Anda di halaman 1dari 23

BAB II

PEMBAHASAN
1. TUNAGRAHITA.

A. Pengertian Tunagrahita
Banyak terminologi (istilah) yang digunakan untuk menyebut mereka
yang kondisi kecerdasannya di bawah rata-rata. Dalam bahasa Indonesia, istilah
yang pernah digunakan, misalnya lemah otak, lemah ingatan, lemah pikiran,
retardasi mental, terbelakang mental, cacat grahita, dan tunagrahita. Dalam
Bahasa asing (Inggris) dikenal dengan istilah mental retardation, mental
deficiency, mentally handicapped, feebleminded, mental subnormality (Moh.
Amin, 1995: 20). Istilah lain yang banyak digunakan adalah intellectually
handicapped dan intellectually disabled.
Beragamnya istilah yang digunakan disebabkan oleh perbedaan latar
belakang keilmuan dan kepentingan para ahli yang mengemukakannya. Namun
demikian, semua istilah tersebut tertuju pada pengertian yang sama, yaitu
menggambarkan kondisi terlambat dan terbatasnya perkembangan kecerdasan
seseorang sedemikian rupa jika dibandingkan dengan rata-rata atau anak pada
umumnya disertai dengan keterbatasan dalam perilaku penyesuaian. Kondisi ini
berlangsung pada masa perkembangan.
Definisi yang dirumuskan Grossman (1983) yang secara resmi digunakan
AAMD (American Association on Mental Deficiency) mengenai tunagrahita
sebagai berikut. “Mental retardation refers to significantly subaverage general
intellectual functioning resulting in or adaptive behavior and manifested during
the developmental period.” (Hallahan & Kauffman, 1988: 47) Artinya,
ketunagrahitaan mengacu pada fungsi intelektual umum yang secara nyata
(signifikan) berada di bawah rata-rata (normal) bersamaan dengan kekurangan
dalam tingkah laku penyesuaian diri dan semua ini berlangsung (termanifestasi)
pada masa perkembangannya.

B. Ciri-Ciri Tunagrahita
Ciri-ciri anak tuna grahita secara fisik dalam Sandra(2010), antara lain;
1) penampilan fisik tidak seimbang, misalnya kepala terlalu kecil/besar;
2) pada masa pertumbuhannya tidak mampu mengurusdirinya sendiri;
3) terlambat dalam perkembangan bicara dan bahasa;
4) tidak perhatian terhadaplingkungan;
5) koordinasi gerakan kurang;
6) hipersalivasi.
Tingkah laku adaptif yang dimaksud pada anak tuna grahita adalah berupa
kemampuan komunikasi, merawat diri, menyesuaikan dalam ke-hidupan rumah,
keterampilan sosial, pemanfaatansarana umum, mengarahkan diri sendiri, area ke-
sehatan dan keamanan, fungsi akademik, pengisianwaktu luang, dan kerja.
C. Jenis-Jenis Tunagrahita
Pengelompokan anak tunagrahita pada umumnya berdasarkan pada taraf
intelegensinya. Menurut Somantri (2006), anak tunagrahita dapat diklasifikasikan
dalam tiga kelompok, yaitu:

a. Tunagrahita Ringan
Tunagrahita ringan disebut juga maron atau debil. Kelompok ini memiliki
IQ antara 68-52 menurut Binet. Sedangkan menurut Skala Weschler (WISC)
Anak tunagrahita ringan merupakan salah satu klasifikasi anak tunagrahita yang
memiliki kecerdasan intelektual/ IQ 69-55. Mereka masih dapat belajar membaca,
menulis, dan berhitung sederhana sampai tingkat tertentu. Biasanya hanya sampai
pada kelas IV sekolah dasar (SD).
Melalui bimbingan dan pendidikan yang baik, anak terbelakang mental
ringan pada saatnya dapat memperoleh penghasilan untuk dirinya sendiri. Anak
terbelakang mental ringan dapat dilatih menjadi tenaga kerja semi-skilled seperti
pekerjaan laundry, pertanian, peternakan, pekerjaan rumah tangga, bahkan jika
dilatih dan bimbingan dengan baik anak tunagrahita ringan dapat bekerja di
pabrik-pabrik dengan sedikit pengawasan.

b. Tunagrahita Sedang
Anak tunagrahita sedang disebut juga imbesil. Kelompok ini memiliki IQ
51-36 menurut Skala Binet dan 54-40 menurut Skala Weschler (WISC). Anak
terbelakang mental sedang bisa mencapai perkembangan MA sampai kurang lebih
7 tahun. Mereka dapat didik mengurus diri sendiri, melindungi diri sendiri dari
bahaya seperti menghindari kebakaran, berjalan dijalan raya, berlindung dari
hujan, dan sebagainya.
Anak tunagrahita sedang sangat sulit bahkan tidak dapat belajar secara
akademik seperti menulis, membaca, dan berhitung walaupun mereka masih dapat
menulis secara sosial, misalnya menulis namanya sendiri, Alamat Rumahnya, dan
lain-lain. Masih dapat dididik mengurus diri, seperti mandi, berpakaian, makan,
minum, mengerjakan pekerjaan rumah tangga, dan sebagainya. Dalam kehidupan
sehari-hari, anak tunagrahita sedang membutuhkan pengawasan yang terus-
menerus. Mereka juga masih dapat bekerja ditempat kerja terlindung (sheltered
workshop).

c. Tunagrahita Berat
Kelompok anak tunagrahita berat sering disebut idiot. Kelompok ini dapat
dibedakan lagi antara anak tunagrahita berat dan sangat berat. Tunagrahita berat
(severe) memiliki IQ antara 32-20 menurut Skala Binet dan antara 39-25 menurut
Skala Weschler (WISC). Tunagrahita sangat berat (profound) memiliki IQ
dibawah 19 menurut Skala Binet dan IQ dibawah 24 menurut Skala Weschler
(WISC). Kemampuan mental atau MA maksimal yang dapat dicapai kurang dari
tiga tahun atau empat tahun.
Anak tunagrahita berat memerlukan bantuan perawatan secara total dalam
berpakaian, mandi, makan, dan lain-lain. Bahkan mereka memerlukan
perlindungan dari bahaya sepanjang hidupnya. Perawatan khusus dan keikhlasan
dari keluarga sangat dibutuhkan oleh mereka. Biasanya keadaan idiot ini diikuti
dengan berbagai kelainan dan kelemahan dalam fungsi tubuh lainnya. Mereka
perlu perawatan khusus dan dibantu dalam setiap aktivitasnya. Untuk bertahan
hidup saja rasanya membutuhkan banyak bantuan.
Menurut Aqila (2010), selain dibedakan berdasarkan tingkat
intelegensinya, anak tunagrahita juga diklasifikasikan berdasarkan tipe klinis,
yaitu sebagai berikut:

a. Down Syndrom (dahulu disebut mongoloid)


Anak tunagrahita jenis ini disebut demikian karena raut mukannya seolah-
olah menyerupai orang mongol dengan ciri-ciri: bermata sipit dan miring, lidah
tebal dan berbelah, biasanya suka menjulur ke luar, telinga kecil, tangan kering,
makin dewasa kulitnya semakin kasar, kebanyakan mempunyai susunan gigi
geligi yang kurang baik sehingga berpengaruh pada pencernaan, dan lingkar
tengkoraknya biasanya kecil.

b. Kretin
Dalam bahas Indonesia disebut kate atau cebol. Ciri-cirinya: badan gemuk
dan pendek, kaki dan tangan pendek dan bengkok, badan dingin, kulit kering,
tebal dan keriput, rambut kering, lidah dan bibir tebal, kelopak mata, telapak
tangan, dan kuduk tebal, pertumbuhan gigi terlambat, serta hidung lebar.

c. Hydrocypal
Anak ini memiliki ciri-ciri: kepala besar, raut muka kecil, tengkoraknya
ada yang membesar ada yang tidak, pandangan dan pendengaran tidak sempurna,
mata kadang-kadang juling.

d. Microcephal, Macrocephal, Brahicephal, dan Scaphocepal


Keempat istilah tersebut menunjukkan bentuk dan ukuran kepala. Seorang
dengan tipe Microcephal memiliki ukuran kepala yang kecil. Kebanyakan dari
mereka menyandang tunagrahita yang berat atau sedang. Namun penderita
Macrocephal kebanyakan tidak menyusahkan orang, dengan ukuran kepala besar.
Sedangkan penderita Brahicephal memili ukuran kepala yang panjang, dan
Scaphocepal memiliki ukuran kepala yang lebar.

D. Faktor Penyebab Tunagrahita


Seseorang menjadi tunagrahita disebabkan oleh berbagai faktor. Para ahli
membagi faktor penyebab tersebut atas beberapa kelompok.
Strauss membagi faktor penyebab ketunagrahitaan menjadi dua gugus yaitu
endogen dan eksogen. Faktor endogen apabila letak penyebabnya pada sel
keturunan dan eskogen adalah hal-hal di luar sel keturunan, misalnya infeksi,
virus menyerang otak, benturan kepala yang keras, radiasi, dan lain-lain (Moh.
Amin, 1995:62).
Cara lain yang sering digunakan dalam pengelompokan faktor penyebab
ketunagrahitaan adalah berdasarkan waktu terjadinya,yaitu faktor yang terjadi
sebelum lahir (prenatal); saat kelahiran (natal),dan setelah lahir (postnatal).
Berikut ini akan dibahas beberapa penyebab ketunagrahitaan yang sering
ditemukan baik yang berasal dari faktor keturunan maupunfaktor lingkungan.

a. Faktor keturunan
Penyebab kelainan yang berkaitan dengan faktor keturunan meliputi hal-hal
berikut.
1. Kelainan kromosom, dapat dilihat dari bentuk dan nomornya. Dilihat dari
bentuknya dapat berupa inversi(kelainan yang menyebabkan berubahnya
urutan gene karena melilitnya kromosom; delesi(kegagalan meiosis,yaitu
salah satu pasangan tidak membelah sehingga terjadi kekurangan
kromosom pada salah satu sel); duplikasi(kromosom tidak berhasil
memisahkan diri sehingga terjadi kelebihan kromosom pada salah satu sel
yang lain); translokasi(adanya kromosom yang patah dan patahannya
menempel pada kromosom lain)
2. Kelainan Gene. Kelainan ini terjadi pada waktu mutasi, tidak selamanya
tampak dari luar (tetapdalam tingkat genotif). Ada 2 hal yang perlu
diperhatikan untuk memahaminya,yaitu kekuatan kelainan tersebut dan
tempat gena (locus) yang mendapat kelainan

b. Gangguan metabolisme dan gizi


Metabolisme dan gizi merupakan faktor yang sangat penting dalam
perkembangan individu terutama perkembangan sel-sel otak. Kegagalan
metabolisme dan kegagalan pemenuhan kebutuhan gizi dapat mengakibatkan
terjadinya gangguan fisik dan mental pada individu. Kelainan yang disebabkan
oleh kegagalan metabolisme dan gizi, antara lainphenylketonuria(akibat gangguan
metabolisme asam amino) dengan gejala yang tampak berupa: tunagrahita,
kekurangan pigmen, kejang saraf, kelainan tingkah laku; gargoylism(kerusakan
metabolisme saccharide yang menjadi tempat penyimpanan asam
mucopolysaccharide dalam hati, limpa kecil, dan otak) dengan gejala yang
tampak berupa ketidaknormalan tinggi badan, kerangka tubuh yang tidak
proporsional, telapak tangan lebar dan pendek, persendian kaku, lidah lebar dan
menonjol, dan tunagrahita; cretinism(keadaan hypohydroidism kronik yang terjadi
selama masa janin atau saat dilahirkan) dengan gejala kelainan yang tampak
adalah ketidaknormalan fisik yang khas dan ketunagrahitaan.

c. Infeksi dan keracunan


Keadaan ini disebabkan oleh terjangkitnya penyakit-penyakit selama janin
masih berada dalam kandungan. Penyakit yang dimaksud,antara lain rubella yang
mengakibatkan ketunagrahitaan serta adanya kelainan pendengaran, penyakit
jantung bawaan, berat badan sangat kurang ketika lahir; syphilis bawaan;
syndrome gravidityberacun, hampir pada semua kasus berakibat ketunagrahitaan.

d. Trauma dan zat radioaktif


Terjadinya trauma terutama pada otak ketika bayi dilahirkan atau terkena
radiasi zat radioaktif saat hamil dapat mengakibatkan ketunagrahitaan. Trauma
yang terjadi pada saat dilahirkan biasanya disebabkan oleh kelahiran yang sulit
sehingga memerlukan alat bantu. Ketidak tepatan penyinaran atau radiasi sinar X
selama bayi dalam kandungan mengakibatkan cacat mental microsephaly.

e. Masalah pada kelahiran


Masalah yang terjadi pada saat kelahiran, misalnya kelahiran yang disertai
hypoxia yang dipastikan bayi akan menderita kerusakan otak, kejang, dan napas
pendek. Kerusakan juga dapat disebabkan oleh trauma mekanis terutama pada
kelahiran yang sulit.

f. Faktor lingkungan
Banyak faktor lingkungan yang diduga menjadi penyebab terjadinya
ketunagrahitaan. Telah banyak penelitian yang dilakukan untuk membuktikan hal
ini, salah satunya adalah temuan Patton & Polloway (1986:188) bahwa
bermacam-macam pengalaman negatif atau kegagalan dalam melakukan interaksi
yang terjadi selama periode perkembangan menjadi salah satu penyebab
ketunagrahitaan. Studi yang dilakukan Kirk (Triman Prasadio, 1982:25)
menemukan bahwa anak yang berasal dari keluarga yang tingkat sosial
ekonominya rendah menunjukkan kecenderungan mempertahankanmentalnya
pada taraf yang sama, bahkan prestasi belajarnya semakin berkurang dengan
meningkatnya usia.

E. Usaha Pencegahan Ketunagrahitaan


Dengan ditemukannya berbagai penyebab ketunagrahitaan sebagai hasil
penyelidikan oleh para ahli, seyogianya diikuti dengan berbagai upaya
pencegahannya. Berbagai alternatif upaya pencegahan yang disarankan, antara
lain berikut ini:
a. Penyuluhan genetik, yaitu suatu usaha mengomunikasikan berbagai informasi
mengenai masalah genetika. Penyuluhan ini dapat dilakukan melalui media cetak
dan elektronik atau secara langsung melalui posyandu dan klinik.
b. Diagnostik prenatal, yaitu usaha pemeriksaan kehamilan sehingga dapat
diketahui lebih dini apakah janin mengalami kelainan.
c. Imunisasi, dilakukan terhadap ibu hamil maupun anak balita. Dengan imunisasi
ini dapat dicegah penyakit yang mengganggu perkembangan bayi/anak.
d. Tes darah, dilakukan terhadap pasangan yang akan menikah untuk menghindari
kemungkinan menurunkan benih-benih kelainan.
e. Melalui program keluarga berencana, pasangan suami istri dapat mengatur
kehamilan dan menciptakan keluarga yang sejahtera baik fisik dan psikis.
f. Tindakan operasi, hal ini dibutuhkan apabila ada kelahiran dengan risiko tinggi,
misalnya kekurangan oksigen dan adanya trauma pada masa perinatal (proses
kelahiran).
g. Sanitasi lingkungan, yaitu mengupayakan terciptanya lingkungan yang baik
sehingga tidak menghambat perkembangan bayi/anak.
h. Pemeliharaan kesehatan, terutama pada ibu hamil yang menyangkut
pemeriksaan kesehatan selama hamil, penyediaan vitamin, menghindari radiasi,
dan sebagainya.
i. Intervensi dini, dibutuhkan oleh para orang tua agar dapat membantu
perkembangan anaknya secara dini.
Selain cara-cara tersebut di atas terdapat pula cara umum, yaitu dengan
meningkatkan taraf hidup masyarakat melalui peningkatan sosial-ekonomi,
penyuluhan kepada masyarakat mengenai pendidikan dini.
F. Karakteristik Tunagrahita.

A. Karakteritik Anak Tunagrahita Ringan (Mampu Didik) Moh. Amin (2005: 3)


mengemukakan bahwa karakteristik anak tunagrahita ringan sebagai berikut:

1) Lancar dalam berbicara tetapi kurang perbendaharaan katakatanya.


2) Sulit berpikir abstrak.
3) Pada usia 16 tahun anak mencapai kecerdasan setara dengan anak normal 12
tahun.
4) Masih dapat mengikuti pekerjaan baik di sekolah maupun di sekolah umum.
Mumpuniarti (2007: 41-42) bahwa karakteristik anak tunagrahita ringan dapat
ditinjau secara fisik, psikis dan sosial, karakteristik tersebut antara lain :
1) Karakteristik fisik nampak seperti anak normal hanya sedikit mengalami
kelemahan dalam kemmampuan sensomotorik
2) Karakteristik psikis sukar berfikir abstrak dan logis, kurang memiliki
kemamuan analisa, asosiasi lemah, fantasi lemah, kurang mampu mengendalikan
perasaan, mudah dipengruhi kepribadian, kurang harmonis karena tidak mampu
menilai baik dan buruk.
3) Karakteristik sosial, mereka mampu bergaul, menyesuaikan dengan lingkungan
yang tidak terbatas hanya pada keluarga saja, namun ada yang mampu mandiri
dalam masyarakat, mampu melakukan pekerjaan yang sederhana dan melakukan
secara penuh sebagai orang dewasa, kemampuan dalam bidang pendidikan
termasuk mampu didik.
Astati (2001: 3) mengelompokkan karakteristik anak tunagrahita ringan menjadi 4
sudut pandang, antara lain:
1) Karakteristik Fisik Penyandang tunagrahita ringan menunjukkan keadaan tubuh
yang baik namun bila tidak mendapatkan latihan yang baik kemungkinan akan
mengakibatkan postur fisik terlihat kurang serasi.
2) Karakteristik Bicara Dalam berbicara anak tunagrahita ringan menunjukkan
kelancaran, hanya saja dalam perbendaharaan katanya terbatas, anak tunagrahita
juga mengalami kesulitan dalam menarik kesimpulan mengenai isi dari
pembicaraan.
3) Karakteristik Kecerdasan Kecerdasan anak tunagrahita ringan paling tinggi
sama dengan anak normal berusia 12 tahun.
4) Karakteristik Pekerjaan Penyandang tunagrahita ringan dapat melakukan
pekerjaan yang sifatnya semu skilled atas pekerjaan tertentu yang dapat dijadikan
bekal bagi hidupnya. Penyandang tunagrahita ringan setelah dewasa menunjukkan
produktifitas yang tinggi karena pekerjaan yang dilakukan berulangulang. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa anak tunagrahita ringan mempunyai
karakteristik sebagai berikut:
1) Mempunyai sensor motorik kurang.
2) Kemampuan berfikir abstrak dan logis yang kurang.
3) Anak tunagrahita ringan dalam bidang pekerjaan, dapat mencapai produktifitas
tinggi dengan latihan yang dikerjakan berulang-ulang.
4) Kecerdasan paling tinggi mencapai setaraf usia 12 tahun anak normal.
5) Anak tunagrahita ringan dapat melakukan pekerjaan yang semi trampil, atas
pekerjaan tertentu yang dapat dijadikan bekal bagi hidupnya.
B. Karakteristik Anak Tunagrahita Sedang (Mampu Latih)

Moh. Amin (1995: 38) mengemukakan bahwa:


1) Karakteristik yang berdasarkan tingkat ketunagrahitaannya sebagai berikut:
a) Mereka hampir tidak bisa mempelajari pelajaran akademik namun dapat dilatih
untuk melaksanakan pekerjaan rutin atau sehari-hari.
b) Kemampuan maksimalnya sama dengann anak normal usia 7 – 10 tahun.
c) Mereka selalu tergantung pada orang lain tetapi masih dapat membedakan
bahaya dan bukan bahaya.
d) Masih mempunyai potensi untuk memlihara diri dan menyesuaikan diri
terhadap lingkungan.
2) Karakteristik pada aspek-aspek individu mereka sebagai berikut:
a) Karakteritik fisik, mereka menampakkan kecacatannya, terlihat jelas seperti
tipe down syndrome dan brain damage, koordinasi motorik kemah sekali dan
penampilannya nampak sebagai anak terbelakang.
b) Karakteristik prikis, pada umur dewasa mereka baru mencapai kecerdasan
setaraf anak normal umir 7 atau 8 tahun.
c) Karakteristik sosial, pada umumnya mereka sikap sosialnya kurang baik, rasa
etisnya kurang, tidak mempunyai rasa terima kasih, belas kasihan dan rasa
keadilan. Dengan demikian karakteristik anak tunagrahita sedang adalah hampir
tidak dapat mempelajari pelajaran akademik, kalau belajar membaca,
perkembangan bahasa terbatas, masih mempunyai potensi untuk dilatih menahan
diri dan beberapa pekerjaan yang memerlukan latihan secara mekanis.
Kemampuan yang dapat dikembangkan yaitu diberi sedikit pelajaran menghitung
menulis dan membaca yang fungsional untuk kehidupan sehari-hari, sebagai bekal
mengenal lingkunganya, serta latihan-latihan memelihara diri dan beberapa
keterampilan sederhana.
c. Karakteristik anak tunagrahita berat (mampu rawat)
(Moh. Amin, 1995: 18) pada umumnya:
1) Kecerdasan
a) Kapasitas belajarnya sangat terbatas terutama untuk hal-hal yang kongkrit.
b) Dalam belajar tidak banyak membeo.
c) Mengalami kesulitan menangkap rangsangan atau lamban.
d) Memerlukan waktu lama untuk menyelesaikan tugas.
e) Memiliki kesanggupan yang rendah dalam menginat memerlukan jangka waktu
yang lama.
2) Sosial
a) Dalam pergaulan mereka tidak dapat, mengurus memelihara dan memimpin
diri.
b) Waktu masih kanak-kanak setiap aktivitasnya harus selalu dibantu.
c) Mereka bermain dengan teman yang lebih muda usianya.
d) Setelah dewasa kepentingan ekonominya sangat tergantung ada bantuan orang
lain.
e) Mudah terjerumus ke dalam tingkat terlarang (mencuri, merusak, pelanggaran
seksual).
3) Fungsi mental lainnya
a) Mengalami kesulitan dalam memusatkan perhatiannya.
b) Mudah lupa.
4) Kepribadian
a) Tidak percaya terhadap kemampuannya sendiri.
b) Tidak mampu mengontrol dan menyerahkan diri.
c) Selalu tergantung pada pihak luar.
d) Terlalu percaya diri.
G. Aspek Perkembangan Tunagrahita
1) Perkembangan Akademik (Aspek Kognitif)
Kapasitas belajar anak tunagrahita sangat terbatas, lebih-lebih kapasitasnya
mengenai hal-hal yang abstrak. Mereka lebih banyak belajar dengan membeo (rote
learning) dari pada dengan pengertian. Dari hari ke hari mereka membuat kesalahan yang
sama. Mereka cenderung menghindar dari perbuatan berpikir. Mereka mengalami
kesukaran memusatkan perhatian, dan lapang minatnya sedikit. Mereka juga cenderung
cepat lupa, sukar membuat kreasi baru, serta rentang perhatiannya pendek.
2) Perkembangan Sosial/Emosional (Aspek Afektif)
Dalam pergaulan, anak tunagrahita tidak dapat mengurus diri, memelihara dan
memimpin diri. Ketika masih muda mereka harus dibantu terus karena mereka mudah
terperosok ke dalam tingkah laku yang kurang baik. Mereka cenderung bergaul atau
bermain bersama dengan anak yang lebih muda darinya. Kehidupan penghayatannya
terbatas. Mereka juga tidak mampu menyatakan rasa bangga atau kagum. Mereka
mempunyai kepribadian yang kurang dinamis, mudah goyah, kurang menawan, dan tidak
berpandangan luas. Mereka juga mudah disugesti atau dipengaruhi sehingga tidak jarang
dari mereka mudah terperosok ke hal-hal yang tidak baik, seperti mencuri, merusak, dan
pelanggaran seksual. Namun, dibalik itu semua mereka menunjukkan ketekunan dan rasa
empati yang baik asalkan mereka mendapatkan layanan atau perlakukan dan lingkungan
yang kondusif.
3) Perkembangan Fisik/Kesehatan dan Motorik (Aspek Psikomotorik)

Baik struktur maupun fungsi tubuh pada umumnya anak tunagrahita kurang dari
anak normal. Mereka baru dapat berjalan dan berbicara pada usia yang lebih tua dari anak
normal. Sikap dan gerakannya kurang indah, bahkan diantaranya banyak yang mengalami
cacat bicara. Pendengaran dan penglihatannya banyak yang kurang sempurna. Kelainan
ini bukan pada organ tetapi pada pusat pengolahan di otak sehingga mereka melihat,
tetapi tidak memahami apa yang dilihatnya, mendengar, tetapi tidak memahami apa yang
didengarnya. Bagi anak tunagrahita yang berat dan sangat berat kurang merasakan sakit,
bau badan tidak enak, badannya tidak segar, tenaganya kurang mempunyai daya tahan
dan banyak yang meninggal pada usia muda. Mereka mudah terserang penyakit karena
keterbatasan dalam memelihara diri, serta tidak memahami cara hidup sehat.
i. Intervensi Tunagrahita

Pada anak tunagrahita, intervensi dini seperti memberikan stimulasi dan


penanganan yang tepat, terencana dan terarah dapat memberikan efek jangka panjang
(Hallahan, Kauffman & Pullen, 2009). Penanganan ini dapat berupa kerjasama antara
orang tua, guru dan profesional (seperti ahli terapi, psikolog dan lain-lain). Siswa
berkebutuhan khusus membutuhkan waktu dan usaha pembelajaran yang lebih banyak
daripada anak-anak normal (Berger, 1995). Begitupula pada anak- anak tunagrahita,
karena kurang dapat mengembangkan strategi belajar dibandingkan dengan anak-anak
normal (Ellis dalam Presley & Mc Cormick, 2007). Saat disajikan berbagai strategi
instruksi, siswa tunagrahita dapat menggunakannya dengan beberapa strategi yaitu
pengulangan (rehearsal), kategorisasi (categorization), dan elaborasi (elaboration) (dalam
Presley & Mc Cormick, 2007). Melalui instruksi yang telah dielaborasi, siswa tunagrahita
dapat belajar untuk meregulasi strategi belajarnya sendiri (Presley & Mc Cormick, 2007).
Pengajaran pada siswa berkebutuhan khusus dapat meliputi beberapa cara (Meese, 2001).
Pertamam, Stimulus Reduction, yaitu dengan meminimalisir stimulus lingkungan yang
tidak relevan dan materi instruksi/ pengajaran disampaikan dengan cara tertentu. Kedua,
Multisensory Approaches and Modality Based Instruction, dengan melibatkan seluruh
sensori pada saat pengajaran. Pada siswa berkebutuhan khusus, instruksi dalam
pengajaran harus disesuaikan dengan sensory yang paling memberikan pengaruh pada
siswa. Ketiga, Diet / Drug Therapies, siswa menerima terapi obat-obatan yang
diperuntukkan bagi masalah perilaku (hiperaktif, kesulitan memusatkan perhatian, dll).
Keempat, Fads merupakan pendekatan metode pengajaran yang dipopulerkan dengan
menggunakan media ataupun ketertarikan siswa pada satu benda atau proses.

Dalam mempelajari keterampilan hidup harus dipelajari dalam situasi yang


sebenarnya atau melalui pengalaman nyata (Crane, 2002). Oleh karena siswa tunagrahita
memiliki hambatan dalam melakukan generalisasi suatu situasi untuk diterapkan pada
konteks situasi yang berbeda. Instruksi langsung sebaiknya diberikan pada situasi
langsung dimana siswa diharapkan untuk dapat menampilkan perilaku yang diinginkan.
Keterampilan bina diri seperti mencuci, memasak, memiliki prosedur yang berbeda
dimana pengaturan situasi dan peralatannya juga berbeda. Pada keterampilan seperti
berbelanja, menghitung uang kembali serta mengatur pendapatan dan pengeluaran akan
lebih baik apabila dipelajari melalui pengalaman nyata (actual experience). Pengalaman
nyata merupakan suatu hal yang sangat penting bagi pendidikan untuk siswa tunagrahita
(Crane, 2002). Community based instruction merupakan salah satu komponen instruksi
yang penting dan efektif dalam melakukan generalisasi keterampilan hidup dalam situasi
nyata dan merupakan suatu bagian yang tidak terpisahkan untuk mencapai masa transisi
yang efektif. Siswa yang mengikuti community based instruction mengalami peningkatan
dalam perilaku adaptifnya (McDonnell, Hardman & Hightower dalam Crane, 2002).
Community based instruction dapat dilakukan melalui pengalaman nyata yang
melibatkan role play, videotaping, maupun simulasi kreatif lainnya (Cuvo & Klatt dalam
Crane, 2002).

Pembelajaran ini dapat dilakukan apabila siswa memiliki cukup kesempatan


untuk dapat berinteraksi dan menjadi bagian dalam lingkungan sosialnya. Pada saat
bersamaan, siswa membutuhkan pilihan untuk belajar di rumah, karier, dan juga
keterampilan di dalam komunitas yang memungkinkan mereka untuk dapat hidup
mandiri dan produktif. Setiap siswa membutuhkan pengalaman sosial dan juga latihan
keterampilan hidup yang memungkinkannya untuk dapat sukses dalam kehidupan
dewasa. Dalam penelitian ini, akan digunakan metode multisensory approaches and
modality based instruction dalam pengajaran, yaitu dengan menggunakan alat bantu dan
metode pengajaran yang beragam untuk melibatkan seluruh sensori.

2. TUNALARAS.
A. Pengertian Tunalaras.
Pengertian Tunalaras adalah anak yang mengalami hambatan emosi dan tingkah
laku sehingga kurang dapat atau mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan
baik terhadap lingkungannya dan hal ini akan mengganggu situasi belajarnya” (Somantri.
2006:140)
Anak tunalaras termasuk dari anak berkebutuhan khusus. Kebutuhan khususnya
terletak pada hambatan mereka dalam mengontrol emosi dan perilaku, sehingga
menghambat hubungan sosial. Pada istilah internasional, anak tunalaras disebut sebagai
Children with BESD (Behavioral, Emotional, and Social Disorder) (Cole & Knowless,
2011). Istilah tersebut menggambarkan kondisi emosi dan perilaku yang bermasalah
tampak dalam hubungan interpersonal, hubungan sosial, dan bahkan menggambarkan
masalah mereka dalam mengelola diri sendiri.
Kelainan perilaku atau tunalaras sosial adalah mereka yang mengalami kesulitan
untuk menyesuaikan diri terhadap lingkungan, tatatertib, norma sosial, dan lain-lain.
Manifestasi dari mereka yang dikategorikan dalam kelainan perilaku sosial ini , misalnya
kompensasi berlebihan, sering bentrok dengan lingkungan, pelanggaran hukum/norma
maupun kesopanan (Amin & Dwidjosumarto, 1979).
Mackie (1957) mengemukakan, bahwa anak yang termasuk dalam kategori
kelainan perilaku sosial adalah anak yang mempunyai tingkah laku yang tidak sesuai
dengan adat kebiasaan yang berlaku di rumah, di sekolah, dan di masyarakat
lingkungannya (dalam Kirk,1970). Hal yang lebih penting dari itu adalah akibat tindakan
atau perbuatan yang dilakukan merugikan diri sendiri maupun orang lain.
B. Ciri-Ciri Anak Tunalaras.
Beberapa ahli mengemukakan ciri-ciri anak tunalaras, yang membedakan mereka
dari anak-anak normal yang tidak mengalami gangguan emosi dan penyimpangan
perilaku. Menurut Yusuf (2014), anak yang mengalami gangguan emosi dan perilaku
(tunalaras), memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a. Cenderung membangkang.
b. Mudah terangsang emoisnya/ emosional/ mudah marah.
c. Sering melakukan tindakan agresif, merusak, atau mengganggu.
d. Sering bertindak melanggar norma sosial/ norma Susila/ hukum.
e. Prestasi belajar dan motivasinya cenderung rendah, sering bolos atau jarang
masuk sekolah.
Ciri-ciri anak tunalaras juga dikemukakan oleh Hewaard dan Orlansky (1988, dalam
Mahabbati 2012) sebagai berikut.
a. Tipe tingkah laku tidak wajar dalam situasi normal.
b. Hambatan belajar bukan karena intelektual, indrawi, kesehatan.
c. Terganggunya hubungan sosial.
d. Depresi, tidak bahagia pada usia kanak-kanak.
e. Merasa takut dan menghindari problem personal atau akademik.
Putri (2010, dalam Anarimah 2012) mengemukakan bahwa anak tunalaras adalah anak
yang;
a. mempunyai tingkah laku berlainan;
b. tidak memiliki sikap yang dewasa;
c. melakukan pelanggaran norma-norma sosial dengan frekuensi yang cukup
besar;
d. tidak/ kurang mempunyai toleransi kepada orang lain/ kelompok;
e. mudah terpengaruh oleh suasana sehingga menimbulkan kesulitan bagi dirinya
sendiri serta orang lain.
Heward & Orlansky (1988) dalam Sunardi (1996) menyebutkan bahwa seseorang
dikatakan mengalami gangguan perilaku apabila memiliki satu atau lebih dari lima
karakteristik berikut dalam kurun waktu yang lama, yaitu:
a. Ketidakmampuan untuk belajar yang bukan disebabkan oleh faktor
intelektualitas, alat indra maupun kesehatan.
b. Ketidakmampuan untuk membangun atau memelihara kepuasan dalam
menjalin hubungan dengan teman sebaya dan pendidik.
c. Tipe perilaku yang tidak sesuai atau perasaan yang di bawah keadaan normal.
d. Mudah terbawa suasana hati (emosi labil), ketidakbahagiaan, atau depresi.
e. Kecenderungan untuk mengembangkan simptom-simptom fisik atau ketakutan-
ketakutan yang diasosiasikan dengan permasalahan-permasalahan pribadi atau
sekolah.
C. Karakteristik Anak Tunalaras
Karakteristik Tunalaras :
Bersikap membangkang, Mudah terangsang emosinya/emosional/mudah marah,
Sering melakukan tindakan agresif, merusak, mengganggu, Sering bertindak melanggar
norma sosial/norma susila/ hukum.
Pada hakekatnya, anak-anak tunalaras memiliki kemampuan intelektual yang
normal, atau tidak berada di bawah rata-rata. Kelainan lebih banyak banyak terjadi pada
perilaku sosialnya. Beberapa karakteristik yang menonjol dari anak-anak berkebutuhan
khusus yang mengalami kelainan perilaku sosial ini adalah:
1. Karakteristik umum
• Mengalami gangguan perilaku; suka berkelahi, memukul, menyerang, merusak
milik sendiri atau orang lain, melawan, sulit konsentrasi, tidak mau bekerjasama,
sok aksi, ingin menguasai oranglain, mengancam, berbohong, tidak bisa diam,
tidak dapat dipercaya, suka mencuri, mengejek, dan sebagainya.
• Mengalami kecemasan; kawatir, cemas, ketakutan, merasa tertekan, tidak mau
bergaul, menarik diri, kurang percaya diri, bimbang, sering menangis, malu, dan
sebagainya.
• Kurang dewasa; suka berfantasi, berangan-anagan, mudah dipengaruhi, kaku,
pasif, suka mengantuk, mudah bosan, dan sebagainya
• Agresif; memiliki gang jahat, suka mencuri dengan kelompoknya, loyal
terhadap teman jahatnya, sering bolos sekolah, sering pulang larut malam, dan
terbiasa minggat dari rumah.
2. Karakteristik Sosial /emosi
• Sering melanggar norma masyarakat
• Sering mengganggu dan bersifat agresif
• Secara emosional sering merasa rendah diri dan mengalami kecemasan
3. Karakteristik akademik
• Hasil belajarnya seringkali jauh di bawah rata-rata
• Seringkali tidak naik kelas
• Sering membolos sekolah
• Seringkali melanggar peraturan sekolah dan lalulintas.
D. Jenis-jenis Anak Tunalaras.
Anak tunalaras terbagi menjadi 2 jenis, yaitu anak tunalaras yang terlalu aktif dan
anak tunalaras yang terlalu pasif, dimana masing-masing dari mereka memiliki potensi
dan intelegensia yang sama dengan anak-anak normal. Anak tunalaras dengan gangguan
emosi, atau tunalaras aktif, memiliki kecenderungan ingin menguasai dan mengontrol
segala sesuatu di sekitarnya. Pergaulannya terbilang tidak ramah, karena sering kali
melakukan kekerasan terhadap teman sebayanya, terutama pada anak tunalaras pasif.
Sedangkan masalah pada anak tunalaras dengan gangguan sosial, atau tunalaras pasif,
adalah sulitnya mereka untuk bersosialisasi. Mereka cenderung merasa tidak berguna,
adanya perasaan rendah diri, dan tidak percaya diri. Hal ini mengakibatkan mereka lebih
suka menyendiri. Tingkat konsentrasi mereka pun rendah karena mereka merasa rendah
diri dan tidak mampu, sehingga mempengaruhi nilai akademis dan kehidupan sosial
mereka.
Penggolongan anak tuna laras dapat ditinjau dari dua segi yaitu: gangguan atau hambatan
dan kualifikasi berat ringannya kenakalan, dengan penjelasan sebagai berikut:
1) Menurut jenis gangguan atau hambatan
a. Gangguan Emosi
Anak tunalaras yang mengalami hambatan atau gangguan emosi terwujud dalam
tiga jenis perbuatan, yaitu: senang-sedih, lambat cepat marah, dan relaks-tertekan.
Secara umum emosinya menunjukkan sedih, cepat tersinggung atau marah, rasa
tertekan dan merasa cemas. Gangguan atau hambatan terutama tertuju pada
keadaan dalam dirinya.
Macam-macam gejala hambatan emosi, yaitu:
1. Gentar, yaitu suatu reaksi terhadap suatu ancaman yang tidak disadari, misalnya
ketakutan yang kurang jelas obyeknya.
2. Takut, yaitu rekasi kurang senang terhadap macam benda, mahluk, keadaan atau waktu
tertentu. Pada umumnya anak merasa takut terhadap hantu, monyet, tengkorak dan
sebagainya.
3. Gugup/nervous, yaitu rasa cemas yang tampak dalam perbuatan-perbuatan
aneh.Gerakan-gerakan aneh itu seperti;
• Gerakan pada mulut seperti menyedot jari, gigit jari dan menjulurkan lidah.
• Gerakan aneh sekitar hidung, seperti mencukil hidung, mengusap-usap atau
menghisutkan hidung.
• Gerakan sekitar jari seperti mencukil kuku, melilit-lilit tangan atau mengepalkan
jari
• Gerakan sekitar rambut seperti, mengusap-usap rambut, mencabuti atau
mencakar rambut.
• Demikian pula gerakan-gerakan seperti menggosokmenggosok, mengedip-
ngedip mata dan mengrinyitkan muka dan sebagainya.

4. Sikap iri hati yang selalu merasa kurang senang apabila orang lain memperoleh
keuntungan dan kebahagiaan.
5. Perusak, yaitu memperlakukan bedan-benda di sekitarnya menjadi hancur dan tidak
berfungsi.
6. Malu, yaitu sikap yang kurang matang dalam menghadapi tuntunan kehidupan. Mereka
kurang berani menghadapi kenyataan pergaulan.
7. Rendah diri, yaitu sering minder yang mengakibatkan tindakannya melanggar hukum
karena perasaan tertekan.
b. Gangguan Sosial
Anak ini mengalami gangguan atau merasa kurang senang menghadapi pergaulan.
Mereka tidak dapat menyesuaikan diri dengan tuntutan hidup bergaul. Gejala
perbuatan itu seperti sikap bermusuhan, agresif, bercakap kasar, menyakiti hati
orang lain, keras kepala, menentang menghina orang lain, berkelahi, merusak
milik orang lain dan sebagainya. Perbuatan mereka terutama sangat mengganggu
ketenteraman dan kebahagiaan orang lain.
Beberapa data tentang anak tuna laras dengan gangguan sosial antara lain adalah:
1. Mereka datang dari keluarga ‘kurang harmonis’ (broken home) atau yang sering kena
marah karena kurang diterima oleh keluarganya.
2. Biasa dari kelas sosial rendah berdasarkan kelas-kelas sosial.
3. Anak yang mengalami konflik kebudayaan yaitu, perbedaan pandangan hidup antara
kehidupan sekolah dan kebiasaan pada keluarga.
4. Anak berkecerdasan rendah atau yang kurang dapat mengikuti kemajuan pelajaran
sekolah.
5. Pengaruh dari kawan sekelompok yang tingkah lakunya tercela dalam masyarakat.
6. Dari keluarga miskin.
7. Dari keluarga yang apatis (sibuk dirinya masing-masing) sehingga hubungan kasih
sayang dan batin hanya bersifat perkara.
Salah satu contoh, kita sering mendengar anak delinkwensi. Sebenarnya anak
delinkwensi merupakan salah satu bagian anak tuna laras dengan gangguan karena sosial
perbuatannya menimbulkan kegoncangan ketidak bahagiaan/ketidak tentraman bagi
masyarakat. Perbuatannya termasuk pelanggaran hukum seperti perbuatan mencuri,
menipu, menganiaya, membunuh, mengeroyok, menodong, mengisap ganja, anak
kecanduan narkotika dan sebagainya.
E. Faktor Penyebab Tunalaras Menurut Deden Saeful Hidayat dan Wawan (2013: 36-
51 ) factor penyebab terjadinya ketunalarasan dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu :
1) Faktor internal
a) Kondisi/keadaan fisik
Yang dinyatakan secara langsug dalam ciri-ciri kepribadian atau secara tidak
langsung dalam reaksi menghadapi kenyataan memiliki implikasi bagi
penyesuaian diri seseorang.
b) Masalah perkembangan
Anak biasanya dapat mengatasi krisis ekonomi atau tantangan jika pada dirinya
tumbuh kemampuan baru yang berasal dari adanya proses kematangan yang
menyertai perkembangan. Apabila ego dapat mengatasi masalah krisis ini, maka
perkembangan ego yang matang akaan terjadi sehingga individu dapat
menyesuiakan dirinya dengan lingkungannya.
c) Keturunan
Memberikan baanyak bukti yang dilahirkan dalam keadaan abnormal berasal dari
keturunan yang abnormal. Keabnormalan perilaku menyimpang yang dilakukan
oleh orang tuanya memberikan konstribusi ketunalarasan kepada generasi
berikutnya.
d) Faktor psikologis
Seorang yang mengalami kesulitan memecahkan persoalan akan menimbulkan
perasaan frustasi. Bagi individuyang memiliki stabilitas kepribadian yang baik,
konflik psikologis tersebut dapat diselesaikan dengan baik.
e) Faktor biologis
Anak lahir dengan kondisi fisik biologis tertentu akan menentukan style perilaku
(temperamen). Anak yang mengalami kesulitan menempatkan temperamennya,
akan memberikan kecenderugan untuk berkembangnya kondisi kelainan perilaku
dan emosi. 2) Faktor eksternal
a. Factor psikososial
Pengamlaman tidak menyenangkan pada usia awal mengakibatkan anak menjadi
tertekan dan secara tidak disadari berpengaruh pada penyimpangan perilaku.
b. Lingkungan keluarga
Lingkungan keluarga yang tidak mampu memberikan dasar perasaan aman dan
dasar untuk perkembangan social dapat menimbulkan gangguan emosi dan
tingkah laku pada anak. faktor yang terdapat dalam keluarga yang berkaitan
dengan gangguan emosi dan tingkah laku, antara lain yaitu : kasih sayang dan
perhatian, keharmonisan keluarga, kondisi ekonomi, lingkungan sekolah, dan
lingkungan masyarakat.

F. Pencegahan Gangguan emosi dan perilaku.


Beberapa gangguan perilaku atau emosional dapat dicegah dengan
menghilangkan penyebab utama atau memperbaiki gejalanya. Sebagai contoh, mendidik
wanita hamil untuk tidak minum untuk mencegah dampak perilaku sindrom alkohol
janin. Di dalam kelas, guru dapat menggunakan teknik-teknik pengelolaan perilaku
masalah untuk mencegah berkembang menjadi masalah serius. Sebagai sebuah
masyarakat, strategi umum untuk mencegah gangguan emosi dan perilaku meliputi:
1. Memberikan terapi individu dan keluarga.
2. Mengajarkan keluarga cara-cara baru berinteraksi.
3. Mempromosikan dan memberikan pelatihan karakter.
4. Pendidikan moral.
5. Mempromosikan kesehatan bayi dan anak-anak, dan.
6. Memberikan intervensi medis.
Pendekatan-pendekatan teoritis bagi kebutuhan siswa yang mengalami gangguan emosi
dan perilaku:
a. Pendekatan Biomedis.
Pendekatan ini berusaha untuk menerangkan gangguan emosi dan tingkah laku
dari sudut pandang kedokteran. Ketidaknormalan neurologis dan cidera
neurologis sebagai penyebab gangguan ini. Strategi penanganan yang ditekankan
dalam pendekatan ini yaitu penggunaan obat dan penanganan medis lainnya.Guru
dapat membantu siswa dan orang tua dalam mengatur penggunaan obat untuk
siswa selama disekolah. Guru dapat pula membantu dengan mengawasi dan
mencatat perubahan-perubahan siswa setelah mendapat penanganan medis.
b. Pendekatan Psikodinamik
Pendekatan ini menitikberatkan pada kehidupan psikologis siswa. Berusaha
memahami dan memecahkan kesulitan-kesulitan yang difokuskan pada penyebab-
penyebab hambatan Pendekatan ini juga terapi untuk merubah sikap negatif siswa
ke arah yang lebih positif. Ini dilakukan oleh psikiater, psikolog, konselor dan
sejenisnya.
c. Pendekatan Perilaku
Pendekatan ini berusaha untuk mengubah perilaku yang merupakan problematika
secara sosial dan personal bagi siswa tersebut. Tujuannya adalah menghilangkan
perilaku negatif dan menggantinya dengan perilaku yang lebih layak secara sosial.
d. Pendekatan Pendidikan
Jarang ditemukan seorang siswa dengan gangguan emosional dan tingkah laku
mendapat prestasi baik secara akademis. Mereka biasanya tidak mampu
berkonsentrasi dan mengatur pembelajaran diri mereka. Sebaliknya, penanganan
pembelajaran yang dapat membantu siswa berhasil secara akademis mungkin
berdampak pada kehidupan emosi dan sikapnya. Suasana kelas yang baik dapat
benar-benar menjadi lingkungan terapis.
e. Pendekatan Ekologi
Pendekatan ekologi menekankan perlunya pemahaman siswa ke dalam konteks
kehidupan mereka secara total. Pendekatan ini juga menekankan perlunya
membantu siswa yang mengalami hambatan harus dilakukan melalui usaha-usaha
kolaborasi keluarga, sekolah, teman dan masyarakat.
Dalam menghadapi sikap serta perilaku anak dengan kebutuhan khusus ini, maka
diperlukan beberapa metode, berikut ini contoh modifikasi perilaku anak tunalaras
yang perlu Anda ketahui:
a. Ketahui Apa Yang Anak Inginkan
Setiap anak tentu memiliki kebutuhan yang berbeda, baik karena usia dan juga
jenis kelaminnya. hal ini juga terjadi untuk kebutuhan anak dengan keistimewaan
tertentu, anak dengan indikasi tunalaras tidak bisa disamakan dengan anak normal
lainnya. Karena itu sebagai orang tua dan juga guru pembimbing harus
mengetahui dan mengenali kebutuhan apa yang menjadi dasar anak tersebut
inginkan.
b. Berikan Pola Belajar Take And Give
Anda juga bisa mencoba contoh modifikasi perilaku anak tunalaras dengan cara
take and give. Pada saat anak bisa melakukan hal yang Anda ajarkan dengan baik,
maka sepatutnya anak tersebut Anda berikan penghargaan berupa hadiah atau
perhatian khusus atas prestasi yang sudah dicapai. Dengan cara demikian anak
akan merasa diperhatikan, dipenuhi keinginannya dan semakin percaya kepada
Anda, baik sebagai orang tua atau sebagai guru pembimbing.
c. Tidak Memaksakan Kehendak Yang Memaksa
Hal yang sangat penting dilakukan dalam mendidik dan memberikan pelatihan
kepada anak tunalaras adalah dengan tidak memaksakan kehendak yang tidak
seharusnya. Contoh jangan memaksa anak untuk bertingkah sopan apabila kondisi
sikapnya belum bisa memahami apa itu sikap sopan dan santun. Ajarkan dengan
cara yang lembut dan berikan teladan sikap yang menunjukan kalau hal tersebut
baik dan tidak baik.
d. Berikan Ruang Pada Anak Untuk Berkembang
Contoh modifikasi perilaku anak tunalaras lainnya adalah dengan memberikan
kepada anak tunalaras melakukan pola berkembang secara bebas dan
bertanggungjawab. Jangan biarkan ia bebas tanpa pengawasan, berikan ruang
yang seperlunya dengan memberikan juga pengertian bahwa hal yang dibatasi
bukan untuk dilarang namun sebagai batasan secara berlebihan. Ruang anak
dibutuhkan oleh anak tunalaras untuk melakukan eksperimen untuk membangun
pola pikir dan fisiknya.
e. Berikan Batasan Mana Yang Boleh dan Mana Yang Tidak Boleh
Dalam memberikan pengajaran dan pelatihan Anda harus memperhatikan sikap
Anda baik sebagai orang tua dan juga tenaga pengajar. Karena anak tunalaras
sangat memperhatikan setiap sikap dari orang sekitarnya yang pastinya harus
sesuai dengan unsur kebaikan dan keteladanan. Berikan pendidikan mengenai
mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak boleh dilakukan beserta dengan
alasan yang mereka mengerti.
f. Terapkan Pola Kasih Sayang dan Perhatian Dalam Kegiatannya
Pentingnya contoh modifikasi perilaku anak tunalaras satu ini bagi perkembangan
anak tunalaras adalah dekapan kasih sayang juga perhatian dari orang
disekitarnya. Jangan biarkan mereka kehilangan rasa cinta, kasih sayang dengan
kondisi mereka, dan hindari rasa menyalahkan diri sendiri atau menyalahkan anak
tersebut. Berikan dorongan moril dan spiritual serta didik dengan nilai – nilai
agama yang baik.
Jangan lupa juga untuk terus mendoakan anak Anda untuk menjadi anak yang
terbaik dalam sikap dan pribadinya.
G. Aspek-aspek Perkembangan Tunalaras.
1. Perkembangan Kognitif Tunalaras
Anak tunalaras memiliki kecerdasan yang tidak berbeda dengan anak-anak pada
umumnya. Prestasi yang rendah di sekolah disebabkan mereka kehilangan minat dan
konsentrasi belajar karena masalah gangguan emosi yang mereka alami. Kegagalan
dalam belajar di sekolah seringkali menimbulkan anggapan bahwa mereka memiliki
intelegensi yang rendah. Memang anggapan tersebut tidak sepenuhnya keliru karena
diantara anak yang tunalaras juga ada yang mengalami keterbelakangan mental.
Kelemahan dalam perkembangan kecerdasan ini justru yang menjadi penyebab timbulnya
gangguan tingkah laku.
Masalah yang dihadapi anak dengan intelegensi rendah di sekolah adalah
ketidakmampuan untuk menyamai teman-temannya. Ketidakmampuan anak untuk
bersaing dengan teman-temannya dalam belajar dapat menyebabkan anak frustrasi dan
kehilangan kepercayaan pada dirinya sendiri sehingga anak mencari kompensasi yang
sifatnya negatif, misalnya: membolos, lari dari rumah, berkelahi, mengacau dalam kelas.
Akibat lain dari kelemahan intelegensi ini terhadap gangguan tingkah laku adalah
ketidakmampuan anak untuk memperhitungkan sebab akibat dari suatu perbuatan, mudah
dipengaruhi, serta mudah pula terperosok ke dalam tingkah laku yang negatif.
Selain anak tunalaras yang berintelegensi rendah, beberapa anak memiliki
intelegensi tinggi dan bukan berarti tidak memiliki masalah. Anak berintelegensi tinggi
seringkali memiliki masalah dalam penyesuaian diri dengan teman-temannya.
Ketidaksejajaran antara pekembangan intelegensi dengan kemampuan sosial
mengakibatkan anak mengalami kesulitan penyesuaian diri. Anak yang pintar dengan
hambatan ego emosional seringkali mempunyai anggapan negatif terhadap sekolah. Ia
menganggap sekolah terlalu mudah dan guru menerangkan terlalu lambat.
Masalah lain yang dihadapi anak ini dalam hubungannya dengan orang lain
adalah sikap tidak mau kalah. Mereka selalu ingin berhasil dan tidak mau ikut dalam
permainan dengan kemungkinan dikalahkan orang lain. Hal ini nampak dari sikap anak
yang selalu ingin lebih unggul dari teman-temannya sehingga apabila suatu waktu dia
mengalami kekalahan, maka ia cenderung untuk selalu merasa mudah kecewa dan
impulsif.
2. Perkembangan Kepribadian Tunalaras
Kepribadian merupakan struktur yang unik, tidak ada dua individu yang memiliki
kepribadian sama. Para ahli mendefinisikan kepribadian sebagai suatu organisasi yang
dinamis pada sistem psikofisis individu yang turut menentukan caranya yang unik dalam
menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Kepribadian akan mewarnai peranan dan
kedudukan seseorang dalam berbagai kelompok. Dengan demikian kepribadian akan
menjadi penyebab seseorang berperilaku menyimpang. Sejak lahir setiap individu sudah
dibekali dengan berbagai kebutuhan dasar yang menuntut pemenuhan kebutuhan, dan
untuk itu setiap individu senantiasa berusaha memenuhinya yang diwujudkan di berbagai
lingkungannya.
Konflik psikis dapat terjadi apabila terjadi benturan antara usaha pemenuhan
kebutuhan dengan norma sosial. Kegagalan dalam pemenuhan kebutuhan dan
penyelesaian konflik, dapat menjadikan stabilitas emosi terganggu. Sehingga mendorong
terjadinya perilaku menyimpang. Keadaan seperti ini yang berkepanjangan dan tidak
terselesaikan dapat menimbulkan frustrasi pada diri individu, serta menimbulkan
gangguan seperti pada anak atau remaja tunalaras.
3. Perkembangan Emosi Tunalaras
Terganggunya perkembangan emosi merupakan penyebab dari tingkah laku anak
tunalaras. Ciri yang menonjol pada anak tunalaras adalah kehidupan emosi yang tidak
stabil, ketidakmampuan mengekspresikan emosinya secara tepat, dan pengendalian diri
yang kurang sehingga seringkali menjadi sangat emosional. Terganggunya kehidupan
emosi ini terjadi sebagai akibat ketidakberhasilan anak dalam melewati fase-fase
perkembangan. Kematangan emosional seorang anak ditentukan dari hasil interaksi
dengan lingkungannya.
Perkembangan emosi anak tunalaras ini yaitu ia tidak mampu belajar dengan baik
dalam merasakan dan menghayati berbagai macam emosi yang ada di dalam diri dan
lingkungan, kehidupan emosinya kurang bervariasi dan ia pun kurang dapat mengerti dan
menghayati perasaan orang lain. Anak tunalaras juga kurang mampu mengendalikan
emosinya dengan baik sehingga seringkali terjadi peledakan emosi. Ketidakstabilan
emosi ini menimbulkan penyimpangan tingkah laku, seperti mudah marah dan mudah
tersinggung, kurang mampu memahami perasaan orang lain, berperilaku agresif, menarik
diri. Perasaan-perasaan seperti itu akan mengganggu situasi belajar dan akan
mengakibatkan prestasi belajar yang tidak sesuai dengan potensi yang dimilikinya.
4. Perkembangan Sosial Tunalaras
Anak tunalaras mengalami hambatan dalam melakukan interaksi sosial dengan
orang lain atau lingkungannya. Hal ini tidak berarti bahwa mereka sama sekali tidak
memiliki kemampuan untuk membentuk hubungan sosial dengan semua orang. Dalam
banyak kejadian anak tunalaras dapat menjalin hubungan sosial yang sangat erat dengan
teman-temannya. Mereka mampu membentuk suatu kelompok yang kompak dan akrab
serta membangun keterikatan antara yang satu dengan yang lainnya.
Perbedaan yang ada adalah, anak tunalaras memiliki penghayatan yang keliru,
baik tehadap dirinya sendiri maupun terhadap lingkungan sosialnya. Mereka menganggap
dirinya tak berguna bagi orang lain dan merasa tidak berperasaan, sehingga timbul
perasaan kesulitan apabila akan menjalin hubungan dengan lingkungan. Apabila berhasil
sekalipun anak tunalaras akan menjadi sangat tergantung kepada seseorang yang pada
akhirnya dapat menjalin hubungan sosial dengannya.
H. Intervensi terhadap Tunalaras
Ada bebarapa pendekatan yang bisa dilakukan dalam usaha mengatasi
permasalahan anak tunalaras, yaitu :
1. Pendekatan biomedis
Pendekatan biomedis ini berusaha memandang dan memperlakukan anak
tunalaras dari sudut pandang ilmu kedoteran. Pendekatan ini tentu saja ditekankan
pada obat dan penangganan secara medis. Orangtua dan guru dapat berkolaborasi
dengan ahli medis atau dokter atau psikiater guna melakukan treatment
pengobatan kepada anak sehingga siswa mendapat penangganan secara medis,
pendekatan ini digunakan untuk siswa tunalaras yang mengalami ketunalarasan
karena cedera neurologis.
2. Pendekatan Psikodinamik
Pendekatan ini menitikberatkan pada segi psikologis anak. Pendekatan ini
digunakan untuk mengatasi kelainan emosi. Strateginya adalah memahami dan
memecahkan masalah yang difokuskan pada penyebab-penyebab hambatan yang
dialami siswa. Biasanya para ahli yang melakukan pendekatan ini adalah
konselor, psikolog, psikiater dan atau pekerja sosial. Guru dapat juga menjadi
bagian dari tim terapi yang menggunakan pendekatan psikodinamik.
3. Pendekatan Perilaku
Pendekatan perilaku atau modifikasi perilaku adalah usaha untuk mengubah
perilaku yang merupakan problematika sosial dan personal bagi anak. Tujuannya
adalah menghilangkan perilaku yang menjadi hambatan dan menggantinya
dengan perilaku yang lebih layak secara sosial. Peran orangtua dan guru sangat
penting karena lebih banyak menghabiskan waktu dengan anak.
4. Pendekatan Pendidikan
Siswa tunalaras dengan hambatan emosi dan perilaku kurang mampu
berkonsentrasi yang berakibat mereka juga kurang dapat mengikuti pembelajaran
dengan baik. Program pengajaran yang tertata rapi dengan harapan-harapan jelas,
dan rancangan indikator ketercapaian tujuan pembelajaran yang jelas dipercaya
dapat meningkatkan prestasi siswa tunalaras. Kuncinya ada pada pembentukan
susana belajar yang baik, kondusif, dan ramah yang harus menjadi prioritas guru.
5. Pendekatan Ekologi
Pendekatan ini menitikberatkan pada faktor-faktor dan tekanan-tekanan dalam
masyarakat. Usaha pada pendekatan ini difokuskan pada pengaruh interaksi
lingkungan terhadap anak, sehingga pendekatan ini menekankan usaha kolaborasi
antar keluarga, sekolah, teman maupun lingkungan masyarakat.

Sumber Materi Tunagrahita :

Rochyadi, Endang. 2012. Karakteristik dan Pendidikan Anak Tunagrahita.


http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PEND._LUAR_BIASA/195608181985031-
ENDANG_ROCHYADI/MODUL/PGSD4409-M6-LPK.pdf : Universitas Pendidikan
Indonesia.

Jurnal Keperawatan Indonesia, Volume 15, No. 2, Juli 2012


Somantri, Sujihati. 2006. Psikologi Anak Luar Biasa. Bandung: Refika Aditama.
http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PEND._LUAR_BIASA/195608181985031-
ENDANG_ROCHYADI/MODUL/PGSD4409-M6-LPK.pdf
YINYANG: Jurnal Studi Islam, Gender
dan Anak Vol. 14 No. 1 Juni 2019.
Jurnal Ilmu Ekonomi dan Sosial, Volume 5, Nomor 2, Juli 2016

Amin,Moh.(2005).Ortopedagogik C (pendidikan anak terbelakang). Jakarta:Depdikbud.


Mumpuniarti.(2007).Penanganan Anak Tunagrahita.Surakarta:PLB.
Astati.(2001).Persiapan Pekerjaan Penyandang Tunagrahita.Bandung:CV.Pandawa
Amin, Moh.1995.Ortopedagogik Anak Tuna Rungu Grahita.Jakarta:Depdikbud
Sumber Materi Tunalaras:

https://journal.uny.ac.id/index.php/dinamika-pendidikan/article/view/2851.

https://www.academia.edu/download/51984206/388-729-1-SM.pdf. 6 Magistra No. 86


Th. XXV Desember 2013. ISSN 0215-9511.

Suparno dan Heri Purwanto. 2007. Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus. Departemen
Pendidikan Nasional, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi.

Achroni, Keen. 2018. Lebih Dekat dengan Anak Tunalaras. Jogjakarta: Trans Idea
Publishing.

Jakfar M Shahab, S.Si,.M.Pd,.AIFO. IDENTIFIKASI DAN PELAYANAN


PENDIDIKAN JASMANI BAGI ANAK TUNA LARAS (Studi Kasus; Implementasi
Pendidikan Jasmani dalam Upaya Menyalurkan Potensi Anak Tuna Laras).

Purba, B. S., Muchamad, I., & Dian, P. D. (2018). Kajian Penanganan Terhadap Anak
Berkebutuhan Khusus. Abadimas Adi Buana. 02(1): 13-17.

Deden Saeful Hidayat dan & Wawan. (2013). Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus
Tunalaras; Peserta Didik Berkebutuhan Khusus dengan Hambatan Perilaku, Emosi, dan
Sosial . Jakarta: Luxima.

Anda mungkin juga menyukai