Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit tuberkulosis menjadi masalah kesehatan disetiap negara, terdapat

22 negara dikategorikan sebagai penderita penyakit TBC terbesar (High Burden

Countries), termasuk Indonesia (McNeal & Selekmen, 2017). Penyakit TBC

menyebabkan 1,3 juta kematian, lima negara dengan kejadian kasus TBC tertinggi

yaitu India (27%), China (9%), Indonesia (8%), Philipina (6%), dan Pakistan

(5%). Indonesia menjadi negara ketiga penyumbang kasus tuberkulosis setelah

India dan China (Ozer et al., 2017).

(Kemenkes RI, 2018) menyebutkan bahwa ada beberapa provinsi yang

tersebar di Indonesia dengan kasus penderita tuberkulosis paru , diantaranya

mempunyai angka kasus penderita tuberkulosis diatas angka nasional yaitu Riau,

Nusa Tengara Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah dan Daerah Timur

Indonesia. Angka keberhasilan pengobatan semua kasus TB (success rate) sebesar

89% dari target 85%, dengan success rate lebih dari 90% menggambarkan

semakin banyak masyarakat yang menderita TB yang menyelesaikan pengobatan

sampai tuntas.

(Kemenkes RI, 2016) menyebutkan di Provinsi Sumatera Utara, pada

tahun 2016 mencapai jumlah penderita tuberkulosis sekitar 23.097 kasus dengan

angka kematian 5.714 orang. Kasus TBC dengan BTA positif ditemukan sebesar

11.771 kasus diantaranya 34% perempuan dan 66 % laki-laki, diantaranya 1%

anak – anak dan 99% dewasa. Dimana angka meningkatnya kasus TBC dengan

BTA positif 83% dan angka jumlah penderita baru TBC dengan BTA positif
sebesar 66%. Menurut data tersebut bahwa ada 3 kabupaten/kota tertinggi angka

kejadian TB paru, diantaranya Kota Medan sebesar 3.006/100.000, Kabupaten

Deli Serdang sebesar 2.184/100.000 dan Kabupaten Simalungun sebesar

962/100.000.

Penyakit Tuberkulosis menjadi salah satu penyebab kematian tertinggi

didunia pada tahun 2016 dan menjadi masalah kesehatan yang perlu diselesaikan

(Kemenkes RI, 2018). Tingginya angka kasus TBC membuat pemerintah

Indonesia menargetkan bebas tuberkulosis pada tahun 2030, dengan

melaksanakan target Sustainable Development Goals (SDGs) (Mega, 2021).

Menurut (Dirjen P2PL, 2011) mengemukakan ada tiga faktor yang menyebabkan

tingginya kasus TB paru di Indonesia, yaitu adanya peningkatan infeksi HIV/AID

yang berkembang cepat dan munculnya permasalahan TB-MDR (Multi Drugs

Resistant atau kebal terhadap bermacam obat) yang memperberat masalah TBC,

adanya penderita TBC laten, dimana penderita tidak sakit namun akibat daya

tahan tubuh menurun sehingga penyakit akan muncul dan waktu pengobatan yang

relative lama (minimal 6 - 9 bulan) menjadi penyebab penderita sulit sembuh

karena pasien TB menghentikan pengobatan (Drop Out) setelah merasa sehat

meskipun proses pengobatan belum selesai

Penderita TBC yang menghentikan pengobatan (Drop Out) dapat menjadi

masalah kesehatan individu dan masyarakat, hal ini dikarenakan pengobatan

tuberkulosis yang tidak tuntas dapat menyebabkan peningkatan penularan,

resistensi obat, hingga kematian (Orr, 2011). Tingkat penularan pasien

tuberculosis BTA positif sebesar 65%, jika satu orang penderita dapat menularkan

ke 10-15 orang, pada tahun berikutnya jumlah yang tertular adalah 5,8 juta orang.
Hal ini akan semakin meningkat apabila penderita melakukan putus berobat

(Kemenkes RI, 2014).

Faktor yang menyebabkan penderita melakukan putus obat TBC

dikarenakan jenuh dengan pengobatan yang cukup lama, efek samping obat atau

merasa lebih baik setelah awal (2 bulan pertama) pengobatan (MacPherson et al.,

2014). Sementara itu, menurut (Octovianus et al., 2015) mengemukakan

karakteristik pasien yang mengalami putus berobat yaitu umur (lebih dari 45

tahun), jenis kelamin (laki–laki), pendidikan (SMP) dan pengetahuan (kurang).

Pada penelitian (Anggraeni & Rahayu, 2018) mengemukakan karakteristik

keluarga penderita yang tinggal serumah dengan penderita dan mengalami gejala

klinis tuberculosis, sebanyak 61,1% memiliki pendidikan yang rendah.

Menurut (Akessa et al., 2015) mengemukakan akibat dampak ketika

penderita tidak tuntas melakukan pengobatan akan menimbulkan kekebalan

bakteri tuberculosis terhadap Obat Anti Tuberkulosis (OAT) atau disebut dengan

Multi Drug Resistant (MDR), jika penderita TB-MDR masih tidak patuh, maka

akan menjadi penderita Extensively Drug Resistant Tuberkulosis (XDR-TB) TB

yaitu resistensi obat yang sudah tahap ekstrem.

Di lihat dari kondisi tersebut, WHO merekomendasikan strategi dan

program dalam menangani kasus TB dengan strategi DOTS (Directly, Observed,

Treatment, Shortcourse) sebagai strategi dalam penanggulangan kasus TB sejak

tahun 1995. Menggunakan Gerakan Terpadu Nasional (GERDUNAS) TB yang

dibentuk oleh pemerintah pada tanggal 24 penanggulangan TB. Ada lima

komponen dalam DOTS yaitu : 1. Komitmen politis dari pemerintah menjalankan

program TB; 2. Diagnosis TB melalui pemeriksaan dahak secara mikroskopis: 3.


Pengobatan TB dengan panduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) yang diawasi

langsung oleh Pengawas Minum Obat (PMO); 4. Kesinabungan persediaan OAT;

5.Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan pemantauan dan

evaluasi program penanggulangan TB (Kemenkes RI, 2014). Berdasarkan latar

belakang diatas maka peneliti tertarik melakukan penelitian tentang faktor faktor

yang menyebabkan kegagalan penderita tuberkulosis menyelesaikan pengobatan

di Rumah Sakit Imelda Pekerja Indonesia (IPI).

1.2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “faktor faktor penyebab

kegagalan penderita tuberkulosis menyelesaikan pengobatan di Rumah Sakit

Imelda Pekerja Indonesia (IPI)”.

1.3 Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui faktor faktor penyebab kegagalan penderita

tuberkulosis menyelesaikan pengobatan di Rumah Sakit Imelda Pekerja Indonesia

(IPI).

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Bagi Responden

Meningkatkan motivasi kepada penderita tuberkulosis untuk

menyelesaikan pengobatan secara tuntas.

1.4.2 Bagi Pendidikan Keperawatan

Manfaat bagi institusi/pendidikan yaitu sebagai referensi tambahan

mahasiswa/mahasiswi sebagai bahan dalam mengembangkan penelitian


selanjutnya khususnya mengenai faktor faktor kegagalan penderita tuberkulosis

menyelesaikan pengobatan.

1.4.3 Bagi Pelayanan Kesehatan

Memberikan sumber informasi bagi rumah sakit untuk mencegahan

meningkatnya penderita putus obat pada penderita tuberkulosis.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksi menular disebabkan oleh basil

Mycobacterium tuberkulos dan menyerang paru (TB paru), tetapi dapat juga

menyerang organ tubuh yang lain (TB extra paru), seperti tulang kelenjar limfe,

pleura dan lain-lain. (Tjoktoprawiro et al, 2015).

2.2 Etiologi

Penyebab tuberkulosis adalah Mycobacterium tubercolosis. Basil ini tidak

berspora sehingga mudah dibasmi dengan pemanasan, sinar matahari dan sinar

ultraviolet. Ada dua macam mikrobakteria tuberkulosis yaitu tipe human dan tipe

bovin berada dalam susu sapi yang menderita masitis tuberkulosis usus. Basil tipe

human bisa berada dibercak ludah (droplet) dan diudara yang berasal dari

penderita TBC dan orang yang terkena rentan terinfeksi bila menghirupnya.

Setelah organism terinhalasi dan masuk paru – paru bakteri dapat bertahan

hidup dan menyebar kenoduus limfatikus lokal. Penyebaran melalui aliran darah

ini dapat menyebabkan TB dan organ lain, dimana infeksi laten dapat bertahan

sampai bertahun tahun.

Dalam perjalan penyakitnya terdapat 4 fase:

1. Fase 1 (Fase Tuberculosis Primer)

Masuk kedalam paru dan berkembang biak tanpa menimbulkan reaksi

pertahanan tubuh.

2. Fase 2
3. Fase 3 (fase laten) : fase dengan kuman yang tidur (bertahun – tahun/seumur

hidup) dan reaktifitas jika terjadi perubahan keseimbangan daya tahan tubuh

dan bisa terdapat ditulang panjang, vertebra, tuba fallopi, otak, kalenjar limf

hilus, leher dan ginjal

4. Fase 4 : dapat sembuh tanpa cacat atau sebaliknya, juga daapt menyebar ke

organ yang lain dan yang kedua keginjal setelah paru.

2.3 Manifestasi Klinis

1. Demam 40-410C, setara ada batuk/batuk darah

2. Sesak napas dan nyeri dada

3. Malaise, keringat malam

4. Suara khas pada perkusi dada, bunti dada

5. Peningkatan sel darah putih dengan dominasi limfosit

6. Pada anak

- Berkurangnya BB 2 bulan berturut – turut tanpa sebab yang jelas atau

gagal tumbuh

- Demam tanpa sebab jelas, terutama jika berlanjut sampai 2 minggu

- Batuk kronik > 3 minggu, dengan atau tanpa wheeze.

- Riwayat kontak dengan pasien TB paru dewasa

2.4 Pemeriksaan penunjang

pemeriksaan diagnostik yang dilakukan pada klien dengan tuberculosis

paru yaitu:

1. Laboratorium darah rutin : LED normal / meningkat, limfositosis


2. Pemeriksaan sputum BTA : untuk memastikan diangnostik TB paru, naum

pemeriksaan ini tidak spesifik karena hanya 30 – 70% pasien yang dapat

didiagnosa berdasarkan pemeriksaan ini.

3. Tes PAP (Peroksidase Anti Peroksidase)

Merupakan ujj serologi imunoperoksidase memakai alat histogen staining

untuk menentukan adanya IgG spesifik terhadap hasil TB

4. Tes Mantoux/Tuberkulin

Merupakan uji seologi imunoperoksidase memakai alat histogen staining

untuk menentukan adanya IgG spesifik terhadap TB

5. Tehnik Polymerase Chain Reaction

Deteksi DNA kuman secara spesifik melalui amplifikasii dalam meskipun

hanya satu mikroorganisme dalam spesimen juga dapat mendeteksi adanya

resitensi

6. Vecton Dickinson diagnostic instrument Sistem (BACTEC)

Deteksi growth indeks berdasarkan CO2 yang dihasilkan darii metabolisme

asam lemak oleh mikrobakterium tuberkulosis.

7. MYCODOT

Deteksi antibody memakai antiigen liporabinomanna yang direkatkan pada

suatu alay betbentuk seperti sisir plastic, kemudian dicelupkan dalam jumlah

memadai memakai warna sisr akan berubah.

8. Pemeriksaan radiology : Rontgen thorax PA dan lateral

Gambar foto thorax yang menunjang diagnosis TB yaitu:

- Bayangan lesi terletak di lapangan paru atas atau segment apikai lobus

bawah
- Bayangan berwarna (patchy) atau bercak (nodular)

- Adanya kavitas, tunggal atau ganda

- Kelainan bilateral terutama di lapangan atas paruu

- Adanya klasifikasi

- Bayangan menetap pada foto ulang beberapa minggu kemudian

- Bayangan milie

2.5 Penatalaksanaan

Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu intensif (2-3 bulan)

dan fase lanjutan 4 atau 7 bulan. Panduan obat yang digunakan dari paduan obat

utama dan tambahan.

2.5.1 Obat Anti Tuberkulosis (OAT)

1. Jenis obat utama (lini 1 ) yang digunakan adalah

a. Rifampisin

Dosis 10 mg/kg BB, maksimal 600mg 2-3X/minggu atau

BB > 60kg : 600mg

BB 40-60 kg : 450mg

BB< 40kg : 300mg

Dosis intermiten 600mg/kali

b. INH

Dosis 5mg/kg BB,maksimal 300 mg,10mg/kg BB 3kali

seminggu,15mg/kg BB 2kali seminggu atau 300mg/har

Untuk dewasa Intemiten : 600mg/kali

c. Pirazinamid
Dosis fase intensif 25mg/kg BB,35 mg/kg BB 3 kali seminggu, 50

mg/kg BB 2 kali seminggu atau

BB >60kg : 1500 mg

BB 40-60 kg : 1000 mg

BB< 40kg : 750 mg

d. Steptomisin

Dosis 15 mg/kg BB atau

BB >60kg : 1000mg

BB 40-60 kg : 750 mg

BB<40 kg : sesuai BB

e. Etambutol

Dosis fase intensif 20 mg/kg BB, fase lanjutan 15 mg/kg BB, 30mg/kg

BB 3xseminggu, 45 mg/kg BB2x seminggu atau

BB >60kg : 1500 mg

BB 40-60kg : 1000 mg

BB <40kg : 750mg

Dosis intermiten 40 mg/kg BB/kali

2. Kombinasi dosis teetap (fixed dose combination), kombinasi dosis tetap

ini terdiri dari:

a. Empat obat antibuberkulosis dalam satu tablet, yaitu rifampisin 150

mg, isoniazid 75 mg, pirainamid 400mg dan etambutol 275 mg

b. Tiga obat antituberkulosis dalam 1 tablet, yaitu rifampisin150 mg,

isoniazid 75 mg dan pirazinamid 400mg


c. Kombinasi dosis tetap rekomendasi WHO 1999 untuk kombinasi dosis

tetap, penderita hanya minum obat 3-4 tablet sehari selama fase

intensif, sedangkan fase lanjutan dapat menggunakan kombinasi dosis

2 obat antituberkulosis seperti yang selama ini telah digunakan sesuai

dengan pedoman pengobatan.

3. Jenis obat tambahan lainnya (lini 2)

f. Kanamisin

g. Kuinolon

h. Obat lain masih dalam penelitian, makrolid, amoksilin + asam

klavulanat

i. Derivat rifampisin dan INH

Sebagian besar penderita TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa

efek samping. Namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping,

oleh karena itu pemantauan kemungkinan terjadinya efek samping

sangat penting dilakukan selama pengobatan. Efek samping yang

terjadi dapat ringan atau berat, bila efek samping ringan dan dapat

diataasi dengan obat simtomatik maka pemberian OAT dapat

dilanjutkan.

2.5.2 Panduan OAT di Indonesia

Program nasional penanggulangan TB di Indonesia menggunakan OAT:

1. Kategori 1: 2HRZE/ 4H3R3

2. Kategori 2: 2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3

3. Kategori 3: 2HRZ/ 4H3R3


Disamping ketiga kategori ini, disediakan panduan obat sisipan (HRZE).

Panduan OAT ini disediakan dalam bentuk paket kombipak, dengan tujuan

untuk memudahkan pemberian obat menjadi kelangsungan pengobatan sampai

selesai. Satu paket untuk satu penderita dalam satu masa pengobatan.

Berikut ini kategorisasi OAT dan prosedur pemantauan kemajuan hasil

pengobatan menurut program nasional penanggulangan TB di Indonesia.

1. Obat Kategori 1 (2 HRZE/4H3 R3)

Obat kategari 1 ini diberikan pada penderita baru TB paru BTA positif,

penderita TB paru BTA negatif rontgen positif yang sakit berat dan

penderita TBekstra paru berat. Adapun panduan OAT untuk kategori 1

berdasarkan Pedoman

Nasional Penanggulangan TB Paru adalah sebagai berikut (Tabel 2.2)

Jumlah

hari/kali
Dosis perhari perkali
menelan
Tahap Lamanya
obat
Tablet
pengobatan pengobatan
Tablet Tablet Tablet
isoniazid
Rifampisin Phyrazinamid Ethambutol
(H) 300
(R) 450 mg 500 mg (E) 250 mg
mg
Tahap

intensif
2 bulan 1 1 3 3 60
(dosis

harian)
Tahap 4 bulan 2 1 - - 54
lanjutan

(dosis 3x

seminggu)

Keterangan: Dosis tersebut di atas untuk penderita dengan BB antara 33-

50 kg.

Pengobatan dengan kategori 1 dilaksanakan pada akhir bulan

kedua pengobatan dimana lebih dari 80% penderita sputumnya sudah

BTA negatif konversi. Penderita ini meneruskan pengobatan dengan

tahap lanjutan. Jika pemeriksaan ulang sputum akhir bulan kedua

hasilnya masih BTA positif, maka pengobatan diteruskan dengan OAT

sisipan selama 1 bulan.

2. Obat Kategori 2 (2HRZES/HRZE/5H3R3E3)

Obat kategori ini diberikan pada:

a. Penderita kambuh

b. Penderita gagal

c. Penderita dengan pengobatan setelah lalai

Tahap intensif diberikan selama 3 bulan yang terdiri dari 2 bulan

denganisoniasid (H), rifampisin (R), phyrazinamid (Z), ethambutol (E)

dan suntikanstreptomisin setiap hari di unit pelayanan kesehatan (UPK).

Tahap ini dilanjutkandengan isoniasid (H), rifampisin (R), phyrazinamid

(Z) dan ethambutol (E) setiaphari selama 1 bulan. Setelah itu di teruskan

dengan tahap lanjutan selama 5 bulandengan isoniasid, rifampisin,


ethambutol (HRE) yang diberikan 3 kali dalam seminggu. perlu

diperhatikan bahwa suntikan streptomisin diberikan setela penderita

selesai minum obat (Tabel 2.3)

Ethambu Jumla

tol h
Tablet Tablet
Tahap Lamanya Tablet hari /
rifampi phyrazin Streptom
Tablet
pengobat pengobat isoniazid kali
Tablet
sin amid 500 is
500
an an 500 mg menel
250 mg
450mg mg
mg
an

obat
Tahap 2 bulan 1 1 3 3 - 60

intensif
0,75 gr
(dosis

harian ) 1 bulan 1 1 3 3 - 30
Tahap

lanjutan

(dosis 5 bulan 2 1 - 1 2 - 66

3xsemin

ggu)
Keterangan: Dosis tersebut di atas untuk penderita dengan BB antara 33-

50 kg.

3. Obat Kategori 3 (2HRZ/4H3R3)

Obat kategori 3 diberikan pada penderita baru BTA negatif dan

rontgenpositif sakit ringan kemudian pada penderita ekstra paru

ringan.Pada obat kategori 3 dosis yang diberikan untuk tahap intensif


berup dosis harian, sedangkan untuk tahap lanjutan digunakan

dosis 3 kali dalam satuminggu (Tabel 2.4).

Jumlah
Tablet Tablet Tablet
Tahap Lamanya hari
isoniazid rifampisin pirasinamid
pengobatan pengobatan menelan
300 mg 450 mg 500 mg
obat
Tahap

intensif
2 bulan 1 1 3 60
(dosis

harian)
Tahap

lanjutan
4 bulan 2 1 - 54
(dosis 3x

seminggu)
Keterangan: Dosis tersebut di atas untuk penderita dengan BB antara 33-

50 kg.

4. Obat sisipan (HRZE)

Obat sisipan ini diberikan bila pada akhir tahap pengobatan intensif

daripengobatan dengan kategori 1 atau pada akhir tahap pengobatan

kategori 2 hasilpemeriksaan sputum masih BTA masih positif. Obat

sisipan hanya diberikanuntuk pengobatan tahap intensif selama 1 bulan

dengan dosis harian (Tabel 2.5).

Tahap Lamanya Tablet Tablet Tablet Tablet Jumlah


pengobata pengobata isponiazi rifampisi pirasnand ethambuto hari/kla

n n d 300 mg n 450 mg i 500 mg l 250 mg i

menela

n obat
Tahap 1 bulan 1 1 3 3 30

intensif

(dosis

harian)
Sumber: Pedoman Nasional Penanggulangan TB Paru (Depk es RI,

2002:41).

Satu paket obat berisi 30 blister HRZE yang dikemas dalam 1 dos kecil.

2.5.3 Pemeriksaan Sputum Sebulan Sebelum Akhir Pengobatan

Pemeriksaan ini dilakukan seminggu sebelum akhir bulan ke 5

pengobatan penderita baru BTA positif dengan kategori 1 atau seminggu

sebelum akhir bulan ke 7 pengobatan ulang penderita BTA positif dengan

kategori 2.

2.5.4 Pemeriksaan Akhir Pengobatan

Pemeriksaan ini dilakukan seminggu sebelum akhir bulan ke 6

pengobatan pada penderita baru BTA positif dengan kategori 1 atau

seminggu sebelum akhir bulan ke 8 pengobatan ulang BTA positif dengan

kategori 2.Pemeriksaan ulang dahak pada sebulan sebelum akhir

pengobatan dan akhir pengobatan (AP) bertujuan untuk menilai hasil

pengobatan (sembuh atau gagal).

2.6 Faktor yang berhubungan dengan penyebab resisten obat


Sesuai dengan paradigma kesehatan ada empat factor utama yang

berhubungan dengan status kesehatan masyarakat antara lain yaitu faktor

genetik, faktor pelayanan kesehatan, faktor perilaku masyarakat dan faktor

lingkungan. Keempat faktor tersebut juga saling berinteraksi secara dinamis

yang mempengaruhi kesehatan perorangan dan derajat kesehatan kelompok

masyarakat. Tetapi disamping itu faktor dari penderita itu sendiri juga

berpengaruh terhadap kesembuhan suatu penyakit atau juga resistensi obat.

2.6.1 Faktor Penderita

1. Pendidikan

Tingkat pendidikan dianggap sebagai salah satu unsur yang ikut

menentukan pengalaman dan pengetahuan seseorang, baik dalam ilmu

pengetahuan maupun dalam kehidupan social.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Tanti Indah

Sulistyowati, beberapa faktor yang berhubungan dengan kejadian drop out

(DO) pengobatan TB paru BTA (+) di BP4 Tegal. Terdapat hubungan

antara tingkat pendidikan dengan kejadian DO TB paru dengan OR = 4,14.

2. Status Sosial Ekonomi

Dalam epidemiologi sering dilakukan penelitian yang juga harus

memperhatikan status sosial ekonomi agar tidak terjadi, contohnya adalah

status pendidikan, pendapatan, beban tanggungan, angka buta huruf dll.

Status sosial ekonomi sangat berpengaruh terhadap status gizi, kebiasaan,

kualitas lingkungan, pengetahuan, keberadaan sumber daya materi,

sehingga efek agent terhadap berbagai status sosial ekonomi akan berbeda

pula.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Umar Firdous dkk,

Faktor-Faktor Penderita Tuberkulosis Paru Putus Berobat. Berdasarkan

hasil analisis orang yang pendapatannya rendah (kurang dari UMR DKI

Jakarta = Rp 711.000 per bulan) mempunyai peluang 7,60 kali untuk

mengalami ketidak sembuhan bila dibandingkan dengan yang

pendapatannya lebih tinggi dari UMR DKI Jakarta (Umar Firdous dkk,

2005:19).

3. Status Gizi Penderita

Masalah kekurangan dan kelebihan gizi pada orang dewasa (usia

18 tahun ke atas) merupakan masalah penting, karena selain mempunyai

resiko penyakit tertentu, juga dapat mempengaruhi produktivitas kerja.

Oleh karena itu pemantauan keadaan tersebut perlu dilakukan secara

berkesinambungan.

Kaitan penyakit infeksi dengan keadaan gizi kurang merupakan

hubungan timbal balik yaitu hubungan sebab akibat penyakit infeksi dapat

memperburuk keadaan gizi dan keadaan gizi yang jelek dapat

mempermudah terkena infeksi. Penyakit yang umumnya terkait dnegan

masalah gizi antara lain, diare, tuberkulosis, campak dan batuk rejan (I

Dewa Nyoman Supariasa dkk, 2002:187).

4. Pengetahuan

Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting dalam

membentuk tindakan seseorang.Di Indonesia penyakit TB paru masih

merupakan masalah kesehatan utama. Namun banyak masyarakat yang

kurang mengetahui tentang penyakit TB paru (gejala-gejalanya) sehingga


tidak dilakukan tindak lanjut atau pemeriksaan lebih lanjut. Dengan

kurangnya pengetahuan masyarakat tentang TB, sehingga mereka

menganggap gejala-gejala yang dialami adalah suatu penyakit biasa yang

bisa sembuh dengan obat bebas.

5. Riwayat Pengobatan

Klasifikasi penyakit TB paru menurut riwayat pengobatan dapat

ditentukanberdasarkan riwayat minum obat anti TB (OAT)

sebelumnya dibagi menjadi beberapa tipe:

a. Pertama, kasus baru. Kasus baru adalah pasien yang belum pernah

diobatidengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari

satu bulan (4 minggu).

b. Kedua, kasus kambuh. Kasus kambuh adalah pasien tuberkulosis

yangsebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan

telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis

kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur).

c. Ketiga, kasus setelah putus berobat. Kasus setelah putus berobat

adalahpasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau

lebih dengan BTA positif.

d. Keempat, kasus setelah gagal. Kasus setelah gagal adalah pasien

yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali

menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.

e. Kelima, kasus Pindahan. Kasus pindahan adalah pasien yang

dipindahkan dari UPK yang memiliki register TB lain untuk

melanjutkan pengobatannya.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Herryanto,

dkk, riwayat pengobatan penderita TB paru yang meninggal di

Kabupaten Bandung. Dari 132 penderita TB paru yang meninggal,

109 kasus (82,5%) diantaranya dinyatakan pernah mendapat

pengobatan TB paru. Umumnya pengobatan yang dijalani

penderita tidak sampai selesai 90,1% (101 orang) hanya 9,9% yang

menyelesaikan pengobatan. Sebagian besar penderita (50,4%)

menerima pengobatan selama 3-5 bulan sebelum terjadinya putus

obat (Herryanto dkk, 2003:1).

6. Komplikasi dengan Penyakit lain

Mycobakterium Tuberkulosis sering menyerang paru-paru, tetapi

dapat pula menginfeksi organ tubuh diluar paru dan menimbulkan

penyakit TB-Extra paru.

Berdasarkan survei dilakukan terhadap 875 penderita TB paru atau

mikobateriosis paru di rumah sakit, BP4 dan puskesmas di Jakarta dan

Bandung. Data-data diambil dari tahun 1989 sampai dengan 1999.

Hasil survei menunjukkan: adanya DM (7,2%), Gastritis (35,1%), TB-

Extra Paru (16,8%), PPOM (3,1%), Asma Bronkial (2,5%),

Bronchiektasis (2,1%) dan lain-lainnya dengan presentasi kecil

(Misnadiarly, 1996:1).

2.6.2 Faktor Lingkungan

1. Ada Tidaknya PMO


Salah satu dari komponen DOTS adalah pengobatan paduan OAT

jangka pendek dengan pengawasan langsung. Untuk menjamin keteraturan

pengobatan diperlukan seorang PMO. Persyaratan PMO:

a. Seseorang yang dikenal dipercaya dan disetujui baik oleh petugas

kesehatan maupun penderita, selain itu harus disegani dan di hormati

oleh penderita.

b. Seseorang yang tinggal dekat dengan penderita.

c. Bersedia membantu penderita dengan sukarela.

d. Bersedia dilatih dan akan mendapat penyuluhan bersama-sama

penderita.

Sebaliknya PMO adalah petugas kesehatan misalnya bidan desa,

perawat, sanitarian, juru imunisasi, dan lain-lain. Bila tidak ada petugas

kesehatan yang memungkinkan PMO dapat berasal dari kader kesehatan

guru, anggota PPTI, PKK atau tokoh masyarakat lainnya atau anggota

keluarga. Tugas seorang PMO:

a. Mengawasi penderita TB agar menelan obat secara teratur sampai

selesai pengobatan.

b. Memberi dorongan kepada penderia agar mau berobat teratur.

c. Mengingatkan penderita untuk memeriksa ulang dahak pada waktu-

waktu yang telah ditentukan.

d. Memberi penyuluhan pada anggota keluarga penderita TB yang

mempunyai gejala-gejala tersangka TB untuk segera memeriksakan

diri kepada petugas kesehatan (Fachmi Idris, 2004:20).

2. Riwayat Kontak
Riwayat kontak adalah riwayat seseorang yang berhubungan

dengan penderita TB baik serumah maupun tidak. Sumber penularan TB

terjadi karena kuman yang dibatukkan atau dibersihkan keluar dalam

bentuk droplet nuclei (percikan sputum), jadi penularan TB akan lebih

mudah terjadi jika ada kontak dengan penderita TB (Fachmi Idris, 2004:2).

3. Kepatuhan berobat

Angka kepatuhan pasien pada pengobatan jangka pendek lebih

tinggi (sekitar 75%) dari pada pengobatan jangka panjang (<25% yang

menyelesaikan pengobatan. Kepatuhan pasien juga dipengaruhi oleh

kepercayaan pasien pada dokter saat hubungan dengan dokter terjalin.

Seorang penderita kadang-kadang berhenti minum obat sebelum

masa pengobatan selesai. Hal ini terjadi karena penderita belum

memahami bahwa obat harus di telan seluruhnya dalam waktu yang telah

ditetapkan. Petugas kesehatan harus mengusahakan agar penderita yang

putus berobat tersebut kembali ke unit Unit Pelayanan Kesehatan (UPK).

Pengobatan yang di berikan tergantung pada tipe penderita, lamanya

pengobatan sebelumnya, lamanya putus berobat, dan bagaimana hasil

pemeriksaan dahak sewaktu dia kembali berobat (Depkes RI, 2002:47).

Hampir semua pasien tuberkulosis yang diobati dengan benar dapat

disembuhkan. Kekambuhan didapatkan pada 5% kasus yang di obati

dengan regimen pengobatan terkini, penyebab utama kegagalan

pengobatan adalah ketidaktaatan pasien (Lawrence M. Tierney dkk,

2002:127).

4. Faktor Pelayanan Kesehatan


a. Jaminan Ketersediaan Obat

Panduan obat yang efektif merupakan elemen pokok dari strategi

DOTS yang dapat menjamin kesembuhan penderita TB. Untuk

jaminan kelangsungan ketersediaan obat, dalam pengelolaan logistik

obat mendapat perhatian tersendiri. Dalam pengelolaan logistik obat

program penanggulangan TBC merupakan serangkaian kegiatan yang

meliputi perencanaan kebutuhan, pengadaan, penyimpanan,

pendistribusian, pencatatan dan pelaporan. Agar pengadaan obat lebih

terkendali maka daftar obat untuk OAT masuk dalam kelompok obat

sangat esensial (SSE) yaitu obat yang beresiko tinggi apabila tidak

tersedia atau terlambat disediakan, sulit didapat di daerah dan obat

program yang harus dijamin ketersediaannya secara tepat waktu, tepat

jenis dengan mutu terjamin untuk menjamin kesinambungan pelayanan

kesehatan di kabupaten atau kota.

Untuk penyimpanan dan pendistribusian, OAT yang telah

diadakan, dikirim langsung ke gudang farmasi kabupaten, diterima dan

diperiksa oleh panitia penerima obat yang telah dibentuk di kabupaten

atau kota. Penyimpananobat harus disusun berdasarkan prinsip First

Expired First Out (FEFO) yang artinya obat yang kadaluarsanya lebih

awal harus diletakkan di depan agar dapat didistribusikan lebih dulu

(Fachmi Idris, 2004:27).

5. Faktor Perilaku Penderita

a. Sikap Penderita terhadap Pengobatan TB paru


Sikap adalah respon seseorang yang masih tertutup dan belum

dapat diamatisecara langsung (Soekidjo Notoatmodjo, 2002:113). S

ikap penderita terhadap kesembuhan TB paru meliputi sikap terhadap

penyakit TB paru, pencegahan TB, pengobatan TB paru dan tindak

lanjut.Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Syarifah Ani,

Hubungan Antara Tingkat Pengetahuan dan Sikap Penderita

Tuberkulosis dengan Kesembuhan Tuberkulosis Paru di Puskesmas

Lubuk Buaya Padang. Berdasarkan hasil analisis menunjukkan bahwa

hubungan sikap penderita tuberkulosis paru dengan kesembuhan

digambarkan bahwa penderita tuberkulosis paru yang paling banyak

tidak sembuh adalah penderita yang bersikap negatif 75,0% sedangkan

bersikap positif tidak sembuh 17,1% (Syarifah Ani, 2004:5).

b. Perilaku Penderita terhadap Pengobatan TB paru

Pengobatan TB paru secara keseluruhan dapat mencapai 12

bulan. Kasus penyembuhan atau keberhasilan pengobatan ini

ditentukan oleh beberapa faktor terutama adalah faktor perilaku dan

lingkungan dimana penderita tersebut tinggal, kepatuhan dalam minum

obat, serta dukungan orang-orang sekitar (M. Hariwijaya dan Sutanto,

2007:117).

Beberapa perilaku yang dapat dilakukan oleh penderita TB paru

antara lain:

1. Konsultasi ke dokter anda.


2. Minumlah obat anti tuberkulosis sesuai nasihat dokter secara

teratur dan jangan menghentikan pengobatan tanpa sepengetahuan

dokter karena akan mendorong kuman jadi kebal terhadap

pengobatan anti tuberkulosa. Biasanya penyembuhan paling cepat

6-9 bulan kalau minum obat secara teratur.

3. Makanlah makanan bergizi

4. Menyederhanakan cara hidup sehari-hari agar tidak menyebabkan

stres dan banyak istirahat terutama ditempat berventilasi baik.

5. menghentikan merokok, bila anda perokok (M. Hariwijaya dan

Sutanto, 2007:118).

2.7 Strategi penaggulangan tuberklosis di Indonesia 2020-2024

(kementerian kesehatan republik Indonesia, 2020)

1. Penguatan kepemimpinan program berbasis kabupaten/kota

2. Peningkatan akses layanan tuberkulosis bermtu dan berpihak pada

pasien

3. Pengendalian infeksi dan optimalisasi pemberian pengobatan

pencegahan tuberkulosis.

4. Pemanfaatan hasil riset dan teknologi skrinnig, diagnosis dan

tatalaksana tuberkulosis.

5. Peningkatan peran serta komunitas, mitra, dan multisektor lainnya

dalam eliminasi tuberkulosis.

6. Penguatan manajemen program melalui penguatan sistem kesehatan.

2.8 Kerangka Teori


Berdasarkan uraian pada landasan teori, maka disusun kerangka teori

mengenai faktor yang berhubungan dengan putus obat TB paru atau resisten

karena obat. faktor pelayanan kesehatan yaitu jaminan ketersediaan obat dan

faktor lingkungan terkait dengan panduan OAT yang berhubungan dengan

kesembuhan penderita TB paru. Faktor lain yang berhubungan dengan putus

obat TB paru atau resisten obat adalah faktor penderita, factor perilaku

meliputi sikap penderita dan perilaku penderita.

Faktor pelayanan Faktor perilaku


Mycobaterium kesehatan : 1. Sikap penderita terhadap
tuberculosis 1. Jaminan kesembuhan
ketersediaan 2. Perilaku penderita terhadap
obat kesembuhan

TB Paru Faktor penyebab putus pengobatan


Panduan OAT

Faktor lingkungan
Faktor penderita:
1. Ada tidaknya PMO
2. Riwayat kontak 1. Tingkat pendidikan
3. Kepatuhan berobat 2. Status sosial ekonomi
3. Status gizi penderita
4. Pengetahuan penderita tentang
pengobatan TB paru
5. Riwayat pengobatan
6. Komplikasi dengan penyakit lain
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Penelitian dalam studi ini menggunakan metode penelitian Case Study

dengan Singgle Holistic Study. Fenomena yang diteliti adalah faktor-faktor

penyebab kegagalan penderita tuberkulosis menyelesaikan pengobatan dalam

upaya penanggulangan TBC. Data dikumpul dengan menggunakan instrumen

wawancara.

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian

3.2.1 Tempat Penelitian : Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Umum

Imelda Pekerja Indonesia (IPI)

3.2.1 Waktu Penelitian : Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli-

Agustus

3.3 Populasi dan Sampel

3.3.1 Populasi

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas : objek/subjek yang

memiliki dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari

dan kemudian ditarik kesimpulannya. (Sugiyono, 2015:117). Populasi dalam

penelitian ini adalah pasien yang menderita penyakit tuberculosis paru.

3.3.2 Sampel

Sampel adalah bagian dari seluruh karakteristik yang dimiliki oleh

populasi tersebut (Sugiyono, 2015:118). Tekhnik pengambilan sampel yang

digunakan dalam penelitian adalah tekhnik Non Probability Sampling jenis


purposive Sampling yang memenuhi kriteria inklusi. Adapun kriteria

pengambilan sampel dalam penelitian yaitu :

1. Bapak/ibu yang menderita penyakit Tuberculosis

2. pasien yang bersedia menjadi responden

3. Bapak/ibu yang mampu berbicara

3.4 Metode Pengumpulan Data

Sebelum proses pengumpulan data dilakukan, tahap awal dari proses ini

adalah melakukan persiapan untuk melancarkan pelaksanaan berupa permohonan

izin penelitian dari instansi pendidikan hingga sampai menerima balasan izin

meneliti dari instansi rumah sakit di lokasi penelitian. Setelah semua persyaratan

terpenuhi, selanjutnya dilaksanakan proses pengambilan dan pengumpulan data

untuk memproleh data yang dibutuhkan dalam penelitian ini dengan

menggunakan instrumen wawancara. Data yang digunakan dalam penelitian ini

adalah data primer dan data sekunder

3.4.1 Data Primer

Data primer adalah data yang dikumpulkan oleh peneliti secara langsung

dari sumber, data diperoleh dari hasil wawancara.

3.4.2 Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari Rumah Sakit Imelda

Pekerja Indonesia, dan geografi wilayah penelitian, studi kepustakaan (literatur),

dan jurnal kesehatan yang berhubungan dengan penelitian ini.

3.5 Variabel penelitian dan definisi operasinonal

3.5.1 Variabel penelitian

Variabel adalah atribut atau obyek yang memiliki variasi antara satu sama
lainnya (Sugiyono, 2015).

3.5.2 Definisi Operasional

Definisi operasional adalah suatu atribut atau sifat nilai dari obyek atau

kegiatan yang memiliki variasi tertentu yang telah ditetapkan oleh peneliti untuk

dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2015).

3.5.3 Metode Pengukuran

Metode pengukuran menggunakan variabel, variabel penelitian ini terdiri

dari variabel bebas yaitu: faktor-faktor yang menyebabkan penderita tidak

menyelesaikan pengobatan secara tuntas.

3.6 Metode Analisa Data

Dalam melakukan analisa data terlebih dahulu dilakukan pengolahan data

melalui beberapa tahap, yaitu :

3.6.1 Editing.

Editing adalah upaya untuk memeriksa kembali kebenaran data yang

diperoleh atau dikumpulkan. Editing dapat dilakukan setelah data terkumpul. Pada

penelitian ini editing yang dilakukan meliputi pemeriksaan kelengkapan isi

lembar kuesioner karakteristik responden, lembar kuesioner pengetahuan dan

sikap, informed consent dan presensi pelaksanaan pendidikan kesehatan.

3.6.2 Coding

Coding merupakan kegiatan pemberian kode numerik (angka) terhadap

data. Data diberi koding sesuai dengan yang dijelaskan dalam definisi operasional

dan kebutuhan pengolahan data. Setiap data diberikan kode supaya memudahkan

pengolahan data.

3.6.3 Entri data


Entri data adalah kegiatan memasukkan data yang telah dikumpulkan ke

dalam master tabel atau database komputer, kemudian membuat distribusi

frekuensi atau bisa juga dengan membuat tabel kontingensi. Data yang diolah

dalam penelitian ini adalah seluruh data primer yang diperoleh dari responden

penelitian.

3.6.4 Cleaning data

Cleaning data merupakan proses koreksi atau pengecekan kembali pada

semua data yang telah dimasukkan untuk melihat kemungkinan adanya kesalahan-

kesalahan dalam pemberian kode, ketidaklengkapan, kemudian dilakukan koreksi

atau pembetulan dengan menggunakan program komputer sehingga pengolahan

dan analisa data dapat dilanjutkan.

3.6.5 Prosesing data

Prosesing data adalah proses pengolahan data dengan cara memindahkan

data dari kuesioner data demografi, kuesioner kepatuhan buku laporan ke paket

program komputer pengolahan data statistik.


Daftar Pustaka

Akessa, G. M., Tadesse, M., & Abebe, G. (2015). Survival Analysis of Loss to

Follow-Up Treatment among Tuberculosis Patients at Jimma University

Specialized Hospital, Jimma, Southwest Ethiopia. International Journal of

Statistical Mechanics, 2015, 1–7. https://doi.org/10.1155/2015/923025

Anggraeni, D. E., & Rahayu, S. R. (2018). Gejala Klinis Tuberkulosis Pada

Keluarga Penderita Tuberkulosis BTA Positif. HIGEIA Journal of Public

Health Research And Development, 2(1), 91–101.

https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/higeia/article/view/18100

Kemenkes RI. (2014). Pedoman Manajemen Pelayanan Kesehatan. In Jakarta:

Kementerian Kesehatan RI. http://scholar.google.com/scholar?

hl=en&btnG=Search&q=intitle:Profil+Data+Kesehatan+Indonesia+Tahun+2

011#0

Kemenkes RI. (2018). Tuberkulosis ( TB ). Tuberkulosis, 1(april), 2018.

www.kemenkes.go.id

MacPherson, P., Houben, R. M. G. J., Glynn, J. R., Corbett, E. L., & Kranzer, K.

(2014). Loss of follow-up before treatment of TB patients in low- and

middle-income countries and in high-burden countries: a systematic review

and meta-analysis. Bulletin of the World Health Organization, 92(2), 126–

138. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3949536/

McNeal, L., & Selekmen, J. (2017). Guidance for Return to Learn After a

Concussion. NASN School Nurse (Print), 32(5), 310–316.


https://doi.org/10.1177/1942602X17698487

Octovianus, L., Suhartono, & Kuntjoro, T. (2015). Analisis Faktor-faktor yang

Berhubungan dengan Kejadian Drop Out Penderita TB Paru di Puskesmas

Kota Sorong. Jurnal Manajemen Kesehatan Indonesia, 03(03), 228–234.

https://ejournal.undip.ac.id/index.php/jmki/article/view/10458

Orr, P. (2011). Adherence to tuberculosis care in Canadian Aboriginal populations

Part 2: A comprehensive approach to fostering adherent behaviour.

International Journal of Circumpolar Health, 70(2), 128–140.

https://doi.org/10.3402/ijch.v70i2.17810

Ozer, E. K., Goktas, M. T., Toker, A., Pehlivan, S., Bariskaner, H., Ugurluoglu,

C., & Iskit, A. B. (2017). Thymoquinone protects against the sepsis induced

mortality, mesenteric hypoperfusion, aortic dysfunction and multiple organ

damage in rats. In Pharmacological Reports (Vol. 69, Issue 4).

https://doi.org/10.1016/j.pharep.2017.02.021

Anda mungkin juga menyukai