Anda di halaman 1dari 16

POSITIVISASI HUKUM ISLAM DALAM PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA

Tugas Terstruktur Mata Kuliah Sejarah Hukum Islam

Dosen Pengampu : Dr. H. Syufaat, M.Ag

Oleh

AKHSANUL FIQRI (214110303120)

1 HTN B

FAKULTAS SYARIAH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI PROF K.H.SAIFUDDIN ZUHRI


PURWOKERTO

2021
1

POSITIVISASI HUKUM ISLAM DALAM PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA

PENDAHULUAN

Negara Indonesia adalah Negara kesatuan yang berbentuk Republik dengan kedaulatan

berada di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat

(MPR). Pancasila adalah dasar ideal Negara dan Undang-Undang Dasar 1945 adalah dasar

struktural Negara yang menggambarkan Negara Indonesia adalah Negara yang menghargai dan

menghormati kehidupan beragama.

Sampai saat ini, di negara Republik Indonesia berlaku berbagai sistem hukum, yaitu

sistem hukum adat, hukum Islam, dan hukum Barat (baik civillaw maupun common law atau

hukum anglo sakson). Dari ketiga tersebut, Islam mempunyai hubungan yang sangat erat dengan

agama, dan hukum Islam merupakan bagian dari rangkaian struktur agama Islam.1

Hukum Islam adalah hukum yang bersumber dari dan menjadi bagian agama Islam.

Sebagai sistem hukum ia mempunyai beberapa istilah kunci yang perlu dijelaskan lebih dahulu,

sebab, kadangkala membingungkan, kalau tidak diketahui persis maknanya.

Yang dimaksud adalah istilah-istilah

(1) hukum,  (2) hukm dan ahkam, (3) syariah  atau syariat,  (4) fiqih atau fiqh dan beberapa kata

lain yang berkaitan dengan istilah-istilah tersebut.

Indonesia adalah salah satu Negara yang secara konstitusional tidak menyatakan diri

sebagai Negara Islam, tetapi mayoritas penduduknya menganut agama Islam. Sebagian hukum

Islam telah berlaku di Nusantara sejak zaman kerajaan-kerajaan Islam. Adanya Peradilan Agama

1 Muhammad Daud Ali, “Kedudukan dan pelaksanaan hukum Islam dalam negara Republik

Indonesia” dalam Jurnal dua bulanan, Mimbar Hukum No. 29 November-Desember 1996,

hlm.7-8.
2

dalam Papakeum (kitab) Cirebon merupakan salah satu bukti. Demikian pula, Kerajaan Sultan di

Aceh, Kerajaan Pasai, Pagar Ruyung, dengan Dang Tuanku Bundo Kanduang, Padri dengan

Imam Bonjol. (Minangkabau), Demak, Pajang, Mataram, bahkan juga Malaka dan Brunei

Semenanjung Melayu.

Makalah ini akan membahas tentang :

1. Pengertian Positivisasi Hukum Islam

2. Sejarah Pemberlakuan Hukum Islam di Indonesia

3. Kebijakan Hindia Belanda terhadap Hukum Islam

4. Perkembangan Positivisasi Hukum Islam di Indonesia


3

Positivisasi Hukum Islam di Indonesia

A. Pengertian Positivisasi Hukum Islam

Positivisasi adalah proses menjadikan sesuatu sebagai sumber hukum atau dapat juga

diartikan sebagai upaya memasukkan unsur-unsur hukum ke dalam Undang-undang Negara. Itu

artinya, bahwa positivisasi hukum Islam merupakan upaya pemberlakuan menjadikan hukum

Islam sebagai salah satu hukum positif atau hukum yang yang berlalu pada saat ini.

B. Sejarah Pemberlakuan Hukum Islam di Indonesia

Secara sosiologis, hukum islam dapat dikatakan telah berlaku di Indonesia sebab

sebagian hukum Islam telah hidup dan berkembang di masyarakat sejak jaman kerajaan-kerajaan

Islam, masa penjajahan kolonial Belanda hingga zaman kemerdekaan. Secara yuridis, sebagian

hukum Islam telah dilaksanakan. Namun, penerapan prinsipnya berangsur-angsur dalam

pengundangan hukum Islam di Indonesia.

Hukum Islam baru dikenal Indonesia setelah agama Islam disebarkan di tanah air kita.

Bila Islam datang ke tanah air kita belum ada kata sepakat di antara para ahli sejarah Indonesia.

Ada yang mengatakannya pada abad ke-1 Hijriah atau abad ke-7 Masehi, ada pula yang

mengatakannya pada abad ke-7 Hijriah atau abad ke-13 Masehi. Walaupun para ahli itu berbeda

pendapat mengenai Islam datang ke Indonesia, namun dapat diakatakan bahwa setelah Islam

datang ke Indonesia hukum Islam telah diikuti dan dilaksanakan oleh para pemeluk agama Islam

di Indonesia. 2

Datangnya penjajah Belanda pada akhir abad ke-16, hambatan terhadap perjalanan

hukum Islam di Indonesia mulai muncul. Upaya penghambatan itu dilaksanakan secara perlahan

dan sistematis. Hal ini bisa dipahami, karena di samping tujuan kolonialisasi, mereka juga datang

2 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di
Indonesia, Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2005. Hlm 209.
4

untuk kepentingan misionaris. Di awal masa penjajahan, pendapat umum mengatakan bahwa

hukum Islam adalah hukum asli orang pribumi. Meskipun dalam praktiknya, analisis Sudirman

(editor) hukum Islam dijadikan sebagai sekunder yang diwujudkan dalam pengadilan agama.

Usaha untuk mengembalikan dan menempatkan hukum Islam dalam kedudukannya

semula, terus dilakukan oleh para pemimpin Islam dalam berbagai kesempatan yang terbuka.

Ketika BPUPKI terbentuk dan bersidang pada zaman pemerintahan Jepang untuk merumuskan

dasar negara dan menentukan hukum dasar bagi negara Indonesia merdeka di kemudian

hari, founding fathers yang berkomitmen terhadap hukum Islam terus berusaha membuat hukum

tersebut bisa eksis dan teraplikasikan dalam Negara Kesatuan RI. Lalu, lahirlah Jakarta

Charter  yang lebih dikenal dengan Piagam Jakarta pada tanggal 22 Juni 1945. Dalam piagam

tersebut dinyatakan bahwa negara berdasarkan kepada Ketuhanan, dengan kewajiban

menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Tujuh kata terakhir ini, yang

mengimplikasikan keterikatan seorang muslim dengan hukum Islam, akhirnya dihapuskan

setelah terjadi perdebatan seru dalam tubuh PPKI. Melalui kompromi, dalam pembukaan UUD

1945 diputuskan rumusannya menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa.

Kekecewaan umat Islam atas hilangnya jaminan eksplisit terhadap pemberlakuan hukum

Islam sedikit terobati dengan munculnya Dekrit Presiden tahun 1959, yang menyatakan bahwa

Piagam Jakarta menjiwai UUD 1945 dan merupakan rangkaian kesatuan dengan konstitusi

tersebut, “Kami berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945 menjiwai UUD 1945

dan merupakan suatu rangkaian kesatuan dalam konstitusi tersebut”.

Tahun 1964 ada Undang-Undang No. 19/1964 yang menentukan adanya empat

lingkungan peradilan: yaitu peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan

tata usaha negara. Pada tahun 1965, ada pula Undang-Undang No. 13/1965 tentang Mahkamah
5

Agung dan Peradilan Umum yang menentukan bahwa Mahkamah Agung terdiri dari kamar

perdata, kamar pidana, dan kamar Islam.

Faktor lain adalah faktor sejarah politik hukum pada zaman penjajahan Belanda. Rezim

colonial di Indonesia selama masa tiga setengah abad telah berhasil merekayasa secara ilmiah

hukum Indonesia sedemikian rupa sehingga terjadi pembenturan antara tiga sistem hukum, yaitu

hukum Islam, hukum adat, dan hukum Barat (Belanda, sistem continental).

Sebelum Belanda memulai penjajahannya di Indonesia, di Indonesia telah berlaku hukum

Islam berabad-abad yang dikembangkan oleh kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia. Bahkan,

seorang pakar hukum Belanda, L.W.C. Van den Berg menyebutkan bahwa hukum Islamlah yang

menjadi hukum yang berlaku di Indonesia, yaitu dengan teorinya receptio in complex. Apabila

seseorang telah menerima Islam sebagai agamanya, dia akan menerima Islam itu secara

keseluruhan (termasuk hukum Islam).

Selanjutnya, keberadaan hukum Islam yang tipikal Indonesia dan situasi politik yang

akomodatif akhir-akhir ini, telah mendorong ramainya tuntutan pada pemerintah untuk

mengakomodasi beberapa prinsip hukum Islam, bahkan formulasi materi hukum Islam menjadi

hukum positif, sebagaimana yang terjadi di Aceh dan beberapa provinsi lainnya.

Tuntutan tersebut bisa dilihat dari aspirasi masyarakat, baik secara pribadi ataupun

kelompok partai. PBB (Partai Bulan Bintang) yang memiliki misi memperjuangkan syariat Islam

di Indonesia.

C. Kebijakan Hindia Belanda

Pada pra-pemerintahan Hindia Belanda dikenal dengan tiga periode Peradilan Agama: 

1. Periode tahkim, dalam masalah pribadi yang mengakibatkan pembenturan antara hak dan

kepentingan dalam tingkah lakunya. Bertahkim kepada seseorang pemuka agama yang ada
6

di tengah-tengah kelompok masyarakatnya. Misalnya, seorang wanita yang tidak

mempunyai wali bertahkim kepada seorang penghulu sebagai wali yang berhak

menikahkannya dengan pria idamannya.

2. Periode ahlul halli wal aqdi.  Pada periode ini, seorang ulama dibaiat, diangkat

sebagai qadhi untuk menyelesaikan setiap perkara yang terjadi di antara mereka. Di

Minangkabau dikenala adat nan di’adatkan, yang usang ditinggalkan berangsur-angsur

dan akidah Islam dimasukkan, kemudian hukum syara menanjak, adat menurun. Akhirnya,

adat bersendi syara, syara bersendi kitabullah.3

3. Periode tauliyah.  Secara filosofis dapat dilihat bahwa pada perode ini mulai tampak

pengaruh ajaran Trias Politika dari Montesquieu Prancis dan teori-teori sebelumnya.

Pada akhir abad ke-16 atau tepatnya tahun 1596, organisasi perusahaan Belanda

bernama Vereenidge Oost-Indishche Compagnie atau yang lebih dikenal dengan sebutan VOC

merapatkan kapalnya di pelabuhan Banten, Jawa Barat.

Maksudnya semula untuk berdagang, namun kemudian berubah untuk menguasai

kepulauan Indonesia. Untuk mencapai maksud tersebut, pemerintah Belanda memberi kekuasaan

kepada VOC untuk mendirikan benteng-benteng dan mengadakan perjanjian dengan raja-raja

Indonesia. Karena hak yang diperolehnya itu, VOC mempunyai dua fungsi yaitu pertama sebagai

pedagang dan kedua sebagai badan pemerintahan. Sebagai usaha memantapkan pelaksanaan

kedua fungsi itu, VOC mempergunakan hukum Belanda yang dibawanya. Untuk itu di daerah-

daerah yang dikuasainya kemudian VOC membentuk badan-badan peradilan untuk Bangsa

3 Abdul Ghofur Anshori dan Yulkarnain Harahab, Hukum Islam Dinamika dan

Perkembangannya di Indonesia, ctk. Pertama, Kreasi Total Media, Yogyakarta, 2008, hlm. 88-

89.
7

Indonesia.4 Namun, oleh karena susunan badan peradilan yang disandarkan pada hukum Belanda

itu, tidak dapat berjalan dalam praktik, maka VOC membiarkan lembaga-lembaga asli yang ada

dalam masyarakat berjalan  terus seperti keadaan sebelumnya.

Menurut ahli hukum Van Den Berg, lahirlah teori receptio in complex yang menyatakan

bahwa syariat Islam secara keseluruhan berlaku bagi pemeluk-pemeluknya. Sehingga

berdasarkan pada teori ini, maka Pemerintahan Hindia-Belanda pada tahun 1882 mendirikan

peradilan agama yang ditujukan kepada warga masyarakat yang memeluk agama Islam. Daerah

jajahan Belanda yaitu Indonesia dengan ibu kotanya Batavia dalam hal kekuasaan administrasi

pemerintahan dan peradilan, termasuk peradilan agama sepenuhnya ditangan Residen. Residen

dengan aparat kepolisiannya berkuasa penuh menyelesaikan perkara pidana maupun perdata

yang terjadi.

Pada masa pemerintahan Van Den Berg inilah hukum Islam benar-benar diakui sebagai

hukum positif bagi masyarakat yang beragama Islam sebagaimana telah disebutkan dalam pasal

75 ayat (3) Regeerings Reglement  yang menyebutkan bahwa apabila terjadi sengketa perdata

antara orang-orang Indonesia yang baeragama Islam, oleh hakim Indonesia haruslah

diperlakukan hukum Islam gonsdienting wetten dan kebiasaan mereka. Selanjutnya pemerintah

Hindia-Belanda pada tahun 1882 mendirikan peradilan agama yang kemudian diiringi dengan

terbentuknya Pengadilan Tinggi Agama (Mahkamah Syar’iyyah). Munculmya teori Receptio in

Complexu ini menjadikan hukum islam diakui dan berlaku sebagai hukum positif pada masa

4 Abdul Ghofur Anshori dan Yulkarnain Harahab, Hukum Islam Dinamika dan

Perkembangannya di Indonesia, ctk. Pertama, Kreasi Total Media, Yogyakarta, 2008, hlm. 88-

89.
8

pemerintahan ini walaupun pada dasarnya hukum Islam telah berlaku jauh sebelum Hindia-

Belanda datang.

1. Mengenai urusan ubudiyah  (ibadah) yakni hubungan manusia dengan Tuhan, pemerintah

HIndia Belanda harus memberikan kemerdekaan seluas-luasnya kepada orang Islam

Indonesia untuk melakukannya. Menurut Snouck Hurgronje, potensial orang Islam memang

berbahaya bagi pemerintah jajahan. Potensi bahaya itu baru benar-benar menjadi bahaya

kalau kemerdekaan agama mereka terganggu. Kalau kemerdekaan agama itu tidak diganggu,

tidak akan terjadi apa-apa. Menurut Snouck, kalau orang Islam dilarang melakukan ibadah

agamanya, mereka akan menjadi sangat fanatik. Karena itu katanya, biarkan kaum Muslimin

beribadah semerdeka-merdekanya.

2. Dalam urusan muamalah (kemasyarakatan), yakni mengenai hubungan antara manusia

dengan manusia lain adalah dalam masyarakat, pemerintah (Hindia) Belanda harus

menghormati lembaga-lembaga (hukum) yang telah ada, smabil membuka kesempatan

kepada orang-orang Islam untuk berjalan berangsur-angsur ke arah Belanda.

3. Urusan yang berhubungan dengan social politik harus ditolak. Pemerintah (Hindia Belanda)

harus memberantas cita-cita yang bersifat Pan-Islamisme yang hendak membukakan pintu

bagi kekuatan-kekuatan asing untuk mempengaruhi hubungan Pemerintah Belanda dengan

rakyatnya orang Timur. Oleh karena itu, kata Snouck, jagalah agar jangan ada pengaruh luar

yang masuk. Untuk mencegah itu pemerintah harus mempergunakan seluruh aparat dan alat

kekuasaannya (M. Natsir, 1955: 186).

Demikianlah pokok-pokok pikiran Snouck Hurgronje mengenai Islam, hukum Islam dan

umat Islam di Indonesia. Pokok-pokok pikiran tersebut terkenal dengan Politik Islam atau Islam

Policy Pemerintah (Hindia) Belanda dalam mengendalikan dan menghadapi umat Islam.


9

D. Perkembangan Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Setelah Kemerdekaan

1. Orde Lama

Perjuangan mengangkat hukum Islam juga dilakukan oleh para tokoh-tokoh Islam pada saat

menjelang kemerdekaan. Hasilnya adalah disetujuinya rumusan kompromi yang dituangkan

dalam Piagam Jakarta (Jakarta Charter) dengan tambahan rumusan sila pertama berbunyi

ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Namun

dalam persidangan-persidangan PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) selanjutnya

perjuangan tersebut mengalami kemunduran. Keinginan-keinginan golongan Islam yang telah

diajukan sebelumnya semuanya ditolak, bahkan setelah proklamasi kemerdekaan, tujuh kata

dalam Piagam Jakarta yang menjadi simbol kemenangan Islam dihapuskan, kata Allah dalam

Mukaddimah diganti dengan Tuhan dan kata Mukaddimah diubah menjadi pembukaan.

Salah satu makna kemerdekaan bagi Bangsa Indonesia  adalah terbebas dari pengaruh hukum

Belanda. Menurut Hazairin, setelah Indonesia merdeka, walaupun aturan peralihan menyatakan

bahwayakni dengan lahirnya ideologi “Nasakom” yang menyatukan paham “nasionalis, agama,

dan komunis”. Tindakan tersebut sangat tidak masuk akal karena Islam sebagai agama tauhid

tidak  mungkin bisa disatukan dengan komunis. Karena itu tindakan tersebut mendapat reaksi

yang keras dari pemimpin-pemimpin Islam waktu itu sehingga tidak bisa dikembangkan dan

dalam waktu dekat ideologi ini terkubur dengan sendirinya.

Dunia Peradilan Agama juga berada dalam keadaan suram disebabkan oleh tetap

diberlakukannya lembaga ekskutorial verklaring  artinya setiap putusan Pengadilan Agama baru

mempunyai kekuatan hukum berlaku setelah mendapat pengukuhan (fat eksekusi) dari

pengadilan negeri. Hal itu menjadikan Pengadilan Agama selalu berada dalam posisi di bawah

Pengadilan Negeri karena dapat berlaku atau tidaknya putusan-putusan pengadilan agama
10

tergantung kepada pengadilan negeri. Di samping itu, Pengadilan Agama dicabut

kewenangannya sejak tahun 1937 dan diteruskan pada masa orde lama khususnya masalah

kewarisan. Mahkamah Agung menegaskan bahwa sepanjang mengenai warisan diseluruh

Indonesia, hukum yang adat harus didahulukan yakni di daerah-daerah yang amat  kuat pengaruh

Islamnya, karena sedikit banyak sudah mencakup unsur-unsur hukum Islam. Oleh karena itu

wewenang menjatuhkan keputusan (sepanjang) mengenai warisan berada pada pengadilan negeri

biasa. Pembatasan lain yang menjadi masalah dalam penerapannya yaitu  pengadilan agama

hanya diberi wewenang untuk memutus perkara apabila kedua belah pihak, baik penggugat

maupun tergugat beragama Islam. Masalah yang timbul yakni siapa saja yang dimaksudkan

sebagai orang Islam yang dalam hal ini Notosusanto memberikan kriteria  bahwa yang termasuk

orang Islam adalah sebagai berikut:

a. Seorang yang termasuk bagian dari kaum muslimin menurut pandangan sesama warga

negara. Ia tidak menolak disebut orang Islam termasuk melangsungkan perkawinan

secara Islam dan menginginkan dikubur secara Islam jika meninggal dunia.

b. Orang yang dengan sukarela telah mengucapkan dua kalimat syahadat.

c. Orang yang tidak sekadar mengucapkan dua kalimat syahadat, tetapi juga memiliki

pengetahuan ajaran-ajaran pokok Islam.

d. Orang yang tidak sekadar memiliki pengetahuan ajaran-ajaran pokok Islam, tetapi juga

menjalankan kewajiban keagamaan khususnya shalat dan puasa.

2. Orde Baru

Runtuhnya kekuasaan Orde Lama memberikan harapan baru bagi umat Islam untuk

memantapkan keberadaan hukum Islam dalam tata hukum di Indonesia. Namun harapan pada

awal orde baru ini juga disertai dengan kekecewaan baru karena ternyata setelah pemerintah
11

Orde Baru memantapkan kekuasaannya, mereka segera melakukan kontrol yang lebih ketat

terhadap kekuatan politik Islam, terutama para kelompok radikal yang dikhawatirkan dapat

menandingi kekuatan pihak pemerintah. Pengawasan terhadap politik Islam tersebut terus

diperketat bahkan disertai dengan isu-isu sensitif  trauma masa lalu tentang pembangkangan

pemimpin-pemimpin Islam. 

Memperhatikan sikap pemerintah yang semakin ketat dalam pengawasan partai-partai politik

seperti itu, para pemimpin Islam sadar bahwa perjuangan untuk menegakkan hukum Islam

melalui jalur politik tidak selamanya berhasil, bahkan resikonya lebih tinggi. Karena itu para

pemimpin Islam mulai “berubah haluan” perjuangan yang semula untuk mewujudkan suatu

negara Islam berubah  menjadi perjuangan untuk mewujudkan masyarakat Islam. Perjuangan

untuk mewujudkan hukum Islam di Indonesia yang semula dipandang sebagai suatu perjuangan

untuk memproklamasikan suatu negara Islam secara formal berubah menjadi perjuangan kultural

dari bawah yakni dengan berusaha keras melakukan penerapan praktis dari hukum Islam dengan

tetap bertitik tolak pada “Piagam Jakarta”. Di dalam perkembangannya, perjungan untuk

mengangkat unsur-unsur hukum Islam dalam hukum nasional tetap dilakukan oleh kelompok

masyarakat muslimin. Adapun bidang-bidang hukum Islam yang diperjuangkan waktu itu yakni

hukum perkawinan, hukum kewarisan, hibah, wakaf, dan hukum zakat. Diantara bidang-bidang

hukum yang diperjuangkan itu hanya bidang hukum perkawinan yang dapat dikatakan berhasil

dalam bentuk Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Kelahiran Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menurut pendapat

Hazairin dan Mahadi merupakan ajal bagi kematian teori  receptie. Karena Pasal 2 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dengan tegas menyatakan bahwa “perkawinan adalah sah

apabila dilakukan menurut ketentuan hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.
12

Dalam hal ini menurut Daud Ali, bahwa sejak lahirnya undang-undang perkawinan nasional itu,

maka:

1) Hukum Islam menjadi sumber hukum yang langsung tanpa harus melalui hukum adat dalam

menilai apakah perkawinan sah atau tidak,

2) Hukum Islam sama kedudukannya dengan hukum adat dan hukum Barat,

3) Negara Republik Indonesia dapat mengatur suatu masalah sesuai dengan hukum Islam

sepanjang pengaturan itu  untuk memenuhi kebutuhan hukum umat Islam.

Selanjutnya berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991

diberlakukan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Kompilasi Hukum Islam diberlakukan di

lingkungan peradilan agama di Indonesia yang berfungsi sebagai petunjuk dalam  memeriksa,

mengadili dan memutuskan perkara-perkara yang berhubungan dengan keperdataan orang-orang

Islam. Kompilasi Hukum Islam tidak dihasilkan melalui proses legislasi dewan perwakilan

rakyat sebagaimana peraturan dan perundang-undangan lainnya yang dijadikan sebagai hukum

positif, tetapi merupakan hasil diskusi para ulama yang digagas oleh mahkamah agung dan

departemen agama yang melibatkan berbagai perguruan tinggi Islam di  Indonesia beserta

komponen masyarakat lainnya.

Kebijakan pemerintah pada masa orde baru terhadap hukum Islam juga tidak jauh

berbeda dengan sebelumnya. Pada  masa orde baru, pemerintah membatasi dan memperketat

pengawasan terhadap aktifitas gerakan politik Islam karena dikhawatirkan akan menandingi

kekuatan pemerintah. Karena itu terjadi perubahan perjuangan oleh para tokoh-tokoh Islam yang

semula ingin mewujudkan negara Islam berubah menjadi perjuangan untuk mewujudkan

masyarakat Islam. 
13

Perubahan arah perjuangan tersebut diantaranya yaitu bagaimana berjuang mengangkat

unsur-unsur hukum Islam dalam hukum nasional sehingga hukum Islam dapat diterapkan secara

praktis dan secara hukum adalah sah. Perjungan tersebut akhirnya berhasil yang ditandai dengan

lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menurut Hazairin dan

Mahadi dengan  lahirnya undang-undang ini merupakan ajal bagi kematian teori receptie karena

dengan  berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menjadikan

hukum Islam secara otomatis berlaku tanpa harus melalui hukum adat. Setelah berlakunya

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ini kemudian diikuti dengan

ditetapkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang

menandakan hukum Islam telah mendapat tempat tersendiri dalam Negara Republik Indonesia,

walaupun baru di bidang perkawinan, kewarisan dan perwakafan yang dikuatkan dengan

Kompilasi Hukum Islam dengan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 No. Surat Keputusan

Menteri Agama Nomor 154 Tahun 1991. 


14

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Positivisasi adalah proses menjadikan sesuatu sebagai sumber hukum atau dapat juga

diartikan sebagai upaya memasukkan unsur-unsur hukum ke dalam Undang-undang Negara. Itu

artinya, bahwa positivisasi hukum Islam merupakan upaya pemberlakuan menjadikan hukum

Islam sebagai salah satu hukum positif atau hukum yang yang berlalu pada saat ini.

Pertumbuhan dan perkembangan hukum Islam sejalan dengan pertumbuhan dan

perkembangan masyarakat Islam. Masyarakat Islam dapat diberi batasan awal dari masa tugas

kerasulan Nabi Muhammad di Madinah (periode Madinah). Pada masa itu mulai dilakukan

penataan kehidupan masyarakat sejalan dengan turunnya wahyu yang berisi pengaturan

kehidupan manusia.

Setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, dengan pengambilan kekuasaan

oleh bangsa Indonesia, terjadi perubahan dalam pemerintahan secara umum, tetapi tidak segera

terjadi perubahan dalam tata peradilan, khususnya Peradilan Agama. Hal ini tidak saja

dihadapkan pada revolusi fisik dalam menghadapi Belanda yang kembali menjajah, tetapi juga

konstitusi yang menjadi dasar kehidupan bernegara memungkinkan penundaan perubahan

tersebut, berkenaan dengan adanya ketentuan Peraturan Peralihan dalam UUD 1945. Lalu,

perkembangan selanjutnya, sejarah hukum Islam semakin nyata dan signifikan.


15

DAFTAR PUSTAKA

Daud Ali, Mohammad. 2014. Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di

Indonesia. Jakarta: PT RAJAGRAFINDO PERSADA.

Supriyadi, Dedi. 2010. SEJARAH HUKUM ISLAM (Dari Kawasan Jazirah Arab sampai

Indonesia). Bandung: CV PUSTAKA SETIA.

 Muhammad Daud Ali, “Kedudukan dan pelaksanaan hukum Islam dalam negara Republik

Indonesia” dalam Jurnal dua bulanan, Mimbar Hukum No. 29 November-Desember 1996,

hlm.7-8.

Mohammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di

Indonesia, Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2005.

 M. Idris Ramulyo, 1985: 53

Mohammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di

Indonesia, Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2005. Hlm 209.

 J.J Ras, “Tradisi Jawa Mengenai Masuknya Islam di Indonesia”, dalam Beberapa Kajian

Indonesia dan Islam,  Jakarta: INIS, Jakarta, 1990, hlm. 118.

 Cik Hasan Baisri, Peradilan islam dalam Tatanan Masyarakat Indonesia, Bandung: Remaja

Rosdakarya. 1997. Hlm.41-43.

 Abdul Ghofur Anshori dan Yulkarnain Harahab, Hukum Islam Dinamika dan

Perkembangannya di Indonesia, ctk. Pertama, Kreasi Total Media, Yogyakarta, 2008, hlm. 88-

89.

Mohammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di

Indonesia, Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2005.hlm. 17-20

Anda mungkin juga menyukai