Anda di halaman 1dari 7

PEREKONOMIAN INDONESIA

AMANDA MEIVY KANIA


20101123
Masalah Perekonomian Indonesia Saat Ini
1. Pertumbuhan ekonomi yang menurun :
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan ekonomi RI 2020 minus 2,07
persen. Realisasi Produk Domestik Bruto (PDB) ini anjlok dibandingkan 2019 lalu yang
tumbuh 5,02 persen, sekaligus merupakan yang terburuk sejak krisis 1998 yang
tumbuh minus 13,16 persen.Kepala BPS Suhariyanto mengatakan kontraksi ekonomi
Indonesia sejalan dengan pertumbuhan ekonomi sejumlah negara mitra dagang yang
juga tercatat minus pada kuartal IV 2020.Rinciannya, Amerika Serikat (AS) minus 2,5
persen, Singapura minus 3,8 persen, Korea Selatan minus 1,4 persen, Hong Kong
minus 3 persen, dan Uni Eropa minus 4,8 persen.
"Dampak negatif covid-19 memang terasa di seluruh perekonomian dunia, termasuk
Indonesia. Indonesia tidak sendiri, pandemi ini betul-betul membawa kontraksi yang
sangat buruk,"
Suhariyanto menjelaskan, dari sisi pengeluaran, hampir seluruh komponen
mencatatkan minus sepanjang 2020. Konsumsi rumah tangga yang berkontribusi 57,66
persen terhadap PDB terkontraksi hingga 2,63 persen.Kemudian konsumsi lembaga
non profit yang melayani rumah tangga (LNPRT) terkontraksi 4,29 persen, investasi
terkontraksi 4,95 persen, ekspor terkontraksi 7,7 persen, dan impor terkontraksi 14,71
persen. "Seluruh komponen tumbuh negatif kecuali konsumsi pemerintah," kata
Suhariyanto.Pada tahun lalu, konsumsi pemerintah naik 1,94 persen. Meski begitu,
angkanya tetap saja melambat dari 2019 yang tumbuh 3,26 persen."Perlambatan
pertumbuhan konsumsi pemerintah disebabkan perlambatan pertumbuhan belanja
pegawai pada 2020. Belanja pegawai tumbuh 1,18 persen, pada 2019 tumbuh 8,49
persen," jelas Suhariyanto.Secara keseluruhan, investasi menjadi sumber kontraksi
ekonomi terdalam, yakni minus 1,63 persen. Lalu, konsumsi rumah tangga yang
menyumbang kontraksi sebesar minus 1,43 persen.Selanjutnya dari sisi lapangan
usaha, 10 dari 17 sektor ekonomi menyumbang kontribusi negatif. Paling parah ialah
sektor transportasi dan pergudangan yang tercatat minus 15,04 persen.Diikuti, sektor
akomodasi dan makan yang mencapai minus 10,22 persen pada 2020. Padahal, pada
2019 lalu, sektor ini masih tumbuh 5,79 persen."Akomodasi dan makan minum turun
karena tingkat penghunian kamar hotel minus 39,75 persen, jumlah kunjungan
wisatawan mancanegara minus 75,03 persen, dan tutupnya sejumlah hotel dan
restoran selama pandemi covid-19," tutur Suhariyanto.Setelahnya, ada industri
pengolahan yang tercatat minus 2,93 persen, perdagangan minus 3,72 persen,
konstruksi minus 3,26 persen, pertambangan dan penggalian minus 1,95 persen.Lalu,
sektor jasa lainnya minus 4,1 persen, jasa perusahaan minus 5,44 persen, serta
pengadaan listrik dan gas minus 2,34 persen. "Hanya ada tujuh sektor yang masih
tumbuh positif," imbuh Suhariyanto.Beberapa sektor yang positif tersebut, antara lain
pertanian, kehutanan, dan perikanan naik 1,75 persen, jasa keuangan dan asuransi
naik 3,25 persen, informasi dan komunikasi naik 10,58 persen, termasuk jasa
pendidikan naik 2,63 persen.Kemudian, sektor real estate naik 2,32 persen, jasa
kesehatan dan kegiatan sosial naik 11,6 persen, serta pengadaan air naik 4,94
persen."Jasa Kesehatan dan kegiatan sosial naik tinggi 11,6 persen karena pencairan
pembayaran insentif covid-19 untuk tenaga kesehatan, peningkatan pendapatan rumah
sakit untuk pelayanan covid-19," jelas Suhariyanto.Dari sisi kontribusinya, ia
menambahkan sektor transportasi dan pergudangan menjadi sumber kontraksi ekonomi
terdalam, yakni minus 0,64 persen.Sedangkan sumber kontraksi lainnya berasal dari
industri pengolahan sebesar minus 0,61 persen, perdagangan minus 0,49 persen, dan
konstruksi minus 0,33 persen.
2. Konsumsi rumah tangga menurun :
Jumlah penduduk miskin di Indonesia pada September 2021 mencapai 27,55 juta
orang. Angka ini setara dengan 10,19 persen dari total penduduk di Indonesia. Jika
dibandingkan dengan periode Maret 2020, jumlah penduduk miskin tersebut bertambah
1,13 juta orang atau 0,41 persen.Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto
menjelaskan, ada beberapa faktor-faktor yang berpengaruh terhadap tingkat
kemiskinan. Salah satunya yakni ditenggarai akibat pandemi Covid-19."Pandemi Covid-
19 yang berkelanjutan berdampak pada perubahan perilaku serta aktivitas ekonomi
penduduk sehingga mendorong terjadinya peningkatan angka kemiskinan," jelas dia
dalam rilis BPS, di Kantronya, Jakarta, Senin (15/2/2021).Dia mengatakan, pandemi
Covid-19 membuat ekonomi Indonesia kuartal III 2020 terhadap kuartal III 2019
mengalami kontraksi 3,49 persen (y-on-y). Angka ini jauh menurun dibanding capaian
kuartal III 2019 yang tumbuh sebesar 5,02 persen (y-on-y).Sementara pertumbuhan
pengeluaran konsumsi rumah tangga pada Produk Domestik Bruto (PDB) Kuartal III
2020 melambat. Pengeluaran konsumsi rumah tangga terkontraksi sebesar 4,04
persen, menurun dibandingkan periode yang sama tahun 2019 yang tumbuh sebesar
5,01 persen.Kemudian, selama periode Maret 2020 – September 2020, angka inflasi
umum tercatat sebesar 0,12 persen. Sementara itu, angka inflasi inti pada periode yang
sama tercatat sebesar 0,84 persen.Di samping itu, BPS juga mencatat pada periode
Maret 2020 – September 2020, secara nasional harga eceran beberapa komoditas
pokok mengalami kenaikan, antara lain daging sapi (1,51 persen), Susu kental manis
(1,07 persen), minyak goreng (2,67 persen), tepung terigu (2,76 persen), dan ikan
kembung (1,07 persen).Namun demikian, terdapat beberapa komoditas yang
mengalami penurunan harga, antara lain beras (0,49 persen), daging ayam ras (3,52
persen), gula pasir (6,54 persen), cabai rawit (32,37 persen), telur ayam ras (6,12
persen). Dia melanjutkan angka kemiskinan terjadi juga diakibatkan karena pada
Agustus 2020, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) sebesar 7,07 persen. Terjadi
kenaikan sebesar 1,84 persen poin dibandingkan Agustus 2019 yang sebesar 5,23
persen.Di mana, sebanyak 29,12 juta penduduk usia kerja (14,28 persen) terdampak
Covid-19 pada Agustus 2020, dengan rincian: 2,56 juta penduduk menjadi
pengangguran, 0,76 juta penduduk menjadi bukan angkatan kerja, 1,77 juta penduduk
sementara tidak bekerja, dan 24,03 juta penduduk bekerja dengan pengurangan jam
kerja (shorter hours)."Pada Agustus 2020, persentase Pekerja Setengah Penganggur
sebesar 10,19 persen. Terjadi kenaikan sebesar 3,77 persen poin dibandingkan
Agustus 2019 yang sebesar 6,42 persen," jelas dia.Bantuan Sosial Pemerintah baik
Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah sangat membantu penduduk terutama
penduduk lapisan bawah.
3. Andil ekspor bersih terhadap pertumbuhan menurun :
Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data pertumbuhan ekonomi triwulan III 2019 dimana
produk domestik bruto Indonesia tumbuh sebesar 5,02 persen (yoy). Pertumbuhan ini
melambat dibandingkan kuartal sebelumnya yang tumbuh 5,05 persen, juga melambat
dibandingkan kuartal yang sama pada tahun lalu yang tumbuh 5,17 persen.Founder
lembaga riset dan kebijakan ekonomi Sigma Phi Indonesia, Arif Budimanta menilai,
meskipun ekonomi masih tumbuh positif, tetapi realisasi data pertumbuhan terbaru ini
menjadi peringatan bahwa perekonomian nasional tengah menghadapi problem
structural sehingga belum mampu tumbuh cepat seperti yang diinginkan oleh Pak
Presiden Jokowi yakni diatas 7 persen.Selain itu, ekonomi nasional diperburuk dengan
kondisi ekonomi global yang melambat dan risiko ketidakpastian yang
meningkat."Komponen Ekspor Bersih maupun Investasi yang diharapkan tumbuh tinggi
dan mengubah struktur PDB justru mengalami perlambatan yang cukup signifikan
sehingga belum berhasil mentransformasi struktur PDB Indonesia yang hingga saat ini
masih sangat didominasi oleh sektor konsumsi," ujar dia dalam keterangan tertulis di
Jakarta, Selasa (5/11/2019).Jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2018
lalu, andil investasi dan ekspor bersih terhadap pertumbuhan telah menurun. Pada
tahun lalu pembentukan modal tetap bruto (PMTB) memiliki andil 2,24 persen terhadap
pertumbuhan ekonomi, sedangkan pada tahun ini hanya sebesar 1,38 persen.Meskipun
andil ekspor bersih membaik yakni dari -1,1 persen pada triwulan III 2018 menjadi
positif 1,81 persen pada triwulan III 2019, tetapi lebih disebabkan karena impor yang
terkontraksi 8,61 persen (yoy) sedangkan ekspor hanya tumbuh 0,02 persen.Angka lain
yang menjadi sorotan Arif adalah pertumbuhan pengeluaran konsumsi pemerintah yang
hanya tumbuh 0,98 persen sehingga daya dorongnya terhadap perekonomian nasional
hanya sebesar 0,08 persen pada triwulan III 2019 ini. Kecilnya dorongan konsumsi
pemerintah ini cukup mengejutkan karena biasanya pada kuartal III dan IV konsumsi
pemerintah menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi yang signifikan.Arif
menegaskan, selain mempercepat belanja pemerintah pada kuartal berikutnya, banyak
potensi ekonomi nasional yang masih bisa dimanfaatkan untuk mendorong
pertumbuhan sekaligus mengubah struktur ekonomi menjadi lebih berkualitas dan
berkeadilan.Pertama, memanfaatkan tren penurunan suku bunga di tingkat global yang
diiringi dengan banjir likuiditas di pasar keuangan global untuk mendorong kemajuan
UMKM di Indonesia.“Hasil simulasi yang kami lakukan jika kita mampu mendorong 10
persen dari pelaku UMKM untuk naik kelas (mikro menjadi kecil, kecil menjadi
menengah, dst) maka ekonomi kita dapat tumbuh 7,3 persen per tahun” ujar arif.
4. Daya saing Indonesia di pasar luar negeri menurun :
Peringkat daya saing Indonesia dalam laporan Global Competitiveness Index (GCI)
2019 yang baru dirilis World Economic Forum (WEF) turun ke posisi 50 dari posisi 45
pada tahun lalu. Tak hanya penurunan peringkat, skor daya saing Indonesia juga turun
meski tipis 0,3 poin ke posisi 64,6. Berdasarkan daftar tersebut, Indonesia makin
tertinggal jauh dari Singapura yang menempati posisi pertama. Demikian pula dari
Malaysia dan Thailand yang sebenarnya juga turun masing-masing dua peringkat tetapi
mash diposisi 27 dan 40. WEF dalam laporannya menyebut skor daya saing Indonesia
sebenarnya tak banyak berubah. Lembaga itu juga menilai Indonesia memiliki kekuatan
pada pasar dan stabilitas makro ekonomi. Meski demikian, peringkat Indonesia terkait
stabilitas makro turun dari sebelumnya 51 menjadi ke peringkat 54. salah satu
penyebab turunnya daya saing karena kemampuan Sumber Daya Manusia (SDM)
Indonesia yang masih rendah. Hal ini terlihat dari indikator yang menurun ada di sektor
kesehatan, kemampuan tenaga kerja kita (skills) dan kemampuan industri untuk
mempekerjakan tenaga kerja tersebut.
5. Dana desa bermasalah :
Telaah Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR RI terhadap hasil
pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI atas Kegiatan Pembinaan dan
Pengawasan Pengelolaan Dana Desa (DD) tahun anggaran 2015 sampai dengan
semester I tahun 2018 pada 80 Kabupaten, 5 kota dan 1.006 kecamatan pada 33
provinsi seluruh Indonesia menemukan adanya beberapa permasalahan utama
pengelolaan Dana Desa, baik dalam aspek pembinaan maupun aspek
pengawasan.“Permasalahan pada aspek pembinaan pengelolaan Dana Desa antara
lain belum adanya regulasi penetapan standar akuntansi pemerintahan desa dan belum
adanya regulasi penyelenggaraan dan pembinaan aparatur desa yang lengkap,
mutakhir dan sesuai dengan peraturan yang lebih tinggi,” kata Anggota BAKN DPR RI
Sartono saat Rapat Paripurna DPR RI di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa
(16/7/2019).Selain itu, tambah politisi Fraksi Partai Demokrat ini, perencanaan Dana
Desa juga belum dilakukan berdasarkan pemetaan masalah dan kebutuhan desa.
Pelaksanaan pembinaan program kegiatannya belum sepenuhnya selaras dengan
skala prioritas penggunaan Dana Desa.Sedangkan permasalahan pada aspek
pengawasan pengelolaan Dana Desa, sambung Sartono, antara lain adalah mengenai
perencanaan pengawasan oleh pemerintah daerah yang belum mempertimbangkan
risiko. hal itu terlihat dari masih adanya pemerintah daerah yang tidak memiliki rencana
dan pemetaan masalah dalam pembuatan kegiatan pengawasan.“Pengawasan belum
sepenuhnya mencakup evaluasi atas kesesuaian APB Desa dengan skala prioritas
penggunaan Dana Desa, serta belum termuatnya tindak lanjut perbaikan dalam laporan
hasil pengawasan,” legislator dapil Jawa Timur VII itu.Dikatakannya, atas permasalahan
pembinaan dan pengawasan pengelolaan Dana Desa tersebut, BAKN DPR RI
mendorong agar dilakukan optimalisasi peran pemrintah melaluin kementerian terkait
dalam melakukan pembinaan dan pengawasan pengelolaan keuangan desa,
melakukan penguatan sinergitas dan sinkronisasi aturan/regulasi memalui Surat
Keputusan Bersama serta mengembangkan aplikasi Sistem Keuangan Desa yang
terintegrasi dengan aplikasi desa lainnya.Sartono menyatakan, BAKN DPR RI juga
mendorong agar pengelolaan dana Desa dapat menjadi perhatian dan bahan
pembahasan Komisi II, Komisi V, dan Komisi XI DPR RI dalam rangka pengawasan
terhadap Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Desa PDTT, Kementerian
Keuangan, Kementerian Perencanaan Nasional/Bappenas sebagai mitra kerja
komisi.“Dengan pembinaan dan pengawasan pengelolaan Dana Desa yang baik,
diharapkan tujuan pembangunan dan pemberdayaan desa dapat tercapai secara
efektif, efisien dan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku,”
imbuhnya.Dalam kesempatan itu, disampaikan bahwa BAKN DPR juga telah
melakukan penelaahan atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) tahun
anggaran 2018 dengan memberikan perhatian khusus kepada permasalahan
Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), piutang, dan alokasi afirmasi Dana Desa.
(dep/es)
6. Penerimaan pajak jauh dari target :
Tugas Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) untuk
mengejar setoran pajak tahun ini masih cukup berat. Di sisa tiga bulan ini, kantor pajak
mesti mengumpulkan penerimaan pajak hingga Rp 448,2 triliun. Hingga September
2020, penerimaan pajak tahun baru mencapai Rp 720,62 triliun, atau setara 62,61%
dari outlook akhir tahun yang ditargetkan senilai Rp 1.198,82 triliun. Pandemi korona
masih menjadi faktor utama penghambat penerimaan pajak sepanjang tahun ini. Pada
Juli 2020, laju penerimaan pajak turun 26,1% dari tahun sebelumnya. Sementara
periode Agustus dan September 2020 laju penerimaan pajak turun masing-masing
sebesar 21,5% dan 16,86%.
7. Pengangguran meningkat :
Pandemi Covid-19 membuat angka pengangguran semakin meningkat. Menurut
catatan Badan Pusat Statistik (BPS) peningkatan pengangguran terbesar terjadi pada
kelompok anak muda yang berusia 20-29 tahun. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT)
pada penduduk usia 20-24 tahun sebesar 17,66% pada Februari 2021, meningkat
3,36% dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar 14,3%. Peningkatan TPT
pada kelompok usia ini menjadi yang terbesar dibanding kelompok usia lain
Peningkatan TPT terbesar kedua ada pada penduduk usia 25-29 tahun. Pada Februari
2021, TPT kelompok usia ini sebesar 9,27%, meningkat 2,26% dibanding periode yang
sama tahun lalu sebesar 7,01%. Dari sisi pendidikan, tingkat pengangguran tertinggi
banyak dialami oleh lulusan SMA, SMK, dan pendidikan tinggi universitas. TPT dari
lulusan SMA naik dari 6,69% tahun lalu menjadi 8,55% di tahun ini. Begitu pula dari
lulusan SMK, naik dari 8,42% menjadi 11,45%, serta universitas dari 5,7% menjadi
6,97%. Menurut Kepala BPS, Margo Yuwono, setidaknya ada dua tantangan utama
dalam ketenegakerjaan akibat pandemi Covid-19 ini. Pertama, banyak tenaga kerja
yang beralih ke sektor usaha yang memiliki produktivitas rendah, seperti pertanian.
Kedua, banyak tenaga kerja yang beralih ke sektor informal selama pandemi.
Penambahan ini membuat komposisi pekerja formal turun dari 43,36% menjadi 40,38%.
8. Hutang luar negeri yang besar :
Utang luar negeri jangka panjang tercatat memiliki pertumbuhan yang paling pesat
dibanding jenis utang lain, yakni tumbuh 7 persen menjadi sekitar 6 triliun dollar AS.
Jumlah tersebut setara dengan 73 persen dari total utang luar negeri. Sementara,
tingkat utang jangka pendek tumbuh moderat, yakni 1,5 persen menjadi sekitar 2,2
triliun dollar AS. Bank Dunia melaporkan, negara dengan utang luar negeri terbesar,
yakni China. Total utang luar negeri China setara dengan sekitar 26 persen dari
keseluruhan total utang negara-negara berpendapatan rendah-menengah. Sementara
itu, utang luar negeri Indonesia tercatat mencapai 402,08 miliar dollar AS pada tahun
2018. Tingkat utang luar negeri Indonesia tersebut masih lebih rendah bila
dibandingkan dengan Rusia yang mencapai 490,72 miliar dollar AS, Meksiko 469,72
miliar dollar AS dan Tukri 440,78 miliar dollar AS.

9. Masalah investasi :
Indonesia masih dianggap belum memiliki daya saing tinggi terkait investasi asing di
sektor property.Ada beberapa kendala yang masih menyandera negeri ini untuk dapat
melaju kencang melampaui kompetitornya dikawasan regional Asia Tenggara.Untuk
menjadi Negara tujuan investasi properti bersanding dengan Negara Asia Pasifik
lainnya.Indonesia masih terkendala banyak “Pekerjaan rumah”.Banyak hal harus
menjadi perhatian pemerintah,terutama pembenahan infrastruktur hingga status
kepemilikan asing.Walaupun begitu,antara pembisnis property dan investor property itu
sebenarnya saling membutuhkan,pembisnis property butuh investor property untuk
membiayai projek yang akan digarap,begitu juga investor property yang membutuhkan
pembisnis property untuk mengelola dana yang dimiliki dengan harapan data tersebut
akan memberikan keuntungan yang berlipat.Hanya mengandalkan dari dorongan sektor
konsumsi dan terjadi pada sektor-sektor yang padat modal dan nontradeble sehingga
kurang memberikan dorongan pertumbuhan ekenomi secara mantap dan
berkesinambungan dan minimnya investasi pada kegiatan ekonomi menyebabkan
pertumbuhan ekenomi tidak diikuti dengan aspek pemerataan dan menimbulkan
gelombang pengangguran serta kemeskinan.
10.Masalah Gini ratio :
Tahun ini, pemerintah memator rasio ketimpangan pada level 0,39. Per September
2017, tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk Indonesia yang diukur oleh Gini
Ratio adalah sebesar 0,391. Berdasarkan data BPS, angka ini menurun sebesar 0,002
poin jika dibandingkan dengan Gini Ratio Maret 2017 yang sebesar 0,393. Deputi
Bidang Kependudukan dan Ketenagakerjaan Pungky Sumadi mengungkapkan upaya
menekan rasio ketimpagan dengan menuntaskan masalah kemiskinan ekstrim atau
extreme poverty ini sudah dijalankan mulai tahun ini.

Anda mungkin juga menyukai