Anda di halaman 1dari 13

Keefektifan Herbisida Diuron dan Ametrin untuk Mengendalikan Gulma pada

Pertanaman Tebu (Saccharum officinarum L.) Lahan Kering

INTISARI

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi produksi gula diantaranya karena adanya gulma
pada areal pertanaman. Pada tanaman tebu, gulma akan bersaing dalam hal mendapatkan air,
unsur hara, sinar matahari dan ruang gerak dengan tanaman tebu. Kadang-kadang, ada beberapa
jenis gulma yang mengeluarkan zat racun yang dapat mempengaruhi perkembangan dan
pertunasan tebu. Kerugian pada tebu akibat dari persaingan tersebut terutama terlihat pada bobot
tebunya, besarnya kerugian akibat gulma ini sangat bervariasi tergantung dari jenis spesies
gulma dan kerapatannya.
BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Untuk menjaga agar pertumbuhan tanaman tebu tidak terganggu dan mencegah kerugian akibat
adanya gulma pada pertanaman tebu, maka perlu dilakukan pengendalian. Pengendalian gulma dapat
dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya adalah dengan cara kimiawi. Pengendalian gulma secara
kimiawi adalah pengendalian gulma dengan menggunakan bahan kimia yang dapat menekan
pertumbuhan gulma. Bahan kimia ini disebut herbisida. Aplikasi herbisida biasanya ditentukan oleh
stadia pertumbuhan tanaman utama dan gulma. Untuk itu, ada beberapa macam herbisida bila dilihat dari
waktu aplikasinya, yaitu herbisida pra tumbuh dan herbisida pasca tumbuh. Herbisida pra tumbuh
diaplikasikan setelah benih tanaman ditanam tetapi belum berkecambah dan gulma pun belum tumbuh.
Pengendalian gulma dengan menggunakan herbisida mempunyai beberapa keuntungan diantaranya :
membutuhkan waktu yang lebih singkat, menghemat kebutuhan tenaga kerja, terhindar dari kerusakan
akar dan struktur tanah, mencegah terjadinya erosi dan total biaya yang lebih rendah dari perlakuan
manual.

Herbisida yang dapat digunakan untuk mengendalikan gulma pada pertanaman tebu adalah diuron dan
ametrin. Diuron memiliki kemampuan untuk menahan pencucian karena daya larutnya yang rendah dalam
air, sehingga persistensi diuron dalam tanah cukup lama yaitu sekitar 2-3 bulan. Kedua herbisida ini
bersifat sistemik dan selektif. Herbisida selektif adalah herbisida yang bila diaplikasikan dalam suatu
komunitas campuran maka dapat mematikan sekelompok tumbuhan tertentu (gulma) dan relatif tidak
mengganggu tumbuhan lain (tanaman budidaya). Herbisida ini diabsorbsi dan ditranslokasikan ke
seluruh bagian tanaman. Herbisida ini bekerja dengan cara menghambat proses fotosintesis.

1.2. Tujuan
Mengetahui keefektifan penggunaan herbisida diuron dan ametrin dalam mengendalikan gulma
pada pertanaman tebu lahan kering.
BAB II GULMA DI PERTANAMAN TEBU LAHAN KERING

2.1. Pengaruh Gulma Terhadap Pertumbuhan Tebu


Menurut Kuntohartono (1987), gulma merupakan kendala utama di areal perkebunan tebu
terutama karena terjadi peningkatan kelebatan pertumbuhan gulma yang cepat dan lebat dengan berbagai
macam spesies yang mendominasi. Padahal pada masa-masa tertentu, tebu harus terhindar dari
persiangan gulma, salah satunya adalah ketika tebu pada masa bertunas dan memulai fase anakan. Masa
tersebut merupakan masa kritis pertumbuhan tebu dan selepas masa kritis tersebut tebu mampu bersaing
dengan gulma. Gulma tumbuh rapat sejak tanaman tebu berumur 4-6 minggu dan sangat lebat pada saat
umur tanaman tebu 8-12 minggu.

Kehadiran gulma akan mempersulit pemeliharaan dan pemanenan serta menurunkan kualitas
penebangan tebu, baik yang dilakukan secara manual, maupun mekanik. Peng (1984) menyatakan
bahwa penurunan hasil yang disebabkan oleh gulma pada pertanaman tebu bisa mencapai 6.6% hingga
11.7% pada berbagai jenis tanah yang beragam. Pengaruh buruk yang diberikan oleh gulma dapat dilihat
pada berkurangnya jumlah anakan tebu, batang tebu menjadi kecil, ruas pendek-pendek dan berwarna
pucat. Pada lahan kering gulma lebih beragam dan lebih berbahaya. Gulma-gulma dominan yang menjadi
pesaing kuat yang berakibat merugikan terdiri atas gulma daun lebar dan merambat, gulma daun sempit
dan teki-tekian.

2.2. Tentang Herbisida Diuron dan Ametrin


Diuron merupakan herbisida dari turunan urea. Herbisida ini merupakan herbisida yang selektif
dan dipakai lewat tanah, walaupun ada beberapa yang lewat daun. Termasuk dalam kelompok ini adalah
diuron, linuron, monuron dan sebagainya. Nama kimia dari herbisida diuron adalah 3-(3,4
dichlorophenyl)-1,1-dimethylurea. Menurut Thomson (1967) diuron dapat digunakan sebagai herbisida
pra tumbuh, pasca tumbuh serta herbisida soil sterilant (sterilisasi tanah). Herbisida diuron bersifat
sistemik. Herbisida ini biasanya diabsorbsi melalui akar dan ditranslokasikan ke daun melalui batang.
Pemakaian lewat daun tidak ditranslokasikan lagi. Di dalam tubuh tumbuhan diuron mengalami
degradasi, terutama melalui pelepasan gugus metil. Herbisida diuron menghambat reaksi Hill pada
fotosintesis, yaitu dalam fotosistem II. Dengan demikian pembentukan ATP dan NADPH terganggu
(Tjitrosoedirdjo et al., 1984).
Menurut Ashton et al. (1982), seperti kebanyakan herbisida yang berasal dari golongan urea,
diuron lebih cepat diserap melalui akar tumbuhan dan dengan segera ditranslokasikan ke bagian atas
tumbuhan (daun dan batang) melalui sistem apoplastik. Ada dua hal yang menyebabkan diuron tetap
berada di permukaan tanah dalam waktu yang relatif agak lama yaitu : (1) tidak mudah larut dalam air
sehingga diuron mempunyai kemampuan untuk bertahan dari pencucian dan (2) tingkat absorbsi yang
tinggi oleh koloid tanah. Toksisitas diuron sangat tinggi untuk kecambah tumbuhan pengganggu. Selain
untuk mengendalikan gulma pada pertanaman tebu, diuron juga banyak digunakan untuk pengendalian
gulma pada tanaman kapas, karet ,teh dan sebagainya. Dalam keadaan murni diuron akan berupa kristal
putih, tidak menguap, tidak mudah terbakar dan tidak berbau, akan meleleh pada suhu 158-159oC, larut
dalam air pada suhu 25oC sebanyak 42 ppm dan tahan terhadap dekomposisi. Toksisitas diuron terhadap
manusia dan ternak rendah (Sumintapura dan Iskandar, 1975). Gejala yang terjadi akibat aplikasi diuron
tergantung pada jenis tumbuhan itu sendiri. Biasanya kematiannya diawali pada ujung daun dan apabila
ujung daun telah mati, maka tidak akan terjadi turgor lagi. Kemudian akan khlorosis yang biasanya akan
diikuti oleh pertumbuhan yang lambat dan kematian yang mendadak. Radosevich (1997) menyatakan
sebagai herbisida pra tumbuh diuron biasanya diaplikasikan melalui tanah dan herbisida yang
diaplikasikan melalui tanah biasanya disemprotkan mengelilingi tanaman pokok atau disemprotkan
diantara barisan untuk meningkatkan selektivitas herbisida dan mengurangi biaya pengendalian gulma.

Ametrin merupakan herbisida selektif untuk mengendalikan gulma pada tanaman tebu, nanas,
pisang, jagung dan kentang (Ashton dan Monaco, 1991). Herbisida ini dikembangkan di Swiss sejak
tahun 1952 sebagai herbisida yang menghambat fotosintesis (Tjitrosoedirdjo et al., 1984). Ametrin
termasuk herbisida golongan methiltio -s-triazine yang merupakan anggota kelompok herbisida triazine.
Herbisida ini diaplikasikan sebagai herbisida pra tumbuh maupun pasca tumbuh. Ametrin memiliki
kemampuan sebagai herbisida karena mempunyai gugus substitusi alkil dan amino pada posisi atom C ke
empat dan ke enam. Gugus pada atom C kedua sangat menentukan keselektifan herbisida ametrin. Gugus
metiltio (-SCH3) pada atom kedua menentukan keselektifan yang sedang (Gysin dalam Kuntohartono,
1976). Gambar rumus bangun ametrin dapat dilihat pada Gambar 2. Absorbsi terjadi lewat akar dan
translokasikan dengan cepat sekali melalui sistem apoplas, tetapi herbisida yang masuk lewat daun tidak
lagi ditranslokasikan. Di dalam tubuh tumbuhan herbisida ametrin ini mengalami degradasi yang kadang-
kadang sangat intensif sehingga tanaman resistan terhadap herbisida ini (Tjitrosoedirdjo et al., 1984).

Herbisida jenis ametrin membunuh tanaman dengan penggangguan proses fotosintesisnya.


Tepatnya yang diganggu adalah pada reaksi Hill. Menurut Ashton dan Craft (1973), akibat adanya
gangguan reaksi Hill tersebut, tanaman tidak membentuk karbohidrat, sehingga terjadi kekurangan bekal
persenyawaan gula untuk memperoleh proses-proses metabolisme selanjutnya. Tjitrosoedirdjo et al.
(1984) menyatakan bahwa ametrin menghambat fotosintesis, terutama dalam fotosistem II pada saat
pecahnya air. Ternyata reaksi ini menimbulkan senyawa lain yang mematikan tumbuhan. Gejala yang
ditimbulkan karena aplikasi herbisida ametrin adalah klorosis dan nekrosis pada daun. Gejala yang lain
adalah menurunnya fiksasi CO2.

2.3. Pengendalian Gulma di Pertanaman Tebu Lahan Kering


Dalam pelaksanaannya, pengendalian gulma dibagi menjadi pengendalian secara kimia, mekanis
dan manual. Untuk sistem reynoso, pengendalian lebih dominan dilakukan secara manual. Sementara itu
di lahan kering lebih umum pengendalian gulma secara kimia yang dibedakan menjadi tiga yaitu pre
emergence (pra tumbuh), late pre emergence (awal tumbuh) dan post emergence (setelah/ purna tumbuh).
Adapun jenis herbisida dan dosis yang digunakan untuk penegendalian gulma. Pengendalian gulma pra
tumbuh (pre emergence) adalah pengendalian gulma yang dilakukan pada saat gulma dan tanaman tebu
belum tumbuh. Dilaksanakan pada 3-5 hari setelah tanam. Aplikasi herbisida dilaksanakan dengan
menggunakan Boom Sprayer yang mempunyai lebar kerja 12 meter (8 baris) yang ditarik oleh traktor
kecil 80 HP. Kecepatan kerja sekitar 1,52 km/jam. Late pre emergence adalah pengendalian gulma yang
dilakukan pada saat gulma sudah tumbuh dengan 2-3 daun dan tanaman tebu sudah berkecambah. Late
pre-emergence dilaksanakan karena terjadi keterlambatan aplikasi pre emergence, sedangkan post
emergence dilaksanakan pada saat gulma sudah tumbuh dan biasanya dilaksanakan 1 – 2 kali. Post
emergence diaplikasikan secara manual dengan hand sprayer/knapsack sprayer.

Data berikut merupakan hasil penelitian yang dilakukan Agustanti (2006) terhadap bobot kering beberapa
jenis gulma:

2.3.1. Gulma Total

Tabel 1. Pengaruh perlakuan pengendalian gulma terhadap bobot kering gulma total

Perlakuan

Dosis

Minggu Setelah Aplikasi (MSA) (gram/ 0,25 m²)

12

Diuron 80%

2 kg/ ha

0,26b
1,96b

7,00bc

5,77b

Ametrin 80%

2 kg/ ha

0,27b

6,44b

9,27bc

9,80b

Manual


0,00b

1,45b

13,17b

11,77b

Kontrol – 14,46a 25,33a 56,80a 57,47a


*Keterangan : Angka pada kolom yang sama dan diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada
taraf 5 % uji Duncan

Sumber: Agustanti (2006)

Aplikasi herbisida diuron 2 kg/ha lebih efektif menekan bobot kering gulma total hingga 12 MSA.
Diuron 2 kg/ha memberikan hasil yang lebih baik daripada ametrin 2 kg/ha. Secara umum diuron
memberikan hasil paling baik karena mampu mengurangi bobot kering hingga bernilai paling kecil (5,77
gram), diikuti ametrin (9,80 gram), manual (11,77), dan yang control memiliki pertumbuhan gulma paling
subur (57,47).

2.3.2. Gulma Digitaria adscendens

Tabel 2. Pengaruh perlakuan pengendalian gulma terhadap bobot kering gulma Digitaria adscendens

Perlakuan Dosis
Minggu Setelah Aplikasi (MSA) (gram/ 0,25 m²)

Rerata
2

8 12
Diuron 80% 2 kg/ ha1,02b 1,09b 1,60b 1,66b 1,3425
Ametrin 80% 2 kg/ ha1,02b 1,49b 2,39ab 1,80b 1,675
Manual – 1,00b 1,11b 1,40b 2,07b 1,395
Kontrol – 1,47a 2,43a 2,95a 3,48a 2,5825
*Keterangan : Angka pada kolom yang sama dan diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada
taraf 5 % uji Duncan
Sumber: Agustanti (2006).

Pada Tabel 2, disajikan pengaruh perlakuan gulma terhadap bobot kering gulma Digitaria adscendens.
Secara umum, diuron 2 kg/ ha sudah efektif menekan bobot kering gulma Digitaria adscendens
dibandingkan dengan ametrin 2 kg/ ha. Diuron 2 l/ ha tidak berbeda efektifitasnya dengan ametrin 2 l/ ha
dalam mengendalikan gulma Digitaria adscendens. Diuron 2 kg/ ha memberikan hasil yang lebih baik
dari ametrin 2 kg/ ha. Secara umum perlakuan manual masih mampu mengendalikan gulma Digitaria
adscendens jika dibandingkan dengan kontrol. Aplikasi diuron 2 kg/ ha dan 2 l/ ha cenderung efektif
mengendalikan gulma Digitaria adscendens dari 2 hingga 12 MSA. Aplikasi diuron 2 kg/ ha cenderung
efektif mengendalikan gulma Digitaria adscendens dari 2 hingga 12 MSA. Digitaria adscendens tergolong
rumput semusim. Gulma ini hidup berumpun dengan batang menjalar dan stolon yang mengeluarkan akar
dan tunas. Digitaria adscendens menghasilkan biji yang banyak sehingga sering dominan di areal tanaman
budidaya (Sastroutomo, 1990). Pengendalian gulma Digitaria adscendens dengan herbisida pra tumbuh
dapat mencegah gulma ini untuk tumbuh dan berkembang biak dan menghasilkan biji yang banyak
sehingga sering dominan pada jalur tanaman yang terbuka atau belum ternaung

Gambar 1. Gulma Digitaria adscendens

2.3.3. Gulma Borreria alata

Tabel 3. Pengaruh perlakuan pengendalian gulma terhadap bobot kering gulma Borreria alata

Perlakuan Dosis Minggu Setelah Aplikasi (MSA) (gram/ 0,25 m²) Rerata
2 4 8 12
Diuron 80% 2 kg/ ha1,01c 1,17b 1,40b 1,66b 1,31
Ametrin 80% 2 kg/ ha1,09b 1,86ab 1,81b 2,39b 1,7875
Manual – 1,00c 1,24b 2,32b 1,59b 1,615
Kontrol – 1,51a 2,28a 3,65a 3,65a 2,7725
*Keterangan : Angka pada kolom yang sama dan diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada
taraf 5 % uji Duncan

Sumber: Agustanti (2006).

Pengaruh perlakuan pengendalian gulma terhadap bobot kering gulma Borreria alata dapat dilihat pada
Tabel 3. Aplikasi herbisida diuron 2 liter/ha dan 2 kg/ha efektif menekan bobot kering gulma Borreria
alata hingga 12 MSA. Secara umum, diuron 2 kg/ha memberikan hasil yang lebih baik dari diuron 2 l/ha.
Meskipun demikian, diuron 2 l/ha tidak berbeda jauh efektivitasnya dengan diuron 2 kg/ha. Pada 2 MSA,
diuron 2 l/ha dan 2 kg/ha memberikan hasil yang setara dengan diuron . Bobot kering gulma Borreria
alata terendah terjadi pada 2 MSA dengan dosis herbisida diuron 50 % sebesar 3 l/ha. Penambahan ke
taraf dosis yang lebih tinggi (2 l/ha dan 3 l/ha) cenderung memberikan nilai bobot kering yang lebih
rendah. Aplikasi herbisida diuron 80 % pada semua tingkat dosis cenderung efektif dalam mengendalikan
bobot kering gulma Borreria alata dari 2 hingga 12 MSA. Peningkatan dosis 2 kg/ha memberikan nilai
bobot kering terendah pada 2 dan 12 MSA, sedangkan peningkatan dosis 3 kg/ha memberikan nilai bobot
kering terendah pada 2 dan 4 MSA. Penambahan ke tingkat dosis yang lebih tinggi cenderung efektif
hingga 12 MSA. Jika dibandingkan dengan kontrol, perlakuan herbisida ametrin 50 % dan ametrin 80 %
efektif menekan bobot kering Borreria alata hingga 12 MSA. Perlakuan manual menunjukkan nilai bobot
kering gulma total yang lebih rendah dari perlakuan kontrol hingga 12 MSA. Secara umum diuron 80 %
cenderung lebih efektif dalam mengendalikan bobot kering gulma Borreria alata. Hal ini ditunjukkan oleh
bobot kering gulma Borreria alata total yang dihasilkan oleh semua perlakuan diuron 80 % cenderung
lebih rendah dari perlakuan herbisida diuron 50 % pada 2, 4 dan 8 MSA. Borreria alata termasuk gulma
semusim yang tumbuh merambat atau tegak, percabangan dari pangkal batang. Gulma ini berkembang
biak dengan biji (Sastroutomo, 1990).

Gambar 2. Gulma Borreria alata

2.3.4. Gulma Cleome rutidosperma

Tabel 4. Pengaruh perlakuan pengendalian gulma terhadap bobot kering gulma Cleome rutidosperma

Perlakuan Dosis Minggu Setelah Aplikasi (MSA) (gram/ 0,25 m²) Rerata
2 4 8 12
Diuron 80% 2 kg/ ha1,01b 1,03c 1,13bc 1,12b 1,0725
Ametrin 80% 2 kg/ ha1,01b 1,11bc 1,05c 1,16b 1,0825
Manual – 1,00b 1,02c 1,55bc 1,29b 1,215
Kontrol – 2,04a 1,67a 2,71a 2,10a 2,13
*Keterangan : Angka pada kolom yang sama dan diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada
taraf 5 % uji Duncan

Sumber: Agustanti (2006).


Pengaruh perlakuan pengendalian gulma terhadap bobot kering gulma Cleome rutidosperma
dapat dilihat pada Tabel 4. Diuron 80% memberikan hasil penekanan bobot kering yang lebih baik dari
diuron 50%. Diuron 1 l/ ha memiliki keefektivitasan yang sama dengan diuron 80% pada taraf dosis yang
sama. Diuron 80 % dosis 2 l/ ha memberikan hasil yang lebih baik dari diuron 50% pada taraf dosis yang
sama, kecuali pada 2 MSA diuron 80% memberikan hasil yang setara dengan diuron 50 %. Diuron 50 %
dosis 3 l/ ha tidak berbeda keefektivitasannya dalam menekan bobot kering gulma Cleome rutidosperma.
Diuron 50% 2 l/ ha memberikan hasil penekanan bobot kering yang lebih baik dari ametrin 50% pada
dosis yang sama begitu juga dengan diuron 80 % dosis 2 l/ ha dengan ametrin 80% pada dosis yang sama.
Perlakuan manual memberikan bobot kering yang rendah dari kontrol. Dari tabel dapat dilihat bahwa
semua perlakuan mampu mengendalikan gulma Cleome rutidosperma dari 2 hingga 12 MSA. Penekanan
bobot kering gulma Cleome rutidosperma yang lebih baik ditunjukkan oleh dosis 3 l/ ha pada 2 dan 8
MSA, sedangkan pada 4 dan 12 MSA penekanan terhadap bobot kering gulma cleome yang lebih baik
ditunjukkan ole h dosis 2 l/ ha. Jika dibandingkan dengan perlakuan manual, perlakuan diuron 50% pada
semua tingkat dosismenunjukkan penekanan bobot kering gulma Cleome rutidosperma yang lebih baik
hingga 8 MSA. Aplikasi diuron 80% pada semua tingkat dosis cenderung efektif mengendalikan gulma
Cleome rutidosperma dari 2 hingga 12 MSA. Penekanan terhadap bobot kering gulma Cleome
rutidosperma yang lebih baik ditunjukkan pada dosis 3 kg/ha, kecuali pada 4 MSA ditunjukkan oleh dosis
2 kg/ ha. Jika dibandingkan dengan perlakuan manual, perlakuan diuron 80% pada beberapa tingkat dosis
dapat mengendalikan gulma Cleome rutidosperma dengan lebih baik dari 2 hingga 12 MSA.
Pengendalian gulma berdaun lebar lebih sukar karena gulma berdaun lebar biasanya berkembang biak
dengan biji (Sastroutomo, 1990). Kemampuan reproduksi gulma Cleome rutidosperma cukup tinggi
sehingga kemungkinan untuk tumbuh kembali setela h dikendalikan akan lebih besar. Cleome
rutidosperma termasuk penghasil biji yang banyak, sehingga sering tumbuh rapat pada tanah yang baru
selesai diolah.

Gambar 3. Gulma Cleome rutidosperma

2.3.5. Gulma Cyperus kyllingia

Tabel 5. Pengaruh perlakuan pengendalian gulma terhadap bobot kering gulma Cyperus kyllingia

Perlakuan Dosis Minggu Setelah Aplikasi (MSA) (gram/ 0,25 m²) Rerata
2 4 8 12
Diuron 80% 2 kg/ ha1,00b 1,16b 1,37b 1,00b 1,1325
Ametrin 80% 2 kg/ ha1,00b 1,00b 1,27b 1,00b 1,0675
Manual – 1,00b 1,11b 1,00b 1,00b 1,0275
Kontrol – 1,90a 1,91a 2,70a 1,60a 2,0275
*Keterangan : Angka pada kolom yang sama dan diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada
taraf 5 % uji Duncan

Sumber: Agustanti (2006).

Pengaruh perlakuan pengendalian gulma terhadap bobot kering gulma Cyperus kyllingia dapat dilihat
pada Tabel 5. Diuron 50 % 1 l/ha memberikan penekanan yang lebih baik dari diuron 80 % kecuali pada
12 MSA diuron 50 % memberikan hasil bobot kering yang setara dengan diuron 80 % pada taraf dosis
yang sama. Diuron 80 % 2 l/ha dan 3 l/ha memberikan penekanan bobot kering yang lebih baik dari
diuron 50 % pada taraf dosis yang sama. Ametrin 50 % dosis 2 l/ha memberikan hasil yang lebih baik
dari diuron 50 % dengan dosis yang sama. Ametrin 80 % 2 l/ha memberikan hasil yang lebih baik dari
diuron 80 % pada dosis yang sama, kecuali pada 2 dan 12 MSA kedua herbisida tersebut memberikan
bobot kering yang setara. Dari Tabel 5 dapat dilihat bahwa perlakuan herbisida diuron 50 % sudah dapat
mengendalikan gulma Cyperus kyllingia dari 2 hingga 12 MSA. Penekanan terhadap bobot kering
terendah ditunjukkan oleh perlakuan herbisida diuron 50 % dengan dosis 2 l/ha pada 2 dan 8 MSA,
kecuali pada 4 MSA dosis terendah ditunjukkan oleh dosis 3 l/ha. Perlakuan manual memberikan
penekanan bobot kering terendah pada 2, 8 dan 12 MSA sebesar 1.00 gr/ 0.25 m2. Aplikasi herbisida
ametrin 50 % memberikan nilai bobot kering yang lebih rendah dari herbisida diuron 50 %. Aplikasi
diuron 80 % pada dosis 1 l/ha dan 2 l/ha sudah cukup mampu menekan pertumbuhan gulma Cyperus
kyllingia pada 2 dan 12 MSA. Namun secara umum penggunaan herbisida diuron 80 % sudah cukup
efektif dalam mengendalikan gulma Cyperus kyllingia. Perlakuan herbisida dan manual efektif menekan
bobot kering gulma Cyperus kyllingia dan memberikan pengaruh yang nyata jika dibandingkan dengan
kontrol. Pengendalian gulma dengan cara manual mampu menekan bobot kering gulma Cyperus
kyllingia. Cyperus kyllingia adalah tumbuhan teki tahunan, berbunga sepanjang tahun, tumbuh pada tanah
lembab dan berair terutama pada tanah alluvial yang terbuka atau sedikit ternaungi ; penyebarannya
meliputi 0-300 m, jarang sampai 1200 m di atas permukaan laut (Nasution, 1986).

cyperus cylinggia

Gambar 4. Gulma Cyperus kyllingia


BAB III PENUTUP

Perlakuan dua formulasi herbisida diuron pada semua tingkat dosis efektif dalam mengendalikan
gulma hingga 12 MSA. Aplikasi herbisida diuron 50 % dan 80 % memberikan hasil yang berbeda nyata
dengan perlakuan kontrol dalam menekan bobot kering gulma total, gulma rumput, gulma daun lebar dan
gulma dominan. Daya berantas diuron terlihat lebih baik pada gulma golongan daun lebar dibandingkan
dengan gulma golongan rumput. Menurut Thomson (1967) diuron merupakan herbisida berspektrum luas,
namun diuron lebih baik mengendalikan gulma dari golongan daun lebar.

Namun konsentrasi bahan aktif yang lebih tinggi pada diuron 80 % meningkatkan kecepatan
absorbsi herbisida ini oleh gulma. Diuron 80 % lebih efektif menekan pertumbuhan gulma, hal ini
disebabkan oleh kandungan bahan aktif dalam herbisida diuron 80 % lebih tinggi dibandingkan dengan
herbisida diuron 50 %. Efektivitas diuron sebagai herbisida pra tumbuh sangat tergantung pada
ketersediaan air dalam tanah. Anonim (1979) menyatakan bahwa untuk mendapatkan efektivitas
maksimum dari herbisida pra tumbuh maka selama satu minggu setelah aplikasi kadar air tanah harus
berada pada kisaran 30 %.Efektivitas herbisida akan lebih baik pada tanah yang telah diolah, karena biji
gulma akan terangkat ke permukaan tanah dan dapat dikendalikan dengan lebih baik. Dari semua dosis
yang digunakan, kedua formulasi herbisida diuron dan ametrin yang diaplikasikan tidak menunjukkan
adanya gejala keracunan pada tanaman tebu dari awal hingga akhir pengamatan. Herbisida diuron secara
umum tidak beracun saat diaplikasikan pada tanaman tebu pada dosis yang direkomendasikan, meskipun
herbisida ini mengenai permukaan daun tanaman tebu, tetapi tidak akan menimbulkan gejala keracunan.
Keracunan pada tanaman tebu akibat aplikasi ametrin lebih be sar apabila daun tebu sudah terbentuk.
Hal ini disebabkan ametrin lebih banyak diserap melalui daun tebu daripada lewat akar. Respon gulma
terhadap efektivitas herbisida berbeda- beda dan kepekaan suatu jenis tumbuhan terhadap herbisida dapat
dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah bentuk permukaan daun tumbuhan, waktu aplikasi,
umur gulma dan jenis herbisida.
REFERENSI

Agustanti, V.M. F. (2006). Studi Keefektifan Diuron dan Ametrin Untuk Mengendalikan Pertanaman
Tebu (Saccharum officinarum L.) Lahan Kering. Jurnal Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Ashton, F. M. dan F. J. Monaco. (1991). Weed Science: Principle and Practice John. Willey and Sons.
Inc, New York.

Kuntohartono, T. (1987). Pergeseran spesies gulma kebun tebu dan penanggulangannya. Makalah Temu
Lapang Gulma P.G. Cinta Manis: 9-16.

Peng, S. (1984). The Biology and Control of Weeds in Sugarcane. Elsevier, New York.

Anda mungkin juga menyukai