M DENGAN
DIAGNOSA MEDIS EFUSI PERIKARDIUM DI RUANGAN
CEMPAKA RSUD PROF. DR.W.Z JOHANNES KUPANG
Di Susun Oleh:
Dosen Pengampu:
Alkhusari S,Kep,Ners M,Kes M,Kep
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
atas rahmat dan karunia-Nya sehingga laporan yang membahas tentang
“ASUHAN KEPERAWATAN PADA NY.S.B.M DENGAN DIAGNOSA
MEDIS EFUSI PERIKARDIUM DI RUANGAN CEMPAKA RSUD PROF.
DR.W.Z JOHANNES KUPANG” dapat selesai tepat pada waktunya.
Terimakasih kami sampaikan kepada pihak-pihak yang telah membantu
dalam proses penyusunan laporan ini, baik yang terlibat secara langsung
maupun yang tidak.
Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari kata sempurna
karena keterbatasan yang kami miliki. Oleh karena itu, kritik dan saran yang
sifatnya membangun dari para pembaca sangat kami harapkan agar
terciptanya laporan yang lebih baik lagi.
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kurang dari 30% penderita menunjukkan gejala seperti nyeri dada, napas
pendek, ortopnea atau disfagia. Pada pemeriksaan fisik tampak vena leher
terbendung, suara jantung terdengar jauh, tekanan nadi mengecil dan takikardia.
Pada pemeriksaan penunjang, pada EKG didapatkan: elevasi ST difusi (konkaf ),
depresi PR, gelombang T terbalik; 4 stadium yang berkembang dalam hitungan
jam hingga minggu; voltase rendah dan perubahan elektris mungkin terlihat pada
efusi yang terjadi luas. Pemeriksaan CPK-MB atau troponin dapat meningkat
apabila mioperikarditis. Foto rontgen toraks: jika muncul efusi, akan tampak
kardiomegali atau jantung “seperti botol air” (>250 cc cairan); tanda seperti
“biskuit Oreo”(rediolusen antara jantung dengan perikardium anterior pada foto
toraks posisi lateral). Dan pada pemeriksaan ekokardiogram : mungkin normal
atau terlihat efusi pericardium terpisah (fibrin atau tumor). Tindakan diagnostik
selanjutnya dapat dilakukan perikardiosentesis dan dilakukan pemeriksaan hitung
sel, protein total (TP), LDH, glukosa, pewarnaan gram, kultur, sitologi
Tujuan Penulisan
Tujuan Umum
Tujuan umum pembuatan Karya Tulis Ilmiah ini adalah untuk menerapkan
Asuhan Keperawatan Pada Pasien Efusi Pericardium sesuai dengan konsep dan
teori yang didapatkan selama proses pendidikan.
Tujuan khusus
1. Bagi Penulis
TINJAUAN PUSTAKA
1. Defenisi
2. Patofisiologi
6) Hypothyroidism
7) HIV/AIDS
4. Manifestasi Klinis
Banyak pasien dengan efusi perikardial tidak menunjukkan gejala.
Kondisi ini sering ditemukan ketika pasien melakukan foto dada x-ray atau
echocardiogram untuk mendiagnosa penyakit lain. Awalnya, pericardium dapat
meregang untuk menampung kelebihan cairan. Oleh karena itu, tanda dan gejala
terjadinya penyakit mungkin akan terjadi ketika sejumlah besar cairan telah
terkumpul.
Jika gejala muncul, maka kemungkinan akan terdeteksi dari kelainan organ
di sekitarnya, seperti paru-paru, lambung atau saraf frenik (saraf yang terhubung
ke diafragma). Gejala juga dapat terjadi karena gagal jantung diastolik (gagal
jantung yang terjadi karena jantung tidak dapat berdetak normal seperti biasanya
pada setiap gerakan karena kompresi ditambahkan). Biasanya gejala yang timbul
pada efusi perikardial yaitu :
• Sesak Napas
• Terasa mual
a. Pemeriksaan Biokimia
6. Penatalaksanaan Medis
Apabila fungsi jantung sangat terganggu, maka perlu dilakukan aspirasi
pericardial (tusukan pada kantung perikardium) untuk mengambil cairan dari
kantung perikardium.Tujuan utamanya adalah mencegah Tamponade jantung
yang dapat menghambat kerja jantung normal.Selama prosedur, pasien harus
dipantau dengan EKG dan pengukuran tekanan hemodinamika. Peralatan
resusitasi darurat juga harus tersedia. Kepala tempat tidur dinaikkan 45-60 derajat,
agar jantung lebih dekat dengan dinding dada sehingga jarum dapat dimasukkan
dengan mudah.
Jarum aspirasi perikardium dipasang pada spuit 50 ml, melalui three-way
stop cock.Lead V (kawat lead perkordial) EKG dihubungkan ke ujung jarum
menghisap dengan perekat aligator, karena EKG dapat membantu menentukan
apakah jarum telah menyentuh perikardium. Bila terjadi tusukan, maka akan
terjadi elevasi segmen ST atau stimulasi kontraksi ventrikel prematur.
Ada berbagi tempat yang mungkin digunakan untuk aspirasi perikardium.
Jarum bisa dimasukkan pada sudut antara batas costa kiri dan sifoid, dekat apeks
jantung, antara rongga kelima dan keenam batas sternum, atau pada batas kanan
sternum pada rongga interkostal keempat. Jarum dimasukkan perlahan hingga
memperoleh cairan.
Bila terjadi penurunan tekanan vena sentral dengan disertai peningkatan
tekanan darah ini menunjukkan tamponade jantungnya sudah hilang. Pasien
biasanya kemungkinan merasa lebih nyaman. Bila cairan dalam perikardium
cukup banyak, maka perlu dipasang kateter untuk mengalirkan perdarahan
ataupun efusi yang kambuh.
Selama prosedur ini dilakukan, perhatikan adanya darah dalam cairan yang
keluar. Darah perikardium tidak akan membeku dengan cepat, sementara darah yang tidak
sengaja terhisap dari bilik jantung akan segera membeku. Cairan perikardium kemudaian
akan dikirim ke laboratorium untuk pemeriksaan tumor, kultur bakteri, analisa kimia dan
serologis serta hitungan jenis sel.
7. Komplikasi
Komplikasi yang paling sering terjadi pada Efusi Perikardium adalah Tamponade
jantung yaitu situasi yang disebapkan oleh akumulasi cairan dalam ruang perikardial,
sehingga kompromi hemodinamik ventrikel berkurang mengisi dan berikutnya.
Tamponade jantung adalah keadaan darurat medis. Keseluruhan risiko kematian
tergantung pada kecepatan diagnosis, pengobatan disediakan, dan penyebab yang
mendasari tamponade ini.
BAB III
A. PENGKAJIAN
Nama mahasiswa : Yuliana Muti
NIM : PO5303201181250
Tempat praktek :RuangCempaka Tanggal
dan jam : 14-07-2019 11.00 wita
IDENTITAS KLIEN
Nama : Ny S. B. M
Umur : 33 Tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Suku bangsa : Indonesia
Agama : Katolik
Pekerjaan : IRT ( Ibu Rumah Tangga )
Pendidikan : SMA
Alamat : Jln. Tuapukan
Penanggung : Umum Nomor registrasi 0513991
Diagnosa medik :Efusi Perikardium Tanggal
MRS : 3 Juli 2019 ( jam: 07:51 )
Penanggung jawab
Pasien mengatakan sebelum saklit pernah mengalami sakit uluhati tertikam sampai di
belakang, dan mengalami batuk kering kurang lenbih dua bulan
2. Riwayat penyakit sekarang :
pasien mengatakan tidak ada keluarga yang menderita sakit seperti dia.
GENOGRAM
Keterangan : : Kakek
: Nenek
: Anak perempuan
: Pasien
: Anak laki-laki
TB : 155 cm
BB : 39 kg
8. Body sistem :
Pendengaran : Normal
Penciuman : Normal
Pengecapan : Normal
Perabaan : Normal
perkemihan – eliminasi Uri (B4 : BLADER)
Produksi urin : ± 1.800 cc
Frekuensi : ± 12 kali
Bau : Khas
Kulit : Normal
Warna kulit : Normal
Akral : Dingin
Turgor : Baik
sistem endokrin
sistem reproduksi
Di rumah
Di rumah
No Aktifitas sakit
Sehat Sakit
1. Pola makan 0 1 3
2. Pola minum 0 1 1
3. Pola eliminasi 0 3 3
4. Pola istirahat / tidur 0 0 0
5. Pola personal hygienis 0 3 3
6. Pola aktifitas 0 3 3
Ketergantungan 0 11 13
Skala pengukuran :
4 : Sangat tergantung dan tidak dapat melakukan atau berpartisipasi dalam perawatan
PSIKOSOSIAL
Sosial interaksi :
penyembuhannya
DARAH URINE
Pemeriksaan Urinalisa
THERAPI
1 Furosemid 5 mg/jam
2 Digoksin 2x0,25 mg
3 Spiromilakton 1x 25 mg
4 Ibuproven 3x 600 mg
5 Kulkisin 1x 0,5 mg
6 Infuse NaCl 150 cc/ jam
A. Analisa Data
B. . DIAGNOSA KEPERAWATAN
C . Intervensi Keperawatan
Di Susun Oleh:
Dora Miranti (18220007)
Dosen Pengampu:
Alkhusari S,Kep,Ners M,Kes M,Kep
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan karunia-
Nya sehingga laporan yang membahas tentang “APALLIC SYNDROME : KERUSAKAN OTAK
YANG SERIUS” dapat selesai tepat pada waktunya.Terimakasih kami sampaikan kepada pihak-
pihak yang telah membantu dalam proses penyusunan laporan ini, baik yang terlibat secara
langsung maupun yang tidak. Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari kata sempurna
karena keterbatasan yang kami miliki. Oleh karena itu, kritik dan saran yang sifatnya membangun
dari para pembaca sangat kami harapkan agar terciptanya laporan yang lebih baik lagi.
BAB I
PENDAHULUAN
Latar belakang
Apallic Syndrome (AS) juga disebut Unresponsive Wakefulness Syndrome (UWS) dan Persistant Vegetative State.
Ini adalah hasil dari cedera otak traumatis seperti degenerasi korteks dan serebral bilateral serebral dan anoksia,
atau ensefalitis yang menyebabkan otak menghentikan kemampuan untuk menciptakan pikiran, merasakan
sensasi, dan mengingat kejadian masa lalu.
Beberapa pasien terbangun dari koma (yaitu membuka mata) namun tetap tidak responsif (yaitu hanya
menunjukkan gerakan refleks tanpa respon terhadap perintah) dan tidak menunjukkan tanda-tanda kesadaran.
Sindrom ini telah menciptakan keadaan vegetatif terjaga. Pasien juga bisa bernafas tanpa bantuan alat mekanik
sambil tetap menjaga detak jantung secara teratur.
Jumlah mekanisme komunikasi dan kognitif terbatas pada Apallic Syndrome (AS). Pasien mungkin bisa menelan,
mendengus, tersenyum, atau mengerang tanpa stimulus eksternal. Mereka juga tidak bisa mematuhi perintah lisan.
Sindrom ini pertama kali dijelaskan pada tahun 1940 oleh Ernst Kretschmer yang menyebutnya Apallic
Syndrome. Istilah negara vegetatif yang gigih diciptakan pada tahun 1972 oleh ahli bedah tulang belakang
Skotlandia Bryan Jennett dan ahli saraf Amerika Fred Plum untuk menggambarkan sebuah sindrom yang
tampaknya dimungkinkan oleh peningkatan kemampuan obat untuk menjaga agar tubuh pasien tetap hidup.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
a. Definisi
Apallic Syndrome (AS) juga disebut Unresponsive Wakefulness Syndrome (UWS) dan Persistant
Vegetative State. Ini adalah hasil dari cedera otak traumatis seperti degenerasi korteks dan serebral bilateral
serebral dan anoksia, atau ensefalitis yang menyebabkan otak menghentikan kemampuan untuk
menciptakan pikiran, merasakan sensasi, dan mengingat kejadian masa lalu. Beberapa pasien terbangun
dari koma (yaitu membuka mata) namun tetap tidak responsif (yaitu hanya menunjukkan gerakan refleks
tanpa respon terhadap perintah) dan tidak menunjukkan tanda-tanda kesadaran. Sindrom ini telah
menciptakan keadaan vegetatif terjaga. Pasien juga bisa bernafas tanpa bantuan alat mekanik sambil tetap
menjaga detak jantung secara teratur.Jumlah mekanisme komunikasi dan kognitif terbatas pada Apallic
Syndrome (AS). Pasien mungkin bisa menelan, mendengus, tersenyum, atau mengerang tanpa stimulus
eksternal. Mereka juga tidak bisa mematuhi perintah lisan. Sindrom ini pertama kali dijelaskan pada
tahun 1940 oleh Ernst Kretschmer yang menyebutnya Apallic Syndrome. Istilah negara vegetatif yang
gigih diciptakan pada tahun 1972 oleh ahli bedah tulang belakang Skotlandia Bryan Jennett dan ahli saraf
Amerika Fred Plum untuk menggambarkan sebuah sindrom yang tampaknya dimungkinkan oleh
peningkatan kemampuan obat untuk menjaga agar tubuh pasien tetap hidup.
2. Mata pasien mungkin berada dalam posisi yang relatif tetap, atau melacak benda bergerak, atau bergerak
dengan cara yang berbeda (sama sekali tidak sinkron). Mereka mungkin mengalami siklus tidur-bangun,
atau berada dalam keadaan terjaga kronis.
3. Mereka mungkin menunjukkan beberapa perilaku yang dapat ditafsirkan sebagai timbul dari kesadaran
parsial, seperti menggiling gigi, menelan, tersenyum, meneteskan air mata, mendengus, mengerang, atau
menjerit tanpa stimulus eksternal yang nyata.
4. Jarang menggunakan peralatan yang mendukung kehidupan selain tabung makanan karena batang otak,
pusat fungsi vegetatif (seperti denyut jantung dan ritme, pernapasan, dan aktivitas gastrointestinal) relatif
utuh
ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK DENGAN
SINDROMA NEFROTIK DIRUANGAN RAWAT ANAK
IRNA KEBIDANAN DAN ANAK RSUP.Dr.M.DJAMIL
PADANG
Di Susun Oleh:
Dora Miranti (18220007)
Dosen Pengampu:
Alkhusari S,Kep,Ners M,Kes M,Kep
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan karunia-
Nya sehingga laporan yang membaha dapat selesai tepat pada waktunya.Terimakasih kami
sampaikan kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam proses penyusunan laporan ini, baik
yang terlibat secara langsung maupun yang tidak. Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh
dari kata sempurna karena keterbatasan yang kami miliki. Oleh karena itu, kritik dan saran yang
sifatnya membangun dari para pembaca sangat kami harapkan agar terciptanya laporan yang lebih
baik lagi.
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sindrom Nefrotik merupakan penyakit ginjal yang paling sering ditemukan pada anak, dan didefinisikan
sebagai kumpulan gejala yang disebabkan oleh adanya kerusakan glomerulus yang terjadi pada anak dengan
karakteristik proteinuria, hipoalbuminemia, hiperlipidemia dan edema (Suradi & Yuliani, 2010).Sejumlah anak
dengan sidroma nefrotik yang mengalami kekambuhan dapat berkurang secara bertahap sesuai dengan
bertambahnya usia anak. Insiden yang ditemukan pada Sindroma Nefrotik yaitu angka mortalitas dan prognosis
anak bervariasi berdasarkan penyebab, keparahan, tingkat kerusakan ginjal, usia anak serta respon anak terhadap
pengobatan. Penyakit ini sedikit lebih tinggi pada anak laki-laki dari pada anak perempuan (Betz & Sowden,
2009)Insidens Sindroma Nefrotik pada anak dalam kepustakaan di Amerika Serikat dan Inggris terdapat 2-7 kasus
baru per 100.000 anak dalam satu tahun, dengan prevalensi berkisar 12-16 kasus per 100.000 anak. Di negara
berkembang insidensinya lebih tinggi. Di Indonesia dilaporkan 6 per 100.000 per tahun pada anak berusia kurang
dari 14 tahun. Perbandingan anak laki-laki dan perempuan 2:1 (Konsensus IDAI, 2012 dalam Arif Y. Prabowo,
2014).Hal tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Nurisya, dkk (2014) di Rumah Sakit Dr. Hasan
Sadikin (RSHS) Bandung dan Rumah Sakit Umum Daerah Kota Bandung, di dominasi oleh laki-laki dengan rasio
laki-laki berbanding perempuan 1,4:1. Hasil ini sesuai pula dengan yang dikemukakan oleh Niaudet serta Dolan
dan Gill bahwa penderita SN anak laki-laki lebih banyak dari pada anak perempuan.
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
2.Etiologi
Ngastiyah, (2014) mengatakan bahwa belum pasti diketahui penyebab Sindroma Nefrotik, namun akhir-akhir ini
dianggap sebagai penyakit autoimun. Umumnya, etiologi Sindroma Nefrotik dibagi menjadi:
1. Sindroma Nefrotik Bawaan
Sindroma Nefrotik Bawaan diturunkan sebagai resesif autosomal, klien ini biasanya tidak merespon terhadap
pengobatan yang diberikan. Adapun gejala yang biasanya terjadi yaitu edema pada masa neonatus. Umumnya,
perkembangan pada klien terbilang buruk dan klien akan meninggal pada bulan-bulan pertama kehidupannya.
3.Patofisiologi
Meningkatnya permeabilitas dinding kapiler glomerular akan berakibat pada hilangnya protein plasma dan
kemudian akan terjadi proteinuria. Kelanjutan dari proteinuria akan dapat mengakibatkan hipoalbuminemia.
Dengan menurunnya jumlah albumin, terjadilah penurunan tekanan osmotik plasma sehingga cairan intravaskuler
akan berpindah ke interstisial. Perpindahan cairan tersebut mengakibatkan volume cairan intravaskuler berkurang
dan terjadilah kondisi hipovolemik pada pasien, kondisi hipovolemik ini jika tidak segera diatasi akan berdampak
pada hipotensi.
Rendahnya volume cairan pada intravaskuler ini akan mempengaruhi aliran darah ke renal, ginjal akan melakukan
kompensasi dengan merangsang produksi renin angiotensin dan peningkatan sekresi antidiuretik hormon (ADH)
dan sekresi aldosteron yang mengakibatkan retensi terhadap natrium dan air yang berdampak pada edema.
Penurunan daya tahan tubuh juga mungkin terjadi akibat hipoalbuminemia, jika tidak segera diatasi pasien dengan
Sindroma Nefrotik akan rentan terhadap infeksi seperti peritonitis
4.Manifestasi Klinis
Walaupun gejala pada anak akan bervariasi seiring dengan perbedaan proses penyakit, gejala yang paling sering
berkaitan dengan sindroma nefrotik adalah:
Penurunan haluaran urine dengan warna gelap dan berbusa.
Retensi cairan dengan edema berat (edema fasial, abdomen, area genitalia dan ekstremitas).
Distensi abdomen karena edema yang mengakibatkan sulit bernapas, nyeri abdomen, anoreksia dan diare.
Pucat.
Keletihan dan intoleransi aktivitas.
Nilai uji laboratorium abnormal seperti proteinuria > 2gr/m2/hari, albumin serum < 2gr/dl, kolesterol serum
mencapai 450-1000mg/dl.
(Betz & Sowden, 2009)
5.Penatalaksanaan
Menurut Betz & Sowden, (2009) penatalaksanaan medis untuk sindrom nefrotik meliputi :
Pemberian kortikosteroid seperti prednison atau prednisolon untuk menginduksi remisi. Dosis akan diturunkan
setelah 4 sampai 8 minggu terapi. Jika pasien mengalami kekambuhan, maka perlu diberikan kortikosteroid
dengan dosis tinggi untuk beberapa hari.
Penggantian protein, hal ini dapat dilakukan dengan pemberian albumin melalui makanan atau melalui intravena.
Pengurangan edema.
BAB III
PEMBAHASAN KASUS
Deskripsi Kasus
An. A (participant 1) laki-laki berusia 38 bulan datang dibawa orangtuanya ke RSUP.Dr.M.Djamil Padang pada 22
Mei 2017 pukul 22.05 wib melalui IGD RSUP.Dr.M.Djamil Padang dengan rujukan dari RSUD Pariaman. Ibu
pasien mengeluhkan anak mengalami sembab pada seluruh bagian tubuhnya, tanda-tanda vital anak
menunjukkan TD 150/100 mmHg, nadi 112x/i, pernapasan 24x/i dan suhu 36,8oC. Diagnosa medis anak adalah
Sindroma Nefrotik.
An.R (participant 2) perempuan berusia 14 tahun datang dibawa ibu dan kakaknya ke RSUP.Dr.M.Djamil Padang
pada 18 Mei 2017 pukul 17.10 wib melalui IGD RSUP.Dr.M.Djamil Padang untuk melaksanakan kemoterapi
CPA yang kelima, keluhan keluarga saat ini anak mengalami sembab pada tangan dan kaki serta mengalami
demam dan anak mengalami penurunan nafsu makan, tanda-tanda vital anak menunjukkan TD 100/60 mmHg,
nadi 82x/i, pernapasan 21x/i dan suhu 38,5oC. Diagnosa medis anak saat ini adalah SLE + Sindroma Nefrotik.
Asuhan Keperawatan
PARTICIPANT 1 PARTICIPANT 2
1. Hasil Pengkajian
An.R perempuan berusia 14 tahun
An.A laki-laki berusia 38 bulan dibawa dibawa ke
ke RSUP.Dr.M.Djamil Padang pada RSUP.Dr.M.Djamil Padang pada
tanggal 22 Mei 2017 pukul 22.05 wib tanggal 18 Mei 2017 pukul
melalui IGD rujukan dari RSUD. 17.10 wib melalui IGD. Pasien
Pariaman. Pasien datang dengan datang untuk melakukan
keluhan edema pada seluruh bagian kemoterapi ke-5. An.R di rawat di
tubuh selama ± 2 hari, urine sedikit dan ruang Akut IRNA Kebidanan dan
berwarna gelap serta mengalami anak dengan diagnosa medis SLE
hematurie. An.A di rawat di ruang Akut + Sindroma Nefrotik.
IRNA Kebidanan dan anak dengan
diagnosa medis Sindroma Nefrotik.
Data hasil pengkajian riwayat sekarang, Data hasil pengkajian riwayat
pada 24 Mei 2017 pukul sekarang, pada 24 Mei 2017 pukul
14.30 wib dengan hari rawatan ke-2 16.00 wib dengan hari rawatan
pasien mengalami edema pada bagian ke-6 pasien mengalami edema
tubuh meliputi palpebra, pipi, pada bagian punggung kaki dan
ekstremitas, skrotum dan asites, pasien punggung tangan, demam sejak ±
sedikit rewel, berat badan sebelum sakit 1 minggu, pasien tidak
9,5 kg dan saat ini berat badan pasien menghabiskan makanannya dan
12 kg. berat badan saat ini 29 kg.
Data terapi pasien antara lain Data terapi pasien antara lain
Prednison 1-1-2 tab, Captopril Methylprednisolon 1x24 mg,
3x12,5 mg, Nifedipin 3x2 Captopril 3x12,5 mg,
mg, Vit.C
Lasix 2x10 mg, Simfastatin 1x10 3x100 mg, Bicnat 3x3 mg,
mg, Cefixime 2x25 mg Luminal 2x60 mg, Cefixime
2x150 mg, Allopurinol 3x100
mg, Calc 3x500 mg
2. Diagnosa Keperawatan
Berdasarkan analisa data yang
Berdasarkan analisa data yang peneliti
peneliti lakukan, maka masalah
lakukan, maka masalah keperawatan
keperawatan yang muncul pada
yang muncul pada An.A 1) kelebihan
An.R 1) hipertermi
volume cairan
berhubungan dengan penurunan berhubungan dengan penyakit.
tekanan osmotik koloid, data subjektif: Data subjektif: Tn.R mengatakan
Ny.J mengatakan anaknya mengalami adiknya demam dan badannya
sembab pada hampir seluruh bagian teraba hangat. Data objektif: suhu
tubuh (mata, pipi, perut, kaki, tangan, 38,5oC, kulit teraba hangat, wajah
kelamin), sedikit rewel, minum ±1200 memerah, leukosit 5.700/mm3.
cc dan BAK ±900 cc. Data objektif:
edema pada palpebra, pipi, punggung
tangan hingga batas lengan, punggung
kaki hingga paha, skrotum, abdomen,
anak terlihat gelisah, saat dilakukan
penimbangan berat badan pasien 12 kg,
sebelum sakit 9,5 kg, nilai natrium 128
Mmol/L (136-145 Mmol/L) dan
kalsium 7,6 mg/dL (8,1-10,4 mg/dL).
Pada diagnosa 2) risiko infeksi dengan
faktor risiko Pada diagnosa 2)
ketidakadekuatan pertahanan ketidakseimbangan nutrisi
sekunder didukung oleh data subjektif: kurang dari kebutuhan tubuh
orangtua mengatakan pasien sudah 3x berhubungan dengan faktor
dirawat karena penyakit yang sama dan biologis diperoleh data subjektif:
mudah demam. Data objektif: terpasang Tn.R mengatakan adiknya terlihat
tryway di vena radialis dextra, total pucat dan tidak menghabiskan
protein 3,2 gr/dL, albumin 1,1 gr/dL, makanan, pasien mengeluh rasa
leukosit 11.7600/mm3. makanan hambar. Data objektif:
mukosa mulut kering, bibir pecah-
pecah, LILA 19 cm, berat badan
saat ini 29 kg, berat badan
Diagnosa 3) defisiensi pengetahuan sebelumnya 36 kg, HDL 21
berhubungan dengan kurangnya mg/dL (dislipidemia), diit MB
informasi, data subjektif: ibu DN 2048 kkal dengan protein 30
mengatakan sangat khawatir dengan gr dan lemak 36,4 gr, habis
kondisi anaknya saat ini, belum ¼ porsi.
mendapatkan informasi yang jelas Diagnosa 3) risiko infeksi dengan
mengenai penyakit anaknya, panik jika faktor risiko
melihat anaknya tiba-tiba sembab saat ketidakadekuatan pertahanan
berada dirumah. Data objektif: orang sekunder, data subjektif: Tn.R
tua pasien bingung ketika ditanya mengatakan adiknya sering
tentang penyakit anaknya, terlihat mengalami demam dan sudah
sangat antusias saat dijelaskan tantang ±1,5 tahun didiagnosa SLE +
penyakit yang diderita anaknya. Sindroma Nefrotik. Data objektif:
total protein 6,3 gr/dL, albumin
2,4 gr/dL.
Diagnosa 4) kelebihan volume
cairan berhubungan dengan
penurunan tekanan osmotik
koloid, data subjektif: Tn.R
mengatakan adiknya mengalami
sembab pada punggung tangan
dan punggung kaki hingga lutut.
Data objektif: edema pada
punggung tangan dan punggung
kaki hingga lutut, BB saat ini
29, sebelum sakit
36 kg, minum ±1000 cc dan BAK
±800cc, nilai natrium 130
Mmol/L.
3. Intervensi Keperawatan
naik
dan
turunnya berat
badan
anak, identifikasi
perubahan
amati
warna, kehangatan,
bengkak, pulsasi, tekstur, edema
dan ulserasi pada ekstremitas,
monitor warna dan suhu kulit,
monitor warna kulit untuk
memeriksa adanya ruam atau
lecet, monitor kulit untuk
adanya
kekeringan
atau kelembaban,
monitor
infeksi, terutama
dari daerah edema. Pada diagnosa
keperawatan 4) kelebihan
volume
cairan berhubungan
dengan
penurunan tekanan osmotik
koloid, tujuannya
tekanan darah
dalam
batas normal,
keseimbangan
intake
dan output dalam
24 jam, berat badan stabil, edema
berkurang, tidak ditemuka
asites, nilai
elektrolit dalam batas normal.
Rencana intervensi tersebut
diantaranya a) manajemen cairan,
aktivitas
keperawatannya seperti
timbang berat badan setiap hari
dan monitor status pasien, jaga
dan catat intake/output, monitor
status hidrasi, monitor tanda-
tanda vital pasien, monitor
kelebihan cairan atau retensi
(misalnya edema, distensi vena
jugularis dan edema), b) monitor
cairan, aktivitas keperawatannya
seperti tentukan riwayat,
jumlah dan tipe intake/output,
monitor serum dan elektrolit
urine, monitor TD, HR dan RR,
catat intake/output akurat, c)
monitor tanda-tanda vital,
aktivitas keperawatannya seperti
monitor tekanan darah, nadi, suhu
dan status pernapasan dengan
tepat, monitor irama dan laju
pernapasan, monitor warna kulit,
suhu dan kelembaban, monitor
sianosis sentral dan perifer.
4. Implementasi Keperawatan
Implementasi keperawatan yang
Implementasi keperawatan yang dilakukan peneliti selama
dilakukan peneliti selama pengelolaan pengelolaan kasus 5 hari untuk
kasus 5 hari untuk diagnosa diagnosa keperawatan 1)
keperawatan 1) kelebihan volume hipertermi berhubungan dengan
cairan berhubungan dengan penurunan penyakit yaitu a) monitor suhu,
tekanan osmotik koloid, dilakukan hasilnya 38,5oC
tindakan keperawatan meliputi a) b) monitor warna kulit, tidak
menimbang berat badan dengan hasil 12 ditemukan kemerahan dan
kg b) memonitor tanda- tanda vital bengkak c) memberikan
yaitu TD 150/100 mmHg, nadi 112x/i, paracetamol 300 mg, d)
pernapasan 24x/i dan suhu 36,8oC c) mengajarkan keluarga kompres
memantau hangat.
retensi cairan yaitu piting edema
positif, d) menilai luas dan lokasi
edema hasilnya edema pada (palpebra,
ekstremitas, skrotum) dan asites, e) Selanjutnya, implementasi
memantau intake/output yaitu intake keperawatan untuk diagnosa
cairan keperawatan 2)
±1200cc dan output ±900cc, f) ketidakseimbangan nutrisi kurang
memberikan Lasix 2x10mg dari kebutuhan tubuh
Selanjutnya,implementasi keperawatan berhubungan dengan faktor
untuk diagnosa keperawatan biologis yaitu a) menimbang berat
2) risiko infeksi dengan faktor badan, berat badan pasien
risiko ketidakadekuatan 29 kg, b) memantau adanya mual
pertahanan sekunder yaitu a) muntah, c) memberikan DN 2048
memberikan Cefixime 2x25 mg, b) kkal habis ¼ porsi, d) memotivasi
mengajarkan pasien dan keluarga cara pasien untuk makan, e) pantau
mencuci tangan dengan benar, c) sebab penurunan nafsu makan.
melakukan pengecekan kulit terkait
adanya tanda gejala infeksi seperti
bengkak dan kemerahan, d) Implementasi keperawatan untuk
memberikan diit MB Nefrotik 1100 diagnosa keperawatan 3) risiko
kkal, e) melakukan pengukuran suhu infeksi dengan faktor risiko
hasilnya suhu 36,8oC, f) memantau ketidakadekuatan
adanya peningkatan atau penurunan pertahanan sekunder yaitu a)
berat badan, berat badan 12 kg. memberikan Cefixime 2x150 mg,
Implementasi keperawatan untuk b) mengajarkan pasien dan
diagnosa keperawatan 3) defisiensi keluarga cara mencuci tangan
pengetahuan berhubungan dengan dengan benar, c) melakukan
kurang informasi yaitu a) menggali pengecekan kulit, tidak ditemukan
pengetahuan orangtua tentang penyakit bengkak dan kemerahan, d)
yang diderita anak saat ini melalui melakukan pengukuran suhu,
diskusi terbuka, b) memberikan hasilnya suhu 38,5oC.
pendidikan kesehatan dengan berdiskusi Pada implementasi keperawatan
terbuka bersama orangtua tentang tanda untuk diagnosa keperawatan 4)
gejala penyakit, diit dan pengobatan kelebihan volume cairan
anak. Diperoleh hasil orang tua berhubungan dengan penurunan
mengetahui pengertian, tanda dan gejala tekanan osmotik koloid, yaitu a)
serta diit pada pasien dengan sindroma menimbang berat badan, hasilnya
nefrotik. 29 kg b) memonitor tanda-tanda
vital, TD 100/60 mmHg, nadi
82x/i, pernapasan 21x/i dan suhu
38,5oC c) memantau retensi
cairan, ditemukan adanya piting
edema, d) menilai luas dan lokasi
edema, terdapat edema (punggung
kaki dan punggung
tangan), e) memantau
intake/output, intake
cairan
±1000cc dan output cairan ±800
cc.
5. Evaluasi Keperawatan
Setelah dilakukan tindakan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan keperawatan maka didapatkan
maka didapatkan hasil perkembangan hasil perkembangan kondisi
kondisi pasien sebagai berikut: 1) pasien sebagai berikut: 1)
kelebihan volume cairan berhubungan hipertermi berhubungan dengan
dengan penurunan tekanan osmotik penyakit, data subjektif: Tn.R
koloid, data subjektif: Ny.J mengatakan mengatakan adiknya sudah tidak
sembab pada bagian mata anak sudah demam lagi. Data objektif: kulit
berkurang dan anak sudah tidak rewel. tidak teraba panas, TD 110/60
Data objektif: TD 130/90 mmHg, nadi mmHg, nadi 84x/i, pernapasan
113x/i, pernapasan 22x/i, suhu 36,9oC, 21x/i, suhu 37,0oC. Masalah
namun berat badan anak masih 12 kg. teratasi dengan kriteria hasil suhu
Masalah teratasi sebagian dengan dalam batas normal, tidak
kriteria hasil tekanan darah dalam batas ditemukan kulit kemerahan.
normal dan edema berkurang. Namun Intervensi dihentikan.
masih ditemukan asites, ketidakstabilan
berat badan dan ketidakseimbangan
intake output Intervensi dilanjutkan.
Untuk diagnosa keperawatan 2) risiko Untuk diagnosa keperawatan 2)
infeksi dengan faktor risiko ketidakseimbangan nutrisi
ketidakadekuatan pertahanan kurang dari kebutuhan tubuh
sekunder, data subjektif: orangtua berhubungan dengan faktor
mengatakan selama dirawat anaknya biologis, data subjektif: Tn.R
tidak pernah demam. Tidak ditemukan mengatakan adinya
data objektif yang menunjukkan adanya menghabiskan ½ dari 1 porsi
tanda dan gejala infeksi pada anak. makanannya. Data objektif: berat
Masalah tidak terjadi dengan kriteria badan anak 30 kg, LILA 19 cm.
tidak ditemukan tanda dan gejala Masalah teratasi dengan kriteria
infeksi, sehingga intervensi masih hasil makanan dan cairan
dilanjutkan untuk mencegah terjadinya adekuat.Intervensi
infeksi.