Dosen Pengampu :
Suyikno, S.Ag, MH
Disusun Oleh :
SURABAYA
2021
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dikenal sebagai Omnibuslaw, UU 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja adalah Undang-
Undang yang fenomenal. Undang-Undang Cipta Kerja atau UU Ciptaker disusun dengan
kecepatan tinggi dan memunculkan pro dan kontra. Ada ketersinggungan di sana-sini, namun UU
Cipta kerja tetap melaju kencang dan disahkan. Implementasi dari UU Cipta Kerja inipun disambut
positif dan negatif. Cipta Kerja dalam UU 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja merupakan usaha
penciptaan kerja melalui usaha kemudahan, perlindungan, dan pemberdayaan koperasi dan usaha
mikro, kecil, dan menengah, peningkatan ekosistem investasi dan kemudahan berusaha, dan
investasi Pemerintah Pusat dan percepatan proyek strategis nasional.
Hal yang menjadi urgent sehingga ada UU 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja adalah upaya
perubahan pengaturan yang berkaitan kemudahan, perlindungan, dan pemberdayaan koperasi dan
usaha mikro, kecil, dan menengah, peningkatan ekosistem investasi, dan percepatan proyek
strategis nasional, termasuk peningkatan perlindungan dan kesejahteraan pekerja dilakukan
melalui perubahan Undang-Undang sektor yang belum mendukung terwujudnya sinkronisasi
dalam menjamin percepatan cipta kerja, sehingga diperlukan terobosan hukum yang dapat
menyelesaikan berbagai permasalahan dalam beberapa Undang-Undang ke dalam satu Undang-
Undang secara komprehensif.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana analisa mengenai UU cipta kerja Nomor 11 Tahun 2020 terhadap masyarakat?
2. Apa dampak Undang-Undang Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020 bagi masyarakat?
3. Apa upaya yang harus dilakukan pemerintah terhadap pengesahan UU Cipta Kerja Nomot 11
Tahun 2020?
Dengan adanya penyusunan makalah ini akan dapat mengulurkan ilmu dan pengetahuan mengenai
Analisa Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020. Juga diharapkan bisa menjadi referensi bagi
pembaca serta dapat mengetahui dampak yang terjadi di masyarakat mengenai Undang- Undang
Nomor 11 Tahun 2020 ini.
BAB II
PEMBAHASAN
Pemutusan hubungan kerja tentu saja akan bertambah banyak jika diturunkannya besaran
uang pesangon yang akan diperoleh oleh para pekerja, Pemutusan hubungan kerja secara massal
dapat mengancam para pekerja karena biaya untuk dilakukan pemecatan ketimbang rendah
daripada harus selalu menggaji para pekerja sehingga dalam hal ini ini akan terjadi ketidakpastian
dalam bekerja. jika dibandingkan dengan undang-undang tentang ketenagakerjaan, muatan pada
undangundang cipta kerja berbeda, walaupun undang-undang tentang ketenagakerjaan dinilai
masih jauh dari harapan yang diinginkan oleh pekerja. Meskipun demikian ternyata substansi
dalam undang-undang cipta kerja semakin buruk. Dalam undang-undang ketenagakerjaan telah
diatur tentang dilarangnya perusahaan dalam melakukan pemutusan hubungan kerja apabila
pekerja perempuan sedang hamil, melahirkan, keguguran atau sedang menyusui. Sementara pada
undang-undang cipta kerja tidak diatur tentang pelarangan sebagaimana dimaksud di atas. 1
1Otti Ilham Khair, “Analisis Undang-Undang Cipta Kerja Terhadap Perlindungan Tenaga Kerja
Di Indonesia”, Sekolah Tinggi llmu Pemerintahan Abdi Negara, Vol. 3, No. 2, September 2021, Hal : 53-54
Ombudsman menyoroti bahwa pembentukan omnibus law Cipta Kerja minim partisipasi
publik. Hal ini tentu menjadi catatan aneh ketika omnibus law cipta kerja malah minim partisipasi
masyarakat.2 Pembentukan undang-undang haruslah aspiratif dan partisipatif yang dalam hal ini
mengandung makna proses dan substansi. Proses dalam pembentukan undang-undang haruslah
transparan, sehingga aspirasi masyarakat dapat berpartisipasi dalam memberikan
masukanmasukan. Sementara substansi berkaitan dengan materi yang diatur harus ditujukan bagi
kepentingan masyarakat sehingga menghasilan undang-undang yang demokratis, aspiratif,
partisipatif, dan berkarakter responsif. Dengan kata lain, menurut Nonet dan Selznick, pentingnya
peran masyarakat dalam pembentukan produk hukum harus terlihat pada proses pementukannya
yang partisipatif dengan mengundang sebanyak-banyaknya partisipasi semua elemen masyarakat,
baik dari segi individu maupun kelompok masyarakat. Selain itu harus bersifat aspiratif yang
bersumber dari keinginan masyarakat bukan hanya kehendak dari penguasa untuk melegitimasikan
kekuasaannya.
Itulah substansi dari pemenuhan kebutuhan hukum masyarakat yang ideal dengan
mengedepankan proses deliberatif sebagai kunci agar hukum dapat diterima masyarakat. Pada
akhirnya, pembentukan omnibus law sendiri harus mengikuti mekanisme layaknya membentuk
undang-undang seperti pada umumnya, yaitu meliputi tahap perencanaan, penyusunan,
pembahasan, hingga pengesahan yang harus sesuai dengan ketentuan yang telah diatur dalam UU
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dalam hal ini tentu
pemerintah alangkah lebih baiknya jika memfokuskan dulu melegalkan bentuk omnibus law dalam
UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Hal ini didasari agar pemerintah tidak
sewenang-wenang dalam menentukan langkah progresif di bidang hukum, mengingat segala
bentuk tindakan pemerintah harus didasari oleh undang-undang, bukan hanya pidato semata.3
2 Ombudsman, ‘Omnibus Law Minim Partisipasi Publik, Ombudsman Buka Kesempatan Pengaduan -
Ombudsman RI’ <https://ombudsman.go.id/news/r/omnibus-law-minim-partisipasi-publik-ombudsman-
bukakesempatan-pengaduan.
3 Suryati, dkk. "Tinjauan Hukum Terhadap Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja", Simbur Cahaya, Hal: 103.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
Otti Ilham Khair, “Analisis Undang-Undang Cipta Kerja Terhadap Perlindungan Tenaga Kerja
Di Indonesia”, Sekolah Tinggi llmu Pemerintahan Abdi Negara, Vol. 3, No. 2, September 2021.
Suryati, dkk. "Tinjauan Hukum Terhadap Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja", Simbur
Cahaya.