Anda di halaman 1dari 9

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Karakteristik Tanaman Kedelai

Tanaman kedelai (Glycine max (L.) Merill) adalah salah satu jenis tanaman
kacang-kacangan dengan umur pendek. Berdasarkan tipe pertumbuhannya
tanaman kedelai dibagi menjadi dua macam, yaitu determinate,dan indeterminate.
Tipe determinate dicirikan dengan pertumbuhan batang yang terhenti bila
tanaman telah mulai berbunga, sedangkan pada tipe indetereminate pertumbuhan
ujung batang terus berlangsung meskipun tanaman sudah berbunga (Adisarwanto,
2005). Tinggi tanaman kedelai sekitar 30-100 cm, dengan 2 hingga 3
percabangan, daun berbentuk oval, tipis dan berwarna hijau namun ketika sudah
tua akan berubah menjadi kuning dan gugur. Bunga tumbuh berkelompok pada
ruas batang, berwarna putih atau ungu yang muncul pada saat tanaman berumur
30-50 hst. Polong dilengkapi dengan bulu halus pada permukaannya dan berwarna
hijau yang kemudian berubah menjadi kehitaman, keputihan, atau kecokelatan
saat memasuki umur masak. Setiap polong terdiri dari 1-4 biji, berwarna putih
kehijauan atau kecokelatan, terbungkus oleh kulit tipis berwarna kuning, hitam,
hijau atau cokelat (Pitojo, 2003).
Kondisi lingkungan yang sesuai bagi pertumbuhan dan perkembangan
tanaman kedelai adalah daerah terbuka dengan curah hujan optimal 100 – 200
mm/bulan, temperatur 25oC – 28oC, serta kelembaban 50%. Ketinggian tempat
yang sesuai untuk perkembangan tanaman kedelai antara 20-300 mdpl
(Adisarwanto, 2005). Terdapat dua jenis kedelai yang umum dikenal oleh
masyarakat di Indonesia, yakni kedelai kuning dan kedelai hitam. Kedelai hitam
sudah lama dibudidayakan di Indonesia dan memiliki peluang pasar yang cukup
luas. Namun varietas unggul kedelai hitam jumlahnya masih sangat terbatas
dibandingkan varietas kuning. Salah satu varietas kedelai hitam yang berhasil
dilepas di Indonesia adalah Detam 1 dan Detam 2. Potensi produksi kedelai hitam
mencapai 3 – 3,5 ton ha-1 (Sucahyono et al., 2013).
Fase pertumbuhan tanaman kedelai dibagi menjadi dua bagian, yaitu fase
vegetatif dan fase generatif. Fase vegetatif dimulai ketika tanaman mulai muncul
di atas permukaan tanah yakni pada saat benih mulai berkecambah hingga
tanaman memasuki fase pembungaan. Perkecambahan berlangsung saat tanaman
5

memasuki umur 3 hst hingga 7 hst, kemudian dilanjutkan dengan fase


perkembangan kotiledon pada umur 7 - 15 hst dan perkembangan kotiledon
menjadi sempurna pada umur 22-30 hst (Pedersen, 2007). Fase pembungaan
dimulai ketika tanaman memasuki umur 30 hst, dan dilanjutkan dengan
pembentukan polong pada umur 40 hst. Polong kedelai terbentuk pada batang
utama yang daunnya telah berkembang sempurna. Setelah itu, tanaman kedelai
memasuki fase pembentukan biji yang dimulai pada saat umur 45 hst sampai
dengan 50 hst yang terjadi bersamaan dengan fase pemasakan polong (Pradoto,
2015). Fase pertumbuhan tanaman kedelai penting untuk diketahui untuk
mengambil keputusan pemberian perlakuan pada tanaman kedelai seperti waktu
pemupukan, penyiangan, pengendalian hama penyakit, penentuan waktu panen,
maupun upaya rekayasa lingkungan yang mendukung kondisi optimal bagi
pertumbuhan dan perkembangan tanaman kedelai. Fase pertumbuhan pada
tanaman kedelai disajikan dalam Gambar 1.

Gambar 1. Fase pertumbuhan tanaman kedelai (Anonymous, 2016b)


Keterangan :
VE (Vegetatif/Epigeous) : Stadium kecambah awal
VC (Cotiledon) : Stadium kecambah akhir
V1 : Stadium vegetatif 1
V2 : Stadium vegetatif 2
V3 : Stadium vegetatif 3
R1 : Stadium reproduktif awal
R3 : Stadium reproduktif
R5 : Stadium pembentukan polong
R8 : Senesens
6

2.2 Kegunaan dan Kandungan Gizi Biji Kedelai


Kedelai merupakan salah satu komoditas kacang-kacangan dengan kadar
protein yang tinggi. Biji kedelai umumnya dikonsumsi oleh masyarakat dalam
bentuk produk olahan yang dibagi menjadi dua kelompok, yaitu dalam bentuk
protein kedelai dan minyak kedelai. Produk protein kedelai terdiri dari susu
kedelai, vetsin, kue, kecap, tempe, tahu, permen, serta bahan industri non
makanan seperti kertas, cat cair, tinta dan tekstil. Sedangkan produk minyak
kedelai terdiri dari gliserida sebagai bahan pembuatan minyak goreng, margarin,
dan bahan lemak yang lain (Anonymous, 2016c).
Biji kedelai diketahui memiliki kandungan gizi yang cukup tinggi, bahkan
pada bulan Oktober 1999 pihak US FDA menyatakan bahwa dengan
mengkonsumsi 25 gram protein yang berasal dari biji kedelai merupakan bagian
dari diet rendah lemak jenuh dan kolesterol. Biji kedelai mengandung asam lemak
jenuh sebesar 60% yang terdiri dari asam linoleat dan linolenat yang dapat
membantu kerja jantung . Kandungan gizi dalam biji kedelai lebih lengkap
disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Kandungan gizi ekstrak biji kedelai
Kandungan gizi Banyaknya dalam :
Kedelai basah Kedelai kering
Kalori 286,00 kal. 331,00 kal.
Protein 30,20 g 34,90 g
Lemak 15,60 g 18,10 g
Karbohidrat 30,10 g 34,80 g
Kalsium 196,00 mg 227,00 mg
Fosfor 506,00 mg 585,00 mg
Zat besi 6,90 mg 8,00 mg
Vitamin A 95,00 S.I. 110,00 mg
Vitamin B1 0,93 mg 1,07 mg
Vitamin C - -
Air 20,00 g 10,00 g
Bagian yang dapat 100,0 % 100,0%
dimakan
(Sumber : Rukmana dan Yuniarsih, 1996)
2.3 Peran dan Pengaruh Air Pada Pertumbuhan dan Hasil Tanaman
Air merupakan salah satu faktor lingkungan yang keberadaannya dapat
membatasi aktivitas metabolisme dan produktivitas tanaman. Produksi biomassa
tanaman dipengaruhi oleh ketersediaan air dalam tanah, karena 80-90% dari berat
7

kering tanaman tersusun atas air. Cekaman air dapat menyebabkan berkurangnya
hasil fotosintesis serta menghambat proses fisiologis yang sedang berlangsung
dalam tubuh tanaman (Harwati, 2007). Pada saat tanaman mengalami cekaman
kekeringan, sebagian dari stomata akan menutup sehingga menghambat masuknya
CO2 ke bagian daun dan menurunkan aktivitas fotosintesis (Ai dan Banyo, 2011).
Kekurangan air pada tanaman disebabkan oleh kurangnya ketersediaan air dalam
tanah sehingga kecepatan absorbsi tidak dapat mengimbangi kehilangan air akibat
transpirasi oleh tanaman sehingga dapat menghambat pertumbuhan tanaman.
Pada tanaman kedelai, jumlah air yang dibutuhkan selama masa
pertumbuhannya ialah sebesar ±500 mm. Fase pembungaan dan pengisian polong
merupakan fase kritis tanaman kedelai terhadap air, sehingga kekurangan air dapat
menyebabkan penurunan hasil (Sasmita et al., 2004). Respon tanaman akibat
cekaman air dapat terlihat dengan adanya penurunan laju pertumbuhan,
berkurangnya luas daun, dan peningkatan rasio tajuk perakaran. Pada fase
vegetatif, kekurangan air akan menyebabkan kecilnya ukuran daun sehingga akan
berpengaruh terhadap serapan cahaya matahari. Penurunan aktivitas fotosintesis
berdampak langsung pada penurunan biomassa tanaman (Solichatun, 2005).
Ketersediaan air dalam tanah dipengaruhi oleh beberapa faktor, yakni suhu udara,
sinar matahari dan kecepatan angin (Nurchaliq, 2013). Oleh kerena itu pentingnya
menjaga ketersediaan air dalam tanah mengingat banyaknya faktor yang dapat
menyebabkan hilangnya air dari tanah seperti limpasan permukaan. Pemberian air
sesuai kebutuhan yakni 500 mm yang diberikan pada 0 HST - 75 HST
memberikan hasil rerata bobot 100 biji sebesar 12,7 g tan-1, dibandingkan dengan
pemberian air yang hanya dilakukan saat 0 HST - 20 HST; setelah itu diberi air
kembali 2 minggu sekali yang hanya menghasilkan bobot 100 biji sebesar 12,0 g
tan-1 (Nugraha et al., 2014).
2.4 Mulsa dan Pengaruhnya Pada Pertumbuhan dan Hasil Tanaman
Mulsa adalah penutup tanah berbahan alami maupun sintetik yang
dihamparkan di atas permukaan tanah, sehingga dapat melindungi tanah dari
terpaan butiran hujan dan daya kikis dari aliran air di permukaan serta mencegah
timbulnya erosi. Pemberian mulsa dapat mempengaruhi suhu, kelembaban, sifat
fisik dan biologi tanah, dan kesuburan tanah (Sutejo, 2002). Umboh (2002)
8

membagi mulsa menjadi dua macam, yaitu mulsa organik dan mulsa anorganik.
Mulsa organik merupakan mulsa alternatif karena bahannya yang mudah
didapatkan. Mulsa organik terdiri dari bahan organik sisa tanaman, diantaranya
adalah jerami padi, batang jagung, brangkasan kacang-kacangan,dan lainnya.
Bahan-bahan tersebut setelah terdekomposisi dapat menambah kesuburan tanah,
memperbaiki struktur tanah, dan meningkatkan kemampuan tanah dalam
mengikat air (Sudjianto dan Krestiani, 2009). Sedangkan mulsa anorganik yang
umumnya digunakan oleh petani ialah mulsa plastik.
Umboh (2002), mengemukakan bahwa pemakaian mulsa organik memiliki
beberapa kelebihan, yakni mampu mengkonservasi tanah dengan menekan laju
evaporasi, menghambat pertumbuhan gulma, dapat menurunkan suhu tanah
karena memiliki konduktivitas panas yang rendah dibandingkan dengan mulsa
jenis lainnya, sehingga panas yang sampai pada permukaan tanah menjadi lebih
rendah, diperoleh dengan mudah, mampu memberikan penambahan bahan
organik ke dalam tanah karena sifatnya yang dapat melapuk. Namun, pemakaian
mulsa organik juga memiliki kekurangan yakni ketersediaannya yang tidak
tersedia sepanjang musim. Sebaliknya dengan mulsa organik, mulsa anorganik
ketersediannya melimpah karena diproduksi oleh pabrik dalam jumlah banyak.
Mulsa plastik memiliki efek yang berbeda pada suhu tanah tergantung pada jenis
bahan plastiknya. Selain itu mulsa plastik dapat menghambat pergerakan air dan
udara dalam tanah sehingga tidak dianjurkan untuk digunakan pada lahan dengan
drainase buruk. Dalam usaha konservasi air dan tanah, mulsa organik lebih
dianjurkan karena sifatnya yang memiliki konduktivitas panas yang rendah
sehingga menghambat proses evaporasi oleh tanah. Hal ini jauh lebih baik
dibandingkan dengan aplikasi mulsa anorganik, maupun pembenaman bahan
organik dalam tanah (Scott, 2007).
Jerami padi merupakan salah satu contoh mulsa organik yang banyak
digunakan oleh petani di Indonesia, ketersediannya yang melimpah hingga
mencapai 30 juta ton/tahun menjadikannya sebagai bahan mulsa yang potensial
(Gambar 2) (Suhartini dan Adisarwanto, 1996). Jerami padi memiliki kelebihan
yaitu memiliki kandungan unsur hara yang cukup banyak, dapat menurunkan suhu
tanah, menekan erosi, menghambat pertumbuhan gulma, menambah bahan
9

organik dan nitrogen ke dalam tanah (Pradana et al., 2014). Pemberian mulsa
jerami pada permukaan tanah umumnya menggunakan dua cara yaitu dicacah atau
tanpa dicacah. Mulsa jerami cacah memiliki ukuran kecil sehingga memiliki
kerapatan yang tinggi. Kerapatan mulsa yang tinggi memiliki kemampuan yang
baik dalam mempertakan kadar air tanah. Pemberian mulsa jerami sebagai bahan
penutup tanah, mampu meningkatkan kadar air tanah sebesar 17,17% hingga
27,02% (Zulvica, 1990). Pencacahan mulsa mampu memberikan hasil rerata suhu
yang rendah, seperti yang dikemukakan oleh Dvorak et al. (2012) bahwa
pemberian mulsa rumput cacah menghasilkan rerata suhu sebesar 15,0oC yang
diukur pada kedalaman 100 mm dibawah permukaan tanah. Pencacahan berkaitan
dengan kerapatan mulsa, dimana semakin tinggi kerapatannya maka kemampuan
mulsa dalam melindungi permukaan tanah dari sinar matahari akan semakin baik.
Pemberian mulsa jerami menghasilkan produksi umbi bawang putih sebesar 4,41
ton ha-1 dibandingkan dengan perlakuan tanpa mulsa yang hanya sebesar 3,64 ton
ha-1 (Widyasari et al., 2011).

Gambar 2. Aplikasi Mulsa Jerami di Lahan (Cyber Extention, 2014)


Contoh lain dari mulsa organik adalah mulsa batang kacang tanah, dengan
panjang antara 30 cm – 50 cm. Batang kacang tanah dilengkapi dengan bulu
halus dan empat anak daun yang menyirip (Ratnaputri, 2008). Kacang tanah
termasuk kedalam tanaman legum yang memiliki kandungan nitrogen lebih tinggi
dibandingkan dengan tanaman jenis lainnya. Ditinjau dari kemampuannya, mulsa
organik batang kacang tanah mampu memberikan masukan unsur nitrogen ke
dalam tanah yang lebih baik dibandingkan dengan mulsa organik jenis lainnya.
Melalui perannya sebagai pengendali gulma, mulsa secara langsung dapat
mencegah evaporasi pada permukaan tanah karena keberadaan gulma mampu
meningkatkan tingkat evaporasi sebesar 25% pada saat musim kemarau, serta air
10

yang menguap dari permukaan tanah ditahan oleh mulsa dan kembali ke dalam
tanah. Pada malam hari, mulsa dapat meningkatkan temperatur minimum karena
mulsa mencegah pelepasan panas yang dilepaskan oleh tanah. Peningkatan hasil
pertanian seringkali disebabkan oleh temperatur tanah yang rendah, hal ini dapat
diwujudkan melalui aplikasi mulsa (Safuan, 2002 dalam Sulem, 2009). Oleh
karena itu, kehilangan air di lahan yang ditanami hanya diakibatkan karena proses
evapotranspirasi oleh tanaman utama. Pada tanaman cabai besar, aplikasi mulsa
organik berpengaruh terhadap bobot segar buah per tanaman. Perlakuan mulsa
jerami menghasilkan rata-rata bobot segar buah sebesar 319,38 g dibandingkan
dengan perlakuan tanpa mulsa dengan bobot buah segar sebesar 215,63 g
(Damaiyanti et al., 2013).

2.5 Pengaruh Ketebalan Mulsa Pada Pengendalian Suhu, Evaporasi dan


Kelembaban Tanah
Lapisan mulsa yang tebal efektif dalam meningkatkan kadar air tanah, hal
ini didukung oleh penelitian yang menyatakan bahwa penggunaan mulsa organik
mampu meningkatkan kadar air dalam tanah dan menurunkan suhu tanah
dibandingkan dengan plot yang tidak menggunakan mulsa (Sinkeviciene et al.,
2009). Lapisan mulsa jerami setebal 1,5 inch (3,81 cm) mampu mengurangi
penguapan sebesar 35% dibandingkan dengan tanah tanpa mulsa, hal ini
dimungkinkan karena mulsa melindungi tanah dari sengatan cahaya matahari
secara langsung sehingga suhu dalam tanah tetap rendah dan air yang menguap
dari tanah dapat diminimalkan karena akan ditahan oleh lapisan mulsa dan
dikembalikan ke dalam tanah.
Aplikasi mulsa jerami terbukti mampu meningkatkan kadar air tanah pada
kedalaman 20-80 cm di bawah permukaan tanah, sehingga penggunaan air oleh
tanaman menjadi lebih efisien (Shen, 2009). Semakin tebal lapisan mulsa maka
energi matahari yang diterima oleh permukaan tanah semakin sedikit sehingga
dapat menekan proses hilangnya air dari tanah akibat evaporasi dan menciptakan
kondisi yang sesuai bagi pertumbuhan akar tanaman. Ketersediaan air yang
rendah dalam tanah akan memicu pembentukan perakaran yang luas, karena akar
tanaman tumbuh mengikuti sumber air dalam tanah. Daerah perakaran
membutuhkan suhu yang lebih rendah untuk pertumbuhannya dibandingkan
11

dengan pertumbuhan daerah ujung tanaman (Prasetyo et al., 2014). Sulem (2009)
menginformasikan bahwa, pemberian mulsa jerami padi dan sekam padi dengan
ketebalan 6 cm menunjukkan penurunan suhu tanah maksimum dari 20 hst hingga
60 hst. Pengukuran suhu tanah pada 0 hst menghasilkan nilai rerata suhu
maksimum sebesar 29,33oC dan terus mengalami penurunan hingga pada 60 hst,
nilai rerata suhu maksimum menjadi 25,33oC. Begitu pula dengan mulsa sekam,
yakni pada 0 hst sebesar 29,33 oC dan pada 60 hst 25,00 oC. Sedangkan pada
perlakuan kontrol atau tanpa mulsa, suhu tanah pada 20 hst sebesar 31,67oC dan
tidak mengalami penurunan suhu yang signifikan pada 60 hst sebesar 30,00 oC.
Widyasari et al., (2011), menginformasikan bahwa pemberian mulsa
jerami 12 ton ha-1 pada tanaman kedelai menghasilkan kelembaban minimal dan
maksimal masing-masing sebesar 47,22% dan 49,44% dibandingkan dengan
perlakuan tanpa mulsa dengan kelembaban minimal dan maksimal masing-masing
sebesar 20,00% dan 22,22%. Kondisi tanah dengan kelembaban yang tinggi dapat
menciptakan kondisi yang optimal bagi pertumbuhan tanaman. Pemberian mulsa
organik sebanyak 12 ton ha-1 juga diketahui mampu menurunkan suhu tanah
5,4oC, dan 2 ton ha-1 menurunkan suhu tanah 3,3oC (Prasetyo et al., 2014). Sulem
et al. (2009) menyebutkan bahwa penggunaan mulsa dengan ketebalan 4 cm dan 6
cm pada tanaman kedelai, diperoleh rata-rata biji per hektar sebesar 0,58 ton
(60%) dan 0,92 ton (94%).
2.6 Pencacahan Mulsa Organik

Mulsa organik adalah suatu material penutup tanah untuk menjaga


kelembaban tanah dan suhu tanah serta menekan pertumbuhan gulma. Mulsa
digolongkan menjadi dua macam yakni mulsa organik dan mulsa anorganik.
Mulsa organik berasal dari bahan-bahan alami yang mudah terurai seperti sisa-sisa
tanaman yang tidak memiliki nilai ekonomis seperti jerami, brangkasan kacang-
kacangan, sekam, alang-alang, dan lain-lainnya. Sedangkan mulsa anorganik
terbuat dari bahan-bahan yang sukar terdekomposisi, contohnya adalah mulsa
plastik. Aplikasi mulsa organik pada permukaan lahan umumnya diberikan
dengan dua cara yakni mulsa utuh dan mulsa cacah. Fungsi dari pencacahan mulsa
adalah untuk memudahkan dalam penyebaran mulsa secara merata pada
permukaan tanah serta menciptakan ukuran mulsa yang lebih kecil (Pradana et al.,
12

2015). Ukuran mulsa yang lebih kecil akan menghasilkan kerapatan yang lebih
tinggi sehingga kemampuannya dalam melindungi tanah dari paparan sinar
matahari lebih baik bila dibandingkan dengan mulsa dengan ukuran yang lebih
besar. Apabila energi matahari yang diterima oleh permukaan tanah rendah maka
laju evaporasi berjalan lebih lambat sehingga kelembaban tanah yang dihasilkan
adalah tinggi dan suhu tanah yang dihasilkan adalah rendah yang
mengindikasikan bahwa kandungan air yang tersimpan dalam tanah adalah tinggi.
Hal ini sesuai dengan hasil penelitian milik Pradana et al., (2015), pemberian
mulsa paitan cacah pada siang dan sore hari mampu menurunkan suhu masing-
masing sebesar 0,46oC dan0,05oC dibandingkan dengan mulsa paitan utuh. Sulem
et al., (2009) menyatakan bahwa mulsa sekam pada ketebalan 6 cm memberikan
rerata suhu tanah siang hari yang lebih rendah yakni 25,00oC dibandingkan
dengan mulsa jerami dan mulsa paitan pada ketebalan yang sama yakni 25,33oC
dan 26,33oC. Sedangkan pada kelembaban tanah siang hari mulsa sekam dan
mulsa jerami pada ketebalan 6 cm menghasilkan kelembaban tanah yang lebih
rendah yakni 40,67% dibandingkan dengan mulsa paitan dengan ketebalan yang
sama yakni 40,00%. Hal ini disebabkan karena mulsa paitan memiliki ukuran
yang lebih besar dibandingkan dengan mulsa jerami dan mulsa sekam sehingga
kerapatan yang dihasilkan adalah lebih renggang dan kemampuannya dalam
menghambat laju evaporasinya lebih lemah jika dibandingkan dengan mulsa
sekam dan mulsa jerami.

Anda mungkin juga menyukai