dan
menangani komplikasi yang mungkin terjadi pada ibu atau janin. Bila
diambil keputusan untuk melakukan campur tangan, ini harus
dipertimbangkan dengan hati-hati, tiap campur tangan bukan saja
membawa keuntungan potensial, tetapi juga risiko potensial. Pada
sebagian besar kasus, penanganan yang terbaik dapat berupa
“observasi yang cermat”. Dalam menghadapi persalinan seorang calon
ibu dapat mempercayakan dirinya pada bidan, dokter umum, dokter
spesialis obstetri dan ginekologi, bahkan melakukan pengawasan hamil
12-14 kali sampai pada persalinan. Pertemuan konsultasi dan
menyampaikan keluhan, menciptakan hubungan saling mengenal antar
calon ibu dengan bidan atau dokteryang akan menolongnya.
Kedatangannya sudah mencerminkan adanya “informed consent”
artinya telah menerima informasi dan dapat menyetujui bahwa bidan
ataudokter itulah yang akan menolong persalinannya.
Pembinaan hubungan antara penolong dan ibu saling mendukung
dengan penuh kesabaran sehingga persalinan dapat berjalandengan
lancar. Kala I, perlu dijelaskan dengan baik bahwa persalinan akan
berjalan aman, oleh karena kepala masuk pintu atas panggul, bahkan
pembukaan telah maju dengan baik. Keberadaan bidan atau dokter
sangat penting untuk memberikan semangat sehingga persalinan dapat
berjalan baik. Untuk menambah kepercayaan ibu, sebaiknya setiap
kemajuan diterangkan sehingga semangat dan kemampuannya untuk
mengkoordinasikan kekuatan persalinan dapat dilakukan. Pemindahan
penderita keruangan dimana anaknya telah menunggu, masih
merupakan tanggung jawab bidan atau dokter paling sedikit selama 2
jam pertama (Bandiyah, 2009).
3. Tanda dan Gejala Inpartu
a. Kekuatan his bertambah, makin sering terjadi dan teratur dengan jarak
kontraksi makin pendek sehingga menimbulkan rasa sakit yang lebih
hebat.
b. Keluar lendir dan darah lebih banyak.
c. Kadang ketuban pecah dengan sendirinya.
d. Pada pemeriksaan dalam serviks mulai mendatar dan pembukaan
lengkap. (Prawirohardjo,2009).
4. Tahapan Persalinan
Persalinan dibagi menjadi 4 tahap.Pada kala I serviks membuka dari 0
sampai 10 cm. Kala I dinamakan juga kala pembukaan. Kala II disebut juga
dengan kala pengeluaran, oleh karena kekuatan his dan kekuatan mengedan,
janin di dorong keluar sampai lahir. Dalam kala III atau disebut juga kala
uri, plasenta terlepas dari dinding uterus dan dilahirkan. Kala IV mulai dari
lahirnya plasenta sampai 2 jam kemudian. Dalam kala tersebut diobservasi
apakah terjadi perdarahan post partum. (Rohani, 2011).
a. Kala I (Kala Pembukaan)
Inpartu ditandai dengan keluarnya lendir bercampur darah karena
serviks mulai membuka dan mendatar. Darah berasal dari pecahnya
pembuluh darah kapiler sekitar kanalis servikalis karena pergeseran-
pergeseran, ketika serviks mendatar dan membuka.
Kala I persalinan dimulai sejak terjadinya kontraksi uterus dan
pembukaan serviks hingga mencapai pembukaan lengkap (10 cm).
Persalinan kala I dibagimenjadi 2 fase, yaitu fase laten dan fase aktif.
1) Fase Laten Persalinan
Dimulai sejak awal kontraksi yang menyebabkan penipisan
dan pembukaan serviks secara bertahap. Frekuensi dan lama kontraksi
uterusumumnya jarang (kontraksi dianggap adekuat atau memadai jika
terjadi 2x atau lebih dalam waktu 10 menit, dan berlangsung-langsung
selama 25 detik atau lebih). Pembukaan serviks kurang dari 4 cm.
Biasanya berlangsung hingga 8 jam.
2) Fase Aktif Persalinan
Frekuensi dan lama kontraksi uterus umumnya meningkat
(kontraksi dianggap adekuat atau memadai jika terjadi 3x atau lebih
dalam waktu 10menit, dan berlangsung-langsung selama 40 detik atau
lebih). Serviks membuka dari 4-10 cm, biasanya dengan kecepatan 1
cm atau lebih perjam hingga pembukaann lengkap. Terjadi penuruan
bagian terbawah janin. Fase aktif persalinan dibagi menjadi 3 :
a) Fase Akselerasi, dalam waktu 3 jam pembukaan serviks dari 3 cm
menjadi 4 cm.
b) Fase Dilatasi Maksimal, dalam waktu 2 jam pembukaan
berlangsung sangat cepat dari 4 cm menjadi 9 cm.
c) Fase Deselerasi, pembukaan menjadi lambat kembali dalam waktu
2 jam, pembukaan dari 9 cm menjadi lengkap.
Pada fase aktif persalinan, frekuensi dan lama kontraksi uterus
umumnya meningkat (kontraksi dianggap adekuat jika terjadi tiga kali
atau lebih dalam waktu 10 menit dan berlangsung selama 40 detik atau
lebih) dan terjadi penurunan bagian terbawah janin. Berdasarkan kurve
Friedman, diperhitungkan pembukaan pada primigravida 1 cm/jam dan
pembukaan multigravida 2 cm/ jam.
b. Kala II
Kala II persalinan adalah kala pengeluaran bayi, di mulai dari
pembukaan lengkap sampai bayi lahir. Uterus dengan kekuatan hisnya di
tambah kekuatan meneran akan mendorong bayi hingga lahir. Proses ini
biasanya berlangsung 2 jam pada primigravida dan 1 jam pada
multigravida.
Diagnosa persalinan kala II ditegakkan dengan melakukan
pemeriksaan dalam untuk memastikan pembukaan sudah lengkap dan
kepala janin sudah tampak pada vulva. Kontraksi selama kala dua adalah
sering, kuat dan sedikit lebih lama yaitu kira-kira 3 kali dalam 10 menit
yang berlangsung selama 35 detik. Tanda dan gejala Kala II :
1) Dorongan meneran
2) Tekanan anus
3) Perineum menonjol
4) Vulva membuka
c. Kala III
Batasan kala III, masa setelah lahirnya bayi dan berlangsungnya
proses pengeluaran plasenta. Tanda-tanda pelepasan plasenta : terjadi
perubahan bentuk uterus dan tinggi fundus uteri, tali pusat memanjang
atau menjulur keluar melalui vagina atau vulva, adanya semburan darah
secara tiba-tiba kala III, berlangsung tidak lebih dari 30 menit. (Asrinah,
2010)
Setelah bayi lahir, uterus teraba keras dengan fundus uteri setinggi
pusat beberapa menit kemudian uterus berkontraksi lagi lagi untuk
melepaskan plasenta dari dindingnya. Biasanya plasenta lepas dalam 6
menit-15 menit setelah bayi lahir dan keluar spontan atau dengan tekanan
pada fundus uteri. Pengeluaran plasenta, disertai pengeluaran darah.
Komplikasi yang dapat timbul pada kala III adalah perdarahan akibat
atonia uteri, retensio plasenta, perlukaan jalan lahir, tanda gejala tali 11
pusat. (Rukiyah, 2009).
d. Kala IV
Dimulainya dari saat lahirnya plasenta sampai 2 jam pertama post
partum. Komplikasi yang dapat timbul pada kala IV adalah sub involusi
dikarenakan oleh uterus tidak berkontraksi, perdarahan yang disebabkan
oleh atonia uteri, laserasi jalan lahir, sisa plasenta. (Sondakh, 2013).
B. Kehamilan Posterm
1. Definisi
Kehamilan umumnya berlangsung 40 minggu atau 280 hari dihitung
dari hari pertama haid terakhir. Kehamilan aterm ialah usia kehamilan
antara 38-42 minggu dan ini merupakan periode terjadinya persalinan
normal. Namun, sekitar 3,4-14% atau rata-rata 10% kehamilan berlangsung
sampai 42 minggu atau lebih. Angka ini bervariasi dari beberapa peneliti
bergantung pada kriteria yang dipakai.
Kehamilan posterm terutama berpengaruh terhadap janin, meskipun hal
ini masih banyak diperdebatkan dan sampai sekarang masih belum ada
persusaian paham. Dalam kenyataannya kehamilan postterm mempunyai
pengaruh terhadap perkembangan janin sampai kematian janin. Ada janin
yang dalam masa kehamilan 42 minggu atau lebih berat badannya
meningkat terus, ada yang tidak bertambah, ada yang lahir dengan berat
badan kurang dari semestinya, atau meninggal dalam kandungan karena
kekurangan zat makanan dan oksigen. Kehamilan postterm mempunyai
hubungan erat dengan mortalitas, morbiditas perinatal, ataupun
makrosomia. Sementara itu, risiko bagi ibu dengan kehamilan postterm
dapat berupa perdarahan pascapersalinan ataupun tindakan obstetrik yang
meningkat. Berbeda dengan angka kematian ibu yang cenderung menurun,
kematian perinatal tampaknya msih menunjukkan angka yang cukup tinggi,
sehingga pemahaman dan penatalaksanaan yang tepat terhadap kehamilan
postterm akan memberikan sumbangan besar dalam upaya menurunkan
angka kematian, terutama kematian perinatal.
Kehamilan postterm disebut juga kehamilan serotinus, kehamilan lewat
waktu, kehamilan lewat bulan, prolonged pregnancy, extended pregnancy,
postdate/ post datisme atau pascamaturitas adalah kehamilan yang
berlangsung sampai 42 minggu (294 hari) atau lebih, dihitung dari hari
pertama haid terakhir menurut rumus naegele dengan siklus haid rata-rata
28 hari (WHO 1977, FIGO 1986)
Seringkali istilah pascamaturitas dipakai sebagai sinonim dismaturitas.
Sebenarnya hal ini tidak tepat. Pascamaturitas merupakan diagnosis waktu
yang dihitung menurut rumus Naegele. Sebaliknya, dismaturitas hanya
menyatakan kurang sempurnanya pertumbuhan janin dalam kandungan
akibat plasenta yang tidak berfungsi dengan baik, sehingga janin tidak
tumbuh seperti biasa. Hal ini dapat terjadi pada beberapa keadaan seperti
hipertensi, preeklamsia, gangguan gizi, ataupun pada kehamilan postterm
sendiri. Jadi, janin dengan dismaturitas dapat dilahirkan kurang bulan,
genap bulan, ataupun lewat bulan.
Istilah pascamaturitas lebih banyak dipakai oleh dokter spesialis
kesehatan anak, sedangkan istilah postterm banyak digunakan oleh dokter
spesialis kebidanan. Dari dua istilah ini sering menimbulkan kesan bahwa
bayi yang dilahirkan pada kehamilan postterm disebut sebagai
pascamaturitas.
2. Sebab Terjadinya Kehamilan Postterm
Seperti halnya teori bagaimana terjadinya persalinan, sampai saat ini
sebab terjadinya kehamilan postterm belum jelas. Beberapa teori yang
diajukan pada umumnya menyatakan bahwa terjadinya kehamilan postterm
sebagai akibat gangguan terhadap timbulnya persalinan. Beberapa teori
diajukan antara lain sebagai berikut :
a. Pengaruh Progesteron
Penurunan hormon progesteron dalam kehamilan dipercaya
merupakan kejadian perubahan endokrin yang penting dalam memacu
proses biomolekular pada persalinan dan meningkatkan sensitivitas
uterus teerhadap oksitosin sehingga beberapa penulis menduga bahwa
terjadinya kehamilan postterm adalah karena masih berlangsungnya
pengaruh progesteron.
b. Teori Oksitosin
Pemakaian oksitosin untuk induksi persalinan pada kehamilan
postterm memberi kesan atau dipercaya bahwa oksitosin secara fisiologis
memegang peranan penting dalam menimbulkan persalinan dan
pelepasan oksitosin dari neurohopofisis ibu hamil yang kurang pada usia
kehamilan lanjut diduga sebagai salah satu faktor penyebab kehamilan
postterm.
c. Teori Kortisol/ ACTH Janin
Dalam teori ini diajukan bahwa sebagai “pemberi tanda”
untuk dimulainya persalinan adalah janin, diduga akibat
peningkatan kadar kortisol plasma janin.
Kortisol janin akan mempengaruhi plasenta sehingga produksi
progesteron berkurang dan memperbesar sekresi estrogen, yang
dapat berpengaruh
terhadap meningkatnya produksi prostaglandin. Pada cacat bawaan janin
sepertianensefalus, hypoplasiaadrenaljanin dan tidak adanya kalenjar hip
ofisis pada janin akan menyebabkan kortisol janin tidak diproduksi
dengan baik sehingga kehamilan dapat berlangsung lewat bulan.
d. Saraf Uterus
Tekanan pada ganglion servikalis dari pleksus Frankenhauser akan
membangkitkan kontraksi uterus. Pada keadaan dimana tidak ada tekanan
pada pleksus ini, seperti pada kelainan letak, tali pusat pendek dan bagian
bawah masih tinggi kesemuanya diduga sebagai penyebab terjadinya
kehamilan postterm.
e. Herediter
Beberapa penulis menyatakan bahwa seorang ibu yang mengalami
kehamilan postterm mempunyai kecenderungan untuk melahirkan lewat
bulan pada kehamilan berikutnya. Mogren (1999) seperti dikutip
Cunningham, menyatakan bahwa bilamana seorang ibu mengalami
kehamilan postterm saat melahirkan anak perempuan, maka besar
kemungkinan anak perempuannya akan mengalami kehamilan postterm.
3. Diagnosis
Tidak jarang seorang dokter mengalami kesulitan dalam menentukan
diagnosis kehamilan postterm karena diagnosis ini ditegakkkan berdasarkan
umur kehamilan, bukan terhadap kondisi kehamilan. Beberapa kasus yang
dinyatakan sebagai kehamilan posterm merupakan kesalahan dalam
menentukan umjur kehamilan. Kasus kehamilan posterm yang tidak dapat
ditegakkan secara pasti diperkirakan sebesar 22%.
Dalam menentukan diagnosis kehamilan posterm disamping dari
riwayat haid, sebaiknya dilihat pula dari hasil pemeriksaan antenatal.
a. Riwayat Haid
Diagnosis kehamilan posterm tidak sulit untuk ditegakkan bilamana
hari pertama haid terakhir (HPHT) diketahui dengan pasti. Untuk riwayat
haid yang dapat dipercaya, diperlukan beberapa kriteria antara lain :
1) Penderita harus yakin dengan HPHT nya
2) Siklus 28 hari dan teratur
3) Tidak minum pil antihamil setidaknya 3 bulan terakhir
Selanjutnya diagnosis ditentukan dengan menghitung menurut rumus
Neagel. Berdasarkan riwayat haid, seorang penderita yang ditetapkan
sebagai kehamilan posterm kemungkinan adalah sebagai berikut :
1) Terjadinya kesalahan dalam menentukan hpht atau akibat menstruasi
abnormal
2) Tanggal haid terakhir diketahui jelas, tetapi terjadi kelambatan ovulasi
3) Tidak ada kesalahan menentukan haid terakhir dan kehamilan memang
berlangsung lewat bulan (keadaan ini sekitar 20-30 % dari seluruh
penderita yang diduga kehamilan posterm).
b. Riwayat Pemeriksaan Antenatal
1) Tes Kehamilan
Bila pasien melakukan pemeriksaan tes imunologik sesudah terlambat 2
minggu, maka dapat diperkirakan kehamilan memang telah
berlangsung 6 minggu.
2) Gerak Janin
Pada umumnya dirasakan ibu pada usia kehamilan 18-20 minggu. Pada
primigravida dirasakan sekitar usia kehamilan 18 minggu, sedangkan
pada multigravida pada 16 minggu. Petunjuk umum untuk menentukan
persalinan adalah quickening ditambah 22 minggu pada primigravida
atau ditambah 24 minggu pada multigravida.
3) Derak Jantung Janin (DJJ)
Dengan stetoscop leanec DJJ dapat didengar mulai umur kehamilan 18-
20 minggu, sedangkan dengan dopler dapat terdengar pada usia
kehamilan 10-12 minggu.
Kehamilan dapat dinyatakan sebagai kehamilan posterm bila didapat 3
atau lebih dari 4 kriteria hasil pemeriksaan sebagai berikut :
1) Telah lewat 36 minggu sejak tes kehamilan positif
2) Telah lewat 32 minggu sejak djj pertama terdengar dengan doppler
3) Telah lewat 24 minggu sejak dirasakan gerak janin pertama kali
4) Telah lewat 22 minggu sejak terdengarnya djj pertama kali dengan
stetoskop leannec.
c. Tinggi Fundus Uteri
Dalam trimester pertama pemeriksaan TFU serial dalam centimeter
(cm) dapat bermanfaat bila dilakukan pemeriksaan secara berulang tiap
bulan. Lebih dari 20 minggu, TFU dapat menentukan umur kehamilan
secara kasar.
d. Pemeriksaan Ultrasonografi (USG)
Ketetapan usia gestasi sebaiknya mengacu pada hasil pemeriksaan
USG pada trimester pertama. Kesalahan perhitungan dengan rumus
Neagle dapat mencapai 20%. Bila telah dilakukan pemeriksaan
USG Serial terutama sejak trimester pertama, hampir dapat dipastikan
usia kehamilan. Pada trimester pertama pemeriksaan panjang kepala-
tungging (crown-rump lenght/CRL) memberikan ketepatan kurang lebih
4 hari taksiran persalinan.
4. Permasalahan Kehamilan Postterm
Kehamilan posterm mempunyai resiko lebih tinggi daripada kehamilan
aterm, terutama terhadap kematian perinatal (antepartum, intrapartum dan
postpartum) berkaitan dengan aspirasi mekonium dan asfiksia. Pengaruh
kehamilan posterm antara lain sebagai berikut :
a. Perubahan Pada Plasenta
Disfungsi plasenta merupakan faktor penyebab terjadinya
komplikasi pada kehamilan posterm dan meningkatnya risiko pada janin.
Penurunan fungsi plasenta dapat dibuktikan dengan kadar estriol dan
plasental laktogen. Perubahan yang terjadi pada plasenta sebagai berikut :
1) Penimbunan Kalsium : pada kehamilan postterm terjadi penigkatan
penimbunan kalsium pada plasenta. Hal ini dapat menyebabkan gawat
janin dan bahkan kematian janin intrauterin yang dapat meningkat
sesuai dengan progresivitas degenerasi plasenta. Namun beberapa vili
mungkin mengalami degenerasi tanpa mengalami klasifikasi.
2) selaput vaskulosinsisial menjadi tambah tebal dan jumlahnya
berkurang. Keadaan ini dapat menurunkan mekanisme transpor
plasenta.
3) terjadi proses degenerasi jaringan plasenta seperti edema, timbunan
fibrinoid, fibrosis, trombosis intervili, dan infark vili.
b. Pengaruh Pada Janin
Pengaruh kehamilan posterm terhadap janin sampai saaat ini masih
diperdebatkan. Beberapa ahli menyatakan bahwa kehamilan posterm
menambah bahaya pada janin, sedangkan beberapa ahli lainnya
menyatakan bahwa bahaya kehamilan posterm terhadap janin terlalu
dilebihkan. Kiranya kebenaran terletak diantara keduanya. Fungsi
plasenta mencapai puncak pada kehamilan 38 minggu dan kemudian
mulai menurun terutama setelah 42 minggu. Akibat dari proses penuaan
plasenta, pemasokan makanan dan oksigen akan menurun disamping
adanya spasme arteri spiralis. Sirkulasi utero plasenter akan berkurang
dengan 50% menjadi hanya 250 ml/menit.
c. Pengaruh Pada Ibu
Morbiditas / mortalitas ibu : dapat meningkat sebagai akibat dari
makrosomia janin dan tulamg tengkorak menjadi lebih keras yang
menyebabkan terjadi distosia persalinan, incoordinate uterine action,
partus lama, meningkatkan tindakan obstetrik dan persalinan
traumatis/perdarahan pospartum akibat bayi besar.
Aspek emosi : ibu dan keluarga menjadi cemas bilamana kehamilan
terus berlangsung melewati taksiran persalinan. Komentar tetangga atau
teman seperti “belum lahir juga ?” akan menambah frustasi ibu .
C. Cairan Amnion
Cairan amnion merupakan pelindung dan bantalan untuk proteksi
sekaligus menunjang pertumbuhan. Osmolaritas, kadar natrium, ureum,
kreatinin tidak berbeda dengan kadar pada serum ibu, artinya kadar dicairan
amnion merupakan hasil difusi dari ibunya. Cairan amnion mengandung
banyak sel janin (lanugo, vernik kaseosa). Fungsi cairan amnion yang juga
penting ialah menghambat bakteri karena mengandung zat seperti fosfat dan
seng (Prawirohardjo, 2010:155).
Cairan ketuban mempunyai peranan yang sangat penting bagi
perkembangan dan pertumbuhan janin. Kelainan jumlah cairan ketuban dapat
terjadi, dan seringkali merupakan pertanda yang paling awal terlihat pada janin
yang mengalami gangguan. Di pihak lain, kelainan jumlah cairan ketuban
dapat menimbulkan gangguan pada janin, seperti hipoplasia paru, deformitas
janin, kompresi tali pusat, pertumbuhan janin terhambat (PJT), prematuritas,
kelainan letak dan kematian janin. Oleh sebab itu, kelainan jumlah amnion
yang terjadi oleh sebab apapun akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas
(Wiknosastro, 2009:267).
1. Komposisi air ketuban
Air ketuban merupakan ultrafiltrasi dari plasma maternal dan dibentuk
oleh sel amnionnya. Pada trimester II kehamilan, air ketuban dibentuk oleh
difusi ekstraseluler melalui kulit janin sehingga komposisinya mirip dengan
plasma janin. Selanjutnya, setelah trimester II, terjadi pembentukan zat tanduk
kulit janin dan menghalangi difusi plasma janin sehingga sebagian besar air
ketubannya dibentuk oleh:
a. Sel amnionnya
b. Air kencing janin
Ginjal janin mulai mengeluarkan urin sejak 12 minggu dan setelah
mencapai usia 18 minggu sudah dapat mengeluarkan urin sebanyak 7-14
cc/hari. Janin aterm mengeluarkan urin 27 cc/jam atau 650 cc dalam sehari
(Manuaba, dkk, 2007:500) Menurut Manuaba, dkk (2007:500)
Komposisi yang membentuk air ketuban adalah:
1) Bertambahnya air ketuban bukan merupakan kenaikan linier tetapi
bervariasi sebagai berikut:
a) Bertambah 10 cc, sampai usia 8 minggu
b) Bertambah 60 cc, sampai usia 21 minggu
c) Terjadi penurunan produksi sampai usia hamil 33 minggu
d) Pertambahan tetap sampai usia aterm dan mencapai jumlah sekitar
800-1500 cc
e) Melewati usia kehamilan 42 minggu, terjadi penurunan sekitar 150
cc/minggu sehingga terjadi oligohidramnion
2) Setelah usia kehamilan melebihi 12 minggu, yang ikut membentuk air
ketuban yaitu
a) Ginjal janin sehingga dijumpai:
(1) Urea
(2) Kreatinin
(3) Asam urat
b) Deskuamasi kulit janin
(1) Rambut lanugo
(2) Vernik kaseosa
c) Sekresi dari paru janin
d) Transudat dari permukaan amnion plasenta
Komposisinya mirip plasma maternal, komposisi umum air ketuban
yaitu
9. Penatalaksanaan
Penanganan oligohidramnion bergantung pada situasi klinik dan
dilakukan pada fasilitas kesehatan yang lebih lengkap mengingat prognosis
janin yang tidak baik. Kompresi tali pusat selama proses persalinan biasa
terjadi pada oligohidramnion, oleh karena itu persalinan dengan sectio
caesarea merupakan pilihan terbaik pada kasus oligohidramnion (Khumaira,
2012:189).
Menurut Rukiyah dan Yulianti (2010:233) Penatalaksanaan pada ibu
dengan oligohidramnion yaitu :
a. Tirah baring
b. Hidrasi dengan kecukupan cairan
c. Perbaikan nutrisi
d. Pemantauan kesejahteraan janin (hitung pergerakan janin)
e. Pemeriksaan USG yang umum dari volume cairan amnion
E. Induksi Persalinan
1. Pengertian Induksi persalinan
Induksi persalinan ialah suatu tindakan terhadap ibu hamil yang belum
inpartu, baik secara operatif maupun medisinal, untuk merangsang
timbulnya kontraksi rahim sehingga terjadi persalinan. Induksi persalinan
berbeda dengan akselerasi persalinan, dimana pada akselerasi persalinan
tindakan-tindakan tersebut dikerjakan pada wanita hamil yang sudah inpartu
(Wiknjosastro, dkk, 2005:73).
2. Indikasi
Menurut Wiknjosastro, dkk (2005:74) indikasi terhadap janin dan
ibunya yaitu:
a. Indikasi janin
1) Kehamilan lewat waktu
2) Ketuban pecah dini
3) Janin mati
b. Indikasi ibu
1) Kehamilan dengan hipertensi
2) Kehamilan dengan diabetes millitus
3. Kontra indikasi
Menurut Wiknjosastro, dkk (2005:74) kontra indikasi yaitu:
a. Malposisi dan malpresentasi janin
b. Insufisiensi plasenta (plasenta yang mengalami gangguan/ hambatan)
c. Disproporsi sefalopelvik
d. Cacat rahim, misalnya pernah mengalami seksio sesarea
e. Grande multipara
f. Gemelli
g. Distensi rahim yang berlebihan misalnya pada hidramnion
h. Plasenta previa
4. Syarat
Syarat-syarat pemberian infus oksitosin
a. Agar infus oksitosin berhasil dalam menginduksi persalinan dan tidak
memberikan penyulit baik pada ibu maupun janin, maka diperlukan
syarat-syarat sebagai berikut:
1) Kehamilan aterm
2) Ukuran panggul normal
3) Tidak ada CPD (Disproporsi antara pervis dan janin)
4) Janin dalam presentasi kepala
5) Serviks sudah matang yaitu, porsio teraba lunak, mulai mendatar
dan sudah mulai membuka
b. Untuk menilai serviks ini dapat juga dipakai Skor Bishop, yaitu bila nilai
skor bishop lebih dari 8, induksi persalianan kemungkinann besar akan
berhasil.
5. Prosedur
Menurut Wiknjosastro, dkk (2005:75) Teknik infus oksitosin
berencana sebagai berikut:
a. Semalam sebelum infus oksitosin, hendaknya penderita sudah tidur
dengan nyenyak
b. Pagi harinya penderita diberikan obat pencahar
c. Infus oksitosin hendaknya dikerjakan pada pagi hari dengan observasi
yang baik
d. Disiapkan cairan Dextrose 5% 500 ml yang diisi dengan 5 unit
oksitosin
e. Cairan yang sudah mengandung 5 IU oksitosin ini dialirkan secara
intravena melalui saluran infus dengan jarung no. 20 G
f. Jarum suntik intravena dipasang pada vena di bagian volar lengan
bawah
g. Timbulnya kontraksi rahim dinilai dalam setiap 30 menit. Bila dalam
waktu 30 menit ini his tetap lemah, tetesan dapat dinaikan. Umumnya
tetesan maksimal diperolehkan sampai mencapai kadar oksitosin 30-40
tpm UI permenit.
F. Hipertensi Dalam Kehamilan
1. Definisi
Hipertensi dalam pada kehamilan adalah hipertensi yang terjadi saat
kehamilan berlangsung dan biasanya pada bulan terakhir kehamilan atau
lebih setelah 20 minggu usia kehamilan pada wanita yang sebelumnya
normotensif, tekanan darah mencapai nilai 140/90 mmHg, atau kenaikan
tekanan sistolik 30 mmHg dan tekanan diastolik 15 mmHg di atas nilai
normal (Junaidi, 2010).
2. Epidemiologi
Hipertensi pada kehamilan berperan besar dalam morbiditas dan
mortalitas maternal dan perinatal. Hipertensi diperkirakan menjadi
komplikasi sekitar 7-10% seluruh kehamilan. Dari seluruh ibu yang
mengalami hipertensi selama hamil, setengah sampai dua pertiganya
didiagnosis mengalami preeklampsi atau eklampsi (Bobak, 2005).
Di Indonesia, mortalitas dan morbiditas hipertensi pada kehamilan juga
masih cukup tinggi. Hal ini disebabkan oleh etiologi yang tidak jelas, dan
juga perawatan dalam persalinan masih ditangani petugas non medik serta
sistem rujukan yang belum sempurna. Hipertensi pada kehamilan dapat
dipahami oleh semua tenaga medik baik di pusat maupun di daerah
( Prawirohardjo, 2013).
Angka kematian ibu (AKI) di Provinsi Lampung pada tahun 2012
berdasarkan laporan dari kabupaten terlihat kasus kematian ibu (kematian
ibu pada saat hamil, melahirkan, dan nifas) seluruhnya sebanyak 179 kasus
dimana kasus kematian ibu terbesar (59,78%) terjadi pada saat persalinan
dan 70,95% terjadi pada usia 20 – 34 tahun, dan kasus kematian ibu
tertinggi berada di Kota Bandar Lampung (Profil Kesehatan Lampung,
2012).
3. Klasifikasi
Klasifikasi yang dipakai di Indonesia adalah berdasarkan The National
High Blood Pressure Education Program Working Group on High Blood
Pressure in Pregnancy (NHBPEP) memberikan suatu klasifikasi untuk
mendiagnosa jenis hipertensi dalam kehamilan, (NHBPEP, 2000) yaitu :
a. Hipertensi kronik adalah hipertensi yang timbul sebelum umur kehamilan
20 minggu atau hipertensi yang pertama kali didiagnosis setelah umur
kehamilan 20 minggu dan hipertensi menetap sampai 12 minggu
pascapersalinan.
b. Preeklampsia adalah hipertensi yang timbul setelah 20 minggu kehamilan
disertai dengan proteinuria. Eklampsia adalah preeklampsi yang disertai
dengan kejang-kejang dan/atau koma.
c. Preeklampsia pada hipertensi kronik (preeclampsia superimposed upon
chronic hypertension) adalah hipertensi kronik disertai tanda-tanda
preeklampsi atau hipertensi kronik disertai proteinuria.
Hipertensi Hipertensi
4. Faktor Risiko
Hipertensi dalam kehamilan merupakan gangguan multifaktoral.
Beberapa faktor risiko dari hipertensi dalam kehamilan adalah (KatsikiN et
al., 2010) :
a. Faktor maternal
1) Usia maternal
Usia yang aman untuk kehamilan dan persalinan adalah usia
20-30 tahun. Komplikasi maternal pada wanita hamil dan melahirkan
pada usia di bawah 20 tahun ternyata 2-5 kali lebih tinggi dari pada
kematian maternal yang terjadi pada usia 20-29 tahun. Dampak dari
usia yang kurang, dapat menimbulkan komplikasi selama kehamilan.
Setiap remaja primigravida mempunyai risiko yang lebih besar
mengalami hipertensi dalam kehamilan dan meningkat lagi saat usia
diatas 35 tahun (Manuaba C, 2007).
2) Primigravida
Sekitar 85% hipertensi dalam kehamilan terjadi pada
kehamilan pertama. Jika ditinjau dari kejadian hipertensi dalam
kehamilan, graviditas paling aman adalah kehamilan kedua sampai
ketiga (Katsiki N et al., 2010).
3) Riwayat Keluarga
Terdapat peranan genetik pada hipertensi dalam kehamilan. Hal
tersebut dapat terjadi karena terdapat riwayat keluarga dengan
hipertensi dalam kehamilan (Muflihan FA, 2012).
4) Riwayat Hipertensi
Riwayat hipertensi kronis yang dialami selama kehamilan dapat
meningkatkan risiko terjadinya hipertensi dalam kehamilan, dimana
komplikasi tersebut dapat mengakibatkan superimpose preeclampsi
dan hipertensi kronis dalam kehamilan (Manuaba, 2007).
5) Tingginya Indeks Masa Tubuh
Tingginya indeks massa tubuh merupakan masalah gizi karena
kelebihan kalori, kelebihan gula dan garam yang bisa menjadi faktor
risiko terjadinya berbagai jenis penyakit degeneratif, seperti diabetes
melitus, hipertensi dalam kehamilan, penyakit jantung koroner,
reumatik dan berbagai jenis keganasan (kanker) dan gangguan
kesehatan lain. Hal tersebut berkaitan dengan adanya timbunan
lemak berlebih dalam tubuh (Muflihan FA, 2012).
6) Gangguan Ginjal
Penyakit ginjal seperti gagal ginjal akut yang diderita pada ibu
hamil dapat menyebabkan hipertensi dalam kehamilan. Hal tersebut
berhubungan dengan kerusakan glomerulus yang menimbulkan
gangguan filtrasi dan vasokonstriksi pembuluh darah (Muflihan FA,
2012).
b. Faktor Kehamilan
Faktor kehamilan seperti molahilatidosa, hydrops fetalis dan
kehamilan ganda berhubungan dengan hipertensi dalam kehamilan.
Preeklampsi dan eklampsi mempunyai risiko 3 kali lebih sering terjadi
pada kehamilan ganda. Dari 105 kasus bayi kembar dua, didapatkan
28,6% kejadian preeklampsi dan satu kasus kematian ibu karena
eklampsi (Manuaba, 2007)
5. Manifestasi Klinis
Hipertensi dalam kehamilan merupakan penyakit teoritis, sehingga
terdapat berbagai usulan mengenai pembagian kliniknya. Pembagian
klinik hipertensi dalam kehamilan adalah sebagai berikut (Manuaba,
2007) :
a. Hipertensi dalam kehamilan sebagai komplikasi kehamilan
1) Preeklampsi
Preeklampsi adalah suatu sindrom spesifik kehamilan
berupa berkurangnya perfusi organ akibat vasospasme dan
aktivasi endotel. Diagnosis preeklampsi ditegakkan jika terjadi
hipertensi disertai dengan proteinuria dan atau edema yang
terjadi akibat kehamilan setelah minggu ke-20. Proteinuria
didefinisikan sebagai terdapatnya 300 mg atau lebih protein
dalam urin 24 jam atau 30 mg/dl (+1 dipstik) secara menetap
pada sampel acak urin (Cunningham G, 2013). Preeklampsi
dibagi menjadi dua berdasarkan derajatnya yang dapat dilihat
pada tabel 2.
Derajat Preeklampsi
Ringan Berat
1. Hipertensi ≥ 160/110
mmHg
2. Proteinuria ≥ 500 mg/24
jam atau > +3 dipstik
3. Oliguria < 500
mg/24jam
4. Gangguan penglihatan
dan serebral
5. Edema paru dan sianosis
6. Nyeri epigastrium atau
kuadran kanan atas
7. Trombositopenia
8. Pertumbuhan janin
1. Hipertensi ≥ 140/90 mmHg
terganggu.
2. Proteinuria ≥ 300 mg/24 jam
atau ≥ + 1 dipstik
2) Eklampsi
Eklampsia adalah terjadinya kejang pada seorang wanita dengan
preeklampsia yang tidak dapat disebabkan oleh hal lain. Kejang
bersifat grand mal atau tonik-klonik generalisata dan mungkin timbul
sebelum, selama atau setelah persalinan. Eklampsia paling sering
terjadi pada trimester akhir dan menjadi sering mendekati aterm. Pada
umumnya kejang dimulai dari makin memburuknya preeklampsia dan
terjadinya gejala nyeri kepala daerah frontal, gangguan penglihatan,
mual, nyeri epigastrium dan hiperrefleksia. Konvulsi eklampsi dibagi
menjadi 4 tingkat, yaitu (Prawirohardjo, 2013) :
a) Tingkat awal atau aura
Keadaan ini berlangsung kira-kira 30 detik. Mata penderita terbuka
tanpa melihat, kelopak mata bergetar demikian pula tangannya dan
kepala diputar ke kanan atau ke kiri.
b) Tingkat kejang tonik
Berlangsung kurang lebih 30 detik. Dalam tingkat ini seluruh otot
menjadi kaku, wajah kelihatan kaku, tangannya menggenggam dan
kaki membengkok ke dalam. Pernapasan berhenti, muka terlihat
sianotik dan lidah dapat tergigit.
c) Tingkat kejang klonik
Berlangsung antara 1-2 menit. Kejang tonik menghilang. Semua
otot berkontraksi secara berulang-ulang dalam tempo yang cepat.
Mulut membuka dan menutup sehingga lidah dapat tergigit disertai
bola mata menonjol. Dari mulut, keluar ludah yang berbusa, muka
menunjukkan kongesti dan sianotik. Penderita menjadi tak sadar.
Kejang klonik ini dapat terjadi demikian hebatnya, sehingga
penderita dapat terjatuh dari tempat tidurnya. Akhirnya kejang
berhenti dan penderita menarik napas secara mendengkur.
d) Tingkat koma
Lamanya ketidaksadaran tidak selalu sama. Secara perlahan-lahan
penderita menjadi sadar lagi, akan tetapi dapat terjadi pula bahwa
sebelum itu timbul serangan baru yang berulang, sehingga
penderita tetap dalam koma. Selama serangan, tekanan darah
meninggi, nadi cepat dan suhu meningkat sampai 40 C.
e) Kejang pada eklampsi berkaitan dengan terjadinya edema serebri.
Secara teoritis terdapat dua penyebab terjadinya edema serebri
fokal yaitu adanya vasospasme dan dilatasi yang kuat. Teori
vasospasme menganggap bahwa over regulation serebrovaskuler
akibat naiknya tekanan darah menyebabkan vasospasme yang
berlebihan yang menyebabkan iskemia lokal. Akibat iskemia akan
menimbulkan gangguan metabolisme energi pada membran sel
sehingga akan terjadi kegagalan ATP-dependent Na/K pump yang
akan menyebabkan edema sitotoksik. Apabila proses ini terus
berlanjut maka dapat terjadi ruptur membran sel yang
menimbulkan lesi infark yang bersifat irreversible.
Teori force dilatation mengungkapkan bahwa akibat
peningkatan tekanan darah yang ekstrim pada eklampsi
menimbulkan kegagalan vasokonstriksi autoregulasi sehingga
terjadi vasodilatasi yang berlebihan dan peningkatan perfusi darah
serebral yang menyebabkan rusaknya barier otak dengan
terbukanya tight junction sel-sel endotel pembuluh darah. Keadaan
ini akan menimbulkan terjadinya edema vasogenik. Edema
vasogenik ini mudah meluas keseluruh sistem saraf pusat yang
dapat menimbulkan kejang pada eklampsi (Sudibjo P, 2010).
2) Pemeriksaan Fisik
Evaluasi tekanan darah dilakukan dengan cara meminta pasien
dalam posisi duduk di kursi dengan punggung bersandar pada
sandaran kursi, lengan yang akan diukur tekanan darahnya,
diletakkan setinggi jantung dan bila perlu lengan diberi penyangga.
Lengan atas harus dibebaskan dari baju yang terlalu ketat
melingkarinya. Pada wanita hamil bila tidak memungkinkan duduk,
dapat miring kearah kiri. Pasien dalam waktu 30 menit sebelumnya
tidak boleh minum kopi dan obat dan tidak minum obat-obat
stimulant adrenergik serta istirahat sedikitnya 5 menit sebelum
dilakukan pengukuran tekanan darah (POGI, 2010).
3) Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan yang perlu dilakukan dalam kasus hipertensi
sebagai komplikasi kehamilan adalah proteinuria, untuk diagnosis
dini preeklampsi yang merupakan akibat dari hipertensi kehamilan.
Pemeriksaan proteinuria dapat dilakukan dengan dua metode, yaitu
secara Esbach dan Dipstick. Pengukuran secara Esbach, dikatakan
proteinuria jika didapatkan protein ≥300 mg dari 24 jam jumlah urin.
Nilai tersebut setara dengan kadar proteinuria ≥30 mg/dL (+1
dipstick) dari urin acak tengah yang tidak menunjukkan tanda-tanda
infeksi saluran kencing.
+2 = 0,45 – 1 g/L
+3 = 1 – 3 g/L
+4 = > 3 g/L.
8. Penatalaksanaan
Antihipertensi:
a) Ibu dengan hipertensi berat selama kehamilan perlu mendapat
terapi antihipertensi
b) Pilihan antihipertensi didasarkan terutama pada pengalaman
dokter dan ketersediaan obat. Beberapa jenis antihipertensi yang
dapat digunakan misalnya:
Nama obat Dosis Keterangan
Adalat OROS®)
9. Pencegahan
Kunjungan Tujuan
b. Bekas Implantasi
Bagian implantasi plasenta seluas 12x15 cm dengan
merupakan suatu luka yang kasar dan menonjol ke dalam kavum
uteri dimana pembuluh darah besar bermuara, segera setelah
persalinan. Bekas implantasi dengan cepat mengecil pada minggu
ke dua sebesar 6-8 cm, dan akhir masa nifas sebesar 2 cm.
(Astutik, 2015)
c. Luka –Luka Perineum
Menurut Suhaeni dikutip dari Rukiyah (2011) terjadi
robekan pada hampir semua persalinan pertama dan tidak jarang
juga pada persalinan berikutnya. Robekan perineum umumnya
terjadi di garis tengah dan bisa menjadi luas apabila kepala janin
lahir terlalu cepat.
d. After Pains
Menurut Suherni dikutip dari Rukiyah (2011) After Pains adalah
rasa sakit yang mencengkra, (kram) pada abdomen bagian bawah
yang sering dijumpai pada hari ke-7 hingga ke-10 postnatal
e. Lochea
Menurut Astutik (2015), macam-macam Lochea antara lain:
1) Lochea Rubra
Berisi darah segar dan sisa-sisa selaput ketuban, sel desidua,
verniks caseosa, alnugo dan meconium. Terjadi 1-3 hari pasca
persalinan.
2) Lochea Sanguinolenta
Warnanya merah kuning berisi darah dan lender. Ini terjadi
pada hari ke 3-7 pasca persalinan.
3) Lochea Serosa
Berwarna kuning dan cairan ini tidak berdarah lagi pada hari
ke 7-14 pasca persalinan.
4) Lochea Alba
Cairan putih yang terjadi pada hari setelah 2 minggu.
5) Lochea Purulenta
Terjadi infeksi, keluar cairan seperti nanah berbau busuk.
6) Locheastasis
Lochea tidak lancer keluar.
d. Serviks
Menurut Sulistyawati dikutip dari Astutik (2015) perubahan
yang terjadi pada servik ialah bentuk servik agak mengangga
seperti corong,segera setelah bayi lahir. Bentuk ini disebabkan oleh
corvus uteri yang dapat mengadakan kontraksi, sedangkan servik
tidak berkontreaksi sehingga seolah-olah pada perbatasan antara
corvus dan servik berbentuk semacam cincin.
Muara servik yang berdilatasi sampai 10 cm sewaktu
persalinan akan menutup secara perlahan dan bertahap. Setelah
bayi lahir, tangan dapat masuk ke dalam rongga rahim. Setelah 2
jam, hanya dapat dimasukin 2-3 jari. Pada minggu ke 6 post
partum,servik sudah menutup kembali.
e. Ligamen-Ligamen
Ligamen-ligamen dan diafragma pelvis, serta fasia yang
merenggang sewaktu kehamilan dan partus, setelah janin lahir,
berangsur-angsur menciut kembali seperti sediakala. Tidak jarang
ligamentum rotundum menjadi kendur yang mengakibatkan letak
uterus menjadi retrofleksi. Tidak jarang pula wanita mengeluh
“kandungannya turun” setelah melahirkan oleh karena ligament,
fasia, dan jaringan penunjang alat genetalia menjadi agak kendur.
(Dewi, 2011)
b. Ambulasi Dini
Ibu yang baru melahirkan mungkin enggan banyak bergerak
karena merasa letih dan sakit. Namun ibu harus dibantu turun dari
tempat tidur dalam 24 jam pertama setelah kelahiran pervaginam.
Ambulasi dini sangat penting dalam mencegah thrombosis vena. Tujuan
dari ambulasi dini adalah untuk membantu menguatkan otot-otot perut
dan dengan demikian menghasilkan bentuk tubuh yang baik,
mengencangkan otot dasar panggul sehingga mencegah atau
memperbaiki sirkulasi darah keseluruh tubuh.
c. Eliminasi
1) BAK
Rasa nyeri kadang mengakibatkan ibu nifas engga untuk berkemih
(miksi), tetapi harus diusahakan untuk tetap berkemih secara teratur.
Hal ini dikarenakan kandung kemih yang penuh dapat menyebabkan
pendarahan uterus. Buang Air Kecil (BAK) sebaiknya dilakukan
secara spontan/mandiri. BAK yang normal pada masa nifas adakan
BAK spontan setiap 3-4 jam.
2) BAB
BAB normal sekitar 3-4 hari masa nifas. Setelah melahirkan, ibu
nifas sering mengeluh mengalami kesulitan untuk Buang Air Besar
(BAB), yang disebabkan pengosongan usus besar sebelum
melahirkan serta faktor individual misalnya nyeri pada luka
perineum ataupun perasaan takut jika BAB menimbulkan robekan
jahitan perineum.
d. Kebersihan Diri
Ajarkan ibu bagaimana membersihkan daerah vagina dengan sabun dan
air. Pastikan bahwa ia mengerti untuk membersihkan daerah vagina
terlebih dahulu dari depan ke belakang anus. Sarankan ibu untuk
mencuci tangan dengan sabun dan air sebelum dan sesudah
membesihkan daerah vaginanya. Sarankan ibu untuk mengganti
pembalut atau kain pembalut setidaknya dua kali sehari.
e. Istirahat
Ibu postpartum sangat membutuhkan istirahat yang berkualitas untuk
memulihkan kembali keadaan fisiknya. Keluarga disarankan untuk
memberikan kesempatan kepada ibu untuk beristirahat yang cukup
sebagai persiapan untuk menyusui bayinya nanti. Kerugian kurang
istirahat adalah mengurangi jumlah ASI yang diproduksi,
memperlambat proses involusi dan memperbanyak perdarahan,
menyebabkan depresi dan ketidaknyamanan untuk merawat bayi dan
dirinya sendiri. Menurut Jannah (2011) dibutuhkan sekitar 8 jam bagi
ibu nifas istirahat pada malam hari dan 1 jam pada siang hari.
8. Proses Laktasi dan Menyusui
Laktasi adalah keseluruhan proses menyusui mulai dari ASI
diproduksi sampai proses bayi menghisap dan menelan ASI. Masa laktasi
mempunyai tujuan meningkatkan pemberian ASI eksklusif dan
meneruskan pemberian ASI sampai anak umur 2 tahun secara baik dan
benar serta anak mendapatkan kekebalan tubuh secara alami. (Ambarwati,
2009).
a. Fisiologi Laktasi
Menurut Astutik (2015) dalam pembentukan air susu ada dua refleks
yang membantu dalam pembentukan dan pengeluaran air susu yaitu
reflek prolaktin dan reflek oksitosin.
1) Reflek Prolaktin
Setelah persalinan kadar estrogen dan progersteron menurun,
ditambah lagi dengan adanya isapan bayi yang merangsang puting
susu dan kalang payudara, akan merangsang ujung-ujung saraf
sensoris yang berfungsi sebagai reseptor mekanik. Rangsangan ini
akan dilanjutkan ke hipotalamus yang akan menekan pengeluaran
faktor- faktor penghambat sekresi prolaktin dan sebaliknya. Faktor
faktor yang memacu sekresi prolaktin akan merangsang
adenohipofise sehingga keluar prolaktin. Hormon ini merangsang
sel-sel alveoli yang berfungsi untuk membuat air susu.
2) Reflek Oksitosin
Dengan dibentuknya hormone prolaktin rangsangan yang
berasal dari isapan bayi akan dilanjutkan ke neurohipofise yang
kemudian dikeluarkan oksitosin. Melalui aliran darah, hormon ini
akan menuju uterus yang dapat menimbulkan kontraksi pada uterus
sehingga terjadi involusi pada organ tersebut. Oksitosin yang sampai
pada alveoli akan mempengaruhi sel miopitelium. Kontraksi sel akan
memeras air susu yang telah terbuat keluar dari alvoli dan masuk ke
sistem duktus yang untuk selanjutnya akan mengalir melalui duktus
laktiferus masuk ke mulut bayi.
9. Teknik Menyusui dan ASI Eksklusif
a. Teknik Menyusui
1) Menyusui dengan sikap duduk
2) Tangan kanan menyangga payudara kiri dan keempat jari dan
ibu jari menekan payudara bagia atas areola
3) Bayi diberi rangsangan untuk membuka mulut (rooting reflex)
dengan cara menyentuh pipi denga putting susu atau
menyentuh sisi mulut bayi
4) Setelah bayi membuka mulut, dengan cepat kepal bayi
didekatkan ke payudara ibu dengan putting serta areola
dimasukkan kemulut bayi, sehingga putting susu berada
dibawah langit-langit dan lidah bayi akan menekan ASI keluar
dari tempat penampungan ASI yang terletak dibawah areola
5) Melepas isapan bayi, setelah menyusui pada satu payudara
sampai terasa kosong, sebaiknya diganti menyusui pada
payudara lain.
6) Setelah menyusui, ASI dikeluarkan sedikit kemudian di
oleskan pada putting susu dan areola sekitarnya. Biarkan kering
dengan sendirinya
7) Menyendawakan bayi, tujuan menyendawkan bayi adalah
mengeluarkan udara dari lambung supaya bayi tidak muntah
(gumoh) setelah menyusu.
b. ASI Eksklusif
Asi eksklusif adalah pemberian ASI selama 6 bulan tanpa
dicampur dengan tambahan cairan lain seperti susu formula, jeruk,
madu, air teh, air putih, dan tanpa tambahan makanan padat seperti
pisang, papaya, bubur susu, biscuit, bubur nasi tim. (Maryunani,
2009)
10. Tanda-Tanda Bahaya Masa Nifas
Menurut Kemenkes (2015) tanda-tanda bahaya masa nifas antara lain:
a. Pendarahan lewat jalan lahir
b. Keluar cairan berbau dari jalan lahir
c. Bengkak di wajah, tangan dan kaki, atau sakit kepala dan kejang-
kejang
d. Demam lebih dari 2 hari
e. Payudara bengkak, merah disertai rasa sakit
f. Ibu terlihat sedih, murung dan menangis tanpa sebab (depresi)
11. Komplikasi Masa Nifas
a. Infeksi Masa Nifas
Menurut Prawirohardjo (2009) infeksi masa nifas merupakan
morbaditas dan mortalitas bagi ibu pasca bersalin. Faktor
predisposisinya antara lain kurangnya gizi atau malnutrisi, anemia,
hygiene, kelelehan, proses persalinan bermasalah (partus
lama/macet, korioamnionitis, persalinan traumatik, manipulasi
yang berlebihan, dapat berlanjut ke infeksi dalam masa nifas).
Macam-macam infeksi masa nifas:
1) Metritis
Metritis adalah infeksi uterus setelah persalinan yang
merupakan salah satu penyebab terbesar kematian ibu. Bila
pengobatan terhambat akan menjadi abses pelvik, peritonitis,
syok septik, thrombosis vena yang dalam, emboli pulmonal,
infeksi pelvik yang menahun.
2) Bendungan Payudara
Bendungan payudara adalah peningkatan aliran vena dan limfe
pada payudara dalam rangka mempersiapkan diri untuk laktasi.
Hal ini bukan disebabkan overdistensi dari saluran sistem
laktasi.
3) Infeksi Payudara
Infeksi payudara sesudah persalinan, seperti mastitis yaitu
payudara tegang dan kemerahan, dan abses payudara yaitu
terdapat masa padat yang mengeras di bwah kulit yang
kemerahan.
4) Abses Pelvis
Terdapat tanda cairan fluktuasi pada daerah cul-de-sac.
5) Peritonitis
Pada parionitis umum terjadi peningkatan suhu tubuh, nadi
cepat dan kecil, perut kembung dan nyeri, dan ada defence
musculaire. Muka yang semula kemerah-merahan menjadi
pucat, mata cekun, kulit dingin, terdapat fasies hippocratica.
Pada peritonitis yang terbatas didaerah pelvis, gejalanya tidak
seberat peritonitis umum.
6) Infeksi Luka Perineal dan Luka Abdominal
Disebabkan oleh keadaan yang kurang bersih dan tindakan
pencegahan infeksi yang kurang baik.
7) Tromboflebitis
Perluasan infeksi yang mengikuti aliran darah disepanjang vena
dan cabang-cabangnya.
8) Pelviotromboflebitis
Nyeri pada perut bawah atau samping, pada hari ke 2-3 masa
nifas dengan atau tanpa panas. Tampak sakit berat, menggigil
berulang kali, suhu badan naik turun secara tajam, dapat
berlangsung selama 1-3 bulan, terdapat leukositosis. Pada
periksa dalam hampir tidak ditemukan apa-apa karena yang
paling banyak terkena ialah vena ovarika yang sukar pada
pemeriksaan dalam.
9) Tromboflebitis Femoralis
Mengenai vena-vema pada tungai, misalnya vena femoralis,
vena popliteal dan vena safena.
b. Pendarahan Masa Nifas
Menurut Rukiyah (2011) definisi pendarah masa nifas nifas
keluarnya darah ± 500 ml atau lebih, sesudah lahir atau setelah
Kala III. Perdarahan ini bisa terjadi segera begitu ibu meahirkan.
Terutama di dua jam pertama. Kalau terjadi pendarahan, maka
tinggi rahim akan bertambah naik, tekanan darah menurun, dan
denyut nadi ibu menjadi cepat.
Klasifaksi klinisnya antara lain perdarahan pasca persalinan
primer yaitu perdarahan yang terjadi dalam 24 jam pertama, dan
perdarahan paca persalinan sekunder yaitu perdarahan yang terjadi
setelah 24 jam pertama. Faktor predisposisi perdarahan dalam
masa nifas adalah sebagai berikut:
1) Atonia Uteri (>75%) atau uteri tidak berkontraksi dalam 15
detik setelah dilakukan massase fundus uteri.
2) Robekan jalan lahir atau robekan yang terjadi pada jalan lahir
disebabkan oleh robekan spontan atau memang sengaja
dilakukan episiotomy, robekan jalan lahir dapat terjadi di
serviks, perlukaan vagina, dan robekan perineum.
3) Retensio plasenta dan sisa plasenta (plasenta tertahan di dalam
rahim baik sebagian atau seluruhnya).
4) Inversion Uterus (uterus keluar dari rahim).
5) Gangguan pembekuan darah (koagulopati).
c. Infeksi Saluran Kemih
Kejadian infeksi saluran kemih pada masa nifas relative tinggi
dan hal ini dihubungkan dengan hipotomi kandung kemih akibat
trauma kandung kemih waktu persalinan, pemeriksaan dalam yang
terlalu sering, kotaminasi kuman dari perineum, atau kateterisasi
yang sering.
d. Patologi Menyusui
Masalah yang terjadi adalah masalah-masalah yang biasanya
terjadi dalam pemberian ASI.
1) Putting susu lecet, disebabkan karena tekanan jari ibu yang
terlalu kuat pada saat menyusui.
2) Payudara bengkak, disebabkan karena pemakaian bra yang
ketat.
Saluran susu tersumbat, disebabkan karena air susu yang terkumpul
tidak segera dikeluarkan sehingga terbentuklah sumbatan
H. Bayi Baru Lahir
1. Definisi
Bayi baru lahir (neonatus) adalah bayi yang berusia 0-28 hari
(Kementerian Kesehatan RI, 2010). Bayi baru lahir adalah bayi berusia satu
jam yang lahir pada usia kehamilan 37-42 minggu dan berat badannya
2.500-4000 gram (Dewi, 2010)
2. Ciri-ciri
Bayi baru lahir normal mempunyai ciri-ciri berat badan lahir 2500-
4000 gram, umur kehamilan 37-40 minggu, bayi segera menangis, bergerak
aktif, kulit kemerahan, menghisap ASI dengan baik, dan tidak ada cacat
bawaan (Kementerian Kesehatan RI, 2010).
Bayi baru lahir normal memiliki panjang badan 48-52 cm, lingkar
dada 30-38 cm, lingkar lengan 11-12 cm, frekuensi denyut jantung 120-160
x/menit, pernapasan 40-60 x/menit, lanugo tidak terlihat dan rambut kepala
tumbuh sempurna, kuku agak panjang dan lemas, nilai APGAR >7, refleks-
refleks sudah terbentuk dengan baik (rooting, sucking, morro, grasping),
organ genitalia pada bayi laki-laki testis sudah berada pada skrotum dan
penis berlubang, pada bayi perempuan vagina dan uretra berlubang serta.
adanya labia minora dan mayora, mekonium sudah keluar dalam 24 jam
pertama berwarna hitam kecoklatan (Dewi, 2010)
3. Klasifikasi Neonatus
Bayi baru lahir atau neonatus di bagi dalam beberapa kasifikasi
menurut Marmi (2015) , yaitu :
a. Neonatus menurut masa gestasinya :
1) Kurang bulan (preterm infant) : < 259 hari (37 minggu)
2) Cukup bulan (term infant) : 259-294 hari (37-42 minggu)
3) Lebih bulan (postterm infant) : > 294 hari (42 minggu atau lebih)
b. Neonatus menurut berat badan lahir :
1) Berat lahir rendah : < 2500 gram
2) Berat lahir cukup : 2500-4000 gram\
3) Berat lahir lebih : >4000gram
c. Neonatus menurut berat lahir terhadap masa gestasi (masa gestasi
dan ukuran berat lahir yang sesuai untuk masa kehamilan) :
1) Nenonatus cukup/kurang/lebih bulan (NCB/NKB/NLB)
2) Sesuai/kecil/besar untuk masa kehamilan (SMK/KMK/BMK)
I. MISOPROSTOL
1. Deskripsi
Misoprostol merupakan obat yang telah disahkan oleh Badan
Pengawasan Obat dan Makanan di Amerika Serikat ( Food abd Drug
Administration/FDA ) sejak tahun 1985 dan diindikasikan untuk mencegah
ulkus lambung akibat penggunaan obat anti inflamasi non steroid (Depkes
RI)
Misoprostol adalah suatu analog prostaglandin/sintesis hormon
prostaglandin, stabil pada suhu tubuh, aman dan efektif digunakan secara
oral, sublingual, rektal ataupun intra vaginal. Preparat ini telah banyak
digunakan dalam induksi persalinan di bidang ginekology. dan dipilih
sebagai langkah awal induksi karena persentase efektifitas dan keamanan
dapat mencapai 95%. Faktor resiko pendarahan akibat persalinan normal
ataupun tindakan kuret tidak ditemukan dalam studi kasus pemakaian
misoprostol, diperoleh data bahwa 400mcg misoprostol sebanding dengan
efek oksitosin pada persalinan normal.
Misoprostol (Cytotec) adalah prostaglandin E1 sintetik, dan saat ini
terseda sebagai tablet 100 mcg untuk mencegah ulkus peptic. Obat ini
digunakan “off-label” (di luar indikasi resmi) untuk pematangan serviks
prainduksi dan induksi persalinan. Misoprostol berharga murah, stabil pada
suhu kamar, dan mudah diberikan peroral atau dengan memasukkannya ke
vagina, tetapi tidak ke serviks (Jordan, 2010)
Misoprostol, suatu analog prostaglandin E telah dipakai secara luas di
bidang obstetri ginekologi pada kehamilan trimester I dan II untuk
pematangan serviks sebelum tindakan kuratase sampai tindakan aborsi
medis tanpa kuretase (Agoes, 2005)
2. Keunggulan
Misoprostol memiliki banyak keunggulan dan mudah digunakan
terutama jika dibandingkan dengan preparat prostaglandin lainnya,
misoprostol relatif murah, , tidak perlu penyimpanan yang khusus dan stabil
pada suhu ruangan. Misoprostol pada awalnya tidak digunakan sebagai
obat pada saat kehamilan, tetapi pada perkembangannya penggunaan obat
tersebut di banyak negara telah diketahui dapat menyebabkan kontraksi
uterus pada awal kehamilan dan pada beberapa penelitian telah digunakan
untuk induksi abortus, pematangan serviks dan pengobatan pada
perdarahan pasca persalinan.
Keuntungan dari penggunaan misoprostol termasuk lebih efektif, murah
biayanya, stabil pada suhu ruangan dan mudah pemberiaanya baik diberikan
secara oral, intravaginal, ataupun rektal (Hall, et al, 2002; Bennet, 2000).
Penelitian berikutnya melaporkan bahwa misoprostol intravaginal lebih
menguntungkan dibandingkan dengan obat lain yang sering digunakan
dalam pematangan serviks, termasuk oksitosin dan prostaglandin (Bennet,
2000).
3. Indikasi Dan Kontraindikasi
Indikasi :
Oksitosik
Menstimulus kontraksi uterus
Untuk induksi persalinan.
Pasien dengan Tukak lambung.
Tukak duodenum.
Tukak karena obat anti inflamasi non steroid (AINS).
Refluks esofagitis.
Refluks duodenogastral.
Keluhan lambung (neurologis), sendawa asam, rasa kenyang, dan
nyeri di sekitar perut bagian atas (semasa hamil karena obat atau salah
makan, penyalahgunann nikotin, alkohol,kafein).
Kontraindikasi
Perhatian!