Anda di halaman 1dari 35

BAB 1

Mengapa Filsafat?

The philosophers have only interpreted the world in various ways; the point, however, is to
change it.
KARL MARX

As the process of If we are willing to conceive education forming fundamental dispositions,


intellectual and emotional, toward nature and fellow men, philosophy may even be defined as
the general theory of education,

JOHN DEWEY

The discovery of what is true, and the practice of that which is good, are the two most
important objects of philosophy.

VOLTAIRE

Etimologi dan Definisi

Kata filosofi berasal dari perkataan Yunani: philos (suka, cinta) dan sophia (kebijaksanaan).
Jadi, kata itu berarti cinta terhadap kebijaksanaan (wisdom). Sikap bijaksana dalam
pengambilan keputusan dalam upaya melakoni kehidupan, dari dahulu hingga sekarang tetap
diperlukan.

Selain definisi KBBI tadi, berikut ini diturunkan lima definisi filsafat sebagaimana yang
dihimpun oleh Titus, dkk., (1979). Kelima definisi ini menunjukkan ragam pemahaman
manusia dan penggunaan terhadap (kata) filsafat.
1) Filsafat adalah sekumpulan sikap dan kepercayaan terhadap kehidupan dan alam yang
biasanya diterima secara tidak kritis.
2) Filsafat adalah suatu proses kritik atau pemikiran terhadap kepercayaan dan sikap yang
sangat kita junjung tinggi.
3) Filsafat adalah usaha untuk mendapatkan gambaran keseluruhan.
4) Filsafat adalah sebagian analisa logis dari bahasa serta penjelasan tentang arti kata dan
konsep.
5) Filsafat adalah sekumpulan problema-problema yang langsung mendapat perhatian dari
manusia dan yang dicarikan jawaban nya oleh ahli-ahli filsafat.

Berikut adalah beberapa penjelasan ihwal definisi di atas: Kata filsafat dipakai dengan
rujukan yang beragam dari pemakai an informal sebagai sikap atau sudut pandang orang
awam yang mengandalkan akal sehat (common sense) seperti pada definisi #1 sampai
pemakaian formal seperti pada definisi-definisi lainnya. Berfilsafat adalah memiliki dan
melakukan, artinya memiliki sudut pandang tertentu dan melakukan sesuatu, yakni
melakukan kritik dan refleksi, sebagai implikasi dari sudut pandang tertentu itu. Filsafat
mengandalkan kemampuan akal budi untuk menyelidiki objek kajiannya, yakni hakikatnya,
sebab-musababnya, asal muasalnya, dan hukum-hukumnya. Ahli filsafat selalu melakukan
telaah ulang (a second look) terhadap bahan-bahan yang disajikan oleh faham orang awam
(common sense). Karena hanya manusia yang dianugrahi akal, maka makhluk lain seperti
malaikat dan bi natang tidak dapat berpikir atau bersilsafat. Akallah yang men jadi sumber
kekuatan manusia sehingga tetap bertahan dan me nguasai alam semesta. Tak mengherankan
bila Rene Descartes (1596-1650), bapak filsafat modern dari Perancis, sesumbar 'cogito ergo
sum, Aku berpikir, karena itu aku ada.' Walau demikian, karena kemampuan dan kualitas
berpikir itu berbeda, maka tidak semua manusia mampu menjadi pemikir ulung atau menjadi
ahli filsafat.

Ahli filsafat berdiri di puncak piramida, memandangi kaki langit dari ketinggian, sehingga
mampu melihat persoalan secara komprehensif tetapi juga spekulatif. Ia tidak hanya melihat
persoalan sebagaimana disimpulkan seorang ilmuwan, birokrat, pebisnis, seniman, dan
sebagainya. Dia memandangnya secara komprehensif, memaknai hidup sebagai suatu
keseluruhan. Dengan demikian, hasil kajian filsafat membawa kepada suatu pandangan yang
terpadu bagi kemaslahatan umat manusia.
Ahli filsafat menggunakan metode analisis serta menjelaskan arti istilah-istilah, singkatnya
menjelaskan bahasa. Ini merupakan tugas utama filsafat, bukannya menjelaskan persoalan
makro yang dihadapi manusia. Pandangan ini membatasi konsep pengetahuan (knowledge)
kepada pernyataan (statement) tentang fakta-fakta. Filsafat itu bersifat teoretis dan menjadi
dasar pikiran dan ke giatan manusia. Filsafat adalah ibu segala ilmu pengetahuan. Filsafat
lahir jauh sebelum pengetahuan berkembang. Dalam kesehariannya manusia selalu
dihadapkan dengan segala persoalan yang harus segera diselesaikan secara praktis. Misalnya,
Bagai mana mengelola sampah secara terpadu? Bagaimana mengurangi kadar kolesterol?
Bagaimana mengajarkan matematika dengan cara yang menyenangkan siswa? dsb. Para
ilmuwan terus berpikir bagaimana menyelesaikan masalah-masalah seperti itu, maka
berkembanglah ilmu pengetahuan dari yang sangat teoretis sampai yang sangat praktis
(teknologi). Perkembangan penge tahuan modern didasari metode eksperimental dan
matematis. Muncullah tokoh-tokoh pengetahuan modern seperti Leonardo da Vinci, Nicolaus
Copernicus, Johanes Kepler, dan Galileo Galilei.

Dialog Dialektik Tiada Henti

Metode atau cara kerja filsafat adalah dialektika (dialectic), yaitur suatu kaji telik konseptual
dengan mengajukan berondongan per tanyaan, sejumlah jawaban, dan membangun berbagai
implikasi dari jawaban-jawaban itu secara berkelanjutan dalam lingkaran tanpa titik akhir.
Metode ini sering disebut sebagai dialektik Socrates. Menurut Socrates (469-399 SM) cara
terbaik untuk mendapatkan pengetahuan adalah lewat pembicaraan yang teratur (disciplined
conversation) dengan memainkan peranan seorang intellectual midwife, yakni yang memberi
umpan sebagai rangsangan kepada seseorang untuk dipikirkan secara serius. Dialog semacam
ini akan memunculkan titik temu (interplay) antar gagasan. Fungsi distingtif dari filsafat
adalah interpretasi makna (the interpretation of meaning).

Seperti tampak pada definisi # 4, filsafat tertarik pada esensi bukan bentuk lahiriah (face
value) sebuah ekspresi. Pertanyaan yang diajukan antara lain: Apa sesungguhnya maksud
ungkapan ini? Bagaimana ungkapan ini mesti dimaknai? Apa jenis makna yang dimaksud
dalam ungkapan ini? Bagaimana melakukan pembenar terhadap makna ini? Bagaimana
makna ini dibandingkan denga makna lainnya? Bagi filsafat, pertanyaan jauh lebih penting
daripada jawaban. Sebab bila jawaban berterima, maka selesailah persoala Mandeglah ilmu
pengetahuan. Titik! Filsafat, dengan demikian, memiliki komitmen tinggi untuk terus
melakukan telaahan (inquiry dan dengan menginterpretasi makna, kaji telik dialektik akan
teru bergelinding tanpa henti. Jadi kata kunci dari telaahan filsafat adalah keragu-raguan
terhadap segala fenomena. Keragu-raguan is bersifat metodis, bukannya skeptis mutlak.
Inilah ajaran Descartes yang menurutnya, dalam bidang ilmiah tidak sesuatu yang dianggap
pasti (benarnya). Semuanya dapat dipersoalkan, termasuk filsafat itu sendiri. Pemikiran
Descartes ini berkontribusi pada perkembangan filsafat analitika bahasa.

Ada setumpuk pertanyaan klasik yang terus menerus meng ganggu manusia, antara lain
tentang kebaikan, kebenaran, keadilan, kewajiban, keberadaan, kematian, keindahan, alam
semesta, das sebagainya. Pertanyaan tentang semua itu falsafi (bersifat filsafat) dan upaya
menjelaskannya itu mencuatkan berbagai teori dan sistem pemikiran seperti idealisme,
realisme, pragmatisme, filsafat analitik eksistensialisme, dan fenomenologi. Akankah
pertanyaan-pertanyaan filosofis terhadap sejumlah pertanyaan yang mendasar, terus menerus,
dan langgeng (perennial) itu terjawab tuntas? Ada beberapa penjelasan spekulatif sebagai
berikut:

• Pertanyaan dapat dijawab dengan melihat logika bahasa. Pertanyaan akan terus muncul
karena alat ekspresi yang ada (bahasa) tidak pernah cukup untuk mengkomunikasikan
keda laman dan kekayaan realita.

 Pertanyaan akan terus muncul karena komitmen perorangan terhadap jawaban sangat
berbeda dan komitmen ini merupakan kebebasan yang tidak dapat diseragamkan lewat
dasar-dasar objektivitas bersama.

Analisis, Evaluasi, dan Sintesis

Dalam upaya menginterpretasi masalah dikenal tiga cara yang lazim ditempuh, yakni analisis,
evaluasi, dan sintesis. Ketika makna takss atau ambigu sulit dicerna, maka analisis berperan
menjelaskan ketaksaan itu. Ketika ekspresi sebuah makna membingungkan, maka analisis
menjelaskan penyebab kebingungan ini dan membanding kannya dengan mentransformasi
ekspresi itu ke bentuk lain. Analisis tidak berarti membagi sebuah kesatuan menjadi bagian-
bagiannya, tetapi lebih melakukan pembedaan atas berbagai makna dari sebuah konsep atau
berbagai cara pengungkapan makna. Terkait dengan analisis adalah evaluasi, yakni menilai
sejauh mana sebuah inter pretasi sah. Di sini ada proses validasi sebagai alat untuk
mengetahui makna sebuah ekspresi. Prosedur metode analisis kurang lebih sebagai berikut:

Berangkat dari keragu-raguan metodis, maka diyakini tidak ada yang diyakini benar. Karena
itu kita tidak boleh tergesa-gesa dan berprasangka. Kita hanya menerima kebenaran yang
betul-betul sejalan dengan akal. Urailah materi yang ditelaah itu menjadi beberapa bagian
untuk membantu memecahkan persoalan. Berpikirlah dengan memahami sesuatu atau bagian
yang mudah dan sederhana, terus bergerak memahami sesuatu yang lebih kompleks dan
relatif. Maka sampailah pada sesuatu yang bersifat universal sebagai suatu kepastian (Bakker
1984: 74-78). Sejalan dengan definisi filsafat #3, tugas ahli filsafat membangun konsep yang
cukup umum untuk menghubungkan berbagai pengalaman manusia. Makna tidak tampil
sendirian, tetapi saling berhubungan satu sama lainnya. Dengan melihat keterhubungan dan
persamaan-persamaan ini, ahli filsafat mampu menawarkan sintesis. Dengan
mengkoordinasikan analisis, evaluasi, dan sintesis ini ahli filsafat mengkonstruksi pandangan
sinoptik dari kesalahan pengalaman manusia yang dapat dieskpresikan sebagaimana dapat
diinterpretasikan dalam kategori-kategori wacana rasional (Phenix 1964: 257).

Cabang-cabang Filsafat

Setiap ilmu bila dikaji secara mendalam pada ujungnya akan sampai kepada problema
filsafat. Filsafat sebagai kajian atau disiplin ilmu lazimnya diurai menjadi logika, metafisika,
epistemologi, dan etika. Seperti disebut di atas berfilsafat adalah beragumentasi dialektik.
Agar argumentasinya sahih dan untuk menghindari argumentasi yang membedakan benar
dari yang salah. Argumentasi adalah sebab-sebab (premis, keliru, perlu ada logika sebagai
instrumen untuk mukaddimah) untuk menguatkan atau menolak sebuah posisi (conclusion,
natijah). Logika atau mantiq adalah bagian dari filsafat yang secara sistematis membahas
aturan-aturan berargumentasi secara bernalar yang tepat.

Metafisik oleh Aristoteles disebut first philosophy, yakni prinsip. Prinsip yang paling
universal yang kemudian diartikan sebagai sesuatu di luar kebiasaan (beyond nature) atau di
belakang pengalaman langsung manusia (immediate experience). Dunia metafisik ini adalah
objek yang paling sulit untuk difahami sehingga banyak yang meragukan perlunya mambahas
hal-hal yang metafisik. Sebutlah misalnya, persoalan mengenai hidup sesudah mati,
hubungan akal dan benda, wujud Tuhan, kemerdekaan, agama, dan lain sebagainya.
Pertanyaan-pertanyaan yang fundamental ini bersifat metafisik atau tidak mengacu pada
realitas dan karena itu harus dijelaskan seeksplisit mungkin dengan menggunakan analisis
bahasa.

Epistemologi (episteme = pengetahuan) adalah cabang filsafat yang mengkaji sumber-


sumber, watak, dan kebenaran pengetahuan. Bagaimana pengetahuan diperoleh, apa hakikat
mengetahui? Apakah pengetahuan itu sekadar yang bisa dipersepsi indra, atau juga di luar
indra manusia? Ringkasnya ada tiga pertanyaan dalam epistemologi, yakni: (1) asal mula atau
sumber pengetahuan, (2) tampilan penge tahuan, yakni apa yang ada di luar akal, dan (3)
kebenaran atau verifikasi dari pengetahuan. Bagaimana membedakan pengetahuan yang salah
dari yang benar? Ketiga hal ini dapat diringkas sebagai hakikat pengetahuan dan hakikat
mengetahui. Ihwal persoalan epistemologi ini ada dikenal dua kelompok besar yang sering
diper tentangkan, yaitu aliran rasionalisme dan aliran empirisme. Aliran pertama menganggap
bahwa dengan akal kita dapat mengungkapkan prinsip-prinsip pokok dari alam sehingga
beroleh pengetahuan. Sebaliknya, aliran empirisme berpendapat bahwa pengetahuan pada
dasarnya diperoleh lewat pengalaman indra. Etika adalah perbincangan moralitas, yakni apa
yang benar dan salah sebagaimana dipersepsi manusia. Pertanyaan pokok dalam etika adalah,
Apa yang mesti kita lakukan? Persoalan seperti keadilan. kejujuran, kecurangan, kekejaman,
kedermawanan, dan sebagainya adalah isu-isu moral yang mengenai kualitas hubungan
antara sesama manusia. Etika dapat dideskripsi apa adanya sehingga muncullah etika
deskriptif, Etika juga bisa dijadikan norma sehingga muncullah etika normatif, yakni apa saja
yang harus ada atau dilakukan. Tingkatan berikutnya adalah meta-etika (ingat kata
metalinguistik dan metakognisi) atau critical ethics. Yang berkonsentrasi pada analisis, arti
istilah dan bahasa yang dipakai dalam pembicaraan etika.

Mengapa Repot-repot Belajar Filsafat?

Kita mengenal adanya filsafat bahasa, filsafat seni, filsafat mate matika, filsafat agama,
filsafat pendidikan, dan lain sebagainya. Mengapa Anda diwajibkan mengambil mata kuliah
filsafat? Adakah manfaat dari perkuliahan filsafat yang lieur (Sunda: memusingkan) ini?
Seperti disebut di atas bahwa filsafat itu berarti mencintai kebi jaksanaan. Dengan kata lain,
dengan mempelajari filsafat bahasa, misalnya, seseorang akan lebih bijaksana dalam
berbahasa. Menurut KBBI, bijaksana sebagai ajektiva adalah:
1. selalu menggunakan akal budinya (pengalaman dan penge tahuannya); arif; tajam pikiran;
2. pandai dan ingat-ingat (cermat, teliti, dsb) apabila menghadapi kesulitan dsb (1995: 131)

Dalam bahasa Inggris, wise dimaknai sebagai: having or showing good judgment (Advanced
Learner's Dictionary 1994: 1466). Seorang filsuf akan melebihi orang biasa dalam cara
berpikir dan bertindak. Karena itu dia menjadi bijaksana. Sedikitnya ada tiga manfaat
mempelajari filsafat, sebagai berikut:

Menjajagi jawaban (baru) terhadap persoalan filsafat yang terus menerus dipertanyakan
selama ini. Jawaban baru berarti temuan baru dan ilmu baru. Filsafat berurusan dengan
problem-problem tertentu, seperti dalam fisika, biologi, psikologi, dan matematika. Problem-
problem ini bermunculan dalam ilmu pengetahuan secra spekulatif dan sulit secara
konseptual.

Menunjukkan bahwa ide-ide falsafi memiliki relevansi dengan persoalan masa kini. Beberapa
bidang pengetahuan berkembang terus dengan tradisi filsafat seperti epistemologi, logika,
moral, politik dan estetika. Tanpa tradisi filsafat bidang-bidang ini akan sulit berkembang.

Untuk menjadikan diri kita lebih memiliki kesadaran, lebih kritis, lebih cerdas, dan lebih
bijaksana. Sekali lagi, tugas utama filsafat adalah merefleksi dan mengintegrasikan hasil-hasil
investigasi dalam berbagai bidang untuk membangun pemaham an utuh, sinambung, kaffah,
dan komprehensif ihwal semesta dan peran kita di dalamnya.

Filsafat (dan) Bahasa

Seperti disebut di atas filsafat adalah proses berpikir secara radikal ihwal suatu realitas.
Bagaimanakah kita berpikir? Berpikir adalah ber bahasa juga. Apa yang kita pikirkan?
Realitas. Apa realitas? Realitas adalah sesuatu yang disimbolkan lewat bahasa. Bahasa tidak
sekadar urutan bunyi yang dapat dicerna secara empiris, tetapi juga kaya dengan makna yang
sifatnya non-empiris. Dengan demikian bahasa adalah sarana vital dalam berfilsafat, yakni
sebagai alat untuk mengejawantahkan pikiran tentang fakta dan realitas yang direpre sentasi
lewat simbol bunyi. Tanpa bahasa para filsuf tidak akan pernah berfilsafat. Sebaliknya, tanpa
filsafat kita tetap mampu berbahasa. Atau ide tak berwujud lepas dari bahasa. Sebelum
sesuatu dikatakan benar atau salah, sebaiknya kita mengkaji dulu apakah bahasa yang akan
digunakan untuk menentukan maknanya. Jadi makna (meaning) mesti menjadi fokus analisis
linguistik dalam penyelidikan filsafat.

Filsafat bahasa dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori besar, yakni: Pertama, perhatian
para filsuf terhadap bahasa dalam menjelaskan berbagai objek filsafat. Artinya objek material
filsafat bahasa adalah bahasa itu sendiri, sedangkan objek formalnya adalah sudut pandang
falsafi terhadap bahasa itu. Seperti disebut di atas, tanpa alat bantu bahasa mereka tidak
mungkin dapat menganalisis objek-objek itu. Kebenaran dan keadilan, misalnya, tidak
mungkin dapat dijelaskan tanpa bantuan analisis bahasa atau analisis penggunaan ungkapan-
ungkapan bahasa. Cara kerja inilah yang lazim disebut filsafat analitik atau filsafat analitik
bahasa.

Kedua, adalah perhatian terhadap bahasa sebagai objek materi dari kajian filsafat seperti
halnya filsafat hukum, filsafat seni, filsafat manusia. filsafat agama, dan sejenisnya. Filsafat
bahasa atau filsafat bentuk bentuk simbolis (philosophy of symbolic forms) berkaitan dengan
pertanyaan-pertanyaan seperti hakikat dan fungsi bahasa, hubungan bahasa dan realitas, jenis-
jenis sistem simbol, dan dasar-dasar untuk mengevaluasi sistem bahasa (Phenix: 1986). Dari
filsafat bahasa dalam pengertian kedua inilah berkembang teori-teori linguistik selama ini.
Dari sekian banyak cabang linguistik, mungkin filsafat bahasalah yang paling jarang dibahas
dalam seminar, apalagi di jadikan tema skripsi S-1 atau tesis S-2, bahkan disertasi S-3. Ini
layak dipertanyakan, dan bisa jadi karena alasan-alasan berikut: (1) filsafat bahasa dianggap
kurang relevan karena tidak terkait lang sung dengan persoalan praktik di lapangan, dan (2)
kurang sekali jumlah tenaga pengajar (dosen) yang memiliki minat terhadap filsafat bahasa
sehingga regenerasi dan reproduksi minat dan komit men terhadap filsafat bahasa menjadi
lamban.

Filsafat Pendidikan

Apa sesungguhnya tujuan pendidikan itu? Inilah pertanyaan yang harus dijawab filsafat
pendidikan. Agar jawabannya memuaskan, sang filsuf harus mengkaji isu-isu mendasar yang
bersifat metafisik, epistemologis, moral, dan politik. Filsafat pendidikan tidak akan tuntas
tanpa menjawab pertanyaan turunan seperti berikut ini: Apa hakikat manusia? Bagaimana
seseorang memperoleh pengetahuan? Apa standar moral yang harus dipegang manusia?
Bagaimana semestinya masyarakat diorganisir? Tidaklah cukup sekadar mengkalimatkan
tujuan pendidikan. Tujuan itu seyogianya dirinci sedemikian rupa sehingga metode untuk
menggapai tujuan itu jelas. Andaikan tujuan pendidikan itu untuk membuat siswa cerdas,
maka pertanyaan berikutnya adalah, Bagaimana metode mengajarnya agar mereka menjadi
cerdas? Dan mata pelajaran apa saja yang harus diajarkan agar mereka cerdas? Berfilsafat
pendidikan adalah suatu upaya yang sangat kompleks, namun sangat penting. Segala
keputusan dalam bidang pendidikan akan sangat tergantung padanya. Jadi, filsafat pendidikan
dapat didefinisikan sebagai teori yang mendasari alam pikiran ihwal pendidikan atau suatu
kegiatan pendidikan.

Dalam masyarakat apapun dari zaman dahulu sampai zaman sekarang ini, pendidikan itu
dipersepsi sebagai sesuatu yang mulia. Kurikulum pendidikan diniati agar anak didik
berperilaku mulia.

Dengan demikian, kurikulum adalah cerminan filsafat yang dipercayai oleh masyarakatnya.
Lebih spesifik lagi adalah yang diajarkan guru di kelas. Bukan apa yang dikatakannya di
depan publik, tetapi apa yang diajarkannya itulah yang mencerminkan keyakinannya atau
filsafat pendidikannya. Jadi bagaimana kaitan antara filsafat dan kurikulum? Kurikulum
menggarap aspek tertentu dari filsafat dan lebih melihat manusia dalam bingkai
mikrokosmos, sementara filsafat merupakan teori umum ihwal pendidikan dan melihat
manusia dalam bingkai makrokosmos. Jadi betapa beratnya tugas tim pengembang
kurikulum. Mereka harus membuat sejumlah keputusan cerdas ihwal tiga perkara, yaitu (1)
hakikat realita atau ontology, (2) hakikat pengetahuan atau epistemology, dan (3) hakikat
nilai (apa yang baik atau buruk) atau axiology.

Filsafat Pendidikan Bahasa

Dalam hemat saya filsafat pendidikan bahasa adalah sinerji antara filsafat pendidikan dan
filsafat bahasa sebagaimana yang diuraikan di atas. Para pemikir pendidikan bahasa
mempelajari filsafat bahasa secara historis, sistematis, analisis, dan intuitif. Dengan
demikian, filsafat pendidikan bahasa adalah teori yang mendasari alam pikiran manusia ihwal
pendidikan bahasa atau suatu kegiatan pendidikan bahasa. Kajian filsafat ihwal pendidikan
bahasa akan tetap bermanfaat demi pemahaman kita ihwal kebijakan dan praktik pendidikan
bahasa (ibu, nasional, dan asing) di Indonesia yang sampai sekarang masih carut-marut.
Berdasarkan filsafat pendidikan bahasa ini maka berkembanglah teori-teori, pendekatan-
pendekatan. metode-metode, dan teknik-teknik mengajar bahasa. Atau dengan kata lain,
setiap kebijakan instruksional guru dalam kelas dapat ditelusuri ke hulu pemikirannya, yakni
filsafat pendidikan bahasa yang jadi kepercayaannya. Disadari atau tidak, keistimewaan
pendidikan bahasa dalam pendidikan adalah bahwa sukses dalam penguasaan segala bidang
studi sangat bergantung pada penguasaan bahasa lisan dan tulis atau literasi, karena
pembelajaran segala bidang studi mesti menggunakan medium bahasa. Dengan demikian,
pendidikan bahasa (ibu, nasional, dan asing) mesti ditangani secara demi suksesnya
pendidikan nasional.
BAB 2
FILSAFAT ANALITIK BAHASA

Bahasa dan Filsafat


Manusia pada umumnya menganggap bahasa biasa-biasa saja. Coba bayangkan bila bahasa
tiba-tiba menghilang dari kehidupan manusia! Dengan bahasa seorang bayi menangis untuk
mengekspresikan dahaga, atau perlunya ganti diaper. Dengan bahasa, seorang filsuf
menemukan ekspresi atau nama untuk merujuk sebuah konsep. Sebut saja istilah-istilah
definisi, proposisi, hipotesis, aksioma, verifikasi, falsifikasi, dsb. Penamaan terhadap konsep-
konsep itu sendiri adalah langkah pertarna untuk membangun pengetahuan. Kata adalah
simbol lisan atau tulis bagi benda atau konsep yang disebut referent sebagai objek kata.
Karena berkomunikasi menggunakan bahasa untuk merujuk pada referent (rujukan), maka
simbol itu harus permanen. Jika tidak, komunikasi menjadi berantakan. Bila tidak dituliskan,
bahasa akan kehilangan sifat permanennya, sehingga rujukannya bisa hilang. Karena itu
bahasa tulis menjadi penting sebagai perekam peradaban manusia. Ada sejumlah fungsi
bahasa yang mendukung dokumentasi peradaban manusia sebagai berikut (Titus dkk: 1979).
Dalam literatur linguistik kita mengenal berbagai fungsi bahasa dengan istilah yang kadang
berbeda. Namun, intinya sama bahwa bahasa mendokumentasikan peradaban.
 Fungsi kognitif
Lewat ilmu pengetahuan dan filsafat manusia mencari kebenaran. Dengan bahasalah
manusia menjelaskan proposisi-proposisi yang dipikirkannya, apakah benar atau Salah;
sehingga ia menerima atau menolaknya secara rasional.
 Fungsi emotif
Fungsi ini mencakupi fungsi ekspresif dan evokatif. Yang disebut pertama merujuk
pada peran menyatakan perasaan sedang yang disebut terakhir merujuk pada suasana
yang menyebabkan orang lain memberi respon emosional terhadap suasana. Manusia
memiliki fantasi dan idealisasi untuk berlari mundur lari masa kini ke masa lalu,
kemudian mengangkasa ke masa depan. Dengan leluasa ditinggalkannya mang dan
waktu di sini, untuk menjelajah ruang dan waktu di sana.
 Fungsi imperatif
Dengan bahasa manusia dapat mempengaruhi orang lain untuk melakukan sesuatu.
Dengan kata lain, dengan bahasa manusia mengontrol perilaku manusia lain. Politik
adalah seni menguasai dan mempengaruhi orang lain untuk mencapai tujuan yang
diinginkan. Maka muncullah istilah 'bahasa politik' sebagai kajian khusus dalam
sosiolinguistik. Manusia harus memiliki keberanian untuk meraih kekuasaan. "What is
good? '1b be brave is good. What is bad? All that comes from weakness", demikian
Nietzcshe.

 Fungsi seremonial
Manusia di manapun juga mengenal upacara atau ritual, termasuk cara
menghormati orang lain. Setiap masyarakat mesti menghormati ritual pada kulturnya
masing-masing untuk mengendalikan dirinya. Karena kendali itulah ia bertahan secara
sosial dan diperlakukan sebagai bagian dari umat. Aristoteles menyatakan bahwa
manusia adalah makhluk sosial atau zoon politicon.
 Fungsi metalingual
Kelebihan bahasa manusia antara Iain adalah kemampuannya untuk mendeskripsi
bahasa (dirinya sendiri). Bila kita menggunakan bahasa untuk merujuk pada benda
seperti kebun, gunung, dan telaga, misalnya, maka dikatakan bahwa kita menggunakan
object language, yaitu bahasa untuk mendeskripsi objek. Tetapi sebagai peminat bahasa,
Anda memiliki kompetensi untuk membahas object language itu. Dengan kata Iain,
object language sebagai objek dari pembabasan. Itulah metalangugge, metalinguistics,
atau metabahasa.

Atomisme Logis
Logical atomism mulai berkembang pada awal abad ke XX di Inggris sebagai reaksi terhadap
aliran idealisme yang menguasai pemikiran saat itu. Tokoh terkenal faham idealisme adalah
F.H. Bradley. Inti aliran idealisme adalah bahwa realitas itu terdiri atas ide-ide, pikiran-
pikiran, jiwa atau minda (mind) dan bukannya benda material. Ini kebalikan dari paham
materialisme bahwa materi itu adalah real dan minda sebagai fenomena penyerta saja. Ini
bertentangan dengan metode empirisme yang mengandalkan ide-ide bukannya putusan atau
judgments atau keterangan-keterangan sebagaimana dinyatakan dalam proposisi-proposisi,
yakni pernyataan-pernyataan tentang dunia ini. Pandangan Bradley ini mempengaruhi Russell
dengan formulasi logika atomisme, bahwasanya realitas terwujud dalam ungkapan bahasa
yang merupakan proposisl-proposisi, bukan atas ide-ide atau isi pikiran kita Nama-nama
besar dalam aliran ini antara Iain G.E.Moore (1873-1958) sebagai perintis, Bertrand Russell
(1872-1970) sebagai tokoh utama dan Ludwig Wittgenstein (1889-1951). Berikut ini adalah
beberapa pemikiran inti dari aliran ini.

• Logika adalah hal yang paling mendasar di dalam filsafat. Logikalah yang harus
mewarnai setiap mazhab filsafat, bukan metafisik. Filsafat Russell disebutnya atomisme
logis, yang sesungguhnya telah dikembangkan oleh Wittgenstein dan terlihat adanya
pengaruh David Hume seperti dapat dibaca dalam karangannya An Inquiry Concerning
Human Understanding. Dikatakannya bahwa semua ide yang kompleks itu terdiri atas
ide-ide sederhana atau atomis (atomic ideas), yang harus dianalisis secara psikologis.
Russell menolak konsep analisis psikologisnya, tetapi lebih berkonsentrasi pada analisis
proposisi-proposisi.

• Formulasi logika bahasa tidak sama dengan formulasi struktur bahasa. Russell dan
Moore sependapat bahwa tugas filsuf adalah memberikan analisis proposisi-proposisi,
tetapi keduanya berbeda dalam hal bahasa yang digunakan. Moore mendasarkan
analisisnya pada akal sehat sedangkan Russell mencari kebenaran itu melalui bahasa
berdasarkan formulasi logika. Bahasa sehari-hari tidak cukup canggih untuk
menganalisis filsafat karena memperlihatkan kekaburan, makna ganda, dan tergantung
pada konteks. Jadi pertanyaan kita selanjutnya: Bagaimanakah bahasa yang mampu
mengungkapkan suatu realitas fakta secara akurat? Russell mengkritik bahasa biasa
sebagai berikut.
We ought not in our attempts at serious thinking, to be content with ordinary language,
with its ambiguities and its abominable syntax. I remain convinced that obstinate
addiction to ordinary language in our private thoughts is one of the main obstacles to
progress in philosophy (Charlesworth 1959: 68).
Jadi memang harus dibedakan bahasa sehari-hari dengan bahasa ideal untuk
mewacanakan filsafat. Mari kita bandingkan contoh popular dalam wacana tata bahasa
transformasi berikut ini• (I) John is easy to please dan (2) John is eager to please.
Kedua kalimat ini memiliki struktur gramatikal yang sama, tetapi memiliki struktur
logika yang berbeda. Dengan kata lain, struktur gramatikal belum tentu menentukan
struktur logis. Kalimat (1) berarti mudah bagi seseorang untuk menyenangkan John,
sedangkan kalimat (2) berarti bahwa John ingin menyenangkan orang lain. Demikian
pula dengan dua kalimat ini. (3) Lions are yellow dan (4) Lions are real. Dalam
kalimat (3) dan (4) Lions adalah (S)ubjek sedangkan yellow dan real sama-sama
(P)redikat. Secara gramatikal strukturnya sama, tapi secara logis tidak sama. Ini semua
berbeda dengan dua kalimat berikut ini. (5) Sokrates adalah filsuf dan (6) Aristoteles
adalah filsof. Keduanya memiliki struktur gramatika dan logika yang sama. Keduanya
adalah filsof. Ittl adalah fakta. Russell menjelaskan bahwa "Semua unsur yang
termasuk ke dalam suatu himpunan tidak dengan sendirinya merupakan suatu
himpunan itu sendiri.” Berdasarkan proposisi (5) dan (6) di atas, tidaklah benar
disimpulkan bahwa "Filsuf adalah anggota dari filsuf." Kelas filsuf tingkatannya lebih
tinggi dari filsuf itu sendiri Sokrates dan Aristoteles. Dengan begitu, kita dapat melihat
kontradiski dalam kalimat-kalimat berikut ini: (7) Semua peraturan mengandung
pengecualian, (pernyataan ini pun sebuah peraturan), oleh karena itu mengandung
pengecualian dan (8) Setiap pernyataan ilmiah yang tidak didasarkan pada verifikasi
itu hanyalah omomg kosong (ini pun suatu pernyataan ilmiah), jadi termasuk omong
kosong karena tidak didasarkaan pada verifikasi apa pun (Lihat Kaelan 1998: 98).

 Hakikat realitas dunia seyogianya dianalisis melalui analisis logis. Agar ilmiah, filsafat
mesti mengandalkan analisis logis. Analisis logis berdasarkan pada kebenaran apriori
yang sifatnya universal dan bersumber pada rasio. Kebalikan analisis logis adalah
sintesis logis, yakni merupakan metode untuk mendapatkan kebenaran pengetahuan
empiris atau pengalaman indrawi yang bersifat aposteriori. Ilmu pengetahuan terdiri
atas pernyataan-pernyataan yang merujuk pada realitas dunia. Dengan kata lain, realitas
dunia terungkapkan lewat bahasa sehingga antara bahasa dan realitas dunia terdapat
kesesuaian bentuk atau isomorfisme.

• Dunia ini terdiri atas fakta-fakta yang terlukiskan Iewat proposisi-proposisi. Proposisi-
proposisi ini merupakan simbol dan bukan merupakan dunia. Ingat bahwa bahasa
adalah simbol. r ana disebut roposisi atomis yang merupakan b an dengan
menggunakan kata sambung atau, dan, dan sebagainya. Kalimat "Sokrates adalah
seorang warga Athena yang bijaksana" adalah sebuah proposisi majemuk yang terdiri
atas dua proposisi atomis, yaitu: (I) Sokrates adalah warga Athena, dan (2) Sokrates
adalah seorang yang bijaksana. Keduanya ini digabungkan dengan kata Yang. Selain
fakta atomis ada juga dikenal fakta umtun, yaitu yang kebenarannya sudah dikenal
secara umum, seperti proposisi "Semua orang akan mati."

Positivisme Logis
Semua pemikiran filsafat saling mempengaruhi, sehingga suatu teori dapat ditelusuri kepada
para pendahulunya. Wittgenstein misalnya lebih dulu mengatakan bahwa proposisi yang
bermakna adalah proposisi yang menggambarkan suatu realitas dunia yang memiliki struktur
logis. Struktur logis clunia terlukiskan dalam struktur logis bahasa. Menurutnya, metafisika
melampaui batas-batas bahasa. Pengaruh Wittgenstein tampak pada kelompok Wina atau
Vienna Circle (1922) yang sering disebut aliran neopositivism atau positivisme logis.
Positivisme logis menggunakan teknik analisis untuk mencapai dua tujuan, yaitu: (1)
menghilangkan atau menolak metafisika, dan (2) demi penjelasan bahasa ilmiah dan bukan
untuk menganalisis pernyataan-pernyataan fakta ilmiah. Dengan analisis filsafati kita tidak
dapat menyatakan sesuatu itu real, paling-paling menyatakan apa artinya apabila kita
menyatakan bahwa sesuatu itu real. Empirisme sangat mengandalkan pengalaman empiris
(maka dari itu sering disebut empirisme logis). Bagaimana mungkin ia dapat menjelaskan
alam metafisk yang belum teralami, misalnya kematian? Jadi penolakan terhadap metafisika
itu tidak boleh dimaknai menolak keberadaan clunia Iuar atau transenden seperti kematian
itu. Dengan kata Iain, bagi kelompok ini pernyataan metafisika tidak menyatakan sesuatu
sama sekali alias omong kosong.
Tokoh utama positivisme logis adalah Alfred Jules Ayer dengan karyanya yang
terkenal Language, Truth and Logic (1939). Ia melanjutkan tradisi empiris Inggris terutama
Humes dan analisis logis dari Russell. Aliran ini lebih menaruh perhatian pada upaya
menentukan bermakna atau tidak bermaknanya suatu pernyataan dalam filsafat dan ilmu
pengetahuan, bukan pada pertanyaan apakah benar atau salah. Tugas filsafat adalah
melakukan analisis logis terhadap pengetahuan ilmiah. Untuk maksud itu, mereka
mengembangkan prinsip yang disebut verifikasi atau kriteria kebermaknaan. Kutipan berikut
menunjukkan gagasan Ayer ihwal hubungan antara proposisi sebagai simbol dengan realitas
yang disimbolkannya yang perlu ditempuh lewat prinsip verifikasi itu.
A sentence is factually significant to any given person, if, and only if, he knows to verify
the proposition which it purports to expressthat is, if he knows what observations would
lead him, under certain conditions, to accept the proposition as being true, or reject, it as
being false (Dikutip Malmkjaer, ed. 1991: 336).

Berikut ini adalah beberapa prinsip verifikasi sebagai elaborasi dari kutipan di atas:

• Suatu proposisi dianggap bermakna manakala secara prinsip dapat diverifikasi. Arti suatu
pernyataan adalah sama dengan metode verifikasinya yang berdasarkan pengalaman
empiris.
• Yang mesti dilakukan itu adalah verfikasi bukan menghasilkan suatu pernyataan yang
mesti benar. Proposisi "Di rumah itu ada tiga orang pencuri" adalah bermakna walaupun
setelah diverifikasi ketiga pencuri itu tidak ada. Ungkapan "John tidak akan mati"
bermakna sebab kalimat itu dapat diverifikasi untuk membuktikan ketidakbenarannya
secara empiris. Sebaliknya ungkapan "Hari ini cuaca lebih baik daripada di luar" tidak
bermakna, sebab dalam ungkapan itu sendiri terdapat kontradiksi.

• Setiap pernyataan yang secara prinsip tidak dapat diverifikasi pada hakikatnya pernyataan
itu tidak bermakna. Pernyataan-pernyataan metafisik tidaklah bermakna karena secara
empirik tidak dapat diverifikasi, atau tidak dapat dianalisis secara empirik. Kalimat
metafisik God exists bukanlah kalimat yang secara faktual bermakna. Demikian pula
halnya kalimat God does not exist.

Ayer membedakan dua jenis verifikasi, yakni verifikasi keras dan verifikasi lunak seperti
tampak dalam kutipan di bawah ini.
Akan anda lihat bahwa aku membedakan antara arti yang "lunak" dari kata "verifiable"
dan aku menje as an per e aan rse SISi dapat dikatakan "verifiable" dalam arti yang keras,
hanya jika kebenarannya dapat dibuktikan dalam pengalaman secara meyakin_ kan. Suatu
proposisi "verifiable" dalam arti lunak adalah proposisi yang pengalaman hanya dapat
menjadikannya "sangat mungkin (probable)" (Dikutip Titus dick, 1984 : 374)

Filsafat Bahasa Biasa


Seperti disebut terdahulu bahwa filsafat analitik muncul sebagai reaksi terhadap
tradisi idealisme terutama dari kalangan teologi yang mengagungkan metafisika. Para
pengikut positivisme logis ingin membersihkan diri dari metafisika. Mereka ingin memiliki
bahasa yang dapat merepresentasikan dunia nyata dalam bahasa ideal yang memang sesuai
dengan struktur logika dari realitas dunia ini. Para tokoh filsafat bahasa atau the ordinary
language philosophy berkonsentrasi pada aspek semantik bahasa seperti dikupas habis oleh
Wittgenstein dalam Tractatus Logico Philosophicus (1921). Dia, seperti halnya gurunya
Russell, mengatakan bahwa ungkapan bahasa metafisik adalah omong kosong karena tidak
menggambarkan realita. Dalam buku itu ia kurang lebih mengatakan bahasa sebagai suatu
himpunan besar yang terdiri atas proposisi-proposisi atomis yang pada hakikatnya
menggambarkan realita atomis. Dengan begitu, sebuah proposisi adalah sebuah fungsi
kebenaran (truth function) dari proposisi-proposisi elementer. Makna sebuah proposisi itu
adalah kenyataannya yang sesuai dengan fakta atau keberadaan suatu peristiwa (Kaelan 1998:
144).
Ada tiga kritik tajam dari Wittgenstein terhadap filsafat sebagai berikut:

 Kekacauan bahasa filsafat timbul karena penggunaan istilah atau ungkapan dalam
bahasa filsafat yang tidak sesuai dengan aturan permainan bahasa.
 Adanya kecenderungan untuk mencari pengertian yang bersifat umum dengan
merangkum pelbagai gejala yang diperkirakan mencerminkan sifat keumumannya.
Kelemahan ini disebut dengan istilah craving for generality.
 Penyamaran atau pengertian terselubung melalui pengajuan istilah yang tidak dapat
dipahami misalnya "keberadaan ' "ketiadaan" dan Iain seba alam erwacap8 filsafat an
sesung nya dalarn berba asa sehari-hari pun kita harus menghindari ambiguitas dan
penyamaran.

Berdasarkan atas ketiga hal di atas, ia menyatakan dua tugas filsafat, yaitu: (I) secara
penyembuhan atau therapheutics dengan cara menghilangkan kekacauan-kekacauan yang
terjadi dalam bahasa filsafat, dan (2) secara metodis, yaitu berfilsafat dengan menempuh
jalan berikut ini.

• Meletakkan landasan filsafat pada penggunaan bahasa seharihari dengan mengikuti


aturan permainan bahasa.

• Untuk mengatasi kekacauan itu, kita harus menyusun kembali apa yang telah kita
ketahui bukannya dengan melalui keterangan baru.

• Meletakkan metode analisis bahasa dalam posisi yang netral, yakni tidak turut campur
dalam memberikan interpretasi filosofis atau penafsiran realitas.

Beberapa Tema Filsafat Bahasa


Wittgenstein bersama Russell dan para pengikutnya pada permulaannya tidak percaya
bahwa bahasa biasa dapat dipakai sebagai ekspressi filsafat, dan mengharapkan adanya
bahasa ideal seperti logika simbolis untuk kepentingan filsafat. Terna filsafat berikut ini
tidak saja diajukan oleh Wittgenstein tetapi juga dari para filsuf lain yang mengajukan
teorinya sekaitan dengan bahasa.

• Permainan bahasa (language games)


Dalam karyanya yang kedua, Philosophical Investigation (1953) Wittgenstein
menyadari bahwa bahasa tidak hanya dimaksudkan untuk mengungkapkan
proposisi-proposisi logis melainkan digunakan juga dalam fungsi lain seperti
pertanyaan, perintah, pengumuman, dan lain sebagainya. Menarik sekali bahwa
Wittgenstein menggunakan metafor language games atau permainan bahasa. Hidup
ini memang merupakan rantai panjang berbagai permainan yang silih berganti. Kita
larut dalam permainan ini dengan mengikuti aturan main yang berlaku. Jika kita
menolak aturan main catur, misalnya, maka kita telah menolak kebenaran atau
fungsi catur itu. Dalam sosiolinguistik dikenal istilah speech event atau peristiwa
tutur yang dimediasi oleh bahasa tertentu atau ermainan bahasa yang sesuai dengan
konteksnya.

 Teori gambaran (picture theory)


Lewat bahasa kita menggambarkan dunia. Proposisi-proposisi juga menggambarkan
kenyataan. Pengertian sebuah proposisi terletak pada situasi yang digambarkan atau yang
dihadirkan di dalamnya. Bayangkan sebuah Iukisan karya perupa sebagai representasi
objek gambarnya. Fungsi teori gambar terletak pada kesesuaian antara unsur-unsur gambar
dengan unsur-unsur realitas. Unsur-unsur yang dimaksud mencakup kata, frase, klausa,
maupun kalimat untuk membangun sebuah proposisi. Proposisi yang sederhana disebut
proposisi elementer yang merupakan penjelasan suatu bentuk keberadaan suatu peristiwa.
Sebagai gambaran peristiwa, keberadaan suatu peristiwa tidak dapat benar atau salah.
Adapun proposisi sebagai sarana yang berupa ungkapan bahasa yang menghadirkan bentuk
peristiwa (state of affairs) kepada kita itulah yang dapat dikenai kualifikasi benar atau salah
(Bertens, 1981: 44).

 Proposisi dalam struktur logika bahasa


Dunia adalah keseluruhan fakta, dan kebenaran dari dunia itu hanya dapat
dinyatakan dalam bahasa. Struktur logis dunia terungkap melalui bahasa yang memiliki
kesesuaian dengan struktur bahasa. Suatu proposisi dapat dianalisis menjadi sebuah
proposisi sebagai bagian terakhirnya yang dalam istilah Wittgenstein disebut ultimate
constituent. Dengan kata lain, setiap proposisi elementer itu hanya memiliki satu analisis
final. Proposisi-proposisi itu mengungkapkan keberadaan suatu peristiwa atau state of
affair, sedangkan keseluruhan proposisi itu adalah bahasa. Proposisi-proposisi dasar
merupakan bangunan akhir dari bahasa karena jumlah keseluruhan proposisi itu adalah
bahasa. Berikut adalah ayat-ayat struktur logika bahasa sebagaimana dikemukakan oleh
Wittgenstein:
1. Sebuah gambaran logis dari suatu kenyataan itu adalah sebuah pikiran.
2. Di dalam sebuah proposisi sebuah pikiran mendapatkan sebuah ungkapan yang dapat
diamati oleh indra.
3. Di dalam sebuah proposisi sebuah pikiran dapat diungkapkan sedemikian rupa
sehingga unsur-unsur dari tanda proposisi bersesuaian dengan objek dari pikiran.
4. Sebuah proposisi hanya mempun satu analisis yang lengkap

5. proposlsl-pro yang mempunyai makna adalah proposisi yang berhubungan dengan


sebuah nama, dan nama itu bermakna dalam hubungannya dengan proposisi.
6. Sebuah pikiran adalah sebuah proposisi yang bermakna.
7. Jumlah keseluruhan dari proposisi itu adalah bahasa.
8. sebuah proposisi itu adalah suatu gambaran realitas. Sebuah proposisi itu adalah
sebuah model dari kenyataan yang kita bayangkan (Lihat Kaelan 1998: 111-112).

 Kekeliruan kategori (category mistakes)


Segala sesuatu yang diindra oleh manusia dipersepsi lalu diolah untuk menjadi
pengetahuan. Pengolahan ini dilakukan melalui proses kategorisasi. Dalam penelitian
kualitatif misalnya, data observasi dan data wawancara dianalisis lewat kategorisasi.
Kekeliruan pokok yang sering terjadi dalam filsafat adalah kekeliruan kategori, yakni
pencampuradukan anggota yang berbeda sifatnya ke dalam satu kategori. Contoh
kesalahan yang sederhana adalah pengelompokkan gajah, kuda, kerbau, burung, dan ular
ke dalam kategori binatang menyusui. Proposisi "Ayah tidak merokok" dapat dimaknai
sebagai: (1) Ayah bukan perokok atau (2) Ayah tidak sedang merokok. Pemaknaan (I)
atau (2) oleh pembaca atau pendengar bukti campur aduknya dua kategori. Adalah Ryle
lewat bukunya The Concept of Mind yang memperkenalkan konsep kesalahan kategori
ini sebagai reaksi terhadap konsep dari Rene Descartes dalam mendeskripsi manusia
yang memiliki jiwa atau ruh dan juga memiliki tubuh atau raga. Roh secara logis dapat
dibandingkan dengan raga padahal pada kenyataannya memiliki eksistensi yang berbeda.
Ruh atau jiwa mesti dipahami lewat introspeksi sedangkan raga dapat dipahami lewat
observasi.

Referensi
Ayer, A.J. (1952). Language, Truth and Logic. New York: Dover Publications, Inc.
Bartens. K. (1981). Filsafat Barat dalam Abad XX. Jakarta: Gramedia.
Charlesworth, Maxwell John. (1959). Philosophy and Linguistic Analysis. Pittsburgh:
Duquesne University.

BAB 6

The will of God is the refuge of ignorance.

-SPINOZA

A thing is not just because God wills it,


but God wills it because it is just.

THOMAS AQUINAS

Experience is a good teacher but she sends in terrific bills.

--MINNA ANTRIM

Selesai membaca bab ini, Anda diharapkan memahami hal-hal Berikut ini: (1) objek kajian
filsafat pendidikan, (2) berbagai mazhab ilsafat pendidikan, dan (3) implementasi filsafat
pendidikan dalam engembangan kurikulum dan sistem pembelajaran di sekolah.

Filsafat pendidikan adalah studi ihwal tujuan, hakikat, dan isi ang ideal dari pendidikan.
Terkait dengan itu semua adalah per alan atau hakikat mengetahui, hakikat kekuasaan, dan
hubungan ntara pendidikan dan masyarakat. Kajian serius filsafat pendidian kan menyeret
serta pembahasan sekitar psikologi perkembangan an perkembangan manusia. Dengan
demikian, pada intinya, filsafat endidikan mempertanyakan sejumlah pertanyaan penting
sebagai berikut.

1. Pengetahuan apa yang paling berharga?


2. Pengetauan apa yang mesti diajarkan?
3. Apa yang seharusnya menjadi tujuan pendidikan?
4. Bagaimana manusia belajar?
5. Bagaimana sebaiknya hubungan antara guru dan siswa?

Untuk menjawab kelima pertanyaan di atas ada sejumlah mazhab atau aliran filsafat yang
lazim dirujuk dalam pendidikan, yaitu: esensialisme, perenialisme, progresivisme,
eksistensialisme, rekonstruksi, dan pedagogi kritis. Mari kita akrabi satu per satu.

Esensialisme

Mungkin deskripsi yang paling mengena bagi mazhab ini adalah "tradisional", kembali ke
khittah, atau back to basics. Tatkala kita ini su dah bosan, atau bahkan muak, dengan
kehidupan serba modern dan mekanistik, kita sering bertanya pada diri sendiri, Apa sih yang
kita cari? Mazhab ini diberi label demikian karena upayanya dalam mena namkan pada para
siswa apa yang menjadi esensi dari ilmu pengeta huan dan pembangunan karakter siswa.
Paham ini populer pada tahun 1930an dengan pelopornya William Bagley (1874-1946). Pada
awal abad ke-20 paham ini dikritik sebagai paham kaku untuk mempersiapkan siswa
memasuki dunia dewasa. Namun dengan suksesnya Uni Soviet dalam meluncurkan Sputnik
pada tahun 1957, minat pada paham ini kembali hidup. Pada tahun 1983 The President's
Commission on Excellence in Education di AS menerbitkan laporan, A Nation at Risk, yang
memperlihatkan kepedulian penganut paham esensialis.

Filsafat ini berdasarkan filsafat konservatif bahwasanya sekolah itu tidak dapat mengubah
masyarakat secara radikal. Sekolah seharusnya mengajarkan nilai-nilai moral tradisional dan
pengetahu an agar siswa kelak menjadi warga negara teladan. Ajaran yang mesti diberikan
kepada siswa antara lain hormat kepada kekuasaan, ketabahan, taat menjalankan kewajiban,
tenggang rasa kepada orang lain, dan menguasai hal-hal praktis. Sejalan dengan filsafat ini,
pendidikan hendaknya menekankan pemahaman dunia lewat percobaan saintifik dan
penguasaan ilmu-ilmu alamiah daripada ilmu-ilmu seperti filsafat atau agama. Mata pelajaran
tradisional yang lazim dianggap penting antara lain matematika, IPA, sejarah, bahasa asing,
dan kesusastraan. Mata-mata pelajaran yang bersifat vokasional atau kurang akademik
kurang berkenan bagi kelompok ini. Siswa SD harus menguasai menulis, membaca,
berhitung, dan komputer agar memiliki literasi kultural yang memadai, yakni memi liki
pengetahuan ihwal orang, kejadian, gagasan, dan institusi publik. Singkatnya, demi
penguasaan literasi dan komputasi. Kurikulum sekolah menengah seyogianya terdiri atas
sains, matematika, sejarah, bahasa Inggris, dan bahasa asing. Semuanya ini merupakan alat
pendidikan liberal dan terpercaya untuk memenuhi kebutuan personal dan sosial. Kata
William Bagley: "Grippping and enduring interests frequently grow out of initial learning
efforts that are not appealing or attractive."

Perrenialisme

Perrenial berarti everlasting, tahan lama, atau abadi. Dalam sejarah peradaban manusia
dikenal sejumlah gagasan besar (great ideas) yang tetap menjadi rujukan sampai kapan pun
juga. Aliran ini mengikuti paham realisme, yang sejalan dengan Aristoteles bahwa manusia
itu rasional. Sekolah adalah lembaga yang didesain untuk menumbuhkan kecerdasan. Siswa
seyogianya diajari gagasan besar agar mencintainya, sehingga mereka menjadi intelektual
sejati. Akar filsafat ini tentunya datang dari gagasan besar Plato dan Aristoteles dan
kemudian dari St. Thomas Aquinas yang sangat berpengaruh pada model-model sekolah
Katolik. Lazimnya ada dikenal dua aliran besar yaitu aliran Thomas Aquinas dan kemudian
abad ke 20 aliran Mortimer Adler dan Robert Hutchins. Seperti halnya filsafat esen sialisme,
aliran ini pun kurang fleksibel dalam mengembangkan kurikulum. Kaum perrenialis
mendasarkan teorinya pada pandangan universal bahwa semua manusia memiliki sifat
esensial sebagai makhluk rasional, jadi tidaklah baik menggiring dan mencocok hidung
mereka ke penguasaan keterampilan vokasional. Ini semua berpotensi mengganggu
perkembangan rasionalnya. Berbeda dari aliran esensialis, eksperimen saintifik dianggap
mengurangi pentingnya kapasitas manusia untuk berpikir. Pelajaran filsafat dengan demikian
menjadi penting, agar siswa mampu berpikir mendalam, analitik, fleksibel, dan penuh
imajinatif. Pengikut filsafat ini merekomendasikan mahasiswa membaca Buku-buku Agung
atauGrent Books, yang begitu mendalam, indah, bermakna dan tetap menyorotkan kebenaran
sepanjang hayat. Mereka menyayangkan perubahan universitas dari tempat mencari
kebenaran dan kebijak naan menjadi tempat latihan demi karir mahasiswa.
Pendidikan menurut filsafat ini mesti membangun sejumlah mata pelajaran yang umum
bukan spesialis, liberal bukan vokasional, yang humanistik bukan teknikal. Dengan cara
inilah pendidikan akan memenuhi fungsi humanistiknya, yakni pembelajaran secara umum
yang mesti dimiliki manusia. Ada empat prinsip dari aliran ini t kebenaran bersifat universal
dan tidak tergantung pada tempat waktu, dan orang; (2) pendidikan yang baik melibatkan
pencarian pemahaman atas kebenaran; (3) kebenaran dapat ditemukan dalam karya-karya
agung; dan (4) pendidikan adalah kegiatan liberal untuk mengembangkan nalar. Untuk
mengakhiri perkenalan singkat dengan aliran ini, kita simak fatwa Mortimer Adler sebagai
berikut:

The Paideia Program seeks to establish a course of study that is general, not specialized;
liberal, not vocational; humanistic, not technical. Only in this way can it fulfill the meaning
of words paaideia" and "humanistic," which signify the general learning that should be in the
profession of every human being.

Progresivisme

Aliran ini lengket dengan nama besar John Dewey (1859-1952) yang mengembangkan
Sekolah Laboratorium di Chicago. Aliran ini meng hormati perorangan, sains, dan menerima
perubahan sesuai dengan perkembangan. Aliran ini menstimulasi sekolah untuk mengembang
kan kurikulum sehingga lebih relevan dengan kebutuhan dan minat siswa. Pengaruh Dewey
terasa sekali pada era 1950an saat Soviet berhasil meluncurkan Sputnik. Sekolah-sekolah
menekankan ma tematika, sains, bahasa asing, dan mata-mata pelajaran yang terkait dengan
pertahanan. Filsafat yang dianut Dewey adalah bahwa dunia fisik itu real dan perubahan itu
bukan sesuatu yang tak dapat diren canakan. Perubahan dapat diarahkan oleh kepandaian
manusia. Sekolah mesti membuat siswa sebagai warga negara yang lebih demokratik,
berpikir bebas dan cerdas. Bagi Dewey ilmu pengetahu an itu dapat diperoleh dan
dikembangkan dengan mengaplikasikan pengalaman, lalu dipakai untuk menyelesaikan
persoalan baru.

Pendidikan dengan demikian adalah rekonstruksi pengalaman. Untuk memecahkan problem,


Dewey mengajarkan metode ilmiah dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Sadari problem yang ada;

2. Definiskan peroblem itu;

3. Ajukan sejumlah hipotesis untuk memecahkannya;

4. Uji telik konsekuensi setiap hipotesis dengan melihat pengalaman silam;

5. Alami; dan

6. Tes solusi yang paling memungkinkan.

Proses belajar mengajar di kelas ditandai dengan beberapa hal, antara lain:

• Guru merencanakan pelajaran yang membangkitkan minat dan rasa ingin tahu
siswa.

• Selain membaca buku siswa juga diharuskan berinteraksi denganalam misalnya


melalui kerja lapangan atau lintas alam.

• Guru membangkitkan minat siswa melalui permainan yang menantang siswa


untuk berpikir.
• Siswa didorong untuk berinteraksi dengan sesamanya untuk membangun
pemahaman sosial. • Kurikulum menekankan studi alami dan siswa dipajankan
(exposed) terhadap perkembangan baru dalam saintifik dan sosial; dan
• Pendidikan sebagai proses yang terus menerus memperkaya siswa untuk tumbuh,
bukan sekadar menyiapkan siswa untuk kehidupan dewasa.

Para pendidik aliran ini sangat menentang praktik sekolah tradisional, khususnya dalam lima
hal: (1) guru yang otoriter, (2) terlampau mengandalkan metode berbasis buku teks, (3)
pembelajaran pasif dengan mengingat fakta, (4) filsafat empat tembok, yakni terisolasinya
pendidikan dari kehidupan nyata, dan (5) penggunaan rasa takut atau hukuman badan sebagai
alat untuk menanamkan disiplin pada siswa. Mari kita dengarkan kata-kata Dewey berikut
ini. We may, I think, discover certain common principles amid the variety of progressive
schools now existing. To imposition from above is opposed expression and cultivation of
individuality, to external discipline is opposed free activity; to learning from text and
teachers, learning through experience; to acquisition of isolated skills and techniques by drill
is opposed acquisition of them as means of attaining ends which make direct vital appeal; to
preparation for a more or less remote future is opposed making the most of the opportunities
of present life; to statistics and materials is opposed acquaintance with a changing world.

Eksistensialisme

Gerakan eksistensialis dalam pendidikan berangkat dari aliran filsafat yang menamakan
dirinya eksistensialisme, yang para tokohnya antara lain Kierkegaard (1813-1815), Nietzsche
(1811-1900), yang mengatakan bahwa Tuhan telah mati, dan Jean Paul Sartre, yang
mengatakan, "Man is nothing else but what he makes of himself." Inti ajaran filsafat ini
adalah respek terhadap individu yang unik pada setiap orang. Eksistensi mendahului esensi.
Kita lahir dan eksis lalu menentukan dengan bebas esensi kita masing-masing. Kaum
eksistensialis menolak filsafat-filsafat tradisional dan menolak eksistensi kebenaran ihwal
metafisika, epistemologi, dan etika. Setiap individu menentukan untuk dirinya sendiri apa itu
yang benar, salah, indah, dan jelek. Tidak ada bentuk universal, setiap orang memiliki
keinginan untuk bebas (free will) dan berkembang. Pendidikan seyogianya menekankan
refleksi personal yang mendalam terhadap komitmen dan pilihan sendiri. Manusia adalah
pencipta esensi dirinya.

Dalam kelas guru berperan sebagai fasilitator untuk membiarkan siswa berkembang menjadi
dirinya dengan memberikan berbagai ben tuk pajanan (exposure) dan jalan untuk dilalui.
Karena perasaan tidak terlepas dari nalar, maka kaum eksistensialis menganjurkan
pendidikan sebagai cara membentuk manusia secara utuh, bukan hanya sebagai
pembangunan nalar. Sejalan dengan tujuan itu. kurikulum menjadi fleksibel dengan
menyajikan sejumlah pilihan untuk dipilih siswa. Dapat ditebak bahwa pelajaran-pelajaran
humaniora akan mendapat penekanan relatif besar. Kelas mesti kaya dengan materi ajar yang
memungkinkan siswa melakukan ekspresi diri, antara lain dalam bentuk karya sastra film,
dan drama. Semua itu merupakan alat untuk memungkinkan siswa 'berfilsafat' ihwal makna
dari pengalaman hidup, cinta, dan kematian. Pendidikan. vokasional lebih sebagai cara
mengajar siswa mengenal dirinya bukan untuk mendapatkan penghidupan. Dalam bidang
seni aliran ini mendorong kreativitas dan imaginasi siswa bukan sekadar meniru dan membeo
apa yang sudah ada. Siswa dilihat sebagai individu, dan belajar seyogianya disesuaikan
dengan kecepatan siswa dan siswa mengarahkan belajar untuk kepentingan dirinya sendiri
atau self-paced dan self-directed. Ihwal bagaimana mendidik anak, kita ikuti pernyataan
berikut ini.

Childhood is not adulthood; childhood is playing and no child ever gets enough play. The
Summerhill theory is that when a child has played enough he will start to work and face
difficulties, and I claim that this theory as been vindicated in our pupils' ability to do a good
job even when it involves a lot of unpleasant work. (A.S. Neill)

Rekonstruksi

Aliran rekonstruksi atau social reconstruction memiliki akar-akar filsafat eksistensialisme,


namun terutama berlandaskan pada pemi kiran aliran progresif. Persamaan antara dua aliran
filsafat ini adalah bahwa segala sesuatu di dunia ini bersifat relatif dan semua manusia
mengelola dunia ini untuk memahaminya dan mengubahnya. Bila aliran perenialis
menekankan penyampaian pengetahuan ihwal kultur yang ada dan mapan dan aliran progresif
menekankan pentingnya evaluasi terhadap kultur yang ada, maka aliran rekonstruksi meng
inginkan transformasi kultur yang ada itu berdasarkan analisis ter hadap ketidakadilan dan
kesalahan-kesalahan mendasar dalam praktik-praktik pendidikan selama ini. Mereka kritis
terhadap masya rakat kontemporer dan dianggap sebagai penggiat sosial yang peduli terhadap
isu-isu nasional dan internasional. Bila tujuan pendidikan untuk menyiapkan anak didik
sebagai pengubah dunia, maka sekolah harus membekali siswa dengan alat untuk melakukan
perubahan, yakni demi transformasi dunia ini lewat rekonstruksi sosial. Guru dengan
demikian memiliki peran penting dalam mengubah kebudaya an.

Tokoh-tokoh besar aliran ini antara lain George Counts, Theodore Brameld, Ivan Illich, dan
Paulo Freire. Dalam bukunya Education for the Emerging Age (1950) Brameld menyarankan
bahwa tujuan pendidikan bukan untuk memperoleh kredit atau sekadar pengetahuan, tetapi
memberi manusia apapun rasnya, kepercayaannya, dan kehidupaan yang lebih memuaskan
dirinya dan masyarakatnya Pengetahuan, pelatihan, dan keterampilan adalah alat untuk
mencapai tujuan ini, yakni realisasi diri. Illich dalam bukunya Deschooling Society (1970)
mempertanyakan apakah dunia ini rela membiarkan mayoritas penduduk tidak sekolah,
membiarkan drop-out anak-anak dari golongan kelas bawah. Pelem bagaan nilai-nilai lewat
sekolah telah mengarah pada polusi secara fi sik, polarisasi sosial, dan impotensi psikologis.
Jadi kontribusi pemikir an aliran ini bukan untuk menghapus sekolah tetapi untuk melonggar
kan pelembagaan (deinstitutionalize) pengalaman pendidikan di sekolah, agar siswa mampu
mentransformasi kultur yang ada. Illich melihat keterkaitan bahasa dengan kekuasaan.
Dengan menguasai bahasa sampai tingkat literasi tinggi seseorang dapat menggapai
kekuasaan, dan mampu mentrasformasi kebudayaan. Dalam Pedagogy of the Oppressed
(1995), Illich menekankan pentingnya kemampuan. manusia untuk mengidentifikasi dan
mempertanyakan asumsi-asumsi ihwal hakikat dunia lewat dialog dan diskusi.

Pedagogi Kritis

Pencerahan dari Freire ihwal faham rekonstruksi seperti di atas telah melahirkan sejumlah
pemikir berikutnya dalam mengembangakan sejumlah aliran pendidikan di bawah payung
critical pedagogy. Kata kunci dari aliran ini adalah critical. Dalam filsafat kontemporer ada
dikenal critical theory seperti yang digagas oleh mazhab Frankfurt. Seperti diungkap Geuss,
target yang ingin dicapai oleh teori ini adalah: ... at emancipation and enlightment, at making
agents aware of hidden coercion and putting them in a position to determine where their true
interest lie (1981: 55).

Dengan kata lain, teori ini bernafsu untuk mengidentifikasi minat dan motivasi politik sosial
dari sebuah dominasi kekuasaan (ilmu pengetahuan dan kebudayaan secara umum).
Maksudnya adalah demi emansipasi dan pencerahan. Bila diaplikasikan dalam bidang
pendidikan maka teori kritis ini memunculkan pendekatan critical pedagogy, dan salah satu
dari pelopornya adalah Henry Giroux. Pendekatan ini antara lain menekankan pentingnya
memberdayakan dan mendidik siswa agar mampu memecahkan masalah dan mampu berpikir
kritis. Dengan mengikuti aliran ini, pendidik sering disebut sebagai critical educator yang
secara kritis mempertanyakan kultur yang sudah mapan atau dominan dan menjadikannya
sebagai objek analisis politik. Dalam kultur Amerika, misalnya, betapa sistem pen didikan
yang ada kini sangat menguntungkan kaum kulit putih kelas menengah dan atas. Memang
teori kritis banyak menggerakkan ber bagai tantangan dan hujatan dalam studi kurikulum,
khususnya di AS, seperti tampak dalam kutipan dari Hlebowitsh (1993) berikut ini. Critical
theory in education aims to disclose all forms of injustice and inequality in schooling by
revealing the interests served by the knowledge and the human action brought to bear in
school settings. By probing into the ideological and political forces that underlie the workday
affairs of the school, critical theorists are created new and unconventional ways of looking at
school phenomena (1993: 5).

Dari pencermatan atas kutipan di atas, dapat ditarik sejumlah tafsir sebagai berikut:

Teori kritis memiliki kepedulian tinggi terhadap ketidakadilan sosial sebagaimana tercermin
dalam sistem pendidikan atau persekolahan.

Di balik ilmu pengetahuan yang dipelajari di sekolah dan kebudayaan yang dominan dalam
sistem persekolahan sesung guhnya ada minat dan vested interest dari kelompok tertentu. Di
balik sistem persekolahan itu ada ideologi yang mendominasi yang harus dicermati dengan
kritis dengan mengkaji sejumlah ideologi alternatif.

Untuk keperluan analisisnya yang radikal ini, maka pendidik harus memiliki kemampuan
antara lain sebagai berikut. Untuk menganalisis sistem yang ada secara politis, diperlukan
penguasaan bahasa kritis demi pemahaman yang sempurna.

Untuk memhami kultur yang mendominasi sistem persekolahan, diperlukan pemahaman atas
suara ideologis dari tiga kelompok besar, yaitu pihak sekolah, siswa, dan guru. Untuk
menantang wilayah pengetahuan yang dominan saat ini, diperlukan keberanian untuk
membangun pengetahuan baru.

Untuk itu guru harus menyiapkan kelas yang memfasilitasi siswa untuk mampu berbicara,
menulis, dan mendengar dalam multi. perspectival language, yaitu berbahasa dengan sudut
pandang yang berbagai-bagai.

Bisa jadi ada kesan bahwa aliran ini terlalu radikal terutama pada sistem pendidikan pra-
universitas. Bayangkan saja siswa di. sarankan untuk memahami hakikat kekuasaan,
penindasan, menge nali adanya ketidakadilan dalam masyarakat, dan dilatih kritis untuk
mampu mengembangkan pemahaman dan kepekaan untuk melakukan perubahan. Untuk
memahami implikasi teori ini, berikut ini ada delapan dalil dari critical pedagogy dengan
contoh implikasi nya dalam konteks pengajaran bahasa Inggris di Indonesia.
Pendidikan memproduksi bukan hanya pengetahuan tapi politik. Mata-mata pelajaran,
dengan kata lain, tidak hanya mewariskan ilmu pengetahuan, fakta atau dalil yang ditarik dari
pengamatan alam fisik atau alam sosial, tapi juga harus menanamkan pada siswa kesadaran
akan hak-hak politiknya sebagai warga negara. Artinya, guru Bahasa Inggris, misalnya,
berkewajiban bukan hanya mengajarkan to have dan to be; is, am, are sampai dengan
komposisi alinea yang logis, berterima, dan komunikatif, tapi juga berkewajiban berakrobat
simsalabim kultural dan kurikuler untuk mentransformasi siswa menjadi masyarakat yang
sadar politik (political society). Ini tidak berarti melatih siswa SMP dan SMU (juga tidak
mahasiswa) menjadi politisi seperti anggota aktif suatu partai politik. Yang terpenting adalah
penamaan pada para siswa sikap politik yang demokratis. Untuk menjadi warga negara
demokratis, mereka tidak harus menjadi politikus. Sadar akan hak dan kewajiban dalam ke
seharian di sekolah sesungguhnya merupakan pendidikan politik yang membumi. Dengan
kata lain, guru bahasa adalah juga pendekar literasi politik, bukan sekadar literasi baca tulis
saja.

Etika seyogianya dipahami sebagai sentralnya pendidikan. Guru mengajarkan bukan hanya
pengetahuan dan keterampilan bahasa tetapi juga mengajarkan apa yang benar dan tidak
benar. Ada anggapan bahwa etika merupakan garapan guru agama, budi pekerti, atau ilmu
sosial lainnya. Konsep dasar linguistik ihwal dikotomi deskriptif-perspektif, berterima-
takberterima, dan gramatik-takgramatik sebenarnya berlaku juga dalam kehidupan sehari-
hari. Kemampuan berbahasa bararti kepandaian menggu nakan bahasa yang bukan saja benar
secara gramatik, tapi juga berterima secara sosial. Inilah gambaran keseimbangan dinamis
dan fungsional antara teks dan konteks atau antara sisi mikro dan sisi makro dari uang logam
yang bernama sosiolinguistik.

Pendidikan bertoleransi terhadap perbedaan-perbedaan pada siswa dan guru dalam aspek-
aspek ras, etnis, bahasa, dan gender dalil yang sungguh senapas dengan Bhineka Tunggal Ika.
Pen didikan bahasa dan pendidikan pada umumnya segogianya mangakui dan memvalidasi
eksistensi perbedaan-perbedaan itu, dan secara bertahap dan berkeadilan membuat batas-
batas perbedaan itu semakin tipis dan mudah dipahami. Pendidikan secara objektif dan
demokratis membentangkan persamaan atau benang merah kultural sebagai perekat kesatuan
dan kebe rasamaan kultural.
Kurikulum tidak boleh dimaknai sebagai teks suci yang meng haramkan munculnya
interpretasi dan perbedaan-perbedaan pada pihak pelaksanaannya. Alih-alih, kurikulum
seyogianya diubah menjadi arena di mana ayat-ayat ilmu pengetahuan ditantang dan
dipertanyakan secara lugas, bebas, akademik, demokratik, dan sinambung. Dalam keilmuan
justru keraguan atas kebenaran yang ilmu baru dan inovasi. Sebaliknya, sikap nrimo sebagai
cerminan rendahnya daya nalar dan kreativitas adalah biang keladi dari kejumudan iptek.

Pendidikan seyogianya bukan hanya mengkritisi bentuk-bentuk ilmu pengetahuan yang ada,
tetapi meronta-ronta mencari, merumuskan dan akhirnya menawarkan bentuk-bentuk baru
dari ilmu pengetahuan. Artinya, pendidikan bukan sekadar mem pertahankan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang ada, tapi justru menghasilkan ilmu pengetahuan dan
kebudayaan baru.

Pendidikan seyogianya mereformulasi apa yang selama ini diklaim sebagai kebenaran, demi
mendapatkan versi dan interpretasi yang lebih parsial dan khusus dari ilmu pengetauan,
teknologi, kebenaran, dan alasan, serta kebernalaran. Salah satu upaya untuk menemukan
versi dan interpretasi baru ini adalah dengan melakukan sinerji antara berbagai disiplin ilmu,
semisal sinerj antara linguistik dengan sosiologi, antropologi, komunikasi, matematika,
psikologi, politik, ekonomi, statistik, dan agama. Sudut pandang yang warna-warni ini akan
menyemarakkan kebenaran saintifik (sementara) dan dengan sendirinya
mereformulasikannya dalam wujud kebenaran alternatif untuk dikritisi.

Pendidikan mesti mewadahi bukan hanya wacana untuk meng kritisi apa yang mapan, tapi
juga menawarkan visi demi masa mendatang yang lebih baik yang pantas diperjuangkan
tanpa mengenal lelah.

Para guru bahasa seyogianya melihat dirinya, seperti kata Henry A. Giroux, sebagai
transformative intellectual, yakni intelektual yang memiliki komitmen perkasa untuk
melakukan transformasi sosial demi perbaikan. Guru tidak boleh disepelekan dengan
menganggapnya sebagai teknisi di kelas bahasa, yakni abdi dalem para penguasa, khususnya
birokrat pendidikan, yang senantiasa harus patuh terhadap ayat-ayat kurikulum sebagai teks
suci.

Dengan memahami kedelapan dalil di atas, pedagogi kritis mudah disimak sebagai berikut:
Critical pedagogy... refers to the means and methods of testing and attempting to change the
structure of school that allows inquealities. It is a cultural-political tool that takes seriously
the nation of human differences, particularly those related to race, class, and gender. Critical
pedagogy seeks to release the oppressed and unite people in a shared language of critique,
stuggle, and hope to end various forms of human suffering (Kampol dikutip Alwasilah:
2000).

Pendidikan sebagai Disiplin Ilmu

Beberapa cabang ilmu sudah lama diakui sebagai disiplin tersendiri dan mantap. Sebut
sajalah psikologi, fisika, dan matematika. Ada juga yang memiliki karakteristik 'terapan',
sehingga muncullah matematika terapan, psikologi terapan, dan sebagainya. Lalu bagai mana
dengan pendidikan? Banyak yang menganggapnya bukan disiplin ilmu, karena beberapa
alasan, misalnya: (1) tidak cukup objektif, (2) tidak mantap (rigorous) sebagai ilmu, dan (3)
lebih sebagai kegiatan daripada sebagai penelitian (inquiry). Dalam mem bahas ini, pertama
harus dibedakan antar pendidikan sebagai sebuah studi yang lebih berorientasi pada
penelitian (inquiry-oriented) dan pendidikan sebagai sebuah praktik. Ketika seseorang
mengklaim bahwa pendidikan bukan sebuah disiplin ilmu, ia merujuk pada pen didikan
bukan sebagai praktik. Baginya studi pendidikan tidak se banding dengan studi fisika,
sejarah, matematika, dan sejenisnya. Yang paling mudah dipahami adalah mendudukkan
pendidikan sebagai sebuah profesi seperti halnya profesi medis atau hukum. Dalam
pendidikan ada terlibat seni yang sangat kompleks. Di situ ada kegiatan atau kajian
interdisipliner. Untuk mencapai profesi ini diperlukan studi yang relatif lama, dan studi yang
mantap mesti ber basis penelitian. Yang pasti pendidikan termasuk kategori ilmu sosial dan
sebuah ilmu terapan (applied discipline). Seperti disebut di atas disiplin pendidikan meliputi
unsur-unsur terapan dan non-terapan. Semakin spesifik dan semakin mengarah kepada
pemecahan masalah, maka sebuah kajian semakin kecil kemungkinanya disebut disiplin.
Dengan demikian, filsafat pendidikan-karena tidak spesifik dan tidak memecahkan masalah-
termasuk kategori disiplin pendidik an. Bila dengan disiplin dimaksudkan sebuah metodologi
keilmuan, maka memiliki kualifikasi untuk itu. Hanya saja pendidikan bukan "satu" objek
studi seperti matematika.
Pendidikan sebagai Objek Kajian (inquiry) Seperti dibahas di atas pendidikan berbeda dari
disiplin ilmu lain. Sebagai sebuah kajian yang lazim dicirikan objektif, penelitian pen didikan
memiliki karakteristik sebagai berikut.

Peneliti tidak hanya melibati atau menemukan apa yang terjadi (the case), tetapi juga
mengubah praktik pendidikan sesuai de ngan temuan. Jadi penelitiannya tidak dapat disebut
objektif, karena ia akan berupaya melakukan perubahan dalam perilaku manusia dan
lembaga.

Hasil dari sebuah kajian praktis bukanlah sebuah penilaian atau sebuah proposisi, atau lazim
disebut konklusi; tetapi sebuah keputusan atau sebuah tindakan. Tampak sekali bahwa
pendidik an bukan sebuah pengkajian tetapi lebih sebagai kegiatan intelektual yang berakhir
pada sebuah praktik cerdas.

Persoalan-persoalan pendidikan yang menyangkut kepercayaan, sikap, kepuasan, dan


kesenangan adalah persoalan subjektif manusia yang dihadapi peneliti pendidikan.
Berdasarkan ini. bagaimana mungkin penelitian pendidikan disebut objektif Menghadapi
kesulitan ini, peneliti harus melakukan pembelokan subjektivitas dalam mengajukan teori
pendidikan dengan mengajukan kriteria objektif.

Untuk memahami berbagai persoalan pendidikan, peneliti harus memiliki pengalaman dan
keterlibatan personal dengan objek yang diteliti. Ini pun mempengaruhi konsep objektivitas
dalam penelitian pendidikan. Seringkali penelitian pendidikan akan mempengaruhi objek
penelitian. Jadi, bagaimana kita menarik kesimpulan tentang sesuatu yang bakal dikenai oleh
kesimpulan itu sendiri?

Pendidikan sebagai Kajian Teoretis dan Mantap

Sejauh manakah teori-teori pendidikan memenuhi kriteria itu? Teori dalam pengertian
dasarnya merujuk pada sebuah rumusan formal dan tepat sebagaimana ditemukan dalam
fisika dan astronomi. Dengan asas ini, maka ketika menggunakan kata teori pendidikan, kita
menggunakannya dengan mawas diri. Walau demikian, para pakar cenderung berpendapat
bahwa sebaiknya kita menggunakan kriteria tersendiri sewaktu membahas teori-teori
pendidikan, tanpa harus dibayang-bayangi oleh asumsi-asumsi yang mendasari pembentukan
teori-teori dalam ilmu fisikal. Dalam tradisi positivisme hasil penelitian sekurang-kurangnya
berupa teori yang semakin baik dan mungkin saja seperangkat interpretasi nomothetic, yang
me miliki arti dalam populsi tertentu sebagaimana diwakili sampelnya. Dengan itu, tujuan
memprediksi dan mengontrol populasi tercapai adanya (Guba & Lincoln: 1989).

Rigor atau mantapnya suatu disiplin ilmu dinyatakan bukan dengan kritera matematika, tapi
sejauh mana ia memenuhi tantang an intelektual bagi pemikirnya, misalnya bagaimana
memecahkan masalah tidak sekadar karena peluang tapi berdasarkan sumber sumber yang
relevan dalam disiplin pendidikan. Kriteria konvensional untuk menilai mantapnya sebuah
penelitian adalah dengan melihat kriteria internal external validity, reliability, dan Persoalan-
persoalan pendidikan yang menyangkut kepercayaan, sikap, kepuasan, dan kesenangan
adalah persoalan subjektif manusia yang dihadapi peneliti pendidikan. Berdasarkan ini.
bagaimana mungkin penelitian pendidikan disebut objektif Menghadapi kesulitan ini, peneliti
harus melakukan pembelokan subjektivitas dalam mengajukan teori pendidikan dengan
mengajukan kriteria objektif.

Untuk memahami berbagai persoalan pendidikan, peneliti harus memiliki pengalaman dan
keterlibatan personal dengan objek yang diteliti. Ini pun mempengaruhi konsep objektivitas
dalam penelitian pendidikan. Seringkali penelitian pendidikan akan mempengaruhi objek
penelitian. Jadi, bagaimana kita menarik kesimpulan tentang sesuatu yang bakal dikenai oleh
kesimpulan itu sendiri?

Namun kriteria ini tidak akan cocok dengan penedekatan konstruktivis terhadap pendidikan.
Pendekatan ini menawarkan kriteria sebagai berikut: credibility, transferability,
dependability, dan confirmability (Guba & Lincoln: 1989). Bila demikian halnya maka kajian
pendidikan itu memenuhi criteria mantap. Bila kriteria teori dan kemantapan sudah dipenuhi,
maka dengan sendirinya ia memenuhi kriteria saintifik. Kata ini berasal dari science, dari
bahasa Latin scire, to know.

Referensi
Alwasilah, A. Chaedar. 2000. Perspektif Pendidikan Bahasa Inggris di Indonesia dalam
Konteks Persaingan Global. Bandung: Andira. Beck, Clive. 1974. Educational Philosophy
and Theory: An

Introduction. Boston: Little, Brown and Company. Brooks, Jacqueline Grennon and Martin
G. Brooks. 1999. The Case for Constructivist Classroom. Alexandria: ASCD. Dewey, John.
1958. Democracy and Education: An Introduction to the

Philosophy of Education. New York: The Macmillan Company.

Freire, Paulo. 1970. Pedagogy of the Oppressed. New York: Herer &

Herder.

Geus, Raymond. 1981. The Idea of a Critical Theory; Habermas and

the Frankfurt School. New York: Cambridge University Press.

Guba, Egon G. and Yvonna S. Lincoln. 1989. Fourth Generation Evaluation. Newbury Park:
Sage Publication. Hlebowitsh, Peter S. 1993. Radical Curriculum Theory Reconsidered:

A Historical Approach. New York: Teachers College, Columbia University.

Illich, Ivan. 1970. Deschooling Society. New York: Harper & Row, Publishers.

Pennycook, Alastair. 1994. The Cultural Politics of English as an International Language.


New York: Longman.

Tyler, Ralph W. 1949. Basic Principle of Curriculum and Instruction. Chicago: The
University of Chicago Press.

Zais, Robert S. 1976. Curriculum: Principles and Foundations. New York: Harper & Row.
http://www.ed.uiuc.edu/EPS/PES-Yearbook/93_docs/BECK.HTM
http://people.cornellcollege.edu/l-antonuccio/portfolio/philosophy.htm

Anda mungkin juga menyukai