Anda di halaman 1dari 9

Wasathiyyah/Moderasi Islam

Isnan Ansory, Lc, MA Fri 21 February 2014 06:04 | 12213 views

Di antara karakteristik Islam yang secara eksplisit Allah sebut dalam Al


Qur’an adalah karakter wasathiyyah/moderat. Konsep ini merujuk pada
makna ummatan wasathan dalam al Qur’ân surat Al Baqarah ayat 143.
Kata wasath dalam ayat tersebut berarti khiyâr (terbaik, paling sempurna)
dan ‘âdil (adil). Dengan demikian, makna ungkapan ummatan
wasathan berarti umat terbaik dan adil.

Dengan karakter inilah ajaran Islam beserta perangkat-perangkatnya akan


selalu bersifat fleksibel (murunah) serta tak usang dimakan zaman.
Sebagaimana ditegaskan oleh Al ‘Allamah Yusuf Al Qardhawy, beliau
menyatakan bahwa salah satu karakteristik Islam yang menjadi faktor
keuniversalan, fleksibilitas dan kesesuaian ajarannya di setiap zaman dan
tempat adalah konsep wasathiyyah-nya,[1] di samping karakteristik
lainnya; rabbaniyyah (bersumber dari tuhan dan terjaga otentisitasnya), al
Insâniyyah (sesuai dengan fitrah dan demi kepentingan manusia), as
syumûl (universal dan konfrehensif), al wâqi’iyyah (kontekstual), al
wudhûh (jelas), dan al jam’u bayna ats Tsabât wa al murûnah (harmoni
antara perubahan hukum dan ketetapannya).[2]

Wasathiyyah Secara Etimologi

Secara bahasa pengertian al wasathiyyah berkisar pada makna adil, utama,


pilihan/terbaik, dan seimbang antara dua posisi yang berseberangan. Di
antaranya, kata wusûth yang berarti al mutawassith dan al mu’tadil, seperti
perkataan seorang arab badui: “’allamanî dînan wusûthan lâ dzâhiban
furûthan wa lâ sâqithan suqûthan”. Dan kata wasîth yang
berarti hasîb dan syarîf, seperti perkataan Jauhari: “fulân wasîth fî qawmihi
idzâ kâna awsathuhum nasaban wa arfa’uhum mahallan.” Dan kata al
wasath yang berarti al mutawassith baina al mutakhashimaini (penengah
antara dua orang yang berselisih).[3]

Raghib al Asfahani mengartikannya sebagai titik tengah, seimbang tidak


terlalu ke kanan (ifrâth) dan tidak terlalu ke kiri (tafrîth), di dalamnya
terkandung makna keadilan, kemulian, dan persamaan.[4] Hal senada
dinyatakan oleh Ibnu Faris, katanya: “kata al wasathiyyah berasal dari
kata wasath, yang memiliki makna yang berkisar pada adil, baik, tengah dan
seimbang.”[5]

Seseorang yang adil akan berada di tengah dan  menjaga keseimbangan


dalam menghadapi dua keadaan. Bagian tengah dari kedua ujung sesuatu
dalam bahasa Arab disebut wasath. Kata ini mengandung makna baik,
seperti dalam sebuah hadits, “Sebaik-sebaik urusan adalah awsathuhâ (yang
pertengahan)”[6] karena yang berada di tengah akan terlindungi dari cela
atau aib yang biasanya mengenai bagian ujung atau pinggir. Kebanyakan
sifat-sifat baik adalah pertengahan antara dua sifat buruk, seperti sifat berani
yang menengahi antara takut dan sembrono, dermawan yang menengahi
antara kikir dan boros dan lainnya.

Sementara itu dalam perkembangannya kata wasathiyyah seringkali


disepadankan pula dengan istilah ‘Moderasi’ yang secara etimologi berasal
dari bahasa Inggris ‘moderation’ artinya sikap sedang, tidak berlebih-lebihan.
Adapun ‘Moderator’ adalah seorang penengah, atau pelerai.[7]

Wasathiyyah Secara Terminologis

Secara sederhana pengertian wasathiyyah secara terminologis berangkat


dari makna-makna etimologis di atas adalah suatu karakteristik terpuji yang
menjaga seseorang dari kecendrungan bersikap ekstrim.

Dalam buku Strategi al Wasathiyyah yang dikeluarkan oleh Kementerian


Wakaf dan Urusan Agama Islam Kuwait, wasathiyyah didefinisikan sebagai
sebuah metode berpikir, berinteraksi dan berperilaku yang didasari atas
sikap tawâzun (seimbang) dalam menyikapi dua keadaan perilaku yang
dimungkinkan untuk dianalisis dan dibandingkan, sehingga dapat ditemukan
sikap yang sesuai dengan kondisi dan tidak bertentangan dengan prinsip-
prinsip ajaran agama dan tradisi masyarakat.[8] Dengan pengertian ini sikap
wasathiyyah akan melindungi seseorang dari kecenderungan terjerumus
pada sikap berlebihan.

Yusuf al Qaradhawi menjelaskan, wasathiyyah yang dapat disebut juga


dengan at tawâzun, yaitu upaya menjaga keseimbangan antara dua
sisi/ujung/pinggir yang berlawanan atau bertolak-belakang, agar jangan
sampai yang satu mendominasi dan menegasikan yang lain. Sebagai contoh
dua sisi yang bertolak belakang; spiritualisme dan materialisme,
individualisme dan sosialisme, paham yang realistik dan yang idealis, dan
lainnya. Bersikap seimbang dalam menyikapinya yaitu dengan memberi porsi
yang adil dan proporsional kepada masing-masing sisi/pihak tanpa
berlebihan, baik karena terlalu banyak maupun terlalu sedikit.[9]

Sedangkan Dr. Abd al Karim az Zaid mendefinikan wasathiyyah sebagai


suatu konsep yang mengandung makna yang luas meliputi setiap
karakteristik terpuji (khaslah mahmûdah) di antara dua sisi tercela/ekstrim
(tharfâni madzmûmâni), seperti kedermawanan antara kebakhilan dan
kemubadziran, sikap berani antara kepengecutan dan bunuh diri.[10]

Adapun pengertian wasathiyyah menurut terminologi Islam,[11] yang


bersandarkan kepada sumber-sumber otoritatifnya, secara terperinci al
Qaradhawi mendefinisikannya sebagai sebuah sikap yang mengandung
pengertian keadilan sebagai konskwensi diterimanya kesaksian seorang
saksi berdasarkan QS. al Baqarah/2: 143. Berarti juga konsistensi dalam
manhaj (istiqâmah al manhaj) dan jauh dari penyelewengan dan
penyimpangan berdasarkan QS. al Fatihah/1: 6. Berarti pula dasar kebaikan
(dalîl al khairiyyah) dan penampakan keutamaan dan keistimewaan dalam
perkara kebendaan (al mâddiyyat) dan kemaknawian (al ma’nawiyyat). Juga
berarti tempat yang penuh keamanan yang jauh dari marabahaya. Demikian
pula berarti sumber kekuatan dan pusat persatuan dan perpaduan.[12]

Ada pula yang menganggap bahwa konsep wasathiyyah bukanlah suatu


sikap yang diambil oleh seseorang terhadap agamanya, bukan pula sebuah
metode untuk memahami agama. Akan tetapi wasathiyyah adalah sebuah
karakter yang diperoleh seorang muslim sebagai buah dari komitmennya
terhadap ajaran agama. Karakter inilah yang menjadikannya masuk ke dalam
golongan syuhadâ'’alâ an nâs (para saksi atas manusia), yaitu para saksi
yang diterima oleh Allah persaksiannya. Selain itu karakter ini telah pula
terdeskripsikan dalam sikap beragama Nabi Muhammad saw dan para
shahabatnya. Sebab dengan hikmah-Nya yang Maha Luas, Allah telah
memberikan contoh hidup yang nyata dalam bentuk jama’ah atau komunitas
yang terwujud di dalamnya wasathiyyah ini. Allah dan Rasul-Nya telah
menjadi saksi bagi para sahabat Muhammad saw bahwa mereka telah
mewujudkan karakter wasathiyyah tersebut. Karenanya, setiap orang yang
dekat dengan manhaj komunitas sahabat dalam memahami dan
mengamalkan ajaran agama dan antusias mengikuti jejaknya, maka ia
semakin dekat kapada wasathiyyah.[13] 

Meski demikan dua pandangan ini pada hakikatnya saling menguatkan satu
sama lainnya. Dalam arti jika seorang muslim dengan komitmen yang tinggi
serta secara konsisten menjalankan aturan syariat dengan pemahaman yang
benar, maka karakteristik wasathiyyah ini akan tampak pada dirinya lalu
melahirkan sikap yang proporsional dalam menilai dan menyikapi setiap
sesuatu.

Selanjutnya Dr. Jamaludin Mahmud menegaskan, bahwa


konsep wasathiyyah sebagaimana tertera dalam QS. al Baqarah/2: 143
adalah sifat atau karakteristik yang khusus dimiliki umat Islam. Konsep ini
tidak ditemukan dalam ajaran-ajaran kitab suci selain al Quran. Begitu pula
dengan konsep khairiyyah (virtue, keunggulan, pilihan) seperti disebut dalam
surah Ali Imran :110.[14] Dan antara keduanya memang memiliki korelasi,
sebagaimana dijelaskan oleh para mufassir, bahwa makna ‘wasath’ selain
berarti adil atau seimbang juga berarti pilihan, unggul atau terbaik.[15]

Kemudian konsep wasathiyyah ini pada tataran yang lebih real, teraplikasikan
dalam ajaran (syariat) Islam tentang cara beragama, sebagaimana
disimpulkan oleh asy Syatibi bahwa, “Syariat (Islam) di dalam menentukan
pembebanan (taklîf) senantiasa menempuh jalan keseimbangan dan
keadilan”.[16]

Ibn Qayyim al Jauziyah berkata: “Syariat adalah keadilan Allah untuk hamba-
Nya, dan bentuk kasih sayang-Nya kepada makhluq-Nya. Ia merupakan
bayangan Tuhan di muka bumi. Kebijaksanaan-Nya telah menuntun hamba-
Nya mencapai keridhaan-Nya dengan cara yang paling tepat dan dengan
penegasan yang paling nyata dari kebenaran Nabi-Nya. Cahaya-Nya
menerangi pencari kebenaran dan petunjuk-Nya diberikan kepada orang-
orang bertaqwa. Syariat adalah penyembuh yang ampuh untuk segala
penyakit dan jalan lurus yang jika diikuti akan mengantarkan manusia kepada
kebenaran … Ia adalah kehidupan dan sumber tenaga, obat, cahaya,
penyembuh, dan penjaga. Semua kebaikan yang ada di dunia berasal
darinya dan hanya bisa dicapai dengannya, dan semua kelemahan terjadi
karena hilangnya syariat. Jika bukan karena masih dipertahankannya
beberapa aturan syariat (di dunia ini), kehidupan dunia ini sudah rusak dan
dunia sudah hancur … Jika Allah ingin menghancurkan dunia beserta semua
isinya, Ia terlebih dahulu akan menghilangkan hukum-hukum syariat yang
masih tersisa. Karena sesungguhnya syariat yang diturunkan kepada Nabi-
Nya … merupakan tiang kehidupan dan kunci keberhasilan dalam kehidupan
dunia dan akhirat.” [17]

Hal senada ditegaskan pula oleh Abdullah al Yahya, yang secara terperinci
menyatakan bahwa wasathiyyah dalam Islam adalah, “Syariat Allah SWT dan
budi perketi yang melekat pada setiap muslim (sulûk li kulli al muslimîn).”[18]

Dengan arti lain, wasathiyyah yang dimaksudkan Islam adalah wasathiyyah


yang cakupannya sangat luas, ia meliputi kebudayaan dan budi pekerti (al
wasathiyyah, tsaqâfah wa sulûk), sesuatu yang dapat berkembang namun
tetap menjaga orisinalitasnya (al washatiah, tathawwur wa tsabât), yang
berfungsi sebagai alat memperbaiki umat (âliyat ishlâh al ummah), sebagai
langkah-langkah menuju kejayaaan umat (khuthuwât al ummah li al qimmah),
jalan keluar bagi alam semesta dari kungkungan kegelapan (mukhrij al ‘âlam
min al hishâr), sebagai titik tolak tersebarnya umat Islam kesegenap penjuru
bumi (munthalaq al ummah nahwa al ‘âlamiyyah), sebagai vaksin dari
permusuhan yang berkepanjangan (dawâ’ al muwâjahah), sebagai balsem
dari tantangan kontemporer (balsm at tahaddiyat al mu’âshirâh), dan
wasathiyyah sebagai beban syariat sekaligus kemulian bagi mereka yang
konsisten membawa beban tersebut (al wasathiyyah taklîf wa tasyrîf).
[19]  Dengan demikian wasathiyyah adalah ruh kehidupan yang dengannya
tertegak seluruh aspek kehidupan serta sebagai pusat semua keutamaan
(ra’us al fadhâ’il).[20]

Kemudian Abdullah al Yahya menyimpulkan bahwa wasathiyyah sebenarnya


(al wasathiyyah al haqqah) yang diserukan oleh Islam adalah wasathiyyah
yang berkisar pada dua hal, yaitu penegakan Syariat Allah dan karakteristik
(sulûk) mendasar bagi setiap muslim (yang mengimplementasikan syariat
tersebut).[21]

Wallahua’lam bi ash shawab

Isnan Ansory, Lc., M.A

Peneliti dan Dosen di Kampus Syariah (Rumah Fiqih Indonesia)

 
[1] Yusuf al Qaradhawi, al Khashâ’is al ‘Âmmah li al Islâm, (Bairut:
Mu’assasah ar Risalah, 1983). cet. ke-2, hal. 131.

[2] Yusuf al Qaradhawi, al Khashâ’is al Âmmah li al Islâm, hal. 7

[3] Lihat Ali Muhammad Muhammad ash Shalabi, al Washatiyyah fî al


Qur’ân, (Kairo: Maktabat at Tabi’in, 1422/2001), cet. ke-1, hal. 13-15. (Dikutip
dari kamus-kamus berikut: Abu al Husain Ahmad Ibn
Faris, Mu’jam Maqâyîs al Lughah, (t.t: Dar al Fikr, 1399/1979), jilid. VI, hal.
108, Ibnu Manzhur, Lisân al ‘Arab, (Beirut: Dar Shadir , t.th), cet. ke-1, jilid.
VII, hal. 427-431, Muhammad Abd al Qadir ar Razi, Mukhtâr ash Shihhâh,
(Beirut: Makatabah Lubanan Naasyirun, 1415/1995), jilid. I, hal. 740, Maj ad
Din al Fairuz Abadi, al Qâmûs al Muhîth, (t.t, Mu’assasah ar Risalah, t.th),
hal. 893, Ahmad bin Muhammad al Muqri al Fayumi, al Mishbâh al Munîr fî
Gharîb asy Syarh al Kabîr, (Beirut: al Maktabah al Ilmiah, t.th), jilid. II, hal.
658).

[4] Raghib al Asfahani, Mufradât Alfâzh al Qur’ân, (Damaskus: Dar al Qalam,


t.th), jilid. II, hal. 513.

[5] Ibnu Faris, Mu`jam Maqâyîs al Lughah, jilid. I, hal. 522.

[6] HR. Ibn Abi Syaibah no. 36276, Al Baihaqi no. 6176, 3888, 6601, 6176,
dari Mutharrif bin Abdillah, Ali, dan Ibn Abbas, .

[7] John M. Echols dan Hasan Shadily, An English-Indonesiam Dictionary,


(Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2005), cet. ke-26, hal. 384. Lihat
juga Abdurahman M. Abdullah (Baadiyow), The Islah Movement: Islamic
Moderation in War-torn Somalia, (Mogadishu: t.pn, 2008), hal. 3.

[8] Muchlis M. Hanafi, “Konsep Al Wasathiah Dalam Islam”, Harmoni: Jurnal


Multikultural dan Multireligius, Vol. VIII, Nomor. 32, (Oktober-Desember,
2009), hal. 40.

[9] Yusuf al Qaradhawi, al Khashâ`ish al Âmmah li al Islâm, hal. 127.


[10] Muhammd abd al Lathif al Farfur, al Wasathiyyah fî al Islâm, (Beirut: Dar
an Nafais, 1414/1993), hal. 18.

[11]  Pembatasan pengertian wasathiah pada konsepsi Islam berangkat dari


suatu fakta bahwa konsep ini merupakan murni dan orisinil sebuah konsep
yang berasal dari Islam dengan segala kandungannya sebagaimana yang
ditegaskan al Qardhawi. Namun jika konsep ini disepadankan dengan konsep
moderasi yang berkembang, maka dalam konteks ini, menurut penulis,
setidaknya terdapat dua terminologi yang harus dibedakan, hingga tidak
menimbulkan kerancuan persepsi tentang Islam itu sendiri. Yaitu, “Islam
Moderat” dan “Moderasi Islam”. Untuk terminologi pertama, pada dasarnya
term ini tidak pernah dikenal dalam Islam, karena Islam sebagai agama yang
telah sempurna, lengkap, dan satu (QS. al Maidah/5: 3, QS. al Anbiya’/21:
92, QS. al Mu’minun/23: 52) tidak mengenal katagorisasi apapun dalam
hakikatnya. Apakah itu katagorisasi yang dianggap negatif seperti, Islam
radikal, Islam fundamentalis, Islam militan, Islam jihadis, dan lainnya. Maupun
katagorisasi di anggap positif seperti Islam progresif, Islam moderat, Islam
modernis dan lainnya. Adapun untuk terminologi kedua, umat Islam
sepanjang masa telah sepakat bahwa moderasi sebagai padanan kata
wasathiyyah merupakan salah satu karakteristik maupun cara berfikir yang
telah melekat dalam Islam itu sendiri merujuk sumber-sumbernya yang
otoritatif. Sedangkan sikap-sikap ekstrimis yang terjadi dalam diri umat Islam,
merupakan bagian dari penyimpangan yang harus diluruskan. Sebagaimana
yang terjadi pada sekte khawârij pada masa Shahabat ridhwanullah ‘alaihim.
Maupun sekte qadariyyah dan jabariyyah pada masa-masa berikutnya. Oleh
karena sangat pentingnya memperhatikan masalah penggunaan bahasa dan
istilah-istilah dasar dalam Islam ini, Prof. Naquib al Attas -seorang
cendikiawan muslim Malaysia yang lahir di Indonesia-  mengingatkan
perlunya penggunaan bahasa atau istilah-istilah dasar dalam Islam dengan
benar agar jangan sampai terjadi kekeliruan yang meluas dan kesilapan
dalam memahami Islam dan pandangannya tentang hakikat dan kebenaran.
Menurut Prof. Naquib al Attas, banyak istilah kunci dalam Islam yang kini
menjadi kabur dipergunakan sewenang-wenang sehingga menyimpang dari
makna yang sebenarnya. Ia menyebutnya sebagai penafi-islaman
bahasa (de-Islamization of lenguange). Contoh kasus penafi-islaman bahasa
menurut Naquib adalah pemaknaan istilah “keadilan” yang diartikan sebagai
“tiada menyebelahi mana-mana pihak, dan menyamaratakan taraf tanpa
batasan, atau sebagai tata cara belaka. Contoh lain, penyalahpahaman
makna istilah “adab”, yang diartikan hanya sebagai adat peraturan mengenai
kesopanan, yang lazimnya merupakan amalan berpura-pura sopan. (Lihat
Prof. Syed Naquib al Attas, Tinjauan Peri Ilmu dan Pandangan Alam (Pulau
Pinang: Universiti Sains Malaysia, 2007), hlm. 60. Dalam Adian
Husaini, Pancasila Bukan Untuk Menindas Hak Konstitusional Umat
Islam, Kesalahpahaman dan Penyalahpahaman terhadap pancasila 1945-
2009, (Jakarta: Gema Insani Press, 2009), cet. ke-1, hlm. 216-217). Selain
itu, tetap harus dibedakan pula Islam sebagai agama dan ajaran, dengan
pemeluknya. Sebagai agama dan ajaran, Islam tidak pernah berubah. Islam
sudah lengkap dan sempurna. Hanya saja, pemahaman pemeluknya
terhadap Islam itulah yang berbeda-beda; ada yang lengkap dan tidak; ada
yang memahami Islam dari satu aspek, sementara aspek yang lain
ditinggalkan. Misalnya, Islam hanya dipahami dengan tasâmuh (toleransi)-
nya saja, sementara ajaran Islam yang lain, yang justru melarang tasâmuh
tidak dipakai. Dari sini, seolah-olah Islam hanya mengajarkan tasâmuh
sehingga Islam terkesan permisif. Padahal kenyataannya ada yang boleh di-
tasâmuhi, dan ada pula yang tidak. Jadi, tetap harus dipilah antara Islam dan
orangnya.   

[12] Yusuf al Qaradhawi, al Khashâ`ish al Âmmah li al Islâm, hal. 131-134.

[13] Ja'far Syaikh Idris, Wasathiyyah Tanpa Tamayyu'iyah, albayan.com, 31


Desember 2011. Lihat juga Abdurrahman bin Mu’alla al Luwaihiq, Ghuluw
Benalu dalam ber-Islam, hal. 8. Al Luwaihiq menambahkan, “Dengan begitu
tampak jelas bahwa wasathiyyah bukan merupakan ukuran tentang
keutamaan yang dibuat manusia, tapi itu merupakan keistimewaan yang
dimiliki agama ini dan syariatnya, bahwa para pemeluk agama ini terbebas
dari penyimpangan, baik pada sisi ghuluw atau pada sisi taqshir.”

[14] Jamaluddin Mahmud, “The Concept, Characteristic and Application of


Wasatiya in Islamic Legislation”, Jurnal Islam Today, (ISESCO, 1992), hal.47

[15] Lihat misalnya, Muhammad bin Ali al Syaukani, Tafsir Fath al Qadir, cet.


ke-2, jilid. 2, hal. 174.

[16] Al Jilali al Muraini, al Qawâ’id al Ushûliyyah ‘inda al Imâm al Syâtibî,


(Kairo: Dar Ibn Affan, 2002), hal. 246.
[17] Ibnu Qayyim al Jauziyyah, I’lâm al Muwaqqi’în ‘an Rabb al ‘Alamîn, jilid.
III, hal. 3.

[18] Abdullah Abdul Aziz al Yahya, al Wasathiyyah ath Tharîq ilâ al Ghad,


hal. 64.

[19] Abdullah Abdul Aziz al Yahya, al Wasathiyyah ath Tharîq ilâ al Ghad,


hal. 22.&a

Anda mungkin juga menyukai