Anda di halaman 1dari 9

Belanja Infrastruktur 2021 untuk Penguatan Infrastruktur Digital dan

Penunjang Dasar

RAPBN tahun 2021 mendatang mengalokasikan anggaran sebesar


Rp414 triliun untuk pembangunan infrastruktur yang utamanya
digunakan untuk pemulihan ekonomi, penyediaan layanan dasar,
serta peningkatan konektivitas.

Foto: BPMI Setpres/Kris


Dipublikasikan pada Jumat, 14 Agustus 2020 18:13 WIB
Pandemi Covid-19 menunjukkan bahwa ketersediaan dan
berfungsinya infrastruktur digital menjadi sangat penting dan
strategis. Oleh karena itu, pemerintah mengarahkan belanja
infrastruktur dalam RAPBN tahun 2021 untuk penguatan
infrastruktur digital serta infrastruktur penunjang dasar lainnya.
“Belanja infrastruktur diarahkan untuk penguatan infrastruktur
digital dan mendorong efisiensi logistik dan konektivitas,
infrastruktur padat karya yang mendukung kawasan industri dan
pariwisata, serta pembangunan sarana kesehatan masyarakat dan
penyediaan kebutuhan dasar seperti air, sanitasi, dan
permukiman,” ujar Presiden Joko Widodo saat menyampaikan
keterangan pemerintah atas Rancangan Undang-Undang tentang
APBN 2021 beserta nota keuangannya di Ruang Rapat Paripurna,
Gedung Nusantara MPR/DPR/DPD RI, Jakarta, Jumat, 14 Agustus
2020.
RAPBN tahun 2021 mendatang mengalokasikan anggaran sebesar
Rp414 triliun untuk pembangunan infrastruktur yang utamanya
digunakan untuk pemulihan ekonomi, penyediaan layanan dasar,
serta peningkatan konektivitas.
Di samping itu, pemerintah juga menganggarkan Rp30,5 triliun
untuk akselerasi transformasi digital guna mewujudkan
penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik yang efisien
dan cepat, mengonsolidasi dan mengoptimasi infrastruktur dan
layanan bersama.
“Serta mewujudkan inklusi masyarakat di wilayah prioritas
pembangunan dan mendorong kesetaraan dengan tambahan akses
internet pada sekitar 4.000 desa dan kelurahan di daerah 3T
(tertinggal, terdepan, dan terluar),” imbuh Presiden.
Tetap Membangun Kala Pandemi, Pemda
Harus Apa?
Anton Abdul Fatah - detikNews
Senin, 27 Apr 2020 16:10 WIB

0 komentar
SHARE   URL telah disalin

Foto ilustrasi: shutterstock


Jakarta - 
Pandemi global Covid-19 telah mengakibatkan krisis multidimensi, baik
kesehatan, pendidikan, ekonomi, termasuk keuangan negara. Proyeksi
stagnasi, bahkan penurunan pertumbuhan ekonomi dikemukakan oleh
banyak pihak. IMF bahkan menyebutkan bahwa resesi ekonomi era saat ini
bisa lebih buruk dari depresi besar dunia pada tahun 1930-an. Pemerintah
Indonesia telah dan sedang melakukan berbagai langkah, salah satunya
penerbitan Perpu Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem
Keuangan. Indonesia berkomitmen menambah belanja dan pembiayaan
APBN untuk penanganan Covid-19 hingga lebih dari Rp 405 Triliun atau
sekitar 2,5% dari total PDB.

Langkah ini kemudian diperkuat dengan penerbitan beberapa peraturan


dari Kemendagri dan Kemenkeu, yang secara garis besar mengatur bahwa
seluruh sumber daya yang ada, baik di tingkat pusat maupun daerah,
dioptimalkan guna menangani pandemi, penambahan kapasitas jaringan
pengaman sosial, serta antisipasi krisis ekonomi dan keuangan. Pemda
bahkan didorong secepatnya untuk melakukan realokasi anggaran guna
penanganan virus corona, hingga menunda atau menjadwal ulang program
dan kegiatan, termasuk di antaranya belanja modal atau infrastruktur.

Bila melihat lebih dalam isi Perpu 1/2020, terlihat jelas bahwa pemerintah
memprediksi dampak lanjutan krisis Covid-19 akan berlangsung hingga
beberapa tahun mendatang. Hal tersebut terlihat dari toleransi batas defisit
anggaran yang dapat melampaui 3% dari PDB hingga tahun anggaran
2022. Efek domino jangka menengah ini tentu tidak hanya berdampak
pada APBN di tingkat pusat, melainkan juga akan "menghantam" APBD
pada tingkat daerah. Seluruh pemda yang sebelumnya optimis
membangun berbagai infrastruktur sarana dan prasarana pendongkrak
ekonomi tiba-tiba dipaksa untuk menata ulang sumber dayanya akibat
pandemi ini.

Kesenjangan Infrastruktur

Bank Dunia menyebutkan bahwa Indonesia termasuk negara yang memiliki


kesenjangan infrastruktur yang cukup tinggi. Pada dasawarsa 2005-2015,
laju pertumbuhan tahunan stok barang modal publik per kapita di Indonesia
hanya 2,8%, cukup tertinggal bila dibandingkan misalnya dengan Vietnam
(10,3%) atau Tiongkok (6,7%). Pemangkasan kesenjangan infrastruktur ini
sangat penting di antaranya guna mereduksi tingginya biaya logistik dalam
rangka percepatan aktivitas ekonomi.

Selain itu, pembangunan infrastruktur merupakan alat utama upaya


pengentasan kemiskinan antara lain melalui penyediaan kebutuhan dasar
seperti sarana air bersih bagi rumah tangga dan tersedianya layanan
kesehatan masyarakat. Data Bappenas menyebutkan bahwa kebutuhan
investasi infrastruktur 2020-2024 diestimasikan sekitar Rp 6.445 Triliun.
Kapasitas Pemerintah dalam menanggung besarnya kebutuhan tersebut
diperkirakan hanya sekitar 37% dan BUMN sebesar 21%. Adapun sisanya
(42%) mengoptimalkan peran swasta melalui berbagai instrumen termasuk
kerja sama pemerintah dengan badan usaha (KPBU).

Upaya menutup kesenjangan infrastruktur ini jelas terlihat menjadi agenda


utama pemerintah dalam beberapa tahun terakhir, termasuk dicanangkan
untuk jangka menengah ke depan. Paradigma pembiayaan pembangunan
infrastruktur publik yang dipakai saat ini menempatkan sektor swasta dan
skema KPBU sebagai prioritas utama pilihan pemerintah. Semakin tinggi
kelayakan finansial dan ekonomi infrastruktur yang akan dibangun, maka
keterlibatan anggaran swasta dan badan usaha akan semakin didorong.
Bilapun diperlukan dukungan kelayakan dalam rangka meningkatkan
beberapa indikator serta rasio finansial dari infrastruktur tersebut, maka
pemerintah hadir terutama melalui skema KPBU. Adapun belanja melalui
APBN dan/atau APBD menjadi opsi terakhir dalam paradigma baru ini.

Seluruh opsi tersebut, khususnya KPBU, telah dipayungi cukup baik


dengan regulasi yang ada, misalnya Peraturan Presiden nomor 38 tahun
2015, hingga Peraturan Menteri PPN-Bappenas, Menteri Keuangan,
Menteri Dalam Negeri, termasuk peraturan LKPP. Skema KPBU juga
dijaga untuk jangka panjang melalui penjaminan, yang dalam hal ini melalui
BUMN khusus di bawah Kementerian Keuangan yaitu PT Penjaminan
Infrastruktur Indonesia (Persero). Dengan kerja keras dari berbagai institusi
terkait, Indonesia sudah memiliki 7 proyek KPBU yang telah beroperasi
dan 12 proyek infrastruktur yang sedang dalam tahap konstruksi. Saat ini,
sekitar 75 proyek infrastruktur sedang dalam proses perencanaan,
penyiapan, hingga transaksi dengan skema KPBU.

Pemerintah daerah seyogianya juga mengadopsi paradigma baru ini dalam


pembiayaan pembangunan infrastruktur yang dijalankan di daerah. ABPD
seharusnya menjadi pilihan terakhir dalam hal opsi pembiayaan. Saya
meyakini bahwa skema KPBU tidak hanya menjadi opsi penyelamatan
yang dapat dilakukan pemda akibat realokasi anggaran Covid-19, bahkan
lebih jauh bisa menjadi akselerasi pembangunan pascapandemi nanti.
Terdapat empat rasionalisasi yang mendukung pernyataan tersebut.

Pertama, KPBU membagi alokasi risiko secara proporsional antara


pemerintah dengan badan usaha atas pembangunan infrastruktur, baik
risiko ketika pembangunan dilaksanakan maupun risiko penggunaan
infrastruktur oleh masyarakat selama masa kerja sama. Kedua, alokasi
anggaran pemerintah daerah yang terbatas dapat lebih dioptimalkan
karena adanya kontribusi finansial dari badan usaha sesuai perjanjian.
Ketiga, pemda mendapatkan pendampingan dan penjaminan dari lembaga
penjaminan pemerintah, sejak tahap penyiapan hingga tahap akhir serah
terima infrastruktur di akhir masa perjanjian. Keempat, pembangunan
infrastruktur akan membangkitkan ekonomi daerah, terlebih di saat-saat
kritis pascapandemi.

Namun demikian, proses penyiapan skema KPBU memerlukan langkah


yang sedikit berbeda dengan pengadaan barang dan jasa yang biasanya
dilakukan oleh pemerintah daerah. Dokumen yang dipersyaratkan pada
Perpres 38/2015 serta Permen PPN Bappenas 4/2015 jo 2/2020, misalnya,
memiliki karakteristik substansi yang sedikit lebih luas, karena diperlukan
guna meyakinkan badan usaha dalam rangka melakukan kerja sama
jangka panjang. Misalnya analisis kebutuhan publik atas suatu infrastruktur
disertai kemampuan ekonomi daya beli masyarakat menjadi salah satu
kajian yang sangat diperlukan, di samping kajian teknis dari infrastruktur itu
sendiri.

Atas dasar tersebut, saya akan memaparkan beberapa potensi yang bisa
dioptimalkan oleh pemda. Potensi-potensi ini dapat digunakan dalam
rangka menyukseskan perencanaan dan penyiapan proyek infrastruktur
hingga bisa memenuhi ketentuan yang dipersyaratkan untuk skema KPBU.
Optimalisasi kesempatan ini juga diharapkan dapat menjadi solusi
keterbatasan pemangkasan atau realokasi anggaran perencanaan dan
penyiapan proyek infrastruktur akibat Covid-19 maupun krisis
pascapandemi untuk beberapa tahun mendatang.

Pemetaan Kebutuhan

Pemetaan serta penghitungan kebutuhan masyarakat merupakan kunci


keberhasilan utama pembangunan infrastruktur yang optimal. Sebagai
contoh, di banyak daerah terdapat beberapa pasar atau terminal yang
dibangun, namun kemudian tidak digunakan oleh publik karena memang
tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat di lapangan. Para ahli
perencanaan sangat membutuhkan data yang akurat dari banyak sumber
sehingga dapat memprediksi dengan baik kebutuhan nyata masyarakat
tersebut. Pengumpulan data secara langsung di lapangan seperti survei
oleh konsultan tentu membebani anggaran yang tidak sedikit.

Pemda dan Badan Pusat Statistik (BPS) memiliki banyak data yang selama
ini belum dipakai dengan optimal. Saya mengambil contoh penyusunan
analisis kebutuhan dan daya beli masyarakat dalam rangka pendirian
rumah sakit daerah. Beberapa Pemda melakukannya dengan melelang
jasa konsultan untuk melakukan survei ke masyarakat terkait penyakit
serta pengeluaran biaya kesehatan yang dikeluarkan oleh rumah tangga di
wilayahnya. Padahal, BPS dan pemda secara rutin melaksanakan Survei
Sosial dan Ekonomi Nasional (Susenas), termasuk di dalamnya Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas).

Susenas setiap periode tertentu dengan cukup rinci mengambil data level
mikro hingga individu pada rumah tangga terkait keluhan kesehatan,
pilihan pengobatan yang dilakukan, penggunaan fasilitas layanan
kesehatan seperti rawat jalan/inap, hingga kemampuan pembiayaan
kesehatan rumah tangga. Melalui Susenas, data terkait kebutuhan
kesehatan masyarakat termasuk daya belinya sudah terkumpul dengan
cukup komprehensif.

Lebih jauh, komponen seperti data perumahan, pemukiman, hingga


kesejahteraan juga tersedia pada survei ini. Untuk sampelnya sendiri,
Susenas mencakup sekitar 290.000 rumah tangga atau sekitar satu juta
individu di seluruh Indonesia, yang tentu sudah sangat besar untuk bahan
analisis. Dari sisi statistik, analisis data bahkan bisa semakin lebih kuat
karena survei dilakukan berseri dan berkelanjutan dari waktu ke waktu,
termasuk integrasi dengan data lainnya.

Ini sesuai dengan saran dari jurnal ilmiah tahun 2019 karya Meliyanni
Johar dan kawan-kawan (TNP2K dan Universitas Indonesia) terkait
bagaimana mengoptimalkan fitur data Susenas termasuk teknis inferensi
datanya. Selain level rumah tangga, pada level yang lebih tinggi yakni desa
atau kelurahan juga dimiliki oleh BPS melalui data yang disebut data
potensi desa (Podes). Dalam Podes, statistik lingkungan masyarakat
terkait perumahan, sanitasi, bencana, kesehatan, potensi ekonomi, hingga
sosial dan budaya, tersaji dengan baik untuk seluruh desa dan kelurahan di
seluruh wilayah Indonesia.

Selain data yang dimiliki pemerintah, beberapa lembaga, baik nasional


maupun internasional, juga memiliki data survei yang dapat dioptimalkan
dalam rangka menyusun kajian kebutuhan infrastruktur. Saya ambil contoh
terkait kesehatan misalnya terdapat data Demographic and Health Survey
(DHS) yang dilakukan oleh USAID atau modul kesehatan pada Indonesian
Family Life Survey (IFLS) yang dilakukan oleh RAND Corporation. Kedua
data tersebut diselenggarakan secara berkelanjutan untuk periode tahun
tertentu dengan sampel individu dan rumah tangga yang cukup banyak di
Tanah Air.

Setiap data tentu memiliki keterbatasan dan mengolahnya membutuhkan


teknik sesuai dengan karakteristik data yang tersebut. Data itu tersedia
cukup banyak dari berbagai sumber dan dapat dioptimalkan dengan baik.
Penggunaan data yang sudah tersaji ini tentu dapat mereduksi anggaran
pengumpulan data di lapangan, khususnya survei, yang biasanya menjadi
komponen pembiayaan yang cukup besar dari setiap pembuatan naskah
kajian.

Bahkan, sesuai Peraturan BPS Nomor 2 tahun 2019, instansi pemerintah


pusat dan daerah serta lembaga negara yang melaksanakan kegiatan
perencanaan pembangunan dan pengelolaan keuangan negara dapat
memperoleh data BPS dengan biaya layanan nol rupiah. Adapun untuk
data dari beberapa lembaga seperti USAID dan RAND yang saya sebutkan
di atas, aksesnya memang sudah terbuka dan gratis untuk publik.

Kolaborasi
Lembaga pendidikan tinggi, baik sekolah tinggi, institut, maupun universitas
yang berstatus negeri maupun swasta tersebar sangat banyak di seluruh
penjuru Tanah Air. Di dalam lembaga tersebut tentu terdapat dosen dan
peneliti, dengan berbagai jenjang akademik dari mulai yang terbawah
hingga profesor atau guru besar. Beberapa peraturan perundang-
undangan menuntut para akademisi ini untuk melaksanakan penelitian dan
pengabdian kepada masyarakat, termasuk kewajiban publikasi ilmiah.
Tuntutan ini bahkan menjadi momok tersendiri karena terkait
keberlangsungan tunjangan profesi hingga kenaikan jabatan mereka.

Kondisi tuntutan kajian bagi para akademisi ini sesungguhnya adalah


potensi mitra sumber daya strategis bagi pemda dalam penyusunan
dokumen perencanaan. Para akademisi seringkali terbentur ketiadaan data
dalam rangka menyusun kajian yang mereka lakukan. Padahal
sebagaimana saya uraikan di atas, pemerintah memiliki data yang luar
biasa potensial untuk dilakukan analisis. Kolaborasi ini tentu akan
menguntungkan kedua belah pihak. Di satu sisi, para akademisi bisa
menggunakan data tanpa biaya serta melakukan kajian dan fungsi
pengabdian masyarakat. Adapun di sisi lain, pemda dapat menyusun
dokumen kajian sesuai tuntutan proses administrasi pembangunan di
daerahnya. Tentu, kolaborasi ini membutuhkan koordinasi serta daya
dukung yang saling menguatkan sumber daya kedua belah pihak.

Pelecut Akselerasi

Episode pertarungan politik yang cukup panjang pada beberapa tahun


terakhir baik di tingkat pusat maupun daerah telah melahirkan banyaknya
persepsi-persepsi keliru di masyarakat. Kondisi ini muncul akibat
banyaknya informasi yang tidak tepat bahkan menyesatkan, termasuk
terkait keuangan publik. Kerja sama pemerintah dengan badan usaha
seringkali disalahartikan "penjualan" aset publik terhadap pihak lain,
terlebih bila ada pendanaan asing di dalamnya.

Oleh karenanya, selain data dan penyiapan dokumen kajian, kehumasan


yang tepat dan humanis dengan strategi yang baik menjadi kunci lain yang
menentukan kesuksesan proyek KPBU. Kehumasan ini tidak saja kepada
masyarakat, namun yang lebih penting adalah peningkatan pengetahuan
terkait KPBU bagi aparatur internal di pemda serta mitra strategisnya,
seperti DPRD dan organisasi kemasyarakatan.
Pandemi Covid-19 merupakan cobaan yang berat. Optimalisasi berbagai
sumber daya yang ada serta penguatan peran berbagai mitra menjadi
kunci kesuksesan dalam menghadapi krisis ini. Gotong royong dan
persatuan merupakan nilai luhur bangsa Indonesia yang senantiasa kita
usung. Oleh karenanya, dengan kekuatan data, kerja sama kajian dengan
akademisi sebagai mitra, serta strategi kehumasan yang terbuka, pilihan
skema KPBU sangat tepat guna. Bisa jadi, dengan skema KPBU ini
himpitan krisis virus corona malah menjadi pelecut akselerasi
pembangunan Indonesia untuk periode jangka menengah beberapa tahun
mendatang.

Anton Abdul Fatah mahasiswa doktoral KU Leuven University Belgium

Anda mungkin juga menyukai