Infeksi Ascaris Lumbricoides: Tinjauan Pustaka
Infeksi Ascaris Lumbricoides: Tinjauan Pustaka
Oleh
dr. Ni Luh Ariwati
BAGIAN PARASITOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
2017
1
DAFTAR ISI
Bab 1.PENDAHULUAN..................................................................................................................1
Bab 3. Penutup
Daftar Pustaka
2
BAB 1
PENDAHULUAN
3
9
di DKI Jakarta.
Penelitian yang dilakukan di Cirebon, Jawa Barat menunjukkan prevalensi
kecacingan berhubungan dengan status sosial ekonomi dan kebersihan
lingkungan, yaitu tingginya angka infeksi pada kelompok sosial ekonomi kurang
dan lingkungan buruk dibandingkan kelompok sosial ekonomi dan kebersihan
lingkungan sedang dan baik. Didapatkan angka 80% untuk askariasis, 92,4%
untuk trikuriasis, dan 82,4% untuk infeksi cacing tambang pada status sosial
10
ekonomi kurang. Sedangkan menurut penelitian Nurlila (2002), anak yang
berada pada status ekonomi rendah memiliki risiko 4,75 kali lebih besar untuk
8
terinfeksi kecacingan dibandingkan anak dengan status ekonomi tinggi. Kondisi
ekonomi yang buruk merupakan faktor yang menguntungkan bagi infeksi
kecacingan, mungkin berkaitan dengan kurangnya sarana yang memadai untuk
menciptakan lingkungan yang sehat dan persediaan air bersih serta jamban yang
8
memenuhi syarat kesehatan.
4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Askariasis
2.1.1 Epidemiologi Askariasis
Terdapat lebih dari 1 milyar orang di dunia dengan infeksi askariasis.
Infeksi askariasis, atau disebut juga dengan cacing gelang, ditemukan di seluruh
area tropis di dunia, dan hampir di seluruh populasi dengan sanitasi yang buruk.
Telur cacing bisa didapatkan pada tanah yang terkontaminasi feses, karena itu
infeksi askariasis lebih banyak terjadi pada anak-anak yang senang memasukkan
12
jari yang terkena tanah ke dalam mulut. Kurangnya pemakaian jamban
menimbulkan pencemaran tanah dengan tinja di sekitar halaman rumah, di bawah
11
pohon, di tempat mencuci dan tempat pembuangan sampah. Telur bisa hidup
hingga bertahun-tahun pada feses, selokan, tanah yang lembab, bahkan pada
12
larutan formalin 10% yang digunakan sebagai pengawet feses. Di Jakarta, angka
infeksi askariasis pada tahun 2000 adalah sekitar 62,2%, dan telah mencapai
5
74,4%-80% pada tahun 2008 .
5
Gambar 1. Ascaris lumbricoides, makroskopis
Sumber : Slide Kuliah Prof. Indah Tantular, 2016
Telur yang sudah dibuahi berbentuk oval sampai bulat, dengan panjang
45-75 μm dan lebar 35-50 μm. Dinding uterina cacing menghasilkan lapisan luar
yang tebal dan bergumpal pada telur, sehingga saat telur dikeluarkan melalui
feses, lapisan ini terwarnai oleh cairan empedu sehingga menjadi berwarna
cokelat keemasan. Embrio biasanya belum membelah ketika masih berada di
12
feses.
6
terbentuk setelah penetrasi sperma terhadap oosit, karena itu pada telur yang
12
belum dibuahi, hanya dapat terlihat lapisan proteinase.
Embrio membutuhkan waktu 9 sampai 13 hari untuk menjadi telur
matang. Embrio resisten terhadap suhu rendah, kekeringan, dan zat kimia yang
kuat. Namun, embrio bisa mati dalam waktu singkat bila terpapar sinar matahari
12
dan suhu tinggi.
Infeksi terjadi ketika telur infektif (telur berisi larva) yang belum menetas
tertelan bersama air dan makanan yang tercemar. Telur akan menetas di
duodenum, menembus mukosa dan submukosa, kemudian memasuki limfe.
Setelah melewati jantung kanan, cacing ini memasuki sirkulasi paru dan
menembus kapiler menuju daerah-daerah yang mengandung udara. Pada paru,
cacing tumbuh hingga mencapai panjang 1,4-1,8 mm dalam 10 hari. Selanjutnya
7
cacing akan naik ke faring dan tertelan. Cacing yang tahan terhadap asam
14
lambung akan masuk ke usus halus dan matang di sana. Dalam 60-65 hari
setelah tertelan, cacing akan menjadi dewasa dan mulai bertelur. Cacing dewasa
memiliki panjang 20-40 cm dan hidup dalam usus halus manusia hingga bertahun-
11
tahun.
8
Diagnosis pasti askariasis adalah ditemukannya cacing dewasa pada atau
muntahan penderita, atau ditemukannya telur cacing pada tinja atau cairan
15
empedu penderita. Cacing pada saluran empedu dapat terlihat bila dilakukan
16
kolangiografi intravena. Diagnosis juga dapat dilakukan melalui radiografi,
12
dengan mengamati cacing yang memakan barium. Cacing tampak sebagai
16
gambaran memanjang radiolusen.
16
Tinja yang tidak mengandung telur Ascaris lumbricoides dapat didapatkan bila :
- cacing di usus belum menghasilkan telur.
-hanya ada cacing jantan.
- penyakit masih dalam waktu inkubasi, yaitu baru terdapat bentuk larva.
16
Telur pada tinja penderita dapat ditemukan dalam berbagai bentuk, yaitu :
- telur yang dibuahi (fertilized). Berukuran 40 x 60 μm dengan dinding
albuminoid, berbenjol-benjol, berwarna kuning tengguli, dengan lapisan hialin
tebal transparan pada bagian bawahnya.
- telur yang tidak dibuahi (unfertilized). Berukuran 40 x 90 μm, bentuknya lebih
panjang dan lebih langsing daripada telur yang dibuahi, dan tampak sejumlah
granula di dalamnya.
- telur tanpa korteks (decorticated) tanpa lapisan yang berbenjol-benjol, dibuahi
atau tidak dibuahi. Telur tanpa korteks ini hanya terkadang ditemukan, dan sangat
mungkin merupakan artefak.
9
penyembuhan lebih dari 95%, namun tidak boleh diberikan kepada ibu hamil.
Pada infeksi berat, dosis tunggal perlu diberikan selama 2-3 hari.
- Mebendazol diberikan sebanyak 100 mg, 2 kali sehari selama 3 hari. Pada
infeksi ringan, mebendazol dapat diberikan dalam dosis tunggal (200 mg).
- Piperazin merupakan obat antihelmintik yang bersifat fast-acting. Dosis
piperazin adalah 75 mg/kgBB (maksimum 3,5 gram) selama 2 hari, sebelum atau
sesudah makan pagi. Efek samping yang kadang ditemukan adalah gejala
gastrointestinal dan sakit kepala. Gejala sistem saraf pusat juga bisa ditemukan,
tetapi jarang. Piperazin tidak boleh diberikan pada penderita dengan insufisiensi
2.1.5.2. PENCEGAHAN
Berdasarkan kepada siklus hidup dan sifat telur cacing ini, maka upaya pencegahannya
dapat dilakukan dengan sanitasi yang baik dan tepat guna, hygiene keluarga dan hygiene
pribadi seperti :
a. Tidak menggunakan tinja sebagai pupuk tanaman.
b. Sebelum melakukan persiapan makanan dan hendak makan, tangan dicuci terlebih
dahulu dengan menggunkan sabun dan air mengalir.
c. Bagi yang mengkonsumsi sayuran segar (mentah) sebagai lalapan, hendaklah dicuci
bersih dengan air mengalir.
d. Mengadakan terapi massal setiap 6 bulan sekali didaerah endemik ataupun daerah
yang rawan terhadap penyakit askariasis.
e. Memberi penyuluhan tentang sanitasi lingkungan.
f. Melakukan usaha aktif dan preventif untuk dapat mematahkan siklus hidup cacing
misalnya memakai jamban/WC.
g. Makan makanan yang dimasak saja.
h. Menghindari sayuran mentah (hijau) dan selada di daerah yang menggunakan tinja
sebagai pupuk.
Karena telur cacing Ascaris dapat hidup dalam tanah selama bertahun- tahun, pencegahan
dan pemberantasan di daerah endemik adalah sulit.
10
2.2 RESPON IMUN TERHADAP INFEKSI CACING USUS (SOIL TRANSMITTED
HELMINTH)
Patogenitas infeksi cacing disebabkan oleh efek parasit secara langsung dan oleh
interaksinya dengan sistem imun hospes. Cacing bisa juga menyebabkan penyakit ketika hospes
sebelumnya terpapar terhadap bagian yang infektif atau ketika hospes mengalami imunosupresi
atau kekurangan nutrisi. Dalam banyak kasus, anak-anak lebih mudah terinfeksi cacing
dibandingkan dengan dewasa. 17
Efek modulasi infeksi cacing terhadap sistem imun ini terjadi akibat perubahan
18,19,20
keseimbangan T helper1/T helper2 (Th1/Th2) ke arah sel Th2 (Th2 polarized). Pada
infeksi cacing usus baik pada manusia maupun secara eksperimen memperlihatkan bahwa infeksi
cacing usus akan condong menstimulasi respon imun hospes ke arah Th2. Pada saat terjadi
infeksi cacing, Antigen Presenting Cell (APC) berupa sel dendrit akan mempresen-tasikan
molekul antigen cacing bersama dengan molekul MHC kelas II pada sel T naive (Th0). Pada
infeksi kronis, selain sel dendrit, terdapat sel lain yang berperan sebagai Antigen Presenting Cell
yaitu sel NeMac (Nematode Elicite Macrophage) atau sel AAM (Alternatively Activated
Macrophage). Sel NeMac atau sel AAM ini disebut juga sebagai type 2 macrophage. Makrofag
19,20
ini berukuran besar, multivakuolar dan berbeda secara genetik dengan makrofag primitif.
Setelah terpapar dengan antigen cacing, sel NeMac akan melakukan berbagai aktifitas. Sel
NeMac akan bekerja menghambat proliferasi sel T melalui contact dependent mechanism. Proses
ini berbeda dengan mekanisme penghambatan proliferasi sel T yang dilakukan oleh NO,
prostaglandin dan sitokin seperti IL-10 dan TGF-β. Sel NeMac juga berperan dalam
menginduksi terjadinya diferensiasi sel Th0 menjadi Th2. Produk NeMac berupa protein YM1
yang dikenal sebagai eosinophil activating factor akan mengakibatkan infiltrasi lokal
eosinofil.19,20
Proses perkenalan antigen oleh Antigen Presenting Cell kepada sistem imun spesifik ini
terjadi pada mesenterik limfonodus atau pada limfonodus terdekat. Sel Th0 yang telah teraktivasi
akan mengalami proliferasi dan diferensiasi menjadi sel Th1 dan Th2. Pada infeksi cacing respon
ini terpolarisasi ke arah sel Th2 dan produknya terutama interleukin-4 (IL-4) akan menekan
perkembangan sel Th1.21,22,23 Secara umum, respon imun sejak awal infeksi hingga terjadi proses
eliminasi pada infeksi cacing dapat dibedakan atas respon imun non spesifik dan spesifik.
11
2.3 Peran IgE Pada Infeksi Cacing Usus
Peradangan dikendalikan oleh protein pengatur komplemen PGE2, TGF β,
glukokortikoid, dan IL-10. LPS ditangkap oleh reseptor spesifik, IL-1, IL-8 dan TNF-α terlibat
dalam proses terjadinya peradangan. Sementara itu, ketidakmampuan menyingkirkan penyebab
terjadinya reaksi radang menahun yang biasanya dilakukan oleh makrofag, seringkali membentk
granuloma. 26
Berbagai mekanisme pertahanan dilancarkan oleh pejamu, pada dasarnya dapat
digambarkan bahwa reaksi humoral terbentuk pada organisme yang masuk peredaran darah.
Sedangkan parasit yang hidup di jaringan biasanya merangsang imunitas seluler. Antibodi akibat
infeksi cacing biasanya efekstif terhadap bantuk yang ditularkan melalui darah. Produksi IgE
sangat meningkat pada infestasi cacing dan dapat menyebabkan masuknya Ig dan eosinofil yang
diperantarai oleh sel mastoid. 6
Infeksi cacing yang kronik akan menimbulkan rangsangan antigen persisten yang
meningkatkan kadar imunoglobulin dalam sirkulasi dan pembentukan kompleks imun. Antigen-
antigen yang dilepas parasit diduga berfungsi sebagai mitogen poliklonal sel B yang T
independen. Pertahanan terhadap banyak infeksi cacing diperankan oleh aktivasi sel Th2 yang
menghasilkan IgE dan aktivasi eosinofil. IgE yang berikatan dengan permukaan cacing diikat
eosinofil. Selanjutnya eosinofil diaktifkan dan mensekresi granul enzim yang menghancurkan
parasit. Produksi IgE dan eosinofil sering ditemukan pada infeksi cacing. Produksi IgE
disebabkan sifat cacing yang merangsang subset Th2 sel CD4+, yang melepas IL-4 dan IL-5. IL-
4 merangsang produksi IgE dan IL-5 merangsang perkembangan dan aktivasi eosinofil. Eosinofil
lebih efektif dibanding leukosit lain oleh karena eosinofil mengandung granul yang lebihtoksik
dibanding enzim proteolitik dan Reactive Oxygen Intermediate yang diproduksi neutrofil dan
makrofag. Cacing dan ekstrak cacing dapat merangsang produksi IgE yang non-spesifik. Reaksi
inflamasi yang ditimbulkannya diduga dapat mencegah menempelnya cacing pada mukosa
saluran cerna. 27
Cacing biasanya terlalu besar untuk difagositosis. Degranulasi sel mast/basofil yang IgE
dependen menghasilkan produksi histamin yang menimbulkan spasme usus tempat cacing hidup.
Eosinofil menempel pada cacing melalui IgG/IgA dan melepas protein kationik, dan neurotoksin.
PMN dan makrofag menempel melalui IgA/IgG dan melepas superoksida, oksida nitrit dan
enzim yang membunuh cacing.27
12
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
13
DAFTAR PUSTAKA
14
284-6.
13. Bethony J, Brooker S, Albonico M, Geiger SM, Loukas A, Diemert D, et
al. Soil-transmitted helminth infections: ascariasis, trichuriasis, and
hookworm. Lancet. 2006; 367: 1521-32.
14. Laboratory Identification of Parasites of Public Health Concern.
[homepage on the internet]. Atlanta: Centers for Disease Control &
Prevention Center for for Global Health; c2004 [cited 2016 September 29].
Available from: http://www.dpd.cdc.gov/dpdx.
15. Soedarto. Penyakit Menular di Indonesia.1st edition. Jakarta: Sagung Seto;
2009. p. 15-25, 66-8.
16. Hadidjaja P, Margono SS, ed. Dasar parasitologi klinik. 1st edition. Jakarta
: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2011.
17. Mulcahy G, O’Neil, Donnely S, Dalton JP. Helminth at Mucosal Barriers
Interaction with the Immune System. Advanced Drug Delivery Reviews. 2004; 56:
853-868.
18. Yazdanbakhsh M, Kremsner GP, Ree VR. IgE, Eosinophil and Mast Cell in
Helminth Infection. Ned Tijdschr Klin Chem 1996; 21 (4): 213.
19. Yazdanbakhsh M, Biggelaar A, Maizels RM. Th2 Responses without Atopy:
Immunoregulation in Chronic Helminth Infection and Reduced Allergic Disease.
Trends in Immunology 2001; 22: 372-377.
20. Maizels RM, Yazdanbakhsh. Immune Regulation by Helminth Parasites. Cellular
and Molecular Mechanism. Nature Review 2003; 3: 733-44.
21. Wills M, Santeliz J, Karp CL. The germless theory of allergic disease: revisiting
the hygiene hypothesis. Nature Review Immunology 2001;1 (69): 75.
22. Abbas KA. Function and Disorders The Immune System. In Basic Immunology,
Second Edition, Elsevier Inc. 2004
23. Anthony MR, Rutitzky IL, Urban FJ, Stadecker JM, Gause CW. Protective
Immune Mechanisms in Helminth Infection. Nature Review Immunology 2007;
7: 975-987.
24. Sher A, Scott PA. Mechanism of Acquired Immunity against parasites. Blackwell
Scientific Publication Inc 1993; 35-44.
25. Wang JL, Cao Y, Shi NH. Helminth Infection and Intestinal Inflammation. World
Journal Gastroenterology 2008; 14(33): 5125-132.
26. Roitt I, 2000. Imunologi, Essential Immunology. Edisi 8, Penerbit Widya Medika,
Jakarta.
27. Baratawijaya KG, 2004. Imunologi Dasar. Edisi ke-6, Penerbit FKUI, Jakarta.
15