Anda di halaman 1dari 9

LAPORAN PENDAHULUAN

“ ASMA BRONKHIAL ”

DISUSUN OLEH :

Nama : HILMA

NIM : N202001036

Preseptor Institusi Preseptor Klinik

( Sari Arie Lestari, S. Kep., Ns., M. Kes) ( Muhammad Nirwan, S. Kep., Ns )

UNIVERSITAS MANDALA WALUYA KENDARI


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN
PROFESI NERS
2021
LAPORAN PENDAHULUAN
A. Definisi
Asma adalah suatu keadaan dimana saluran nafas mengalami
penyempitan karena hiperaktivitas terhadap rangsangan tertentu, yang
menyebabkan peradangan. Penyempitan ini bersifat berulang namun
reversible, dan diantar episode penyempitan bronkus tersebut terdapat keadaan
ventilasi yang lebih normal (Sylvia A. Price). Beberapa faktor penyebab asma,
antara lain jenis kelamin, umur pasien, status atropi, faktor keturunan, serta
faktor lingkungan.
Asma Brongkhial yaitu suatu kelainan berupa inflamasi (peradangan)
kronik saluran napas yang menyebabkan hipereaktifitas bronkus, sehingga
menyebabkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak napas, rasa berat
di dada, dan batuk terutama ,malam atau dini hari. Gejala epiodik tersebut
timbul sangat bervariasi dan bersifat reversible (dapat kembali normal baik
dengan atau tanpa pengobatan). Espeland, N. (2008).
B. Klasifikasi
Secara etiologis asma bronkial dibagi dalam 3 tipe:
1. Asma bronkial tipe non atopi (intrinsik)
Pada golongan ini, keluhan tidak ada hubungannya dengan
paparan (exposure) terhadap alergen dan sifat-sifatnya adalah:
serangan timbul setelah dewasa, pada keluarga tidak ada yang
menderita asma, penyakit infeksi sering menimbulkan serangan, ada
hubungan dengan pekerjaan atau beban fisik, rangsangan psikis
mempunyai peran untuk menimbulkan serangan reaksi asma,
perubahan-perubahan cuaca atau lingkungan yang non spesifik
merupakan keadaan peka bagi penderita.
2. Asma bronkial tipe atopi (Ekstrinsik).
Pada golongan ini, keluhan ada hubungannya dengan paparan
terhadap alergen lingkungan yang spesifik. Kepekaan ini biasanya
dapat ditimbulkan dengan uji kulit atau provokasi bronkial.
Pada tipe ini mempunyai sifat-sifat: timbul sejak kanak-kanak,
pada famili ada yang menderita asma, adanya eksim pada waktu
bayi, sering menderita rinitis.
3. Asma bronkial campuran (Mixed)
Pada golongan ini, keluhan diperberat baik oleh faktor-faktor
intrinsik maupun ekstrinsik. (Mansjoer,.2000 )
C. Manifestasi Klinis
1. Terdengar bunyi nafas (wheezing/mengi/bengek) terutama saat
mengeluarkan nafas (exhalation). (Tidak semua penderita asma
memiliki pernafasan yang berbunyi, dan tidak semua orang yang
nafasnya terdegar wheezing adalah penderita asma).
2. Sesak nafas sebagai akibat penyempitan saluran bronki (bronchiale).
3. Batuk kronik (terutama di malam hari atau cuaca dingin). Adanya
keluhan penderita yang merasakan dada sempit.
4. Serangan asma yang hebat, penderita tidak dapat berbicara karena
kesulitannya dalam mengatur pernafasan.
5. Pada anak-anak, gejala awal dapat berupa rasa gatal dirongga dada
atau leher. Selama serangan asma, rasa cemas (sering menangis) yang
berlebihan, sehingga penderita dapat memperburuk keadaanya.
6. Sebagai reaksi terhadap kecemasan, penderita juga akan
mengeluarkan banyak keringat (Price, S.A & Wilson, L.M. 2005).

D. Patofisiologi
Suatu serangan Asma merupakan akibat obstruksi jalan napas difus
reversible. Obstruksi disebabkan oleh timbulnya tiga reaksi utama yaitu
kontraksi otot-otot polos baik saluran napas, pembengkakan membran yang
melapisi bronki, pengisian bronki dengan mukus yang kental. Selain itu, otot-
otot bronki dan kelenjar mukusa membesar, sputum yang kental, banyak
dihasilkan dan alveoli menjadi hiperinflasi, dengan udara terperangkap
didalam jaringan paru.Antibodi yang dihasilkan (IgE) kemudian menyerang
sel-sel mast dalam paru. Pemajanan ulang terhadap antigen mengakibatkan
ikatan antigen dengan antibody, menyebabkan pelepasan produk sel-sel mast
(disebut mediator) seperti histamine, bradikinin, dan prostaglandin serta
anafilaksis dari substansi yang bereaksi lambat (SRS-A). Pelepasan mediator
ini dalam jaringan paru mempengaruhi otot polos dan kelenjar jalan napas,
menyebabkan bronkospasme, pembengkakan membran mukosa, dan
pembentukan mucus yang sangat banyak. Selain itu, reseptor α- dan β-
adrenergik dari sistem saraf simpatis terletak dalam bronki. Ketika reseptor α-
adrenergik dirangsang, terjadi bronkokonstriksi, bronkodilatasi terjadi ketika
reseptor β- adrenergik yang dirangsang. Keseimbangan antara reseptor α- dan
β- adrenergik dikendalikan terutama oleh siklik adenosine monofosfat
(cAMP). Stimulasi reseptor α- mengakibatkan penurunan cAMP, yang
mengarah pada peningkatan mediator kimiawi yang dilepaskan oleh sel-sel
mast bronkokonstriksi. Stimulasi reseptor β- mengakibatkan peningkatan
tingkat cAMP yang menghambat pelepasan mediator kimiawi dan
menyebabakan bronkodilatasi. Teori yang diajukan adalah bahwa penyekatan
β- adrenergik terjadi pada individu dengan Asma. Akibatnya, asmatik rentan
terhadap peningkatan pelepasan mediator kimiawi dan konstriksi otot polos
(Smaltzer, Bare. 2014).
E. Pathway

Hiperlipidemia,
merokok, obesitas, Impuls saraf
gaya hidup, faktor simpatis
emosional
Ganglia Simpatis,
Merangsang neuron
serabut saraf perganglion
Ganglion ke melepaskan
Pembuluh darah asetikolin

Norepineprine Vasokonstriksi
dilepaskan pembuluh darah

Tahanan perifer
meningkat
Resiko Gangguan
Penurunan Perfusi
Curah Jantung Peningkatan Jaringan
Tekanan Darah Serebral

Penurunan Perubahan
aliran darah ke vaskuler retina Respon Gitract
ginjal meningkat

Gangguan
Pengaktifan Nausea, vomitus
Penglihatan
sistem renin
angrotensin
Resiko Tinggi
Anoreksia
Cidera

Tubuh Kekurangan
Kalori

Intoleransi Kelemahan Fisik


Aktivitas
F. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan Kegawattan
1) Waktu serangan.
a. Bronkodilator
a) Golongan adrenergik
Adrenalin larutan 1 : 1000 subcutan. 0,3 cc ditunggu
selama 15 menit, apabila belum reda diberi lagi 0,3 cc jika
belum reda, dapat diulang sekali lagi 15 menit kemudian.
Untuk anak-anak diberikan dosis lebih kecil 0,1 – 0,2 cc.
b) Golongan methylxanthine
Aminophilin larutan dari ampul 10 cc berisi 240 mg.
Diberikan secara intravena, pelan-pelan 5 – 10 menit, diberikan
5 – 10 cc. Aminophilin dapat diberikan apabila sesudah 2 jam
dengan pemberian adrenalin tidak memberi hasil.
c) Golongan antikolinergik
Sulfas atropin, Ipratroprium Bromide. Efek antikolinergik
adalah menghambat enzym Guanylcyclase.
b. Antihistamin.
Mengenai pemberian antihistamin masih ada perbedaan
pendapat. Ada yang setuju tetapi juga ada yang tidak setuju.
c. Kortikosteroid.
Efek kortikosteroid adalah memperkuat bekerjanya obat Beta
Adrenergik. Kortikosteroid sendiri tidak mempunyai efek
bronkodilator.
d. Antibiotika.
Pada umumnya pemberian antibiotik tidak perlu, kecuali:
sebagai profilaksis infeksi, ada infeksi sekunder.
2) Diluar serangan
Disodium chromoglycate. Efeknya adalah menstabilkan dinding
membran dari cell mast atau basofil sehingga: mencegah terjadinya
degranulasi dari cell mast, mencegah pelepasan histamin, mencegah
pelepasan Slow Reacting Substance of anaphylaksis, mencegah
pelepasan Eosinophyl Chemotatic Factor).
1. Pengobatan Non Medikamentosa:
a. Waktu serangan
a) pemberian oksigen, bila ada tanda-tanda hipoksemia, baik
atas dasar gejala klinik maupun hasil analisa gas darah.
b) pemberian cairan, terutama pada serangan asma yang berat
dan yang berlangsung lama ada kecenderungan terjadi
dehidrasi. Dengan menangani dehidrasi, viskositas mukus
juga berkurang dan dengan demikian memudahkan
ekspektorasi.
c) menghindari paparan alergen.
b. Diluar serangan
a) Pendidikan Kesehatan / Penyuluhan.
b) Penderita perlu mengetahui apa itu asma, apa penyebabnya,
apa pengobatannya, apa efek samping macam-macam obat,
dan bagaimana dapat menghindari timbulnya serangan.
Menghindari paparan alergen. Imti dari prevensi adalah
menghindari paparan terhadap alergen.
c) Imunoterapi/desensitisasi.
d) Penentuan jenis alergen dilakukan dengan uji kulit atau
provokasi bronkial. Setelah diketahui jenis alergen,
kemudian dilakukan desensitisasi.
e) Relaksasi/kontrol emosi.
G. Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
1) Lekositosis dengan neutrofil yang meningkat menunjukkan adanya
infeksi
2) Eosinofil darah meningkat > 250/mm3 , jumlah eosinofil ini menurun
dengan pemberian kortikosteroid.
2. Analisa Gas Darah
Hanya dilakukan pada penderita dengan serangan asma berat atau
status asmatikus. Pada keadaan ini dapat terjadi hipoksemia, hiperkapnia
dan asidosis respiratorik. Pada asma ringan sampai sedang PaO2 normal
sampai sedikit menurun, PaCO2 menurun dan terjadi alkalosis
respiratorik. Pada asma yang berat PaO2 jelas menurun, PaCO2 normal
atau meningkat dan terjadi asidosis respiratorik.
3. Radiologi
Pada serangan asma yang ringan, gambaran radiologik paru biasanya
tidak menunjukkan adanya kelainan. Beberapa tanda yang menunjukkan
yang khas untuk asma adanya hiperinflasi, penebalan dinding bronkus,
vaskulasrisasi paru.
4. Faal paru
Menurunnya FEV1.
5. Uji kulit
Untuk menunjukkan adanya alergi.
6. Uji provokasi bronkus
Dengan inhalasi histamin, asetilkolin, alergen. Penurunan FEV 1
sebesar 20% atau lebih setelah tes provokasi merupakan petanda adanya
hiperreaktivitas bronkus.
DAFTAR PUSTAKA

Espeland, N. (2008). Petunjuk Lengkap Mengatasi Alergi dan Asma pada


Anak. Jakarta: Prestasi Pustakaraya
Mansjoer, A. (2000). Kapita Selekta Kedokteran. (Edisi 3), Jilid 1. Jakarta:
Media Aesculapius
Price, S.A & Wilson, L.M. (2005). Patofisiologi. (Edisi 6). Jakarta: EGC

Smaltzer, Bare. 2014. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Brunner &
Suddart. Edisi 8. Volume 2. Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai