OLEH :
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL ………...……………………………………………………… i
DAFTAR ISI……………………………………………………………. ii
BAB 1 PENDAHULUAN……………………………………………… 1
1.1 Latar Belakang………………………………………………. 1
1.2 Rumusan Masalah…………………………………………… 2
1.3 Tujuan ………………………………………………………. 2
BAB II KONSEP DASAR………………………………………….….. 3
2.1 Pengertian Cidera Otak Sedang……………………………... 3
2.2 Etiologi…………………... …………………………………. 3
2.3 Patofisiologi……………………………………….…….…… 3
2.4 Klasifikasi Cidera Kepala………………………………….… 4
2.5 Manifestasi Klinis………………………………………….… 5
2.6 Jenis Perdarahan yang sering ditemui…………………….…. 5
2.7 Penanganan Pertama Kasus Cidera Kepala…………………. 7
2.8 Fokus Pengkajian……………………………………………. 15
BAB III PENUTUP………………………………………...……..……. 16
3.1 Kesimpulan………………………………………………..… 16
DAFTAR PUSTAKA............................................................................... 17
BAB 1
PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
1.3.1 Dapat mengerti dan memahami pengertian pengertian cidera otak sedang.
1.3.2 Dapat mengerti dan memahami etiologi pada cidera otak sedang.
1.3.3 Dapat mengerti dan memahami patofisiologi cidera otak sedang.
1.3.4 Dapat mengerti dan memahami klasifikasi cidera kepala.
1.3.5 Dapat mengerti dan memahami manifestasi klinis cidera otak sedang.
1.3.6 Dapat mengerti dan memahami jenis perdarahan yang sering ditemui pada cidera kepala
1.3.7 Dapat mengerti dan memahami penanganan pertama kasus cidera kepala.
BAB 2
KONSEP DASAR
2.2 Etiologi
1. Kecelakaan
2. Jatuh
3. Trauma akibat persalinan
2.3 Patofisiologi
Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa dapat terpenuhi.
Energi yang dihasilkan didalam sel-sel saraf hampir seluruhnya melalui proses oksidasi. Otak tidak
mempunyai cadangan oksigen, jadi kekurangan aliran darah ke otak walaupun sebentar akan
menyebabkan gangguan fungsi. Demikian pula dengan kebutuhan oksigen sebagai bahan bakar
metabolisme otak tidak boleh kurang dari 20 mg %, karena akan menimbulkan koma. Kebutuhan
glukosa sebanyak 25 % dari seluruh kebutuhan glukosa tubuh, sehingga bila kadar glukosa plasma
turun sampai 70 % akan terjadi gejala-gejala permulaan disfungsi cerebral.
Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan oksigen melalui
proses metabolik anaerob yang dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah. Pada kontusio berat,
hipoksia atau kerusakan otak akan terjadi penimbunan asam laktat akibat metabolisme anaerob. Hal
ini akan menyebabkan asidosis metabolik.
Dalam keadaan normal cerebral blood flow (CBF) adalah 50 - 60 ml / menit / 100 gr.
jaringan otak, yang merupakan 15 % dari cardiac output.
Trauma kepala meyebabkan perubahan fungsi jantung sekuncup aktivitas atypical-myocardial,
perubahan tekanan vaskuler dan udem paru. Perubahan otonom pada fungsi ventrikel adalah
perubahan gelombang T dan P dan disritmia, fibrilasi atrium dan vebtrikel, takikardia.
Akibat adanya perdarahan otak akan mempengaruhi tekanan vaskuler, dimana penurunan
tekanan vaskuler menyebabkan pembuluh darah arteriol akan berkontraksi . Pengaruh persarafan
simpatik dan parasimpatik pada pembuluh darah arteri dan arteriol otak tidak begitu besar.
2. Reaksi Verbal
Reaksi Verbal Nilai
Komunikasi verbal baik, jawaban tepat 5
Bingung, disorientasi waktu, tempat dan ruang 4
3. Reaksi Motorik
Reaksi Motorik Nilai
Mengikuti perintah 6
Melokalisir rangsangan nyeri 5
Menarik tubuhnya bila ada rangsangan nyeri 4
Reaksi fleksi abnormal dengan rangsangan nyeri 3
Reaksi ekstensi abnormal dengan rangsangan nyeri 2
Tidak ada gerakan dengan rangsangan nyeri 1
Berdasarkan GCS maka cidera kepala dapat dibagi menjadi 3 gradasi yaitu cidera kepala
derajat ringan, bila GCS : 13 – 15, Cidera kepala derajat sedang, bila GCS : 9 – 12, Cidera kepala
berat, bila GCS kuang atau sama dengan 8. Pada penderita yang tidak dapat dilakukan pemeriksaan
misal oleh karena aphasia, maka reaksi verbal diberi tanda “X”, atau oleh karena kedua mata edema
berat sehingga tidak dapat di nilai reaksi membuka matanya maka reaksi membuka mata diberi nilai
“X”, sedangkan jika penderita dilakukan tracheostomy ataupun dilakukan intubasi maka reaksi
verbal diberi nilai “T”.
2.7.2 Indikasi foto polos kepala
Tidak semua penderita dengan cidera kepala diindikasikan untuk pemeriksaan kepala karena
masalah biaya dan kegunaan yang sekarang makin dittinggalkan. Jadi indikasi meliputi jejas lebih
dari 5 cm, Luka tembus (tembak/tajam), Adanya corpus alineum, Deformitas kepala (dari inspeksi
dan palpasi), Nyeri kepala yang menetap, Gejala fokal neurologis, Gangguan kesadaran (Bajamal
A.H ,1999). Sebagai indikasi foto polos kepala meliputi jangan mendiagnose foto kepala normal
jika foto tersebut tidak memenuhi syarat, Pada kecurigaan adanya fraktur depresi maka dillakukan
foto polos posisi AP/lateral dan oblique.
2.7.3 Indikasi CT Scan
1. Nyeri kepala menetap atau muntah – muntah yang tidak menghilang setelah pemberian
obat – obatan analgesia/anti muntah.
2. Adanya kejang – kejang, jenis kejang fokal lebih bermakna terdapat lesi intrakranial
dibandingkan dengan kejang general.
3. Penurunan GCS lebih 1 point dimana faktor – faktor ekstracranial telah disingkirkan
(karena penurunan GCS dapat terjadi karena misal terjadi shock, febris, dll).
4. Adanya lateralisasi.
5. Adanya fraktur impresi dengan lateralisasi yang tidak sesuai, misal fraktur depresi
temporal kanan tapi terdapat hemiparese/plegi kanan.
6. Luka tembus akibat benda tajam dan peluru.
7. Perawatan selama 3 hari tidak ada perubahan yang membaik dari GCS.
8. Bradikardia (denyut nadi kurang 60 X / menit).
2.7.4 Cidera kepala yang perlu masuk rumah sakit (MRS)
1. Adanya gangguan kesadaran (GCS < 15).
2. Pernah tidak sadar lebih dari 15 menit (contusio serebri).
3. Adanya gangguan fokal neorologis (Hemiparese/plegi, kejang - kejang, pupil anisokor).
4. Nyeri kepala, muntah - mual yang menetap yang telah dilakukan observasi di UGD dan
telah diberikan obat analgesia dan anti muntah selama 2 jam tidak ada perbaikan.
5. Adanya tanda fraktur tulang kavaria pada pemerisaan foto kepala.
6. Klinis adanya tanda – tanda patah tulang dasar tengkorak.
7. Luka tusuk atau luka tembak
8. Adanya benda asing (corpus alienum).
9. Penderita disertai mabuk.
10.Cidera kepala disertai penyakit lain misal hipertensi, diabetes melitus, gangguan faal
pembekuan.
Indikasi sosial yang dipertimbangkan pada pasien yang dirawat dirumah sakit tidak ada yang
mengawasi di rumah jika di pulangkan,Tempat tinggal jauh dengan rumah sakit oleh karena jika
terjadi masalah akan menyulitkan penderita. Pada saat penderita di pulangkan harus di beri advice
(lembaran penjelasan) apabila terdapat gejala seperti ini harus segera ke rumah sakit misalnya :
mual – muntah, sakit kepala yang menetap, terjadi penurunan kesadaran, Penderita mengalami
kejang – kejang, Gelisah. Pengawasan dirumah harus dilakukan terus menerus selama kerang lebih
2 x 24 jam dengan cara membangunkan tiap 2 jam (Bajamal AH ,1999).
a. Perawatan dirumah sakit
Perawatan di rumah sakit bila GCS 13 – 15 meliputi:
1). Infus dengan cairan normoosmotik (kecuali Dextrose oleh karena dextrose cepat
dimetabolisme menjadi H2O + CO2 sehingga dapat menimbulkan edema serebri) Di RS
Dr Soetomo surabaya digunakan D5% ½ salin kira – kira 1500 – 2000 cc/24 jam untuk
orang dewasa.
2). Diberikan analgesia/antimuntah secara intravena, jika tidak muntah dicoba minum
sedikit – sedikit (pada penderita yang tetap sadar).
3). Mobilisasi dilakukan sedini mungkin, dimulai dengan memberikan bantal selama 6 jam
kemudian setengah duduk pada 12 jam kemudian duduk penuh dan dilatih berdiri (dapat
dilakukan pada penderita dengan GCS 15).
4). Jika memungkinkan dapat diberikan obat neorotropik, seperti: Citicholine, dengan dosis
3 X 250 mg/hari sampai minimal 5 hari.
5). Minimal penderita MRS selama 2 X 24 jam karena komplikasi dini dari cidera kepala
paling sering terjadi 6 jam setelah cidera dan berangsur – angsur berkurang sampai 48
jam pertama.
b. Perawatan di rumah sakit bila GCS < 13
Perawatan di rumah sakit bila GCS < 13
1). Posisi terlentang kepala miring kekiri dengan diberi bantal tipis (head up 15° – 30°) hal
ini untuk memperbaiki venous return sehingga tekanan intra kranial turun.
2). Beri masker oksigen 6 – 8 liter/menit.
3). Atasi hipotensi, usahakan tekanan sistolok diatas 100 mmHg, jika tidak ada perbaikan
dapat diberikan vasopressor.
4). Pasang infus D5% ½ saline 1500 – 2000 cc/24 jam atau 25 – 30 CC/KgBB/24jam.
5). Pada penderita dengan GCS < 9 atau diperkirakan akan memerlukan perawatan yang
lebih lama maka hendaknya dipasang maagslang ukuran kecil (12 Fr) untuk
memberikan makanan yang dimulai pada hari I dihubungkan dengan 500 cc Dextrose
5%. Gunanya pemberian sedini mungkin adalah untuk menghindari atrophi villi usus,
menetralisasikan asam lambung yang biasanya pH nya sangat tinggi (stress ulcer),
menambah energi yang tetap dibutuhkan sehingga tidak terjadi metabolisme yang
negatip, pemberian makanan melalui pipa lambung ini akan ditingkatkan secara
perlahan – lahan sampai didapatkan volume 2000 cc/24 jam dengan kalori 2000 Kkal.
Keuntungan lain dari pemberian makanan peroral lebih cepat pada penderita tidak sadar
antara lain mengurangi translokasi kuman di dinding usus halus dan usus besar,
Mencegah normal flora usus masuk kedalam system portal.
6). Sedini mungkin penderita dilakukan mobilisasi untuk menghindari terjadinya statik
pneumonia atau dekubitus dengan cara melakukan miring kekiri dan kanan setiap 2 jam.
7). Pada penderita yang gelisah harus dicari dulu penyebabnya tidak boleh langsung
diberikan obat penenang seperti diazepam karena dapat menyebabkan masking efek
terhadap kesadarannya dan terjadinya depresi pernapasan. Pada penderita gelisah dapat
terjadi karena nyeri oleh karena fraktur, Kandung seni yang penuh, Tempat tidur yang
kotor, Penderita mulai sadar, Penurunan kesadaran, Shock, Febris.
2.7.5 Transpor Oksigen
Sebagaimana yang diuraikan oleh beberapa peneliti (MacLean, 1971, Peitzman, 1987,
Abrams, 1993) mekanisme ini terdiri dari tiga unsur besar yakni:
1. Sistim pernafasan yang membawa O2 udara alveoli, kemudian difusi masuk kedalam
darah.
Setelah difusi menembus membran alveolokapiler, oksigen berkaitan dengan
hemoglobin dan sebagian kecil larut dalam plasma. Gangguan oksigenansi
menyebabkan berkurangnya oksigen didalam darah (hipoksemia) yang selanjutnya akan
menyebabkan berkurangnya oksigen jaringan (hipoksia). Atas penyebabnya, dibedakan
4 jenis hipoksia sesuai dengan proses penyebabnya:
1). Hipoksia – hipoksik : gangguan ventilasi-difusi
2). Hipoksia – stagnan : gangguan perfusi/sirkulasi
3). Hipoksia – anemic : anemia
4). Hipoksia – histotoksik: gangguan pengguanaan oksigen dalam sel (racun HCN,
sepsis).
Pada pendarahan dan syok terjadi gabungan hipoksia stagnan dan anemik.
Kandungan oksigen dalam darah arterial (Ca O 2) menurut rumus Nunn-Freeman
(MacLean, 1971, Lentner, 1984, Buran, 1987) adalah:
Ca O2 = (Hb x Saturasi O2 x 1,34) + (p O2 x 0,003)
Keterangan:
Hb= kadar hemoglobin darah (g/dl) saturasi
O2 = saturasi oksigen dalam hemoglobin (%)
1,34 = koefisien tetap (angka Huffner) beberapa penulis menyebut 1,36 atau 1,39
pO2 = tekanan parsiel oksigen dalam plasma, mmHg
0,003 = koefisien kelarutan oksigen dalam plasma.
2. Sistim sirkulasi yang membawa darah berisi O2 ke jaringan
Perubahan-perubahan hemodinamik sebagai kompensasi yaitu: nadi meningkat
(takikardia), kekuatan kontraksi miokard meningkat, vasokonstriksi di daerah arterial
reaksi takikardia terjadi segera. Tujuh puluh lima persen volume sirkulasi berada di
daerah vena. Vasokonstriksi memeras darah dari cadangan vena kembali ke sirkulasi
efektif. Vasokonstriksi arterial membagi secara selektif aliran untuk organ prioritas
(otak dan jantung) dengan mengurangi aliran ke kulit, ginjal, hati, usus. Vasokonstriksi
yang berupaya mempertahankan tekanan perfusi (perfusion pressure) untuk otak dan
jantung, menyebabkan jantung bekerja lebih berat mengatasi SVR, pada saat yang sama
oksigenasi koroner sedang menurun. Vasokonstriksi yang berlebihan di daerah usus
dapat menyebabkan cedera iskemik (iscemic injury), translokasi kuman menembus usus
dan masuknya endotoksin ke sirkulasi sistemik (Kreimeier 1990 dan 1992; Hartmann,
1991). Takikardia dan vasokonstriksi sudah berjalan dengan cepat melalui respons
baroreseptor dan katekolamin. Takikardia yang berlebihan justru merugikan, karena
menyebabkan EDV menurun sehingga CO juga turun. Cardiac output atau curah
jantung adalah volume aliran darah yang membawa oksigen ke jaringan. Hubungan
antara curah jantung (CO), frekwensi denyut jantung (f) dan Stroke Volume (SV)
adalah sebagai berikut:
CO = f x SV
SV : dipengaruhi oleh EDV--- C --- SVR
EDV : volume ventrikel pada akhir diastole
C : contractility (kekuatan kontraksi otot jantung)
SVR : Systemic Vascular Resistance
VR : Venous Return (jumlah darah yang masuk atrium), dalam keadaan normal
VR = CO
Available O2 = CO x Ca O2
Available O2 : oksigen tersedia (untuk jaringan)
Ca O2 : kandungan oksigen darah arterial.
3. Sistim O2-Hb dalam eritrosit dan transpor ke sel jaringan
Eritrosit mendapat oksigen dari difusi yang terjadi di kapiler paru. Dinamika
oksigen dalam eritrosit ditunjukkan oleh kurva disosiasi oksigen-hemoglobin (Lentner,
19984; Odorico, 1993). Untuk memenuhi kebutuhan oksigen pada organ vital (otak,
jantung) diisyaratkan bahwa kadar Hb harus > 9 sampai 10 gr %. Bila kadar Hb kurang
dari 9 gr % masih dapat memenuhi kebutuhan oksigen dengan peningkatan curah
jantung dan pelepasan lebih banyak oksigen ke jaringan (Odorico, 1993; Rotondo,
1993).
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Cidera kepala yaitu adanya deformasi berupa penyimpangan bentuk atau penyimpangan
garis pada tulang tengkorak, percepatan dan perlambatan (accelerasi-decelerasi) yang merupakan
perubahan bentuk dipengaruhi oleh perubahan peningkatan pada percepatan faktor dan penurunan
kecepatan, serta notasi yaitu pergerakan pada kepala dirasakan juga oleh otak sebagai akibat
perputaran pada tindakan pencegahan.
Cidera Kepala Sedang (COS):
1. GCS 9 – 12
2. Saturasi oksigen > 90 %
3. Tekanan darah systale > 100 mm Hg
4. Lama kejadian < 8 jam
Pertolongan pertama dari penderita dengan cidera kepala mengikuti standart yang telah
ditetapkan dalam ATLS (Advanced Trauma Life Support) yang meliputi, anamnesa sampai
pemeriksaan fisik secara seksama dan stimultan pemeriksaan fisik meliputi Airway, Breathing,
Circulasi, Disability. Setelah ABC stabil baru dilakukan survey yang lain dengan cara melakukan
sekunder survey/ pemeriksaan tambahan seperti skull foto, foto thorax, foto pelvis, CT Scan.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Hafid, M. Sajid Darmadiputra, Umar Kasan, (1989), Strategy Dasar Penanganan Cidera
Otak, Warta IKABI Cab. Surabaya.
American College of Surgeons, (1995), Advanced Trauma Life Support Course for Physicians, ACS
Chicago
Bajamal AH, (1999), Penatalaksanaan Cidera Otak Karena Trauma Pendidikan Kedokteran
Berkelanjutan Ilmu Bedah Saraf Surabaya.
Becker DP, Gardner S, (1985), Intensive Management of Head Injury. In : Wilkins RH,
Rengachary SS, eds. Neurosurgery New York : Mc. Grow Hill Company, 1953.
Bouma GJ, Muizelaar JP, Choi Sc et.al, (1991), Cerebral Circulation and Metabolism After Severe
Traumatic Barin Injury : the elusive role of ischemia. J. Neurosurg.
Bambang Wahyu Prajitno, (1990), Terapi Oksigen, Lab Anestesiologi F.K Unair Surabaya.
Barzo MK, rau AM, Donaldson D et.al, (1997), Protective Effect of Ifenprodil on Ishemic Injury
Size, Blood Breakdown, and Edema Formation in Focal Cerebral Ischemia.
Gennerelli TA and Meany DF ( 1996 ), Mechanism of Primary Head Injury, Wilkins RH and
Renfgachery SS ( eds ) Neurosurgery, New York
Ishige N, Pitts LH et.al (1987), Effect of Hypoxia on Traumatic brain Injury in rats Neurosurgery
Narayan RK (1989), Emergency Room Management of the Head Injury Patient. In : Becker D.P,
Gudeman S.K, eds Text Book of Head Injury Philadelphia : WB Saunders
R. Zander, F. Mertzlufft (1990), The Oxygen Status of Arterial Blood, Saarstrabe Germany.
Umar kasan (1998), Peran Ilmu Bedah Saraf Dalam Penanganan Cidera Kepala Pidato
Pengukuhan Guru Besar Airlangga Univ. Press.