Penyusun:
Irfan Abu Naveed, M.Pd.
Pengantar Penyusun
إن احلمد هلل حنمده ونستعينه من يهده اهلل فال مضل هل ومن يضلل فال هادي هل
وأشهد أن ال هلإ إال اهلل وحده ال رشيك هل وأشهد أن حممدا عبده ورسوهل
والصالة والسالم ىلع رسول اهلل وىلع آهل وأصحابه أمجعني وبعد
S
alah satu cabang ilmu dalam bangunan ‘ulum al-lughah al-‘arabiyyah yang paling penting untuk
dipelajari dan diperdalam, dengan tujuan memahami suatu kalimat dalam Bahasa Arab adalah ilmu
balaghah. Dengan ilmu balaghah, seseorang dibantu untuk memahami keagungan Bahasa al-Qur’an
dan hadits-hadits nabawiyyah yang memang unggul.
Bagi seorang da’i, ilmu balaghah berperan penting dalam dakwahnya setidaknya dalam dua sisi
saling terkait:
a. Menajamkan argumentasi ketika berdakwah, dimana ilmu balaghah mengantarkan da’i memahami
bagaimana para ulama membangun penafsiran atas ayat al-Qur’an dan hadits nabawi dari aspek
yang paling mendasar, yakni kebahasaan, relevan dengan kenyataan bahwa al-Qur’an dan hadits
nabawi adalah dua pedoman sekaligus bekal utama seorang da’i dalam berdakwah;
b. Menajamkan argumentasi ketika membantah penyesatan kaum liberal yang membajak penafsiran
al-Qur'an dan hadits nabawi untuk menjustifikasi banyak kesesatan mereka. Dengan ilmu balaghah
hal itu bisa dibantah dari hal yang sangat mendasar, yakni dari segi kebahasaan atas ungkapan ayat
al-Qur'an dan hadits nabawi tersebut.
Mempelajari ilmu Bahasa Arab, salah satunya ilmu balaghah, bagian dari apa yang didorong oleh al-
Qur’an dan al-Sunnah, serta dinasihatkan para ulama. Al-’Allamah al-Imam Muhammad bin Idris al-Syafi’i (w.
204 H) pun menasihati kita dalam sya’irnya:
Termasuk dari apa yang disebutkan oleh al-Qadhi Badruddin Ibnu Jama’ah (w. 733 H) menukil
perkataan Imam Sufyan al-Tsauri dan Imam al-Syafi’i (w. 204 H) yang berkata:
1 ’Abdurrahman al-Mushthawi, Dîwân al-Imâm al-Syâfi’i, Beirut: Dâr al-Ma’rifah, cet. III, 1426 H, Qafiyyatur-Râ’, hlm. 55.
Belajar Mudah Ilmu Balaghah
Irfan Abu Naveed | 2
“Tidak ada setelah berbagai kefardhuan yang lebih utama daripada menuntut ilmu.”2
Namun dalam perinciannya, proses pembelajaran ilmu Bahasa Arab semisal ilmu balaghah pun
membutuhkan bimbingan guru dan membutuhkan alokasi waktu. Al-Imam Muhammad bin Idris al-Syafi’i
(w. 204 H) bertutur:
ِ صيلِها بِب ي
ان ِ َ َِخي لَ ْن تَنَ َال الْعِْل َم َّإال بِ ِست ٍَّة * َسأُنْب
ِ أَ أ
َ َ َ يك َع ْن تَ ْف
ٍ صيحة أُستَ ٍاذ وطُول زم
ان ِ ِ ذَ َكاء و ِحرص و
ََ َ ْ َ َاجت َهاد َوبُْلغَة * ن
ْ َ ْ َ
“Wahai saudaraku, ilmu tidak akan diperoleh kecuali dengan enam perkara # Aku akan menyebutkan
perinciannya”
”Yaitu kecerdasan, semangat, kesungguhan, bekal yang cukup # bimbingan guru dan waktu yang lama.” 3
Semoga makalah ini bermanfaat khususnya bagi penyusun dan keluarga, dan umumnya bagi kaum
Muslim, kepada Allah kita memohon pertolongan dan taufiq. ’Umar bin al-Khaththab r.a. berpesan:
Penyusun
2 Badruddin Ibnu Jama’ah, Tadzkirat al-Sâmi’ wa al-Mutakallim fî Adab al-‘Âlim wa al-Muta’allim, Beirut: Dâr al-Basyâ’ir al-
Islâmiyyah, Cet. III, 1433 H, hlm. 43.
3 Muhammad Ibrahim Salim, Dîwân al-Imâm al-Syâfi’i: Al-Jawhar al-Nafîs fî Syi’r al-Imâm Muhammad bin Idris, Kairo: Maktabah
Ibn Sina, t.t., hlm. 138; Muhammad ‘Abdul Hay al-Laknawi, Tadzkirat al-Râsyid bi Radd Tabshirat al-Nâqid, Ed: Dr. Shalah Muhammad,
Markaz al-‘Ulamâ al-’Âlamiy, cet. I, t.t, hlm. 410.
4 Abu ‘Umar Yusuf bin Abdullah al-Qurthubi (Ibn Abdul Barr), Jâmi’ Bayân al-‘Ilm wa Fadhlihi, juz I, hlm. 545, no. 904.
5 Al-Hakim dalam Al-Mustadrak ‘alâ al-Shahîhain, (no. 360). Disebutkan pula bahwa atsar tersebut dari Ibn Abbas r.a. dan Anas
Hal ini menjadikan bahasa arab, bahasa yang sangat penting sebagai wasîlah memahami dan
mendalami tsaqafah Islam, khususnya al-Qur’an dan al-Sunnah yang memang berbahasa arab. Syaikh
Ahmad bin Umar al-Hazimi menuturkan bahwa buah dan faidah mempelajari ilmu nahwu (bahasa arab)
adalah sebagai kunci untuk memahami syari’ah. Adapun memelihara lisan dari kesalahan ketika bertutur
kata, maka ia adalah buah cabang.7 Sehingga sudah seharusnya para penuntut ilmu, menjadikan bahasa
arab sebagai kunci memahami syari’ah, dan para penuntut ilmu meniatkan hal tersebut agar meraih
ganjaran pahala8, mengharapkan keridhaan Allah Swt, termasuk dalam cakupan hadits nabawi, dari Abu
Hurairah r.a., ia berkata: Rasulullah ﷺbersabda:
»ف ا ْجلَن َِّة يَ ْوَم الْ ِقيَ َام ِة ُّ ضا ِم َن ِ ص ِ ِ ِ َّ ِ ِِ ِ ِ َّ
َ الدنْيَا َْمْ َِِج ْد َع ْر ً يب بِه َعَر
َ ُ« َم ْن تَ َعل َم علْ ًما ِمَّا يُْب تَ غَى به َو ْجهُ هللا الَ يَتَ َعل ُمهُ إالَّ لي
“Barangsiapa menuntut ilmu yang dituntut dengannya meraih wajah Allah, lalu ia tidak
mempelajarinya kecuali untuk meraih secuil bagian dari dunia, maka ia tidak akan mendapati
harumnya surga pada Hari Kiamat.” (HR. Ahmad, Ibn Abi Syaibah, Abu Dawud, Ibn Majah)9
Alasan ini pun tergambar dalam penjelasan Al-’Allamah Ibrahim al-Baijuri al-Syafi’i (w. 1277 H), yang
menguraikan faidah mempelajari bahasa arab:
(الثاّن واالستعانة به على فهم كالم هللا تعاىل وكالم رسوله،(اْلول صون اللسان عن اخلطأ ِف الكالم
6 Ayman Amin ‘Abd al-Ghani, Al-Nahwu Al-Kâfi, Kairo: Dâr al-Tawfîqîyyah li al-Turâts, 2010, hlm. 23.
7 Ahmad bin Umar al-Hazimi, Fath Rabb al-Bariyyat fî Syarh Nazhm al-Âjurrûmiyyah, Makkah: Maktabat al-Asadi, cet. I, 1431 H,
hlm. 4.
8 Ibid.
9 HR. Ahmad dalam Musnad-nya (no. 8438) Syaikh Syu’aib al-Arna’uth mengomentari: “Sanadnya hasan”; Ibn Abi Syaibah dalam
Mushannaf-nya (no. 26651); Abu Dawud dalam Sunan-nya (no. 3666); Ibn Majah dalam Sunan-nya (no. 252), Dr. Mushthafa Dib al-Bugha’
menjelaskan:
أي العلم الذي يطاب به رضا هللا وهو العلم الدين. ( مما يبتغب به وجه هللا ) بيان للعلم
“Kalimat (dari (ilmu) yang dituntut dengannya meraih wajah Allah) ini merupakan penjelasan dari ilmu yang dimaksud, yakni ilmu yang
dituntut dengannya meraih keridhaan Allah, yakni ilmu agama.”
Belajar Mudah Ilmu Balaghah
Irfan Abu Naveed | 4
Pertama, Memelihara lisan dari kesalahan ketika berbicara.10 Kedua, Menggunakannya sebagai alat
bantu memahami KalâmiLlâh Ta’âlâ (al-Qur’an) dan Kalâmirasûlihi (al-Hadits).11
Namun alasan utama dan yang pertama untuk mempelajari bahasa arab, adalah kedudukannya
sebagai kunci memahami ilmu-ilmu syari’ah12, bahasa al-Qur’an dan al-Sunnah (tsaqafah Islam-pen.). Bait-
bait sya’ir Syaikh Syarfuddin Yahya bin Nuruddin al-’Imrithi (w. 989 H) pun menekankan:
Hal ini dipertegas dengan realitas bahwa salah satu penyebab asasi kemunduran kaum Muslim
adalah lemahnya penguasaan terhadap Bahasa Arab, yang berimbas pada lemahnya pemahaman terhadap
al-Qur’an dan hadits-hadits nabawi. Seorang ulama besar, tokoh pemikir abad ke-19, al-’Allamah Taqiyuddin
al-Nabhani (w. 1397 H) secara mapan menjelaskan bahwa sebab kemunduran dunia Islam kembali kepada
satu hal, yakni lemahnya pemahaman Islam yang merasuk ke dalam pikiran kaum Muslim.
Penyebab lemahnya pemahaman ini adalah pemisahan kekuatan yang dimiliki bahasa Arab (al-thâqah al-
‘arabiyyah) dengan kekuatan Islam (al-thâqah al-Islâmiyyah). Hal ini berawal tatkala bahasa Arab mulai
diremehkan dalam memahami Islam sejak awal abad VII Hijriyah. Selama kekuatan yang dimiliki bahasa arab
tidak disatukan dengan kharisma Islam, yakni dengan cara menjadikan bahasa arab -yang
merupakan bahasa Islam- sebagai unsur inti yang tak terpisahkan dari Islam, maka kemunduran itu akan
tetap melanda kaum Muslim.14
Al-Nabhani merinci, hal itu terjadi karena bahasa Arab merupakan kekuatan bahasa
yang mengemban kekuatan Islam. Sehingga, Islam dan bahasa Arab merupakan satu kesatuan. Islam
tak mungkin dapat dilaksanakan secara sempurna kecuali dengan bahasa Arab. Juga, dengan
meremehkan bahasa Arab akan menghilangkan ijtihad terhadap syari'at, karena ijtihad terhadap syari'at
tidak mungkin dilaksanakan bahasa Arab. Padahal, kedudukan ijtihad itu sendiri sangat urgen bagi
umat Islam, sebab tidak ada kemajuan bagi umat tanpa keberadaan ijtihad.15
Menariknya terkait bahasa, ulum al-lughah al-’arabiyyah itu sendiri dibagi menjadi tiga belas cabang,
tiga di antaranya ilmu al-ma’ani, ilmu al-bayan dan ilmu al-badi’ yang berperan penting mengantarkan
seorang pengkaji al-Qur’an dan hadits nabawi, mampu memahami keunggulan dan keindahan bahasa
keduanya, dan mampu menyelami lebih dalam keagungan pesan-pesan keduanya. Keunggulan bahasa al-
Qur’an dan hadits nabawi pun ditandai oleh banyaknya sajian balaghah terkait, yang disusun para ulama
dan pakar balaghah, yang semakin menambah khazanah peradaban kaum Muslim. Ia bagaikan air mengalir
yang tiada henti siap sedia mengobati dahaga dan menajamkan pandangan mata. Dan hal tersebut tak bisa
diraih, dicicipi, kecuali dengan kembali kepada asasnya, yakni kemampuan terhadap ilmu bahasa arab.
10 Hal senada diutarakan oleh al-Syaikh al-Adib Mushthafa al-Ghalayaini dalam Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah.
11 Ibrahim bin Muhammad al-Baijuri, Fath Rabb al-Bariyyat ‘Alâ al-Durrat al-Bahiyyat Nazhm al-Âjurrûmiyyah (Syarh ‘Imrîthi),
Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet. I, 1434 H, hlm. 18.
12 Ahmad bin Umar al-Hazimi, Fath Rabb al-Bariyyat fî Syarh Nazhm al-Âjurrûmiyyah, hlm. 4.
13 Ibrahim bin Muhammad al-Baijuri, Fath Rabb al-Bariyyat ‘Alâ al-Durrat al-Bahiyyat Nazhm al-Âjurrûmiyyah (Syarh ‘Imrîthi),
hlm. 24.
14 Taqiyuddin al-Nabhani, Mafâhîm Hizb al-Tahrîr, Beirut: Dâr al-Ummah, cet. VI, 1421 H/ 2001, hlm. 3.
15 Ibid, hlm. 3-4.
B. Kedudukan Ilmu Balaghah: Memahamkan Terhadap Makna Mendalam Di Balik Kalam Arabi
Di antara bukti riil yang menunjukkan kedudukan ilmu balaghah dalam memahamkan terhadap
kalimat, digambarkan dalam sebuah kisah menarik yang secara apik dikisahkan oleh Imam Abdul Qahir al-
Jurjani (w. 471 H) dalam magnum opusnya “Dalâil al-I’jâz”, menyoal seorang filosof arab dan ahli Bahasa
Arab.
Suatu hari salah seorang filosof arab, Abu Yusuf Ya’qub bin Ishak al-Kindi (w. 256 H) pernah
dihinggapi kebingungan menyoal uslub ungkapan orang arab. Menurutnya, orang-orang arab kerapkali
mengungkapkan sebuah makna dengan beberapa uslub yang berbeda, padahal dalam pandangan al-Kindi
hal itu sama sekali tidak berpengaruh terhadap pemaknaannya. Menurut al-Kindi, orang-orang Arab
mengatakan tiga uslub yang berbeda tapi bermakna sama. Ketiganya adalah:
16 Mushthafa bin Muhammad Salim Al-Ghulayaini, Jâmi’ al-Durûs al-‘Arabiyyah, Beirut: Maktabat al-‘Ashriyyah, cet. Ke-30, 1414
H, hlm. 8.
17 Salah satu faidah perlunya mempelajari ilmu 'arudh, qawafi' & qardh al-syi'ri, adalah memahami bukti bahwa al-Qur'an dan
al-Sunnah bukan lah sya'ir, menguatkan bukti bahwa al-Qur'an adalah KalamuLlah al-Mu'jiz, dan Rasulullah adalah seorang rasul utusan
Allah.
Belajar Mudah Ilmu Balaghah
Irfan Abu Naveed | 6
mengingkari bahwa Abdullah berdiri, karenanya ditambahkan dua huruf taukid demi membantah
pengingkaran itu ()إن عبد هللا لقائم.18
Dari kisah tersebut kitab dapat mengetahui betapa cantiknya Bahasa Arab. Juga sebuah pesan
bahwa jika kita belum memahami suatu persoalan, maka harus bertanya kepada ahlinya. Maka relevan jika
Al-Syaikh al-Adib Mushthafa al-Ghulayaini (w. 1364 H) menegaskan bahwa para pembelajar bahasa arab, tak
bisa mencukupkan diri dengan ilmu nahwu dan sharaf saja, akan tetapi harus ada upaya mempelajari ilmu
balaghah. llmu Bahasa Arab dari segi peranannya sebagai alat komunikasi, dan sarana untuk
mengungkapkan apa yang muncul dalam benak berupa pemikiran, serta getaran perasaan jiwa, maka untuk
mengungkapkan itu semua secara fasih mencakup keragaman tujuan dan maksudnya, tidak cukup dengan
pengetahuan terhadap status lafal apakah bina’ (harakat huruf terakhir dalam lafal bersifat tetap) atau
berubah, dan posisinya dalam i’rab (penentuan harakat pada huruf terakhir), atau dengan kata lain: tidak
cukup bagi pembelajar bahasa arab untuk mendalami dasar ilmu sharaf dan nahwu semata.
Al-Ghulayaini merinci kemudian, bahwa harus mendalami pula ilmu yang mempercantik perkataan
dan tulisan, serta memahamkan terhadap pengaruh bahasa sastra, mempercantik nilai sastra, dan
mendukung kreasinya, sehingga memahamkan terhadap hal-hal yang indah dalam perkataan dengan
beragam kondisinya, dimana ilmu tersebut menunjukkan kepadanya berbagai diksi kata, kalimat, dan
ungkapan dengan berbagai uslubnya untuk mengungkapkan makna-makna tertentu, dari berbagai hal yang
menyentuh akal pikiran dan perasaan pihak yang membaca dan menyimaknya, dan ilmu yang menjadikan
setiap perkataan sesuai untuk setiap keadaan orang yang diajak bicara, hingga mampu menempatkan
penjelasan ringkas (ijaz) dalam kondisi yang sesuai, dan menempatkan penjelasan panjang lebar (ithnab)
dalam kondisi lainnya ketika dituntut penjelasan panjang lebar atasnya, menegaskan ungkapan yang
membutuhkan penegasan, mengawalkan suatu kalimat atau mengakhirkannya, menghilangkan suatu
bagian dari kalimat atau menyebutkannya, baik berupa kata maupun susunan kalimat yang cukup
menyampaikan kepada maksud. Itu seluruhnya merupakan pembahasan ilmu balaghah yang dikenal secara
definitif: kesesuaian perkataan dengan keadaan pihak yang diajak bicara.
Faidah mempelajari ilmu balaghah menurut Syaikh Dr. Ayman Amin Abdul Ghani:
Kedua, Membuahkan kenikmatan dan kebahagiaan khususnya bagi pelajar ketika membaca (menela'ah)
berbagai variasi gaya bahasa orang arab;
Ketiga, Menjelaskan berbagai konteks keindahan ungkapan dan menyingkap rahasia-rahasia dari perkataan
(sesuatu yang tersembunyi-pen.);
Keempat, Membantu orang yang menela'ah ketika membedakan antara ungkapan haqiqah dan majaz
(kiasan), ungkapan yang baik (jelas) dan samar;
Kelima, Membentuk dzauq ’cita rasa’ berbahasa, menikmati dan memahaminya dengan pemahaman yang
mendalam;
Keenam, Membantu orang ’ajam (non arab) untuk memahami teks arab.
18 Pembahasan khabar dan faidah taukid ini diulas dalam ilmu balaghah, sehingga Imam al-Jurjani pun menukilnya dalam
kitabnya, ( دالئل اإلعجاز ف علم المعانulasan terkait bukti-bukti kemukjizatan, dengan ilmu al-ma'ani yang merupakan salah satu cabang dalam
disiplin ilmu balaghah).
Belajar Mudah Ilmu Balaghah
Irfan Abu Naveed | 7
C. Keunggulan Bahasa Al-Qur’an
Al-Qur’an merupakan mukjizat abadi Rasulullah ﷺsepanjang zaman, keagungannya tak disangsikan
lagi terbukti dari masa Rasulullah ﷺhingga saat ini, dimana al-Qur’an telah menarik perhatian banyak umat
manusia karena ungkapan dan kandungan pesan-pesannya yang agung dari Allah Rabb Alam Semesta. Al-
Qur’an, sebagaimana firman Allah ‘Azza wa Jalla:
ْ َ ُ ْ ُ َ َ ُ َّ َ َّ َ ْ َ َ ْ َّ َ َ ًّ َ َ ً ْ ُ ُ َ ْ َ ْ َ َ َٰ َ َ َ
}١١٣{ يد ل َعل ُه ْم يتقون أ ْو ُي ِدث ل ُه ْم ِذك ًرا
ِ ِع َ
و ال ن م
ِ ِ ِ وكذلِك أنزْلاه قرآنا عربِيا وَصفن
هي ف ا
“Dan demikianlah Kami menurunkan al-Qur’an dalam bahasa Arab, dan Kami telah menerangkan
dengan berulang kali, di dalamnya sebagian dari ancaman, agar mereka bertakwa atau (agar) Al-Quran
itu menimbulkan pengajaran bagi mereka.” (QS. Thâhâ [20]: 113)
Kalimat “yuhditsu lahum dzikr[an]” menunjukkan salah satu hikmah turunnya al-Qur’an dengan
Bahasa Arab, sekaligus menunjukkan pentingnya ilmu balaghah untuk menajamkan kepekaan terhadap
setiap diksi dan untaian kalimat dalam al-Qur’an, dimana tingkatan kepekaan seseorang bisa ditentukan
oleh tingkat pemahamannya terhadap Bahasa al-Qur’an itu sendiri, yakni Bahasa Arab, dalam hal ini bisa
diawali dengan memahami ilmu balaghah. Sebagaimana diisyaratkan oleh Syaikh Dr. Ayman Amin Abdul
Ghani menyoal salah satu faidah ilmu balaghah, yakni membentuk dzauq ’cita rasa’ berbahasa, menikmati
dan memahaminya dengan pemahaman yang mendalam. Allah ‘Azza wa Jalla pun berfirman:
Lihat pula: QS. Al-Ra’du [13]: 37, QS. Fushshilat [41]: 3, QS. Al-Syûrâ’ [42]: 7, QS. Al-Zukhruf [43]: 3,
QS. Al-Ahqâf [46]: 12. Allah ’Azza wa Jalla pun berfirman:
Dalam ayat-ayat yang agung di atas, Allah ‘Azza wa Jalla menginformasikan bahwa al-Qur’an
diturunkan berbahasa arab. Bahkan informasi dalam QS. Yûsuf [12]: 2, Allah tegaskan dengan tawkîd (inna),
dengan maksud agar manusia memahaminya. Ayat ini jelas menerangkan bahwa bahasa al-Qur’an adalah
bahasa arab, sehingga cukup menjadi motivasi bagi hamba Allah yang beriman, yang memiliki perhatian
besar terhadap agamanya, untuk mempelajari dan mendalami ilmu bahasa arab, sebagai titik tolak
memahami kandungan al-Qur’an.
Di sisi lain, kalimat la’allakum ta’qilûn, mengisyaratkan bahwa al-Qur’an, bahasa arab, bisa dipahami,
sehingga cukup menjadi jawaban bagi orang yang enggan belajar al-Qur’an dan bahasa arab, namun
bersembunyi dibalik ungkapan “al-Qur’an dan bahasa arab sulit!”. Maka jelas bahwa ayat yang agung ini,
merupakan motivasi yang agung untuk mendalami Bahasa Arab, mengingat ia menjadi bahasa pengantar
memahami pesan-pesan agung dari Allah ‘Azza wa Jalla. Adakah pesan yang lebih agung daripada pesan
dari Pencipta Alam Semesta, Allah ‘Azza wa Jalla?! Dr. Samih ’Athif Al-Zain menuturkan:
نزل به، وهو كالم هللا تعاىل.-صلى هللا عليه وسلم- وحيًا تلقاه الرسول حممد،القرآن هو الكتاب املنزل بلفظ عريب معجز
على أنه رسول-صلى هللا عليه وسلم- ليكون حجة حملمد، أبلفاظه العربية ومعانيه احلقة-عليه السالم- الروح اْلمني جربيل
Belajar Mudah Ilmu Balaghah
Irfan Abu Naveed | 8
، املبدوء بسورة الفاحتة،دفَت املصحف
َ املدون بني
َّ وهو. وقربة يتعبدون بتالوته،مرجعا للناس يهتدون هبداه ً وليكون،هللا
اترا
ً املنقول إلينا نقالً متو،املختوم بسورة الناس
Al-Qur’an adalah kitab yang diturunkan dengan bahasa arab yang unggul 19, wahyu yang diterima
oleh Rasulullah ﷺ, dan ia adalah firman Allah ’Azza wa Jalla, turun melalui perantaraan Ar-Rûh Al-
Amîn Jibril a.s. dengan lafazh berbahasa arab dan makna-makna yang sesuai, sebagai bukti bahwa
Muhammad ﷺadalah utusan Allah, dan rujukan bagi manusia mengambil petunjuk dengan
petunjuknya, dan mendekatkan diri beribadah kepada Allah dengan membacanya, tersusun di
antara lembaran-lembaran mushhaf, diawali Surat al-Fâtihah, ditutup dengan Surat al-Nâs, dan
dinukil kepada kita secara mutawatir.20
Tentu menjadi hal yang lumrah dipahami, ketika al-Qur’an diturunkan dengan bahasa arab, maka
salah satu ilmu terpenting untuk membantu mendataburi al-Qur’an adalah ilmu bahasa arab, diantaranya
ilmu nahwu-sharf dan balaghah. Dengan ilmu ini pula, seorang muslim takkan pernah dihinggapi kebosanan
mentadaburi seluk beluk ungkapan, untaian demi untaian kalimat al-Qur’an, dan kandungan di balik itu
semua.
Al-‘Alim al-Syaikh ‘Atha bin Khalil pun membantah pemahaman yang menafikan pentingnya
pemahaman bahasa arab dalam penafsiran terhadap al-Qur’an. Al-Syaikh ‘Atha bin Khalil pun menegaskan:
Dan di antara hal yang sudah semestinya disampaikan bahwa siapa saja yang ingin memahami al-
Qur’an tanpa ada kemauan untuk memahami bahasanya (bahasa arab) yang Al-Qur’an diturunkan
dengan bahasa tersebut, pasti akan gagal memahami al-Qur’an dan mengamalkannya, dan karena
faktor ini ia telah berdosa dengan dosa yang besar karena al-Qur’an telah turun dengan bahasa arab
dan tanpa memahami bahasa arab tidak mungkin ia memahami al-Qur’an dengan pemahaman yang
benar.21
Syaikh Atha bin Khalil lalu merinci penjelasannya: ”Dan oleh karena itu, para ulama ahli fikih
memerhatikan bahasa arab dan ilmu-ilmunya, belum lagi para mujtahidin, sehingga mampu memahami al-
Qur’an dan menggali hukum-hukum syari’ah darinya.”22 Terlebih bahasa arab al-Qur’an adalah bahasa yang
unggul, fashih dan baligh. Keagungannya tak disangsikan lagi mencakup kandungannya, maupun untaian-
untaian kalimat yang diungkapkannya. Allah ‘Azza wa Jalla pun memerintahkan hamba-hamba-Nya
mentadaburi al-Qur’an, sebagai jembatan untuk memahami dan mengamalkannya. Allah ’Azza wa Jalla
َ ُْ َ َ َ َََ
berfirman:
}٨٢{ أفال يتَدبَّ ُرون الق ْرآن
“Maka apakah mereka tidak memikirkan al-Qur’an?” (QS. Al-Nisâ’ [4]: 82)
Kata kunci dalam ayat ini yang menunjukkan al-Qur'an sebagai sumber ilmu adalah kata kerja
tadabbara-yatadabbaru, dimana pokok kata ini mengandung konotasi al-tafakkur yakni berpikir mengenai
sesuatu, dan aktivitas tadabbur al-Qur’ân tidak akan terwujud kecuali dengan menghadirkan kalbu dan
memfokuskan perhatian terhadapnya.23 Menafsirkan ayat yang agung ini, al-Hafizh Ibn Katsir (w. 774 H)
menjelaskan bahwa Allah memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk memikirkan al-Qur’an, dan melarang
19 Yakni mampu mengalahkan bantahan-bantahan atau tantangan-tantangan kaum penentang (kuffar) atasnya.
20 Dr. Samih ‘Athif al-Zayn, ‘Ilm Ushûl al-Fiqh al-Muyassar, Mesir: Dâr al-Kitâb al-Mishri, Cet. I, 1410 H, hlm. 308.
21 ‘Atha bin Khalil Abu al-Rasytah, Al-Taysîr fî Ushûl al-Tafsîr, Beirut: Dâr Al-Ummah, cet. III, 1436 H hlm. 22.
22 Ibid.
23 Muhammad Shiddiq Khan bin Hasan al-Husaini, Fath al-Bayân fî Maqâshid al-Qur’ân, Beirut: Al-Maktabah al-’Ashriyyah, 1412
Keagungannya pasti karena dipastikan oleh Rabbul ’Izzati, Allah ’Azza wa Jalla (lihat: QS. Fushshilat
[41]: 41), dan menjadi seagung-agung dan sebenar-benarnya kalimat. Keagungan ungkapan dan kandungan
al-Qur’an pun, tergambar dalam banyak ayat-ayat al-Qur’an, hadits dan aqwâl. Imam al-Raghib al-Ashfahani
(w. 502 H):
نورا اثقبًا
ً ت رأيتَه * يُ ْهدى إىل عينَيك
َّ كالبدر من حيث التَ َف
ِ
البالد َم َشا ِرقًا ومغارًِب ُ كالشمس ِف َكبِد السماء
َ وضوؤها * يَ ْغ َشى
“Bagaikan rembulan kemanapun engkau berpaling memerhatikannya * memancarkan kepada kedua matamu
cahaya yang kuat.”
“Bagaikan matahari di langit dan sinarnya * yang menaungi negeri-negeri di Timur dan Barat.”26
Bahkan setiap huruf dari al-Qur’an mengandung rahasia (hikmah dan pelajaran), benar apa yang
diungkapkan seorang doktor balaghah dari Al-Azhar Kairo, Dr. Hesham Mohamed Taha el-Shanshouri al-
Mishri, ketika kami berdiskusi mengenai tafsir al-Qur’an menuturkan:
Prof. Dr. Fadhil Shalih al-Samara’i pun menegaskan bahwa setiap kosakata (mufradat) dalam al-
Qur’an mengandung ilmu dan maksud yang sesuai dalam setiap tempatnya.28 Termasuk kesesuaian
kandungannya sebagai pedoman hidup manusia. Secara lebih spesifik, Prof. Dr. Wahbah bin Mushthafa al-
Zuhaili (w. 1436 H), mengungkapkan secara mapan hubungan erat kandungan setiap ayat al-Qur’an dengan
kehidupan ini:
Tidak ada dalam al-Qur’an satu ayat pun yang tidak bermakna, tidak berfaidah, atau tidak memiliki
hikmah dan kandungan hukum, karena ia adalah firman Allah yang agung, seperangkat aturan
kehidupan bagi manusia. Oleh karena itu, ayat-ayat Qur’aniyyah bermaksud mewujudkan kebaikan
bagi manusia dalam kehidupan agama, duniawi dan ukhrawi mereka, kaitannya dengan kehidupan.
Maka berkenaan dengan hal tersebut, adanya hukum-hukum yang ditarik dari makna-makna ayat-
ayat al-Qur’an, memiliki keterkaitan yang kuat, apakah dengan akidah, peribadatan, akhlak, tingkah
laku, atau pensyari’atan hukum yang sesuai bagi individu dan kelompok.29
Sampai-sampai mengundang decak kagum salah satu tokoh kaum Musyrik Arab, seorang ahli sastra
arab, yang keras dalam kekafiran dan permusuhannya, al-Walid bin al-Mughirah, yang bertutur kata: “Demi
Allah, tidak ada seorang pun di antara kalian (Bangsa Quraisyi) yang lebih mengenal sya’ir-sya’ir dariku, dan
tidak ada pula yang lebih mengetahui rajaz dan qashid-nya selain diriku, Demi Allah tidak ada satupun dari apa
24 Abu al-Fida’ Isma’il bin ‘Umar Ibn Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-’Azhîm, Dâr al-Thayyibah, cet. II, 1420 H/1999, juz VIII, hlm. 480.
25 Muhammad Shiddiq Khan al-Husaini, Fath al-Bayân fî Maqâshid al-Qur’ân, juz XIII, hlm. 71.
26 Abu al-Qâsim bin Muhammad al-Râghib al-Ashfahani, Al-Mufradât fî Gharîb al-Qur’ân, Maktabah Nazâr Mushthafa al-Bâz,
juz I, hlm. 3.
27 Salah seorang doktor di bidang ilmu balaghah dari salah satu Universitas Islam terkemuka di dunia, Universitas al-Azhar.
28 Prof. Dr. Fadhil Shalih al-Samara’i, Balâghat al-Kalimah fî al-Ta’bîr al-Qur’âni, Kairo: Syirkat al-‘Âtik, cet. II, 1427 H/ 2006, hlm.
4.
29 Prof. Dr. Wahbah bin Mushthafa al-Zuhaili, Al-Tafsîr al-Munîr fî al-‘Aqîdah wa al-Syarî’ah wa al-Manhaj, Damaskus: Dâr al-
Mengomentari kisah ini, al-Qadhi al-’Allamah Taqiyuddin al-Nabhani menuturkan bahwa i’jaz al-
Qur’an itu terdapat dalam al-Qur’an itu sendiri. Orang yang telah mendengarkan al-Qur’an, dan
mendengarnya hingga hari kiamat akan terus merasa kagum dengan kekuatan daya tarik dan balaghah-nya,
walaupun hanya sekedar mendengar satu kalimat saja dari al-Qur’an.31
Dr. Ayman Amin Abdul Ghani (Pakar Bahasa Arab): "Al-Qur'an seluruh ungkapan ayatnya ada pada
tingkatan tertinggi dalam tingkatan balaghah arabiyyah."32 Artinya, semakin dalam pemahaman seseorang
terhadap ilmu balaghah maka semakin dalam pula kedalaman pemikirannya menyelami samudera ilmu yang
terkandung dalam setiap ungkapan al-Qur'an. Tidak ada satu pun ayat yang tidak bermakna. Prof. Dr.
Wahbah al-Zuhaili (w. 1436 H) menuturkan:
Tidak ada dalam al-Qur’an satu ayat pun yang tidak bermakna, tidak berfadah, tidak mengandung
hikmah dan pensyari’atan hukum. Ia merupakan firman Allah yang unggul (mukjizat), menjadi
perundang-undangan kehidupan manusia, berdasarkan hal tersebut maka ayat-ayat al-Qur’an
dimaksudkan untuk mewujudkan kebaikan bagi manusia dalam kehidupannya, baik dalam
kehidupan agama maupun dunia dan akhirat, dan hubungannya dengan kehidupan.33
Al-Qur’an dimana Bangsa Arab lemah untuk menandinginya tidak keluar dari konteks tatacara
berbahasa mereka (bahasa arab-pen), baik lafal-lafalnya maupun huruf-hurufnya, susunan maupun
uslub ungkapannya, akan tetapi bahasa al-Qur’an unggul dengan keseimbangan huruf-hurufnya,
keindahan ungkapan-ungkapannya, kecantikan pola kalimatnya, harmonisasi bunyi antara ayat-
ayatnya, perhatian terhadap kondisi tertentu dalam beragam corak ungkapan, dalam kalimat
ismiyyah dan fi’liyyah, penafian dan penetapan, penyebutan suatu lafal atau penghapusannya, pola
kata ma’rifat atau nakirah-nya, taqdim atau ta’khir, makna hakiki atau majazi, pola kalimat panjang
(al-ithnab) atau pola kalimat ringkas (al-ijaz), umum atau khusus, mutlak atau terbatas, teks atau
maknanya, dan lain sebagainya. Dan al-Qur’an dalam hal ini berikut pandangan-pandangannya
sampai pada puncak tertinggi yang mengalahkan kemampuan berbahasa di sisi manusia. 34
Hingga Syaikh Manna’ al-Qaththan pun menukilkan kisah yang dituturkan Ibn Abbas r.a., menyoal
pengakuan ahli sastra arab kaum Musyrik, al-Walid bin al-Mughirah, yang mengakui keunggulan Bahasa al-
Qur’an, menunjukkan kelemahannya dan kelemahan Bahasa manusia di hadapan Bahasa al-Qur’an. Maka
relevan jika al-Hafizh al-Suyuthi (w. 911 H) menukilkan kesepakatan (ijma’) ulama bahwa tidak boleh bagi
seseorang pun berbicara tentang tafsir (menafsirkan al-Qur’an) kecuali jika ia menguasai secara mapan
ilmu-ilmu bahasa arab. Syaikh Ahmad bin Umar al-Hazimi menuturkan:
Al-Hafizh al-Suyuthi telah menukil konsensus para ulama bahwa tidak boleh bagi seseorang
berbicara mengenai tafsir al-Qur’an kecuali jika menguasai secara mapan bahasa arab, bukan hanya
ilmu nahwu. Oleh karena itu di antara syarat-syarat ahli tafsir –sebagaimana telah disebutkan- pada
topik pembahasan terkait, seorang mufasir harus mengetahui bahasa arab.35
30 Taqiyuddin bin Ibrahim Al-Nabhani, Al-Syakhshiyyah Al-Islâmiyyah, Beirut: Dâr al-Ummah, jilid I, hlm. 170.
31 Ibid.
32 Dr. Ayman Amin Abdul Ghani, Al-Kâfî fî Al-Balâghah, Kairo: Dar al-Tauqifiyyah li al-Turats, hlm. 4.
33 Prof. Dr. Wahbah bin Mushthafa al-Zuhaili, Al-Tafsîr al-Munîr fî al-‘Aqîdah wa al-Syarî’ah wa al-Manhaj, juz I, hlm. 62.
34 Manna’ bin Khalil al-Qaththan, Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an, Maktabat al-Ma’arif, cet. III, 1421 H,
35 Ahmad bin Umar al-Hazimi, Fath Rabb al-Bariyyat fî Syarh Nazhm al-Âjurrûmiyyah, hlm. 4.
Kalimat wa innahu lakitâb[un] ’azîz[un] diawali dengan dua penegasan (taukîd), lafal inna dan lâm
al-ibtidâ’, menegaskan bahwa al-Qur’an adalah Kitab Suci-Nya yang mulia, sekaligus meruntuhkan
pengingkaran dan keraguan terhadapnya (dalam disiplin ilmu balaghah disebut al-khabar al-inkâri), dari
Allah yang Maha Terpuji. Allah SWT pun berfirman:
َ ْ َ ْ ُ ُ َ َّ َ َ َ َ َ ُ َّ َّ َ ٌ َ َ ُ َ ْ َ ُ َ ْ َ ْ َ ٌ َ
}٢٩{ اب
ِ ِكتاب أنزْلاه إَِلك مبارك َِلدبروا آياتِ ِه و َِلتذكر أولو اْلْل
“Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu, penuh dengan keberkahan supaya mereka
memperhatikan ayat-ayat-Nya, dan supaya mereka yang berakal mendapatkan pelajaran.” (QS. Shâd
[38]: 29)
Maka sangat relevan atsar dari ‘Utsman bin Affan r.a. yang menggambarkan kesenangan
berinteraksi dengan al-Qur’an dalam perkataannya:
Yakni sangat senang membaca, mentadaburi, memahami dan mengamalkan ajaran al-Qur’an.
Dimana sahabat ’Utsman r.a. pun menegaskan bahwa tidak ada yang lebih ia cintai ketika tiba waktu siang
dan malam kecuali digunakan untuk membaca al-Qur’an (juga mentadaburinya-pen.).37 Keunggulan bahasa
al-Qur’an pun dibuktikan oleh banyaknya sajian balaghah terkait, yang disusun para ulama dan pakar
balaghah untuk menguatkan hujjah, bukti kemukjizatan al-Qur’an, yang semakin menguatkan keyakinan
(keimanan) bahwa al-Qur’an merupakan KalamuLlah, bukan ucapan manusia.
Ketika jelas keagungan bahasa al-Qur’an yang diungkapkan dengan bahasa arab, diperkuat adanya
dorongan untuk mentadaburi al-Qur’an, menjadikannya sebagai pedoman hidup manusia yang wajib
dipahami dengan benar, maka tidak ada jalan lain untuk mendukung pemahaman terhadap al-Qur’an,
mentadaburinya dan mengamalkannya, kecuali diawali dengan memahami ilmu bahasa arab, nahwu-sharf
dan balaghahnya. Tak hanya itu, mempelajari bahasa arab pun penting sebagai dasar memahami bahasa al-
Sunnah, yang diungkapkan pula dalam bahasa arab yang unggul, bahasanya Rasulullah ﷺyang
mengandung jawâmi’ al-kalim.
36 Ahmad bin Hanbal, Al-Zuhd, Dâr Ibn Rajab, cet. II, 2003, hlm. 244.
37 Ibid.
Belajar Mudah Ilmu Balaghah
Irfan Abu Naveed | 12
D. Keunggulan Bahasa Hadits Nabawi
Salah satu motivasi dari sajian balaghah hadits nabawi adalah realitas bahwa Rasulullah ﷺdalam
haditsnya, berbicara dengan bahasa arab fushha dan unggul. Beliau ﷺdikenal dengan kefasihan berbahasa,
apa yang diucapkan beliau ﷺdalam hadits-haditsnya, mengandung jawâmi’ al-kalim, dari Abu Hurairah r.a.,
Rasulullah ﷺbersabda:
Yang dimaksud dengan jawâmi’ al-kalim bahwa Allah mengumpulkan bagi beliau ﷺbanyak hal yang
tertulis dalam kitab-kitab sebelumnya dalam satu atau dua hal saja.39 Yakni sabda beliau ﷺsedikit kata-
katanya namun sarat dengan makna.40 Artinya, ringkas padat makna dan faidah, serta kaya dengan
keindahan gaya bahasa.
Hal itu didukung dengan kenyataan bahwa masa kecil Rasulullah ﷺ, dihabiskan dalam lingkungan
yang memelihara kefasihan berbahasa, yakni berada dalam didikan lingkungan terpilih -Bani Sa’ad-, yakni
selama lima tahun pertama masa kecilnya, Bani Sa’ad adalah salah satu suku di tengah Jazirah Arab yang
terpelihara -lingkungannya- dari pengaruh suku-suku lainnya yang tinggal di tepi-tepi Jazirah Arab, dan
Rasulullah ﷺmenghabiskan periode pertama kehidupannya di tengah-tengah mereka, dididik dengan
kefashihan berbahasa.41
Sehingga benar apa yang terkandung dalam bait sya’ir Syaikh Syarfuddin Yahya bin Nuruddin al-
’Imrithi (w. 989 H), yang memuji Rasulullah ﷺsebagai makhluk-Nya yang paling fashih berbahasa:
اخلَالَئِِق
ْ ص ِح ِ
َ َّْب أَف ِِ ٍ
ِِ الصالَةُ َمع َسالَم الَئق * َعلَى الن
َّ َُُّث
“Kemudian shalawat serta salam yang layak # atas Nabi ﷺ, sefasih-fasihnya makhluk.”42
Menjelaskan bait sya’ir ini, Syaikh Ibrahim al-Baijuri menguraikan bait (اخلَالَئِ ِق َ ْ )أَفyakni sosok yang
ْ ص ِح
paling fashih ()أشدهم فصاحة, dalam arti memiliki kemampuan untuk bertutur kata secara fashih43, artinya
ungkapannya secara bahasa benar dan tidak mengandung kesalahan.
Kefasihan (al-fashahah) itu mencakup seseorang yang berbicara (al-mutakallim), suatu kalimat
sempurna (al-kalam) dan suatu kata (al-kalimat). Sehingga dikatakan: mutakallim fashih (pembicara yang
fashih), kalam fashih (perkataan yang fashih) dan kalimah fashihah (kata yang fashih). Hal ini berbeda
dengan balaghah, dimana ia menyifati seseorang yang berbicara (mutakallim) dan suatu perkataan
sempurna (kalam), dan tidak mencakup suatu kata (kalimah). Maka dikatakan: mutakallim baligh (seorang
pembicara yang berkata kata dengan perkataan yang memenuhi unsur balaghah), kalam baligh (perkataan
38 HR. Muslim dalam Shahîh-nya (II/64, hadits 1104); al-Bukhari dalam Shahîh-nya (III/1087, hadits 2815); Ibnu Hibban dalam
hlm. 535.
40 Abu Zakariya Muhyiddin Yahya bin Syarf al-Nawawi, Al-Minhâj Syarh Shahîh Muslim, Beirut: Dâr Ihyâ’ al-Turâts al-’Arabi, cet.
hlm. 21-22.
43 Ibid., hlm. 22.
Dengan dasar di atas, maka jelas bahwa bahwa Rasulullah ﷺadalah mutakallim baligh, dengan
kalam baligh, tutur katanya agung, luhur kandungannya dan tinggi nilai bahasanya, bagaikan
pembendaharaan harta yang tak ternilai harganya, dan bisa diterus digali untuk diambil intisarinya dengan
menggunakan berbagai perangkat terkait. Salah satunya, ilmu bahasa arab (diantaranya ilmu nahwu, sharf
dan balaghah). Maka relevan jika Imam al-Ashma’i, dinukil oleh Syaikh Ibrahim al-Baijuri, menuturkan bahwa
di antara hal yang dikhawatirkannya atas penuntut ilmu, adalah ketika ia tidak memahami ilmu nahwu, maka
tergolong orang yang disebutkan dalam hadits Nabi ﷺ:
» فَ ْليَ تَ بَ َّوأْ َم ْق َع َدهُ ِم َن النَّا ِر،ب َعلَ َّي ُمتَ َع ِِم ًدا
َ « َم ْن َك َذ
“Siapa saja yang berdusta atas namaku, maka hendaklah ia mengambil tempat duduknya dari api
neraka.” (HR. Al-Bukhari, Muslim dan lainnya)45
Mengapa? Syaikh Ibrahim menjelaskan, karena pada asalnya tidak ada kesalahan (lahn) dari apa
yang diriwayatkan dari Rasulullah ﷺ, maka ketika ada kesalahan, ia merupakan kedustaan
mengatasnamakan beliau ﷺ.46 Hadits kecaman di atas, mengandung lafal umum yakni man (siapa saja),
dengan karakter berdusta atas nama Rasulullah ﷺsecara sengaja dalam bentuk apapun, dimana perbuatan
tersebut hukumnya haram, berdasarkan kalimat ” ” فَلْيَ تَ بَ َّوأْ َم ْق َع َدهُ ِم َن النَّا ِرyang merupakan petunjuk tegas (qarinah
jazimah) keharamannya sebagaimana pembahasan dalam ilmu ushul fikih.
Keunggulan bahasa hadits pun dibuktikan oleh banyaknya sajian balaghah terkait, yang disusun
para ulama dan pakar balaghah, yang semakin menambah khazanah peradaban kaum Muslim. Ia bagaikan
air mengalir yang tiada henti, siap sedia mengobati dahaga dan menajamkan pandangan mata. Dan hal
tersebut tak bisa diraih, dicicipi, kecuali dengan kembali kepada asasnya, yakni kemampuan terhadap ilmu
bahasa arab.
44 Ibid.
45 HR. al-Bukhari dalam Shahih-nya (hadits no. 1229), Muslim dalam Shahih-nya (hadits no. 5), Ahmad dalam Musnad-nya
(hadits no. 16916).
46 Ibrahim bin Muhammad al-Baijuri, Fath Rabb al-Bariyyat ‘Alâ al-Durrat al-Bahiyyat Nazhm al-Âjurrûmiyyah (Syarh ‘Imrîthi),
hlm. 25.
Belajar Mudah Ilmu Balaghah
Irfan Abu Naveed | 14
Bab II
Pengenalan Dasar Ilmu Balaghah
[Definisi & Klasifikasi]
Maka suatu perkataan yang mengandung unsur balaghah itu memiliki dua ciri:
Pertama, Kefasihan ( )الفصاحةyang secara etimologi bermakna tampak nan jelas ()الظهور والوضوح. Secara
terminologi ulama ahli balaghah yakni perkataan yang jelas maknanya, mudah pelafalannya, benar
susunannya dan sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa semisal nahwu dan sharaf (tata bahasa arab).
Kedua, Kesesuaian perkataan dengan keadaan pihak yang diseru ()املخاطب. Dari sinilah kita bisa memahami
perkataan Arab:
Maka ilmu balaghah menunjukkan bentuk ungkapan yang tepat, dan menunjukkan ragam pola
penyusunan kalimat yang bermanfaat dan berpengaruh kuat.48 Karakter perkataan baligh[an], akan kita
temukan dalam bahasa al-Qur’an dan hadits-hadits nabawiyyah.
47 Tim Pakar, Al-Balâghah wa al-Naqd, Riyâdh: Jâmi’atul Imâm Muhammad bin Su’ûd al-Islâmiyyah, Cet. II, 1425 H, hlm. 18-20.
48 Ibid, hlm. 20.
Belajar Mudah Ilmu Balaghah
Irfan Abu Naveed | 15
B. Klasifikasi Ilmu Balaghah49
Dalam penjabarannya, ilmu balaghah diklasifikasikan menjadi tiga:
Definisi:
مقتضى احلال
َ يطابق ِِ ف به أحوال اللفظ
ُ العريب الَت هبا ُ يعر
َ وهو علم: علم املعاّن
ُ
”Ilmu al-ma’ani: ilmu yang diketahui dengannya berbagai ungkapan arab yang sesuai untuk
beragam kondisinya.”
Ilmu yang membahas kesesuaian perkataan atau ungkapan dengan keadaan pihak yang diseru50,
atau ilmu yang memahamkan kita terhadap pola kalimat yang benar yang sesuai dengan suatu keadaan 51,
atau dengan kata lain membahas tentang makna-makna dengan ragam pola untuk digunakan dalam
berbagai keadaan yang bersesuaian dengannya.52 Mencakup pembahasan: al-khabar wa al-insyâ’, al-musnad
wa al-musnad ilayh, al-qashr, al-fashl wa al-washl, al-îjâz wa al-ithnâb dan lain sebagainya.
Definisi:
ِ
العقلية على ِ ضوح ال ِد
اللة ٍ بعضها عن
ِ ِف ُو،بعض ٍ ،احدِ يعرف هبا إيراد املعَن الو
ُ خيتلف
ُ بطرق َ ُ ُ ،اعد
ُ أصول وقو:علم البيان
ٍ احد يستطاع أداؤه أبساليب ُُم
.تلفة ِ
َ ُ ُ ُ ُ فاملعَن الو َ ،املعَن
َ نفس ذلك
”Ilmu al-bayan: dasar-dasar dan kaidah-kaidah yang diketahui dengannya suatu makna (maksud)
dengan beragam cara pengungkapan yang berbeda satu sama lainnya, dengan kejelasan petunjuk-
petunjuk logis memahami intisari maknanya, sehingga suatu makna bisa diungkapkan dengan
beragam cara.”
Dengan kata lain, ilmu ini membahas pengungkapan atas suatu makna dengan gambaran atau
bentuk yang beragam. Mencakup pembahasan; al-tasybîh, al-isti’ârah, al-majâz al-mursal, al-kinâyah, dsb.53
Definisi:
”Ilmu al-badi’: ilmu yang diketahui dengannya beragam sisi dan kekhasan yang menambah
keindahan suatu perkataan dan kecantikannya, serta membungkusnya dengan hiasan kemuliaan
49 Pembahasan-pembahasan dalam ketiga cabang ilmu balaghah ini pun dirinci dengan beragam istilahnya dalam referensi
buku-buku ilmu balaghah. Objek bahasan ilmu balaghah itu sendiri adalah kalimat bahasa arab, maka sangat relevan ketika muncul sajian-
sajian balaghah al-Qur’an dan hadits nabawi, mengingat keduanya dilafalkan dengan bahasa arab yang fushha dan unggul.
50 Ibid, Al-Balâghah wa al-Naqd, hlm. 36
51 Dr. Abdul Aziz bin Ali al-Harbi, Al-Balâghah al-Muyassarah, Beirut: Dâr Ibn Hazm, Cet. II, 1432 H/2011, hlm. 21.
52 Tim Pakar, Al-Balâghah wa al-Naqd, hlm. 102.
53 Ibid, Al-Balâghah wa al-Naqd, hlm. 126.
Ilmu yang membahas pola-pola bentuk ungkapan yang mempercantik dan memperindah perkataan
atau ungkapan, mencakup hiasan yang bersifat lafzhiyyah atau ma’nawiyyah, mencakup pembahasan: al-
thibâq, al-muqâbalah, al-saj’u, al-jinâs, al-iqtibâs, dan lain sebagainya.54
األول -الفصاحةُ
الفصل ُ
ُ
لغة :البيا ُن والظهور ،قال هللا تعاىل{ :وأ َِخي هارو ُن هو أَفْ ِ
أبني ِِ
مين ص ُح م ِِين 34( }...سورة القصص ،أي ُ
َ ُ َُ َ َ ُ *-تعر ُيفهاً :
مين قوالً.
أظهر َّ
منطقاً و ُ
اب ِ اْللفاظ البيِِ ِنة الظاهرِة ,املتبادرِة إىل الفهم ,و
املأنوسة االستعمال بني الكتَّ ِ ِ اصطالح أهل املعاّن :عبارة عن
ِ والفصاحةُ ِف
الشعراء ِ
ملكان ُحسنها. و ِ
الكالم ،واملتكلِِ َم ُ ،
فيقال :كلمة فصيحة ،وكالم فصيح ،ومتكلم فصيح . الكلمة ،و َ
َ تشمل
ُ فالفصاحةُ
الناهبني من الكت ِ
َّاب والشعراءْ ،لهنا ْم تتداوْهلا َ فصيحة إذا كانت مألوفةَ االستعمال بني
ً * -فصاحةُ الكلمةِ :تكون الكلمةُ
ِ ِ ِ ِ
ب أن تكون الكلمةُ ألسنتهم وْم جت ِر هبا ُ
أقالمهم إال ملكانتها من احلُسن ِبستكماهلا عناصرَ اجلودة ،وصفات اجلمال ِ .ج ُ ُ
سامل ًة من ٍ
عيوب ثالثةٍ :
ِ ثقل الكلمة عند وقعِها على ِ
ِِ
كالظش. ِبللسان ،حنو السمع وصعوبةُ أدائها
ِ ُ
تنافر احلروف فهو ُ
املوضوع له.
ِ غري ظاهرِة الداللة على املعَن
الغرابةُ هي كو ُن الكلمة َ
ثبت معناهُ عند علماء اللغة. ُ مالفةُ ِ
الوضع هو كو ُن الكلمةِ ُمالف ًة ملا َ
عيوب ثالثةٍ هي : ِ
بسالمته من ٍ ِ
الكالم ِ
الكالم :تكو ُن فصاحةُ * -فصاحةُ
ِ
يسبب ثقلها على السم ِع ،وصعوب َة أدائها ِبللسان.
ُ اتصال بعضها ببعض ِما
الكلمات :فال يكو ُن ُ ُ
تنافر
ِ التأليف :هو خروج الكالم عن قو ِ
اعد اللغة املطَّردة املشهورِة ،كأن يكو َن ِ
خالف ما الكالم جارايً على
ُ ُ عف
ض ُ َ
ني النحو املعتربةِ عند ُُجهور العلماء.
اشتهرمن قوان ِ
ُ َ
خفي ال ِداللة التعقيد وهو ِ
الكالم َّ
ُ اللفظي :هو أنْ يكون
ُّ التعقيد
ُ املعنوي.
ُّ التعقيد
اللفظي ،و ُ
ُّ التعقيد
ُ نوعان : ُ
الكالم املعنوي :أن يكون التعقيد تبة على وفق تر ِ
تيب املعاّن .و ُ ظ غري مر ٍ
ُ ُّ على املعَن املراد به -حبيث تكو ُن اْللفا ُ َ ُ
خفي الدَّاللة على املعَن املر ِاد -حبيث ال ي ْفهم معناه إالِ بعد ٍ
عناء وتفك ٍري ٍ
طويل. َ َّ
ِ ٍ ِ
أي ٍ
غرض يقتدر هبا صاحبُها على التعب ِري عن املقصود بكالم فصيحِ ،ف ِِ
* -فصاحةُ املتكلم :عبارة ع ِن املَلكة الَت ُ
كا َن.
مبلغ
املدينة -إذا انتهى إليهاَ ،و ُ
كب َ وبلغ الر ُ
وصل إليهَ ،
بلغ فالن مر َاده -إذا َ
يقال َ
صول واالنتهاءُ ُ ،
(الو ُ
البالغةُ ِف اللغة ُ
الشيء منتهاهُ .
ِ
ِبلبالغة ،لقصورها عن الوصول ِبملتكلَِّم توصف «الكلمةُ» ِ
للكالم ،واملتكلِِم فقط ،وال االصطالح وصفاً
ِ وتقع البالغةُ ِف
ُ ُ ُ
السماع بذلك.
لعدم َّ إىل ِ
غرضه ،و ِ
ِ
الكالم: *-بالغةُ
ألفاظه « ِ
مفردها ومرَّكبِها». ِ ِ
فصاحة حال اخلطاب -مع ِ
الكالم :مطابقتُه ملا يقتضيه ُ البالغةُ ِف
َ ب الْعالَمِّ َ َّ ُ ْ َ ْ َ
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
ُ ْ َ َ َّ
اك نعبُد } ِإي٤{ ين ادل َّ الر َْحن
ِّ ِ} مالك يَ ْوم٣{ الرحيم َّ }٢{ ني ّلِل ر َّ ْ َّ
ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ } احلمد١{ يم ِ هلل الرَح ِن الر ِح
ِ ِمْسِب ا
َْ ْ
ُ ْ َ َْ ْ َْ َ َ ْ َْ َ َ َّ ْ ِّ َ ْ ُ اك ن َ ْستَع
وب َعلي ِه ْم َوال ِ ْي المغض ِ اَّلين أنعمت علي ِهم غ
َ
ِ } َِصاط٦{ يم َ اط ال ُم ْستَق
ِ
َ الِّص } اه ِدنا٥{ ني ِ
َ ََّوإي
ِ
ِّ
َ الضال َّ
}٧{ ني
“Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang, segala puji bagi Allah,
Tuhan semesta alam, Maha Pemurah lagi Maha Penyayang, yang menguasai di hari Pembalasan, hanya
kepada Engkau Kami menyembah, dan hanya kepada Engkau Kami meminta pertolongan, Tunjukilah
Kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan
(jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.” (QS. Al-Fâtihah [1]: 1-7)
Banyak seluk beluk dalam ayat yang agung ini, yang bisa disajikan berdasarkan persepektif ilmu
balaghah dari permulaan ayat hingga ayat terakhirnya, mencakup tiga ilmu; al-ma’ani, al-bayan dan al-badi’.
Salah satu sajian balaghahnya, berkaitan dengan petunjuk penting kunci-kunci meraih pertolongan dari
Allah. Terutama pada ayat-ayat:
ُ ْ َ ْ ْ َ ْ ْ َ َ َ ْ َ ْ َ َ َّ َ َ اط ال ْ ُم ْستَق ِّ َ ْ
َ الِّص ُ اك ن َ ْستَع َ َّاك َن ْعبُ ُد َوإي
َ َّإي
وب
ِ ْي المغض ِ غ م ه
ِ ي لع تم ع ن أ يناَّل
ِ اطَص
ِ }٦ { يم ِ ا ن د
ِ اه }٥ { ني ِ ِ ِ
ِّ َّ ْ َ
}٧{ ني َ الضال َعلي ِه ْم َوال
“Hanya kepada Engkau Kami menyembah, dan hanya kepada Engkau Kami meminta pertolongan,
Tunjukilah Kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada
mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.” (QS. Al-
Fâtihah [1]: 1-7)
55 Prof. Dr. Wahbah bin Mushthafa al-Zuhaili, Al-Tafsîr al-Munîr, juz I, hlm. 55.
56 Abdurrahman bin Abu Bakr Jalaluddin al-Suyuthi, Ham’u al-Hawâmi’ fî Syarh Jam’i al-Jawâmi’, Mesir: Al-Maktabah al-
Tawfîqiyyah, juz II, hlm. 10. Lain halnya dengan pendapat Ibn Hajib dan sejalan dengannya Abu Hayyan.
57 Abu Al-Qasim Abdurrahman bin Abdullah al-Suhaili, Natâ’ij al-Fikr fî al-Nahwi, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet. I, 1412
H, hlm. 157.
58 Abdullah bin Abdurrahman Ibn ‘Aqil, Syarh Ibn ‘Aqîl ‘Alâ Alfiyyat Ibn Mâlik, Kairo: Dâr al-Turâts, cet. XX, 1400 H, juz II, hlm.
97.
Belajar Mudah Ilmu Balaghah
Irfan Abu Naveed | 20
penulis simak dari salah seorang guru, Syaikh Abu Bakr, seorang ustadz sepuh di Ma'had yang lama
menuntut ilmu di Mesir.
Dalam disiplin ilmu balaghah, hal ini termasuk bentuk qashr, yakni pengkhususan, sehingga
bermakna bahwa "kami hanya menyembah-Mu", sebagaimana dipaparkan oleh Prof. Dr. Wahbah al-
Zuhaili.[53] Lebih rinci lagi, sebagaimana disebutkan al-Zuhaili:
الطاعة والتذلل: والعبادة، ومعناه نطيع،إِ َّاي َك نَ ْعبُ ُد خنصك ِبلعبادة وال نعبد غريك
Hanya kepada Engkau-lah kami menyembah, yakni kami mengkhususkan Engkau dalam
peribadatan dan kami tidak akan menyembah selain-Mu, dan maknanya adalah kami mena'ati, dan
ibadah berkonotasi keta'atan dan ketundukan.59
Dalam ilmu balaghah, kalimat ini pun ditujukan kepada Allah Yang Maha Ghaib, namun diungkapkan
dalam bentuk khithâb (seruan langsung), termasuk bahasan al-iltifat.60 Imam Abu al-Qasim Abdurrahman
al-Suhaili (w. 581 H) menjelaskan bahwa kalimat ini disebutkan untuk menunjukkan sifat memurnikan tauhid
(al-ikhlâsh), mewujudkan keyakinan terhadap Kemahatunggalan Allah dan menafikan hal-hal yang samar
dari keikhlasan yang sempurna. Inti dua kalimat ini, sebagaimana dijelaskan Ibn Abbas r.a.: ( )إِ َّاي َك نَ ْعبُ ُدyakni
ِ
kami mentauhidkan-Mu dan mena’ati-Mu. Dan makna (ني ُ )وإِ َّاي َك نَ ْستَع
َ yakni kami memohon pertolongan-Mu
untuk beribadah kepada-Mu dan memohon sandaran untuk senantiasa mena’ati-Mu.61
Dalam satu ayat ini, ditemukan petunjuk bahwa aspek peribadatan (dalam kata na’budu) lebih
didahulukan daripada aspek meminta pertolongan (dalam kata nasta’în), menurut Imam Dhiya’uddin bin al-
Atsir al-Katib (w. 637 H), hal ini termasuk bentuk taqdîm al-sabab ’alâ al-musabbab, yakni mengedepankan
sebab daripada akibatnya, itu karena ibadah merupakan sebab turunnya pertolongan Allah. Perbuatan
mendahulukan ibadah yang hakikatnya merupakan perbuatan mendekatkan diri pada Allah, dan menjadi
perantara hubungan hamba dengan-Nya, sebelum meminta apa yang dibutuhkan jelas lebih menjamin
keberhasilan meraih apa yang diminta, dan lebih cepat memperoleh pengabulan do’a.62
Dalam ayat ini pun, Allah mengajari kita berdo’a dengan menyertakan orang lain, dengan shighat
”na’budu” (kami menyembah), ”nasta’iin” (kami memohon pertolongan) yang keduanya merupakan
shighat plural (bentuk subjek jamak), ini sebagai pengakuan kita terhadap lemahnya hamba seorang diri
untuk berdiri bermunajat di hadapan Allah SWT, sehingga menyertakan seluruh orang-orang
beriman.63 Ayat ini pun mengajari kita untuk peduli terhadap orang lain dengan menyertakan mereka dalam
do’a kita, ini merupakan pendidikan sosial yang menjauhkan seseorang dari sikap egosentrisme.
59 Prof. Dr. Wahbah bin Mushthafa al-Zuhaili, Al-Tafsîr al-Munîr fî al-‘Aqîdah wa al-Syarî’ah wa al-Manhaj, juz I, hlm. 55-56.
60 Ibid.
61 Abdullah bin Abbas, Tanwîr al-Miqbâs Min Tafsîr Ibn ‘Abbâs, Lebanon: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.t., hlm. 2.
62 Dhiya’uddin bin al-Atsir al-Katib, Al-Mitsl al-Sâ’ir fî Adab al-Kâtib wa al-Syâ’ir, Kairo: Dâr al-Nahdhah, juz II, hlm. 182.
63 Prof. Dr. Wahbah bin Mushthafa al-Zuhaili, Al-Tafsîr al-Munîr, juz I, hlm. 56.
64 Ibid., hlm. 55.
65 Abdullah bin Abbas, Tanwîr al-Miqbâs Min Tafsîr Ibn ‘Abbâs, hlm. 2.
66 Abu Muhammad Sahl al-Tustari, Tafsîr al-Tustari, hlm. 23.
c. Peringatan Keras Atas Jalan Kaum yang Dimurkai Allah (Ilm al-Ma’ani)
Kalimat (َعلَْي ِه ْم ِ ض
) َغ ِْريdalam tinjauan ilmu balaghah, di dalamnya terdapat
وب ُ الْ َم ْغ
bentuk hadzf (menyamarkan bagian), dimana maksud lengkapnya ( )غري صراط املغضوب عليهمyakni selain jalan
orang yang dimurkai.[62] Kalimat ini menunjukkan tercelanya jalan mereka yang dimurkai Allah, yakni jalan
mereka yang dilaknat, menurut Prof. Wahbah al-Zuhaili ia merupakan do’a yakni ”janganlah Engkau
menjadikan kami termasuk golongan mereka yang menyimpang dari jalan istiqamah di atas kebenaran,
dijauhkan dari rahmat Allah, disiksa dengan sekeras-kerasnya siksa, karena mereka mengetahui kebenaran
namun melanggarnya, menyimpang dari kebenaran.”68
Mayoritas ulama ahli tafsir menafsirkan al-maghdhûb (yang dimurkai) yakni kaum Yahudi 69, akibat
perbuatan mereka yang sangat buruk dan keji, misalnya di masa Nabi Musa a.s mereka mengimani sebagian
isi Kitab Taurat dan mengkufuri sebagiannya dengan mengubah sebagian hukum Taurat (mengubah hukum
rajam bagi pezina, dsb), mereka pun membunuh para nabi, menyembah anak sapi (setelah sampai kepada
mereka kebenaran tauhid), melanggar perjanjian dan lain sebagainya. Meskipun begitu, makna al-
maghdhûb ’alayhim dalam ayat ini lebih tepat mencakup siapa saja yang menyimpang dari jalan kebenaran
setelah mengetahui kebenaran tersebut:
فرفضوه ونبذوه، هم الذين بلغهم الدين احلق الذي شرعه هللا لعباده:املغضوب عليهم
”Al-Maghdhub ’alayhim: mereka adalah golongan yang telah sampai din yang benar, yang Allah
syari’atkan bagi hamba-hamba-Nya, namun mereka menolak dan berpaling darinya.”
وهم الذين ْم تبلغهم رسالة أو بلغتهم بنحو َنقص، أو ْم يعرفوه على الوجه الصحيح، هم الذين ْم يعرفوا احلق:والضالون
67 Prof. Dr. Wahbah bin Mushthafa al-Zuhaili, Al-Tafsîr al-Munîr, hlm. 57.
68 Ibid.
69 Ibid.
ْ ُ َ َ ْ َ ْ ِّ َ ُ َ ْ ُ ْ ُ ْ َ َ َّ ُ ُ ْ َ ْ ُ َ َ َّ َ ُّ َ َ
}٧{ اَّلين آمنوا إِن تنِّصوا اّلِل ينِّصكم ويثبت أقدامكم ِ يا أيها
“Wahai orang-orang yang beriman jika kalian menolong (Din) Allah, maka Dia akan menolong kalian
dan meneguhkan kedudukan kalian.” (QS. Muhammad [47]: 7)
Allah SWT menggunakan bentuk ungkapan syarat dan jawabnya (al-jumlah al-syarthiyyah), dengan
perangkat (adat al-syarth) yakni in ()إِ ْن: jika kalian menolong Allah ()إن تنصروا هللا. Kalimat menolong, setelah
sebelumnya diawali dengan seruan yang berkaitan dengan keyakinan (akidah), menunjukkan bahwa
aktivitas menolong ini merupakan aktivitas yang berkenaan dengan perbuatan (hukum syara’) yang
dilandasi oleh keimanan (akidah Islam), tidak terpisahkan. Istimewanya, dalam kalimat ini Allah
menisbatkan pertolongan hamba-hamba-Nya kepada-Nya, padahal Allah SWT Maha Kuasa atas segala
perkara, tidak membutuhkan pertolongan makhluk-Nya.
Menurut Imam Abu Ja’far al-Nahhas al-Nahwi (w. 338 H) dan al-Qadhi Badruddin Ibn Jama’ah al-
Syafi’i (w. 733 H), bentuk ungkapan tersebut merupakan bentuk kiasan (majâz).70 Yang disebutkan Allah,
namun maksudnya adalah dînuLlâh (agama Allah) dan para auliya’-Nya. Al-Nahhas menuturkan:
Dalam persepektif ilmu al-ma’ani, ungkapan ini menghilangkan bentuk idhâfah dari kata Allah71:
yakni menghilangkan kata dîn di depan lafal jalâlah (Allah), karena makna sebenarnya adalah menolong
Rasul-Nya, Dîn-Nya72, syari’at-Nya, dan kelompok pembela Dîn-Nya (hizbuLlâh)73, dalam ilmu al-ma’âni, ini
70 Yakni dalam tinjauan ilmu balaghah: ‘ilm al-bayân. Lihat: Abu Ja’far al-Nahhas al-Nahwi, I’râb al-Qur’ân, juz IV, hlm. 119;
Badruddin Ibn Jama’ah, Îdhâh al-Dalîl fî Qath’i Hujjaj Ahl al-Ta’thîl, Mesir: Dâr al-Salâm, cet. I, 1410 H, hlm. 117.
71 Abu al-Fath ‘Utsman bin Jinni al-Maushuli, Al-Muhtasib fî Tabyîn Wujûh Sawâdz al-Qirâ’ât wa al-Îdhâh ‘anhâ, Wizârat al-
Relevansinya dalam ayat ini, menunjukkan pentingnya perbuatan menolong agama Allah, karena
seakan menisbatkan pertolongan makhluk langsung pada Allah ’Azza wa Jalla, ini sudah cukup menunjukkan
besarnya kedudukan amal perbuatan tersebut, sehingga cukup menjadi dorongan kuat, targhîb, bagi
hamba Allah yang mencintai-Nya, Din-Nya dan mengharapkan perjumpaan dengan-Nya. Bahkan jika
seandainya Allah tidak menginformasikan ganjaran agung bagi mereka yang menolong Din-Nya: { ت ْ ِصْرُك ْم َويُثَِب
ُ يَْن
}أَقْ َد َام ُك ْم.
Menolong dînuLlâh pun merupakan wasiat para nabi dan rasul, Syaikh ’Atha bin Khalil menjelaskan
bahwa sesungguhnya Ibrahim a.s. menunaikan perintah Allah, dan tunduk patuh serta ikhlas kepada Allah,
hal ini yang beliau a.s. wasiatkan kepada anak-anaknya. Begitu pula wasiat Ya’qub a.s. terhadap anak-
anaknya, agar mereka senantiasa berpegang teguh terhadap agama mereka, yang Allah pilih untuk mereka,
dan agar mereka senantiasa berada dalam agama ini hingga mereka diwafatkan oleh Allah, dan mereka
dalam keadaan tunduk dan ta’at kepada-Nya, tak pernah berpaling kepentingan mereka dari keta’atan
kepada Allah, tunduk dan ner-Islam, karena mereka tidak mengetahui kapan tibanya kematian.75
ْ ِصْرُك ْم َويُثَِب
Menariknya, kalimat {ت أَْق َد َام ُك ْم ُ }يَْنmerupakan jawaban (jawâb al-syarth) jika terpenuhinya apa
yang menjadi syarat yakni ”menolong dînuLlâh” {هللا ُ }إِ ْن تَ ْن. Pertolongan dari Allah, merupakan pertolongan
َ صُروا
untuk meraih keberhasilan atau keselamatan hidup di dunia dan akhirat. Imam al-Sam’ani menafsirkan
makna al-nashr minaLlâh (pertolongan dari Allah) yakni al-hifzh (pemeliharaan dan penjagaan dari segala
keburukan) dan al-hidâyah (bimbingan petunjuk untuk senantiasa berada di atas kebenaran). Allah SWT
berjanji akan menolong orang yang menolong Din-Nya:
Dalam ayat yang agung ini, Allah SWT mengawali informasi dengan lam dan nûn al-taukîd al-tsaqîlah
(lam dan nûn yang menjadi penanda kalimat penegasan), menegaskan kebenaran informasi di dalamnya,
menafikan adanya keraguan dan pengingkaran. Dimana kemenangan dan pertolongan itu hakikatnya milik
Allah, datang dari-Nya.
ٌ يز َحك
ٌ َ اّلِل َّ ْ ْ َّ ُ ْ َّ َ َ
َ َّ اّلِل ۚ إ َّن
}١٢٦{ يم ِ ز
ِ ع ِ ِ وما اْلِّص ِإال ِمن ِعن ِد
“Dan tidaklah pertolongan (kemenangan) itu, kecuali hanya dari Allah yang Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.” (QS. Âli Imrân [3]:126)
Ayat yang agung ini, mengandung qashr (pengkhususan)76, menggunakan ungkapan mâ untuk
menafikan dan penetapan (itsbât) dengan adanya huruf illâ istitsnâ’, yang menekankan pertolongan dan
kemenangan hanya dari Allah SWT. Lalu apa ganjaran lainnya bagi orang yang menolong Din-Nya?
Ungkapan agung yutsabbit aqdâmakum (Dia akan meneguhkan kaki-kaki kalian), merupakan bentuk kiasan
(majâz mursal), disebutkan sebagian yakni aqdâm (kaki-kaki) padahal yang dimaksud adalah keseluruhan
74 Dr. Abdul Aziz bin Ali al-Harbi, Al-Balâghah al-Muyassarah, hlm. 51.
75 Atha bin Khalil Abu al-Rasytah, Taysîr al-Wushûl ilâ al-Ushûl, hlm. 163-164.
76 Diulas dalam kajian balaghah.
3. Balaghah QS. Al-Nûr [24]: 55 (Janji Allah Bagi Mereka yang Menegakkan Islam, Akan Meraih
Kemenangan)
Allah SWT berfirman:
Kalimat wa’adaLlâh, dipahami oleh para ulama sebagai janji dari Allah, sebagai kiasan (majaz) dari
kalimat sumpah Allah yang disamarkan (al-yamîn al-mudhmar), karena hakikat maknanya: “Orang-orang
yang beriman dan beramal shalih, Demi Allah, Dia benar-benar akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi
(dan seterusnya)”, sebagaimana dijelaskan oleh Imam al-Tsa’labi (w. 427 H).80
Kata wa’ada yang Allah ungkapkan dengan kata kerja lampau (al-fi’il al-mâdhi’) pun berfaidah
menunjukkan kepastian apa yang diinformasikan. Dalam ayat yang agung ini, Allah SWT berjanji, dengan
janji yang pasti ditepati-Nya, karena Allah tidak mungkin menyalahi janji-Nya, sebagaimana ditegaskan-Nya
dalam firman-Nya yang agung:
َ َ َ َّ َ َّ َّ َ ْ َ َ َ ْ ْ َ
ٌّ َ َّ ِب إ َّن َو ْع َد
}٦٠{ ين ال يُوقِنُوناَّل
ِ اّلِل حق ۚ وال يست ِخفنك
ِ ِ ِ فاص
77 Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili, Al-Tafsîr al-Munîr fî al-‘Aqîdah wa al-Syarî’ah wa al-Manhaj, juz ke-26, hlm. 83.
78 Ahmad bin Muhammad al-Tsa’labi, Al-Kasyf wa al-Bayân ‘an Tafsîr al-Qur’ân, juz IX, hlm. 31.
79 Bisa dilihat perincian terkait: Ahmad ‘Ubaid al-Da’as dkk, I’râb al-Qur’ân al-Karîm, Damaskus: Dâr al-Munîr, cet. I, 1425 H, juz
Dihubungkan dengan wâw al-‘athf yang memang berfungsi menyatukan apa-apa yang
disambungkannya (li muthlaq al-jam’i). Ayat ini, menegaskan ayat-ayat lainnya yang senantiasa
menyandingkan antara iman dan amal shalih, menunjukkan bahwa satu sama lain tidak terpisahkan, yakni
dalam ayat-ayat yang mengungkapkan {‟ }الذين آمنوا وعملوا الصاحلاتmereka yang beriman dan beramal shalih”. 81
Sebagaimana penafsiran Imam Fakhruddin al-Razi (w. 606 H):
Menafsirkan frasa wa ’amilû al-shâlihât, al-Hafizh Ibn Jarir al-Thabari (w. 310 H) menjelaskan yakni
orang-orang yang mena’ati Allah dan Rasul-Nya, dalam hal-hal yang Allah dan Rasul-Nya perintahkan dan
larang83, hal ini menegaskan mereka yang beramal shalih yakni mereka yang menegakkan syari’at Islam
karena kata al-shâlihât dalam ayat ini diungkapkan dengan alif lâm ta’rîf berkonotasi khusus atau spesifik
yakni syari’at Islam, bukan sembarang syari’at, yang juga dilandasi oleh keimanan yakni akidah Islam.
Salah satu bentuk amal shalih yang dilandasi keimanan, untuk menjemput pertolongan Allah adalah
dakwah ilaLlâh yang dilakukan ikhlas karena dorongan keimanan, demi mengharapkan keridhaan-Nya.
Dakwah yang dilakukan dengan meniti metode dakwah Rasul-Nya sehingga ia menjadi amal yang memang
shalih (sesuai) dengan tuntutan-Nya.
Sifat dari iman dan amal shalih ini, digambarkan kemudian oleh Allah SWT dalam kalimat: { يَ ْعبُ ُدونَِين َال
}يُ ْش ِرُكو َن ِيب َشْي ئًاberupa kalimat fi’liyyah dengan kata kerja al-mudhâri’ (sekarang atau yang akan datang)
menunjukkan aktivitas yang harus berkesinambungan (istimrâr[an]), tak terhenti. Yakni amal shalih berupa
sikap teguh dalam keta’atan dan ketundukan pada-Nya, dan keimanan yang bersih dari kesyirikan, dengan
kata lain mengikhlaskan Din pada-Nya. Kalimat ibadah (ya’budûnanî) dan ketauhidan (lâ yusyrikûna bî)
langsung Allah nisbatkan kepada-Nya, menunjukkan kekhususan hak-Nya, tidak boleh disimpangkan untuk
selain-Nya, sebagaimana ditegaskan Imam al-Razi.84
c. Kemenangan Politik & Keteguhan Kaum yang Beriman & Beramal Shalih
Allah bersumpah akan menganugerahkan kepada orang yang beriman dan beramal shalih tiga hal
agung dalam ungkapan: (َّه ْم ِ ِ ِ
ُ لَيَُب ِدلَن، لَيُ َم ِكَن َّن َهلُْم،َّه ْم
ُ )لََي ْسَت ْخل َفن, Allah ungkapkan dengan penegasan-penegasan, yakni lâm
taukîd dan nûn taukîd al-tsaqîlah, yang berfaidah menafikan adanya keraguan dan pengingkaran, Imam
Dhiya’uddin bin al-Atsir al-Katib (w. 637 H) menjelaskan:
81 ‘Atha bin Khalil Abu al-Rasytah, Al-Taysîr fî Ushûl al-Tafsîr, hlm. 43.
82 Fakhruddin al-Razi, Mafâtîh al-Ghaib (al-Tafsîr al-Kabîr), juz ke-24, hlm. 412.
83 Muhammad bin Jarîr Abu Ja’far al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, juz XIX, hlm. 208.
84 Fakhruddin al-Razi, Mafâtîh al-Ghaib (al-Tafsîr al-Kabîr), juz ke-24, hlm. 412.
Dan adanya nûn taukîd al-tsaqîlah menurut al-Atsir, menguatkan penegasan huruf lâm yang
mengawali informasi.86 Menguatkan keyakinan orang-orang beriman terhadap janji Allah ’Azza wa Jalla bagi
hamba-hamba-Nya yang beriman dan beramal shalih, meraih ganjaran-ganjaran agung berikut ini:
ِِ ِ
ني َ ِاء َوالْغَالب
َ ني َوالْ َمالك َ اخلُلَ َف
ْ فَيَ ْج َعلَ ُه ُم
Maka Dia menjadikan mereka sebagai khalifah-khalifah (al-khulafâ’), para penakluk (al-ghâlibîn) dan
para penguasanya (al-mâlikîn).90
Kekuasaan seperti apa jelasnya? Allah gambarkan dengan mengumpamakannya seperti kekuasaan
kaum sebelumnya {ين ِم ْن قَ ْبلِ ِه ْم ِ َّ } َكما استخَل, ini merupakan bentuk tasybîh (penyerupaan) yang menguatkan
َ ف الذ َ ْ َْ َ
keyakinan sekaligus menjadi khabar gaib mengenai kaum terdahulu (al-ummah al-sâbiqah) yang beriman
dan beramal shalih, yang ternyata pernah dianugerahi kekuasaan. Dalam hal ini, al-Hafizh al-Thabari
menafsirkan yakni Bani Isra’il.91 Qatadah r.a merinci yakni sebagaimana Nabi Dawud dan Sulaiman a.s. serta
para nabi yang memiliki kekuasaan.92
Kekuasaan yang dimaksud, mencakup kekuasaan politik, ini relevan dengan penjelasan para ulama
memperkuat dalil-dalil khabar lainnya, yang menukil dalil ini sebagai salah satu khabar akan kembalinya era
kekuasaan kaum Muslim, kekhilafahan Islam yang membentang dari Timur hingga Barat. Salah satunya
dalam hadits Rasulullah ﷺ:
ِ ِ ِ ِ ِ ِ
ُ َوأ ُْعط،ي ِل مْن َها
:يت الْ َكْن َزيْ ِن َ َوإ َّن أ َُّم َِت َسيَ ْب لُ ُغ ُملْ ُك َها َما ُزِو،ت َم َشارقَ َها َوَمغَارَهبَا
ُ ْ فَ َرأَي،ض
َ ل ْاْل َْر ِ
َ «إ َّن هللاَ َزَوى
»ََحََر َو ْاْلَبْيَض
ْ ْاْل
“Sesungguhnya Allah SWT telah mengumpulkan (dan menyerahkan) bumi kepadaku sehingga aku bisa
menyaksikan timur dan baratnya. Sesungguhnya kekuasaan umatku akan mencapai apa yang telah
85 Dhiya’uddin bin al-Atsir al-Katib, Al-Mitsl al-Sâ’ir fî Adab al-Kâtib wa al-Syâ’ir, juz II, hlm. 193.
86 Ibid, hlm. 195.
87 Ahmad bin Muhammad al-Tsa’labi, Al-Kasyf wa al-Bayân ‘an Tafsîr al-Qur’ân, jilid VII, hlm. 114.
88 Muhammad bin Jarîr Abu Ja’far al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, juz XIX, hlm. 208.
89 Muhammad Jamaluddin Ibn Manzhur al-Anshari, Lisân al-‘Arab, Beirut: Dâr Shâdir, cet. III, 1414 H, juz V, hlm. 197.
90 Fakhruddin al-Razi, Mafâtîh al-Ghaib (al-Tafsîr al-Kabîr), juz ke-24, hlm. 412.
91 Abu Ja’far al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, juz XIX, hlm. 208.
92 Abu al-Muzhaffar al-Sam’ani, Tafsîr al-Qur’ân, juz III, hlm. 544; Fakhruddin al-Razi, Mafâtîh al-Ghaib (al-Tafsîr al-Kabîr), juz
Imam al-Khaththabi (w. 388 H) menguraikan bahwa makna kalimat zawâlî al-ardha, yakni
menguasainya dan menyatukannya. Dimana beliau pun meluruskan asumsi keliru sebagian orang yang
memahami frasa minhâ (darinya) dalam hadits di atas, maknanya bukan bermakna sebagian dari kekuasaan
diraih Rasulullah ﷺtersebut (al-tab’îdh), melainkan keseluruhan darinya, dari Timur hingga Barat, namun
diraih dan ditaklukkan secara bertahap, juz[an] juz[an], hingga menguasai seluruhnya.93 Mencakup dua
pembendaharaan bumi yakni al-ahmar yakni emas, dan al-abyadh yakni perak.94
Menjelaskan hadits ini, al-Hafizh al-Nawawi (w. 676 H) menjelaskan bahwa di dalam hadits ini
terdapat isyarat bahwa kekuasaan umat ini akan membentang (membesar) sebagian besarnya dari arah
Timur dan Barat, inilah yang telah terjadi. Adapun dari arah Selatan dan Utara maka itu lebih kecil jika
dibandingkan dengan arah Timur dan Barat.95
Informasi agung dan kabar gembira dalam hadits di atas pun, diawali dengan penegasan (taukîd)
kata inna ( )إِ َّنyang berfaidah menafikan adanya keraguan atas kebenaran hal yang diinformasikan. Hadits
di atas, diperjelas oleh hadits bisyârah akan kembali tegaknya Khilafah di atas manhaj kenabian:
93 Abu Sulaiman al-Khaththabi, Ma’alim al-Sunan: Syarh Sunan Abi Dâwud, juz IV, hlm. 339.
94 Ibid. lihat pula: al-Hafizh al-Nawawi, Al-Minhâj Syarh Shahîh Muslim, juz ke-18, hlm. 13.
95 Al-Hafizh al-Nawawi, Al-Minhâj Syarh Shahîh Muslim, juz ke-18, hlm. 13.
96 Al-Husain bin Mahmud al-Zaidani al-Muzhhiri, Al-Mafâtîh fî Syarh al-Mashâbîh, Kuwait: Dâr al-Nawâdir, cet. I, 1433 H, juz VI,
hlm. 9, lihat pula: al-Hafizh al-Nawawi, Al-Minhâj Syarh Shahîh Muslim, juz ke-18, hlm. 13.
97 Ahmad bin Muhammad al-Tsa’labi, Al-Kasyf wa al-Bayân ‘an Tafsîr al-Qur’ân, jilid VII, hlm. 114; Muhammad bin Jarîr Abu
Ja’far al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, juz XIX, hlm. 208.
98 Ahmad bin Muhammad al-Tsa’labi, Al-Kasyf wa al-Bayân ‘an Tafsîr al-Qur’ân, jilid VII, hlm. 114.
99 Abu Ja’far al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, juz XIX, hlm. 208.
100 Ibid.
4. Balaghah QS. Al-Shaff [61]: 10 (Keagungan Berniaga dengan Allah, Berinfak Fi SabiliLlah)
Di antara keagungan balaghah al-Qur’an, ditunjukkan oleh diksi al-tijârah, yakni perniagaan, dimana
perniagaan tersebut dinisbatkan secara majazi (kiasan) kepada Allah. Dalam perinciannya, istilah al-tijarah
itu sendiri digunakan al-Qur'an baik dengan makna hakiki maupun majazi: istilah dengan makna hakiki
misalnya dalam QS. Al-Taubah [9]: 24, sedangkan dengan makna majazi misalnya QS. Fâthir [35]: 29 dan QS.
Al-Shaff [61]: 10. Allah berfirman:
َ ُار ًة لَ ْن َتب َ ُ ْ َ ً َ َ َ َ ًّ ْ ُ َ ْ َ َ َّ
َ َِِ ون ُ َ ْ َ َ َ َّ ُ َاّلِل َوأَق
َّ َ َ َ ُ ْ َ َ َّ َّ
ور الصالة َوأنفقوا ِمما رزبناهم ِِسا وعال ِنية يرج اموا ِ اَّلين يتلون ِكتاب
ِ ِإن
}٢٩{
“Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan shalat dan
menafkahkan sebagian dari rizki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan
terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi.” (QS. Fâthir [35]: 29)
Dalam ayat yang agung ini, Allah memilih diksi kata tijârah (perniagaan), ia merupakan bentuk
isti’ârah. Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili (w. 1436 H) dalam kitab tafsirnya, al-Munir (juz ke-22, hlm. 258),
menjelaskan balaghah ayat ini:
لَ ْن تَبُ َور: وأيدها بقوله، وشبهها ِبلتجارة الدنيوية، استعار التجارة للمعاملة مع هللا لنيل ثوابه،يَ ْر ُجو َن ِجت َارًة لَ ْن تَبُ َور استعارة
Kalimat ( )يَ ْر ُجو َن ِجت َارًة لَ ْن تَبُ َورmerupakan bentuk isti’ârah, yakni meminjam istilah al-tijârah (perniagaan)
terhadap bentuk mu’amalah (interaksi) dengan Allah untuk meraih pahala dari-Nya, Allah
menyerupakan mu’amalah ini dengan istilah al-tijârah al-dunyawiyyah (perniagaan duniawi), dan
menguatkannya dengan kalimat firman-Nya: lan tabûr[a] ()لَ ْن تَبُ َور.
Kalimat lan tabûr[a] ()لَ ْن تَبُ َور, menurut Prof. Wahbah al-Zuhaili pun merupakan sifat (karakter) dari
kata tijârah yang disebutkan dalam ayat ini ( ولَ ْن تَبُ َور صفة للتجارة.)يَ ْر ُجو َن ِجت َارًة خرب إن, yakni perniagaan yang tidak akan
pernah merugi. Huruf lan itu pun berkonotasi menguatkan bentuk penafian, sebagaimana disebutkan
Syaikh Mushthafa al-Ghalayayni dalam Jâmi’ al-Durûs al-‘Arabiyyah. Ungkapan tijârah (perniagaan) dengan
konotasi majâzi pun kita temukan dalam ayat lainnya:
َ َ َ ْ ْ ُ ْ ُ َ َ َٰ َ َ ْ ُ ُّ ُ َ ْ َ ُ َ َ َّ َ ُّ َ َ
}١٠{ اب أ َِل ٍم
ٍ اَّلين آمنوا هل أدلكم ىلع ِِار ٍة تن ِجيكم ِمن عذِ يا أيها
“Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat
menyelamatkanmu dari azab yang pedih?” (QS. Al-Shaff [61]: 10)
Dalam ayat yang mulia ini, Allah SWT menyeru orang-orang beriman, seruan mulia dari Rabb Yang
Maha Mulia, seruan mengandung pelajaran yang diungkapkan dalam bentuk pertanyaan untuk menarik
perhatian dan dorongan untuk berpikir, Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili (w. 1436 H) menjelaskan bahwa bentuk
pertanyaan ini dalam ilmu balaghah merupakan bentuk istifhâm li al-targhîb wa al-tasywîq {}استفهام للرتغيب والتشويق
َُْ ُ ْ َ َّ
Allah jelaskan kemudian pada ayat selanjutnya:
ْ ُ ْ ُ َ ٌ ْ َ ْ ُ َٰ َ ُ َ ُ َُ َ َّ َ ُ ْ ُ
ْي لك ْم ِإن كنتُ ْماّلِل ِبأم َوا ِلك ْم َوأنف ِسك ْم ۚ ذ ِلكم خ
ِ يل ِ ب
ِ
َ ون ِف
س ِ د ه
ِ ا ِو وهل
ِ ِ
ُ اّلِل َو َر
س ِ تؤ ِمنون ِب
َ ََْ
}١١{ تعل ُمون
“(yaitu) kamu beriman kepada Allah dan RasulNya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan
jiwamu. Itulah yang lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (QS. Al-Shaff [61]: 11)
Dalam ilmu balaghah, bentuk pertanyaan lalu jawaban ini termasuk bentuk al-ithnâb, bentuk al-
îdhâh ba’da al-ibhâm {}ا ِإليضاح بعد اإلهبام, yakni kejelasan setelah sebelumnya samar, sebagai metode pengajaran
luar biasa yang menuntun hamba-Nya untuk memperhatikan dan berpikir. Kalimat tunjîkum min ’adzab[in]
’alîm[ (اب أَلِ ٍيم
ٍ )تُْن ِجي ُكم ِمن َع َذ, merupakan sifat dari kata tijârah yang dimaksud dalam ayat, sesuai kaidah bahasa
ْ ْ
arab:
Kata ’alîm adalah sifat dari adzab tersebut, ia merupakan bentuk mubâlaghah (superlatif) untuk
menunjukkan adzab yang sangat pedih, mengandung penguatan luar biasa, Allâh al-Musta’ân. Dimana
perniagaan yang menyelamatkan dari adzab yang sangat pedih ini, bisa diraih dengan dua hal (QS. Al-Shaff
[61]: 11):
Pertama, Beriman kepada Allah dan Rasul-Nya: syarat ini menunjukkan sisi keimanan.
Kedua, Berjihad di jalan Allah dengan harta benda dan jiwanya: syarat ini menunjukkan sisi amal perbuatan.
Kedua syarat di atas menunjukkan konsepsi penyatuan antara iman dan amal shalih, atau dengan
kata lain: antara akidah dan syari’ah, keduanya tak bisa dipisahkan. Luar biasanya, pada akhir ayat Allah Azza
wa Jalla memuji perniagaan tersebut sebagai pilihan yang lebih baik bagi mereka yang mengetahui, sesuai
firman-Nya ”” َٰذَلِ ُك ْم َخ ْري لَ ُك ْم إِ ْن ُكْن تُ ْم تَ ْعلَ ُمو َن, berniaga dengan Allah ’Azza wa Jalla dengan iman dan amal shalih,
termasuk pula aktivitas dakwah, menyuruh kepada yang ma’ruf dan melarang dari yang mungkar, yang
dilakukan semata-mata mengharapkan keridhaan-Nya, meniti jalan Rasul-Nya ﷺ.
102 Abdul Aziz Atiq, ‘Ilm al-Ma’ani, Beirut: Dar al-Nahdhah al-Arabiyyah, cet. I, 1430 H, hlm. 106.
103 Tim Pakar Universitas Islam Madinah, Al-Balaghah II: Al-Ma’ani, Madinah: Universitas Islam Madinah, t.t., hlm. 391.
104 Ibid.
Ayat yang agung ini mengandung bentuk uslub balaghi yang sangat cantik untuk menggambarkan
keagungan kalimat tauhid, diawali dengan ungkapan bertanya tapi maksudnya untuk menunjukkan perkara
yang membuat takjub (istifham li al-ta'jib), diikuti dengan bentuk majazi (kiasan) yang cantik berupa tasybih
mursal (bentuk penyerupaan) di balik ungkapan kalimat:
الس َم ِاء
َّ َصلُ َها َاثبِت َوفَ ْر ُع َها ِِف
ْأ
"Akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit"
Perumpamaan di atas, sudah cukup berkesan dalam benak menggambarkan betapa agungnya
kedudukan kalimat tauhid dan konsekuensinya, sehingga digambarkan bagaikan sesuatu yang berbuah
membuahkan banyak kebaikan dalam ayat setelahnya:
َ َّ َ َ َّ َ َّ َ َ ْ َ ْ ُ َّ ُ ْ َ َ َّ ُ َ َ ُ ُ ْ ُ
َ ُك حني بإ ْذن َر ِّب
}٢٥{ اس ل َعل ُه ْم يتَذك ُرون
ِ ْضب اّلِل اْلمثال لِلن
ِ ي و ۚ اه ِ ِِ ٍ ِ تؤ ِِت أكلها
"Pohon itu berbuah pada setiap musim dengan seizin Rabb-nya. Allah membuat perumpamaan-
perumpamaan itu agar manusia senantiasa ingat." (QS. Ibrahim [14]: 25)
Tak hanya itu, ayat agung di atas pun dipercantik dengan ungkapan seni kata berkebalikan, dalam
ilmu al-badi' dikenal dengan istilah al-thibaq, yakni kebalikan di antara dua kata: " "أصلdan ""فرع, pada kalimat:
الس َم ِاء
َّ َصلُ َها َاثبِت َوفَ ْر ُع َها ِِف
ْأ
"Akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit"
Itu semua berfungsi memudahkan manusia memahami pesan mendalam dalam ayat ini, dari
perkara yang tadinya maknawi, menjadi sesuatu yang terindera (mahsusah), tergambar bagaikan pohon
yang tumbuh baik, kuat akarnya, menjulang tinggi batangnya, juga rindang daun dan buahnya. Agar
manusia meraih hikmah darinya, yakni agar senantiasa ingat, berdzikir kepada Allah, ditandai huruf "la'alla"
pada kalimat:
Dalam persepektif ilmu balaghah (yakni ilmu al-ma'ani), ayat yang agung ini mengandung bentuk
qashr (pengkhususan), jenis qashr al-maushuf 'ala al-shifat, yakni pengkhususan pengutusan Rasulullah ﷺ
yang disifati dengan sifat rahmat[an] li al-'alamin. Ditandai dengan ungkapan berbentuk istitsna'iyyah
(bentuk kalimat pengecualian, adanya dua huruf إال- ما: yakni ma nafi' dan illa istitsna'). Kata al-rahmah
adalah mashdar dari kata kerja rahima105, dan ia berkedudukan sebagai tujuan pengutusannya (maf’ûl li
ajlihi) atau sebagai keterangan (hâl) bahwa Muhammad ﷺadalah al-rahmah106 yang menguatkan
kedudukan beliau ( ﷺmubâlaghah)107, dan dalam konteks penggunaan istilah ini Al-Raghib al-Ashfahani
menguraikan bahwa ia terkadang berkonotasi al-riqqah (kelembutan) atau berkonotasi al-ihsân
(kebajikan).108 Atau al-khayr (kebaikan) dan al-ni’mah (kenikmatan).109 Maka ia termasuk satu lafal yang
berserikat di dalamnya lebih dari satu makna (lafzh musytarak)110 yang pemaknaannya ditentukan indikasi
lainnya.111 Memahami makna ayat di atas, diperjelas firman-Nya:
َ ً ْ َّ ُ َ ْ َ ْ َ َ ْ ُ ْ َ ُ ْ َ َ ْ ُ َ َ
}٨٦{ اب ِإال َرَحَة ِم ْن َر ِّبك كت َٰ وما كنت ترجو أن يل
ِ َق ِإَلك ال
”Dan tidaklah engkau mengharap Al-Qur’an diturunkan kepadamu, melainkan sebagai rahmat dari
Tuhanmu.” (QS. Al-Qashash [28]: 86)
ْ ْ ْ َٰ ْ ِّ َ ْ ُّ َ َ َّ َ ْ ُ َ ْ َ ُ َٰ ْ َ ْ َ ٌ َٰ
ْ ُّالظلُ َٰمت ا ََل اْل
اط ال َع ِزيْ ِز احل َ ِمي ِد َ
َص َل ا مه ب
ِ ِ ِ ِ ِ ِِ ِ ر ن ذا ب ۚ رو ِ ِ َٰ
الر ۚ ِكتب انزْله ِاَلك ِلـتخ ِرج اْلاس ِمن
}١{
"Alif Lam Ra. (Ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu (Muhammad) agar engkau
mengeluarkan manusia dari kegelapan kepada cahaya terang-benderang dengan izin Rabb mereka,
(yaitu) menuju jalan Tuhan Yang Maha Perkasa, Maha Terpuji." (QS. Ibrahim [14]: 1)
Lihat pula QS. Al-’Ankabût [29]: 51, dimana seluruhnya memperjelas bahwa Allah tidak mengutus
Muhammad ﷺkecuali sebagai rahmat bagi ciptaan-Nya dengan apa-apa yang terkandung dalam al-Qur’an
al-Karim ini. Yakni kebaikan yang terkandung dalam ajaran-ajaran-Nya. Para ulama mu’tabar pun
menjelaskan rahmat dalam ayat tersebut berkaitan dengan penerapan syari’at Islam kâffah dalam
105 Abu Manshur Muhammad bin Ahmad, Tahdzîb al-Lughah, Beirut; Dâr Ihyâ’ al-Turâts al-‘Arabiy, Cet.I, 2001, juz V, hlm. 34.
106 Abu al-Baqa’ al-‘Akbari, Al-Tibyân fî I’râb al-Qur’ân, Syirkatu ‘Isa al-Halb, juz II, hlm. 929.
107 Abul ‘Abbas Syihabuddin al-Halabi, Al-Durr al-Mashûn fî ‘Ulûm al-Kitâb al-Maknûn, Damaskus: Dâr al-Qalam, juz VIII, hlm.
214.
108Al-Râghib al-Ashfahani, Al-Mufradât fî Gharîb al-Qur’ân, Maktabah Nazâr Mushthafa al-Bâz, juz I, hlm. 253-254.
109Lihat QS. Yûnus [10]: 21; Ibrahim Mushthafa, dkk, Al-Mu’jam al-Wasîth, Dâr al-Da’wah, juz I, hlm. 335.
110 ‘Abdul Halim Muhammad Qunabis, Mu’jam al-Alfâzh al-Musytarakah fî al-Lughah al-‘Arabiyyah, Beirut: Maktabah Lubnân,
ِإال رَحة للعاملني أي ِإال ْلجل رَحتنا للعاملني قاطبة ِف الدين والدنيا،وما أرسلناك اي أشرف اخللق ِبلشرائع
Dan tidaklah Kami mengutus engkau wahai sebaik-baiknya makhluk dengan membawa ajaran-
ajaran syari’at-Nya, kecuali sebagai rahmat bagi semesta alam, yakni untuk menjadi rahmat Kami
bagi alam semesta seluruhnya bagi agama ini dan kehidupan dunia.[9]
Kata kerja ”arsalnâ” (Kami mengutus engkau (Muhammad )ﷺ, menunjukkan bahwa sifat rahmat
dalam ayat ini berkaitan erat dengan risalah Islam yang diemban oleh Rasulullah ﷺ, mencakup akidah dan
syari'at Islam. Poin ini meniscayakan pemahaman baku bahwa kerahmatan bagi alam semesta terwujud
dengan menegakkan apa yang diemban oleh Rasulullah ﷺ, yakni akidah dan syari'at Islam dalam kehidupan.
Kata "rahmat[an]" diungkapkan dalam bentuk kata benda nakirah (tanpa alif lam) yang berfaidah ta'mim
(mubham) yakni umum dengan cakupan yang luas, di dunia dan akhirat dengan segala bentuk kebaikan
hakiki dalam pandangan Allah 'Azza wa Jalla (lihat: QS. Al-Baqarah [2]: 216). Hal ini sejalan dengan informasi
bahwa Allah menjanjikan turunnya keberkahan dari langit dan bumi, ketika tegaknya Din Islam dalam
kehidupan diwujudkan oleh penduduk negeri yang beriman dan bertakwa:
ُ َ ْ َ َ َ َّ َ َٰ َ َْْ َ َ ْ ْ َ َ َ ْ َ َ َ ْ َ َّ ُ َ َٰ َ ُ ْ َ ْ َ َّ َ ْ َ َ
ك ْن كذبُوا فأخذناه ْم ِب َما َ َّ َ
ِ ى آمنوا َواتقوا لفتحنا علي ِهم ب َرَك ٍت ِمن السما ِء َواْلر ِض َول ولو أن أهل القر
َ ْ ُ َ
}٩٦{ َكنوا يَك ِسبُون
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan
kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka
Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS. Al-A’râf [7]: 96)
Menariknya kata "barakat" dalam ayat di atas pun diungkapkan dalam bentuk nakirah (tanpa alif
ٍ )"ب رَكdalam bentuk kalimat jamak (banyak). Itu semua semakin mendorong kita untuk kembali
lam: "ات ََ
kepada Din Islam, Islam sebagai ideologi kehidupan sebagai tuntutan akidah Islam, dan hidup dalam
naungan sistem Islam, al-Khilafah yang menjadi institusi penegak syari'at Islam kaffah dalam kehidupan,
termasuk hudud yang telah Allah tetapkan dalam nas-nas syar'iyyah. Hingga digambarkan dalam hadits
yang diriwayatkan Imam Abu Dawud:
ِ ِ ِ
»احا
ً َصب َ ب إِ َىل أ َْهل َها م ْن أَ ْن ميُْطَُروا أ َْربَع
َ ني ِ َح
َضأِ ام ِِف ْاْل َْر
ُ « َحلَ ٌّد يُ َق
”Sungguh satu sanksi had yang ditegakkan di bumi lebih disukai bagi penduduk bumi daripada
diturunkannya hujan kepada mereka selama 40 hari.”
Karena jika hudud ditegakkan, maka menjadikan seseorang atau kebanyakan manusia berhenti dari
melakukan keharaman, dan apabila maksiat dilakukan, maka hal itu menjadi sebab hilangnya keberkahan
dari langit dan bumi.112 Dipertegas kaidah syar’iyyah:
112 Abu al-Fida’ Isma’il Ibn Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-’Azhîm, Dâr al-Thayyibah, cet. II, 1420 H, juz VI, hlm. 320.
Belajar Mudah Ilmu Balaghah
Irfan Abu Naveed | 33
7. Balaghah QS. Al-Baqarah [2]: 179 (Keagungan Syari’at Qishash)
Ayat al-Qur'an yang agung ini, salah satu ayat yang ringkas namun penuh makna:
َ ُ َّ َ ُ َّ َ َ ْ َ ْ ُ َ ٌ ََ َ ك ْم ِف الْق
ُ ََ
}١٧٩{ اب ل َعلك ْم تتقون
ِ ْلاْل وِل
ِ أ اي اة ي ح اص
ِ ص ِ ِ ول
“Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal,
supaya kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah [2]: 179)
Dalam ilmu balaghah, ia termasuk al-îjâz bi al-qashr. Ini sebagaimana ditegaskan oleh ulama ahli
bahasa, Imam Abu Hilal al-‘Askari (w. 395 H)113, dan disebutkan pula oleh Imam al-Tsa’alabi (w. 429 H) dalam
kitabnya, Al-I’jâz wa al-Îjâz.114 Yang dimaksud dengan al-îjâz ()اإلِجاز, sebagaimana disebutkan dalam salah satu
referensi ilmu balaghah yaitu:
هو ُجع املعاّن املتكاثرة حتت اللفظ القليل الواِف ِبلغرض مع اإلِبنة واإلفصاح
“Bentuk ungkapan yang mengumpulkan makna-makna yang berlimpah di bawah lafazh yang
ringkas, padat dengan suatu maksud disertai kejelasan dan ungkapan yang fasih.”
Seorang ahli sastra, Amru bin Bahr Al-Jahizh (w. 255 H) pun menukil ayat di atas, lalu
menguatkannya dengan menukil perkataan sebagian hukama yang menuturkan:
Yakni menghukum mati orang yang semestinya dihukum dengan sanksi tersebut dalam pandangan
syari’at. Dan ia, menurut Imam Abu Hilal al-Askari, sesuai dengan perkataan arab:
Namun ungkapan ayat agung di atas jauh lebih indah, agung daripada perkataan orang arab ini, hal
itu tergambar dalam ungkapan Imam Abu Hilal117, dimana ia menegaskan bahwa ungkapan ayat al-Qur’an
di atas lebih kuat faidahnya, menunjukkan perhatian pada aspek keadilan dengan penyebutan ungkapan al-
qishâsh, menunjukkan maksud yang disukai dalam ungkapan al-hayât. Di sisi lain, ayat di atas lebih singkat
hurufnya namun lebih kuat dan mendalam maknanya dan lebih indah ungkapannya.
Seluruh ayat di atas, adalah sebagian kecil dari contoh keluasan dan keunggulan balaghah al-Qur’an,
yang menarik untuk senantiasa dikaji, dan terus dikaji sepanjang hayat, untuk mengokohkan keimanan, dan
menguatkan motivasi pengamalannya.
113 Abu Hilal al-Hasan bin Abdullah al-Askari, Al-Shinâ’atayn, Ed: Ali Mahmud dkk, Beirut: al-Maktabah al-‘Unshuriyyah, 1419 H,
hlm. 175.
114Abdul Malik bin Muhammad Abu Manshur al-Tsa’alabi, Al-I’jâz wa al-Îjâz, Kairo: Maktabat al-Qur’ân, hlm. 17.
115Amru bin Bahr al-Kannani al-Jahizh, Al-Bayân wa al-Tabyiin, Beirut: Dâr wa Maktabat al-Hilâl, 1423 H, juz II, hlm. 216. Sya’ir
ini pun dinukil al-Jahizh dalam sejumlah kitabnya, al-Hayawân dan al-Rasâ’il al-Siyâsiyyah.
116 Abu Hilal al-Hasan bin Abdullah al-Askari, Al-Shinâ’atayn, hlm. 175.
117 Ibid.
Informasi dalam hadits ini, dipertegas dengan dua penegasan (tawkîd): lafal inna yang bersambung
dengan ya dhamir dalam kalimat (inni) “sesungguhnya aku”, dan qad di depan kata kerja lampau (al-fi’l al-
madhi) pada frasa qad taraktu “benar-benar telah aku tinggalkan bagi kalian”.
Dalam ilmu al-ma’âni, khabar seperti ini dinamakan al-khabar al-inkâri,119 atau meminjam istilah Prof.
Dr. Wahbah al-Zuhaili (w. 1436 H), yakni al-ta’kîd al-inkâri. Kedua penegasan ini mempertegas kebenaran
informasi dalam hadits, sekaligus berfaidah menafikan adanya pengingkaran terlebih keraguan terhadap
informasi, bahwa Rasulullah ﷺbenar-benar mewasiatkan kepada umatnya untuk berpegang teguh
terhadap al-Qur’an dan al-Sunnah.
Dalam perincian kajian ilmu al-ma’âni, adanya penegasan-penegasan dalam suatu khabar
menunjukkan adanya manusia yang mengingkari dan meragukan kebenaran khabar tersebut, dalam hadits
ini yakni khabar dari Rasulullah ﷺ, sehingga relevan ketika Rasulullah ﷺmenyampaikan informasinya
dengan penegasan-penegasan, sehingga berfaidah menafikan adanya pengingkaran, apalagi keraguan,
bahwa beliau ﷺtelah mengajarkan al-Qur’an dan sunnahnya kepada umatnya.
b. Penambahan Kalimat Abad[an] (Al-Ithnâb) yang Menegaskan Keselamatan dari Kesesatan (Ilm al-
Ma’ani)
Istimewanya, hadits yang agung ini diungkapkan Rasulullah ﷺdalam bentuk kalimat syarat (jumlah
syarthiyyah), dimana syarat harus senantiasa melekat dan mengiringi apa yang menjadi objek (jawab)
syarat120, sebagaimana diuraikan ulama pakar bahasa, Imam Abu Hilal al-Askari (w. 395 H).
Ungkapan dalam hadits ini menggunakan bentuk syarat, ada kata in syarthiyyah dan fa sebagai
ِ َ"إِ ِن ْاعتَصمتُم بِِه فَ لَن ت, hal ini menunjukkan bahwa hadits yang
jawabnya (jawâb al-syarth) dalam kalimat "ضلُّوا أَبَ ًدا ْ ْ َْ
agung ini, mengandung kaidah agung dari Rasulullah ﷺ, syarat agar tidak tersesat selama-lamanya, adalah
dengan berpegang teguh terhadap al-Qur’an dan al-Sunnah.
Sehingga bisa dipahami bahwa hadits ini, meskipun berbentuk khabar namun mengandung pesan
penting untuk berpegang teguh terhadap al-Qur’an dan al-Sunnah, dengan ganjaran tidak akan tersesat
118 HR. Al-Hakim dalam al-Mustadrak (I/171, hadits no. 318) sanadnya shahih dan disetujui oleh al-Hafizh al-Dzahabi, Al-Baihaqi
1425 H, hlm. 38-39; Muhammad ’Ali al-Sarraj, Al-Lubâb fî Qawâ’id al-Lughah al-’Arabiyyah wa Âlât al-Adab al-Nahw wa al-Sharf wa al-
Balâghah wa al-‘Arûdh wa al-Lughah wa al-Mitsl, Damaskus: Dâr al-Fikr, cet. I, 1403 H, hlm. 161.
120 Abu Hilal al-Hasan bin Abdullah al-‘Askari, Mu’jam al-Furûq al-Lughawiyyah, Mu’assasat al-Nasyr al-Islâmi, cet. I, 1424 H,
hlm. 271.
Belajar Mudah Ilmu Balaghah
Irfan Abu Naveed | 35
ِ َ)فَ َلن ت, istimewanya penafian tersebut diungkapkan dengan menggunakan diksi huruf
selama-lamanya (ضلُّوا أَبَ ًدا ْ
lan, yang bermakna selama-lamanya (li ta’biid) dipertegas dengan kata abad[an] (abadi).
Bahkan sebenarnya faidah dari kata lan ini lebih kuat maknanya daripada kata lâ dalam menafikan
sesuatu, hal itu sebagaimana penjelasan para ulama pakar bahasa. Imam Al-Khalil bin Ahmad al-Farahidi (w.
170 H) dalam Kitâb al-’Ain menyatakan:
Penjelasan ini pun dinukil oleh Imam al-Azhari dalam Tahdzîb al-Lughah.125 Kata abad[an] dalam
hadits ini mempertegas makna dari keberadaan kata lan yang menegaskan selama-lamanya tidak akan
tersesat (li ta’bîd). Dalam ilmu balaghah ia termasuk bentuk al-ithnâb dengan pola al-tikrâr fî al-ma’nâ dûna
al-lafzh (pengulangan makna tanpa pengulangan lafal). Al-Ithnâb sebagaimana disebutkan dalam al-
Balâghah al-Wâdhihah yakni:
ٍ
لفائدة عَن ِ
َ َايدةُ الل ْفظ َعلَى امل
َ اإلطناب ز
ُ
"Al-Ithnâb yaitu penambahan lafazh atas makna untuk faidah tertentu.”126
Dimana penambahan tersebut jika tak ada faidahnya maka tidak diperlukan. Kata lan berfaidah
menafikan selama-lamanya, dan kata abad[an] pun bermakna abadi atau selama-lamanya, sehingga
sebenarnya semakna, sehingga bentuk ini berfaidah menegaskan dan menekankan informasi dalam hadits
ini. Maka dari itu, tidak alasan bagi kita untuk mengabaikan pesan agung ini, dengan berpegang teguh
terhadap al-Qur’an dan al-Sunnah, jauh dari gelapnya kesesatan.
Dalam redaksi lainnya, Rasulullah ﷺbersabda: “Amma ba’du. Ketahuilah wahai saudara-saudara
sekalian bahwa aku adalah manusia seperti kalian. Sebentar lagi utusan Rabb-ku (yaitu malaikat pencabut
nyawa) akan datang lalu dia diperkenankan. Aku akan meninggalkan kepada kalian al-tsaqalain (dua hal yang
berat):
121 Abu Nashr Isma’il bin Hamad al-Jauhari al-Farabi, Al-Shihaah Taaj al-Lughah wa Shihaah al-’Arabiyyah, Ed: Ahmad ’Abdul
Ghafur, Beirut: Daar al-’Ilm li al-Malaayiin, cet. IV, 1407 H/1987, juz VI, hlm. 2197.
122 Ahmad bin Faris bin Zakariya al-Qazwaini al-Razi, Majmal al-Lughah, Ed: Zuhair ‘Abdul Muhsin, Beirut: Mu’assasat al-
Aziz bin Ali al-Harbi, Al-Balâghah al-Muyassarah, Beirut: Dâr Ibn Hazm, Cet. II, 1432 H/2011, hlm. 52.
Belajar Mudah Ilmu Balaghah
Irfan Abu Naveed | 36
»استَ ْم ِس ُكوا بِِه ِ ِ هللا فِ ِيه ا ْهل َدى والنُّور فَخ ُذوا بِ ِكت
ِ «أ ََّوُهلما كِتاب
ْ َو،اب هللاَ ُ ُ َ ُ ُ َ َُ
Pertama, Kitabullah yang padanya berisi petunjuk dan cahaya, karena itu ambillah ia (yaitu
melaksanakan kandungannya) dan berpegang teguhlah kalian kepadanya.”
Beliau ﷺmendorong pengamalan KitâbuLlâh dan kecintaan terhadapnya, lalu beliau ﷺbersabda:
“(Kedua), dan ahlul-baitku. Aku ingatkan kalian akan Allah terhadap ahlu-baitku’ –beliau mengucapkannya
sebanyak tiga kali–. (HR. Muslim, Al-Darimi, dll)127
Dalam hadits lainnya, terdapat penegasan penilaian bagi siapa saja yang menyalahi ajaran al-Qur’an:
ِ وأ،ك بِِه ِِ ِ ِ
»ض َّل ْ َوَم ْن أ، َكا َن َعلَى ا ْهلَُدى،َخ َذ بِه
َ ،َُخطَأَه ْ َم ِن،ُّور
َ َ َ استَ ْم َس ُ اب هللا فيه ا ْهلَُدى َوالن
ُ َ«كت
“Yaitu KitâbuLlâh, di dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya, siapa saja yang berpegang teguh
padanya dan mengambil pelajaran darinya maka ia berada di atas petunjuk (selamat), dan siapa saja
yang menyalahinya maka ia tersesat.” (HR. Muslim)128
Hadits-hadits di atas, jelas mengandung model pendekatan targhîb dari Rasulullah ﷺuntuk
mengamalkan ajaran al-Qur’an dan mencintainya, dan menetapkan penilaian standar kebaikan. Pesan
pendidikan berupa contoh dan standar penilaian baik dan buruk dan contoh sikap tegas meneguhkan pola
pikir bahwa kebaikan ada pada al-Qur’an dan al-Sunnah, bukan yang bertentangan dengan keduanya; dan
meluruskan pola pikir yang benar bahwa siapa saja yang menyalahi al-Qur’an (dan al-Sunnah) maka jelas ia
berada dalam kesesatan.
Meluruskan pola pikir dan pemahaman terhadap sesuatu sangat penting dalam Islam, karena pola
pikir dan pemahaman tersebut bisa menentukan perbuatan. Dan perbuatan yang benar lahir dari
pemahaman yang lurus dan pola pikir yang benar. Allah ’Azza wa Jalla tidak membiarkan manusia hidup
tanpa tuntunan, dimana akal manusia terbatas dan terkadang terpengaruh hawa nafsunya dalam mencintai
atau membenci sesuatu, hal itu sebagaimana diisyaratkan Allah SWT dalam firman-Nya:
َ َ ْ َ َ ْ َ َ ْ َ ُ َّ َ ْ ُ َ ٌّ َ َ ُ َ ً ْ َ ُّ ُ ْ َ َٰ َ َ َ
}٢١٦{ اّلِل يعل ُم َوأنتُ ْم ال تعل ُمونُتبوا شيئا وهو رش لكم ۚ و
ِ وعَس أن
“Bisa jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan bisa jadi (pula) kamu menyukai
sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-
Baqarah [2]: 216)
Ayat ini dan QS. Al-Anbiyâ’ [21]: 107 pun menjadi dalil kaidah syar’iyyah:
127HR. Muslim dalam Shahîh-nya (VII/122, hadits 6304); Al-Darimi dalam Sunan-nya (IV/2090, hadits 3359); Ibnu Abi Syaibah
dalam Musnad-nya (I/351, hadits 514); Al-Bazzar dalam Musnad-nya (X/240, hadits 4336)
128 HR. Muslim dalam Shahîh-nya, tambahan hadits Jarir r.a. (VII/123, hadits 6306)
129 Ahmad al-Mahmud, al-Da’watu Ilâ al-Islâm (I/255); Muhammad Isma’il, Al-Fikr al-Islâmi (I/48).
»ُيحة ِ ِ
َ ين النَّص
ُ «ال ِد
“Agama itu adalah nasihat”
» َو َع َامتِ ِه ْم،ني ِ ِ ِ ِ ِِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ
َْ َوِْلَئ َّمة املُ ْسلم، َولَر ُس ْوله، َولكتَابِه،« َِّلل
“Untuk Allah, kitab suci-Nya, Rasul-Nya, pemimpin kaum Muslim dan kaum Muslim pada umumnya.”
(HR. Muslim, Abu Dawud, Ahmad. Lafal Muslim)
Hadits yang mulia ini jika dikaji dari sudut pandang ilmu balaghah:
Dalam persepektif ilmu balaghah (ilmu ma’ani), secara keseluruhan kalimat hadits ini
menggambarkan bentuk al-ijaz bi al-qashr, ungkapan yang ringkas namun memuat fondasi-fondasi Islam,
mencakup akidah, syari’ah (termasuk di dalamnya akhlak).
b. Penyebutan Hal yang Umum Setelah Hal yang Khusus (Al-Ithnâb): Pentingnya Nasihat untuk
Penguasa (Ilm al-Ma’ani)
Hadits ini pun mengandung bentuk penambahan kata yang memiliki fungsi (faidah) tertentu,
dinamakan al-ithnâb132. Yakni dengan adanya penyebutan kata “ني ِِ ِ ِ ِ
َ ْ ( ”ْلَئ َّمة املُ ْسلمuntuk pemimpin-pemimpin
kaum Muslim) di depan kata “”و َع َامتِ ِه ْم
َ (kaum Muslim pada umumnya), dimana kata “kaum Muslim” adalah
lafal yang cakupannya umum (lafzhah jâmi’ah), mencakup pemimpin dan manusia secara umum. 133
Sedangkan “pemimpin kaum Muslim” merupakan kata khusus yang termasuk bagian dari kaum Muslim
pada umumnya, namun dalam hadits ini pemimpin disebutkan secara khusus sebelum kaum Muslim, ini
yang dinamakan al-ithnâb dengan pola dzikr al-‘âm ba’da al-khâsh (penyebutan kata yang umum (kaum
Muslim umumnya) setelah kata yang khusus (pemimpin kaum Muslim)), dalam istilah lain yakni dzikr al-
130 Mushthafa Shadiq al-Rafi’i, Târîkh Âdâb al-Arab, Dâr al-Kitâb al-Arabi, t.t., juz II, hlm. 222.
131 Al-Hafizh al-Nawawi, Al-Minhâj Syarh Shahîh Muslim, juz II, hlm. 37.
132 Mushthafa Amin dkk, Al-Balâghah al-Wâdhihah: al-Bayân wa al-Ma’ânî wa al-Badî’, Dâr al-Ma’ârif, 1999, hlm. 206; Dr. Abdul
Aziz bin Ali al-Harbi, Al-Balâghah al-Muyassarah, Beirut: Dâr Ibn Hazm, cet. II, 1432 H/2011, hlm. 52.
133 Abdul ‘Azhim Ibn Abi al-Ishba’ al-Baghdadi, Tahrîr al-Tahbîr fî Shinâ’at al-Syi’r wa al-Natsr wa Bayân I’jâz al-Qur’ân, UEA: Al-
Faidah dari pola ini adalah untuk mencakup keumuman kata dan memberikan perhatian kepada
kata yang khusus ()إلفادة العموم والشمول والعناية ِبخلاص136 atau berfaidah melengkapi makna yang dimaksud setelah
menyebutkan sesuatu yang harus disebutkan secara khusus ()ليفيد تتميم املعَن بعد ختصيص من ِجب ختصيصه ِبلذكر137. Artinya
hadits ini pun mengandung penekanan: pentingnya menasihati penguasa atau pemimpin kaum Muslim,
namun bukan sembarang nasihat, melainkan nasihat dengan landasan Din ini, sebagaimana permulaan
kalimat hadits ini, al-dîn al-nashîhah.
Redaksi hadits ini dalam riwayat Ahmad menggunakan kalimat “ُيحة ِ ِِ ( ”إِ َّنHR. Ahmad no.
َ ين النَّص
َ الد
16940), yakni menggunakan penegasan lafal inna, dan ditegaskan kembali dengan pengulangan sebanyak
tiga kali (HR. Ahmad no. no. 16945), dalam ilmu balaghah dinamakan al-khabar al-inkâri, yang berfaidah
menafikan adanya keraguan dan pengingkaran atas kebenaran informasi yang disampaikan, bahwa agama
(al-diin) itu adalah nasihat (al-nashiihah).
Lalu dikatakan: Apa itu wahai Rasulullah ?ﷺRasulullah ﷺpun menguraikannya, lalu menyebutkan
salah satunya:
»ُص ْح لَه
َ ْك فَان
َ ص َح ْ « َوإِذَا
َ استَ ْن
“Jika ia meminta nasihatmu, maka nasihatilah ia.” (HR. Muslim, al-Bukhari, Ahmad)138
Bentuk seperti ini banyak kita temukan dalam hadits-hadits nabawiyyah, menunjukkan salah satu
uslub pendidikan nabawi yang indah dan patut diteladani, khususnya oleh para pendidik generasi umat ini.
134 Ibid.
135 Taqiyuddin Abu Bakr bin Ali Ibn Hujjah al-Hamawi, Khizânat al-Adab wa Ghâyat al-Arab, Beirut: Dâr wa Maktabat al-Hilâl,
2004, juz II, hlm. 401.
136 Tim Pakar, Al-Balâghah wa al-Naqd, Riyâdh: Universitas Muhammad bin Su’ud, cet. II, 1425 H, hlm. 94.
137 Abdul ‘Azhim Ibn Abi al-Ishba’, Tahrîr al-Tahbîr fî Shinâ’at al-Syi’r wa al-Natsr wa Bayân I’jâz al-Qur’ân, hlm. 548.
138 HR. Muslim dalam Shahîh-nya (no. 2162); al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad (no. 991); Ahmad dalam Musnad-nya (no.
الر ُج ُل َر ٍاع َعلَى أ َْه ِل ِ اإل َمامُ الَّ ِذي َعلَى الن
َّ َّاس َر ٍاع َو ُه َو َم ْسئُول َع ْن َر ِعيَّتِ ِه َو ِْ َ«أََال ُكلُّ ُك ْم ر ٍاع وُكلُّ ُك ْم َمسئُول َع ْن ر ِعيَّتِ ِه ف
َ ْ َ َ
»ت َزْوِج َها َوَولَ ِد ِه َوِه َي َم ْسئُولَة َعْن ُه ْم
ِ اعية علَى أَ ْه ِل ب ي
َْ
ِ ِِ ِ
َ َ بَْيته َو ُه َو َم ْسئُول َع ْن َرعيَّته َوالْ َم ْرأَةُ َر
ِِ
“Ketahuilah setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas
pihak yang dipimpinnya, penguasa yang memimpin rakyat banyak dia akan dimintai
pertanggungjawaban atas rakyatnya, setiap kepala keluarga adalah pemimpin anggota keluarganya
dan dia dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya, dan isteri pemimpin terhadap keluarga
rumah suaminya dan juga anak-anaknya, dan dia akan dimintai pertanggungjawabannya terhadap
mereka.” (HR. Al-Bukhârî, Muslim)139
Pesan agung dalam hadits yang mulia ini, diawali dengan huruf tanbih, alâ, dalam ilmu balaghah
berfaidah menarik perhatian pendengar untuk menyimak perkataan sekaligus menegaskannya (taukid).
Diungkapkan dengan gaya pengungkapan majazi (kiasan), dalam bentuk al-isti’ârah, yang menyerupakan
pengurusan rakyat dengan penggembalaan.140
Imam al-Baghawi (w. 516 H) menjelaskan makna al-râ’i dalam hadits ini yakni pemelihara yang
dipercaya atas apa yang ada padanya, Nabi ﷺmemerintahkan mereka dengan menasihati apa-apa yang
menjadi tanggung jawabnya, dan memperingatkan mereka dari mengkhianatinya dengan
pemberitahuannya bahwa mereka adalah orang yang akan dimintai pertanggungjawaban atasnya. Maka al-
ri’âyah: adalah memelihara sesuatu dan baiknya pengurusan.
Imam al-Baghawi pun ketika menjelaskan hadits ini merinci tugas seorang pemimpin (khalifah)
dalam Sistem Politik Islam:
Dengan kata lain, hadits yang mulia ini menegaskan besarnya kedudukan khalifah, namun tak hanya
khalifah, hadits ini pun menegaskan besarnya kedudukan institusi keluarga; suami dan istri atas
keluarganya. Hal itu ditunjukkan oleh teori dalam ilmu manthiq, yang memahamkan bahwa lafal kullukum
ِْ al-rajul ()الر ُجل
( )كلكمadalah lafal kulli, sedangkan juz’i-nya adalah lafal al-imam ()اإل َم ُام, ُ َّ dan al-imra’at ()املَْرأَ ُة.
139 HR. Al-Bukhari dalam Shahih-nya (VI/2611, hadits 6719); Muslim dalam Shahih-nya (VI/7, hadits 4751); Abu Dawud dalam
Sunan-nya (III/91, hadits 2930); Ibn Hibban dalam Shahih-nya (X/342, hadits 4490).
140 Cantiknya ungkapan hadits ini dalam persepektif ilmu balaghah (yakni ilmu al-bayan), mengandung ungkapan majazi
(kiasan), jenis al-isti'arah (gaya pengungkapan dengan meminjam istilah (al-musta'ar minhu) untuk mewakili istilah lain (al-musta'ar lahu),
kata kuncinya pada kata راع, yang menyerupakan bentuk pengurusan dan pemeliharaan urusan rakyat dengan penggembalaan.
141 Abu Muhammad al-Husain bin Mas’ud al-Baghawi, Syarh al-Sunnah, juz X, hlm. 61.
Dengan kata lain, dalam persepektif ilmu manthiq dan balaghah, hadits yang mulia ini menunjukkan
bahwa Islam sangat memperhatikan besarnya kedudukan institusi negara dan keluarga dalam menjaga
masyarakat dari berbagai penyimpangan dari Islam.
Salah satu hadits yang mengandung taujih nabawi membuktikan kecintaan terhadap Rasulullah ﷺ,
adalah hadits dari Anas bin Malik r.a., Rasulullah ﷺbersabda:
»اجلَن َِّة
ْ َحبَِّين َكا َن َمعِي ِِف
َ َوَم ْن أ،َحبَِّين
َ َحيَا ُسن ََِّت فَ َق ْد أ
ْ « َم ْن أ
“Barangsiapa yang menghidupkan sunnahku, maka sungguh ia telah mencintaiku, dan siapa saja yang
mencintaiku, maka ia bersamaku menjadi penghuni surga.” (HR. Al-Tirmidzi, al-Marwazi, al-Thabrani,
al-Lalika’i, Ibn Baththah dan Ibn Syahin)142
Hadits yang agung ini, mengandung informasi berharga bagi mereka yang mengaku mencintai
Sayyid al-Mursalîn Muhammad al-Mushthafa ﷺ, mengingat hadits yang agung ini mengandung petunjuk dari
beliau ﷺ, berkaitan dengan cara membuktikan kecintaan tersebut, berikut ganjaran dari Allah bagi siapa
saja yang benar-benar membuktikan cintanya.
Istimewanya, hadits yang agung di atas diungkapkan Rasulullah ﷺdalam bentuk kalimat syarat
(jumlah syarthiyyah), dimana syarat harus senantiasa melekat dan mengiringi apa yang menjadi objek
(jawab) syaratnya (sebagaimana telah diuraikan pada bahasan hadits pertama), mencakup syarat
mencintainya, dan syarat meraih jannah-Nya.
142 َ َ ْ َ َّ ُّ َْ َ َ َ ُ َ
HR. Al-Tirmidzi dalam Sunan-nya (no. 2678, bab البدع
ِ اب
ِ )باب ما جاء ِف األخ ِذ ِبالسن ِة واج ِتن, ia berkata: “Hadits ini hasan gharib dari
jalur ini.”; Abu Abdillah al-Marwazi dalam Ta’zhîm Qadr al-Shalât (no. 714); Al-Thabrani dalam Al-Mu’jam al-Awsath (no. 9439); Al-Lalika’i
dalam Syarh Ushûl I’tiqâd Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ’ah (no. 8); Ibn Baththah dalam al-Ibânah al-Kubrâ (no. 51); Ibn Syahin dalam Al-
Targhîb fi Fadha’il al-A’mal (no. 527).
143 Ubaidullah al-Rahmani al-Mubarakfuri, Mir’ât al-Mafâtîh Syarh Misykât al-Mashâbîh, India: Idarat al-Buhuts al-‘Ilmiyyah,
371.
Belajar Mudah Ilmu Balaghah
Irfan Abu Naveed | 41
Namun penjelasan lebih terperinci, diuraikan Imam Izzuddin al-Shan’ani (w. 1182 H) bahwa
menghidupkan sunnah, terwujud dengan mengamalkannya, menyiarkannya, dan menafikan
penyimpangan kaum yang menyimpang atasnya.145 Sehingga taujih nabawi ini menunjukkan secara jelas,
motivasi yang kuat bagi setiap hamba Allah yang mengaku cinta pada nabi ﷺ, untuk mempelajari
sunnahnya, mengamalkannya, menyiarkannya serta membelanya dari penyimpangan kaum sesat dengan
meluruskan penyimpangannya, sesuatu yang lazim dilakukan oleh seseorang yang mengaku mencintai
sesuatu, sebagai pembuktian bagi pengakuan cintanya.
Kata sunnati, berkonotasi thariqi, yakni jalan hidupku,146 mencakup seluruh ajaran-ajaran yang
beliau gariskan untuk umatnya, baik berupa ucapan (qauliyyah), perbuatan (fi’liyyah) yang dicontohkan
Rasulullah ﷺbagi umatnya. Al-Hafizh Ibn al-Atsir (w. 606 H) menguraikan:
Sunnah asalnya bermakna thariqah (metode) dan sirah (jalan hidup), dan disebutan secara syar’i,
yang dimaksud dengannya adalah apa-apa yang Nabi ﷺperintahkan, dan beliau ﷺlarang, serta puji
baik berupa perkataan, maupun perbuatan, selain ungkapan ayat al-Qur’an.147
Dimana gambaran hidup Rasulullah ﷺ, menggambarkan keteladanan praktis penegakkan Islam
secara totalitas (kâffah) dalam seluruh aspek kehidupan, dari mulai kehidupan pribadi, keluarga, hingga
kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dari mulai perkara syahadat dan shalat, hingga urusan imamah
dan siyasah.
b. Penegasan Atas Kebenaran Informasi yang Disampaikan Rasulullah ﷺ, Mengenai Kecintaan
Dimana Al-Shan’ani lalu menegaskan, “Siapa saja yang mengaku mencintai Rasulullah ﷺnamun tidak
menegakkan sunnahnya, maka pengakuan tersebut adalah pengakuan dusta, dan angan-angan batil
semata.”149
Mencintai Rasulullah ﷺadalah syarat menjadi penghuni surga, sebagaimana Rasulullah ﷺ
memasukinya, berdasarkan ungkapan (اجلَن َِّة
ْ َحبَِّين َكا َن َمعِي ِِف
َ )م ْن أ.
َ
145 Muhammad bin Isma’il ‘Izzuddin al-Shan’ani, Al-Tanwîr Syarh al-Jâmi’ al-Shaghîr, Riyadh: Maktabah Dar al-Salam, cet. I, 1432
Padahal mencintai Rasulullah ﷺmerupakan tuntutan keimanan dan sifat yang terpuji. Al-‘Allamah
al-Syaikh Nawawi al-Bantani al-Syafi’i (w. 1314 H) menguraikan bahwa cinta kepada Rasulullah ﷺtermasuk
sifat yang terpuji, berdasarkan hadits dari Anas bin Malik r.a., dari Nabi ﷺbersabda:
Frasa (َح ُد ُك ْم ِ َ berkonotasi tidak beriman dengan iman yang sempurna (îmân[an] kâmil[an]),
َ )ال يُ ْؤم ُن أ
karena dalam persepektif ilmu balaghah, berdasarkan indikasi-indikasi syar’i lainnya, hadits ini mengandung
bentuk al-ijaz bi al-hadzf, yang menunjukkan kesempurnaan iman dibuktikan dengan menjadikan cinta
kepada Allah dan Rasul-Nya di atas segala-galanya.
6. Balaghah Hadits Berpegang Teguh pada Sunnah Rasulullah & ﷺKhulafa’ Rasyidun
»ضوا َعلَْي َها ِِبلن ََّو ِاج ِذ ِ ِ ِ َّ «علَي ُكم بِسن ََِّت وسن َِّة ا ْخللَ َف ِاء
َ ِِين الْ َم ْهدي
ُّ َع، ني َ الراشد ُ َُ ُ ْ َْ
“Hendaklah kalian berpegang teguh pada sunnahku, dan sunnah para khalifah al-rasyidin al-mahdiyyin
(khalifah empat yang mendapatkan petunjuk), gigitlah oleh kalian hal tersebut) dengan geraham yang
kuat.” (HR. Ahmad, Ibn Majah, Al-Hakim, Al-Baihaqi)151
150 HR. Ahmad dalam Musnad-nya (no. 13151) Syaikh Syu’aib al-Arna’uth mengomentari “Sanadnya shahih sesuai syarat
tsiqah.”; Ibn Majah dalam Sunan-nya (no. 42), Syaikh Syu’aib al-Arna’uth mengomentari: ”Hadits shahih dengan banyak jalan periwayatan
dan syawahid (riwayat-riwayat pendukungnya).”; Al-Hakim dalam Al-Mustadrak (no. 329), al-Hakim berkata: ”Ini hadits shahih, tidak
mengandung satupun cacat.” ditegaskan senada oleh al-Hafizh al-Dzahabi; Al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman (no. 7516).
Belajar Mudah Ilmu Balaghah
Irfan Abu Naveed | 43
7. Balaghah Hadits Lubang Kadal Gurun
Dari Ibn ’Abbas r.a., ia berkata: “Rasulullah ﷺbersabda:
Para sahabat lantas bertanya, “Apakah mereka kaum Yahudi dan Nasrani?” Rasulullah ﷺmenjawab:
“Siapa lagi kalau bukan mereka?” (HR. Al-Bukhari, Muslim, Ahmad)152
Dalam persepektif ilmu balaghah, hadits ini setidaknya mengandung dua sisi penting:
Al-Mulla’ Ali al-Qari (w. 1014 H) menjelaskan makna sunan ()سَن َن
ُ yakni jalan hidup, manhaj dan
perbuatan mereka153, dan suatu pemikiran jelas termasuk manhaj, jalan hidup yang khas lahir dari suatu
peradaban. Sehingga dipahami bahwa hadits ini mengandung larangan, sebagaimana ditegaskan oleh al-
’Allamah Taqiyuddin al-Nabhani (w. 1396 H)154, karena terdapat celaan atas perbuatan mengikuti manhaj
dan pola pikir orang kafir. Bagaimana sikap kita? Memerhatikan benar peringatan Rasulullah ﷺini, hal itu
karena peringatan bermanfaat bagi orang-orang yang masih memiliki keimanan dan akal sehat (ulul albâb):
َ ْ َ ْ ُ ُ ْ ُ َ َٰ َ ُ َ ُ َّ ُ ُ َ َ َ َّ َ َٰ َ ُ ُ َ َ ْ َ َ ُ َّ َ َ َ ْ َ ْ َ ُ َ ْ َ َ َّ
}١٨{ اب
ِ وَلك هم أولو اْلْل ِ اَّلين هداهم اّلِل وأ ِ وَلك
ِ اَّلين يست ِمعون القول فيت ِبعون أحسنه أ ِ
”Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya, mereka Itulah
orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal.”
(QS. Al-Zumar [39]: 18)
َ ى َتنْ َف ُع ال ْ ُم ْؤمن
}٥٥{ ني َٰ اَّل ْك َر
ِّ َّ َ ْ ِّ َ َ
وذكر ف ِإن
ِِ
“Dan berilah peringatan, karena peringatan bermanfaat bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Al-
Dzâriyât [51]: 55)
b. Mengandung Peringatan Keras Dibalik Bentuk Majazi (Al-Isti’arah Al-Tamtsiliyyah) Lubang Kadal
Gurun (Ilmu al-Bayan)
Dalam ilmu balaghah (ilmu bayan), hadits ini mengandung bentuk al-isti’ârah, jenis al-isti’ârah al-
ٍ َ )ح ََّّت لَو َد َخلُوا ِِف ُج ْح ِر,
tamtsîliyyah, berupa ungkapan (ب
ِض ْ َ pengungkapan sesuatu dengan meminjam istilah lain
152 HR. Al-Bukhari dalam Shahih-nya; Muslim dalam Shahih-nya, bab. Ittibâ’ Sunan al-Yahûdi wa al-Nashârâ; Ahmad dalam
Musnad-nya (no. 11817), Syaikh Syu’aib al-Arna’uth mengomentari: “Sanadnya shahih sesuai syarat syaikhain (al-Bukhari dan Muslim).”
153 Nuruddin al-Mulla ‘Ali al-Qari, Mirqât al-Mafâtîh Syarh Misykât al-Mashâbîh, Beirut: Dâr al-Fikr, cet. I, 1422 H, juz VIII, hlm.
3403.
154 Taqiyuddin Abu Ibrahim al-Nabhani, Muqaddimah al-Dustûr aw al-Asbâb al-Mûjibah Lahu, Beirut: Dâr al-Ummah, cet. II,
Apa faidahnya:? Bentuk majazi ini memudahkan orang yang menyimaknya memahami gagasan inti
di balik pesan tsb, dengan pesan yang menggugah dan membekas dalam benaknya, dalam hal ini terutama
ditujukan kepada orang beriman.
Sama seperti hadits ini, adalah hadits dari Abu Hurairah r.a., Nabi ﷺbersabda:
Hadits ini mengandung pelajaran agung nan penting, diungkapkan dengan ungkapan majazi,
mengumpamakan perbuatan mukmin yang terjerumus pada kesalahan yang sama, dengan ungkapan ال يلدغ
dan جحر واحد. Manusia mana yang bersedia disengat ular berbisa? Tidak ada, maka ungkapan majazi dalam
hadits ini sudah seharusnya berpengaruh kuat terhadap benak seseorang yang beriman untuk menjauhi
kesalahan, dan tidak terjerumus lagi pada kesalahan yang sama.
Dalam hadits ini, yang menjadi maqshûr adalah lafazh ()اإلمام, dan lafazh ( )جنةsebagai maqshûr ’alayh.
Jenis qashr hadits di atas termasuk jenis qashr mawshûf ’alâ shifah yakni qashr (pengkhususan) kata yang
155Al-Sayyid Ahmad al-Hasyimi, Jawâhir al-Balâghah fî al-Ma’âni wa al-Bayân wa al-Badî’, Ed: Dr. Yusuf al-Shamaili, Al-
Maktabah al-‘Ashriyyah, Cet. I, 1999, hlm. 165; Abdul Muta’al al-Sha’idi, Bughyat al-îdhâh Li Talkhîsh al-Miftâh, Cet. VIII, juz II, hlm. 3.
156 Tim Pakar, Al-Balâghah wa al-Naqd, Riyâdh: Jâmi’atul Imâm Muhammad bin Su’ud al-Islâmiyyah, Cet. II, 1425 H, hlm. 73.
157 Al-Sayyid Ahmad al-Hasyimi, Jawâhir al-Balâghah fî al-Ma’âni wa al-Bayân wa al-Badî’, hlm. 165; Abdul Muta’al al-Sha’idi,
التخصيص التخصيص هي (إَِّمنَا ولو حذفْ نَاها َزال ِ أن اْلداة الَت
أفادت
ُ َ
“Bahwa perangkat yang mengandung faidah pengkhususan adalah kata ()إمنا, karena jika dihilangkan
kata tersebut maka hilanglah pengkhususan tersebut.”163
Dr. Hesham el-Shanshouri pun menegaskan hal tersebut kepada penulis dalam diskusi mengenai
balaghah hadits di atas. Dan penggunaan redaksi ( )إمناdalam tinjauan ilmu balaghah, digunakan dalam
konteks dimana pihak yang diseru (kita) sebenarnya tidak jahil (mengetahui) dan tidak mengingkari
kandungannya, seakan ia adalah perkara yang sudah ma’lum diketahui secara umum. 164 Bahwa seorang
penguasa memang memiliki kedudukan dan tanggung jawab yang agung tersebut, yakni sebagai perisai,
pelindung bagi rakyatnya.
b. Menguatkan Pujian Bagi Imam/Khalifah dengan Redaksi Tasybîh Bi al-Hadzf (’Ilm al-Bayân)
Secara etimologi, tasybîh yakni tamtsîl (perumpamaan)165, dikatakan:
Sedangkan secara terminologi, tasybîh yakni penyerupaan (perumpamaan) sesuatu dengan hal
lainnya berupa sifat –atau sifat-sifat- yang memiliki irisan (kesamaan) antara keduanya dengan
menggunakan salah satu perangkat tasybîh yang diketahui secara umum atau disembunyikan perangkat
kata tasybîh-nya167 untuk maksud tertentu,168 ini sebagaimana pengertian yang dijelaskan para ulama ahli
bayan.169
Kedua, Kata ( )جنةsebagai al-musyabbah bihi yaitu sifat dimana objek diserupakan dengannya.
Ketiga, Kalimat ( )يقاتل من ورائه ويتقى بهmenjadi petunjuk wajh al-syabah dalam hadits ini. Wajh al-Syabah yakni
gambaran khusus yang menjadi irisan kesamaan antara al-musyabbah dan al-musyabbah bihi di dalamnya.170
Wajh al-syabah dalam hadits ini yakni al-himâyah (perlindungan); sebagai pujian atas fungsi dan
kedudukan al-Imâm, dimana perlindungan tercakup dalam sifat junnah; umat akan berperang dengan
musuh di bawah komandonya dan berlindung (dari musuh) di bawah kekuasaannya. Dan ia menjadi
penjelasan dari kata junnah, atau sebagai petunjuk wajh al-syabah.
Keempat, Perangkat tasybîh dalam hadits ini dihilangkan, yakni tidak menggunakan perangkat kata seperti
huruf ”kâf” atau yang semisalnya untuk menunjukkan perumpamaan, sehingga misalnya tidak disebutkan
( )اإلمام كاجلنةtapi ( )اإلمام جنةsaja.
Ketika dihilangkan perangkat tasybîh-nya, maka ia dinamakan tasybîh mu’akkad yakni bentuk
tasybîh yang dikuatkan, sehingga menimbulkan kesan seakan-akan keduanya (al-musyabbah dan al-
musyabbah bihi) sesuatu yang menyatu (mubâlaghah)171, bahkan Al-Mulla’ al-Qari dalam al-Mirqât172, dinukil
pula oleh Dr. Sa’id bin Ali al-Qahthani, menyebutkan bahwa hadits ini mengandung tasybîh balîgh,173 ini
termasuk pembahasan al-îjâz bi al-hadzf (ringkasan padat makna dengan menghilangkan di antara
bagiannya) yang menguatkan penyerupaan.
Imam al-Jurjani al-Nahwi (w. 474 H) menjelaskan faidah tasybîh yang menguatkan makna dengan
contoh dalam kitabnya, Dalâ’il al-I’jâz,174 yakni menguatkan pengaruh dalam kandungan makna dan sifat
yang terasa sebagai buah dari perumpamaan tersebut175 meski secara umum faidah dari bentuk tasybîh
untuk memperjelas makna yang dimaksud, bentuk penyingkatan dan peringkasan kalimat. 176 Dr. Yusuf al-
Shamaili dalam catatan kakinya atas kitab Jawâhir al-Balâghah menegaskan bahwa tasybîh menempati
tempat yang sangat baik dalam ilmu balaghah, hal itu karena ia mengeluarkan sesuatu yang tersembunyi
menjadi jelas, mendekatkan yang jauh menjadi dekat, menguatkan makna dan memperjelasnya,
menuangkan bentuk penegasan dan keutamaan, menghiasinya dengan kemuliaan dan pujian.177
Buhûts al-‘Ilmiyyah wa al-Iftâ’ wa al-Da’wah al-Islâmiyyah, Cet. I, 1421 H, juz I, hlm. 556.
174 Abdul Qahir bin Abdurrahman bin Muhammad al-Jurjani, Dalâ’il al-I’jâz, Ed: Mahmud Muhammad Syakir, Kairo: Maktabah
ِ ِ فَح ِامل الْ ِمس، وََنفِ ِخ الْ ِك ِري،ك ِ ِ ِ ِ ُّ يس ِ ِالصالِ ِح َو َجل ِ ِ«إَِّمنَا َمثل اجلَل
َو َّإما أَ ْن،ك
َ َ َّإما أَ ْن ُْحيذي:ك ْ ُ َ َ َك َحام ِل امل ْس،السوء َّ يس ُ
» َو َّإما أَ ْن َِجت َد ِمْنهُ ِرحيًا ُمنْتِنَ ًة،ك ِ وََنفِخ، و َّإما أَ ْن َِجت َد ِمْنه رحيا طَيِب ًة،تَب تَاع ِمْنه
َ َ َّإما أَ ْن ُْحي ِر َق ثِيَاب:الك ِري ُ َ َِ ً ُ َ ُ َ ْ
“Sesungguhnya perumpamaan berkawan dengan orang shalih dan berkawan dengan orang yang jahat
seperti seorang penjual minyak wangi (misk) dan seorang peniup dapur tukang besi. Penjual minyak
wangi, ia mungkin akan memberi kepadamu, atau engkau akan membeli darinya atau engkau akan
mendapatkan aroma harum darinya. Tetapi peniup dapur tukang besi, mungkin ia akan membakar
pakaianmu atau engkau akan mencium bau tidak sedap.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)179
Hadits ini pun merinci karakteristik penilaiannya, bahwa dalam hadits ini terdapat perumpamaan
bagi petunjuk, hidayah, dan ketakwaan hingga menjadi syafa’at di akhirat dengan bermajelis dengan orang-
orang yang shalih, mencintai mereka, dan simpati terhadap mereka, sebaliknya bagi orang yang buruk, bisa
jadi menimpakan keburukan hingga membakar agama, kebaikan dengan api kemaksiatan, jika tidak seperti
itu, bisa jadi menimpakan kerugian berupa keburukan akibat kejahilan, sifat keji dan kefasikannya.181
Imam al-Khadimi al-Hanafi pun menegaskan bahwa secara keseluruhan, hadits ini mengandung
larangan terhadap majelis seseorang yang hanya merusak agama dan dunia, dan dorongan kuat untuk
mencintai majelis orang yang mengandung manfaat bagi agama dan dunia.182
Hadits ini menunjukkan perumpamaan pujian dan celaan atas teman yang baik dan teman yang
buruk, ini salah satu model pendekatan pendidikan Rasulullah ﷺmenggunakan uslub perumpamaan, dan
uslub ini memiliki pengaruh yang besar dalam memudahkan sampainya pemahaman. Dalam hadits ini pun
178Dr. Abdul Aziz bin Ali al-Harbi, Al-Balâghah al-Muyassarah, hlm. 59.
179HR. Al-Bukhari dalam Shahiih-nya (VII/125, hadits 5534), dan Muslim dalam Shahiih-nya (VIII/37, hadits 2628).
180 Muhammad Abu Sa’id al-Khadimi al-Hanafi, Barîqah Mahmûdiyyah fî Syarh Tharîqah Muhammadiyyah Nabawiyyah fî Sîrah
Hadits dari Abu Sa’id al-Khudri r.a., bahwa ia mendengar Rasulullah ﷺbersabda:
Pelajaran agung dalam hadits di atas, diperjelas atsar ’Umar bin al-Khaththab r.a. yang menguraikan
’ibrah di balik tuntunan mulia ini:
ِ ِ ِ
َ وشاور ِِف أَمرك الِذين َخيْشو َن هللا، َوَال تفش إلَْيه سرك، فيحملك َعلَى الْ ُف ُجور،ص َحب الْ َفاجر
ْ َالَ ت
“Janganlah engkau berkawan dengan orang yang keji, karena ia akan menjerumuskanmu ke dalam
kedurhakaan, dan janganlah engkau sampaikan kepadanya rahasiamu, dan hendaklah bermusyawarah
dalam urusanmu dengan mereka yang takut kepada Allah.”184
Hadits ini mengandung anjuran bergaul dan bersahabat dengan orang yang beriman dan bertakwa.
183 Hadits hasan: HR. Abu Dawud dalam Sunan-nya (no. 4832), al-Tirmidzi dalam Sunan-nya (no. 2395), al-Hakim dalam al-
Mustadrak (IV/128) dan Ahmad dalam Musnad-nya (III/38).
184 Abu Muhammad al-Husain bin Mas’ud al-Baghawi, Syarh al-Sunnah, Ed: Syu’aib al-Arna’uth, Beirut: Al-Maktab al-Islami, Cet.
Dengan kata lain, al-qâ’im adalah orang yang melarang dari kemungkaran, sedangkan al-muddahin
adalah orang yang mengabaikannya. Pesan penting dalam hadits ini pun semakin dalam, ketika Rasulullah
ﷺmengungkapkannya dengan bahasa majazi yakni bentuk al-isti’arah, yang menjadi perumpamaan antara
golongan orang yang mencegah kemungkaran dan golongan orang yang mengabaikannya.
11. Balaghah Hadits Mengabaikan Dakwah, Terancam Siksa & Tidak Dikabulkannya Do’a
Hadits dari Hudzaifah Ibn al-Yaman r.a., dari Nabi ﷺbersabda:
ِ ِ ِ ون عن الْمنْ َك ِر أَو لَي ِ ِ َّ «والَّ ِذي نَ ْف ِسي بِيَ ِدهِ لَتَأْ ُم
ُث َعلَْي ُك ْم ع َق ًاِب منْهُ ُُثَّ تَ ْدعُونَه
َ اَّللُ أَ ْن يَْب َع
َّ وش َك َّنُ ْ ُ ْ َ َّ رن ِبلْ َم ْع ُروف َولَتَ نْ َه َ
»اب لَ ُك ْم
ُ فَ َال يُ ْستَ َج
“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangannya, hendaknya kalian beramar ma'ruf dan nahi munkar atau
jika tidak niscaya Allâh akan mengirimkan siksa-Nya dari sisi-Nya kepada kalian, kemudian kalian
memohon kepada-Nya namun do'a kalian tidak lagi dikabulkan.” (HR. Al-Tirmidzi, Ahmad, al-
Baihaqi)188
185 HR. Al-Bukhari dalam Shahîh-nya (no. 2361); al-Tirmidzi dalam Sunan-nya (no. 2173), Abu Isa mengomentari: “Hadits hasan
shahîh.”; Ahmad dalam Musnad-nya (no. 18387), Syaikh Syu’aib al-Arna’uth mengomentari: “Sanadnya shahîh sesuai syarat syaikhain
(al-Bukhari dan Muslim).”; al-Bazzar dalam Musnad-nya (no. 3298); Ibn Hibban dalam Shahîh-nya (no. 297).
186 Ibn Rajab al-Hanbali, Jâmi’ al-‘Ulûm wa al-Hikam, juz II, hlm. 162.
187 Mahmud bin Ahmad Badruddin al-‘Aini, ‘Umdat al-Qâri Syarh Shahîh al-Bukhâri, Beirut: Dâr Ihyâ’ al-Turâts al-‘Arabi, t.t., juz
XIII, hlm. 56. Lihat pula pembahasan para ulama ketika menjelaskan makna hudûduLlâh QS. Al-Baqarah [2]: 187.
188 HR. Al-Tirmidzi dalam Sunan-nya (no. 2169), Abu Isa mengomentari: “Hadits hasan.”; Ahmad dalam Musnad-nya (no. 23349),
Syaikh Syu’aib al-Arna’uth mengomentari: “Hasan li ghairihi dan hadits ini sanadnya dha’îf (lemah).”; al-Baihaqi dalam al-Sunan al-Kubrâ
(no. 20199).
Belajar Mudah Ilmu Balaghah
Irfan Abu Naveed | 50
a. Peringatan Keras Dibalik Khabar yang Mengandung Penegasan-Penegasan: Qasam, Lam & Nun
Taukid (Ilm al-Ma’âni)
Hadits ini, diungkapkan dengan banyak penegasan (taukîd), yakni qasam (sumpah kepada Allah
pada kalimat )والَّ ِذي نَ ْف ِسي بَِي ِد ِه
َ dan lam jawab al-qasam, serta nûn al-taukîd al-tsaqîlah pada frasa lata’muranna
dan latanhawanna, yang mempertegas kebenaran informasi dalam hadits, menekankan pentingnya
perbuatan menyuruh kepada yang ma’ruf dan melarang dari yang mungkar, dengan tuntutan wajib
berdasarkan keberadaan peringatan keras bagi siapa saja yang mengabaikan kewajiban ini, yakni kalimat
(اب لَ ُك ْم ِ ِ ِ )أَو لَي, yakni ancaman dalam dua bentuk: Pertama, Datangnya azab
ُ ث َعلَْي ُك ْم ع َق ًاِب مْنهُ ُُثَّ تَ ْدعُونَهُ فَ َال يُ ْستَ َج
َ اَّللُ أَ ْن يَْب َع
َّ وش َك َّنُ ْ
yang tak pandang bulu, Kedua, Tidak akan dikabulkannya do’a.
b. Sumpah Kepada Allah Di Balik Kinayah Walladzi Nafsi Biyadihi (’Ilm al-Bayân)
Ungkapan َوالَّ ِذي نَ ْف ِسي بَِي ِد ِهtermasuk bentuk kinayah dari sumpah kepada Allah, hal ini sebagaimana
ditegaskan oleh Muhammad ’Ali Ibrahim al-Tha’i dalam Al-Isti’arah fi al-Hadits al-Nabawi al-Syarif.
Dalam ayat ini kita temukan bentuk al-thibâq antara dua kata benda: antara ( )املعروفdan ()املنكر, dan
َّ )لَتَأ ُْمdan (ون
antara dua kata kerja: antara (رن َّ )لَتَ ْن َه.193
Kedua, Bentuk al-Muqâbalah, yakni muqâbalat itsnain bi itsnain 194, menurut sebagian ulama balaghah,
sebagaimana disebutkan Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili, al-muqâbalah ini termasuk jenis khusus dari al-thibâq
dengan pengertian:
189 Yakni bentuk hiasan keindahannya kembali kepada pemaknaannya, meski terkadang mencakup lafazh-nya pula; Dr. Usamah
Muhammad al-Buhairi, Taysîr al-Balâghah (‘Ilm al-Badî’), Kulliyyat al-Âdâb: Jaami’at Thantha, 1427 H/2006, hlm. 10.
190 Dr. ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Ali al-Harbi, Al-Balâghah al-Muyassarah, hlm. 84.
191 Dr. Usamah Muhammad al-Buhairi, Taysîr al-Balâghah, hlm. 28.
192 Dalam bahasan ilmu badî’, Mushthafa Amin mendefinisikan al-thibâq ()الطباق:
28.
Belajar Mudah Ilmu Balaghah
Irfan Abu Naveed | 51
Dalam ayat ini, yakni ada pada kalimat (ون َع ْن الْ ُمْن َك ِر ِ رن ِِبلْمعر
َّ وف َولََت ْن َهُ ْ َ َّ )لََتأ ُْمdalam satu hadits, sama seperti
dalam QS. Ali Imran [3]: 104, diuraikan oleh Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili196, yakni antara al-amr bi al-ma’rûf
dan al-nahy ’an al-munkar dalam satu ayat.197
d. Peringatan Keras Dibalik Kata Benda Nakirah: ’Iqâb[an]: Keumuman Bentuk Siksaan
Hadits ini mengandung peringatan keras (tarhîb) bagi mereka yang mengabaikan dakwah,
mengabaikan perbuatan menyuruh kepada yang ma’ruf dan melarang dari yang mungkar, dengan adanya
ancaman berupa siksaan dan tidak dikabulkannya do’a. Ancaman akan diturunkannya siksaan tersebut
Rasulullah ﷺungkapkan dengan penegasan, dalam bentuk frasa layûsyikanna yang diawali dengan lam
jawab al-qasam dan diakhiri nûn al-taukîd al-tsaqîlah. Adanya huruf ’athaf berupa huruf waw, itu
menunjukkan pengecualian dari sikap menyuruh kepada yang ma’ruf dan melarang dari yang mungkar,
maksudnya ”jika tidak melakukan kedua hal tersebut”.
Luar biasanya, ancaman berupa siksa, Rasulullah ﷺungkapkan dalam bentuk kata benda nakirah,
yang berfaidah ta’mim yang menunjukkan keumuman bentuk siksaan, menguatkan bentuk ancaman itu
sendiri. Diksi ini sama seperti kata khusr[in] dalam QS. Al-’Ashr [103]: 3, dalam firman Allah ’Azza wa Jalla:
ْ َّ ْ ْ َ َ َ َ َ َّ
َ احل َ ِّق َوتَ َو
ْ اص ُ َ َ ُ َ َ َّ َّ ْ ُ َ َ َ ْ ْ َّ ْ َْ َ
ِب
ِ الص ب
ِ او ِ ب او اصو تو ات
ِ احل
ِ الص وا لمِ عو وان آم يناَّل
ِ الإ
ِ } ٢ { ْس
ٍ خ فِ ل ان سن اْل
ِ نإ
ِ } ١{ ِّص
ِ والع
}٣{
“Dan demi masa, sesungguhnya manusia berada dalam kerugian, kecuali mereka yang beriman dan
beramal shalih serta saling menasihati dalam kebenaran dan saling menasihati dalam kesabaran.” (QS.
Al-‘Ashr [103]: 1-3)
Kata khusr dalam ayat ini diungkapkan dalam bentuk nakîrah, bukan ma’rifah. Menurut Wahbah al-
Zuhaili, hal ini berfungsi sebagai bentuk penguatan atas perkara yang dimaksud (li al-ta’zhîm). Sehingga
makna lafî khusr[in] yaitu dalam kerugian yang besar ()خسر عظيم.198 Penjelasan lebih rinci dipaparkan oleh
Syaikh Muhammad Shiddiq Khan: 199
Bentuk nakirah pada kata khusr berfungsi sebagai bentuk pengagungan atas perkara yang
dimaksud, yakni berada dalam kerugian yang sangat besar, tidak ada seseorang pun yang
mengetahuinya kecuali Allah, dan Allah telah menilai manusia berada dalam kerugian sebagai
bentuk ungkapan superlatif, serta penegasan bahwa ia terlingkupi oleh kerugian ini dari segala
sisinya karena waktu terus berjalan di sisi setiap manusia.
Dalam ilmu ushul al-fiqh, hadits ini mengandung petunjuk-petunjuk kefardhuan dakwah, menyuruh
kepada yang ma’ruf dan melarang dari yang mungkar, yang juga sangat relevan dengan pembahasan
kewajiban membangun gerakan dakwah dalam firman-Nya, QS. Âli Imrân [3]: 104.
196 Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili, Al-Tafsîr al-Munîr, juz. IV, hlm. 353.
197 Dr. Usamah Muhammad al-Buhairi, Taysîr al-Balâghah, hlm. 28. Lihat pula; Mahmud Shafi, Al-Jadwal fî I’râb al-Qur’ân, juz.
IV, hlm. 267.
198 Wahbah bin Mushthafa al-Zuhaili, Al-Tafsîr al-Munîr fî al-‘Aqîdah wa al-Syarî’ah wa al-Manhaj, juz ke-30, hlm. 392.
199 Muhammad Shiddiq Khan al-Husaini, Fath al-Bayân fî Maqâshid al-Qur’ân, juz XV, hlm. 376.
Belajar Mudah Ilmu Balaghah
Irfan Abu Naveed | 52
12. Balaghah Hadits Mandat Kenegaraan untuk Orang Pilihan yang Diamanahi Panji al-Râyah
Rasulullah ﷺketika Perang Khaibar:
Hadits yang mulia ini jika dikaji dari sudut pandang ilmu balaghah:
a. Penegasan Atas Adanya Mandat Kenegaraan & Bentuk Peringkasan Kalimat (’Ilm al-Ma’âni)
ِ ), yang bermakna aku akan
Hadits yang mulia ini diawali dengan kata kerja al-mudhari’ (أعطي
menyerahkan, yang diawali dengan lam jawâb qasam dan diakhiri dengan bentuk nun taukîd al-tsaqîlah,
َّ َ ْل ُْع ِط.
sehingga menjadi: ني
Huruf lam di sini jelas merupakan lam jawâb al-qasam dari bentuk qasam yang disembunyikan (al-
ِ و, dimana lam jawâb qasam itu sendiri termasuk huruf taukîd (penegasan),
qasam al-mudhmar), taqdir-nya: هللا َ
sebagaimana ditegaskan oleh al-Syaikh al-Adib Mushthafa al-Ghulayaini (w. 1364 H)201, bentuk qasam-nya
disembunyikan (al-mudhmar), ini yang dinamakan al-ijaz bi al-hadzf (meringkas perkataan dengan
menghilangkan bagian). Disusul dengan adanya nun taukid al-tsaqilah, yang juga termasuk bentuk taukid
(penegasan), sehingga kata ini bermakna ”sungguh aku benar-benar akan menyerahkan”.
Dari sudut pandang ilmu balaghah, keberadaan penegasan-penegasan ini menafikan adanya
keraguan dan pengingkaran, diistilahkan para ulama yakni khabar inkari, sebagaimana telah diulas
sebelumnya. Menunjukkan keseriusan Rasulullah ﷺdalam persoalan mandat kenegaraan ini.
Maka relevan dengan penjelasan para ulama mu’tabar yang menegaskan bahwa mengemban
bendera dan panji al-Raayah merupakan tugas kenegaraan yang sangat mulia dengan mandat dari Khalifah.
Oleh karena itu, bendera dan panji tersebut harus dijaga dan dijunjung tinggi. Dimana bendera dan panji
yang dimandatkan oleh Khalifah tersebut, menjadi bendera dan panji yang mempersatukan seluruh
pasukan. Poin-poin ini sebagaimana dijelaskan Imam Ibn Bathal (w. 449 H)202. Bahkan hal tersebut termasuk
sunnah Rasulullah ﷺ, Ibn Bathal menegaskan:
ىف حروبه فينبغى أن يسار بسريته-صلى هللا عليه وسلم- (ْلعطني الراية فعرفها ِبْللف والالم يدل أهنا كانت من سنته
ىف ذلك
Rasulullah ﷺbersabda, “Sungguh aku akan menyerahkan al-Rayah”, kata al-Rayah yang diungkapkan
dalam bentuk ma’rifat (ada alif dan lam) menunjukkan bahwa hal tersebut merupakan sunnah
Rasulullah ﷺdalam peperangan, maka sudah seharusnya kaum Muslim meneladani Rasulullah ﷺ
dalam hal tersebut.203
200 HR. Al-Bukhari dalam Shahîh-nya (2847), Muslim dalam Shahîh-nya (6299), Ahmad dalam Musnad-nya (1608), Ibn Majah
141.
203 Ibid.
Ibn Hajar al-’Asqalani (w. 852 H) pun menegaskan bahwa Qais bin Sa’ad adalah salah seorang yang
pernah menerima mandat memegang bendera Nabi ﷺ, dan hal itu tidak dilakukan kecuali berdasarkan
perintah Nabi ﷺ.206 Dalam hadits yang sanadnya kuatpun disebutkan bahwa Ali bin Abi Thalib r.a (dari
kalangan Muhajirin) pernah memegang mandat al-Raayah, sedangkan dari kalangan Anshar adalah Sa’ad
bin Ubadah r.a.207 Itu semua menunjukkan bahwa membawa bendera termasuk bagian dari tugas
kenegaraan yang mulia, dan ia adalah simbol negara, sehingga memperjelas kedudukan Rasulullah ﷺdalam
mengatur negara, yakni Negara Islam.
b. Kemuliaan Pengemban Panji Mandat Kenegaraan Di Balik Sifat & Majazi (’Ilm al-Bayân)
Hadits ini, menggambarkan pula keistimewaan pengemban panji Al-râyah, dimana kata rajul[an]
yang dimaksud dalam hadits ini memiliki karakter sifat yang dirinci kemudian dalam hadits ini yakni:
Kedudukan kalimat di atas sebagai sifat dari rajul[an] sesuai kaidah yang ma’lum dalam ilmu nahwu:
Lantas, siapa lelaki yang dimaksud Rasulullah ?ﷺDalam perincian haditsnya, Rasulullah ﷺakhirnya
menyerahkan panji tauhid ini kepada ’Ali bin Abi Thalib r.a. Bagaimana sikap para sahabat? Digambarkan
bahwa mereka mengharapkan kemuliaan tersebut, yang juga menunjukkan agungnya kedudukan al-liwâ’
dan al-râyah dalam Islam.
Dalam redaksi hadits ini, terdapat ungkapan ( )يُ ْفَت ُح َعَلى يَ َديِْهyang menggambarkan perbuatan manusia
dengan ungkapan tangan (al-yad), dalam ilmu balaghah (’ilm al-bayân) termasuk ungkapan majazi, dengan
bentuk majâz mursal, dengan ’alâqah juz’iyyah, yakni dzikr al-juz’i wa irâdat al-kulli (disebutkan sebagian tapi
maksudnya keseluruhan), yang dimaksud sebenarnya adalah perbuatan manusia, atau diri manusia
keseluruhannya, bukan sekedar pekerjaan tangannya, namun diungkapkan dengan istilah tangan, karena
tangan adalah anggota badan yang paling berperan dalam melakukan suatu perbuatan. []
204Ibid.
205Ibid., hlm. 140-141.
206 Ahmad bin Ali Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bâri Syarh Shahih al-Bukhâri, Beirut: Dâr al-Ma’rifah, cet. 1379, juz VI, hlm. 127.
207 Ibid.
208 Doktor balaghah dari Al-Azhar Kairo, ia menyebutkannya dalam diskusi empat pada bulan September 2015. Lihat pula: Abu
Muhammad Jamaluddin bin Hisyam, Mughnî al-Labîb ‘an Kutub al-A’ârîb, Ed: Dr. Mazin al-Mubarak dkk, Damaskus: Dâr al-Fikr, cet. VI,
1985, hlm. 560.
Belajar Mudah Ilmu Balaghah
Irfan Abu Naveed | 54