Anda di halaman 1dari 14

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Identifikasi Skenario LBM 3


Seorang anak perempuan berusia 13 tahun, mengeluhkan demam disertai nyeri pada
bagian alat vital pada pemeriksaan kelamin dicurigai terjadi kejahatan / pelecehan seksual.
Ditemukan lendir yang kental dan berbau disertai bercak warna kemerahan pada bagian
celana dalam. Ditemukan bekas gigitan (bite mark) warna kebiruan pada paha dalam sebelah
kiri untuk meminta visum untuk anaknya. Sehari sebelumnya anak tersebut main ke kos
tetanga bersam dengan temannya karena di panggil oleh seseorang yang tidak di kenali. Ada
informasi kos tersebut merupakan tempat kos khusus laki-laki. Kemudian ibunya melaporkan
kejadian tersebut kepada polisi untuk meminta visum untuk anaknya.
BAB II
PEMBAHASAN

1. Prosedur medikolegal
Lingkup medikolegal :
a. Pengadaan visum et repertum : Pasal 133 KUHAP, 179 KUHAP, 186, 187
b. Pemeriksaan kedokteran terhadap tersangka : Pasal 37 ayat 2 KUHAP, pasal 120
KUHAP, pasal 180, pasal 65
c. Pemberian keterangan ahli pada masa sebelum dan di dalam persidangan : pasal
1 butir 28 KUHAP, pasal 179 ayat 1 KUHAP, pasal 133
d. rahasia kedokteran (Medical confidentiality) : PP No. 10 tahun 1966, dengan
sanksi hukum tertulis pada pasal 322 KUHP
e. Penerbitan Surat Keterangan Kematian dan Surat Keterangan Medik
Prosedur atau alur :
a. Pelaporan pihak korban ke pihak berwajib
b. Penerimaan korban yang dikirim oleh penyidik : yang diutamakan dalam
penanganan ini adalah kesehatan terlebih dahulu, bila kondisi memungkinkan
baru dilakukan pem. Medikolegal. Pencacatan luka utk rekam medis harus
lengkpa dan foto forensic
c. Diterimanya surat permintaan visum
d. Pemeriksaan medikolegal
Hal utama yang harus diperhatikan adalah memperoleh informed consent
dari pasien atau keluarga pasien. Informasi tentang pemeriksaan juga sangat
penting untuk disampaikan sebelum pemeriksaan. Informasi yang diberikan
antara lain mencakup tujuan pemeriksaan dan kepentingannya untuk
pengungkapan kasus, prosedur atau teknik pemeriksaan yang akan dilakukan,
tindakan pengambilan sampel atau barang bukti, dokumentasi dalam bentuk
rekam medis dan foto, serta pembukaan sebagian rahasia kedokteran guna
pembuatan visum et repertum.
Apabila korban sudah cakap hukum, persetujuan untuk pemeriksaan harus
diperoleh dari korban langsung. Syarat-syarat cakap hukum adalah berusia 21
tahun atau lebih, atau kurang dari 21 tahun tapi sudah pernah menikah, tidak
sedang menjalani hukuman, serta berjiwa sehat dan berakal sehat. Apabila korban
tidak cakap hukum persetujuan harus diminta dari walinya yang sah.
e. Konfidensialitas dalam hasil pemeriksaan korban harus di jaga oleh dokter
pemeriksa. Hasil pemeriksaan dikomunikasikan hanya kepada yang berhak
mengetahui, seperti kepada korban dan/atau walinya (jika ada), serta penyidik
kepolisian yang berwenang. Hasil pemeriksaan yang dituangkan dalam visum et
repertum sesuai dengan keperluan, dengan tetap menjaga kerahasiaan data medis
yang tidak ada hubungan dengan kasus.
f. Pengetikan surat keterangan ahli atau visum et repertum
g. Penandatanganan surat keterangan ahli atau visum et repertum
h. Penyererahan benda bukti yang telah diperiksa
2. Tindakan dokter dalam dualisme biomedik
2.1. Pasien
a. Anamnesis
Pada korban kekerasan seksual, anamnesis harus dilakukan dengan bahasa
awam yang mudah dimengerti oleh korban. Gunakan bahasa dan istilah-istilah
yang sesuai tingkat pendidikan dan sosio-ekonomi korban, sekalipun mungkin
terdengar vulgar. Anamnesis dapat dibagi menjadi anamnesis umum dan khusus.
Hal-hal yang harus ditanyakan pada anamnesis umum mencakup, antara lain: -
Umur atau tanggal lahir, - Status pernikahan, - Riwayat paritas dan/atau abortus, -
Riwayat haid (menarche, hari pertama haid terakhir, siklus haid), - Riwayat koitus
(sudah pernah atau belum, riwayat koitus sebelum dan/atau setelah kejadian
kekerasan seksual, dengan siapa, penggunaan kondom atau alat kontrasepsi
lainnya), - Penggunaan obat-obatan (termasuk NAPZA), - Riwayat penyakit
(sekarang dan dahulu), serta - Keluhan atau gejala yang dirasakan pada saat
pemeriksaan
b. Pemeriksaan fisik
c. Pemeriksaan khusus
d. Tatalaksana
2.2. Korban
a. Aspek hukum
 Kejahatan Terhadap Kesusilaan di Luar Perkawinan
Dalam kasus-kasus persetubuhan di luar perkawinan yang merupakan kejahatan,
dimana persetubuhan tersebut memang disetujui oleh si perempuan maka dalam hal
ini pasal-pasal dalam KUHP yang dimaksud adalah pasal 284 dan 287.
Pasal 284 KUHP
(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan:
1. a. seorang pria yang telah kawin yang melakukan gendak (overspel),
padahal diketahui bahwa pasal 27 BW (Burgerlyk Wetboek) berlaku
baginya.
b. seorang wanita yang telah kawin yang melakukan gendak (overspel),
padahal diketahui bahwa pasal 27 BW (Burgerlyk Wetboek) berlaku
baginya.
2. a. seorang pria yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal
diketahuinya bahwa yang turut bersalah telah kawin.
b. seorang wanita yang telah kawin yang turut serta melakukan perbuatan
itu, padahal diketahuinya bahwa yang turut bersalah telah kawin dan pasal
27 BW (Burgerlyk Wetboek) berlaku baginya.
(2) Tidak dilakukan penuntutan melainkan atas pengaduan suami/isteri yang
tercemar,dan bila bagi mereka berlaku pasal 27 BW (Burgerlyk Wetboek), dalam
tenggang waktu tiga bulan diikuti dengan permintaan bercerai atau pisah meja dan
pisah ranjang karena alasan itu juga.
(3) Terhadap pengaduan ini tidak berlaku pasal 72, 73, dan 75.
(4) Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan dalam sidang peradilan
belumdimulai.
(5) Jika bagi suami-isteri berlaku pasal 27 BW (Burgerlyk Wetboek), pengaduan tidak
diindahkan selama perkawinan belum diputuskan karena perceraian atau
sebelumputusan yang menyatakan pisah meja dan tempat tidur menjadi tetap.
Pasal 27 BW
Dalam waktu yang sama seorang laki hanya diperbolehkan mempunyai satu orang
perempuan sebagai isterinya, seorang perempuan hanya satu orang laki sebagai suaminya.
Pasal 287 KUHP
(1) Barangsiapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan,
padahaldiketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa umurnya belum lima belas
tahun, atau kalau umurnya tidak jelas bahwa belum waktunya untuk dikawin, diancam
dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.
(2) Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan, kecuali jika umur wanita belum sampai dua
belas tahun atau jika ada salah satu hal berdasarkan pasal 291 dan pasal 294.
Tindak pidana ini merupakan persetubuhan dengan wanita yang menurut undang-undang
belum cukup umur. Jika umur korban belum cukup 15 tahun tetapi sudah di atas 12 tahun,
penuntutan baru dilakukan bila ada pengaduan dari yang bersangkutan. Jadi dengan keadaan itu
persetubuhan tersebut merupakan delik aduan, bila tidak ada pengaduan, tidak ada penuntutan.
Tetapi keadaan akan berbeda jika:
a. Umur korban belum sampai 12 tahun
b. Korban yang belum cukup 15 tahun itu menderita luka berat atau mati akibat perbuatan
itu (KUHP pasal 291); atau
c. Korban yang belum cukup 15 tahun itu adalah anaknya, anak tirinya, muridnya, anak
yang berada di bawah pengawasannya, bujangnya atau bawahannya (KUHP pasal 294).
Dalam keadaan di atas, penuntutan dapat dilakukan walaupun tidak ada pengaduan
karena bukan lagi merupakan delik aduan. Pada pemeriksaan akan diketahui umur korban. Jika
tidak ada akte kelahiran maka umur korban yang pasti tidak diketahui. Dokter perlu
memperkirakan umur korban baik dengan menyimpulkan apakah wajah dan bentuk tubuh korban
sesuai dengan umur yang dikatakannya, melihat perkembangan payudara dan pertumbuhan
rambut kemaluan, melalui pertumbuhan gigi (molar ke-2 dan molar ke-3), serta dengan
mengetahui apakah menstruasi telah terjadi.
Hal di atas perlu diperhatikan mengingat bunyi kalimat: padahal diketahuinya atau
sepatutnya harus diduganya bahwa wanita itu umurnya belum lima belas tahun atau kalau
umurnya tidak jelas bahwa belum waktunya untuk dikawin. Perempuan yang belum pernah
mengalami menstruasi dianggap belum patut untuk dikawin.
Pasal 291 KUHP
(1) Kalau salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 286, 287, 288 dan 290itu
berakibat luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
(2) Kalau salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 285, 286, 287, 289 dan 290 itu
berakibat matinya orang, diancam denganpidana penjara paling lama lima belas tahun.

Pasal 294 KUHP


Barangsiapa melakukan perbuatan cabul dengan anaknya, anak tirinya atau anak
piaraannya, anak yang di bawah pengawasannya, orang di bawah umur yang diserahkan
kepadanya untuk dipelihara, dididiknya atau dijaganya, atau bujangnya atau orang yang di bawah
umur, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
Dengan itu maka dihukum juga:
1) Pegawai negeri yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang di bawahnya/orang
yang dipercayakan/diserahkan kepadanya untuk dijaga.
2) Pengurus, dokter, guru, pejabat, pengurus atau bujang di penjara, di tempat bekerja
kepunyaan negeri, tempat pendidikan, rumah piatu, RS jiwa atau lembaga semua yang
melakukan perbuatan cabul dengan orang yang dimaksudkan di situ.
Pada kasus persetubuhan di luar perkawinan yang merupakan kejahatan dimana
persetubuhan tersebut terjadi tanpa persetujuan wanita, seperti yang dimaksud oleh pasal 285 dan
286 KUHP; maka untuk kasus-kasus tersebut Visum et Repertum harus dapat membuktikan
bahwa pada wanita tersebut telah terjadi kekerasan dan persetubuhan. Kejahatan seksual seperti
yang dimaksud oleh pasal 285 KUHP disebut perkosaan, dan perlu dibedakan dari pasal 286
KUHP.
Pasal 285 KUHP
Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita
bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana
penjara paling lama dua belas tahun.
Pada tindak pidana di atas perlu dibuktikan telah terjadi persetubuhan dan telah terjadi
paksaan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan. Dokter dapat menentukan apakah
persetubuhan telah terjadi atau tidak, apakah terdapat tanda-tanda kekerasan. Tetapi ini tidak
dapat menentukan apakah terdapat unsur paksaan pada tindak pidana ini.
Ditemukannya tanda kekerasan pada tubuh korban tidak selalu merupakan akibat
paksaan, mungkin juga disebabkan oleh hal-hal lain yang tak ada hubungannya dengan paksaan.
Demikian pula bila tidak ditemukan tanda-tanda kekerasan, maka hal itu belum merupakan bukti
bahwa paksaan tidak terjadi. Pada hakekatnya dokter tak dapat menentukan unsur paksaan yang
terdapat pada tindak pidana perkosaan; sehingga ia juga tidak mungkin menentukan apakah
perkosaan telah terjadi, yang berwenang untuk menentukan hal tersebut adalah hakim, karena
perkosaan adalah pengertian hukum bukan istilah medis sehingga dokter jangan menggunakan
istilah perkosaan dalam Visum et Repertum.
Pasal 286 KUHP
Barangsiapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan padahal diketahuinya
bahwa wanita itu dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya, diancam dengan pidana penjara
paling lama sembilan tahun.
Pada tindak pidana di atas harus terbukti bahwa korban berada dalam keadaan pingsan
atau tidak berdaya. Dokter perlu mencari tahu apakah korban sadar waktu persetubuhan terjadi,
adakah penyakit yang diderita korban yang sewaktu-waktu dapat mengakibatkan korban pingsan
atau tidak berdaya. Jika korban mengatakan ia menjadi pingsan, maka perlu diketahui bagaimana
terjadinya pingsan itu, apakah terjadi setelah korban diberi minuman atau makanan. Pada
pemeriksaan perlu diperhatikan apakah korban menunjukkan tanda-tanda bekas kehilangan
kesadaran, atau tanda-tanda telah berada di bawah pengaruh obat-obatan.
Jika terbukti bahwa si pelaku telah telah sengaja membuat korban pingsan atau tidak
berdaya, ia dapat dituntut telah melakukan tindak pidana perkosaan, karena dengan membuat
korban pingsan atau tidak berdaya ia telah melakukan kekerasan.
Membuat orang pingsan atau tidak berdaya disamakan dengan menggunakan kekerasan.
Kejahatan seksual yang dimaksud dalam KUHP pasal 286 adalah pelaku tidak melakukan
upaya apapun; pingsan atau tidak berdayanya korban bukan diakibatkan oleh perbuatan si pelaku
kejahatan seksual.
Aspek forensik dan medikolegal kekerasan pada anak
Aspek medikolegal kekerasan pada anak Dalam hal item perlindungan pada anak,
dicantumkan bahwa anak berhak memperoleh perlindungan dari 6 hal tercantum dalam
pasal 15 dan 16 UU RI 35 tahun 2014 tentang perlindungan anak yang termasuk
perlindungan dari pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan.
Terdapat Bab khusus yang mengatur larangan yaitu Bab XI A tentang Larangan. Dalam
hal kekerasan pada anak, diatur tersendiri dalam pasal 76C-F. Dengan ketentuan sanksi
pidana diatur dalam pasal 80-83. Adapun kekerasan atau trauma yang timbul dapat
menyebabkan luka dan sampai kematian. Dalam hubungan dengan aspek hukum, akibat luka
juga tercantum dalam:
1) KUHP pasal 352 yaitu : penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan
untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian (sebagai penganiayaan
ringan).
2) KUHP pasal 351:1 yaitu penganiayaan yang menimbulkan penyakit atau halangan
untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian.
3) KUHP pasal 351:2 yaitu penganiayaan yang menimbulkan luka berat.
4) KUHP pasal 90 terkait kriteria luka berat
5) KUHP pasal 338,340,355,359 (mati)
Secara istilah bahasa “luka” dianalogkan dengan akibat dari suatu penganiayaan atau
trauma. Istilah penganiayaan hanya merupakan istilah hukum dan tidak dikenal dalam
istilah kedokteran, oleh karena penganiayaan dapat menimbulkan luka maka dalam
penulisan visum et repertum digunakan istilah luka sebagai pengganti kata penganiayaan.
Dengan kriteria kualifikasi luka terdiri dari:
1) Luka ringan: yang tergolong luka yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan
untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian.
2) Luka sedang: yang tergolong luka yang menimbulkan penyakit atau halangan untuk
menjalankan pekerjaan atau pencaharian.
3) Luka berat, menurut KUHP pasal 90, maka “luka berat” berarti :
a) Jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama
sekali atau yang menimbulkan bahaya maut.
b) Tidak mampu secara terus menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan
pencaharian.
c) Kehilangan salah satu panca indera.
d) Mendapat cacat berat.
e) Menderita sakit lumpuh.
f) Terganggu daya pikir selama 4 minggu lebih.
g) Gugur atau matinya kandungan seorang perempuan.

b. Aspek WHO
c. Direct evidence
d. Medical evidence
3. Pemeriksaan penunjang pada kasus tersebut (kasus baru dan ila lebih dari 1 bulan)
Pada kasus kekerasan seksual, perlu dilakukan pemeriksaan penunjang sesuai
indikasi untuk mencari bukti-bukti yang terdapat pada tubuh korban. Sampel untuk
pemeriksaan penunjang dapat diperoleh dari, antara lain:
- Pakaian yang dipakai korban saat kejadian; diperiksa lapis demi lapis untuk mencari adanya trace
evidence yang mungkin berasal dari pelaku, seperti darah dan bercak mani, atau dari tempat
kejadian, misalnya bercak tanah atau daun-daun kering;

Sekresi kering pada pakaian tetap cukup stabil, sehingga air mani dapat terdeteksi
lebih dari 1 tahun.
- Rambut pubis; yaitu dengan menggunting rambut pubis yang menggumpal atau
mengambil rambut pubis yang terlepas pada penyisiran;
- Kerokan kuku; apabila korban melakukan perlawanan dengan mencakar pelaku maka
mungkin terdapat sel epitel atau darah pelaku di bawah kuku korban;
- Swab; dapat diambil dari bercak yang diduga bercak mani atau air liur dari kulit sekitar
vulva, vulva, vestibulum, vagina, forniks posterior, kulit bekas gigitan atau ciuman,
rongga mulut (pada seks oral), atau lipatan-lipatan anus (pada sodomi), atau untuk
pemeriksaan penyakit menular seksual; - darah; sebagai sampel pembanding untuk
identifi kasi dan untuk mencari tanda-tanda intoksikasi NAPZA; dan
- Urin; untuk mencari tanda kehamilan dan intoksikasi NAPZA.
Hal yang harus diperhatikan pada tahap ini adalah keutuhan rantai barang bukti
dari sampel yang diambil (chain of custody). Semua pengambilan, pengemasan, dan
pengiriman sampel harus disertai dengan pembuatan berita acara sesuai ketentuan yang
berlaku. Hal ini lebih penting apabila sampel akan dikirim ke laboratorium dan tidak
diperiksa oleh dokter sendiri.
- Cairan oral: merupakan bukti biologis kedua yang umumnya ditemukan dalam kasus
ASA, sering diamati dengan uji Phadebas, yang mendeteksi aktivitas α-amilase. Namun
demikian, harus diperhitungkan bahwa α-amilase dapat hadir dalam cairan tubuh selain
air liur. Bahan biologis ini mengangkut sel epitel dari mukosa bukal yang mengandung
DNA

3.1. Kasus baru


Ada kasus kekerasan seksual, perlu dilakukan pemeriksaan penunjang sesuai
indikasi untuk mencari bukti-bukti yang terdapat pada tubuh korban. Pembuktian
persetubuhan yang lain adalah dengan memeriksa cairan mani di dalam liang vagina
korban. Dari pemeriksaan cairan mani akan diperiksa sel spermatozoa dan cairan
mani sendiri.
- Menentukan cairan mani Untuk menentukan adanya cairan mani dalam secret vagina perlu
dideteksi adanya zat-zat yang banyak terdapat dalam cairan mani, beberapa pemeriksaan yang
dapat dilakukan untuk membuktikan hal tersebut adalah :

 Reaksi Fosfatase Asam


Fosfatase asam adalah enzim yang dikeluarkan oleh kelenjar prostat di
dalam cairan semen/mani dan didapatkan pada konsentrasi tertinggi di atas 400
kali dalam mani dibandingkan yang mengalir dalam tubuh lain. Dengan
menentukan secara kuantitatif aktifitas fosfatase asam per 2 cm2 24 bercak, dapat
ditentukan apakah bercak tersebut mani atau bukan. Aktifitas 25 U.K.A per 1cc
ekstrak yang diperoleh 1 cm2 bercak dianggap spesifik sebagai bercak mani
 Reaksi Berberio.
Prinsip reaksi ini adalah menentukan adanya spermin dalam semen.
Spermin yang terkandung pada cairan mani akan beraksi dengan larutan asam
pikrat jenuh membentuk kristal spermin pikrat.Bercak diekstraksi dengan sedikit
aquades. Ekstrak diletakkan pada kaca objek, biarkan mengering, tutup dengan
kaca penutup.Reagen diteteskan dengan pipet di bawah kaca penutup.
Interpretasi : hasil positif memperlihatkan adanya kristal spermin pikrat yang
kekuning-kuningan atau coklat berbentuk jarum dengan ujung tumpul.
 Reaksi Florence
Dasar reaksi adalah untuk menemukan adanya kholin. Bila terdapat bercak
mani, tampak kristal kholin-peryodida berwarna coklat, berbentuk jarum dengan
ujung terbelah.
a. Pemeriksaan Spermatozoa
- Tanpa pewarnaan / pemeriksaan langsung
Pemeriksaan ini berguna untuk melihat apakah terdapat
spermatozoa yang bergerak.Pemeriksaan motilitas spermatozoa ini paling
bermakna untuk memperkirakan saat terjadinya persetubuhan.Umumnya
disepakati bahwa dalam 2-3 jam setelah persetubuhan, masih dapat
ditemukan spermatozoa yang bergerak dalam vagina.Bila tidak
ditemukan lagi, belum tentu dalam vagina tidak ada ejakulat.
- Dengan pewarnaan (pulasan Malachite green 1 %)
Interpretasi : pada pengamatan di bawah mikroskop akan terlihat
gambaran sperma dengan kepala sperma tampak berwarna ungu menyala
dan lehernya merah muda, sedangkan ekornya berwarna hijau.
- Pewarnaan Baecchi
Prinsip kerja nya yaitu asam fukhsin dan metilen biru merupakan
zat warna dasar dengan kromogen bermuatan positif. Asam nukleat pada
kepala spermatozoa dan komponen sel tertentu pada ekor membawa
muatan negatif, maka akan berikatan secara kuat dengan kromogen
kationik tadi. Sehingga terjadi pewarnaan pada kepala spermatozoa.
Interpretasi : Kepala spermatozoa berwarna merah, ekor merah muda,
menempel pada serabut benang.

b. Pemeriksaan Penentuan Golongan Darah


- Serologis air mani (antigen ABO) pada orang yg ’sekretor’
- Di cocokkan dengan golongan darah (pelaku / korban)

4. Dampak yang dapat dialami korban tindakan seksual


Penting untuk diperhatikan bahwa meskipun penelitian telah menunjukkan adanya
hubungan yang signifikan antara variabel efek jangka panjang dan pelecehan seksual
pada masa kanak-kanak, tanggapan dan pengalaman setiap korban tidak akan sama.
Meskipun sering dipandang sebagai pengalaman traumatis, tidak ada gejala tunggal di
antara semua pasien yang selamat dan penting bagi dokter untuk fokus pada kebutuhan
individu klien.
Pelecehan seksual pada masa kanak-kanak telah berkorelasi dengan tingkat
depresi, rasa bersalah, rasa malu, menyalahkan diri sendiri, gangguan makan, masalah
somatik, kecemasan, pola disosiatif, represi, penyangkalan, masalah seksual, dan masalah
hubungan yang lebih tinggi.
Masalah tubuh dan gangguan makan juga disebut-sebut sebagai efek jangka
panjang pelecehan seksual pada masa kanak-kanak. Ratican (1992) mendeskripsikan
gejala gangguan citra tubuh pada penyintas pelecehan seksual anak terkait dengan
perasaan kotor atau jelek, ketidakpuasan terhadap tubuh atau penampilan, gangguan
makan, dan obesitas. Penderitaan orang yang selamat juga dapat menyebabkan
kekhawatiran somatik. Sebuah studi menemukan bahwa perempuan yang selamat
melaporkan lebih banyak masalah medis daripada orang yang tidak pernah mengalami
pelecehan seksual. Keluhan medial yang paling sering adalah nyeri panggul
(Cunningham, Pearce, & Pearce, 1988). Gejala somatisasi pada penyintas sering kali
berkaitan dengan nyeri panggul, masalah gastrointestinal, sakit kepala, dan kesulitan
menelan (
Edukasi
Dapat memberikan informasi apa yang harus dilakukan dan yang harus dihindari
dan informasi yang mendorong anak korban kekerasan seksual keluarga agar tidak terus
mengurung diri dari lingkungan sekitarnya
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Pelecehan seksual harus selalu dipertimbangkan pada anak perempuan dengan
keputihan atau pendarahan yang berulang atau persisten. Perubahan ini disebabkan oleh
enzim yang disebut PSA. Meskipun Morgentaler memperingatkan itu spekulatif,
beberapa orang berpikir bahwa alasannya adalah bahwa gel cenderung tidak terkena
gravitasi dan dapat lebih berhasil bertahan di saluran vagina. Oleh karena itu, dokter
biasanya harus menunggu sekitar 20 menit sebelum menganalisis air mani di bawah
mikroskop agar dalam keadaan cair sepenuhnya.
DAFTAR PUSTAKA

Garden AS, Topping J. Paediatric and Adolescent Gynaecology for the MRCOG and
Beyond 2001 London: RCOG Press.
Biological Evidence Management for DNA Analysis in Cases of Sexual Assault Teresa
Magalhães. 2015. ScientificWorldJournal. v2015; 2015: PMC4637504
ASPEK MEDIS PADA KASUS KEJAHATAN SEKSUAL Sie Ariawan Samatha JURNAL
KEDOKTERAN DIPONEGORO Volume 7, Nomor 2, Mei 2018.
Vistas™ is commissioned by and is property of the American Counseling Association, 5999
Stevenson Avenue, Alexandria, The Long-Term Effects of Childhood Sexual Abuse: Counseling
Implications Melissa Hall and Joshua Hall

Anda mungkin juga menyukai