BAB II (Pembahasan)
BAB II (Pembahasan)
PEMBAHASAN
1. TUNAGRAHITA.
A. Pengertian Tunagrahita
Banyak terminologi (istilah) yang digunakan untuk menyebut mereka
yang kondisi kecerdasannya di bawah rata-rata. Dalam bahasa Indonesia, istilah
yang pernah digunakan, misalnya lemah otak, lemah ingatan, lemah pikiran,
retardasi mental, terbelakang mental, cacat grahita, dan tunagrahita. Dalam
Bahasa asing (Inggris) dikenal dengan istilah mental retardation, mental
deficiency, mentally handicapped, feebleminded, mental subnormality (Moh.
Amin, 1995: 20). Istilah lain yang banyak digunakan adalah intellectually
handicapped dan intellectually disabled.
Beragamnya istilah yang digunakan disebabkan oleh perbedaan latar
belakang keilmuan dan kepentingan para ahli yang mengemukakannya. Namun
demikian, semua istilah tersebut tertuju pada pengertian yang sama, yaitu
menggambarkan kondisi terlambat dan terbatasnya perkembangan kecerdasan
seseorang sedemikian rupa jika dibandingkan dengan rata-rata atau anak pada
umumnya disertai dengan keterbatasan dalam perilaku penyesuaian. Kondisi ini
berlangsung pada masa perkembangan.
Definisi yang dirumuskan Grossman (1983) yang secara resmi digunakan
AAMD (American Association on Mental Deficiency) mengenai tunagrahita
sebagai berikut. “Mental retardation refers to significantly subaverage general
intellectual functioning resulting in or adaptive behavior and manifested during
the developmental period.” (Hallahan & Kauffman, 1988: 47) Artinya,
ketunagrahitaan mengacu pada fungsi intelektual umum yang secara nyata
(signifikan) berada di bawah rata-rata (normal) bersamaan dengan kekurangan
dalam tingkah laku penyesuaian diri dan semua ini berlangsung (termanifestasi)
pada masa perkembangannya.
B. Ciri-Ciri Tunagrahita
Ciri-ciri anak tuna grahita secara fisik dalam Sandra(2010), antara lain;
1) penampilan fisik tidak seimbang, misalnya kepala terlalu kecil/besar;
2) pada masa pertumbuhannya tidak mampu mengurusdirinya sendiri;
3) terlambat dalam perkembangan bicara dan bahasa;
4) tidak perhatian terhadaplingkungan;
5) koordinasi gerakan kurang;
6) hipersalivasi.
Tingkah laku adaptif yang dimaksud pada anak tuna grahita adalah berupa
kemampuan komunikasi, merawat diri, menyesuaikan dalam ke-hidupan rumah,
keterampilan sosial, pemanfaatansarana umum, mengarahkan diri sendiri, area ke-
sehatan dan keamanan, fungsi akademik, pengisianwaktu luang, dan kerja.
C. Jenis-Jenis Tunagrahita
Pengelompokan anak tunagrahita pada umumnya berdasarkan pada taraf
intelegensinya. Menurut Somantri (2006), anak tunagrahita dapat diklasifikasikan
dalam tiga kelompok, yaitu:
a. Tunagrahita Ringan
Tunagrahita ringan disebut juga maron atau debil. Kelompok ini memiliki
IQ antara 68-52 menurut Binet. Sedangkan menurut Skala Weschler (WISC)
Anak tunagrahita ringan merupakan salah satu klasifikasi anak tunagrahita yang
memiliki kecerdasan intelektual/ IQ 69-55. Mereka masih dapat belajar membaca,
menulis, dan berhitung sederhana sampai tingkat tertentu. Biasanya hanya sampai
pada kelas IV sekolah dasar (SD).
Melalui bimbingan dan pendidikan yang baik, anak terbelakang mental
ringan pada saatnya dapat memperoleh penghasilan untuk dirinya sendiri. Anak
terbelakang mental ringan dapat dilatih menjadi tenaga kerja semi-skilled seperti
pekerjaan laundry, pertanian, peternakan, pekerjaan rumah tangga, bahkan jika
dilatih dan bimbingan dengan baik anak tunagrahita ringan dapat bekerja di
pabrik-pabrik dengan sedikit pengawasan.
b. Tunagrahita Sedang
Anak tunagrahita sedang disebut juga imbesil. Kelompok ini memiliki IQ
51-36 menurut Skala Binet dan 54-40 menurut Skala Weschler (WISC). Anak
terbelakang mental sedang bisa mencapai perkembangan MA sampai kurang lebih
7 tahun. Mereka dapat didik mengurus diri sendiri, melindungi diri sendiri dari
bahaya seperti menghindari kebakaran, berjalan dijalan raya, berlindung dari
hujan, dan sebagainya.
Anak tunagrahita sedang sangat sulit bahkan tidak dapat belajar secara
akademik seperti menulis, membaca, dan berhitung walaupun mereka masih dapat
menulis secara sosial, misalnya menulis namanya sendiri, Alamat Rumahnya, dan
lain-lain. Masih dapat dididik mengurus diri, seperti mandi, berpakaian, makan,
minum, mengerjakan pekerjaan rumah tangga, dan sebagainya. Dalam kehidupan
sehari-hari, anak tunagrahita sedang membutuhkan pengawasan yang terus-
menerus. Mereka juga masih dapat bekerja ditempat kerja terlindung (sheltered
workshop).
c. Tunagrahita Berat
Kelompok anak tunagrahita berat sering disebut idiot. Kelompok ini dapat
dibedakan lagi antara anak tunagrahita berat dan sangat berat. Tunagrahita berat
(severe) memiliki IQ antara 32-20 menurut Skala Binet dan antara 39-25 menurut
Skala Weschler (WISC). Tunagrahita sangat berat (profound) memiliki IQ
dibawah 19 menurut Skala Binet dan IQ dibawah 24 menurut Skala Weschler
(WISC). Kemampuan mental atau MA maksimal yang dapat dicapai kurang dari
tiga tahun atau empat tahun.
Anak tunagrahita berat memerlukan bantuan perawatan secara total dalam
berpakaian, mandi, makan, dan lain-lain. Bahkan mereka memerlukan
perlindungan dari bahaya sepanjang hidupnya. Perawatan khusus dan keikhlasan
dari keluarga sangat dibutuhkan oleh mereka. Biasanya keadaan idiot ini diikuti
dengan berbagai kelainan dan kelemahan dalam fungsi tubuh lainnya. Mereka
perlu perawatan khusus dan dibantu dalam setiap aktivitasnya. Untuk bertahan
hidup saja rasanya membutuhkan banyak bantuan.
Menurut Aqila (2010), selain dibedakan berdasarkan tingkat
intelegensinya, anak tunagrahita juga diklasifikasikan berdasarkan tipe klinis,
yaitu sebagai berikut:
b. Kretin
Dalam bahas Indonesia disebut kate atau cebol. Ciri-cirinya: badan gemuk
dan pendek, kaki dan tangan pendek dan bengkok, badan dingin, kulit kering,
tebal dan keriput, rambut kering, lidah dan bibir tebal, kelopak mata, telapak
tangan, dan kuduk tebal, pertumbuhan gigi terlambat, serta hidung lebar.
c. Hydrocypal
Anak ini memiliki ciri-ciri: kepala besar, raut muka kecil, tengkoraknya
ada yang membesar ada yang tidak, pandangan dan pendengaran tidak sempurna,
mata kadang-kadang juling.
a. Faktor keturunan
Penyebab kelainan yang berkaitan dengan faktor keturunan meliputi hal-hal
berikut.
1. Kelainan kromosom, dapat dilihat dari bentuk dan nomornya. Dilihat dari
bentuknya dapat berupa inversi(kelainan yang menyebabkan berubahnya
urutan gene karena melilitnya kromosom; delesi(kegagalan meiosis,yaitu
salah satu pasangan tidak membelah sehingga terjadi kekurangan
kromosom pada salah satu sel); duplikasi(kromosom tidak berhasil
memisahkan diri sehingga terjadi kelebihan kromosom pada salah satu sel
yang lain); translokasi(adanya kromosom yang patah dan patahannya
menempel pada kromosom lain)
2. Kelainan Gene. Kelainan ini terjadi pada waktu mutasi, tidak selamanya
tampak dari luar (tetapdalam tingkat genotif). Ada 2 hal yang perlu
diperhatikan untuk memahaminya,yaitu kekuatan kelainan tersebut dan
tempat gena (locus) yang mendapat kelainan
f. Faktor lingkungan
Banyak faktor lingkungan yang diduga menjadi penyebab terjadinya
ketunagrahitaan. Telah banyak penelitian yang dilakukan untuk membuktikan hal
ini, salah satunya adalah temuan Patton & Polloway (1986:188) bahwa
bermacam-macam pengalaman negatif atau kegagalan dalam melakukan interaksi
yang terjadi selama periode perkembangan menjadi salah satu penyebab
ketunagrahitaan. Studi yang dilakukan Kirk (Triman Prasadio, 1982:25)
menemukan bahwa anak yang berasal dari keluarga yang tingkat sosial
ekonominya rendah menunjukkan kecenderungan mempertahankanmentalnya
pada taraf yang sama, bahkan prestasi belajarnya semakin berkurang dengan
meningkatnya usia.
Baik struktur maupun fungsi tubuh pada umumnya anak tunagrahita kurang dari
anak normal. Mereka baru dapat berjalan dan berbicara pada usia yang lebih tua dari anak
normal. Sikap dan gerakannya kurang indah, bahkan diantaranya banyak yang mengalami
cacat bicara. Pendengaran dan penglihatannya banyak yang kurang sempurna. Kelainan
ini bukan pada organ tetapi pada pusat pengolahan di otak sehingga mereka melihat,
tetapi tidak memahami apa yang dilihatnya, mendengar, tetapi tidak memahami apa yang
didengarnya. Bagi anak tunagrahita yang berat dan sangat berat kurang merasakan sakit,
bau badan tidak enak, badannya tidak segar, tenaganya kurang mempunyai daya tahan
dan banyak yang meninggal pada usia muda. Mereka mudah terserang penyakit karena
keterbatasan dalam memelihara diri, serta tidak memahami cara hidup sehat.
i. Intervensi Tunagrahita
2. TUNALARAS.
A. Pengertian Tunalaras.
Pengertian Tunalaras adalah anak yang mengalami hambatan emosi dan tingkah
laku sehingga kurang dapat atau mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan
baik terhadap lingkungannya dan hal ini akan mengganggu situasi belajarnya” (Somantri.
2006:140)
Anak tunalaras termasuk dari anak berkebutuhan khusus. Kebutuhan khususnya
terletak pada hambatan mereka dalam mengontrol emosi dan perilaku, sehingga
menghambat hubungan sosial. Pada istilah internasional, anak tunalaras disebut sebagai
Children with BESD (Behavioral, Emotional, and Social Disorder) (Cole & Knowless,
2011). Istilah tersebut menggambarkan kondisi emosi dan perilaku yang bermasalah
tampak dalam hubungan interpersonal, hubungan sosial, dan bahkan menggambarkan
masalah mereka dalam mengelola diri sendiri.
Kelainan perilaku atau tunalaras sosial adalah mereka yang mengalami kesulitan
untuk menyesuaikan diri terhadap lingkungan, tatatertib, norma sosial, dan lain-lain.
Manifestasi dari mereka yang dikategorikan dalam kelainan perilaku sosial ini , misalnya
kompensasi berlebihan, sering bentrok dengan lingkungan, pelanggaran hukum/norma
maupun kesopanan (Amin & Dwidjosumarto, 1979).
Mackie (1957) mengemukakan, bahwa anak yang termasuk dalam kategori
kelainan perilaku sosial adalah anak yang mempunyai tingkah laku yang tidak sesuai
dengan adat kebiasaan yang berlaku di rumah, di sekolah, dan di masyarakat
lingkungannya (dalam Kirk,1970). Hal yang lebih penting dari itu adalah akibat tindakan
atau perbuatan yang dilakukan merugikan diri sendiri maupun orang lain.
B. Ciri-Ciri Anak Tunalaras.
Beberapa ahli mengemukakan ciri-ciri anak tunalaras, yang membedakan mereka
dari anak-anak normal yang tidak mengalami gangguan emosi dan penyimpangan
perilaku. Menurut Yusuf (2014), anak yang mengalami gangguan emosi dan perilaku
(tunalaras), memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a. Cenderung membangkang.
b. Mudah terangsang emoisnya/ emosional/ mudah marah.
c. Sering melakukan tindakan agresif, merusak, atau mengganggu.
d. Sering bertindak melanggar norma sosial/ norma Susila/ hukum.
e. Prestasi belajar dan motivasinya cenderung rendah, sering bolos atau jarang
masuk sekolah.
Ciri-ciri anak tunalaras juga dikemukakan oleh Hewaard dan Orlansky (1988, dalam
Mahabbati 2012) sebagai berikut.
a. Tipe tingkah laku tidak wajar dalam situasi normal.
b. Hambatan belajar bukan karena intelektual, indrawi, kesehatan.
c. Terganggunya hubungan sosial.
d. Depresi, tidak bahagia pada usia kanak-kanak.
e. Merasa takut dan menghindari problem personal atau akademik.
Putri (2010, dalam Anarimah 2012) mengemukakan bahwa anak tunalaras adalah anak
yang;
a. mempunyai tingkah laku berlainan;
b. tidak memiliki sikap yang dewasa;
c. melakukan pelanggaran norma-norma sosial dengan frekuensi yang cukup
besar;
d. tidak/ kurang mempunyai toleransi kepada orang lain/ kelompok;
e. mudah terpengaruh oleh suasana sehingga menimbulkan kesulitan bagi dirinya
sendiri serta orang lain.
Heward & Orlansky (1988) dalam Sunardi (1996) menyebutkan bahwa seseorang
dikatakan mengalami gangguan perilaku apabila memiliki satu atau lebih dari lima
karakteristik berikut dalam kurun waktu yang lama, yaitu:
a. Ketidakmampuan untuk belajar yang bukan disebabkan oleh faktor
intelektualitas, alat indra maupun kesehatan.
b. Ketidakmampuan untuk membangun atau memelihara kepuasan dalam
menjalin hubungan dengan teman sebaya dan pendidik.
c. Tipe perilaku yang tidak sesuai atau perasaan yang di bawah keadaan normal.
d. Mudah terbawa suasana hati (emosi labil), ketidakbahagiaan, atau depresi.
e. Kecenderungan untuk mengembangkan simptom-simptom fisik atau ketakutan-
ketakutan yang diasosiasikan dengan permasalahan-permasalahan pribadi atau
sekolah.
C. Karakteristik Anak Tunalaras
Karakteristik Tunalaras :
Bersikap membangkang, Mudah terangsang emosinya/emosional/mudah marah,
Sering melakukan tindakan agresif, merusak, mengganggu, Sering bertindak melanggar
norma sosial/norma susila/ hukum.
Pada hakekatnya, anak-anak tunalaras memiliki kemampuan intelektual yang
normal, atau tidak berada di bawah rata-rata. Kelainan lebih banyak banyak terjadi pada
perilaku sosialnya. Beberapa karakteristik yang menonjol dari anak-anak berkebutuhan
khusus yang mengalami kelainan perilaku sosial ini adalah:
1. Karakteristik umum
• Mengalami gangguan perilaku; suka berkelahi, memukul, menyerang, merusak
milik sendiri atau orang lain, melawan, sulit konsentrasi, tidak mau bekerjasama,
sok aksi, ingin menguasai oranglain, mengancam, berbohong, tidak bisa diam,
tidak dapat dipercaya, suka mencuri, mengejek, dan sebagainya.
• Mengalami kecemasan; kawatir, cemas, ketakutan, merasa tertekan, tidak mau
bergaul, menarik diri, kurang percaya diri, bimbang, sering menangis, malu, dan
sebagainya.
• Kurang dewasa; suka berfantasi, berangan-anagan, mudah dipengaruhi, kaku,
pasif, suka mengantuk, mudah bosan, dan sebagainya
• Agresif; memiliki gang jahat, suka mencuri dengan kelompoknya, loyal
terhadap teman jahatnya, sering bolos sekolah, sering pulang larut malam, dan
terbiasa minggat dari rumah.
2. Karakteristik Sosial /emosi
• Sering melanggar norma masyarakat
• Sering mengganggu dan bersifat agresif
• Secara emosional sering merasa rendah diri dan mengalami kecemasan
3. Karakteristik akademik
• Hasil belajarnya seringkali jauh di bawah rata-rata
• Seringkali tidak naik kelas
• Sering membolos sekolah
• Seringkali melanggar peraturan sekolah dan lalulintas.
D. Jenis-jenis Anak Tunalaras.
Anak tunalaras terbagi menjadi 2 jenis, yaitu anak tunalaras yang terlalu aktif dan
anak tunalaras yang terlalu pasif, dimana masing-masing dari mereka memiliki potensi
dan intelegensia yang sama dengan anak-anak normal. Anak tunalaras dengan gangguan
emosi, atau tunalaras aktif, memiliki kecenderungan ingin menguasai dan mengontrol
segala sesuatu di sekitarnya. Pergaulannya terbilang tidak ramah, karena sering kali
melakukan kekerasan terhadap teman sebayanya, terutama pada anak tunalaras pasif.
Sedangkan masalah pada anak tunalaras dengan gangguan sosial, atau tunalaras pasif,
adalah sulitnya mereka untuk bersosialisasi. Mereka cenderung merasa tidak berguna,
adanya perasaan rendah diri, dan tidak percaya diri. Hal ini mengakibatkan mereka lebih
suka menyendiri. Tingkat konsentrasi mereka pun rendah karena mereka merasa rendah
diri dan tidak mampu, sehingga mempengaruhi nilai akademis dan kehidupan sosial
mereka.
Penggolongan anak tuna laras dapat ditinjau dari dua segi yaitu: gangguan atau hambatan
dan kualifikasi berat ringannya kenakalan, dengan penjelasan sebagai berikut:
1) Menurut jenis gangguan atau hambatan
a. Gangguan Emosi
Anak tunalaras yang mengalami hambatan atau gangguan emosi terwujud dalam
tiga jenis perbuatan, yaitu: senang-sedih, lambat cepat marah, dan relaks-tertekan.
Secara umum emosinya menunjukkan sedih, cepat tersinggung atau marah, rasa
tertekan dan merasa cemas. Gangguan atau hambatan terutama tertuju pada
keadaan dalam dirinya.
Macam-macam gejala hambatan emosi, yaitu:
1. Gentar, yaitu suatu reaksi terhadap suatu ancaman yang tidak disadari, misalnya
ketakutan yang kurang jelas obyeknya.
2. Takut, yaitu rekasi kurang senang terhadap macam benda, mahluk, keadaan atau waktu
tertentu. Pada umumnya anak merasa takut terhadap hantu, monyet, tengkorak dan
sebagainya.
3. Gugup/nervous, yaitu rasa cemas yang tampak dalam perbuatan-perbuatan
aneh.Gerakan-gerakan aneh itu seperti;
• Gerakan pada mulut seperti menyedot jari, gigit jari dan menjulurkan lidah.
• Gerakan aneh sekitar hidung, seperti mencukil hidung, mengusap-usap atau
menghisutkan hidung.
• Gerakan sekitar jari seperti mencukil kuku, melilit-lilit tangan atau mengepalkan
jari
• Gerakan sekitar rambut seperti, mengusap-usap rambut, mencabuti atau
mencakar rambut.
• Demikian pula gerakan-gerakan seperti menggosokmenggosok, mengedip-
ngedip mata dan mengrinyitkan muka dan sebagainya.
4. Sikap iri hati yang selalu merasa kurang senang apabila orang lain memperoleh
keuntungan dan kebahagiaan.
5. Perusak, yaitu memperlakukan bedan-benda di sekitarnya menjadi hancur dan tidak
berfungsi.
6. Malu, yaitu sikap yang kurang matang dalam menghadapi tuntunan kehidupan. Mereka
kurang berani menghadapi kenyataan pergaulan.
7. Rendah diri, yaitu sering minder yang mengakibatkan tindakannya melanggar hukum
karena perasaan tertekan.
b. Gangguan Sosial
Anak ini mengalami gangguan atau merasa kurang senang menghadapi pergaulan.
Mereka tidak dapat menyesuaikan diri dengan tuntutan hidup bergaul. Gejala
perbuatan itu seperti sikap bermusuhan, agresif, bercakap kasar, menyakiti hati
orang lain, keras kepala, menentang menghina orang lain, berkelahi, merusak
milik orang lain dan sebagainya. Perbuatan mereka terutama sangat mengganggu
ketenteraman dan kebahagiaan orang lain.
Beberapa data tentang anak tuna laras dengan gangguan sosial antara lain adalah:
1. Mereka datang dari keluarga ‘kurang harmonis’ (broken home) atau yang sering kena
marah karena kurang diterima oleh keluarganya.
2. Biasa dari kelas sosial rendah berdasarkan kelas-kelas sosial.
3. Anak yang mengalami konflik kebudayaan yaitu, perbedaan pandangan hidup antara
kehidupan sekolah dan kebiasaan pada keluarga.
4. Anak berkecerdasan rendah atau yang kurang dapat mengikuti kemajuan pelajaran
sekolah.
5. Pengaruh dari kawan sekelompok yang tingkah lakunya tercela dalam masyarakat.
6. Dari keluarga miskin.
7. Dari keluarga yang apatis (sibuk dirinya masing-masing) sehingga hubungan kasih
sayang dan batin hanya bersifat perkara.
Salah satu contoh, kita sering mendengar anak delinkwensi. Sebenarnya anak
delinkwensi merupakan salah satu bagian anak tuna laras dengan gangguan karena sosial
perbuatannya menimbulkan kegoncangan ketidak bahagiaan/ketidak tentraman bagi
masyarakat. Perbuatannya termasuk pelanggaran hukum seperti perbuatan mencuri,
menipu, menganiaya, membunuh, mengeroyok, menodong, mengisap ganja, anak
kecanduan narkotika dan sebagainya.
E. Faktor Penyebab Tunalaras Menurut Deden Saeful Hidayat dan Wawan (2013: 36-
51 ) factor penyebab terjadinya ketunalarasan dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu :
1) Faktor internal
a) Kondisi/keadaan fisik
Yang dinyatakan secara langsug dalam ciri-ciri kepribadian atau secara tidak
langsung dalam reaksi menghadapi kenyataan memiliki implikasi bagi
penyesuaian diri seseorang.
b) Masalah perkembangan
Anak biasanya dapat mengatasi krisis ekonomi atau tantangan jika pada dirinya
tumbuh kemampuan baru yang berasal dari adanya proses kematangan yang
menyertai perkembangan. Apabila ego dapat mengatasi masalah krisis ini, maka
perkembangan ego yang matang akaan terjadi sehingga individu dapat
menyesuiakan dirinya dengan lingkungannya.
c) Keturunan
Memberikan baanyak bukti yang dilahirkan dalam keadaan abnormal berasal dari
keturunan yang abnormal. Keabnormalan perilaku menyimpang yang dilakukan
oleh orang tuanya memberikan konstribusi ketunalarasan kepada generasi
berikutnya.
d) Faktor psikologis
Seorang yang mengalami kesulitan memecahkan persoalan akan menimbulkan
perasaan frustasi. Bagi individuyang memiliki stabilitas kepribadian yang baik,
konflik psikologis tersebut dapat diselesaikan dengan baik.
e) Faktor biologis
Anak lahir dengan kondisi fisik biologis tertentu akan menentukan style perilaku
(temperamen). Anak yang mengalami kesulitan menempatkan temperamennya,
akan memberikan kecenderugan untuk berkembangnya kondisi kelainan perilaku
dan emosi. 2) Faktor eksternal
a. Factor psikososial
Pengamlaman tidak menyenangkan pada usia awal mengakibatkan anak menjadi
tertekan dan secara tidak disadari berpengaruh pada penyimpangan perilaku.
b. Lingkungan keluarga
Lingkungan keluarga yang tidak mampu memberikan dasar perasaan aman dan
dasar untuk perkembangan social dapat menimbulkan gangguan emosi dan
tingkah laku pada anak. faktor yang terdapat dalam keluarga yang berkaitan
dengan gangguan emosi dan tingkah laku, antara lain yaitu : kasih sayang dan
perhatian, keharmonisan keluarga, kondisi ekonomi, lingkungan sekolah, dan
lingkungan masyarakat.
https://journal.uny.ac.id/index.php/dinamika-pendidikan/article/view/2851.
Suparno dan Heri Purwanto. 2007. Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus. Departemen
Pendidikan Nasional, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi.
Achroni, Keen. 2018. Lebih Dekat dengan Anak Tunalaras. Jogjakarta: Trans Idea
Publishing.
Purba, B. S., Muchamad, I., & Dian, P. D. (2018). Kajian Penanganan Terhadap Anak
Berkebutuhan Khusus. Abadimas Adi Buana. 02(1): 13-17.
Deden Saeful Hidayat dan & Wawan. (2013). Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus
Tunalaras; Peserta Didik Berkebutuhan Khusus dengan Hambatan Perilaku, Emosi, dan
Sosial . Jakarta: Luxima.