Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH KELOMPOK

MENJELASKAN AL-JARH WA AT-TA’DIL


Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Ulumul Hadits

Dosen Pengampu : Bapak Makmun

KELOMPOK :

1. Khoifumina Yuniar Rajatni ( 2217090 )


2.
3. Hardiati Retno Prihatini ( 2217100 )
4.

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KERGURUAN


IAIN PEKALONGAN
TAHUN AKADEMIK 2017/2018
Kata Pengantar

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih


lagi Maha Penyayang. Penulis menghaturkan rasa syukur atas segala
rahmat, taufik, serta hidayah Nya, sehingga penulis makalah ini
dengan judul “Al-Jarh wa At-Ta’dil” bisa penulis selesaikan dengan
lancar.
Tentunya dalam penulisan makalah ini tidak lepas dari
bantuan beberapa pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan
terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam
penyusunan makalah ini, terutama Bapak selaku dosen pembimbing
dalam mata kuliah Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan.
Dan juga penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah
ini masih terdapat banyak kekurangan. Baik dalam segi bahasa,
penyusunan kalimat maupun isi makalah ini. Oleh karena itu,
harapan penulis semoga makalah ini membantu menambah
pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, penulis berharap
agar para pembaca memberikan kritik dan sarannya agar kedepannya
penulis bisa memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini sehingga
kedepannya bisa lebih baik lagi pada kesempatan yang lain.

Pekalongan, 13 Nov 2017

Penulis
DAFTAR ISI

Kata Pengantar .........................................................................................i


Daftar Pustaka ..........................................................................................ii

1. Pendahuluan
A. Latar Belakang .............................................................................1
B. Rumusan Masalah ........................................................................2
C. Tujuan Penulisan ..........................................................................2
D. Manfaat .........................................................................................
E. Metodologi .....................................................................................

2. Pembahasan
A. .........................................................................................................
B. .........................................................................................................
C. ........................................................................................................
D. .........................................................................................................
E. .........................................................................................................

3. Penutup
A. Kesimpulan ....................................................................................
B. Saran ..............................................................................................

4. Daftar Pustaka .......................................................................


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam kaitannya dengan sumber hukum islam,terdapat
perbedaan mencocok antara Al-Qur’an dan Hadits Nabi. Al-
Qur’an bersifat qath’i al-wurud, yakni sepenuhnya oleh kaum
muslimin tanpa kecuali, Al-Qur’an sebagai musaddiq (pemberi
konfirmasi) dan muhaimin (pemberi koreksi), serta sebagai
wahyu yang datang dari Allah. sementara itu, Hadits Nabi
bersifat dzanni yakni betul-betul diucapkan Nabi. Tidak semua
hadits itu bersifat terpuji perawinya dan tidak semua hadits-
hadits itu bersifat dhaif perawinya, oleh karena itu para
periwayat mulai dari generasi sahabat sampai dengan generasi
mukhrajat hadits tidak bisa kita jumpai secara fisik karena
mereka telah meninggal dunia. Untuk mengenali keadaan
mereka, baik kelebihan maupun kekurangan mereka dalam
periwayatan, maka informasi dari berbagai kitab yang ditulis
oleh ulama ahli kritik para periwayat hadits.

Kritikan para periwayat hadits itu tidak hanya berkenan


dengan hal-hal yang terpuji saja tetapi juga mengenai hal-hal
yang tercela. Hal-hal dapat dikemukakan untuk dijadikan
pertimbangan dalam hubungan dengan dapat atau tidak
diterimanya riwayat hadits yang mereka riwayatkan. Dalam
hubungan dengan al-jarh wa al-ta’dil, ada beberapa faktor
penting yang digunakan untuk memberikan penilaian apakah
Hadits itu palsu atau perawinya cacat atau tidak.

Al-jarh wa At-ta’dil adalah suatu yang sangat penting


untuk dipelajari bagi orang-orang yang belum mengetahuinya,
sebab ilmu itu adalah sebagai timbangan bagi para rawi hadits.
Rawi yang berat timbangannya, diterima riwayatnya, dan rawi
yang ringan timbangannya ditolak riwayatnya. Dengan ilmu ini
kita bisa mengetahui periwayat yang dapat diterima haditsnya
dan dapat membedakannya dengan periwayat yang tidak dapat
diterima haditsnya. Untuk itulah lebih jelasnya disini pemakalah
akan membahas “Ilmu Jarh Wa Ta’dil”.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan Ilmu Al-Jarh wa At-
Ta’dil?
2. Bagaimanakah tingkatan-tingkatan Al-Jarh wa At-
Ta’dil ?
3. Apakah yang menjadi pertentangan antara Al-Jarh wa At-
Ta’dil?
4. Bagaimanakah kritikan Al-Jarh wa At-Ta’dil terhadap
sahabat yang berkaitan dengan Matan ?
C. Tujuan Penulis
Makalah ini dibuat dengan tujuan agar pembaca dapat :
1. Untuk mengetahui tentang pengertian Al-Jarh wa At-
Ta’dil.
2. Menambah pengetahuan kepada mahasiswa mengenai
tingkatan-tingkatan Al-Jarh wa At-Ta’dil.
3. Untuk memahami apasaja kritik tehadap shahabat
berkaitan denganm Matan.
4. Menambah pengetahuan kepada mahasiswi pertentangan
antara Al-Jarh wa At-Ta’dil.
D. Manfaat
Penulis makalah ini diharapkan bisa menjadi sumber
informasi sekaligus untuk menambah wawasan bagi yang
membacanya dan semoga bisa menjadi bahan rujukan bagi yang
membutuhkan. Dan penulis mengharapkan tulisan ini bisa
menjadi suatu pemaparan yang dapat menjelaskan tentang Al-
Jarh wa At-Ta’dil.

E. Metodologi
Penulis ini menggunakan metodologi kualitatif research.
Dalam pengumpulan data-data dalam penelitian ini penulis
menggunakan studi kepustakaan (Library research), dengan
merujuk kepada artikel, buku-buku, journal, dan berita-berita
media yang relevan.
BAB I
Pembahasan
A. At - Ta’dil
1. Pengertian At-Ta’dil

Secara bahasa At-Ta’dil, masdar dari kata Addala-Yu’adilu-


Ta’diilan, bila dikatakan ‘Addala Asy Syai, maksudnya
melaksanakannya atau menyamakannya. Secara istilah yaitu orang
yang tidak nampak padanya apa yang dapat merusak agamanya dan
perangainya, maka oleh sebab itu diterima berita dan kesaksiannya
apabila memenuhi syarat-syarat menyampaikan hadits. At-Ta’dil
adalah penshihatan dengan sifat yang mensucikannya, sehingga
tampak keadilannya dan diterima beritanya. Ta’dil berarti menyifati
perawi dengan sifat-sifat yang karenanya perawi Hadits tersebut
dapat dipandang adil sehingga riwayatnya dapat diterima.1

2. Syarat-syarat penta’dil

Para ulama’ mensyaratkan dalam memberikan rekomondasi


keadilan seseorang, syarat-syarat tersebut ;

a. Penta’dilan harus seseorang yang adil, yaitu muslim, baligh,


berakal, dan selamat dari sebab-sebab kefasikan dan dari
perangai buruk.
b. Penta’dil harus bersungguh-sungguh dalam mencari dan
mempelajari keadaan para perawi.
c. Ia harus mengetahui sebab-sebab yang menjadikan seseorang
perawi adil atau jarh (cacat). Dan tidak menghukumi kecuali
telah pasti kebenaran sebab-sebab tersebut.
d. Tidak ta’ashub terhadap orang yang dita’dilnya, sehingga ia
akan manta’dil dan menjarh dikarenakan ashabiyah madzhab
atau negara.
3. Tingkatan Penta’dilan
Penta’dilan dibagi menjadi tiga tingkatan :

1) Diantara ulama’ ada yang mutasahil dalam ta’dil ( terlalu


medah memberi rekomendasi keadilan ).
1
Bahrul Ma’ani, “Al-Jarh wa At-Ta’dil : Upaya Menghindari Skeptis dan Hadits Palsu”,
( Media Akademika, vol. 25, no. 2, April 2010), hlm. 99
Maka tingkatan yang pertama ini tidak diterima bila ia
memberikan rekomendasi tsiqoh kepada seseorang, kecuali
bila ia mengetahui.
2) Mutasyadid (terlalu ketat memberikan rekomendasi adil
kepada seseorang perawi).
Untuk yang kedua ta’dilnya dipegang erat-erat, apalagi
terhadap perawi yang diperselisihkan.
3) Mu’tadil (sikap pertengahan).
Untuk tingkatan yang ketiga, perkataan diterima, dan tidak
ditolak kecuali bila menyelisihi jumhur.
4. Hukum Tingkatan-Tingkatan Tersebut
1) Untuk tiga tingkatan yang pertama, dapat dijadikan
hujjah, meski sebagian dari mereka kekuatannya berbeda
dengan yang lainnya.
2) Untuk tingkatan keempat dan kelima, tidak bisa dijadikan
hujjah. Meski demikian hadits mereka boleh ditulis untuk
dikabarkan dan diuji kedhabitannya.
3) Tingkatan keenam, tidak bisa dijadikan hujjah, tetapi
haditsnya ditulis untuk dijadikan pelajaran, bukan untuk
diberitakan. Karena ini memperlihatkan ketidakdhabitan
mereka.
5. Keadilan Seseorang Ditetapkan
Keadilan seseorang ditetapkan dengan salah satu dari hal berikut:
1) Persaksian seseorang ulama bahwa ia seseorang yang
adil. Maka barang siapa disaksikan keadilannya maka ia
seseorang yang adil.
2) Dengan ketenaran dan kepopuleran keadilannya dikalang
ahli ilmu.2
B. Al – Jarh
1. Pengertian Al – Jarh

2
Dr. Mahmud Tahhan, “Ulumul Hadist Studi Kompleksitas Hadits Nabi”. ( Yogyakarta,
Titian Ilahipress, 2004 ), halm. 3-9
Secara bahasa Al Jarh berasal dari kata Jaraha. Ia dikatakan
Jarahahubilisanihi, artinya mencelanya atau menghunanya. Secara
istilah yaitu terlihatnya sifat pada seseorang perawi yang dapat
menjatuhkan keadilannya, merusak hafalan dan ingatannya,
sehingga menyebabkan gugur riwayatnya hingga kemudian ditolak.
Jarh dapat pula berarti memakai dan menistakan baik di depan
maupun di belakang, secara terminologi tajrih atau jarh berarti
menyifati seseorang perawi dengan sifat-sifat yang dapat
menyebabkan lemah atau tertolaknya Hadits yang di riwayatkannya.3

2. Syarat – Syarat Dibolehkan Jarh

Dalam Islam jarh dibolehkan. Banyak dalil yang


menunjukkan bolehnya jarh, walaupun ada beberapa ulama’ yang
berpendapat keharamannya. Namun mmenurut jumhur dibolehkan,
bahkan wajib dalam kondisi tertentu, dengan dalil:

1. Firman Allah Swt:


“hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu
orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah
dengan teliti.” (Al-Hujuraat:6)
Dalam ayat ini Allah mewajibkan tabayun terhadap kabar
yang dibawa orang fasik.
2. Firman Nabi Saw:
Kebolehan Jarh dalam Islam bukan berarti kebolehan
tanpa batas. Kebolehan Jarh harus dengan beberapa
syarat, yaitu:
a) Jarh ditunjukan untuk perawi atau yang lainnya,
maka jangan menjarh mereka kecuali bila ada
manfaatnya.
b) Menjarh untuk keslahatan dan nasehat, bukan
bukan karena senang menampakan cacat dan
kekurangan orng lain.
c) Seseorang harus berpegang teguh dengan apa
yang ia katakan.
d) Menjarh harus sesuai dengan kebutuhan.

3
Bahrul Ma’ani, op.cit, halm. 100
3. Syarat- Syarat Penjarh
1) Penjarh harus seseorang yang adil, agar ia
menahan dan berhati- hati dari menuduh
seseorang dengan kebatilan.
2) Harus mencurahkan perhatian untuk mempelajari
dan mengetahui keadaan perawi.
3) Mengetahui sebab- sebab jarh.
4) Tidak ta’ashub.
4. Tingkatan Jarh dan Lafadz- lafadznyz
1) Lafadz yang menunjukan adanya kelemahan
(yaitu jarh yang paling ringan)
2) Lafadz yang menunjukan adanya kelemahan
terhadap perawi tidak dapat dijadikan hujjah.
3) Lafadz yang menunjukan lemah sekali tidak dapat
ditulis hadistnya
4) Lafadz yang menunjukan adanya tuduhan terbuat
dusta atau pemalsuan hafits.
5) Lafadz yang menunjukan adanya perbuatan dusta
atau yang semacamnya.
6) Lafadz yang menunjukan adanya mubalaghoh
dalam perbuatan dusta.
5. Hukum Tingkatan- tingkatan Tersebut
1) Dua tingkatan yang pertama, maka hadist- hadits
yang diriwayatkan oleh orang-orang tersebut tidak
dapat dijadikan hujjah, tapi boleh sebagai
pelajaran saja.
2) Empat tingkatan terakhir hadits tidak bisa
dijadikan hujjah, tidak boleh di tulis, bahkan tidak
dapat dijadikan pelajaran dan tidak dianggap
sama sekali.4

4
Dr. Mahmud Tahhan, op.cit, hal. 9-13
C. Pertentangan Ta’dil wa Jarh

Diantara para ulama’ terkadang terjadi pertentangan


pendapat terhadap seseorang perawi, Ulama yang satu
menta’dilkannya sedangkan yang lainnya mentajrihnya. Apabila
dipilih permasalahannya maka dapat dibagi kedalam dua
katagori. Pertama, pertentangan para ulama’ diketahui sebabnya
dan kedua, pertentangan itu tidak diketahui sebabnya.

Adapun terhadap katagori yang pertama, sebab-sebab


terjadinya :

1. Terkadang sebagian ulama mengenal seseorang perawi,


ketika perawi masih fasik, sehingga mereka mentarjih
(mentajrih) perawi tersebut, sebagian ulama lainnya
mengetahui perawi itu setelah ia bertaubat, sehingga mereka
menta’dilkannya.
2. Terkadang pula ada ulama yang mengetahui perawi sebagian
orang yang daya hafalannya lemah, sehingga mereka
mentajrih perawi itu. Sementara ulama yang lainnya
mengetahui perawi itu sebagian dhabit, sehingga mereka
menta’dilkannya.

Namun dalam hal sebab-sebab pertentangan ulama


mengenai jarh dan ta’dilnya seseorang perawi yang tidak dapat
dikompromikan, maka untuk menentukan untuk menentukan
mana yang akan diunggulkan apakah pendapat ulama yang
mentajrih atau yang menta’dil terdapat berbagai pendapat
dikalang ulama hadits, sebagai berikut :

a. Jarh di dahulukan dari ta’dil meskipun ulama’ yang


menta’dilkannya lebih banyak dari ulama yang mentajrih,
alasannya orang yang mentajrih mempunyai kelebihan
mengetahui (cermat) melihat kekurangan perawi. Hal ini
umumnya tidak dilihat secara jeli oleh orang yang menta’dil.
b. Ta’dil didahului dari jarh apabila orang yang menta’dilkan
lebih banyak dari ulama yang mentajrih, karena banyaknya
yang menta’dilkan memperkuat keadaan mereka. Pendapat
ini kemudian ditolak dengan alasan bahwa meskipun mereka
tidak mungkin akan mau menta’dilkan sesuatu yang telah
ditajrih oleh ulama lain.
c. Apabila jarh dan ta’dil saling bertentangan maka tidak dapat
ditajrihkan salah satunya, kecuali ada salah satu yang
menguatkannya, dengan demikian terpaksa kita tawaquf dari
mengamalkan salah satunya sampai diketauhi hal yang
menguatkan salah satunya.
d. Ta’dil harus didahulukan dari jarh, karena pentajrih dalam
mentajrihkan perawi menggunakan ukuran yang bukan
substansi jarh, sedangkan menta’dil, kecuali setelah peneliti
secara cermat persyaratan diterimanya ke’adalahannya
seseorang perawi.5

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

5
Ajaz al-Khatib, “Ulumul Hadits Ulumuhu wa Musthalahuhu”, (Damaskus: Dar al-Fikr,
1975), halm. 260-267
Maka ilmu Al-Jarh wa At-Ta’dil adalah ilmu yang
menerangkan tentang cacat-cacat yang dihadapkan kepada para
perawi dan tentang penta’dilannya (memandang lurus para perawi)
dengan memakai kata-kata yang khusus dan untuk menerima atau
menolak riwayat mereka. Ilmu ini tumbuh bersama-sama dengan
tumbuhnya periwayatan dalam islam, karena untuk mengetahui
hadits-hadits yang shahih perlu mengetahui keadaan rawinya, secara
yang memungkinkan ahli ilmu menetapkan kebenaran rawi atau
kedustaannya hingga dapatlah merasa antara yang diterima dengan
yang ditolak.

Karena itu para ulama menanyakan keadaan para perawi,


meneliti kehidupan ilmiyah mereka, agar mengetahui siapa yang
lebih hafal dan kuat ingatannya. Adapun kegunaan dari Ilmu Al-Jarh
wa At-Ta’dil untuk menentukan kualitas perawi dan nilai haditsnya.
Menetapkan apakah periwayatannya seseorang perawi itu bisa
diterima atau ditolak sama sekali.

B. Saran

Ilmu jarh wa ta’dil adalah ilmu yang sangat penting dipelajari


bagi para pelajar ilmu hadits. Karena ilmu ini merupakan timbangan
bagi para rawi hadits. Rawi yang berat timbangannya diterima
riwayatnya dan rawi yang ringan timbangannya ditolak riwayatnya.
Dengan ilmu ini kita bisa mengetahui periwayat yang dapat diterima
haditsnya, serta dapat membedakannya dengan periwayat yang tidak
memperhatikan ilmu ini dengan penuh perhatiannya dan
mencurahkan segala pikirannya untuk menguasainya.
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai