I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Geomorfologi dapat didefinisikan sebagai Ilmu tentang yang membicarakan
tentang bentuklahan yang mengukir permukaan bumi, Menekankan cara
pembentukannya serta konteks kelingkungannya (Dibyosaputro, 1998). Kondisi
geomorfologi yang dimiliki suatu daerah merupakan sumberdaya alam. Salah satu
bagian dari sumberdaya alam adalah sumberdaya lahan. Bentuk lahan asal
denudasional dapat didefinisikan sebagai suatu bentuk lahan yang terjadi akibat
proses-proses pelapukan, erosi, gerak masa batuan (mass wating) dan proses
pengendapan yang terjadi karena agradasi atau. Proses degradasi cenderung
menyebabkan penurunan permukaan bumi, sedangkan agradasi menyebabkan
kenaikan permukaan bumi.
II. INTERPRETASI
2.1. Lahan Denudasional
1. Pegunungan Denudasional
Karakteristik umum unit mempunyai topografi bergunung dengan
lereng sangat curam (55>140%), perbedaan tinggi antara tempat
terendah dan tertinggi (relief) > 500 m.Mempunyai lembah yang
dalam, berdinding terjal berbentuk V karena proses yng dominan
adalah proses pendalaman lembah (valley deepening).
2. Perbukitan Denudasional
Mempunyai topografi berbukit dan bergelombang dengan lereng
berkisar antara 15 > 55%, perbedaan tinggi (relief lokal) antara 50 -
> 500 m. Terkikis sedang hingga kecil tergantung pada kondisi
litologi, iklim, vegetasi penutup daik alami maupun tata guna lahan.
Salah satu contoh adalah pulau Berhala, hamper 72,54 persen pulau
tersebut merupakan perbukitan dengan luas 38,19 ha. Perbukitan
yang berada di pulau tersebut adalah perbukitan denudasional
terkikis sedang yang disebabkan oleh gelombang air laut serta erosi
sehingga terbentuk lereng-lereng yang sangat curam.
3. Dataran Nyaris (Peneplain)
Akibat proses denudasional yang bekerja pada pegunungan secara
terus menerus, maka permukaan lahan pada daerah tersebut
menurun ketinggiannya dan membentuk permukaan yang hamper
datar yang disebut dataran nyaris (peneplain). Dataran nyaris
dikontrol oleh batuan penyusunan yang mempunyai struktur
berlapis (layer). Apabila batuan penyusun tersebut masih dan
mempunyai permukaan yang datar akibat erosi, maka disebut
permukaan planasi.
4. Perbukitan Sisa Terpisah (inselberg)
Apabila bagian depan (dinding) pegunungan/perbukitan mundur
akibat proses denudasi dan lereng kaki bertambah lebar secara terus
menerus akan meninggalkan bentuk sisa dengan lereng dinding
yang curam. Bukit sisah terpisah atau inselberg tersebut berbatu
tanpa penutup lahan (barerock) dan banyak singkapan batuan
(outcrop). Kenampakan ini dapat terjadi pada
pegunungan/perbukitan terpisah maupun pada sekelompok
pegunungan/perbukitan, dan mempunyai bentuk membulat.
Apabila bentuknya relatif memanjang dengan dinding curam
tersebut monadnock.
5. Kerucut Talus (Talus cones) atau kipas koluvial (coluvial van)
Mempunyai topografi berbentuk kerucut/kipas dengan lereng
curam (350). Secara individu fragmen batuan bervariasi dari
ukuran pasir hingga blok, tergantung pada besarnya cliff dan batuan
yang hancur. Fragmen berukuran kecil terendapkan pada bagian
atas kerucut (apex) sedangkan fragmen yang kasar meluncur ke
bawah dan terendapkan di bagian bawah kerucut talus.
6. Lereng Kaki (Foot slope)
Mempunyai daerah memanjang dan relatif sermpit terletak di suatu
pegunungan/perbukitan dengan topografi landai hingga sedikit
terkikis. Lereng kaki terjadi pada kaki pegunungan dan lembah atau
dasar cekungan (basin). Permukaan lereng kaki langsung berada
pada batuan induk (bed rok). Dipermukaan lereng kaki terdapat
fragmen batuan hasil pelapukan daerah di atasnya yang diangkut
oleh tenaga air ke daerah yang lebih rendah.
7. Lahan Rusak (Bad land)
Merupakan daerah yang mempunyai topografi dengan lereng
curam hingga sangat curam dan terkikis sangat kuat sehingga
mempunyai bentuk lembah-lembah yang dalam dan berdinding
curam serta berigir tajam (knife-like) dan membulat. Proses erosi
parit (gully erosion) sangat aktif sehingga banyak singkapan batuan
muncul ke permukaan (rock outcrops).
2.2. Morfometri
Klasifikasi warna morfometri sesuai kemiringan lerengnya menurut
Van Zuidam:
a. Kemiringan (0° - 2°) Hijau Tua
Menandakan wilayah dataran, pada kontur peta memiliki keinggian
yang sama.
b. Kemiringan (2° - 4°) Hijau Muda
Menandakan Perbukitan landai. Perbukitan landai, berdekatan
dengan dataran.
c. Kemiringan (4° - 8°) Kuning
Menandakan Perbukitang bergelombang, halini diterjadi pada
lipatan, yang disebabkan jarak antar kontur utama yang jauh dan
kontur bantu yang berbentuk landai.
d. Kemiringan (8° - 16°) Jingga
Menandakan wilayah Perbukitan gelombang curam. Lahan memiliki
kemiringan lereng yangcuram, rawan terhadap bahaya longsor dan
erosi.
e. Kemiringan (16° - 35°) Merah Muda
Menandakan wilayah Perbukitan curam. Lahan memiliki
kemiringan lereng yangcuram sampai terjal, sering terjadi erosidan
gerakan tanah dengan kecepatanyang perlahan - lahan. Daerah
rawanerosi dan longsor.
f. Kemiringan (35° - 55°) Merah
Menandakan wilayah Perbukitan sangat curam. Lahan memiliki
kemiringan lereng yang terjal, sering ditemukan singkapan batuan,
rawan terhadap erosi.
g. Kemiringan (> 55°) Ungu
Menandakan wilayah Perbukitan tegak/terjal. Lahan memiliki kemiringan
lereng yang terjal, singkapan batuan muncul dipermukaan, rawan tergadap
longsor batuan.
III. KESIMPULAN
Strahler. 1951. Physical Geography. Canada: John Wiley & Sons lnc.