KELOMPOK :
Penulis
DAFTAR ISI
1. Pendahuluan
A. Latar Belakang .............................................................................1
B. Rumusan Masalah ........................................................................2
C. Tujuan Penulisan ..........................................................................2
D. Manfaat .........................................................................................
E. Metodologi .....................................................................................
2. Pembahasan
A. .........................................................................................................
B. .........................................................................................................
C. ........................................................................................................
D. .........................................................................................................
E. .........................................................................................................
3. Penutup
A. Kesimpulan ....................................................................................
B. Saran ..............................................................................................
A. Latar Belakang
Dalam kaitannya dengan sumber hukum islam,terdapat
perbedaan mencocok antara Al-Qur’an dan Hadits Nabi. Al-
Qur’an bersifat qath’i al-wurud, yakni sepenuhnya oleh kaum
muslimin tanpa kecuali, Al-Qur’an sebagai musaddiq (pemberi
konfirmasi) dan muhaimin (pemberi koreksi), serta sebagai
wahyu yang datang dari Allah. sementara itu, Hadits Nabi
bersifat dzanni yakni betul-betul diucapkan Nabi. Tidak semua
hadits itu bersifat terpuji perawinya dan tidak semua hadits-
hadits itu bersifat dhaif perawinya, oleh karena itu para
periwayat mulai dari generasi sahabat sampai dengan generasi
mukhrajat hadits tidak bisa kita jumpai secara fisik karena
mereka telah meninggal dunia. Untuk mengenali keadaan
mereka, baik kelebihan maupun kekurangan mereka dalam
periwayatan, maka informasi dari berbagai kitab yang ditulis
oleh ulama ahli kritik para periwayat hadits.
E. Metodologi
Penulis ini menggunakan metodologi kualitatif research.
Dalam pengumpulan data-data dalam penelitian ini penulis
menggunakan studi kepustakaan (Library research), dengan
merujuk kepada artikel, buku-buku, journal, dan berita-berita
media yang relevan.
BAB I
Pembahasan
A. At - Ta’dil
1. Pengertian At-Ta’dil
2. Syarat-syarat penta’dil
2
Dr. Mahmud Tahhan, “Ulumul Hadist Studi Kompleksitas Hadits Nabi”. ( Yogyakarta,
Titian Ilahipress, 2004 ), halm. 3-9
Secara bahasa Al Jarh berasal dari kata Jaraha. Ia dikatakan
Jarahahubilisanihi, artinya mencelanya atau menghunanya. Secara
istilah yaitu terlihatnya sifat pada seseorang perawi yang dapat
menjatuhkan keadilannya, merusak hafalan dan ingatannya,
sehingga menyebabkan gugur riwayatnya hingga kemudian ditolak.
Jarh dapat pula berarti memakai dan menistakan baik di depan
maupun di belakang, secara terminologi tajrih atau jarh berarti
menyifati seseorang perawi dengan sifat-sifat yang dapat
menyebabkan lemah atau tertolaknya Hadits yang di riwayatkannya.3
3
Bahrul Ma’ani, op.cit, halm. 100
3. Syarat- Syarat Penjarh
1) Penjarh harus seseorang yang adil, agar ia
menahan dan berhati- hati dari menuduh
seseorang dengan kebatilan.
2) Harus mencurahkan perhatian untuk mempelajari
dan mengetahui keadaan perawi.
3) Mengetahui sebab- sebab jarh.
4) Tidak ta’ashub.
4. Tingkatan Jarh dan Lafadz- lafadznyz
1) Lafadz yang menunjukan adanya kelemahan
(yaitu jarh yang paling ringan)
2) Lafadz yang menunjukan adanya kelemahan
terhadap perawi tidak dapat dijadikan hujjah.
3) Lafadz yang menunjukan lemah sekali tidak dapat
ditulis hadistnya
4) Lafadz yang menunjukan adanya tuduhan terbuat
dusta atau pemalsuan hafits.
5) Lafadz yang menunjukan adanya perbuatan dusta
atau yang semacamnya.
6) Lafadz yang menunjukan adanya mubalaghoh
dalam perbuatan dusta.
5. Hukum Tingkatan- tingkatan Tersebut
1) Dua tingkatan yang pertama, maka hadist- hadits
yang diriwayatkan oleh orang-orang tersebut tidak
dapat dijadikan hujjah, tapi boleh sebagai
pelajaran saja.
2) Empat tingkatan terakhir hadits tidak bisa
dijadikan hujjah, tidak boleh di tulis, bahkan tidak
dapat dijadikan pelajaran dan tidak dianggap
sama sekali.4
4
Dr. Mahmud Tahhan, op.cit, hal. 9-13
C. Pertentangan Ta’dil wa Jarh
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
5
Ajaz al-Khatib, “Ulumul Hadits Ulumuhu wa Musthalahuhu”, (Damaskus: Dar al-Fikr,
1975), halm. 260-267
Maka ilmu Al-Jarh wa At-Ta’dil adalah ilmu yang
menerangkan tentang cacat-cacat yang dihadapkan kepada para
perawi dan tentang penta’dilannya (memandang lurus para perawi)
dengan memakai kata-kata yang khusus dan untuk menerima atau
menolak riwayat mereka. Ilmu ini tumbuh bersama-sama dengan
tumbuhnya periwayatan dalam islam, karena untuk mengetahui
hadits-hadits yang shahih perlu mengetahui keadaan rawinya, secara
yang memungkinkan ahli ilmu menetapkan kebenaran rawi atau
kedustaannya hingga dapatlah merasa antara yang diterima dengan
yang ditolak.
B. Saran