Anda di halaman 1dari 16

Al-ahkam

JURNAL ILMU SYARI’AH DAN HUKUM


Fakultas Syari’ah IAIN SURAKARTA

KEWENANGAN LEMBAGA PERADILAN AGAMA DI INDONESIA

Fanida Khoirotullatifah
Fakultas Syariah UIN Raden Mas Said
Fanidakhoirotullatifa8@gmail.com

Abstracts

The Religious Courts are one of the judicial bodies that carry out judicial power to carry out
law enforcement and justice for people seeking justice in certain cases between people who are
Muslim in the fields of marriage, inheritance, wills, grants, waqf, zakat, infaq, alms, and
economics. sharia. By affirming the authority of the religious courts in resolving certain cases,
including violations of the marriage law and its implementing regulations and strengthening
the legal basis of the Sharia Court in carrying out its authority in the field of jinayah based on
qanuns. Have the power to judge based on the region or region. The relative authority of the
Religious Courts is in accordance with its place and position. The Religious Court is domiciled
in the capital city or in the district capital and its legal area covers the city or district area. The
High Court of Religion is domiciled in the provincial capital and its jurisdiction covers the
province.

keywords: Authority, Judiciary, Religion

Pendahuluan

Indonesia telah tumbuh sebagai negara yang berdasarkan pada kedaulatan hukum. Dengan
kenyataan bahwa Negara Indonesia merupakan sebuah negara yang terbentuk dari berbagai
agama, ras, bahasa, dan budaya. Islam dan hukum Islam selalu berjalan beiringan tidak dapat
dipisah-pisahkan. Maka dari itu pertumbuhan Islam selalu diikuti dengan pertumbuhan hukum
islam itu sendiri.1

Peradilan Agama telah tumbuh dan melembaga di bumi nusantara ini sejak agama Islam dianut
oleh penduduk yang telah berada di wilayah ini selama berabad-abad sebelum kehadiran
penjajah. Keberadaan Peradilan Agama pada waktu itu belum mempunyai landasan hukum
secara formal. Peradilan Agama ini muncul bersamaan dengan adanya kebutuhan dan

1
Mahasiswa Kelas HES 5F Jurusan Hukum Ekonomi Syariah Fakultas Syari’ah IAIN Surakarta, NIM 162111236.
Fanida Khoirotullatifah Kewenangan Lembaga Peradilan Agama di
Indonesia
kesadaran hukum umat Islam Indonesia. Maka tuntutan hukum yang digunakan di dalam
Peradilan Agama di Indonesia juga ditentukan, serta jenis-jenis perkara yang dikuasai oleh
sebuah badan peradilan juga ditentukan. Maka setiap pengadilan yang ada di indonesia, 2 telah
ditentukan dalam hal apa saja dan di mana proses peradilan itu patut untuk dilaksanakan.
Peradilan Agama pada awalnya diatur dengan beberapa peraturan perundang-undangan yang
tersebar di berbagai peraturan, mulai dari sebelum tahun 1882 hingga kemudian baru pada
tahun 1989 Peradilan Agama diatur dalam satu peraturan perundang-undangan, yaitu Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.3 Dan sudah dirubah sebanyak dua
kali, dengan adanya perubahan tersebut maka Peradilan Agama mengalami perubahan tentang
kekuasaan atau kewenangan Lutfi, (2016) mengadili di pen n6vngadilan pada lingkungan
Peradilan Agama.

Pembahasan

Pengertian Peradilan Agama

Peradilan berasal dari akar kata adil dan juga merupakan terjemahan dari istilah bahasa arab
yaitu “qadha” yang bermakna memutuskan, melaksanakan, ataupun menyelesaikan.4 Adapun
yang dimaksud dengan Peradilan Agama berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
Tentang Peradilan Agama adalah peradilan yang dikhususkan bagi orang-orang yang beragama
Islam, dan pengadilan yang dimaksudkan ialah Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi
Agama di lingkungan Peradilan Agama. Peradilan Agama merupakan salah satu dari empat
lembaga Peradilan Negara atau Kekuasaan Kehakiman yang ada di Indonesia. Peradilan
Agama mengadili perkara-perkara tertentu atau mengenai golongan tertentu. Dan dalam hal
ini, maka Peradilan Agama hanya berwenang di bidang perdata tertentu saja dan hanya untuk
orang-orang yang beragama Islam di Indonesia.5

Dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang


Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama di jelaskan bahwa, “Peradilan Agama adalah

2
Zaini Ahmad Noeh dan Abdul Basit Adnan, Sejarah Singkat Peradilan Agama di Indonesia, (Surabaya: Bina
Ilmu, 1983), hlm. 29.
3
Munawir Sjadzali, Landasan Pemikiran Politik Hukum Islam dalam Rangka Menentukan Peradilan Agama di
Indonesia, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1991), hlm 42
4
Ahmad Warsono Munawwir. Op.cit. Hal. 1215.
5
Roihan A. Rasyid. 2002. Hukum Acara Peradilan Agama. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Hal. 5.

2
Fanida Khoirotullatifah Kewenangan Lembaga Peradilan Agama di
Indonesia
salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam
mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini”.6 Maka
sejatinya. Peradilan Agama sebagai pelaku kekuasaan kehakiman bagi para pencari keadilan
ini sudah ada dan tersebar di berbagai daerah di seluruh wilayah Indonesia sejak masa sebelum
kemerdekaan Republik Indonesia dengan beraneka ragam nama atau sebutan istilahnya. Dan
pada zaman penjajahan Jepang tidak banyak pula mengalami perubahan, tetapi pada tahun
1957 yakni setelah Indonesia merdeka, ada lagi suatu Badan Peradilan Agama yang dibentuk
baru dengan sebutan Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar’iyah dan Pengadilan Agama
atau Mahkamah Syar’iyah Provinsi.

Pengertian Kewenangan Peradilan Agama

Kata “kekuasaan” yang sering disebut juga dengan “kompetensi” yang berasal dari bahasa
Belanda, yaitu ”competentie”, yang kadang kala juga diterjemahkan sebagai “kewenangan”
dan kadang pula sebagai “kekuasaan” untuk memutuskan atau melegalkan sesuatu. Kekuasaan
atau kewenangan peradilan ini kaitannya adalah dengan hukum acara yang merupakan ruang
lingkup dari kekuasaan kehakiman yang diberikan oleh undang-undang terhadap lingkungan
peradilan agama yang tercantum dalam Bab III Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang
meliputi Pasal 49 sampai dengan Pasal 53.7

Maka dalam hal kewenangan (kompetensi) Peradilan Agama ini telah termaktub dalam Pasal
49 sampai dengan Pasal 53 Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Yang kemudian wewenang tersebut terdiri atas wewenang relatif (relative competentie) dan
wewenang absolut (absolute competentie). Wewenang relatif Peradilan Agama merujuk pada
Pasal 118 HIR atau Pasal 142 R.Bg. jo. Pasal 66 dan Pasal 73 Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989 Tentang Peradilan Agama, sedangkan wewenang absolut Peradilan Agama ini
berdasarkan Pasal 49 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.

6
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
Tentang Peradilan Agama
7
M. Yahya Harahap. 1993 (I). Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama (Undang-Undang No.7
Tahun 1989). Jakarta: Pustaka Kartini. Hal. 133.

3
Fanida Khoirotullatifah Kewenangan Lembaga Peradilan Agama di
Indonesia
Menurut M. Yahya Harahap ada lima tugas dan kewenangan Ii, (2006) yang terdapat dalam
lingkungan Peradilan Agama, yaitu :

1. Fungsi kewenangan dalam mengadili,


2. Memberi keterangan, pertimbangan, dan nasihat tentang hukum Islam kepada instansi
pemerintahan,
3. Kewenangan lain yang diatur atau berdasarkan undang-undang,
4. Kewenangan pengadilan tinggi Thalib, (2017) agama mengadili perkara dalam tingkat
banding dan mengadili sengketa kompetensi relatif,
5. Serta bertugas mengawasi jalannya peradilan.

Bentuk Perkara di Lingkup Peradilan Agama

Sebelum membahas tentang kewenangan relative sebaiknya perlu diketahui terlebih dahulu
jenis-jenis perkara yang diperiksa Pengadilan di lingkungan Peradilan Agama. Perkara yang
diperiksa Pengadilan di lingkungan Peradilan Agama ada dua macam, yaitu permohonan
(Voluntaire) dan gugatan (Contentius).

Permohonan adalah mengenai suatu perkara yang tidak ada pihak-pihak lain yang saling
bersengketa. Gugatan adalah suatu perkara yang terdapat sengketa antara kedua belah pihak.
Mardani mengartikan gugatan dengan suatu surat yang diajukan oleh penggugat kepada Ketua
Pengadilan Agama yang berwenang, yang memuat tuntutan hak yang didalamnya mengandung
sengketa dan merupakan dasar landasan pemeriksaan perkara dan suatu pembuktian kebenaran
suatu hak.8

Perbedaan antara permohonan dan gugatan adalah, sebagai berikut:9

a. Dalam permohonan hanya ada satu pihak saja sedangkan dalam gugatan terdapat dua
belah pihak yang bersengketa.
b. Dalam permohonan tidak terdapat sengketa sedangkan perkara gugatan terdapat
sengketa antara kedua belah pihak.

8
Mardani, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama & Mahkamah Syariah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm 80
9
Abdullah Tri Wahyudi, Hukum Acara Peradilan Agama Dilengkapi Contoh Surat-surat Dalam Praktik Hukum
Acara di Peradilan Agama, (Bandung: Mandarmaju, 2018), hlm 32

4
Fanida Khoirotullatifah Kewenangan Lembaga Peradilan Agama di
Indonesia
c. Dalam permohonan hakim hanya menjalankan fungsi executive power atau
administrative saja sehingga permohonan disebut jurisdiction voluntair atau peradilan
saja yang bukan sebenarnya. Sedangkan dalam gugatan hakim berfungsi sebagai hakim
yang mengadili dan memutus pihak yang benar dan yang tidak benar. Gugatan disebut
juga Jurisdictio contentious atau peradilan yang sesungguhnya.
d. Produk pengadilan dalam perkara permohonan berupa penetapan atau beschikking,
disebut juga putusan declaratoir yaitu putusan yang sifatnya menerangkan atau
menetapkan suatu keadaan atau status tertentu. Produk pengadilan dalam perkara
gugatan berupa putusan atau vonnis, yang putusannya dapat berupa putusan
codemnatoir yaitu putusan yang bersifat menghukum kepada para pihak yang
bersengketa.
e. Penetapan Jeklin, (2016) hanya mengikat pada pemohon saja sehingga tidak
mempunyai kekuatan eksekutorial atau penetapan tidak dapat dilaksanakan/dieksekusi.
Sedangkan putusan gugatan mengikat kepada kedua belah pihak sehingga mempunyai
kekuatan eksekutoria.

Macam-macam Kewenangan di Peradilan Agama

A. Kewenangan Relatif Peradilan Agama


Yang dimaksud dengan kekuasaan relative adalah kekuasaan dan wewenang yang
diberikan antara pengadilan dalam lingkungan peradilan yang sama atau wewenang
yang berhubungan Iii, (1998) dengan wilayah hukum antara Pengadilan Agama dalam
lingkungan Peradilan Agama. Misalnya Pengadilan Agama Bandung dengan
Pengadilan Agama Bogor. Pihak yang akan mengajukan perkaranya ke pengadilan
pada umumnya dan khususnya Pengadilan Agama haruslah memperhatikan tentang
kompetensi relatif ini apabila salah dalam menentukan kompetensi relatifnya maka
akibat hukumnya sangat jelas yaitu perkara yang diajukan akan diputus dengan putusan
yang tidak dapat diterima. Atau menurut Mardani Kompetensi relatif adalah kekuasaan
mengadili berdasarkan wilayah atau daerah.10
Pasal 4 ayat 1 UU No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah diamandemen
dengan UU No.3 Tahun 2006, dan UU No. 50 Tahun 2009 berbunyi SURYA, (2019):

10
Mardani, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syari’ah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009),
hlm. 53

5
Fanida Khoirotullatifah Kewenangan Lembaga Peradilan Agama di
Indonesia
“Peradilan Agama berkedudukan di ibukota kabupaten/kota dan daerah hukumnya
meliputi wilayah kabupaten/kota”. Pada penjelasan Pasal 4 Ayat 1 berbunyi: “Pada
dasarnya tempat kedudukan Pengadilan Agama ada di ibukota/kabupaten, atau kota,
tetapi tidak menutup kemungkinan adanya pengecualian.
Tiap Pengadilan Agama mempunyai wilayah hokum tertentu, dalam hal ini meliputi
satu kota madya atau satu kabupaten, atau dalam keadaan tertentu sebagai
pengecualian, mungkin lebih atau mungkin kurang, seperti di Kabupaten Riau
kepulauan terdapat empat buah Pengadilan Agama, karena kondisi transportasi yang
sulit.11
1. Kewenangan Relatif Perkara Gugatan
Pada dasarnya setiap gugatan diajukan ke Pengadilan yang wilayah hukumnya
meliputi:
a. Gugatan diajukan kepada pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi wilayah
kediaman tergugat. Apabila tidak diketahui tempat kediamannya maka
pengadilan di mana tergugat bertempat tinggal
b. Apabila tergugat lebih dari satu orang maka gugatan dapat diajukan kepada
pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi wilayah salah satu kediaman
tergugat
c. Apabila tempat kediaman tergugat tidak diketahui atau tempat tinggalnya tidak
diketahui atau jika tergugat tidak dikenal maka gugatan diajukan ke pengadilan
yang wilayah hukumnya meliputi tempat tinggal penggugat
d. Apabila objek perkara adalah benda tidak bergerak, gugatan dapat diajukan
kepengadilan yang wilayah hukumnya meliputi letak benda tidak bergerak
e. Apabila dalam suatu akta tertulis ditentukan domisili pilihan, gugatan diajukan
kepada pengadilan yang domisilinya dipilih.

Kewenangan relative perkara gugatan pada Pengadilan Agama terdapat beberapa


pengecualian, sebagai berikut:

a. Permohonan Talak Cerai


Pengadilan Agama yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutuskan
perkara permohonan cerai talak diatur dalam pasal 66 ayat (2) UU No. 7 Tahun

11
Basiq Djalil, Peradilan Agama Di Indonesia, (Jakarta : Kencana, 2010) , hlm 146

6
Fanida Khoirotullatifah Kewenangan Lembaga Peradilan Agama di
Indonesia
1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana diubah dengan UU No. 3 Tahun
2006 tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
sebagai berikut:
- Apabila suami/pemohon yang mengajukan permohonan cerai talak maka
yang berhak memeriksa perkara adalah Pengadilan Agama yang wilayah
hukumnya meliputi kediaman istri/termohon
- Suami/pemohon dapat mengajukan permohonan cerai talak ke Pengadilan
Agama yang wilayah hukumnya meliputi kediaman suami/pemohon apabila
istri/termohon secara sengaja meninggalkan tempat kediaman tanpa ijin
suami
- Apabila istri/termohon bertempat kediaman di luar negeri maka yang
berwenang adalah Pengadilan Agama yang meliputi kediaman
suami/pemohon
- Apabila keduanya (suami/istri) bertempat kediaman di luar negeri,yang
berhak adalah Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi tempat
pelaksanaan perkawinan atau Pengadilan Agama Jakarta Pusat.
b. Perkara Gugatan Cerai
Pengadilan Agama yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutuskan
perkara gugat cerai diatur dalam pasal 73 Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989:
- Pengadilan Agama yang berwenang memeriksa perkara cerai gugat adalah
Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi kediaman
istri/penggugat
- Apabila istri/penggugat secara sengaja meninggalkan tempat kediaman
tanpa ijin suami maka perkara gugat cerai diajukan ke Pengadilan Agama
yang wilayah hukumnya meliputi kediaman suami/tergugat
- Apabila istri/penggugat bertempat kediaman di luar negeri maka yang
berwenang adalah Pengadilan Agama yang meliputi kediaman
suami/tergugat
- Apabila keduanya (suami/istri) bertempat kediaman di luar negeri, yang
berhak adalah Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi tempat
pelaksanaan perkawinan atau Pengadilan Agama Jakarta Pusat.

7
Fanida Khoirotullatifah Kewenangan Lembaga Peradilan Agama di
Indonesia
2. Kewenangan Relatif Perkara Permohonan
Untuk menentukan kekuasaan relative Pengadilan Agama dalam perkara
permohonan Lutfitasari, (n.d.) adalah diajukan ke pengadilan yang wilayah
hukumnya meliputi kediaman pemohon. Namun dalam Pengadilan Agama telah
ditentukan mengenai kewenangan relative dalam perkara-perkara tertentu dalam
UU No.7 Tahun 1989, sebagai berikut:
a. Permohonan ijin poligami diajukan ke Pengadilan Agama yang wilayah
hukumnya meliputi kediaman pemohon
b. Permohonan dispensasi perkawinan bagi calon suami atau istri yang belum
mencapai umur perkawinan (19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi
perempuan) diajukan oleh orang tuanya yang bersangkutan kepada Pengadilan
Agama yang wilayah hukumnya meliputi kediaman pemohon
c. Permohonan pencegahan perkawinan diajukan ke Pengadilan Agama yang
wilayah hukumnya meliputi tempat pelaksanaan perkawinan
d. Permohonan pembatalan perkawinan diajukan kepada Pengadilan Agama yang
wilayah hukumnya meliputi tempat dilangsungkannya pernikahan atau tempat
tinggal suami atau istri.

Pengaturan kewenangan relatif diatas dalam jenis perkara permohonan tertentu


merupakan suatu peraturan yang bersifat khusus atau pengecualian dari peraturan
yang bersifat umum sehingga yang diberlakukan adalah peraturan yang bersifat
khusus dan mengesampingkan peraturan yang bersifat umum.

B. Kewenangan Absolute Peradilan Agama


Kewenangan absolut atau mutlak adalah menyangkut pembagian kekuasaan antar
badan – badan peradilan, dilihat dari macamnya pengadilan menyangkut pemberian
kekuasaan untuk mengadili.12
Kewenangan Absolut ( absolute competentie ) adalah kekuasaan yang berhubungan
dengan jenis perkara dan sengketa kekuasaan pengadilan. Dalam pasal 2 UU No 3 tahun
2006 menyatakan bahwa “ peradilan agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan
kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama islam mengenai perkara

12
Yusna Zaidah, Buku Ajar Peradilan Agama Di Indonesia, Banjarmasin : IAIN Antasari Press, 2015. Hlm 64

8
Fanida Khoirotullatifah Kewenangan Lembaga Peradilan Agama di
Indonesia
tertentu yang diatur dalam UU ini.”. Kekuasaan di lingkungan peradilan agama adalah
memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara perdata tertentu di kalangan golongan
rakyat tertentu, yaitu orang – orang yang beragama islam.
Kewenangan mutlak atau kompentensi absolut peradilan agama meliputi bidang –
bidang perdata tertentu seperti tercamtum dalam pasal 49 UU No 4 Tahun 2006 dan
berdasarkan asas personalitas keislaman. Peradilan agama merupakan peradilan bagi
orang – orang yang beragama islam yaitu peradilan yang bertugas menyelesaikan
perkara yang dilakukan oleh orang yang beragama islam.
Kekuasaan absolut Malinda,( 2017) pengadilan agama diatur dalam pasal 49 UU No 7
tahun 1989 sebagaimana di ubah dengan UU No 3 tahun 2006 tentang pengadilan
agama. Berikut perkara yang menjadi kewenangan absolut dari pengadilan agama
diantaranya sebagai berikut :
a. Kewenangan Peradilan Agama Mengadili Perkara Dalam Bidang Perkawinan
Dalam bidang perkawinan meliputi hal – hal yang diatur dalam UU No 1 Tahun
1974 tetang perkawinan, sebagai berikut7 :
1. Izin beristri lebih dari satu orang
2. Izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21 tahun
dalam hal orang tua atau wali atau keluarga dalam garis lurus ada perbedaan
pendapat
3. Dispensasi kawin
4. Pencegahan perkawinan
5. Penolakan perkawinan oleh pegawai pencatat nikah
6. Pembatalan perkawinan
7. Gugatan kelalaian atas kewajiban suami istri
8. Perceraian karena talak
9. Gugatan perceraian
10. Penyelesaian harta bersama
11. Penguasaan anak – anak / hadhanah
12. Ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan bilamana Bapak yang
seharusnya bertangung jawab tidak memenuhinya
13. Penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami kepada bekas
istri atau penentuan kewajiban bagi bekas istri.
14. Putusan tentang sah tidaknya seorang anak

9
Fanida Khoirotullatifah Kewenangan Lembaga Peradilan Agama di
Indonesia
15. Putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua
16. Pencabutan kekuasaan wali
17. Menunjuk orang lain sebagai wali oleh pengadilan dalam hal kekuasaan
seorang wali dicabut
18. Menunjuk seorang wali dalam hal seorang anak yang belum cukup umur 18
tahun yang ditinggal kedua orang tua padahal tidak ada penunjukan wali oleh
orang tuanya/
19. Pembebanan kewajiban ganti kerugian terhadap wali yang telah menyebabkan
kerugian atas harta benda yang ada dibawah kekuasaanya.
20. Penetapan asal usul anak
21. Putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan
perkawinan campuran
22. Pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum UU No 1 Tahun
1974 tetang perkawinan dan dijalankan menurut peraturan lain.

Dalam kompilasi hukum islam juga ada pasal yang memberikan kewenangan
peradilan agama untuk memeriks perkara perkawinan yaitu : 1. Penetapan wali
Adlal, 2. Perselisihan penggantian maharyang hilang sebelum di serahterimakan.
Kewenangan Peradilan Agama Mengadili Perkara Dalam Bidang Perkawinan.

b. Kewenangan Peradilan Agama Mengadili Perkara Dalam Bidang Kewarisan,


Wasiat, dan Hibah
Menurut Pasal 49 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, di jelaskan bahwa
kewenangan peradilan agama di bidang kewarisan yang disebut dalam Pasal 49
Ayat (1) huruf b adalah mengenai:
1. Penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris
2. Penentuan harta peninggalan
3. Penentuan bagian masing-masing ahli waris dan
4. Melaksanakan pembagian harta peninggalan
5. Menentukan kewajiban ahli waris terhadap pewaris
6. Pengangkatan wali bagi ahli waris yang belum cakap hukum
c. Kewenangan Peradilan Agama Mengadili Perkara Dalam Bidang Wakaf, Zakat,
Infaq, dan Sedekah

10
Fanida Khoirotullatifah Kewenangan Lembaga Peradilan Agama di
Indonesia
Pasal 1 Ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 Tentang Perwakafan
Tanah Milik menentukan pengertian tentang wakaf. Wakaf adalah perbuatan
hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkan sebagian harta kekayaan
yang berupa tanah milik dan melembagakannya untuk selama-selamanya untuk
kepentingan peribadatan atau kepentingan umum lainnya sesuai dengan ajaran
agama Islam. Wakaf ini sangat penting ditinjau dari sudut pelembagaan keagamaan.
Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 merupakan peraturan perwakafan
dalam ajaran Islam yang telah menjadi hukum positif dan pengaturannya memiliki
cakupan yang lengkap. Namun demikian, permasalahan wakaf juga semakin
kompleks, seiring dengan kemajuan dan perkembangan masyarakat. oleh karena
itu, jika ada perselisihan tentang perwakafan tanah milik, maka penyelesaiannya
dapat diajukan kepada pengadilan agama sesuai dengan ketentuan perundang-
undangan yang berlaku.
Adapun yang dimaksud dengan sedekah adalah memberikan uang, benda atau
barang, baik berupa benda yang bergerak ataupun benda tetap, yang segera habis
apabila dipakai atau tidak, kepada orang lain atau badan hukum, tanpa imbalan dan
tanpa syarat, melainkan semata-mata agar mendapatkan ridha dari Allah SWT.
Para Fuqaha berbeda pendapat tentang definisi sedekah, ada yang mengartikannya
hibah, ada yang mengartikannya wakaf, dan ada pula yang mengartikannya zakat.
Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 Tentang
Pengelolaan Zakat yang berlaku tahun 2001, maka dengan demikian pengadilan
agama berwenang untuk menyelesaikan perkara sebagaimana yang termaktub
dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006.
d. Kewenangan Peradilan Agama Mengadili Perkara Dalam Bidang Ekonomi
Syari’ah
Ekonomi syari’ah adalah segala perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan
menurut Saepullah et al., (2016) prinsip syari’ah atau hukum Islam. Kegiatan
ekonomi syari’ah meliputi beberapa hal, yaitu:13
1. Bank syari’ah
2. Asuransi syari’ah
3. Reasuransi syari’ah
4. Reksa Dana syari’ah

13
Zulkarnaen dan Dewi Mayaningsih. Op.cit. Hal. 138.

11
Fanida Khoirotullatifah Kewenangan Lembaga Peradilan Agama di
Indonesia
5. Obligasi syari’ah dan surat berharga berjangka menengah syari’ah
6. Sekuritas syari’ah
7. Pembiayaan syari’ah
8. Pegadaian syari’ah
9. Dana pensiun lembaga keuangan syari’ah
10. Lembaga keuangan mikro syari’ah

Kesimpulan

Berdasakan pembahasan sebagaimana tersebut di atas maka penulis memberikan kesimpulan


sebagai berikut:

Peradilan Agama adalah salah satu dari Peradilan Negara Indonesia yang sah, yang bersifat
Peradilan Khusus, yang berwenang dalam jenis perkara perdata Islam tertentu, bagi orang-
orang Islam di Indonesia. Peradilan Agama memiliki kewenangan, yang mana maksud
kewenangan disini adalah kewenangan mengadili atau kompetensi yurisdiksi pengadilan untuk
menentukan pengadilan mana yang berwenang memeriksa dan memutus suatu perkara,
sehingga pengajuan perkara tersebut dapat diterima dan tidak ditolak dengan alasan pengadilan
tidak berwenang mengadilinya. Kewenangan mengadili merupakan syarat formil sahnya
gugatan, sehingga pengajuan perkara kepada pengadilan yang tidak berwenang mengadilinya
menyebabkan gugatan tersebut dapat dianggap salah alamat dan tidak dapat diterima.

Perkara yang diperiksa Pengadilan di lingkungan Peradilan Agama ada dua macam, yaitu
permohonan (Voluntaire) dan gugatan (Contentius). Permohonan adalah mengenai suatu
perkara yang tidak ada pihak-pihak lain yang saling bersengketa, sedangkan Gugatan adalah
suatu perkara yang terdapat sengketa antara kedua belah pihak.

Kekuasaan atau kewenangan peradilan kaitannya dengan hokum acara perdata, menyangkut
dua hal yaitu Kekuasaan Relatif dan Kekuaaan Absolute. Yang dimaksud dengan kekuasaan
relative adalah kekuasaan dan wewenang yang diberikan antara pengadilan dalam lingkungan
peradilan yang sama atau wewenang yang berhubungan dengan wilayah hukum antara
Pengadilan Agama dalam lingkungan Peradilan Agama. Dalam Kewenangan Relatif Perkara
Gugatan menangani dua hal yaitu Permohonan Cerai Talak dan Perkara Gugatan Cerai.
Sedangkan dalam kewenangan relatif perkara permohonan yaitu memberikan permohonan
dalam hal ,Permohonan ijin poligami, Permohonan dispensasi perkawinan, Permohonan

12
Fanida Khoirotullatifah Kewenangan Lembaga Peradilan Agama di
Indonesia
pencegahan perkawinan dan juga Permohonan pembatalan perkawinan. Selanjutnya
kewenangan absolute yaitu kekuasaan yang berhubungan dengan jenis perkara dan sengketa
kekuasaan pengadilan. Kekuasaan pengadilan di lingkungan Peradilan Agama adalah
memeriksa, memutus,dan menyelesaikan perkara perdata tertentu di kalangan golongan rakyat
tertentu, yaitu orang-orang yang beragama Islam, dibidang perkawinan, waris, wasiat, hibah,
wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syari'ah.

DAFTAR PUSTAKA

Ii, B. A. B. (2006). Ahmad Warsono Munawwir. 24–83.

Iii, B. A. B. (1998). Bisri Hasan Cik,. Peradilan Agama di Indonesia , (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada 1998) hlm. 113. 1 41. 41–62.

Jeklin, A. (2016). 済無No Title No Title No Title. 9(July), 1–23.

Lutfi, C. (2016). Kewenangan {Absolut} {Peradilan} {Agama}. Fakultas Syariah Dan


Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.
https://www.academia.edu/download/57975875/kewenangan_absolut.pdf

Lutfitasari, D. R. (n.d.). Desy Rahayu Lutfitasari, HES 5I, Jurusan Hukum Ekonomi Syari’ah
Fakultas Syari’ah IAIN Surakarta, NIM 162111348.

Malinda, H. (2017). 1439 H / 2017 M. 1113054000025.

Saepullah, A., Syariah, F., Islam, D. E., Syekh, I., Cirebon, N., Perjuangan, J., Pass, B.,
Cirebon, S., Kunci, K., Kompetensi, :, Syari, E., Ah, ", & Yuridis, D. (2016).
Kewenangan Peradilan Agama Di Dalam Perkara Ekonomi Syariah. Mahkamah: Jurnal
Kajian Hukum Islam, 208(2), 2502–6593.
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=471445&val=9464&title=KEWEN
ANGAN PERADILAN AGAMA DI DALAM PERKARA EKONOMI SYARIAH

SURYA, A. (2019). Tinjauan terhadap kekuasaan relatif dan absolut serta ganjalan dalam
kekuasaan peradilan agama di indonesia. 1, 1–5.

Thalib, S. (2017). Pengadilan Agama. Jurnal Hukum & Pembangunan, 19(2), 114.
https://doi.org/10.21143/jhp.vol19.no2.1114

13
Fanida Khoirotullatifah Kewenangan Lembaga Peradilan Agama di
Indonesia
Undang – undang Nomor 3 Tahun 2006 tetnag perubahan atas UU No 7 Tahun 1989
tetang Peradilan Agama.

Wahyudi, Abdullah Tri. 2018. Hukum Acara Peradilan Agama Dilengkapi Contoh Surat-
surat Dalam Praktik Hukum Acara di Peradilan Agama. Bandung: Mandarmaju.

Mardani. 2009. Hukum Acara Perdata Peradilan Agama & Mahkamah Syariah. Jakarta:
Sinar Grafika.

Rasyid A Roihan, 2005, Hukum Acara Peadilan Agama, Cet.II, PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta

M. Yahya harahap,2001, kedudukan dan kewenangan Hukum acara peradilan agama.


Jakarta : Sinar grafika,

DJalil , A. Basiq. 2010. Peradilan Agama di Indonesia. Jakarta : Kencana

14
Fanida Khoirotullatifah Kewenangan Lembaga Peradilan Agama di
Indonesia

15
Fanida Khoirotullatifah Kewenangan Lembaga Peradilan Agama di
Indonesia

16

Anda mungkin juga menyukai