Anda di halaman 1dari 31

Meet The Expert

Rekonstruksi Uroginekologi

Oleh :

Suci Ramadhani P 1840312452


Anisa Aprilia Adha 1840312458

Pembimbing :
dr. Bobby Indra Utama, SpOG(K)

BAGIAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUP DR M DJAMIL PADANG
2019
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Uroginekologi dan rekonstruksi adalah subspesialisasi dalam bidang obstetri
ginekologi yang mempelajari dasar panggul perempuan beserta gangguannya, atau
disebut disfungsi dasar panggul.
Dasar panggul merupakan sekumpulan jaringan yang bersama-sama
berfungsi sebagai penyokong organ panggul (rahim, vagina, saluran kemih bawah,
serta saluran anorektal). Disfungsi dasar panggul dapat dialami semua perempuan,
dalam berbagai bentuk dan derajat berat. Berbagai kondisi dan aktifitas perempuan,
baik disadari maupun tidak, dapat mengarah pada risiko disfungsi dasar panggul
dan menurunkan kualitas hidup perempuan.
Bagian dari uroginekologi biasanya mencakup dalam hal-hal meliputi :
prolaps panggul, prolaps uteri, sistokel, inkontinensia urin, gangguan berkemih,
berkemih yang tidak puas, retensio urin, overactive bladder, inkontinensia alvi,
gangguan defekasi, buang air besar maupun buang angin yang tdak dapat dikontrol,
masalah pada bagian perineum seperti ruptur perineum, atau robekan pada jalan
lahir, disfungsi seksual perempuan, kelainan bawaan saluran genitalia perempuan
seperti agenesis vagina, hymen imperforata.

1.2 Tujuan Penulisan


Tujuan Penulisan dari makalah ini adalah untuk menambah pengetahuan
tentang rekonstruksi uroginekologi.

1.3 Batasan Masalah


Makalah ini membahas macam-macam dari rekonstruksi uroginekologi dan
penjelasannya.

1.4 Metode Penulisan


Metode penulisan makalah ini adalah dengan tinjauan pustaka yang merujuk
pada berbagai literatur.

Fakultas Kedokteran Universitas Andala 2


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ruptur Perineum
2.1.1. Definisi Ruptur Perineum
Perineum merupakan ruang berbentuk jajaran genjang yang terletak
dibawah dasar panggul. Batas–batasnya adalah:
a. Superior: Dasar panggul yang terdiri dari Musculus Levator dan
Musculus Coccygeus.
b. Lateral: tulang dan ligament yang membentuk pintu bawah pinggul
(exitus pelvis): yakni dari depan kebelakang angulus subpubis, ramus
ischiopubicus, tuber ischiadicum, ligamentum Sacrotuberosum,
Os.coccygis.
c. Inferior: kulit dan fascia (Oxorn,2010).
Perineum adalah daerah yang terletak antar vulva dan anus, panjangnya
rata-rata 4cm. Perineum dimulai dari tepi bawah vulva sampai tepi bawah anus.
Saat persalinan perineum meregang dan kadang perlu dilakukan pemotongan
(episiotomi) untuk membesarkan jalan lahir dan mencegah robekan.

Gambar 2.1. Anatomi Perineum

Fakultas Kedokteran Universitas Andala 3


2.1.2 Definisi Ruptur Perineum2,3
Ruptur adalah luka pada perineum yang diakibatkan oleh rusaknya jaringan
secara alamiah karena proses desakan kepala janin atau bahu pada saat persainan.
Ruptur perineum menghasilkan luka yang tidak beraturan pada perineum saat lahir.
Ruptur perineum berbeda dengan episiotomi, dimana ruptur perineum
merupakan robekan yang bersifat traumatik karena perineum tidak kuat menahan
regangan pada saat janin lewat.

2.1.3 Klasifikasi Ruptur Perineum2,3


Berdasarkan luas robekannya, ruptur perineum dibagi menjadi :
a. Derajat satu
Robekan hanya terjadi pada mukosa vagina, vulva bagian depan, dan kulit
perineum
b. Derajat dua
Robekan terjadi pada mukosa vagina, vulva bagian depan, kulit perineum dan
otot perineum.
c. Derajat tiga
Robekan terjadi pada mukosa vagina, vulva bagian depan, kulit perineum,
otot perineum dan sfingter ani eksterna.
Ruptur perineum grade tiga, dibagi menjadi 3 sub grup, yaitu :
III a : robekan mengenai < 50% ketebalan otot sfingter ani eksterna
III b : robekan mengenai > 50% ketebalan otot sfingter ani eksterna
III c : robeksampai mengenai otot sfingter ani interna.
d. Derajat empat
Robekan terjadi pada seluruh perineum dan sfingter ani yang meluas sampai
ke mukosa rektum

Fakultas Kedokteran Universitas Andala 4


Gambar 2.2 Grade ruptur perineum

2.1.4 Etiologi Ruptur Perineum2,4


Terjadinya ruptur perineum disebabkan oleh faktor ibu (paritas, jarak
kehamilan dan berat badan bayi), pimpinan persalinan tidak sebagaimana
mestinya, riwayat persalinan. ekstraksi cunam, ekstraksi vakum, trauma alat
dan episiotomi.
a. Primipara
Bila kepala janin telah sampai didasar panggul, vulva mulai membuka.
Rambut kepala janin mulai tampak. Perineum dan anus tampak mulai teregang.
Perineum mulai lebih tinggi, sedangkan anus mulai membuka. Yang tampak
dalam anus adalah dinding depan rektum. Perineum bila tidak ditahan, akan
robek (= ruptura perinei), terutama pada primigravida. Perineum ditahan
dengan tangan kanan, sebaiknya dengan kain kasa steril. Robekan perineum
terjadi pada hampir semua persalinan pertama dan tidak jarang juga pada
persalinan berikutnya.

Fakultas Kedokteran Universitas Andala 5


b. Janin Besar
Janin besar adalah bila berat badan melebihi dari 4000 gram. Persalinan
dengan berat badan janin besar dapat menyebabkan terjadinya laserasi
perineum. Berat badan janin dapat mempengaruhi persalinan dan laserasi
perineum. Bayi yang mempunyai berat badan yang besar dapat menimbulkan
penyulit dalam persalinan diantaranya adalah partus lama, partus macet dan
distosia bahu. Sebelum bersalin hendaknya ibu diperiksa Tinggi Fundus Uteri
agar dapat diketahui tafsiran Berat Badan Janin dan dapat diantisipasi adanya
persalinan patologis yang disebabkan bayi besar seperti ruptura uteri, ruptura
jalan lahir, partus lama, distosia bahu, dan kematian janin akibat cedera
persalinan.
c. Presentasi defleksi
Presentasi defleksi yang dimaksud dalam hal ini adalah presentasi puncak
kepala dan presentasi dahi. Presentasi puncak kepala bagian terbawah adalah
puncak kepala, pada pemeriksaan dalam teraba Ubun-ubun Besar (UUB) yang
paling rendah, dan UUB sudah berputar ke depan. Menurut statistik hal ini
terjadi pada 1% dari seluruh persalinan. Komplikasi yang terjadi pada ibu
adalah partus yang lama atau robekan jalan lahir yang lebih luas.
Presentasi dahi adalah posisi kepala antara fleksi dan defleksi, dahi berada
pada posisi terendah dan tetap paling depan. Pada penempatan dahi, biasanya
dengan sendirinya akan berubah menjadi letak muka atau letak belakang
kepala. Mekanisme persalinan kepala memasuki panggul biasanya dengan dahi
melintang, atau miring. Pada waktu putaran paksi, dahi memutar ke depan.
Maxilla (fossa canina) sebagai hipomoklion berada di bawah simpisis,
kemudian terjadi fleksi untuk melahirkan belakang kepala melewati perineum,
lalu defleksi, maka lahirlah mulut, dagu di bawah simpisis. Hal ini
mengakibatkan partus menjadi lama dan lebih sulit, bisa terjadi robekan yang
berat dan ruptura uteri.
d. Presentasi bokong
Presentasi bokong atau letak sungsang adalah janin yang letaknya
memanjang (membujur) dalam rahim, kepala berada di fundus dan bokong di
bawah merupakan persalinan dengan penyulit.

Fakultas Kedokteran Universitas Andala 6


e. Faktor Penolong Persalinan
Cara memimpin mengejan dan dorongan pada fundus uteri. Peran dari
penolong persalinan adalah mengantisipasi dan menangani komplikasi yang
mungkin terjadi pada ibu dan janin. Dalam hal ini proses tergantung dari
kemampuan penolong dalam menghadapi proses persalinan.

2.1.5 Gejala Klinis2


Tanda dan gejala robekan jalan lahir adalah sebagai berikut :
• Perdarahan
• Darah segar yang mengalir setelah bayi lahir
• Uterus tidak berkontraksi dengan baik
• Plasenta tidak normal
Gejala yang sering terjadi adalah:
• Pucat
• Lemah
• Pasien dalam keadaan menggigil

2.1.6 Tatalaksana Ruptur Perineum1,2,3


Sebelum menangani ruptur perineum, pastikan :
a) Sebelum merepair luka episiotomy laserasi, jalan lahir harus
diekpose/ditampilkan dengan jelas, bila diperlukan dapat menggunakan
bantuan speculumsims.
b) Identifikasi apakah terdapat laserasi serviks, jika harus direpair terlebih
dahulu.
c) Masukkan tampon atau kassa kepuncak vagina untuk menahan perdarahan
dari dalam uterus untuk sementara sehingga luka episiotomi tampakjelas.
d) Masukkan jari ke II dan III dalam vagina dan regangkan untuk dinding
vagina untuk mengekpose batas atas (ujung)luka.
e) Jahitan dimulai 1 cm prosimal puncak luka, luka dinding vagina dijahit
kearah distal hingga batas commissuraposterior.
f) Rekontruksi diapgrama urogenital (otot perineum) dengan cromic
catgut2-0
g) Teruskan jahitan dengan menjahit perineum.

Fakultas Kedokteran Universitas Andala 7


Menurut Oxorn (2010) ada beberapa langkah menangani ruptur perineum
• Robekan derajat pertama
Robekan ini kecil dan diperbaiki sesederhana mungkin. Tujuannya adalah
merapatkan kembali jaringan yang terpotong dan menghasilkan hemostatis.
Pada rata-rata kasus beberapa jahitan terputus lewat mukosa vagina, fourchette
dan kulit perineum sudah memadai. Jika perdarahannya banyak dapat
digunakan jahitan angka-8, jahitan karena jahitan ini kurang menimbulkan
tegangan dan lebih menyenagkan bagi pasiennya.
• Robekan derajat kedua lapis demi lapis:
a) Jahitan terputus, menerus ataupun jahitan simpul digunakan untuk
merapatkan tepi mukosa vagina dan submukosanya;
b) Otot-otot yang dalam corpus perineum dijahit menjadi satu dengan terputus;
c) Jahitan subkutis bersambung atau jahitan terputus, yang disimpulkan secara
longgar menyatukan kedua tepi kulit
• Robekan derajat ketiga dan empat
Reparasi perineum tingkat III dan IV membutuhkan approksimasi mukosa
rectum, spincter ani internal dan eksternal. Puncak laserasi mukosa rectum
diidentifikasi dan diapproksimasi menggunakan vicryl 4.0 secara interrupted.
Secara klasik direkomendasikan untuk tidak menembus dinding mukosa rektum
sampai kelumen anus untuk mencegah terbentuknya fistula. Jahitan diteruskan
sampai pinggir anus. Spincter ani interna ditutup dengan vicryl 2.0 secara kontinu,

Gambar 2.3 Reparasi Mukosa Rektum

Fakultas Kedokteran Universitas Andala 8


Spincter ani eksternal tampak sebagai pita otot rangka dengan kapsul fibrous.
Secara klasik teknik end to end digunakan untuk membawa ujung spincter
bersama-sama pada 4 kuadran (jam 12, 3, 6, 9 ) dengan jahitan interrupted
menembus otot dan kapsul. Teknik alternative adalah reparasi overlapping pada
spincter ani eksternal dengan membawa secara bersama ujung spincter dengan
jahitan matras dan hasilnya permukaan jaringan yang kontak lebih luas.
Diseksi pada spincter ani eksterna dari jaringan sekitamya dengan scissor
Metzenbaum kadang dibutuhkan untuk mendapatkan panjang yang adekuat untuk
otot yang overlap. Jahitan dilakukan dari puncak sampai dasar melewati flaps
superior dan inferior kemudian dari dasar sampai puncak melewati flaps inferior
dan superior. Ujung proksimal dari flaps superior dioverlappkan dengan bagian
distal dari flap inferior.

Gambar 2.4 Teknik End to end pada reparasi spincter ani eksterna

Gambar 2.5 Teknik overlapping pada reparasi spincter ani eksterna

Fakultas Kedokteran Universitas Andala 9


2.1.7 Komplikasi2
Komplikasi yang mungkin terjadi jika ruptur perineum adalah :
a. Perdarahan
Seorang wanita dapat meninggal karena perdarahan pasca persalinan
dalam waktu satu jam setelah melahirkan. Penilaian dan penatalaksanaan
yang cermat selama kala satu dan kala empat persalinan sangat penting.
Menilai kehilangan darah yaitu dengan cara memantau tanda vital,
mengevaluasi asal perdarahan, serta memperkirakan jumlah perdarahan
lanjutan dan menilai tonus otot.
b. Fistula
Fistula dapat terjadi tanpa diketahui penyebabnya karena perlukaan
pada vagina menembus kandung kencing atau rectum. Jika kandung kencing
luka, maka urin akan segera keluar melalui vagina. Fistula dapat menekan
kandung kencing atau rectum yang lama antara kepala janin dan panggul,
sehingga terjadi iskemia.
c. Hematoma
Hematoma dapat terjadi akibat trauma partus pada persalinan karena
adanya penekanan kepala janin serta tindakan persalinan yang ditandai
dengan rasa nyeri pada perineum dan vulva berwarna biru dan merah.
Hematoma dibagian pelvis bisa terjadi dalam vulva perineum dan fosa
iskiorektalis. Biasanya karena trauma perineum tetapi bisa juga dengan
varikositas.
d. Infeksi
Infeksi pada masa nifas adalah peradangan di sekitar alat genetalia
pada kala nifas. Perlukaan pada persalinan merupakan tempat masuknya
kuman ke dalam tubuh sehingga menimbulkan infeksi. Dengan ketentuan
meningkatnya suhu tubuh melebihi 380 C, tanpa menghitung pireksia nifas.
Setiap wanita yang mengalami pireksia nifas harus diperhatikan, dan
dilakukan inspeksi pada traktur gentitalis untuk mencari laserasi, robekan
atau luka episiotomi.

Fakultas Kedokteran Universitas Andala 10


2.2 Prolaps Uteri
2.2.1. Definisi Prolaps Uteri
Prolaps uteri yaitu turunnya uterus kedalam introitus vagina. Hal ini dapat
mempengaruhi kualitas hidup yang sebabkan dari gejala akibat dari penekanan
dan ketidaknyamanan dari prolaps uteri tersebut.[5] Prolaps uteri merupakan salah
satu dari prolaps organ pelvis dan menjadi kasus nomor dua tersering setelah
cystourethrocele (bladder and urethral prolapse).[6] Prolaps uterus dapat
disebabkan karena kelemahan otot, fasia, dan ligemen penyokongnya.[7]
Prolapsus organ genitalia masih menjadi masalah kesehatan pada wanita
yang insidennya mencapai 40% pada wanita usia diatas 50 tahun.[8] Frekuensi
prolapsus genitalia di beberapa negara berlainan, seperti dilaporkan di klinik
Gynecologie et Obstetrique Geneva insidesnya 5,7%, dan pada priode yang sama
di Hambrug 5,4%, Roma 6,4%. Dilaporkan di Mesir, India, dan Jepang
kejadiannya cukup tinggi, sedangkan pada orang Negro Amerika, Indonesia
kurang. Penyebabnya terutama adalah melahirkan dan pekerjaan yang
menyebabkan tekanan intraabdominal meningkat serta kelemahan dari
[9]
ligamentum-ligamentum karena hormonal pada usia lanjut.

2.2.2 Etiologi
Partus yang berulang kali dan terjadi terlampau sering, partus dengan penyulit,
merupakan penyebab prolapsus uteri, dan memperburuk prolaps yang sudah ada.
Faktor-faktor lain adalah tarikan pada janin pada pembukaan belum lengkap,
prasat Crede yang berlebihan untuk mengeluarkan plasenta, dan sebagainya. Jadi,
tidaklah mengherankan bila prolapsus genitalia terjadi segera sesudah partus
atau dalam masa nifas. Asites dan tumor-tumor di daerah pelvis mempermudah
terjadinya prolapsus uteri. Bila prolapsus uteri dijumpai pada nulipara, faktor
penyebabnya adalah kelainan bawaan berupa kelemahan jaringan penunjang
uterus.[9]

Fakultas Kedokteran Universitas Andala 11


2.2.3 Klasifikasi Prolaps Uteri
Mengenai istilah dan klasifikasi prolapsus uteri terdapat perbedaan
pendapat antara ahli ginekologi. Friedman dan Little (1961) mengemukakan
beberapa macam klasifikasi yang dikenal yaitu:[9]
A. Prolapsus uteri tingkat I,dimana serviks uteri turun sampai introitus
vaginae; Prolapsus uteri tingkat II, dimana serviks menonjol keluar dari
introitus vaginae; Prolapsus uteri tingkat III, seluruh uterus keluar dari
vagina, prolapsus ini juga dinamakan prosidensia uteri. [9]
B. Prolapsus uteri tingkat I, serviks masih berada di dalam vagina; Prolapsus
uteri tingkat III, serviks keluar dari introitus vaginae, sedang pada
prosidensia uteri, uterus seluruhnya keluar dari vagina.[9]
C. Prolapsus uteri tingkat I, serviks mencapai introitus vaginae; Prolapsus
uteri tingkat II, uterus keluar dari introitus kurang dari ½ bagian; Prolapsus
uteri tingkat III, uterus keluar dari introitus vaginae lebih dari ½
bagian.[9]
D. Prolapsus uteri tingakat I, serviks mendekati prosessus spinosus; Prolapsus
uteri tingkat II, serviks terdapat antara prosessus spinosus dan introitus
vaginae; Prolapsus uteri tingkat III, serviks keluar dari introitus
vaginae.[9]
E. Klasifikasi ini sama dengan klasifikasi D, ditambah dengan prolapsus uteri
tingkat IV (prosidensia uteri).[9]

2.2.4 Faktor Resiko Prolaps Uteri


1. Multiparitas
Persalinan pervaginam adalah yang paling sering dikutip sebagai faktor
risiko untuk prolaps uteri. Namun, banyak penelitian telah dijelaskan
menunjukkan bahwa melahirkan tidak meningkatkan kecenderungan wanita untuk
prolaps uteri. Selain itu, risiko prolaps organ pelvis meningkat 1,2 kali pada
persalinan pervaginam. Studi kohort yang dilakukan di Oxford pada 17.000
wanita untuk membandingkan wanita nulipara dengan wanita yang telah
mengalami dua kali melahirkan, mengalami peningkatan delapan kali lipat
berkunjung ke rumah sakit untuk prolaps organ pelvis.[9]

Fakultas Kedokteran Universitas Andala 12


2. Usia
Seperti dijelaskan sebelumnya, usia lanjut juga terlibat dalam
pengembangan prolaps organ pelvis. Dalam studi POSST, ada 100-persen
peningkatan risiko prolaps untuk setiap dekade kehidupan. Pada wanita berusia 20
sampai 59 tahun, kejadian prolaps organ pelvis berlipat ganda dengan setiap
dekade. Seperti risiko prolaps organ pelvis lainnya, penuaan adalah proses yang
kompleks. Peningkatan insiden mungkin akibat dari penuaan fisiologis dan proses
degeneratif serta hipoestrogenisme.[9]
3. Penyakit jaringan ikat
Wanita dengan gangguan jaringan ikat lebih mungkin untuk
mengembangkan prolaps organ pelvis. Dalam sebuah studi seri kasus kecil,
sepertiga dari wanita dengan sindrom Marfan dan tiga perempat dari wanita
dengan sindrom Ehlers-Danlos melaporkan riwayat prolaps organ pevis.[9]
4. Peninggian tekanan intraabdomen
Peningkatan tekanan intra-abdomen yang kronis diyakini memainkan
peran dalam patogenesis prolas organ pelvis. Kondisi ini dapat sebabkan oleh
obesitas, sembelit kronis, batuk kronis, dan angkat berat berulang-ulang. Sejumlah
penelitian mengidentifikasi obesitas sebagai faktor risiko independen untuk stres
inkontinensia urin (Brown, 1996; Burgio, 1991; Dwyer, 1988). Namun, hubungan
dengan perkembangan prolaps organ pelvis kurang jelas (Hendrix, 2002; Nygaard,
2004). Berkenaan dengan mengangkat, sebuah studi Denmark menunjukkan
bahwa asisten perawat yang terlibat dengan angkat berat berulang berada pada
peningkatan risiko untuk menjalani intervensi bedah untuk prolaps, dengan rasio
odds 1,6 (Jorgensen, 1994). Selain itu, merokok dan penyakit paru obstruktif
kronik (PPOK) juga telah terlibat dalam pengembangan prolaps organ pelvis,
meskipun sedikit data mendukung hubungan ini (Gilpin, 1989; Olsen, 1997).
Demikian pula, meskipun batuk kronis menyebabkan kenaikan tekanan
intraabdomen, tidak ada mekanisme yang jelas. Beberapa percaya bahwa senyawa
kimia dalam tembakau yang dihirup dapat menyebabkan perubahan yang
menyebabkan POP daripada batuk kronis sendiri. (Wieslander, 2005).[9]

Fakultas Kedokteran Universitas Andala 13


2.2.5 Patofisiologi Prolaps Uteri
Normalnya, uterus di fiksasi pada tempatnya oleh otot dan ligamentum
membentuk dasar pelvis. Prolaps uteri terjadi ketika dasar pelvis yaitu otot dan
ligamentum mengalami peregangan, terjadi kerusakan, dan kelemahan sehingga
mereka tidak sanggup untuk menyokong organ pelvis, sehingga uterus dan organ
pelvis lainnya jatuh ke introitus vaginae. Prolaps bisa saja terjadi secara tidak
komplet, atau pada beberapa kasus yang berat, terjadi prolaps yang komplet
sehingga uterus jatuh sampai keluar vagiana.[6]

Gambar 03. Prolaps uteri.[10]

Gambar 04. Anatomi dasar panggul.[8]

Fakultas Kedokteran Universitas Andala 14


2.2.6 Manifestasi Klinis
Gejala sangat berbeda-beda dan bersifat individual. Kadangkala penderita
yang satu dengan prolaps yang cukup berat tidak mempunyai keluhan apapun,
sebaliknya penderita lain dengan prolaps ringan mempunyai banyak keluhan.
Keluhan-keluhan yang hampir selalu dijumpai:[5]
• Perasaan adanya suatu benda yang mengganjal atau menonjol di genialia
eksterna.[2]
• Rasa sakit di panggul dan pinggang (backache). Biasanya jika penderita
berbaring, keluhan menghilang atau menjadi kurang. [2]
• Prolaps uteri dapat menyebabkan gejala sebagai berikut:
‒ Pengeluaran serviks uteri dari vulva mengganggu penderita waktu
berjalan dan bekerja. Gesekan portio uteri oleh celana menimbulkan
lecet sampai luka dan dekubitus pada portio uteri.[2]
‒ Leukorea karena kongesti pembuluh darah di daerah serviks dan
karena infeksi serta luka pada portio uteri.[6]

2.2.7 Diagnosis
1. Anamnesis
Keluhan-keluhan penderita dan pemeriksaan ginekologik umumnya
dengan mudah dapat menegakkan diagnosis prolapsus genitalis. Pasien dengan
prolaps uteri biasanya mengeluhkan adanya benjolan yang keluar dari alat
kelaminnya.[5] Pasien biasanya mengeluhkan:[6]
• Rasa berat pada atau rasa tertekan pada pelvis.
• Pada saat duduk pasien meraskan ada benjolan seperti ada bola atau
kadang-kadang keluar dari vagina.
• Nyeri pada pelvis, abdomen, atau pinggang.
• Nyeri pada saat berhubungan.

2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan genikologi biasanya mudah dilakukan, Friedman dan Little
menganjurkan sebagai berikut; Penderita dalam posisi jongkok disuruh mengejan
dan ditentukan dengan pemeriksaan dengan jari, apakah portio uteri pada posisi
normal atau portio telah sampai introitus vagina, atau apakah serviks uteri sudah

Fakultas Kedokteran Universitas Andala 15


keluar dari vagina. Selanjutnya dengan penderita berbaring dalam posisi litotomi,
ditentukan pula panjangnya serviks uteri. Serviks uteri yang lebih panjang dari
ukuran normal dinamakan elongasio kolli.[5] Berikut adalah stadium untuk prolaps
uteri:[6]
Tabel 01. Lima stadium untuk prolaps.[6,8]
• Stadium 0: Tidak ada prolaps.
• Stadium I: Sebagian besar portio distal mengalami prolaps > 1 cm di atas
himen.
• Stadium II: Sebagian besar portion distal mengalami prolaps ≤ 1 cm di
proksimal atau distal himen.
• Stadium III: Sebagian besar portio distal mengalami prolasp > 1 cm dibawah
himen tetapi benjolan tidak lebih 2 cm dari panjang vagina.
• Stadium IV: Prolaps komplet termasuk bagian dari vagina.

Gambar 05. Prolaps uteri saat kehamilan karena peninggian tek anan
intraabdominal dan prolaps uteri total setelah dilakukan seksio
sesarea elektif.[11]

3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium tidak begitu banyak membantu. Tes
Papanicolaou (Pap smear sitologi) atau biopsi dapat diindikasikan pada
kasus yang jarang terjadi yang dicurigai karsinoma, meskipun ini harus
ditangguhkan ke dokter perawatan primer atau dokter kandungan.[6]

Fakultas Kedokteran Universitas Andala 16


Pemeriksaan USG
Pemeriksaan USG bisa digunakan untuk membendakan prolaps dari
kelainan-kelainan lain.[6]

2.2.8 Penatalaksanaan Prolaps Uteri

1. Observasi
Derajat luasnya prolaps tidak berkaitan dengan gejala. Mempertahankan
prolaps tetap dalam stadium I merupakan pilihan yang lebih tepat. Beberapa
wanita mungkin lebih memilih untuk mengobservasi lanjutan dari prolaps.
Mereka juga harus memeriksakan diri secara berkala untuk mencari
perkembangan gejala baru atau gangguan (seperti buang air kecil atau buang air
besar terhambat, erosi vagina).[8]

2. Terapi Konservatif
Latihan otot dasar panggul
Latihan ini sangat berguna pada prolaps ringan, terutama yang terjadi pada
pasca persalinan yang belum lewat 6 bulan. Tujuannya untuk menguatkan
otot-otot dasar panggul dan otot-otot yang mempengaruhi miksi. Namun
dari penelitian yang dilakukan oleh Cochrane review of conservative
management prolaps uterus yang diterbitkan pada tahun 2006
menyimpulkan bahwa latiahan otot dasar panggul tidak bukti ilmiah yang
mendukung. Caranya ialah, penderita disuruh menguncupkan anus dan
jaringan dasar panggul seperti biasanya setelah selesai berhajat atau
penderita disuruh membayangkan seolah-olah sedang mengeluarkan air
kencing dan tiba-tiba menghentikkanya.[5,8,9]
Pemasangan pessarium
Pengobatan dengan pessarium sebetulnya hanya bersifat paliatif, yakni
menahan uterus di tempatnya selama pessarium tersebut dipakai. Oleh
karena jika pessarium diangkat, timbul prolaps lagi. Meskipun bukti yang
mendukung penggunaan pessarieum tidak kuat, mereka digunakan oleh
86% dari ginekolog dan 98% dari urogynaecologists. Prisip pemakaian
pessarium ialah bahwa alat tersebut membuat tekanan pada dinding vagina

Fakultas Kedokteran Universitas Andala 17


bagian atas, sehingga bagian dari vagina tersebut besereta uterus tidak
dapat turun dan melewati vagina bagian bawah. Pessarium yang paling
baik untuk prolaps genitalia ialah pessarium cincin, terbuat dari plastik.
Jika dasar panggul terlalu lemah dapat digunakan pessarium Napier.[5,8]
Tabel 02. Pedoman Pemasangan Pessarium.[5]
• Sebagai pedoman untuk mencari ukuran yang cocok, diukur dengan jari
jarak antara forniks vagina dengan pinggir atas introitus vagina,
ukuran tersebut dikurang 1 cm untuk mendapat diameter dari
pessarium yang akan dipakai.
• Pessarium diberi zat pelicin dan dimasukkan miring sedikit kedalam
vagina. Setelah bagian atas masuk ke dalam vagina, bagian tersebut
ditempatkan ke forniks vagina posterior. Kadang-kadang pemasangan
pessarium dari plastik mengalami kesukaran.
• Apabila pessarium tidak dapat dimasukkan, sebaiknya dipakai
pessarium dari karet dengan per didalamnya.
• Untuk mengetahui setelah pemasangan, apakah ukuran cocok, penderita
disuruh batuk atau mengejan. Jika pessarium tidak keluar, penderita
disuruh jalan-jalan, apabila ia tidak merasa nyeri, pessarium dapat
diteruskan.
• Pessarium dapat dipakai selama beberapa tahun, asal saja penderita
diawasi secara teratur. Periksa ulang sebaiknya dilakukan 2 – 3
bulan sekali, vagian diperiksa dengan inspekulo untuk menentukan
ada tidaknya perlukaan. Pessarium dibersihkan dan dicucihamakan
dan kemudian di pasang kembali.
• Indikasi penggunaan pessarium:
‒ Kehamilan.
‒ Bila penderita belum siap untuk dilakukan operasi.
‒ Sebagai terapi tes, menyatakan bahwa operasi harus dilakukan.
‒ Penderita menolak untuk dioperasi.
‒ Untuk menghilangkan gejala yang ada, sambil menunggu waktu
operasi dapat dilakukan.

Fakultas Kedokteran Universitas Andala 18


Gambar 06. Jenis-jenis pessarium. A. Cube pessary. B. Gehrung pessary. C.
Hodge with knob pessary. D. Regula pessary. E. Gellhorn pessary.
F. Shaatz pessary. G. Incontinence dish pessary. H. Ring pessary.
I. Donut pessary.[9]

Gambar 07. Tempat pemasangan cicin pessarium.[12]

Fakultas Kedokteran Universitas Andala 19


Gambar 08. Cara pemasangan pessarium (A,B dan C) dan cara melepaskannya
(D).[9]

3. Terapi Bedah
Prolaps uteri biasanya disertai dengan prolapsus vagina. Maka, jika
dilakukan pembedahan untuk prolaps uteri, prolaps vagina perlu ditangani pula.
Ada kemungkinan terdapat prolaps vagina yang membutuhkan pembedahan,
padahal tidak ada prolaps uteri atau prolaps uteri yang ada belum perlu dioperasi.
Di Inggris dan Wales pada tahun 2005-2006, 22.274 operasi dilakukan untuk
prolaps vagina. Beberapa literatur melaporkan bahwa dari operasi prolaps rahim,
disertai dengan perbaikan prolaps vagina pada waktu yang sama. Indikasi untuk
melakukan operasi pada prolaps uteri tergantung dari beberapa faktor, seperti
umur penderita, keinginan untuk masih mendapat anak atau untuk
mempertahankan uterus, tingkat prolaps, dan adanya keluhan. Macam-macam
operasi untuk prolaps uterus sebagai berikut:[8]
Ventrofiksasi
Pada wanita yang masih tergolong muda dan masih menginginkan anak,
dilakukan operasi untuk uterus ventrofiksasi dengan cara memendekkan
ligamentum rotundum atau mengikat ligamentum rotundum ke dinding
perut atau dengan cara operasi Purandare.[5]
Operasi Manchester
Pada operasi ini biasanya dilakukan amputasi serviks uteri, dan penjahitan
ligamentum kardinale yang telah dipotong, di muka serviks dilakukan pula
kolporafia anterior dan kolpoperineoplastik. Amputasi serviks dilakukan
untuk memperpendek serviks yang memanjang (elo ngasio kolli).

Fakultas Kedokteran Universitas Andala 20


Tindakan ini dapat menyebabkan infertilitas, abortus, partus prematurus,
dan distosia servikalis pada persalinan. Bagian yang penting dari operasi
Manchester ialah penjahitan ligamentum kardinale di depan serviks karena
dengan tindakan ini ligamentum kardinale diperpendek, sehingga uterus
akan terletak dalam posisi anteversifleksi, dan turunnya uterus dapat
dicegah.[5]
Histerektomi vagina
Operasi ini tepat untuk dilakukan untuk prolaps uterus dalam tingkat lanjut,
dan pada wanita yang telah menopause. Setelah uterus diangkat, puncak
vagina digantungkan pada ligamentum rotundum kanan dan kiri, atas pada
ligamentum infundibulo pelvikum, kemudian operasi akan dilanjutkan
dengan kolporafi anterior dan kolpoperineorafi untuk mencegah prolaps
vagina di kemudian hari.[5]

Kolpokleisis (operasi Neugebauer-Le Fort)


Pada waktu obat-obatan serta pemberian anestesi dan perawatan pra/pasca
operasi belum baik untuk wanita tua yang seksualnya tidak aktif lagi dapat
dilakukan operasi sederhana dengan menjahit dinding vagina depan
dengan dinding vagina belakang, sehingga lumen vagian tertutup dan
uterus terletak di atas vagina. Akan tetapi, operasi ini tidak memperbaiki
sistokel dan retrokel sehingga dapat menimbulkan inkontinensia urinae.
Obstipasi serta keluhan prolaps lainnya juga tidak hilang.[5]

2.2.9 Komplikasi Prolaps Uteri


Komplikasi yang dapat menyertai prolaps uteri adalah:[5]
• Kreatinisasi mukosa vagina dan portio uteri. Prosidensia uteri disertai
dengan keluarnya dinding vagina (inversio); karena itu mukosa vagina dan
serviks uteri menjadi tebal serta berkerut, dan berwarna keputih-putihan.[5]
• Dekubitus. Jika serviks uteri terus keluar dari vagina, ujungnya bergeser
dengan paha dan pakaian dalam; hal itu dapat menyebabkan luka dan
radang, dan lambat laun timbul ulkus dekubitus. Dalam keadaan demikian,
perlu dipikirkan kemungkinan karsinoma, lebih-lebih pada penderita
berusia lanjur.[5]

Fakultas Kedokteran Universitas Andala 21


• Hipertrofi serviks uteri dan elangasio kolli. Jika serviks uteri turun ke
dalam vagina sedangkan jaringan penahan dan penyokong uterus masih
kuat, karena tarikan ke bawah di bagian uterus yang turun serta
pembendungan pembuluh darah, serviks uteri mengalami hipertrofi dan
menjadi panjang pula. Hal yang terakhir ini dinamakan elongasio kolli.[5]
• Kemandulan. Karena serviks uteri turun sampai dekat pada introitus
vaginae atau sama sekali keluar dari vagina, tidak mudah terjadi
kehamilan.[5]

2.2.10 Prognosis
Sebagian besar wanita (lebih dari 40%) yang mempunyai prolaps derajat
awal biasanya timbul gejala minimal atau tidak terdapat gejala sama sekali.
Latihan otot dasar panggul dapat membantu atau mencegah perburukan prolaps
derajat awal.[12]

2.3. Agenesis Vagina


Vagina merupakan suatu saluran muskulomembranosa yang
menghubungkan vulva dan uterus. Vagina terletak di antara vesika urinaria
dan rektum. Fungsi vagina terutama untuk melakukan hubungan seksual,
jalan untuk janin pada saat lahir atau partus, saluran ekskresi cairan
terutama darah haid, disamping diperlukan oleh para dokter terutama
dokter kebidanan dan penyakit kandungan untuk mengetahui alat genitalia
interna dengan periksa dalam. 32,33,34,35,36
Kelainan kongenital atau bawaan yang berupa tidak adanya sama
sekali vagina atau sebagian (agenesis vagina) tentu akan menimbulkan
masalah bagi penderita dari salah satu dari tiga hal tersebut di atas, terutama
memberikan keluhan tidak dapat melakukan hubungan seksual dan jalan
keluar darah haid. Kelainan kongenital yang sangat berat adalah tidak
adanya vagina sama sekali.36,37,38 Penderita yang mengalami agenesis
vagina frekuensinya tidak begitu banyak, yaitu 1 dalam 4000 kelahiran
(Bryan dkk, 1949), 1 dalam 4000 sampai 10.000 kelahiran (ACOG).

Fakultas Kedokteran Universitas Andala 22


Sedangkan di rumah sakit Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta sejak
tahun 1995 sampai 1999, rata- rata 10-12 kasus pertahun telah mengalami
rekonstruksi pembuatan vagina baru untuk kasus dengan agenesis vagina
(Rokintansky Hauser syndrome) dan beberapa penderita agesis vagina
tidak memerlukan tindakan pembedahan untuk pembuatan vagina
baru.36,37,39 Agenesis vagina merupakan penyebab kedua terbanyak pada
kasus- kasus amenorhoe primer setelah disgenesis gonad.39,40,41
Tindakan yang tepat serta motivasi yang cermat dari para dokter untuk
menetukan bentuk dan saat terapi yang diberikan pada penderita dan
keluarganya sangat penting dalam usaha pencapaian keberhasilan
pengobatan yang diberikan.36,37,38

2.4. Himen imperforata


Hymen Imperforata ialah selaput dara yang tidak menunjukan lubang
(Hiatus Himenalis) sama sekali, suatu kelainan yang ringan dan yang cukup sering
dijumpai. Kemungkinan besar kelainan ini tidak dikenal sebelum menarche.
Sesudah itu molimina menstrualia dialami tiap bulan, tetapi darah haid tidak
keluar. Darah itu terkumpul di dalam vagina dan menyebabkan hymen tampak
kebiru-biruan dan menonjol keluar (Hematokolpos). Bila keadaan ini dibiarkan,
maka uterus akan terisi juga dengan darah haid dan akan membesar
(Hematometra).42
Hymen imperforata merupakan suatu malformasi kongenital tetapi dapat
juga terjadi akibat jaringan parut oklusif karena sebelumnya terjadi cedera atau
infeksi. Secara embriologi, hymen merupakan sambungan antara bulbus
sinovaginal dengan sinus urogenital, berbentuk membrane mukosa yang tipis.
Hymen berasal dari endoderm epitel sinus urogenital, dan bukan berasal dari
duktus mullerian. Hymen mengalami perforasi selama masa embrional untuk
mempertahankan hubungan antara lumen vagina dan vestibulum. Hymen
merupakan lipatan membrane irregular dengan berbagai jenis ketebalan yang
menutupi sebagian orifisium vagina, terletak mulai dari dinding bawah uretra
sampai ke fossa navikularis.42,43

Fakultas Kedokteran Universitas Andala 23


Hymen Imperforata terbentuk karena ada bagian yang persisten dari
membran urogenital dan terjadi ketika mesoderm dari primitive streak yang
abnormal terbagi menjadi bagian urogenital dari membran cloacal. Hymen
Imperforata tanpa mukokolpos yang berasal dari jaringan fibrous dan jaringan
lunak antara labium minora sulit dibedakan dengan tidak adanya vagina. Aplasia
dan atresia vagina terjadi karena kegagalan perkembangan duktus mullerian,
sehingga vagina tidak terbentuk dan lubang vagina hanya berupa lekukan
kloaka.42,43,44
Sebagian kelainan ini tidak dikenali sebelum menarche, setelah itu akan
terjadi molimenia menstrualia (nyeri yang siklik tanpa haid), yang dialami setiap
bulan.Sesekali hymen imperforata ditemukan pada neonatus atau anak kecil.
Vagina terisi cairan (sekret) yang disebut hidrokolpos. Bila diketahui sebelum
pubertas, dan segera diberi penanganan asimptomatik, serta dilakukan
hymenektomi, maka dari vagina akan keluar cairan mukoid yang merupakan
kumpulan dari sekresi serviks.43,44
Kebanyakan pasien datang berobat pada usia 13-15 tahun, dimana gejala
mulai tampak, tetapi menstruasi tidak terjadi. Darah menstruasi dari satu siklus
menstruasi pertama atau kedua yang terkumpul di vagina belum menyebabkan
peregangan vagina dan belum menimbulkan gejala.44
Apabila hymen imperforata dijumpai sebelum pubertas, membran hymen
dilakukaninsisi/ hymenotomi dengan cara sederhana dengan melakukan insisi
silang (gambar 1)atau dilakukan pada posisi 2, 4, 8 dan 10 arah jarum jam
disebut insisi stellate.43,44
Pendapat lain mengatakan, bila dijumpai hymen imperforata pada anak
kecil/ balita tanpa menimbulkan gejala, maka keadaan diawasi sampai anak lebih
besar dan keadaan anatomi lebih jelas, dengan demikian dapat diketahui apakah
yang terjadi hymen imperforata atau aplasia vagina.44,45
Pada insisi silang tidak dilakukan eksisi membrane hymen, sementara pada
insisistellate setelah insisi dilakukan eksisi pada kuadran hymen dan pinggir
mukosa hymendi aproksimasi dengan jahitan mempergunakan benang
delayed-absorbable. Tindakan insisi saja tanpa disertai eksisi dapat
mengakibatkan membrane hymen menyatu kembali dan obstruksi membrane
hymen terjadi kembali.

Fakultas Kedokteran Universitas Andala 24


Untuk mencegah terjadinya jaringan parut dan stenosis yang
mengakibatkan dispareunia, eksisi jaringan jangan dilakukan terlalu dekat
dengan mukosa vagina.Setelah dilakukan insisi akan keluar darah berwarna
merah tua kehitaman yang kental.Sebaiknya posisi pasien dibaringkan dengan
posisi fowler. Selama 2-3 hari darah tetap akan mengalir, disertai dengan
pengecilan vagina dan uterus. Selain itu, pemberian antibiotik profilaksis juga
diperlukan.
Evaluasi vagina dan uterus perlu dilakukan sampai 4-6 minggu paska
pembedahan, bila uterus tidak mengecil, perlu dilakukan pemeriksaan inspeksi
dan dilatasi serviks untuk memastikan drainase uterus berjalan dengan lancar.
Bila hematokolpos belum keluar, instrumen intrauterine jangan dipergunakan
karena bahaya perforasi dapat terjadi akibat peregangan uterus yang berlebihan.

2.5. Retensi Urin


2.5.1. Definisi Retensi Urin
Retensio urine adalah tertahannya urine di dalam kandung kemih, dapat
terjadi secara akut maupun kronis. Retensio urine adalah ketidakmampuan untuk
melakukan urinasi meskipun terdapat keinginan atau dorongan terhadap hal
tersebut. 46,47

2.5.2. Etiologi Retensi Urin48,49


1. Supra vesikal berupa kerusakan pada pusat miksi di medullaspinalis.
Kerusakan saraf simpatis dan parasimpatis baik sebagian ataupun
seluruhnya, misalnya pada operasi miles dan mesenterasi pelvis,
kelainan medulla spinalis, misalnya miningokel, tabes doraslis, atau
spasmus sfinkter yang ditandai dengan rasa sakit yang hebat.
2. Vesikal berupa kelemahan otot detrusor karena lama teregang, , atoni
pada pasien DM atau penyakit neurologist, divertikel yang besar.
3. Intravesikal berupa pembesaran prostat, kekakuan lehervesika, batu
kecil dan tumor.
4. Dapat disebabkan oleh kecemasan, pembesaran prostat,kelainan
patologi uretra, trauma, disfungsi neurogenik kandung kemih.

Fakultas Kedokteran Universitas Andala 25


5. Beberapa obat mencakup preparat antikolinergik antispasmotik
(atropine), preparat antidepressant antipsikotik (Fenotiazin), preparat
antihistamin (Pseudoefedrin hidroklorida = Sudafed), preparat
penyekat β adrenergic (Propanolol), preparat antihipertensi
(hidralasin).

Retensi urine post partum dapat terjadi pada pasien yang mengalami
kelahiran normal sebagai akibat dari peregangan atau trauma dari dasar kandung
kemih dengan edema trigonum. Faktor-faktor predisposisi lainnya dari retensio
urine meliputi epidural anestesia, pada gangguan sementara kontrol saraf kandung
kemih, dan trauma traktus genitalis, khususnya pada hematoma yang besar, dan
sectio cesaria.

2.5.3. Patofisiologi Retensi Urin46,49


Pada retensio urine, penderita tidak dapat miksi, buli-buli penuh disertai rasa
sakit yang hebat di daerah suprapubik dan hasrat ingin miksi yang hebat disertai
mengejan. Retensio urine dapat terjadi menurut lokasi, factor obat dan factor
lainnya seperti ansietas,kelainan patologi urethra, trauma dan lain sebagainya.
Berdasarkan lokasi bisa dibagi menjadi supra vesikal berupa kerusakan pusat miksi
di medulla spinalsi menyebabkan kerusaan simpatis dan parasimpatis sebagian atau
seluruhnya sehingga tidak terjadi koneksi dengan otot detrusor yang
mengakibatkan tidak adanya atau menurunnya relaksasi otot spinkter internal,
vesikal berupa kelemahan otot detrusor karena lama teregang, intravesikal berupa
hipertrofi prostate, tumor atau kekakuan leher vesika, striktur, batu kecil
menyebabkan obstruksi urethra sehingga urine sisa meningkat dan terjadi dilatasi
bladder kemudian distensi abdomen. Factor obat dapat mempengaruhi proses BAK,
menurunkan tekanan darah, menurunkan filtrasi glumerolus sehingga
menyebabkan produksi urine menurun. Factor lain berupa kecemasan, kelainan
patologi urethra, trauma dan lain sebagainya yang dapat meningkatkan tensi otot
perut, peri anal, spinkter anal eksterna tidak dapat relaksasi dengan baik.

Fakultas Kedokteran Universitas Andala 26


Dari semua faktor di atas menyebabkan urin mengalir labat kemudian terjadi
poliuria karena pengosongan kandung kemih tidak efisien. Selanjutnya terjadi
distensi bladder dan distensi abdomen sehingga memerlukan tindakan, salah
satunya berupa kateterisasi urethra.

2.5.4 TANDA DAN GEJALA46,47,48


1) Diawali dengan urine mengalir lambat.
2) Kemudian terjadi poliuria yang makin lama menjadi parah karena
pengosongan kandung kemih tidak efisien.
3) Terjadi distensi abdomen akibat dilatasi kandung kemih.
4) Terasa ada tekanan, kadang terasa nyeri dan merasa ingin BAK.
5) Pada retensi berat bisa mencapai 2000 -3000 cc.

2.5.5 PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK48,49


Pemeriksaan diagnostik yang dapar dilakukan pada kasus Retensio Urine
adalah pemeriksaan specimen urine. Pada pemeriksaan ini diambil hasil dari :
 Pengambilan: steril, random, midstream.
 Penagambilan umum: pH, BJ, Kultur, Protein, Glukosa, Hb,
KEton, Nitrit.
 Sistoskopy, IVP.

2.5.6 PENATALAKSANAAN46,49
 Kateterisasi urethra.
 Drainage suprapubik.
 Pungsi vesika urinaria

Fakultas Kedokteran Universitas Andala 27


DAFTAR PUSTAKA

1. Utama, Bobby Indra. Ruptur Perineum. Modul Bagian Obstetri dan Ginekologi
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas. 2016
2. Ariadi. Ruptur Perineum Grade III-IV. Modul Bagian Obstetri dan Ginekologi
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas. 2016
3. Martohoesodo S, Marsianto. Perlukaan dan Peristiwa lain pada persalinan,
dalam: Ilmu Kebidanan, edisi ketiga. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo, 2008.
4. Prawitasari E, Yugistyowati A, Sari DK. Penyebab Terjadinya Ruptur Perineum
pada Persalinan Normal di RSUD Muntilan Kabupaten Magelang. Jurnal Ners
dan Kebidanan Indonesia. 3(2);2015;77-81
5. Faraj R, Broome J. Laparoscopic Sacrohysteropexy and Myomectomy for
Uterine Prolapse: A Case Report and Review of the Literature. Journal of
Medical Case Report 2009. [database on the NCBI]. [cited on September 23,
2013]; 02:1402.
6. Barsoom RS, Dyne PL. Uterine Prolapse in Emergency Medicine. Medscape
Article. [database on the medscape] 2011.
7. Anhar K, Fauzi A. Kasus Prolapsus Uteri di Rumah Sakit DR. Mohammad
Hoesin Palembang Selama Lima Tahun (1999 – 2003). Departemen Obstetri
dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya/RSMH
Palembang.
8. Detollenaere RJ, Boon J, Stekelenburg J, Alhafidh AH, Hakvoort RA, et al.
Treatment of Uterine Prolapse Stage 2 or Higher: A Randomized Multicenter
Trial Comparing Sacrospinnosus Fixation with Vaginal Hysterectomy (SAVE
U Trial). BMC Womens Health Journals 2011. [database on the NCBI]. [cited
on September 23, 2013]; 02:1402.
9. Wiknjosastro H, Saifuddin AB, Rachimhadhi T. Ilmu Kandungan. Edisi
Kedua, Cetakan Ketujuh. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo. 2009. Hal: 9-11,432,433,436,437
10. Anatomy of Uterine [Image on the Gray’s Anatomy Student Consult] 2010.

Fakultas Kedokteran Universitas Andala 28


11. Standring S, Ellis H, Healy JC, Johnson D, Williams A, et al. Gray’s Anatomy:
The Anatomical Basis of Clinical Practice. 39th Edition. [textbook of
Anatomy]. Elsevier Churchill Livingstone: 2008.
12. Doshani A, Teo R, Mayne CJ, Tincello DG. Uterine Prolapse. Clinical
Review 2007. [database on the NCBI; 335:819-823.
13. Schorge JO, Schaffer JI, Halvorson LM, Hoffman BL, Bradshaw KD,
Cunningham FG. Williams Gynecology. The McGraw-Hill Companies. 2008.
14. Pelvic Organ Prolaps; A Guide for Women. International Urogynecological
Association 2011.
15. Vita DD, Giordano S. Two Succesful Natural Pregnancies in a Patient with
Severe Uterine Prolapse: A Case Report. J Med Case Report 2011.
16. Andrianto P. Urologi Untuk Praktek Umum. EGC. Jakarta, 1991 : 175-186.
17. Fantl JA, Hurt WE, Bump RC, Dunn LJ, Choi SC. Urethral Axis and
Sphincteric Function. Am J Obstet Gynecol 1986 ; 155 : 554-558.
18. De Lancey JL. Correlative Study of Paraurehtral Anatomy. Obstet Gynecol
1986; 68 :91-97
19. De Lancey JL. Structural Aspects of the Exrrinsic Continence Mechanism.
Obstet Gynecol 1988 ; 72 : 296-301
20. Low JA, Mauger GM, Dragovic J. Diagnosis of the Unstable Detrusor :
Comparison of an Incremental and Continuous Infusion Technique. Obstet
Gynecol 1985 ; 65 : 99-103.
21. Sand PK, Bowen LW, Ostegard DR, Brubaker L, Panganiban R. The Effect of
Retropubic Urethropexy on Detrusor Instability. Obstet Gynecol 1988 ; 71 :
818-822.
22. Purnomo, Dasar-dasar Urologi. FK Brawijaya, Malang 2003; 106-119.
23. Bhatia NN, Bergman A. pessary Test in women With urinary Incontinence.
Obstet Gynecol 1985 ; 65 : 220-225.
24. Horbach NS, Blanco JS, Ostergard DR, Bent AE, Cornella JL. A Suburethral
Sling Procedure With Polytetrafluoroethylene for the Treatment of Genuine
Stress Incontinence in Patients With Low Urethral Closure Pressure. Obstet
Gynecol 1988 ; 71 : 648-652.

Fakultas Kedokteran Universitas Andala 29


25. Morgan JE, Farrow GA, Stewart FE. The Marlex Sling Operation for the
Treatment of Recurrent Stress Urinary Incontinence : A 16-years review. Am
J Obstet Gynecol 1985 ; 151 : 224-226.
26. Junizaf. Buku Ajar Uroginekologi. FK.UI. Jakarta, 2002 ; 90-96.
27. Josoprawiro. Inkontinensia Urin dan Gejala Uroginetal Terkait Pada Wanita
Usia Lanjut. PIT X
28. Shawn.A.S. Incontinence, Prolapse, and Disorder of The Pelvis Floor.. In :
Jonathan, Rebecca, Paula Third. Ed. William % Wilkins, 2002 ; 654-680.
29. Supono. Anatomi alat-alat reproduksi wanita. Palembang, 1985: 5-23
30. Wiknjosastro H, Saifuddin AB, Rachimhadhi T. Anatomi alat
kandungan. Dalam Ilmu Kebidanan. Jakarta 1999; Yayasan
Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo edisi 3 :31-44
31. Cunningham FG, MacDonald PC, Gant NF, et al. Anatomy of
the Reproductive Tract. In Wiiliams Obstetrics. 20th edition
New York; Prentice-Hall International 1997: 37-67
32. Rock JA, Thompson JD, et al. Surgical anatomy of the Female
Pelvis. In Te Linde’s Operative Gynecology. 8th edition
Philadelphia; Lippincott-Raven 1997:63-93
33. Junizaf. Penanganan kasus agenesis vagina. Dalam Buku ajar
Uroginekologi. Jakarta 2002; Subbagian
Uroginekologi-Rekonstrtuksi Bagian Obstetri dan Ginekologi
FKUI/RSUPN-CM:97- 102
34. Junizaf. Penatalaksanaan Kelainan Bawaan Alat Genitalia
Wanita. Workshop Vaginal Surgery; Jakarta 9-10 Februari
2004.
35. Rock JA, Thompson JD, et al. Surgery for Anomalies of
mullerian duct. In Te Linde’s Operative Gynecology. 8th
edition Philadelphia; Lippincott-Raven 1997:687-730
36. ACOG Comitte Opinion. Number 274, July 2002. Non surgical
diagnosis and management ofvagina agenesis. Obstet Gynecol 2002;
100:213-216

Fakultas Kedokteran Universitas Andala 30


37. Fedela L, Biaqnchi S, Tozzi L, Borruto F, Vignali M. A new
laparoscopic procedure for creation of a neovagina in
Mayer-Rokitansky-Kuster-Hauser Syndrome. Fertil Steril
1996;66:854-857
38. Communal PH, Maesson MC, Golfier F. Raudrant D. Sexuality
after sigmoid colpopoiesis in
patient with Mayer-Rokitansky-Kuster-Hauser Syndrome. Fertil
Steril 2003;80:600-606
39. Prawirohardjo, Sarwono. Ilmu Kandungan. 2005. Jakarta: Yayasan
Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
40. Manuaba,Ida Bagus Gde.1998.Ilmu Kebidanan Penyakit Kandungan
dan Keluarga Berencana untuk Pendidikan Bidan. Jakarta : EGC.
41. Martius, Gerhard.1982.Bedah Ginekologi.Jakarta : EGC)
42. Scrock,Theodore.1995.Ilmu bedah.Edisi 7.Jakarta: EGC
43. Yip SK, Sahota D, Pang MW, Chang A. Postpartum urinary retention. Acta
obstetricia et gynecologica Scandinavica 2004;8(10):881-91.
44. Glavind K, Bjork J. Incidence and treatment of urinary retention postpartum.
International urogynecology journal and pelvic floor dysfunction.
2003;14(2):119-21.
45. Selius BA, Subedi R. Urinary retention in adults: Diagnosis and initial
management. American Family Physician 2008;77:643-50.
46. Ching-Chung L, Shuenn-Dhy C, Ling-Hong T, Ching-Chang H, Chao-Lun C,
Po-Jen. Postpartum urinary retention: Assessment of contributing factors and
long-term clinical impact. Australian and New Zealand journal of obstetrics
and gynaecology. 2002;42(4):367-70.

Fakultas Kedokteran Universitas Andala 31

Anda mungkin juga menyukai