Anda di halaman 1dari 11

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/275953631

TEORI KONTRAK SOSIAL TERHADAP FENOMENA PENDIDIKAN,


PROFESIONAL, DAN LEGALITAS ARSITEK

Conference Paper · January 2004


DOI: 10.13140/RG.2.1.2634.8969

CITATIONS READS

0 2,767

1 author:

Pindo Tutuko
University of Merdeka Malang, Indonesia
62 PUBLICATIONS   136 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Model Pola Mobilitas Sebaran Sarana Pendidikan Bebasis Space Syntax pada Kawasan Pengembangan Kota Malang (Mobility Pattern Model of Educational Facilities
Distribution Based on Space Syntax Analysis in Malang City Development Area) View project

Mobility Patterns of Settlement Community Post PPDB Policy in Malang City View project

All content following this page was uploaded by Pindo Tutuko on 07 May 2015.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


TEORI KONTRAK SOSIAL TERHADAP FENOMENA PENDIDIKAN,
PROFESIONAL, DAN LEGALITAS ARSITEK

Oleh:
Pindo Tutuko1
Staff Pengajar Arsitektur Unmer Malang
pindo@telkom.net

Abstrak
Resesi kali ini bukan hanya ‘menggangu’ kelangsungan hidup profesi arsitek
saat ini, namun juga merupakan momen yang menetukan arah ‘berasitektur’ para arsitek
jika saja kesulitan ini berlalu nanti. Beratus-ratus bahkan beribu Arsitek dan calon
arsitek telah kehilangan pekerjaan dan juga kesempatan untuk memanfaatkan hasil
pendidikan Arsitektur yang mereka miliki. Kesempatan mungkin akan muncul kembali
beberapa tahun lagi, namun dalam bentuk yang berbeda. Sementara menunggu, rasanya
kita akan kehilangan ketajaman kemampuan akibat hilangnya sarana untuk terus
mengasah kemampuan kita
Dalam bidang pendidikan terdapat kesulitan dalam menghubungkan perubahan
dengan faktor-faktor yang mempunyai pengaruh terhadapnya. Perubahan kurikulum
saja tidak memberi gambaran yang lengkap mengenai perubahan-perubahan konsepsual
yang sesungguhnya terjadi. Konflik-konflik yang terjadi di pembangunan saat ini
membentuk wawasan para alumni mengenai arsitektur, peran profesi di dalam
masyarakat dan karya-karya yang diciptakannya.
Arsitek dalam segala tindakannya selalu mempertimbangkan diri pada etika
profesi serta tanggung jawab sebagai profesional. Dalam memberikan jasa profesional,
arsitek selalu bertindak tegas dan jujur. Mematuhi rambu-rambu standar profesional dan
teknis yang relevan. Namun saat menghadapi penugasan, keahlian, dan ketelitiannya
berjalan dalam ritme yang tinggi sesuai dengan syarat integritas, obyektivitas, serta
syarat independensi yang berlaku. Sehingga jika ditinjau dari keprofesian arsitek maka
terdapat kerangka pikir atas kontrak, hasil rancangan dipandang dari kontrak tertulis
antara arsitek atau Biro Arsitek dengan klien, dan antara Arsitek dengan patner dan
kontrak sosial dengan masyarakat sebagai kontrol.

Kata kunci: Teori Kontrak Sosial, Pendidikan, Profesional, Legalitas

1
Disampaikan pada Seminar Nasional Arsitektur: Profesional dan Legalitas, Teknik
Arsitektur UPN “Veteran” Jatim, Surabaya, 2004
1. LATAR BELAKANG
…..Untuk mencetak ‘sebuah arsitek’ tidak semudah membikin ketoprak yang siap
saji untuk dimakan. Disini perlu kita cermati betul sejauh mana lembaga perguruan tinggi
kita mampu menjadi dapur dengan koki-koki yang brilian. Betulkah wisudawan-wisudawan
strata satu yang ada sekarang ini sudah pantas menyandang gelar sarjana teknik arsitektur?
Untuk dapat mencetak sesuai dengan harapan nampaknya perlu dilakukan kajian yang
mendalam oleh pihak-pihak yang benar-benar concern terhadap nasib profesi arsitek
Indonesia di masa mendatang. Dimulai dari kurikulum, materi ajaran dan kualitas pengajar-
nya. Hal yang paling mendasar sejauh manakah benang merah dapat disepakati bersama di
lembaga-lembaga yang menyelenggarakan pendidikan arsitektur, karena dari materi-materi
inilah yang akan terlahir wujud tiga dimensional arsitektur kita kelak …….
(2003 & 2020 Semakin Dekat Perenungan Atas Kekhawatiran Adhi Moersid )

Seharusnya timbul kesadaran baru diantara para arsitek bahwa pada masa-masa
sekarang ini merupakan momen yang menentukan arah ‘berasitektur’ para arsitek jika
saja kesulitan ini berlalu nanti, jadi bukan hanya menjadikan gangguan kelangsungan
pendidikan di Arsitektur. Kehadiran Arsitektur asing sebenarnya tidak harus menjadi
acuan yang esensial, karena Karya-karya yang mereka sebagian besar hanya merupakan
karya-karya replikasi atau karya-karya standar.
Secara umum memang pendidikan di luar negeri lebih baik daripada di dalam
negeri, tetapi tidak semua pendidikan di luar negeri lebih baik daripada pendidikan di
Indonesia. Memang pada dasarnya Pendidikan di luar negeri, lebih inovatif dan
mahasiswa diberi kebebasan untuk menganut teori atau paham tertentu, dan yang paling
utama pengajar disana berusaha untuk memahami dalam proses, kerangka berpikir, dan
maupun pola pikir para mahasiswanya. Sedangkan di Indonesia terasa lebih konservatif.
Indonesia memiliki peninggalan arsitektur dan variasi urban design yang beragam
namun sering terabaikan dan mengalami proses ‘Ke-Aus-an’. Ditambah dengan adanya
kesenjangan antara kaya dan miskin juga menjadi kendala bagi pembangunan
perkotaan. Pendidikan arsitektur mempunyai kewajiban untuk memecahkan masalah
tersebut. Namun demikian, pendidikan harus pula punya visi ke depan, kita harus
mampu membekali calon arsitek untuk bersaing lebih luas lagi.
Tuntutan pembangunan meningkat, sejalan dengan pembangunan yang telah
dialami. Implikasinya ialah keharusan adanya desentralisasi dan pelibatan masyarakat
yang lebih besar dalam pembangunan melalui mobilisasi sumberdaya yang ada dalam
masyarakat. Potensi yang latent dalam bentuk ‘energi sosial’ perlu dimanfaatkan
dengan baik. Untuk itu perencanaan dan perancangan partisipasi menjadi penting, suatu
hal yang bertolak-belakang dengan praktek-praktek yang kini lazim dipergunakan.
2. HARAPAN DAN KENYATAAN PENDIDIKAN ARSITEKTUR
Pada dasarnya setiap Institusi Arsitektur akan mengatarkan mahasiswa didikannya
untuk memiliki kemampuan dengan skill tinggi. Hal ini sangat menunjang dalam proses
merancang, baik itu berupa konsep maupun perancangan (karya). Selain itu ada
permasalah lain yang tidak kalah penting adalah Teknologi, dinama kita harus lebih
banyak belajar untuk memahami teknologi dan bahan yang lebih modern dalam
merancang.
Kita hanya bisa berharap arsitektur Indonesia dihasilkan dengan dasar teori disain
yang lebih bervariasi dan mendalam. Di Indonesia saat ini memiliki banyak bangunan-
bangunan yang sangat membutuhkan revitalisasi dan konservasi. Revitalisasi bangunan-
bangunan kuno untuk difungsikan secara modern sangat penting. Urban disain dan
ruang publik yang ada diciptakan sebaik-baiknya bagi masyarakat. Tipologi dan Proses
Perancangan bangunan kita dan daerah pedestrian kita kondisinya sangat jauh dari
yang diharapkan, maka dari itu Pendidikan Arsitektur di Indonesia seharusnya bisa kita
pecahkan dalam waktu yang tidak terlalu lama.

3. PESPEKTIF PENDIDIKAN ARSITEKTUR


Poerbo (1987) mengatakan, adalah suatu hal yang wajar bilamana dalam
perjalanan sejarah, pendidikan arsiterktur mengalami perubahan-perubahan, kadang-
kadang sampai pada yang bersifat mendasar. Hal ini bukan hanya karena tuntutan-
tuntutan administratif saja, yang di Indonesia tampaiknya sering lebih menentukan
sifatnya daripada perkembangan ilmu yang menunjang pendidikan, melainkan juga
karena perubahan-perubahan dalam lingkungan sosial, ekonomi, teknologi dan politik
yang telah dialami selama ini. Hal ini diikuti oleh proses pendewasaan staf dan
pengalaman-pengalamannya, serta masuknya konsep-konsep baru (terutama dari luar
negeri) yang dibawakan oleh literatur maupun kontak-kontak pribadi antara staf dan
dunia praktek dan akademis diluar suatu institusi.
Selanjutnya Poerbo (1987) mengatakan bahwa terdapat kesulitan dalam
menghubungkan perubahan dalam pendidikan dengan faktor-faktor yang mempunyai
pengaruh terhadapnya. Perubahan kurikulum saja tidak memberi gambaran yang
lengkap mengenai perubahan-perubahan konsepsual yang sesungguhnya terjadi, serta
konflik-konflik yang menyertainya yang membentuk wawasan para alumni mengenai
arsitektur, peran professi di dalam masyarakat dan karya-karya yang diciptakannya. Apa
yang akan dihadapkan kepada kita merupakan tantangan yang berat. Ekonomi Indonesia
sedang mengalami resesi tanpa adanya prospek dalam waktu dekat akan dapat
membaik.

4. TREN ARSITEKTUR
Masa kini, profesi arsitektur telah menjadi suatu tantangan fana, dimana arsitek
mempunyai kemungkinan berhasil mencapai tujuan ‘arsitektur’ atau tidak. Berdasarkan
pengamatan terhadap perkembangan arsitektur masa lalu dan masa kini diperkirakan
akan terjadi trend desain arsitektur ke beberapa arah tertentu. Desain Industri/Arsitektur
Masa kini, desain industri telah menjadi profesi kuat dengan ilmu desain yang
berkembang pesat akibat dukungan proses produksi industri yang inovatif. Para desainer
industri mulai melirik dunia arsitektur untuk pemasaran jasa mereka dan membawa
pendekatan kreatif, serta cara kerja profesi mereka. Hal ini, mengakibatkan
kemungkinan dunia arsitektur harus mulai mengadaptasi kiat berpikir desain industri
sebagai usaha pendukung inovasi profesi.
Masalah lingkungan merupakan kendala besar dalam budaya dunia masa kini
(amdal dan penghematan energi), dan menyebabkan klien di mana-mana menginginkan
bangunan yang mempunyai kemampuan teknologi pendukung (sustainable buildings).
Karena kebutuhan pelestarian lingkungan kini lebih mendesak daripada pelestarian
sumber energi. Diharapkan arsitektur pendukung (sustainable architecture) yang
mampu menyesuaikan dengan kebutuhan berbeda setiap tempat, sebentar lagi dapat
terwujud. Smart Building dan adaptif (intelligence and adaptability) mungkin dapat
menjadi solusi dalam menghadapi masalah kebutuhan bangunan sustainable building.
Oleh karena itu, diperlukan pemikiran dan teknologi inovatif di bidang proses
konstruksi bangunan, usaha yang telah diawali dengan pemunculan wujud ‘pintar’,
materi, dan komponen bangunan ‘pintar’.
Menghindari kondisi kacau struktur transportasi perkotaan masa kini, tak lama
lagi kota akan ditata sebagai suatu sistem (city as a system) yang mendikte bentuk
bangunan dan teknologi bangunan yang berbeda. Selain itu, jika dilihat dari atas, kini
area kota-kota besar menyerupai penyakit kulit pada permukaan bumi. Salah satu kiat
memperbaiki kondisi ini adalah dengan memperbanyak vegetasi melalui teknologi baru
yang menyatukan tanaman dan bangunan (the green city). Oleh karena itu, pemaduan
arsitektur dengan vegetasi dapat menjadi trend desain dalam sepuluh tahun mendatang.

5. PERSOALAN DUNIA INSTITUSI PROFESI (IAI)


IAI sebagai satu-satunya wadah profesional Arsitektur Indonesia seharusnya
mulai melakukan tindakan untuk mengantisipasi keberadaan profesi ini, jika saja
masalah sekarang dapat kita lewati bersama. Salah satu hal yang terpenting adalah
usaha untuk mengedepankan arsitek Indonesia, tanpa terjebak pada pernyataan-
pernyataan yang selama ini muncul lewat hujatan-hujatan terhadap kehadiran arsitek
asing di Indonesia.
Persoalannya terletak pada keengganan (ketidak biasaan) arsitek kita untuk
menyatakan eksistensinya lewat karya-karya unggulan yang sudah dihasilkan baik di
dalam mapun di luar negeri. IAI harus mendorong promosi arsitek Indonesia lewat
publikasi gencar dan terencana secara baik. Banyak biro-biro arsitek-arsitek Indonesia
yang sudah berkiprah di luar negeri, namun tidak banyak kita ketahui karena kurangnya
publikasi arsitektur yang baik di luar negeri, sehingga jangan heran bahwa arsitek luar
lebih banyak dikenal disini daripada arsitek kita sendiri.
Dalam kasus lain, seperti halnya masalah konservasi, Han Awal (2000)
mengatakan, dalam konteks perpaduan, perlu suatu pengaturan makro maupun mikro,
dimana lingkungan alam ataupun terbangun tidak selalu secara keseluruhan dapat
dipertahankan/dilestarikan. Mengacu kepada undang-undang pelestarian yang ada;
memang semua bangunan yang telah berumur 50 tahun lebih perlu dilestarikan.
Bukakah ini memerlukan tindak pengamanan, bila kita jalankan secara konsekuen
absurd, dapat menjebak kita sendiri Sedangkan bangunan-bangunan dengan karya
kreasi tinggi dari para arsitek kita yang mungkin baru berumur 30-35 tahunan dengan
peraturan tersebut, secara absurd pun dapat dihapus begitu saja? Kedutaaan Perancis
karya Soejoedi, Pusgafin, dalam waktu dekat juga akan menjadi korban ‘perkembangan
pembangunan’, yang mungkin lebih tepat ‘terjangan pembangunan’. Berbagai upaya
yang hendak dilakukan oleh Ikatan kita IAI, tapi masih berhenti pada pembicaraan atau
diskusi saja; belum ada plan of action yang jelas; belum berani menamakan diri:
pressure group tertentu, karena berbagai kepentingan Tapi jelas peraturan perpaduan ini
perlu ada, dan di tempat tertentu (somewhere) dapat dipertemukan pula.

6. TEORI KONTRAK SOSIAL


Pada intinya teori kontrak sosial adalah suatu persetujuan dimana orang
menerima batasan tertentu pada diri mereka demi kepentingan masyarakat. Sering
batasan seperti itu diperkuat oleh penguasa kedaulatan (atau politik) dan pada
umumnya mengambil format hukum. Penguasa kedaulatan adalah seorang penguasa
tunggal (misalnya seorang raja) atau seseorang yang berkuasa karena ketetapan politis
seperti yang ada di AS. Kontrak secara eksplisit belum tentu ada, namun suatu dorongan
psikologis untuk mengikuti atau bersepakat dengan kehendak penguasa yang terjadi
selama berabad-abad dan turun-temurun merupakan bentuk otoritas yang sangat kejam.
Suatu kontrak sosial mengharuskan ada pihak yang berkuasa dan ada pihak yang
dikuasai
Kontrak sosial dalam pandangan Thomas Hobbes (1588-1679) menekankan
bahwa egoisme sendiri memotivasi kita untuk mengadopsi aturan yang akan
diperbolehkan untuk suatu masyarakat yang beradab, meliputi larangan seperti melawan
terhadap kebohongan, pencurian, dan pembunuhan. Pandangan Hobbes dapat ditinjau
dari motivasi manusia dan egoisme psikologis yang dimiliki manusia. Meskipun, kritik
atas pandangan Hobbes menyatakan, kepentingan pribadi bukan satu-satunya motivasi
untuk moralitas, namun banyak orang memiliki ketertarikan yang difokuskan pada
sosial, religius, atau pandangan politis dikaitkan dengan motivasi dan egoisme.
Selanjutnya Barnett (1992) menyatakan teori kontrak adalah badan hukum yang
menyelidiki permasalahan yang bersifat konsepsual dan normatif dalam hukum kontrak.
Pendekatan yang pertama dalam kontrak adalah pendekatan utilitarian, yaitu suatu
kontrak cenderung dipaksakan karena adanya keuntungan-keuntungan ekonomis yang
diharapkan. Kedua, pendekatan deontological moral theory, pendekatan ini senada
dengan apa yang diungkapkan Charles Fried (1992), tentang promise theory of
contract dalam bukunya Contract as Promise. Dalam pendekatan kedua ini, teori
kontrak lebih pada apa yang tertuang dalam perjanjian.

7. ETIKA SECARA UMUM


Berbicara tentang teori kontrak, tidak terlepas dari etika. Etika berasal dari
bahasa Yunani etos yang artinya karakter. Istilah lain etika adalah kesusilaan yang mana
dalam bahasa latin berarti adat-istiadat atau kebiasaan. Morality difokuskan atas benar
dan salah dari kebiasaan manusia. Begitu pula dengan etika, ketika berhadapan dengan
pertanyaan tentang bagaimana orang berhubungan satu sama lain. Para ahli filsafat
sudah mengembangkan banyak teori tentang etika.
Lee (1993) menyatakan etika secara umum dapat dilihat dari gambaran berikut,
orang biasanya dihadapkan dengan kebutuhan untuk membuat pilihan yang mempunyai
konsekuensi antara diri mereka sendiri dan orang lain. Suatu dilema etis sering muncul
ketika sebuah tindakan membawa pengaruh baik untuk satu orang atau pihak namun
tidak membawa pengaruh baik untuk seseorang yang lainnya. Sering dikatakan bahwa
dalam situasi yang sedemikian, individu perlu mengajukan pertanyaan: "Apa yang
harus aku lakukan?” dan "Apa kewajiban yang harus aku lakukan dalam keadaan ini?".
Etika umum mencoba untuk memberikan penjelasan yang berhubungan dengan
individu dan masyarakat, serta mencoba untuk menetapkan tugas-tugas atau kewajiban
yang harus dilaksanakannya. Tetapi ketidakmampuan untuk mewujudkan kewajiban
tersebut dibagi oleh para ahli menjadi 2 bagian. Bagian pertama adalah ‘etika pasti’
yang menjelaskan tentang standar universal yang tidak dapat berubah oleh waktu dan
dapat diaplikasikan oleh setiap orang. Sedangkan bagian yang lainnya yaitu ‘etika
relativitas’ yang sering disebut dengan etika keputusan yang ditentukan oleh tradisi dan
kebiasaan yang menyangkut masyarakat di mana mereka tinggal. Beberapa pendapat
mengatakan keduanya benar dan setiap orang mempunyai banyak pilihan yang harus
dijaga agar tidak mudah diganti oleh standar universal, dan di sana juga banyak pilihan
yang tidak mudah untuk merubah adat istiadat. Sebab tidak ada satuan standar umum
atau kode etika yang dapat mengubah dengan jelas perilaku atau pilihan yang benar
dalam semua situasi, beberapa ahli sudah bekerja pada kerangka untuk mengembangkan
langkah-langkah dalam hal pengambilan keputusan. berikut adalah enam kerangka
langkah yang disarikan Lee (1993) dalam pengambilan keputusan :
1. Memperoleh fakta-fakta relevan untuk mengambil keputusan.
2. Mengidentifikasi masalah etis dari fakta-fakta yang ada.
3. Menentukan siapa yang akan mengambil keputusan dan bagaimana caranya.
4. Mengidentifikasi alternatif masalah untuk mengambil keputusan.
5. Mengidentifikasi konsekuensi dari tiap alternatif.
6. Membuat pilihan dari beberapa objek yang akan dijadikan pengambilan
keputusan.

8. ETIKA PROFESIONAL
Menjaga citra profesi menjadi tanggung jawab semua arsitek. Secara
profesional, dalam tindakkan kesehariannya akan terlihat bahwa arsitek secara konsisten
menjaga reputasi profesi dan menghindari tindakkan yang merendahkan martabat
profesi. Arsitek dalam segala tindakannya selalu mempertimbangkan diri pada etika
profesi serta tanggung jawab sebagai profesional. Untuk itu, dalam memberikan jasa
profesional, arsitek selalu bertindak tegas dan jujur. Mematuhi rambu-rambu standar
profesional dan teknis yang relevan. Namun saat menghadapi penugasan, keahlian, dan
ketelitiannya berjalan dalam ritme yang tinggi sesuai dengan syarat integritas,
obyektivitas, serta syarat independensi yang berlaku.
Di lain sisi, sebagai seorang profesional arsitek menyadari kekurangan yang
dimiliki. Untuk itu perlu meningkatkan kompetensi dengan meningkatkan terus
keahlian, pengetahuan, pengalaman dengan teliti, dan diligence. Jika memang tidak
memiliki keahlian dan pengetahuan terhadap suatu penugasan, lebih baik menghindari
pemberian jasa profesional tanpa memiliki kompetensi terhadap masalah itu. Kecuali
jika ia mendapatkan nasehat dan bantuan untuk menyakinkan bahwa pelayanan
dilakukan dengan memuaskan.
Sehingga jika ditinjau dari keprofesian arsitek maka terdapat kerangka pikir atas
kontrak, hasil rancangan dipandang dari kontrak tertulis antara arsitek atau Biro Arsitek
dengan klien, dan antara Arsitek dengan patner dan masyarakat sebagai kontrol.
Berkaitan dengan kualitas, terdapat dua kriteria, pertama, kriteria organisasional
berkaitan dengan kemampuan organisasi untuk menghasilkan keluaran yang terbaik
dari sumberdaya yang dimiliki dan dikelola.

Profesionalisme
Pendidikan
dan
§ Kontrak Kerja
pengalamanan
Arsitek dg Klien
§ Kode Etik Profesi

• Input/Problem Arsitek/Biro Perancangan


• Biaya Arsitek yang
Berkualitas

Kontrak Sosial
Arsitek Dengan
Masyarakat

Legalitas

Gambar 1
Diagram Kontra Sosial dengan Pendidikan,
Profesionalisme, dan Legalitas Arsitek

Kriteria ini melihat efektivitas organisasi Arsitek atau Biro Arsitek dari
kemampuan arsitek memuaskan klien melalui proses pelayanannya. Sedang kriteria lain
yakni kriteria individual berkaitan dengan sejauh mana seorang arsitek atau biro arsitek
dalam proses pencapaian keluaran optimal itu dapat memberikan iklim dan suasana
psikologis yang menyenangkan arsitek yang terlibat dalam proses pencapaian tujuan
kriteria organisasional. Diagram diatas (gambar 1) menunjukkan hubungan antara
pendidikan, profesionalisme, dan legalitas hubungannya dengan kontrak sosial dengan
masyarakat, dimana:
§ Dalam dunia legalitas diperlukan profesionalisme untuk mengakomodasi
berbagai kepentingan dengan tujuan adanya kepahaman yang sama diantara
pihak-pihak yang terkait dalam suatu penugasan.
§ Terdapat kontrak kerja antara arsitek atau biro arsitek dengan kliennya.
Dimana masing-masing terdapat kesepakatan yang berdasarkan kode etik
profesi arsitek (jika bidang lain, misal akuntan maka memakai kode etik
akuntan).
§ Kontrak sosial merupakan kontrol yang selalu diperhatikan oleh arsitek dalam
menjaga reputasinya dalam berkarya menghasilkan sebuah rancangan bahkan
sampai dengan pelaksanaan di lapangan.
§ Hasil rancangan tergantung dari pependidikan dan penglaman yang telah
dilakukan oleh arsitek.

9. KESIMPULAN
Arsitek atau biro arsitek perlu menjawab tuntutan-tuntatan pembangunan dan
mengkonsolidasikan dengan pendidikan, profesional, dan legalitas, maka terdapat
beberapa syarat yang harus dipenuhi :
1. Penelitian yang kontinu perlu dikembangkan sebagai bagian dari kegiatan
kelembagaan di Institusi Arsitektur: hal ini juga untuk mencari akar ke dalam
kenyataan-kenyataan yang ada di Indonesia, sehingga konsepsualisasi arsitektur
menjadi kontekstual dan spesifik di Indonesia.
2. Perlu dikembangkan kualitas staff institusi Arsitektur dan penataan struktur
kelembagaannya, sehingga pendidikan arsitektur dapat berkembang dan ikut
memberi sumbangan yang lebih baik untuk menghasilkan tenaga akademis
maupun praktek profesi.
3. Publikasi dan perpustakaan perlu dikembangkan, serta menggiatkan kegiatan
seminar-seminar Arsitektur.
4. Hubungan yang baik antara pemerintah, dunia profesi, dan ilmiah, maupun
masyarakat.
5. Kesadaran akan adanya kontrak sosial antara arsitek dengan masyarakat dengan
tujuan untuk menjaga reputasi dan kepercayaan masyarakat terhadap arsitek
lokal (Indonesia), khususnya yang sangat memperhatikan aspek budaya dan
arsitektur Indonesia.
6. Untuk mencapai legalitas tertentu memperhatikan lingkup keprofesian, sehingga
untuk masa yang akan datang makna profesi dan legalitas seorang arsitek bisa
sejalan dengan perkembangan dan tuntutan jaman yang sekarang sedang giat-
giatnya dikumandangkan isu globalisasi.

10. DAFTAR PUSTAKA


Anonim. Social Contract Theory. http://www.iep.utm.edu/s/soc-cont.htm#Socrates’
Argument. Download 1 Juni 2004

Anonim. Contract Theory. http://www.fact-index.com/c/co/contract_theory.html


Download 1 Juni 2004

Awal, H., 2000, Pelestarian Versus Pembangunan, “Mintakat JurnalArsitektur”, Vol. 1.


No. 1, Maret 2000,

Lee, T.A. 1993. Corporate Audit Theory. Ist Edition. Chapman and Hall. London

Poerbo, H., 1987, Perspektif Pendidikan Arsitektur di ITB 1950-1987, Pekan Ilmiah
Jurusan Teknik Arsitektur ITB, Panitia Pelaksana Kongres III Ikatan Alumni ITB
Arsitek.

Tutuko, P., 1999, Pendidikan Arsitektur antara Harapan dan Kenyataan. Mintakat On-
line, http://www.geocities.com/CollegePark/Hall/9781/.

Tulisan/Artikel Terpisah:

____ , 1996, Trend Architecture In Social Culture Indonesia, download On Tue, 29


Oct 1996 11:28:55 -0800 from Eva<syarifa@hotmail.com>

____, 1996, Profesi Arsitek di Tengah Krisis

____, 1996, 2003 & 2020 Semakin Dekat Perenungan Atas Kekhawatiran Adhi
Moersid,

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai