Anda di halaman 1dari 9

Identifikasi Indikator dalam Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat

(IPKM) untuk Meningkatkan Nilai Sub-Indeks Penyakit Menular

Ika Dharmayanti, Dwi Hapsari Tjandararini


Puslitbang Uapaya Kesehatan Masyarakat
Email: ika.echadh@gmail.com

Abstrak

Sejak tahun 2009, Kementerian Kesehatan melalui Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan telah merumuskan
Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM) untuk menggambarkan kesehatan masyarakat Indonesia.
Tahun 2013, IPKM dijabarkan dalam tujuh subindeks yaitu kesehatan balita, kesehatan reproduksi, pelayanan
kesehatan, perilaku kesehatan, penyakit tidak menular, penyakit menular, dan kesehatan lingkungan. Penyakit diare
dan infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) pada balita serta pneumonia merupakan penyakit infeksi yang digunakan
dalam perhitungan subindeks penyakit menular dalam IPKM 2013. Tujuan penelitian ini untuk mengidentifikasi
indikator-indikator dalam IPKM yang dapat meningkatkan nilai subindeks penyakit menular. IPKM merupakan
komposit dari 30 indikator kesehatan utama yang dihitung dari data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013. Disain
Riskesdas 2013 merupakan survei potong lintang dengan jumlah sampel yaitu seluruh rumah tangga di 33 provinsi
dan 497 kabupaten/kota di Indonesia. Analisis data menggunakan regresi linier. Dari hasil penelitian didapatkan
bahwa indikator cakupan akses sanitasi (p = 0,000), cakupan air bersih (p = 0,027), serta cakupan perilaku masyarakat
dalam bercuci tangan dengan benar (p = 0,001) memiliki peran penting dalam meningkatkan nilai subindeks penyakit
menular. Sehingga diharapkan dengan adanya peningkatan cakupan tiga indikator diatas, maka nilai tiga subindeks
(penyakit menular, kesehatan lingkungan, dan perilaku kesehatan) akan turut meningkat. Oleh karena itu, apabila
kabupaten/kota ingin meningkatkan nilai subindeks penyakit menular, yang perlu diperhatikan yaitu intervensi
terhadap lingkungan dan perilaku manusia. Dengan demikian, nilai IPKM kabupaten/kota juga akan meningkat.

Kata kunci: Lingkungan, penyakit menular, perilaku.

Identification of Indicators on Public Health Development (IPKM) to


Increase Sub Index Value of Infectious Disease

Abstract

Since 2009, ministry of health through research and health development has formulated index of Public Health
Development (IPKM) in order to describe Indonesian health. In 2013, IPKM consists into seven sub indexes;
they are health of toddlers, reproduction health, health services, health behavior, non infectious disease, infectious
disease and environmental health. Diarrhea and acute respiratory infection (ISPA) as well as pneumonia on
toddlers are infectious diseases used in the calculating on Health Basic Research (Riskesdas) in 2013. The
design of Riskesdas 2013 is a cross-sectional survey with a total sample of all households in 33 provinces and
497 districts / cities in Indonesia. Linear regression has been used in analyzing data. The result of the research
found that indicators of coverage of sanitation access is (p = 0,000), hygienic water (p= 0,027), as well as
health behavior through washing hand correctly (p = 0,001) play an important role in increasing value of sub-
infectious diseases. So it is expected that with the increase of coverage of three indicators above, then the value
of three sub-indexes (infectious disease, environmental health, and health behavior) will also increase. Therefore,
if the district / city wants to increase the value of infectious disease sub-index, it should be noted that the
intervention to the environment and human behavior. Thus, the value of district / city IPKM will also increase.

Keywords: Behavior, environment, infectious diseases.

JKP - Volume 5 Nomor 3 Desember 2017 249


Ika Dharmayanti: Identifikasi Indikator dalam Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat

Pendahuluan tenggorokan sakit atau nyeri saat menelan,


pilek, batuk kering atau berdahak (Ditjen
Penyakit menular merupakan masalah penting PPM & PL, 2012). Berdasarkan Riskesdas
bidang kesehatan di hampir semua negara tahun 2013, dua kelompok umur yang paling
berkembang. Hal ini karena angka kesakitan banyak menderita ISPA yaitu kelompok
dan kematiannya yang relatif tinggi dalam umur dibawah 1 tahun sebesar 35 persen dan
kurun waktu yang relatif singkat. Penyakit kelompok umur 1 – 4 tahun sebesar 42 persen
menular adalah sebuah penyakit infeksi yang (Kemenkes RI, 2013b). Hal ini menandakan
disebabkan oleh sebuah agen biologi, seperti kedua kelompok umur ini rentan terhadap
virus, bakteria atau parasit. Penyakit ini dapat penyakit ISPA karena sistem pertahanan
ditularkan dari satu orang ke orang lain, baik tubuh masih dalam tahap perkembangan
secara langsung maupun dengan perantara. sehingga mudah terkena penyakit infeksi
Secara garis besar cara penularan penyakit (Hayati, 2014). Selain diare dan ISPA pada
menular dapat melalui media langsung, balita, indikator penyakit menular yang
yaitu dari orang ke orang, contoh melalui penting menjadi perhatian yaitu pneumonia.
permukaan kulit. Melalui media udara Penyakit ini merupakan infeksi akut yang
disebut sebagai airborne disease, contoh menyerang jaringan paru-paru (alveoli).
penyakit yang dapat ditularkan dan menyebar Gejala pada penyakit ini yaitu panas tinggi
secara langsung maupun tidak langsung yang disertai batuk berdahak, nafas cepat
melalui udara pernapasan. Melalui media (frekuensi nafas > 50 kali/menit), sesak dan
air disebut sebagai waterborne disease atau gejala lainnya (sakit kepala, gelisah, dan nafsu
water related disease, contoh penyakit yang makan berkurang) (Ditjen PPM & PL, 2012).
ditularkan melalui air. Melalui media vektor, Berdasarkan data Riskesdas tahun 2007 dan
sering juga disebut sebagai vector-borne 2013, period prevalence pneumonia untuk
diseases merupakan penyakit yang seringkali seluruh kelompok umur sekitar 2 persen
bersifat endemis maupun epidemis dan sering (Kemenkes RI, 2008, 2013b). Sedangkan
menimbulkan bahaya kematian (Widoyono, berdasarkan data mortalitas menurut jenis
2008). Umumnya, penyakit menular jenis ini penyakit (menular dan tidak menular) pada
disebut juga penyakit berbasis lingkungan. Riskesdas 2007, pneumonia merupakan
Hal ini dikarenakan timbulnya penyakit penyebab kematian ketiga dengan presentase
disebabkan oleh adanya interaksi manusia lebih dari 14 persen pada semua kelompok
dengan sekitarnya yang memiliki potensi umur setelah tuberkulosis (TB) dan penyakit
penyakit. hati (Kemenkes RI, 2008).
Data penyakit menular di Indonesia Masih tingginya prevalensi penyakit
menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) menular di Indonesia dan sifat menular
tahun 2007, menunjukkan bahwa diare yang dapat menyebabkan wabah serta
sebagai salah satu penyakit menular dan menimbulkan kerugian yang besar, maka
merupakan penyebab kematian terbanyak penyakit menular menjadi salah satu dari
pada anak dibawah lima tahun. Diare sebagai tujuh subindeks yang dilibatkan dalam Indeks
penyebab kematian anak umur dibawah satu Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM)
tahun sebanyak 31 persen, dan kematian tahun 2013. IPKM yang disusun oleh Badan
anak umur 1 – 4 tahun sebanyak 25 persen Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
(Kemenkes RI, 2008). Menurut Riskesdas (Balitbangkes) Kementerian Kesehatan
tahun 2013, insiden diare pada balita merupakan kumpulan indikator kesehatan
sekitar 7 persen (Kemenkes RI, 2013b). yang mudah dan dapat diukur secara langsung
Penyakit diare merupakan gangguan Buang untuk melihat permasalahan kesehatan
Air Besar (BAB) lebih dari 3 kali dalam (Kemenkes RI, 2014). Berdasarkan IPKM
sehari, dengan konsistensi tinja cair dan dapat diketahui peningkatan dan penurunan
dapat disertai darah atau lendir (Depkes nilai maupun peringkat status kesehatan
RI, 2000). Penyakit menular lainnya yaitu kabupaten/ kota. Manfaat lain dari IPKM
infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) pada adalah pemantauan status kesehatan masing-
balita. Penyakit ISPA pada umumnya diawali masing kabupaten/kota dan diharapkan dapat
dengan panas tinggi yang disertai dengan berperan dalam meningkatkan umur harapan

250 JKP - Volume 5 Nomor 3 Desember 2017


Ika Dharmayanti: Identifikasi Indikator dalam Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat

hidup masyarakat Indonesia. perilaku kesehatan terdiri dari cuci tangan


Penyusunan IPKM dimulai Balitbangkes dengan benar dan buang air besar di jamban.
pada tahun 2009 berdasarkan 24 indikator Upaya peningkatan nilai subindeks penyakit
dengan menggunakan data Riset Kesehatan menular berarti menurunkan prevalensi
Dasar (Riskesdas) tahun 2007-2008, Survei penyakit pneumonia, diare, dan ISPA.
Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun
2007, dan Potensi Desa (Podes) tahun 2008.
Pada tahun 2014 dengan menggunakan Metode Penelitian
Riskesdas 2013 dan Podes 2011, IPKM
2007 tersebut disempurnakan metode Penelitian ini menggunakan data sekunder
hitungnya dan jumlah indikator menjadi 30 yaitu data Riskesdas 2013 milik Badan
indikator. Penambahan indikator bertujuan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan,
untuk memperkaya informasi yang dapat Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
mendukung pengambilan kebijakan dalam Riskesdas 2013 adalah survei dengan desain
menentukan dasar pembangunan kesehatan. potong lintang. Populasi sampel dalam
Perubahan metode hitung bertujuan Riskesdas 2013 adalah seluruh rumah tangga
mempermudah penentuan masalah kelompok di 33 provinsi dan 497 kabupaten/kota di
indikator yang harus diintervensi. Kelompok Indonesia (Kemenkes RI, 2013a).
indikator atau subindeks yang dibentuk pada Data Riskesdas 2013 dan Podes 2011
IPKM 2013 adalah kesehatan reproduksi, kemudian diolah menjadi IPKM yang
pelayanan kesehatan, perilaku kesehatan, memiliki 30 indikator dan 7 kelompok
penyakit tidak menular, penyakit menular, indikator (subindeks). Dari data IPKM
kesehatan lingkungan, dan kesehatan balita tersebut, yang digunakan sebagai variabel
(Kemenkes RI, 2014). terikat pada penelitian ini adalah nilai
Subindeks penyakit menular merupakan subindeks penyakit menular yang diperoleh
salah satu hal yang penting diperhatikan dari penjumlahan nilai indikator diare balita,
karena umumnya penyakit menular ISPA balita, dan pneumonia dikalikan bobot
bersifat akut dan menyerang semua lapisan indikator.
masyarakat. Indikator yang dilibatkan Variabel bebas terdiri dari indikator pada
dalam subindeks penyakit menular adalah subindeks kesehatan lingkungan yaitu akses
pneumonia semua umur, diare, dan ISPA sanitasi dan akses air bersih serta subindeks
pada balita. Jika dilihat media penularan perilaku kesehatan yaitu cuci tangan dengan
penyakit ini adalah faktor lingkungan dan benar dan BAB di jamban. Data cakupan
perilaku. Fasilitas sanitasi yang tidak layak akses sanitasi diperoleh dari komposit
akan mencemari air dan dapat menjadi kepemilikan jamban dengan jenis kloset leher
sumber penularan penyakit. Ketersediaan air angsa. Data kecukupan air bersih diperoleh
bersih yang memenuhi syarat mempunyai dari komposit sumber air utama rumah tangga
peran penting untuk kesehatan. Kurangnya yang menggunakan sumber air terlindung,
akses terhadap air bersih merupakan salah seperti air ledeng, air eceran, sumur bor/
satu faktor yang menyebabkan kejadian diare pompa, sumur gali terlindung, dan mata air
dan kematian anak balita di Indonesia. Faktor terlindung dengan penggunaan minimal 20
penting lain yaitu berperilaku hidup bersih liter/orang/hari dan berjarak kurang dari 1
agar tidak mudah terserang penyakit, seperti km (Kemenkes RI, 2013a).
perilaku cuci tangan dengan benar dan buang Variabel dari subindeks perilaku kesehatan,
air besar (BAB) di jamban. yaitu proporsi perilaku cuci tangan diperoleh
Berdasarkan data dan teori di atas, maka dari cuci tangan dengan sabun pada kondisi
dalam artikel ini akan membahas upaya sebelum menyiapkan makanan, sebelum
peningkatan nilai subindeks penyakit menular menyiapkan makanan, setiap kali tangan
melalui indikator pada kelompok subindeks kotor (memegang uang, binatang, berkebun),
kesehatan lingkungan dan kelompok setelah buang air besar, setelah menceboki
subindeks perilaku kesehatan. Subindeks bayi, setelah menggunakan pestisida/
kesehatan lingkungan terdiri dari akses air insektisida dan sebelum menyusui bayi. Data
bersih dan sanitasi, sedangkan subindeks perilaku BAB diperoleh dari kebiasaan buang

JKP - Volume 5 Nomor 3 Desember 2017 251


Ika Dharmayanti: Identifikasi Indikator dalam Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat

air besar di jamban (Kemenkes RI, 2013a). untuk akses air bersih, laporan Riskesdas
Analisis data dilakukan menggunakan tahun 2007 menyebutkan persentase rumah
software SPSS versi 16 milik Badan Penelitian tangga yang kurang mendapatkan akses
dan Pengembangan Kesehatan dengan serial terhadap air bersih sesuai kriteria JMP WHO/
number 5061284. Analisis menggunakan UNICEF sebesar 42,3%. Pada tahun 2010
regresi linier dari masing-masing cakupan yang kurang mendapat akses terhadap air
indikator: sanitasi, akses air bersih, perilaku minum sebesar 46,3%. Sedangkan pada
cuci tangan, dan BAB di jamban terhadap tahun 2013, akses air minum tidak tercapai
nilai subindeks penyakit menular. pada 33,2% rumah tangga (Kemenkes RI,
2013b).
Kelompok indikator perilaku yang dibahas
Hasil Penelitian dalam artikel ini yaitu perilaku cuci tangan
dengan benar dan buang air besar (BAB) di
Laporan Riskesdas 2013 menunjukkan jamban. Kebiasaan cuci tangan dengan benar
bahwa proporsi rumah tangga di Indonesia berdasarkan laporan Riskesdas, data tahun
yang tidak memiliki akses terhadap fasilitas 2013 sebesar 47%, lebih tinggi dibandingkan
sanitasi hasilnya cukup menggembirakan, data tahun 2007 yang sebesar 23,2%
yaitu terjadi penurunan persentase rumah (Kemenkes RI, 2013b). Dengan adanya
tangga yang tidak memiliki akses fasilitas peningkatan perilaku cuci tangan dengan
sanitasi. Akses sanitasi yang terdapat dalam benar diharapkan dapat menurunkan insiden
laporan Riskesdas, sesuai kriteria JMP (Joint penyakit menular di masyarakat. Perilaku
Monitoring Program) WHO/UNICEF tahun BAB di jamban menurut laporan Riskesdas
2006. Proporsi rumah tangga yang tidak 2007 dan 2013 terjadi peningkatan. Tahun
memiliki akses terhadap fasilitas sanitasi yang 2007 sebesar 71,1% dan tahun 2013 menjadi
baik, pada tahun 2007 sebesar 59,7%; tahun 82,6% (Kemenkes RI, 2008, 2013b). Hal ini
2010 sebesar 48,5%; dan tahun 2013 sebesar berarti meningkatnya kesadaran masyarakat
40,2% (Kemenkes RI, 2013b). Sedangkan untuk berperilaku hidup bersih agar tidak

Tabel 1 Indikator Lingkungan dan Perilaku terhadap Nilai Sub-Indeks Penyakit Menular
Sig. 95% Confidence Interval for B
Variabel R square B (p value)
Lower bound Lower bound
Sanitasi 0,147 0,653 0,000 0,632 0,675
Akses air bersih 0,016 0,725 0,005 0,707 0,743
Cuci tangan 0,064 0,682 0,000 0,658 0,705
Buang air besar 0,113 0,590 0,000 0,550 0,630

Tabel 2 Hasil Uji Multivariabel

Unstandardized Standardized 95% Confidence


coefficients coefficients Sig. Interval for B
Variabel t (p value)

Lower Upper
B SE B bound bound
Konstanta 0,634 0,013 47,583 0,000 0,608 0,661
Sanitasi 0,002 0,000 0,385 7,820 0,000 0,001 0,002
Akses air 0,000 0,000 -0,105 -2,212 0,027 -0,001 0,000
bersih
Cuci tangan 0,001 0,000 0,146 3,312 0,001 0,000 0,000

252 JKP - Volume 5 Nomor 3 Desember 2017


Ika Dharmayanti: Identifikasi Indikator dalam Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat

mudah terserang penyakit. Masyarakat karena pneumonia. Pneumonia merupakan


miskin perkotaan merupakan kelompok infeksi jaringan paru-paru (alveoli) dan
masyarakat paling rentan terhadap buruknya bersifat akut. Klasifikasi pneumonia menurut
fasilitas sanitasi dan akses terhadap air bersih, Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (2003)
sehingga perilaku cuci tangan pun menjadi berdasarkan penyebab, dibagi atas: (1)
terkendala karena kurangnya akses terhadap pneumonia bakteri/tipikal yang disebabkan
air bersih. oleh bakteri penumokokus; (2) pneumonia
Pada tabel 1 dapat dilihat bahwa indikator akibat virus oleh virus influenza; dan (3)
sanitasi, akses air bersih, cuci tangan dengan pneumonia jamur, merupakan infeksi
benar, dan BAB di jamban menunjukkan sekunder pada penderita dengan daya tahan
hubungan yang bermakna dengan nilai tubuh lemah (immunocompromised).
subindeks penyakit menular (nilai p < 0,05). ISPA dan pneumonia dapat dicegah
Masing-masing menunjukkan hubungan dengan menggunakan masker saat di luar
positif, sebagai contoh jika cakupan perilaku rumah, mencuci tangan dengan benar, serta
cuci tangan meningkat maka nilai subindeks perilaku sehat lainnya. Hal ini berlaku juga
penyakit menular akan meningkat. Nilai untuk mencegah penyakit diare. Umumnya,
subindeks merupakan kumpulan indikator diare pada anak-anak yang tidak ditangani
positif yaitu indikator tidak sakit pneumonia, dengan segera, dapat menyebabkan
tidak diare, dan tidak ISPA. kekurangan cairan, lemas, dehidrasi berat
Hasil uji multivariabel pada tabel 2, bahkan hingga kematian. Widjaja (2002)
diperoleh 3 indikator yang berhubungan menyatakan, penyebab diare sebagian besar
secara bermakna dengan nilai subindeks oleh infeksi virus, bakteri, basil, parasit atau
penyakit menular. Sedangkan perilaku BAB jamur. Penularannya melalui tangan yang
di jamban tidak menunjukkan hubungan kotor, botol maupun alat makan.
yang bermakna (nilai p > 0,05). Berdasarkan Masih tingginya prevalensi penyakit
hasil analisis multivariabel, diperoleh model berbasis lingkungan di masyarakat, erat
dengan nilai p sebesar 0,000 dan R square kaitannya dengan faktor lingkungan serta
0,171. Model ini memenuhi syarat uji regresi perilaku hidup bersih dan sehat yang masih
linier, dengan nilai Durbin Watson sebesar rendah. Umumnya, permasalahan yang
1,714; hasil uji anova model 0,00; dan nilai terkait dengan penyakit berbasis lingkungan
mean residual sebesar 0,00. Titik scatter plot yaitu tidak tersedianya air bersih, kurangnya
menyebar tidak memiliki pola tertentu yang pemanfaatan jamban sehat, pencemaran air,
jelas dan grafik histogram menunjukkan tanah dan udara oleh limbah rumah tangga
distribusi normal. dan industri. Oleh karena itu, indikator
Dari model statistik ini diketahui bahwa lingkungan dalam IPKM yaitu akses sanitasi
indikator sanitasi, akses air bersih, dan dan air bersih merupakan kebutuhan penting
perilaku cuci tangan sangat berperan dalam dalam kehidupan sehari-hari untuk mengatasi
peningkatan nilai subindeks penyakit penyakit menular yang berbasis lingkungan.
menular. Dengan demikian apabila terjadi Sanitasi dan air bersih merupakan salah
penurunan nilai indikator kelompok satu dari sasaran Milenium Development
lingkungan dan perilaku cuci tangan, dapat Goal (MDGs) 2015 yang diharapkan dapat
menurunkan nilai subindeks penyakit tercapai pada lebih dari setengah jumlah
menular dan dapat berakibat pada penurunan penduduk. Permasalahan sanitasi terkait
nilai IPKM kabupaten/kota tersebut. dengan ketersediaan jamban di rumah,
masih harus menjadi perhatian pemerintah.
Berdasarkan laporan Riskesdas 2013
Pembahasan menunjukkan kepemilikan fasilitas tempat
buang air besar di perkotaan (84,9%) dan di
Diare, ISPA, dan pneumonia merupakan perdesaan (67,3%) merupakan milik sendiri,
penyakit menular yang paling sering diderita sedangkan sisanya merupakan fasilitas milik
oleh semua kelompok umur. Ketiga penyakit bersama dan umum. Bahkan, sebanyak
ini terutama rentan diderita anak-anak dan 20,8% rumah tangga di perdesaan masih
bisa menyebabkan kematian, umumnya BAB sembarangan, sedangkan di perkotaan

JKP - Volume 5 Nomor 3 Desember 2017 253


Ika Dharmayanti: Identifikasi Indikator dalam Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat

sebesar 5,1% rumah tangga yang melakukan air isi ulang perlu diolah terlebih dahulu
BAB di sembarang tempat (Kemenkes RI, seperti dimasak hingga mendidih untuk
2013b). Kepemilikan tempat BAB juga mencegah kontaminasi bakteri patogen.
merupakan hal penting dalam stimulasi toilet Penelitian terkait diare balita juga telah
training pada anak prasekolah di Poliklinik telah dilakukan oleh Anwar dan Musadad
Anak Rumah Sakit TK. II Dustira Cimahi (2009). Penelitian ini menyebutkan bahwa
(Andriyani et al., 2014). Dengan kepemilikan yang berpengaruh pada kejadian diare balita
tempat BAB sendiri, ibu dapat mengajarkan yaitu kualitas fisik air (kekeruhan dan bau),
anak untuk melakukan BAK dan BAB jumlah pemakaian serta kemudahan dalam
sendiri. memperoleh air bersih tersebut. Selain
Buruknya akses sanitasi juga dapat itu, tempat BAB, kepemilikan jamban dan
meningkatkan prevalensi virus hepatitis A jenis jamban juga memiliki hubungan yang
(Sunartyasih & Kartikasari, 2013), penyakit bermakna terhadap kejadian diare balita.
diare (Anwar & Musadad, 2009), dan Dengan demikian, akses terhadap air bersih
lainnya. Masih rendahnya akses sanitasi dan sanitasi sangat mempengaruhi kejadian
yang layak serta masih rendahnya kesadaran diare balita. Hubungan diare balita dengan
masyarakat akan kesehatan lingkungan, dapat faktor lingkungan (sumber air minum, tempat
memengaruhi kondisi kesehatan masyarakat. pembuangan tinja, dan jenis lantai) telah
Air sangat diperlukan untuk keperluan dilakukan oleh Wulandari (2009) dan diare
sehari-hari, untuk kegiatan mencuci, balita dengan dengan tempat pembuangan
memasak, minum hingga untuk kebersihan tinja oleh Soentpiet, Manoppo, dan Wilar
keluarga. Saat ini, ketersediaan air bersih (2015). Selain itu, masih banyak publikasi
semakin berkurang setiap harinya, akibat yang mengaitkan antara diare balita dengan
pertambahan penduduk dan pencemaran faktor lingkungan, serta adanya hubungan
limbah industri dan rumah tangga. Dampak yang bermakna antara keduanya. Hal ini
dari kelangkaan air bersih terhadap kesehatan membuktikan bahwa untuk menurunkan
masyarakat yaitu timbulnya penyakit seperti kejadian diare balita perlumenjadikan
diare, tipus, polio dan cacingan yang dapat prioritas perbaikan sarana dan prasarana
berjangkit di masyarakat. Oleh karena itu, lingkungan seperti akses air dan sanitasi di
sangat penting untuk menjaga ketersediaan tempat tinggal.
sumber air bersih. Faktor perilaku cuci tangan dengan benar
Hasil analisis indikator sanitasi, akses air juga memiliki hubungan yang bermakna
bersih dan perilaku cuci tangan memiliki dengan kejadian diare. Purwandari, Ardiana,
hubungan yang bermakna dengan kelompok dan Wantiyah (2013) menyebutkan bahwa
indikator penyakit menular. Studi yang diperoleh nilai p = 0,000 antara perilaku
mengaitkan indikator penyakit menular diare cuci tangan dengan diare pada anak usia
balita telah dibahas oleh Azhar, Kumala, sekolah di Kabupaten Jember. Penelitian
dan Hapsari (2015) di wilayah DKI Jakarta. serupa juga telah dilakukan oleh Rosyidah
Hasil penelitian Azhar menyebutkan 47,1% (2014) yang menunjukkan adanya hubungan
balita yang menggunakan air minum isi perilaku cuci tangan dengan diare di SDN
ulang sebagai sumber air minum keluarga Ciputat 02. Mencuci tangan menggunakan
berpotensi terkena diare. Penggunaan air sabun dapat memutuskan mata rantai
minum yang tidak aman (unimproved), penyakit. Kuman penyakit dalam kotoran
memiliki odds 1,9 kali untuk menyebabkan dan lemak yang menempel di tangan, dapat
diare pada balita dibandingkan air minum terlepas saat tangan digosok dengan sabun.
yang aman (improved) setelah dilakukan Kuman-kuman tersebut menempel di
pengontrolan terhadap perilaku cuci tangan tangan setelah bersentuhan dengan kotoran
ibu dan sanitasi yang aman. Penggunaan air manusia, binatang, ataupun benda lain yang
minum yang tidak aman seperti air minum terkontaminasi kuman.
isi ulang perlu menjadi perhatian pemerintah Kebiasaan mencuci tangan dengan sabun
untuk pemantauan kualitas bakteriologis menurut Pusat Data dan Informasi (2014)
sehingga aman untuk dikonsumsi masyarakat. terbukti dapat mengurangi infeksi hingga
Bahkan, untuk konsumsi sebagai air minum, 25%. Cuci tangan dengan sabun dapat

254 JKP - Volume 5 Nomor 3 Desember 2017


Ika Dharmayanti: Identifikasi Indikator dalam Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat

menurunkan kejadian diare (31%) dan ISPA menular pada khususnya dan kesehatan pada
(21%). Hasil riset global juga menunjukkan umumnya.
bahwa kebiasaaan mencuci tangan dengan
benarbahkan dapat mencegah kejadian diare
hingga 50% dan ISPA hingga 45% (Fazriyati, Simpulan
2013). Menurut Aiello, Coulborn, Perez,
dan Larson, (2008), cuci tangan dengan Penyakit menular dapat menjadi prioritas
sabun pada umumnya dapat menurunkan intervensi karena sifat menularnya yang
risiko penyakit saluran pencernaan (31%) bisa menyebabkan wabah dan kematian.
dan pernafasan (21%). Selain itu, penelitian Penyebabnya yaitu kurangnya akses air bersih
yang dilakukan oleh Carabin et al. (1999) dan dan sarana sanitasi yang layak di pemukiman
Roberts et al. (2000) di tempat pengasuhan dan tempat umum. Selain itu, perubahan
anak menunjukkan bahwa adanya intervensi perilaku yang paling sederhana yaitu mencuci
pada pengasuh anak yaitu program cuci tangan dengan sabun, diharapkan dapat
tangan dengan sabun pada pengasuh anak di menurunkan prevalensi penyakit menular.
tempat pengasuhan anak dapat menurunkan Melalui peningkatan cakupan tiga indikator
penyakit ISPA pada anak di bawah 24 bulan. tersebut maka akan sekaligus meningkatkan
Hasil penelitian Merk, Kühlmann-berenzon, tiga nilai subindeks yaitu penyakit menular,
Linde, dan Nyrén (2014) menyebutkan kesehatan lingkungan, dan perilaku
bahwa banyaknya cuci tangan yang dilakukan kesehatan. Hasil akhir dari peningkatan nilai
berulang kali selama 1 hari, ternyata tidak tiga subindeks maka akan meningkatkan nilai
menurunkan secara signifikan kejadian ISPA IPKM kabupaten/ kota.
(5-9 kali OR=1,08; 10-19 kali 1,22; ≥ 20 kali Nilai IPKM dapat digunakan Kabupaten/
OR = 1,03). Akan tetapi cuci tangan dengan Kota sebagai dasar dalam merencanakan
sabun secara signifikan dapat mengurangi program pembangunan kesehatan dan
risiko ISPA. menentukan alokasi anggaran kesehatan
Selain itu, cuci tangan dengan sabun juga daerah. Manfaat lain dari IPKM sebagai bahan
dapat menurunkan risiko pneumonia menurut advokasi untuk meningkatkan peringkat
(Luby et al., 2005). Ibu dengan perilaku yang provinsi, kabupaten/kota berdasarkan
tidak sehat juga dapat meningkatkan risiko permasalahan di masing-masing sub indeks.
balita menderita pneumonia (1,13 – 5,5) kali
lebih besar daripada ibu dengan perilaku yang
tidak sehat (Sundari, Pratiwi, & Khairudin, Daftar Pustaka
2014). Salah satu perilaku sehat dalam
penelitian ini yaitu cuci tangan dengan sabun. Aiello, A.E., Coulborn, R.M., Perez, V., &
Oleh karena itu, apabila kabupaten/ Larson, E.L. (2008). Effect of hand hygiene
kota ingin menurunkan prevalensi penyakit on infectious disease risk in the community
menular di wilayahnya atau meningkatkan setting: A meta-analysis, 98(8), 1372–1382.
nilai subindeks penyakit menular, yang http://doi.org/10.2105/AJPH.2007.124610.
perlu diperhatikan yaitu intervensi terhadap
lingkungan dan perilaku manusia. Komponen Andriyani, S., Ibrahim, K., Wulandari,
yang terkait dengan permasalahan ini yaitu S. (2014). Analisis faktor-faktor yang
peningkatan cakupan akses sanitasi, cakupan berhubungan toilet training pada anak
air bersih, serta cakupan perilaku masyarakat prasekolah (Analysis of factors related to
dalam bercuci tangan dengan benar. Hal ini toilet training in preschool age children).
sejalan dengan teori Blum, bahwa dua faktor Jurnal Keperawatan Padjajaran, 2(3), 146–
dominan yang sangat berpengaruh terhadap 153.
status kesehatan masyarakat yaitu kesehatan
lingkungan dan perilaku hidup bersih. Anwar, A., & Musadad, A. (2009). Pengaruh
Dua komponen ini yang sangat mungkin akses penyediaan air bersih terhadap kejadian
untuk diintervensi dan merupakan dasar diare pada balita. Jurnal Ekologi Kesehatan,
dilakukannya tindakan promotif dan preventif 8(2), 953–963.
pada sebagian besar permasalahan penyakit

JKP - Volume 5 Nomor 3 Desember 2017 255


Ika Dharmayanti: Identifikasi Indikator dalam Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat

Azhar, K., Kumala, D.S., & Hapsari, D. Kemenkes RI. (2014). Perilaku mencuci
(2015). Diare balita di Provinsi DKI Jakarta tangan pakai sabun di Indonesia. Pusat Data
ditinjau dari aspek air minum, sanitasi dan dan Informasi. Jakarta.
PHBS (analisis data Riskesdas 2013). Jurnal
Ekologi Kesehatan, 14(1), 29–40. Luby, S.P., Agboatwalla, M., Feikin, D.R.,
Painter, J., Ms, W.B., Altaf, A., & Hoekstra,
Carabin, H., Gyorkos, T.W., Soto, J.C., R.M. (2005). Effect of handwashing on child
Joseph, L., Payment, P., & Collet, J.P. (1999). health: A randomised controlled trial. The
Effectiveness of a training program in Lancet, 366, 225–233.
reducing infections in toddlers attending day
care centers. Epidmeiology, 10(3), 219–227. Merk, H., Kühlmann-berenzon, S., Linde, A.,
& Nyrén, O. (2014). Associations of hand-
Depkes RI. (2000). Buku pedoman washing frequency with incidence of acute
pelaksanaan program P2 diare. Jakarta: respiratory tract infection and influenza-like
Ditjen PPM dan PL. illness in adults: A population-based study
in Sweden. BioMed Central, 14(509), 1–8.
Fazriyati, W. (2013, September). Kebiasaan http://doi.org/10.1186/1471-2334-14-509.
CTPS di RS tekan infeksi nosokomial. Kompas.
com. Jakarta. Retrieved from http://lifestyle. Purwandari, R., Ardiana, A., & Wantiyah.
kompas.com/read/2013/09/26/1643106/ (2013). Hubungan antara perilaku mencuci
Kebiasaan.CTPS.di.RS.Tekan.Infeksi. tangan dengan insiden diare pada anak
Nosokomial. usia sekolah di Kabupaten Jember. Jurnal
Keperawatan, 4(2), 122–130.
Hayati, S. (2014). Gambaran faktor penyebab
infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) Roberts, L., Smith, W., Jorm, L., Patel,
pada balita di Puskesmas Pasirkaliki Kota M., Douglas, R.M., & McGilchrist, C.
Bandung. Jurnal Ilmu Keperawatan, 2(1), (2000). Respiratory infection in child care:
62–67. A randomized controlled trial. Pediatrics,
105(4), 738–742.
Indonesia, P.D.P. (2003). Pneumonia
komuniti: Pedoman diagnosis & Rosyidah, A.N. (2014). Hubungan perilaku
penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta. cuci tangan terhadap kejadian diare pada
siswa di Sekolah Dasar Negeri Ciputat 02.
Kemenkes RI. (2013a). Riset kesehatan dasar
(RISKESDAS) 2013. Laporan Nasional 2013. Soentpiet, M.G., Manoppo, J.I.C., & Wilar,
http://doi.org/1 Desember 2013. R. (2015). Hubungan faktor sosiodemografi
dan lingkungan dengan diare pada anak balita
Kemenkes RI. (2008). Riset kesehatan di Derah Aliran Sungai Tondano. Jurnal
dasar. Badan Penelitian dan Pengembangan E-Clinic (eCl), 3(3), 820–825.
Kesehatan. Jakarta.
Sunartyasih, R., & Kartikasari, L.A. (2013).
Kemenkes RI. (2013b). Riset kesehatan Hubungan host dan lingkungan dengan
dasar. Badan Penelitian dan Pengembangan manifestasi klinis hepatitis (The relationships
Kesehatan. Jakarta. between host and environtment with clinical
manifestation of Hepatitis A). Jurnal
Kemenkes RI. (2014). Indeks pembangunan Keperawatan Padjajaran, 1(2), 72–78.
kesehatan masyarakat. Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan. Jakarta. Sundari, S., Pratiwi, & Khairudin. (2014).
Perilaku tidak sehat ibu yang menjadi faktor
Kemenkes RI. (2012). Pedoman resiko terjadinya ISPA pneumonia pada balita.
pengendalian infeksi saluran pernafasan Jurnal Pendidikan Sains, 2(3), 141–147.
akut. Jakarta: Dirjen Pengendalian Penyakit
dan Penyehatan Lingkungan. Widjaja. (2002). Mengatasi diare dan

256 JKP - Volume 5 Nomor 3 Desember 2017


Ika Dharmayanti: Identifikasi Indikator dalam Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat

keracunan pada balita. Jakarta: Kawan Wulandari, A.P. (2009). Hubungan antara
Pustaka. faktor lingkungan dan faktor sosiodemografi
dengan kejadian diare pada balita di desa
Widoyono. (2008). Penyakit tropis: Blimbing kecamatan Sambirejo kabupaten
Epidemiologi, penularan, pencegahan, dan Sragen tahun 2009.
pemberantasannya. Jakarta: Erlangga.

JKP - Volume 5 Nomor 3 Desember 2017 257

Anda mungkin juga menyukai