Meski demikan dua pandangan ini pada hakikatnya saling menguatkan satu
sama lainnya. Dalam arti jika seorang muslim dengan komitmen yang tinggi
serta secara konsisten menjalankan aturan syariat dengan pemahaman yang
benar, maka karakteristik wasathiyyah ini akan tampak pada dirinya lalu
melahirkan sikap yang proporsional dalam menilai dan menyikapi setiap
sesuatu.
Kemudian konsep wasathiyyah ini pada tataran yang lebih real, teraplikasikan
dalam ajaran (syariat) Islam tentang cara beragama, sebagaimana
disimpulkan oleh asy Syatibi bahwa, “Syariat (Islam) di dalam menentukan
pembebanan (taklîf) senantiasa menempuh jalan keseimbangan dan
keadilan”.[16]
Ibn Qayyim al Jauziyah berkata: “Syariat adalah keadilan Allah untuk hamba-
Nya, dan bentuk kasih sayang-Nya kepada makhluq-Nya. Ia merupakan
bayangan Tuhan di muka bumi. Kebijaksanaan-Nya telah menuntun hamba-
Nya mencapai keridhaan-Nya dengan cara yang paling tepat dan dengan
penegasan yang paling nyata dari kebenaran Nabi-Nya. Cahaya-Nya
menerangi pencari kebenaran dan petunjuk-Nya diberikan kepada orang-
orang bertaqwa. Syariat adalah penyembuh yang ampuh untuk segala
penyakit dan jalan lurus yang jika diikuti akan mengantarkan manusia kepada
kebenaran … Ia adalah kehidupan dan sumber tenaga, obat, cahaya,
penyembuh, dan penjaga. Semua kebaikan yang ada di dunia berasal
darinya dan hanya bisa dicapai dengannya, dan semua kelemahan terjadi
karena hilangnya syariat. Jika bukan karena masih dipertahankannya
beberapa aturan syariat (di dunia ini), kehidupan dunia ini sudah rusak dan
dunia sudah hancur … Jika Allah ingin menghancurkan dunia beserta semua
isinya, Ia terlebih dahulu akan menghilangkan hukum-hukum syariat yang
masih tersisa. Karena sesungguhnya syariat yang diturunkan kepada Nabi-
Nya … merupakan tiang kehidupan dan kunci keberhasilan dalam kehidupan
dunia dan akhirat.” [17]
Hal senada ditegaskan pula oleh Abdullah al Yahya, yang secara terperinci
menyatakan bahwa wasathiyyah dalam Islam adalah, “Syariat Allah SWT dan
budi perketi yang melekat pada setiap muslim (sulûk li kulli al muslimîn).”[18]
[1] Yusuf al Qaradhawi, al Khashâ’is al ‘Âmmah li al Islâm, (Bairut:
Mu’assasah ar Risalah, 1983). cet. ke-2, hal. 131.
[6] HR. Ibn Abi Syaibah no. 36276, Al Baihaqi no. 6176, 3888, 6601, 6176,
dari Mutharrif bin Abdillah, Ali, dan Ibn Abbas, .