Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
DISUSUN OLEH:
2100252025
DOSEN PEMBIMBING:
PENDAHULUAN
A.LATAR BELAKANG
Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) di Indonesia selalu menjadi masalah pelik yang tak kunjung
membaik keadaannya.Peningkatan kualitas pelayanan kesehatan ibu dan anak tersebut diyakini
memerlukan kondisi sosial politik, hukum dan budaya yang kondusif. Situasi kesehatan ibu dan bayi baru
lahir di Indonesia sama sekali belum bisa dikatakan menggembirakan.
Berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2002/2003 angka
kematian ibu di Indonesia masih berada pada angka 307 per 100 ribu kelahiran.Tingginya angka
kematian ibu dan bayi sebesar 307 per 100 ribu kelahiran hidup, menjadi salah satu indikatornya
buruknya pelayanan kesehatan ibu dan anak.Kendati berbagai upaya perbaikan serta penanganan telah
dilakukan, namun disadari masih diperlukan berbagai dukungan.
Baik masalah kematian maupun kesakitan pada ibu dan anak sesungguhnya tidak terlepas dari
faktor-faktor sosial budaya dan lingkungan di dalam masyarakat dimana mereka berada. Disadari atau
tidak, faktor-faktor kepercayaan dan pengetahuan budaya seperti konsepsi-konsepsi mengenai berbagai
pantangan, hubungan sebab- akibat antara makanan dan kondisi sehat-sakit, kebiasaan dan
ketidaktahuan, seringkali membawa dampak baik positif maupun negatif terhadap kesehatan ibu dan
anak. Pola makan, misalnya, pada dasarnya adalah merupakan salah satu selera manusia dimana peran
kebudayaan cukup besar. Hal ini terlihat bahwa setiap daerah mempunyai pola makan tertentu,
termasuk pola makan ibu hamil dan anak yang disertai dengan kepercayaan akan pantangan, tabu, dan
anjuran terhadap beberapa makanan tertentu.
B. RUMUSAN MASALAH
PEMBAHASAN
Berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2002/2003 angka
kematian ibu di Indonesia masih berada pada angka 307 per 100 ribu kelahiran.Tingginya angka
kematian ibu dan bayi sebesar 307 per 100 ribu kelahiran hidup, menjadi salah satu indikatornya
buruknya pelayanan kesehatan ibu dan anak.Kendati berbagai upaya perbaikan serta penanganan telah
dilakukan, namun disadari masih diperlukan berbagai dukungan.
Permasalahan utama yang saat ini masih dihadapi berkaitan dengan kesehatan ibu di Indonesia
adalah masih tingginya angka kematian ibu yang berhubungan dengan persalinan. Menghadapi masalah
ini maka pada bulan Mei 1988 dicanangkan program Safe Motherhood yang mempunyai prioritas pada
peningkatan pelayanan kesehatan wanita terutama paada masa kehamilan, persalinan dan pasca
persalinan.
1.Perawatan kehamilan
Perawatan kehamilan merupakan salah satu faktor yang amat perlu diperhatikan untuk
mencegah terjadinya komplikasi dan kematian ketikapersalinan, disamping itu juga untuk menjaga
pertumbuhan dankesehatan janin.
Memahami perilaku perawatan kehamilan adalah penting untuk mengetahui dampak kesehatan
bayi dan si ibu sendiri.Paca berbagai kalangan masyarakat di Indonesia, masih banyak ibu-ibu yang
menganggap kehamilan sebagai hal yang biasa, alamiah dan kodrati.Mereka merasa tidak perlu
memeriksakan dirinya secara rutin ke bidan ataupun dokter.Masih banyaknya ibu-ibu yang kurang
menyadari pentingnya pemeriksaan kehamilan menyebabkan tidak terdeteksinya faktor-faktor resiko
tinggi yang mungkin dialami oleh mereka. Resiko ini baru diketahui pada saat persalinan yang sering kali
karena kasusnya sudah terlambat dapat membawa akibat fatal yaitu kematian.Hal ini kemungkinan
disebabkan oleh rendahnya tingkat pendidikan dan kurangnya informasi. Pada penelitian yang dilakukan
yang dilakukan di RS Hasan Sadikin, Bandung, dan 132 ibu yang meninggal, 69 diantaranya tidak pernah
memeriksakan kehamilannya atau baru datangpertama kali pada kehamilan 7 -9 bulan (Wibowo, 1993).
Permasalahan lain yang cukup besar pengaruhnya pada kehamilan adalah masalah gizi. Hal ini
disebabkan karena adanya kepercayaan-kepercayaan dan pantangan- pantangan terhadap beberapa
makanan. Sementara, kegiatan mereka sehari-hari tidak berkurang ditambah lagi dengan pantangan-
pantangan terhadap beberapa makanan yang sebenamya sangat dibutuhkan oleh wanita hamil
tentunya akan berdampak negatif terhadap kesehatan ibu dan janin. Tidak heran kalau anemia dan
kurang gizi pada wanita hamil cukup tinggi terutama di daerah pedesaan. Dari data SKRT 1986 terlihat
bahwa prevalensi anemia pada wanita hamil di Indonesia sebesar 73,7%, dan angka menurun dengan
adanya program-program perbaikan gizi menjadi 33% pada tahun 1995. Dikatakan pula bahwa
penyebab utama dari tingginya angka anemia pada wanita hamil disebabkan karena kurangnya zat gizi
yangdibutuhkan untuk pembentukan darah.
Memasuki masa persalinan merupakan suatu periode yang kritis bagi para ibu hamil karena
segala kemungkinan dapat terjadi sebelum berakhir dengan selamat atau dengan kematian. Sejumlah
faktor memandirikan peranan dalam proses ini, mulai dari ada tidaknya faktor resiko kesehatan ibu,
pemilihan penolong persalinan, keterjangkauan dan ketersediaan pelayanan kesehatan, kemampuan
penolong persalinan sampai sikap keluarga dalam menghadapikeadaan gawat.
Kepanikan dan ketidaktahuan akan gejala-gejala tertentu saat persalinan dapat menghambat
tindakan yang seharusnya dilakukan dengan cepat. Tidak jarang pula nasehat-nasehat yang diberikan
oleh teman atau tetangga mempengaruhi keputusan yang diambil. Keadaan ini seringkali pula
diperberat oleh faktor geografis, dimana jarak rumah si ibu dengan tempat pelayanan kesehatan cukup
jauh, tidak tersedianya transportasi, atau oleh faktor kendala ekonomi dimana ada anggapan bahwa
membawa si ibu ke rumah sakit akan memakan biaya yang mahal. Selain dari faktor keterlambatan
dalam pengambilan keputusan, faktor geografis dan kendala ekonomi, keterlambatan mencari
pertolongan disebabkan juga oleh adanya suatu keyakinan dan sikap pasrah dari masyarakat bahwa
segala sesuatu yangterjadi merupakan takdir yang tak dapat dihindarkan.
Selain pada masa hamil, pantangan-pantangan atau anjuran masih diberlakukan juga pada masa
pasca persalinan. Pantangan ataupun anjuraan ini biasanya berkaitan dengan proses pemulihan kondisi
fisik misalnya, ada makanan tertentu yang sebaiknya dikonsumsi untuk memperbanyak produksi ASI,ada
pula makanan tertentu yang dilarang karena dianggap dapat mempengaruhi kesehatan bayi. Secara
tradisional, ada praktek-praktek yang dilakukan oleh dukun beranak untuk mengembalikan kondisi fisik
dan kesehatan si ibu. Misalnya mengurut perut yang bertujuan untuk mengembalikan rahim ke posisi
semula, memasukkan ramuan-ramuan seperti daun-daunan kedalam vagina dengan maksud untuk
membersihkan darah dan cairan yang keluar karena proses persalinan atau memberi jamu tertentu
untuk memperkuat tubuh (Iskandar et al., 1996).
2.2 Apek Sosial Budaya dalam Kesehatan bayi
Salah satu faktor yang secara langsung dapat mempengaruhi kondisikesehatan bayi adalah
makanan yang diberikan. Dalam setiap masyarakat ada aturan-aturan yang menentukan kuantitas,
kualitas dan jenis-jenis makanan yang seharusnya dan tidak seharusnya dikonsumsi oleh anggota-
anggota suatu rumah tangga, sesuai dengan kedudukan, usia, jenis kelamin dan situasi-situasi tertentu.
Misalnya, ibu yang sedang hamil tidak diperbolehkan atau dianjurkan untuk mengkonsumsi makanan
tertentu; ayah yang bekerja sebagai pencari nafkah berhak mendapat jumlah makanan yang lebih
banyak dan bagian yang lebih baik daripada anggota keluarga yang lain atau anak laki-laki diberi makan
lebih dulu daripada anak perempuan. Walaupun pola makan ini sudah menjadi tradisi ataupun
kebiasaan,namun yang paling berperan mengatur menu setiap hari dan mendistribusikan makanan
kepada keluarga adalah ibu; dengan kata lain ibu mempunyai peran sebagai gate- keeper dari keluarga.
Pada beberapa masyarakat tradisional di Indonesia kita bisa melihatkonsepsi budaya yang
terwujud dalam perilaku berkaitan dengan pola pemberian makan pada bayi yang berbeda, dengan
konsepsi kesehatan modern.Sebagai contoh, pemberian ASI menurut konsep kesehatan moderen
ataupun medis dianjurkan selama 2 (dua) tahun dan pemberian makanan tambahan berupa makanan
padat sebaiknya dimulai sesudah bayi berumur 4 tahun.Namun, pada suku Sasak di Lombok, ibu yang
baru bersalin selain memberikan nasi pakpak (nasi yang telah dikunyah oleh ibunya lebih dahulu)
kepada bayinya agar bayinya tumbuh sehat dan kuat. Mereka percaya bahwa apa yang keluar dari mulut
ibu merupakan yang terbaik untuk bayi. Sementara pada masyarakat Kerinci di Sumatera Barat, pada
usia sebulan bayi sudah diberi bubur tepung, bubur nasi nasi, pisang dan lain-lain. Ada pula kebiasaan
memberi roti, pisang, nasi yangsudah dilumatkan ataupun madu, teh manis kepada bayi baru lahir
sebelum ASI keluar. Demikian pula halnya dengan pembuangan colostrum (ASI yang pertama kali
keluar). Di beberapa masyarakat tradisional, colostrum ini dianggap sebagai susu yang sudah rusak dan
tak baik diberikan pada bayi karena warnanya yang kekuning-kuningan. Selain itu, ada yang menganggap
bahwa colostrum dapat menyebabkan diare, muntah dan masuk angin pada bayi.Sementara, colostrum
sangat berperan dalam menambah daya kekebalan tubuh bayi.
Menurut Foster dan Anderson (1978: 37), masalah kesehatan selalu berkaitan dengan dua hal
yaitu sistem teori penyakit dan sistem perawatan penyakit.Sistemteori penyakit lebih menekankan pada
penyebab sakit, teknik-teknik pengobatan pengobatan penyakit.Sementara, system perawatan penyakit
merupakan suatu institusi sosial yang melibatkan interaksi beberapa orang, paling tidak interaksi antar
pasien dengan si penyembuh, apakah itu dokter atau dukun. Persepsi terhadap penyebab penyakit akan
menentukan cara pengobatannya. Penyebab penyakit dapat dikategorikan ke dalam dua golongan yaitu
personalistik dan naturalistik.Penyakit-penyakit yang dianggap timbul karena adanya intervensi dari
agen tertentu seperti perbuatan orang, hantu, mahluk halus dan lain-lain termasuk dalam golongan
personalistik.Sementara yang termasuk dalam golongan naturalistik adalah penyakit- penyakit yang
disebabkan oleh kondisi alam seperti cuaca, makanan, debu dan lain-lain. Dari sudut pandang sistem
medis moderen adanya persepsi masyarakat yang berbeda terhadap penyakit seringkali menimbulkan
permasalahan.Sebagai contoh ada masyarakat pada beberapa daerah beranggapan bahwa bayi yang
mengalami kejang- kejang disebabkan karena kemasukan roh halus, dan hanya dukun yang dapat
menyembuhkannya. Padahal kejang-kejang tadi mungkin disebabkan oleh demam yang tinggi, atau
adanya radang otak yang bila tidak disembuhkan dengan cara yang tepat dapat menimbulkan kematian.
Kepercayaan-kepercayaan lain terhadap demam dan diare pada bayi adalah karena bayi tersebut
bertambah kepandaiannya seperti sudah mau jalan. Ada pula yang menganggap bahwa diare yang
sering diderita oleh bayi dan anak-anak disebabkan karena pengaruh udara, yang sering dikenal dengan
istilah “masuk angin”.Karena persepsi terhadap penyebab penyakit berbeda-beda, maka
pengobatannyapun berbeda-beda. Misalnya, di suatu daerah dianggap bahwa diare ini disebabkan
karena “masuk angin” yang dipersepsikan sebagai “mendinginnya” badan anak maka perlu diobati
dengan bawang merah karena dapat memanaskan badan si anak. Sesungguhnya pola pemberian
makanan pada anak, etiologi penyakit dan tindakan kuratif penyakit merupakan bagian dari sistem
perawaatan kesehatanumum dalam masyarakat (Klienman, 1980).Dikatakan bahwa dalam sistem
perawatan kesehatan ini terdapat unsur-unsur pengetahuan dari sistem medis tradisional dan moderen.
Hal ini terlihat bila ada anak yang menderita sakit, maka si ibu atau anggota keluarga lain akan
melakukan pengobatan sendiri (self treatment) terlebih dahulu, apakah itu dengan menggunakan obat
tradisional ataupun obat moderen. Tindakan pemberian obat ini merupakan tindakan pertama yang
paling sering dilakukan dalam upaya mengobati penykit dan merupakan satu tahap dari perilaku
mencari penyembuhan atau kesehatan yang dikenal sebagai “health seeking behavior”. Jika upaya ini
tidak berhasil, barulah dicari upaya lain misalnya membawa ke petugas kesehatan seperti dokter, mantri
dan lain-lain.
2.3. ASPEK SOSIAL BUDAYA DALAM PEMBANGUNAN KESEHATAN
Tujuan pembangunan pada hakikatnya adalah untuk mencapai ‘kesejahteraan bagi semua’,
yakni terpenuhinya hak setiap orang untuk hidup sehat, hingga dapat meraih hidup yang produktif dan
berbahagia. Untuk mencapai kondisi tersebut, perlu diupayakan kegiatan dan strategi dalam setiap
aspek kehidupan. Bukan saja aspek kesehatan, tetapi diperlukan strategi pemerataan kesehatan dengan
mendayagunakan segenap potensi yang ada, baik di jajaran kesehatan, non kesehatan maupun
masyarakat sendiri, guna mengendalikan faktor lingkungan, perilaku, pelayanan kesehatan, dan faktor
lain yang mempengaruhi derajat kesehatan.
Derajat kesehatan meliputi kondisi sehat maupun sakit. Untuk mencapai derajat kesehatan yang
optimal bukan hanya berbicara mengenai pengobatan, perbaikan gizi, personal hygiene, sanitasi, PHBS,
dll, tetapi juga berbicara mengenai hal-hal yang ikut berperan didalamnya yang bisa mempengaruhi
pengobatan, perbaikan gizi, personal hygiene, sanitasi, PHBS, dll. Seperti ekonomi, social, budaya,
lingkungan, pemerintahan, dll.
Mengingat kesehatan mencakup seluruh aspek kehidupan, konsep kesehatan sekarang ini, tidak
saja berorientasi pada aspek klinis dan obat-obatan, tetapi lebih berorientasi pada ilmu-ilmu lain yang
ada kaitannya dengan kesehatan dan kemasyarakatan, yaitu seperti ilmu sosiologi, antropologi,
psikologi, perilaku, dan lain-lain. Kegunaan ilmu-ilmu tersebut dalam kesehatan dan kemasyarakatan
adalah sebagai penunjang peningkatan status kesehatan masyarakat. Salah satu cabang dari sosiologi
dan antropologi adalah sosial budaya dasar, yang membahas tentang kebudayaan dan unsur-unsur yang
terkait di dalamnya.
Strategi adaptasi social budaya yang melahirkan system-sistem medis, tingkah laku dan bentuk-
bentuk kepercayaan yang berlandaskan budaya, yang timbul sebagai respon terhadap ancaman-
ancaman yang disebabkan oleh penyakit. Dunn “pola-pola dari pranata-pranata social dan tradisi-tradisi
budaya yang menyangkut perilaku yang sengaja untuk meningkatkan kesehatan, meskipun hasil dari
tingkah laku khusus tersebut belum tentu menghasilkan kesehatan yang baik” (Dunn 1976 : 135)
Penyakit, dengan rasa sakit dan penderitaannya, merupakan kondisi manusia yang dapat
diramalkan : dan merupakan gejala biologis maupun kebudayaan yang bersifat universal. Individu yang
mengidap penyakit infeksi menghadapkan rekan-rekannya pada epidemic penyakit, dan sejarah penuh
dengan kasus-kasus musnahnya populasi manusia, sewaktu menderita cacar, TBC, pes mengalami
kontak dengan orang-orang yang semula belum mengenal penyakit-penyakit tsb.Dalam usaha
melindungi diri dari berbagai ancaman tersebut, manusia kadang kala mengikuti pola hewan mamalia,
menjauhkan diri atau lari dari si sakit. Pada manusia, mengucilkan penderita, melakukan isolasi. Hal ini
akan menyebabkan penderita merasa dihukum atas keadaan yang dia sendiri tidak kehendaki, sakit yang
diderita terjadi karena takdir yang dijatuhkan kepadanya. Menjatuhkan hukuman mati secara social
kepada mereka sebelum mati secara fisik (Sigerist 1951 : 148)
Sejak zaman wilayah afdeling mandar (wilayah mandar ketika saman belanda), ada wilayah yang
dikenal perkampungan leprosy, yaitu tempat penampungan (isolasi) penderita kusta (lepra) baik yang
berada dalam wilayah afdeling maupun dari luar wilayah. Seorang suami meninggalkan istrinya yang
terindikasi menderita kusta. Anggota keluarga yang lain dilarang kontak dengan salah seorang anggota
keluarga yang menderita penyakit.Karena budaya dan hubungan social, dengan segala kemampuannya
manusia lebih sering berusaha untuk menyembuhkan si sakit. Karena sifat demikian, manusia mau tidak
mau senantiasa menaruh perhatian terhadap masalah-masalah kesehatan serta usaha mempertahankan
kelangsungan hidup dan sejauh batas-batas pengetahuannya, mencari penyelesaian terhadap masalah-
masalah penyakit (Rubin 1960 : 785).Perhatian ini bukan semata-mata manusiawi, walaupun pada
sebagian besar masyarakat ada usaha untuk merawat yang sakit, melainkan lebih merupakan suatu
bentuk tingkah laku adatif baru yang didasari oleh logika atau juga rasa kasih.
Di bawah ini kita dapat melihat bagaimana hubungan antara sosial budaya dengan
pembangunan kesehatan, khususnya pembangunan kesehatan masyarakat.
Tantangan berat yang masih dirasakan dalam pembangunan kesehatan di Indonesia adalah
jumlah penduduk yang besar dengan pertumbuhan yang cukup tinggi serta penyebaran penduduk yang
tidak merata di seluruh wilayah. Selain masalah tersebut, masalah lain yang perlu diperhatikan yaitu
berkaitan dengan sosial budaya masyarakat, misalnya tingkat pengetahuan yang belum memadai
terutama pada golongan wanita, kebiasaan negatif yang berlaku di masyarakat, adat istiadat, perilaku,
dan kurangnya peran serta masyarakat dalam pembangunan kesehatan.
Social budaya masyarakat yang merupakan hasil budi dan akal manusia yang dilandasi oleh pengalaman,
sehingga budaya masyarakat bila dikaitkan dengan kesehatan, ada yang merugikan kesehatan dan ada
pula yang menguntungkan kesehatan. Yang menguntungkan dan dapat dimanfaatkan dalam
pembangunan kesehatan, yaitu semangat gotog royong dan kekeluargaan, serta sikap musyawarah
dalam mengambil keputusan.
Pembangunan dalam suatu negara selain berdampak positif juga menimbulkan hal-hal negatif
seperti timbulnya daerah kumuh (slum area) di perkotaan akibat pesatnya urbanisasi, polusi karena
pesatnya perkembangan industri, banyak ibu-ibu karier yang tidak dapat mengasuh dan memberikan ASI
secara optimal kepada anaknya, masalah kesehatan jiwa yang menonjol dan penyalahgunaan obat.
Perkembangan penduduk dan pembangunan akan menghasilkan berbagai macam sampah yang dapat
mengganggu kesehatan.
Masalah-masalah kesehatan masyarakat yang berkaitan dengan aspek sosial budaya dapat dibedakan
menjadi:
Berdasa nrkan survei rumah tangga (SKRT) pada tahun 1986, angka kematian ibu maternal
berkisar 450 per 100.000 kelahiran hidup atau lebih dari 20.000 kematian pertahunnya.Angka kematian
ibu merupakan salah satu indikator kesehatan ibu yang meliputi ibu dalam masa kehamilan, persalinan,
dan nifas. Angka tersebut dikatakan tinggi bila dibandingkan dengan negara-negara ASEAN.
Dari hasil penelitian di 12 rumah sakit, dikatakan bahwa kehamilan merupakan penyebab utama
kematian ibu maternal, yaitu sebesar 94,4% dengan penyebabnya, yaitu pendarahan, infeksi, dan
toxaemia (*)%). Selain menimbulkan kematian, ada penyebab lain yang dapat menambah resiko
terjadinya kematian yaitu Anemia gizi pada ibu hamil, dengan Hb kurang dari 11gr%.
Angka kematian bayi pada akhir pelita V masih cukup tinggi, yaitu 58 per seribu kelahiran hidup.
Sekitar 38% penyebab kematian bayi adalah akibat penyakit-penyakit yang dapat dicegah dengan
imunisasi yaitu tetanus. Angka bayi lahir hidup dengan berat badan lahir rendah (BBLR) adalah 8,2 %.
Angka kematian balita masih didapatkan sebesar 10,,6 per 1000 anak balita. Seperti halnya dengan bayi
sekitar 31% penyebab kematian balita adalah penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi, yaitu
infeksi saluran pernafasan, polio, dan lain-lain.
Selain angka kematian, angka kelahiran dan angka kesuburan masih dirasakan pula sebagia
masalah kesehatan ibu dan anak. Angka kelahiran kasar didapatkan berkisar antara 26-32 per 1000
penduduk dan angka kesuburan sebesar 3,49.Masih tingginya angka kematian dan kesuburan di
Indonesia berkaitan erat dengan faktor sosial budaya masyarakat, seperti tingkat pendidikan penduduk,
khususnya wanita dewasa yang masih rendah, keadaan sosial ekonomi yang belum memadai, tingkat
kepercayaan masyarakat tergadap pelayanan kesehatan dan petugas kesehatan yang masih rendah dan
jauhnya lokasi tempat pelayanan kesehatan dari rumah-rumah pendudukkebiasaan-kebiasaan dan adat
istiadat dan perilaku masyarakat yang kurang menunjang dan lain sebagainya.
Tingkat pendidikan terutama pada wanita dewasa yang masih rendah, mempunyai pengaruh
besar terhadap masih tingginya angka kematian bayi. Berdasarkan survei rumah tangganya (SKRT) pada
tahun 1985, tingkat buta huruf pada wanita dewasa adalah sebesar 25,7%. Rendahnya tingkat
pendidikan dan buta huruf pada wanita menyebabkan ibu-ibu tidak mengetahui tentang perawatan
semasa hamil, kelahiran, perawatan bayi dan semasa nifas, tidak mengetahui kapan ia harus datang ke
pelayanan kesehatan, kontrol ulang, dan sebagainya.
Menurut hasil survei rumah tangga, tahun 1986 sebanyak 54% ibu hamil telah memeriksakan
dirinya, dengan frekuensi kunjungan rata-rata 3,17 kali. Pengkajian KB-Kestahun 1986 tentang
pemanfaatan tempat pemeriksaan menunjukkan yaitu Puskesmas 59,7%, fasilitas swasta 28,9%,
sedangkan Posyandu 11,2%. Namun manfaat Posyandu untuk imunisasi bayi sudah cukup tinggi yaitu
60,9%. Rendahnya pemanfaatan Posyandu untuk pemeriksaan kehamilan disebabkan karena tidak
tersedianya ruangan yang tertutup atau memadai. Hasil survei rumah tangga tahun 1986, tentang angka
imunisasi didapatkan: untuk imunisasi DPT 3 sebesar 34,9%, polio 31,6%, TT2 22,7%, BCG 75%. Bila
dilihat dari data di atas, cakupan TT2 lebih rendah bila dibandingkan dengan cakupan pemeriksaan
kehamilan. Cakupan TT2 yang rendah bila dibandingkan dengan cakupan pemeriksaan ibu hamil,
disebabkan petugas KIA belum mendapatkan instruksi atau kesempatan untuk dapat memberikan
imunisasi TT2.
Kebiasaan-kebiasaan adat istiadat dan perilaku masyarakat sering kali merupakan penghalang
atau penghambat terciptanya pola hidup sehat di masyarakat. Perilaku, kebiasaan, dan adat istiadat
yang merugikan seperti misalnya:
1. Ibu hamil dilarang tidur siang karena takut bayinya besar dan akan sulit melahirkan, Ibu
menyusui dilarang makan makanan yang asin, misalnya: ikan, telur,
2. Ibu habis melahirkan dilarang tidur siang,
3. Bayi berusia 1 minggu sudah boleh diberikan nasi atau pisang agar mekoniumnya cepat keluar,
4. Ibu post partum harus tidur dengan posisi duduk atau setengah duduk karena takut darah kotor
naik ke mata,
5. Ibu yang mengalami kesulitan dalam melahirkan, rambutnya harus diuraikan dan persalinan
yang dilakukan di lantai, diharapkan ibu dapat dengan mudah melahirkan. Bayi baru lahir yang
sedang tidur harus ditemani dengan benda-benda tajam.
Dikatakan merugikan karena beberapa hal tersebut di atas justru dibutuhkan dalam rangka
peningkatan kondisi kesehatan.
2. Keluarga Berencana
Berdasarkan hasil SUPAS 1985, penduduk Indonesia berjumlah sekitar 164 juta jiwa.
Diperkirakan pada akhir tahun 1987 menjadi 172,3 juta jiwa dan akan menjadi 182,7 juta jiwapada tahun
1990. Pada tahun 1985, pertumbuhan penduduk sekitar 2,15% pertahun.
Pada umumnya, masalah-masalah yang berkaitan dengan fertilitas dan laju pertumbuhan
penduduk disebabkan oleh pola pikir masyarakat yang bersifat kaku. Mereka masih mempunyai
pendapatan bahwa anak adalah sumber rezeki, atau banyak anak banyak rezeki. Anak adalah tumpuan
di hari tuanya. Mereka tidak menyadari bahwa keterbatasan orang tua merupakan ancaman masa
depan bagi si anak.
Selain itu, faktor agama juga sangat menentukan keberhasilan pengendalian penduduk. Pada
beberapa daerah yang masyarakatnya menggunakan agama sebagai pandangan hidup, misalnya islam,
nasrani, mereka akan menentang program pengendalian penduduk berupa penggunaan alat
kontrasepsi. Mereka menganggap bahwa dengan menggunakan alat kontrasepsi, berarti membunuh
anak yang telah dianugerahkan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Keadaan-keadaan ini merupakan tantangan
bagi pelaksana program Keluarga Berencana.
Berdasarkan hasil pengkajian KB-Kes tahun 1986, diperoleh bahwa tempat pelayanan KB yang
banyak dikunjungi oleh para akseptor KB adalah Puskesmas, yaitu sebesar 50,8%, Posyandu 23%, swasta
13,2%, dan Pos KB desa/kader 13%. Dari hasil tersebut, ternyata pemanfaatan Posyandu oleh
masyarakat berada di urutan kedua setelah Puskesmas. Hal ini disebabkan oleh siklus pil tidak selalu
sama dengan waktu bukanya di Posyandu, sehingga akseptor lebih suka datang ke Puskesmas yang buka
setiap hari. Keadaan ini perlu dijadikan bahan pemikiran, metoda apa yang tepat sehingga pelayanan di
posyandu tersebut yanglebih dekan dengan masyarakat dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya.
3. Gizi
Jika kita berbicara tentang gizi, maka yang terpikir oleh kita adalah semua makanan yang kita
makan. Ditinjau dari aspek sosial budaya, Koentjaraningrat menyebutkan bahwa makanan yang kita
makan dapat dibedakan menjadi dua konsep, yaitu nutrimen dan makanan. Nutrimen adalah suatu
konsep biokimia yang berarti zat-zat dalam makanan yang menyebabkan bahwa individu yang
memakannya dapat hidup dan berada dalam kondisi kesehatan yang baik. Makanan dikatakan sebagai
suatu konsep kebudayaan, yaitu merupakan bahan-bahan yang telah diterima dan diolah secara budaya
untuk dimakan, sesudah melalui proses penyiapan dan penyuguhan yang juga secara budaya, agar dapat
hidup dan berada dalam kondisi kesehatan yang baik.
Kesukaan makan seseorang sangat dipengaruhi oleh kebiasaan makannya sejak kanak- kanak.
Keluarga dalam hal ini sangat menentukan kesukaan anak terhadap makanan tertentu. Makanan
sebagai salah satu aspek kebudayaan sering ditentukan oleh keadaan lingkungan, misalnya wilayah yang
sebagian besar memiliki pohon kelapa, maka jenis makanan yang dimakan banyak yang menggunakan
santan atau kelapa, sedangkan wilayah yang sebagian besar terdiri dari perkebunan, jenis dan komposisi
makanan banyak yang terbuat dari sayur-sayuran atau dikenal dengan lalapan.
Rasa makanan yang disukai oleh suatu masyarakat umumnya bervariasi. Ada sekelompok
masyarakat yang menyukai makanan yang rasanya pedas, manis, asin, dan sebagainya. Kelompok
masyarakat yang menyukai makanan yang rasanya manis dapat ditemukan di daerah- daerah di Pulau
Jawa, sedangkan makanan yang rasanya pedas dapat ditemukan di daerah-daerah Sumatera dan
Sulawesi. Sehingga sering kali masyarakat tertentu yang datang ke suatu wilayah yang berbeda dengan
jenis makanan yang biasa ia makan, ia perlu mengadakan penyesuaian terhadap makanan tersebut.
Perlu diperhatikan bahwa tidak mudah bagi seseorang untuk mengganti makanan yang biasa ia makan
dengan jenis makanan yang baru ia kenal.
Distribusi makanan dalam keluarga tidaklah sama dengan keluarga lain. Ada aturan- aturan
tertentu yang harus dipenuhi oleh anggota keluarga. Seorang ayah yang dianggap sebagai pencari
nafkah keluarga, harus diberikan makanan yang ‘lebih’ dibandingkan dengan anggota keluarga lainnya.
Kata lebih yang dimaksud meliputi kualitas, kuantitas, dan frekuensi makan. Ibu hamil tidak bisa makan
dengan sebebasnya, tapi mempunyai keterbatasan tertentu, ada makanan-makanan tertentu yang tidak
boleh dimakan oleh ibu hamil. Tamu dianggap sebagai raja, sehingga diberikan makanan yang tidak
biasanya. Anak mempunyai makanan khusus seperti bubur nasi dan sebagainya. Sedangkan pembantu
rumah tangga bisasnya diberikan makanan yang rendah kualitasnya.
Berdasarkan laporan penelitian gizi pada tahun 1979, di Indonesia masih terdapat masalah-
masalah gizi. Masalah gizi tersebut bukan hanya menyangkut gejala kelaparan dan kekurangan kalori-
kalori, tetapi juga menyangkut masalah kelebihan gizi.
Masalah kekurangan gizi bukan saja disebabkan oleh faktor sosial-ekonomi masyarakat, namun
berkaitan pula dengan faktor sosial-budaya masyarakat setempat. Seperti misalnya persepsi masyarakat
terhadap pemenuhan kebutuhan masih belum sesuai. Menurut mereka, yang disebut dengan makan
adalah makan sampai kenyang, tanpa memperhatikan jenis, komposisi, dan mutu makanan,
pendistribusian makanan dalam keluarga tidak berdasarkan debutuhan untuk pertumbuhan dan
perkembangan anggota keluarga, namun berdasarkan pantangan-pantangan yang harus diikuti oleh
kelompok khusus, misalnya ibu hamil, bayi, balita, dan sebagianya.
Di samping hal tersebut, pengetahuan keluarga khususnya ibu memegang peranan yang cukup
penting dalam pemenuhan gizi keluarga. Kurangnya pengetahuan ibu tentang makanan yang
mengandung nilai gizi tinggi, cara pengolahan, cara penyajian makanan, dan variasi makanan yang dapat
menimbulkan selera makan anggota keluarganya, sangat berpengaruh dalam status gizi keluarga. Oleh
karena itu, ibu lah sasaran utama dalam usaha-usaha perbaikan gizi keluarga.
Masalah kelebihan gizi, umumnya diderita oleh sekelomppok masyarakat yang mempunyai
kemampuan ekonomi yang cukup, disamping faktor pola makan terhadap jenis makanan tertentu, juga
ditentukan oleh faktor herediter. Dalam kaitannya dalam kesehatan ibu dan anak serta kesehatan
masyarakat, masalah gizi mempunyai pengaruh terhadap timbulnya penyakit-penyakit, misalnya
anemia, pre-eklampsia, diabetes melitus, perdarahan, infeksi, dan sebagianya.
Bidan sebagai salah seorang anggota tim kesehatan yang terdekat dengan masyarakat,
mempunyai peran yang sangat menentukan dalam meningkatkan status kesehatan masyarakat,
khususnya kesehatan ibu dan anak di wilayah kerjanya.
Menurut Departemen Kesehatan RI, fungsi bidan di wilayah kerjanya adalah sebagai berikut:
Melihat dari luasnya fungsi bidan tersebut, aspek sosial-budaya perlu diperhatikan oleh bidan.
Sesuai kewenangan tugas bidan yang berkaitan dengan aspek sosial-budaya, telah diuraikan dalam
peraturan Menteri Kesehatan No. 363/Menkes/Per/IX/1980 yaitu: Mengenai wilayah, struktur
kemasyarakatan dan komposisi penduduk, serta sistem pemerintahan desa dengan cara:
Menghubungi pamong desa untuk mendapatkan peta desa yang telah ada pembagian wilayah
pendukuhan/RK dan pembagian wilayah RT serta mencari keterangan tentang penduduk dari masing-
masing RT.
Mengenali struktur kemasyarakatan seperti LKMD, PKK, LSM, karang taruna, tokoh masyarakat,
kelompok pengajian, kelompok arisan, dan lain-lain. Mempelajari data penduduk yang meliputi: Jenis
kelamin Umur, Mata pencaharian Pendidikan Agama, Mempelajari pata desa, Mencatat jumlah KK, PUS,
dan penduduk menurut jenis kelamin dan golongan umur.
Agar seluruh tugas dan fungsi bidan dapat dilaksanakan secara efektif, bidan harus mengupayakan
hubungan yang efektif dengan masyarakat. Salah satu kunci keberhasilan hubungan yang efektif adalah
komunikasi. Kegiatan bidan yang pertama kali harus dilakukan bila datang ke suatu wilayah adalah
mempelajari bahasa yang digunakan oleh masyarakat setempat.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh bidan agar dirinya dikenal oleh masyarakat ialan ia
harus mampu mempromosikan dirinya dengan menampilkan kepribadian sesuai norma dan nilai yang
berlaku di masyarakat, memahami bahwa masyarakat merupakan bagian dari dirinya, sehingga bidan
memiliki kharismatik bagi masyarakat di wilayah kerja. Apabila masyarakat sudah menanggap bahwa
bidan adalah orang yang patut dicontoh (role model), maka ia akan melaksanakan hal-hal yang diajarkan
dan dianjurkan oleh bidan.
Untuk dapat menampilkan kepribadian yang sesuai dengan norma dan nilai yang berlaku, bidan
terlebih dahulu harus mempelajari sosial-budaya masyarakat tersebut, yang meliputi tingkat
pengetahuan penduduk, struktur pemerintahan, adat istiadat dan kebiasaan sehari-hari, pandangan
norma dan nilai, agama, bahasa, kesenian, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan wilayah tersebut.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Pada setiap daerah memiliki adat dan kepercayaan yang berbeda. Khususnya daerah jawa, kita
masih sering menyaksikan adat – adat pada ibu hamil. Adat dan kepercayaan ini sudah mendarah daging
sejak zaman dahulu. Oleh karena itu, banyak ibu hamil yang menganggap
bahwa apabila telah melakuka segala bentuk upacara adat dengan baik dan benar maka anak
yang dikandung dan ibu akan terjaga kesehatannya tanpa harus melakukan konsultasi atau pemeriksaan
pada bidan atau dokter. Selain pengaruh adat, ada pula pengaruh lain yang menyebabkan ibu tidak
memeriksakan kandungannya pada bidan atau dokter yaitu adanya dukun bayi. Di kalangan masyarakat
desa masih banyak kepercayaan dan adatt seperti ini.
B. SARAN
Kita boleh percaya dan mengikuti adat yang ada di daerah kita,karena kepercayaan orang tua dengan
kita sudah berbeda mengenai hal ini. Untuk menghindari perselisihan keluarga sebaiknya kita menerima
dan mengikuti adat tersebut namun dengan catatan kita harus tetap mencari kebenaran akan hal yang
kita anggap tabu. Alangkah baiknya apabila kita juga menambah wawasan mengenai kesehatan ibu dan
anak agar supaya kita tahu mana yang sebenarnya baik untuk ibu dan bayi.
DAFTAR PUSTAKA