Positivisasi Hukum Islam Dalam Perundang
Positivisasi Hukum Islam Dalam Perundang
Oleh
1 HTN B
FAKULTAS SYARIAH
2021
1
PENDAHULUAN
Negara Indonesia adalah Negara kesatuan yang berbentuk Republik dengan kedaulatan
berada di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat
(MPR). Pancasila adalah dasar ideal Negara dan Undang-Undang Dasar 1945 adalah dasar
struktural Negara yang menggambarkan Negara Indonesia adalah Negara yang menghargai dan
Sampai saat ini, di negara Republik Indonesia berlaku berbagai sistem hukum, yaitu
sistem hukum adat, hukum Islam, dan hukum Barat (baik civillaw maupun common law atau
hukum anglo sakson). Dari ketiga tersebut, Islam mempunyai hubungan yang sangat erat dengan
agama, dan hukum Islam merupakan bagian dari rangkaian struktur agama Islam.1
Hukum Islam adalah hukum yang bersumber dari dan menjadi bagian agama Islam.
Sebagai sistem hukum ia mempunyai beberapa istilah kunci yang perlu dijelaskan lebih dahulu,
Indonesia adalah salah satu Negara yang secara konstitusional tidak menyatakan diri
sebagai Negara Islam, tetapi mayoritas penduduknya menganut agama Islam. Sebagian hukum
Islam telah berlaku di Nusantara sejak zaman kerajaan-kerajaan Islam. Adanya Peradilan Agama
1 Muhammad Daud Ali, “Kedudukan dan pelaksanaan hukum Islam dalam negara Republik
Indonesia” dalam Jurnal dua bulanan, Mimbar Hukum No. 29 November-Desember 1996,
hlm.7-8.
2
dalam Papakeum (kitab) Cirebon merupakan salah satu bukti. Demikian pula, Kerajaan Sultan di
Aceh, Kerajaan Pasai, Pagar Ruyung, dengan Dang Tuanku Bundo Kanduang, Padri dengan
Imam Bonjol. (Minangkabau), Demak, Pajang, Mataram, bahkan juga Malaka dan Brunei
Semenanjung Melayu.
Positivisasi adalah proses menjadikan sesuatu sebagai sumber hukum atau dapat juga
diartikan sebagai upaya memasukkan unsur-unsur hukum ke dalam Undang-undang Negara. Itu
artinya, bahwa positivisasi hukum Islam merupakan upaya pemberlakuan menjadikan hukum
Islam sebagai salah satu hukum positif atau hukum yang yang berlalu pada saat ini.
Secara sosiologis, hukum islam dapat dikatakan telah berlaku di Indonesia sebab
sebagian hukum Islam telah hidup dan berkembang di masyarakat sejak jaman kerajaan-kerajaan
Islam, masa penjajahan kolonial Belanda hingga zaman kemerdekaan. Secara yuridis, sebagian
Hukum Islam baru dikenal Indonesia setelah agama Islam disebarkan di tanah air kita.
Bila Islam datang ke tanah air kita belum ada kata sepakat di antara para ahli sejarah Indonesia.
Ada yang mengatakannya pada abad ke-1 Hijriah atau abad ke-7 Masehi, ada pula yang
mengatakannya pada abad ke-7 Hijriah atau abad ke-13 Masehi. Walaupun para ahli itu berbeda
pendapat mengenai Islam datang ke Indonesia, namun dapat diakatakan bahwa setelah Islam
datang ke Indonesia hukum Islam telah diikuti dan dilaksanakan oleh para pemeluk agama Islam
di Indonesia. 2
Datangnya penjajah Belanda pada akhir abad ke-16, hambatan terhadap perjalanan
hukum Islam di Indonesia mulai muncul. Upaya penghambatan itu dilaksanakan secara perlahan
dan sistematis. Hal ini bisa dipahami, karena di samping tujuan kolonialisasi, mereka juga datang
2 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di
Indonesia, Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2005. Hlm 209.
4
untuk kepentingan misionaris. Di awal masa penjajahan, pendapat umum mengatakan bahwa
hukum Islam adalah hukum asli orang pribumi. Meskipun dalam praktiknya, analisis Sudirman
(editor) hukum Islam dijadikan sebagai sekunder yang diwujudkan dalam pengadilan agama.
semula, terus dilakukan oleh para pemimpin Islam dalam berbagai kesempatan yang terbuka.
Ketika BPUPKI terbentuk dan bersidang pada zaman pemerintahan Jepang untuk merumuskan
dasar negara dan menentukan hukum dasar bagi negara Indonesia merdeka di kemudian
hari, founding fathers yang berkomitmen terhadap hukum Islam terus berusaha membuat hukum
tersebut bisa eksis dan teraplikasikan dalam Negara Kesatuan RI. Lalu, lahirlah Jakarta
Charter yang lebih dikenal dengan Piagam Jakarta pada tanggal 22 Juni 1945. Dalam piagam
setelah terjadi perdebatan seru dalam tubuh PPKI. Melalui kompromi, dalam pembukaan UUD
Kekecewaan umat Islam atas hilangnya jaminan eksplisit terhadap pemberlakuan hukum
Islam sedikit terobati dengan munculnya Dekrit Presiden tahun 1959, yang menyatakan bahwa
Piagam Jakarta menjiwai UUD 1945 dan merupakan rangkaian kesatuan dengan konstitusi
tersebut, “Kami berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945 menjiwai UUD 1945
Tahun 1964 ada Undang-Undang No. 19/1964 yang menentukan adanya empat
lingkungan peradilan: yaitu peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan
tata usaha negara. Pada tahun 1965, ada pula Undang-Undang No. 13/1965 tentang Mahkamah
5
Agung dan Peradilan Umum yang menentukan bahwa Mahkamah Agung terdiri dari kamar
Faktor lain adalah faktor sejarah politik hukum pada zaman penjajahan Belanda. Rezim
colonial di Indonesia selama masa tiga setengah abad telah berhasil merekayasa secara ilmiah
hukum Indonesia sedemikian rupa sehingga terjadi pembenturan antara tiga sistem hukum, yaitu
hukum Islam, hukum adat, dan hukum Barat (Belanda, sistem continental).
seorang pakar hukum Belanda, L.W.C. Van den Berg menyebutkan bahwa hukum Islamlah yang
seseorang telah menerima Islam sebagai agamanya, dia akan menerima Islam itu secara
Selanjutnya, keberadaan hukum Islam yang tipikal Indonesia dan situasi politik yang
akomodatif akhir-akhir ini, telah mendorong ramainya tuntutan pada pemerintah untuk
mengakomodasi beberapa prinsip hukum Islam, bahkan formulasi materi hukum Islam menjadi
hukum positif, sebagaimana yang terjadi di Aceh dan beberapa provinsi lainnya.
Tuntutan tersebut bisa dilihat dari aspirasi masyarakat, baik secara pribadi ataupun
kelompok partai. PBB (Partai Bulan Bintang) yang memiliki misi memperjuangkan syariat Islam
di Indonesia.
Pada pra-pemerintahan Hindia Belanda dikenal dengan tiga periode Peradilan Agama:
kepentingan dalam tingkah lakunya. Bertahkim kepada seseorang pemuka agama yang ada
6
mempunyai wali bertahkim kepada seorang penghulu sebagai wali yang berhak
2. Periode ahlul halli wal aqdi. Pada periode ini, seorang ulama dibaiat, diangkat
dan akidah Islam dimasukkan, kemudian hukum syara menanjak, adat menurun. Akhirnya,
3. Periode tauliyah. Secara filosofis dapat dilihat bahwa pada perode ini mulai tampak
Pada akhir abad ke-16 atau tepatnya tahun 1596, organisasi perusahaan Belanda
kepulauan Indonesia. Untuk mencapai maksud tersebut, pemerintah Belanda memberi kekuasaan
kepada VOC untuk mendirikan benteng-benteng dan mengadakan perjanjian dengan raja-raja
Indonesia. Karena hak yang diperolehnya itu, VOC mempunyai dua fungsi yaitu pertama sebagai
pedagang dan kedua sebagai badan pemerintahan. Sebagai usaha memantapkan pelaksanaan
kedua fungsi itu, VOC mempergunakan hukum Belanda yang dibawanya. Untuk itu di daerah-
daerah yang dikuasainya kemudian VOC membentuk badan-badan peradilan untuk Bangsa
Perkembangannya di Indonesia, ctk. Pertama, Kreasi Total Media, Yogyakarta, 2008, hlm. 88-
89.
7
Indonesia.4 Namun, oleh karena susunan badan peradilan yang disandarkan pada hukum Belanda
itu, tidak dapat berjalan dalam praktik, maka VOC membiarkan lembaga-lembaga asli yang ada
Menurut ahli hukum Van Den Berg, lahirlah teori receptio in complex yang menyatakan
berdasarkan pada teori ini, maka Pemerintahan Hindia-Belanda pada tahun 1882 mendirikan
peradilan agama yang ditujukan kepada warga masyarakat yang memeluk agama Islam. Daerah
jajahan Belanda yaitu Indonesia dengan ibu kotanya Batavia dalam hal kekuasaan administrasi
pemerintahan dan peradilan, termasuk peradilan agama sepenuhnya ditangan Residen. Residen
dengan aparat kepolisiannya berkuasa penuh menyelesaikan perkara pidana maupun perdata
yang terjadi.
Pada masa pemerintahan Van Den Berg inilah hukum Islam benar-benar diakui sebagai
hukum positif bagi masyarakat yang beragama Islam sebagaimana telah disebutkan dalam pasal
75 ayat (3) Regeerings Reglement yang menyebutkan bahwa apabila terjadi sengketa perdata
antara orang-orang Indonesia yang baeragama Islam, oleh hakim Indonesia haruslah
diperlakukan hukum Islam gonsdienting wetten dan kebiasaan mereka. Selanjutnya pemerintah
Hindia-Belanda pada tahun 1882 mendirikan peradilan agama yang kemudian diiringi dengan
Complexu ini menjadikan hukum islam diakui dan berlaku sebagai hukum positif pada masa
Perkembangannya di Indonesia, ctk. Pertama, Kreasi Total Media, Yogyakarta, 2008, hlm. 88-
89.
8
pemerintahan ini walaupun pada dasarnya hukum Islam telah berlaku jauh sebelum Hindia-
Belanda datang.
Indonesia untuk melakukannya. Menurut Snouck Hurgronje, potensial orang Islam memang
berbahaya bagi pemerintah jajahan. Potensi bahaya itu baru benar-benar menjadi bahaya
kalau kemerdekaan agama mereka terganggu. Kalau kemerdekaan agama itu tidak diganggu,
tidak akan terjadi apa-apa. Menurut Snouck, kalau orang Islam dilarang melakukan ibadah
agamanya, mereka akan menjadi sangat fanatik. Karena itu katanya, biarkan kaum Muslimin
beribadah semerdeka-merdekanya.
dengan manusia lain adalah dalam masyarakat, pemerintah (Hindia) Belanda harus
rakyatnya orang Timur. Oleh karena itu, kata Snouck, jagalah agar jangan ada pengaruh luar
yang masuk. Untuk mencegah itu pemerintah harus mempergunakan seluruh aparat dan alat
Demikianlah pokok-pokok pikiran Snouck Hurgronje mengenai Islam, hukum Islam dan
1. Orde Lama
Perjuangan mengangkat hukum Islam juga dilakukan oleh para tokoh-tokoh Islam pada saat
dalam Piagam Jakarta (Jakarta Charter) dengan tambahan rumusan sila pertama berbunyi
diajukan sebelumnya semuanya ditolak, bahkan setelah proklamasi kemerdekaan, tujuh kata
dalam Piagam Jakarta yang menjadi simbol kemenangan Islam dihapuskan, kata Allah dalam
Mukaddimah diganti dengan Tuhan dan kata Mukaddimah diubah menjadi pembukaan.
Salah satu makna kemerdekaan bagi Bangsa Indonesia adalah terbebas dari pengaruh hukum
Belanda. Menurut Hazairin, setelah Indonesia merdeka, walaupun aturan peralihan menyatakan
bahwayakni dengan lahirnya ideologi “Nasakom” yang menyatukan paham “nasionalis, agama,
dan komunis”. Tindakan tersebut sangat tidak masuk akal karena Islam sebagai agama tauhid
tidak mungkin bisa disatukan dengan komunis. Karena itu tindakan tersebut mendapat reaksi
yang keras dari pemimpin-pemimpin Islam waktu itu sehingga tidak bisa dikembangkan dan
Dunia Peradilan Agama juga berada dalam keadaan suram disebabkan oleh tetap
diberlakukannya lembaga ekskutorial verklaring artinya setiap putusan Pengadilan Agama baru
mempunyai kekuatan hukum berlaku setelah mendapat pengukuhan (fat eksekusi) dari
pengadilan negeri. Hal itu menjadikan Pengadilan Agama selalu berada dalam posisi di bawah
Pengadilan Negeri karena dapat berlaku atau tidaknya putusan-putusan pengadilan agama
10
kewenangannya sejak tahun 1937 dan diteruskan pada masa orde lama khususnya masalah
Indonesia, hukum yang adat harus didahulukan yakni di daerah-daerah yang amat kuat pengaruh
Islamnya, karena sedikit banyak sudah mencakup unsur-unsur hukum Islam. Oleh karena itu
wewenang menjatuhkan keputusan (sepanjang) mengenai warisan berada pada pengadilan negeri
biasa. Pembatasan lain yang menjadi masalah dalam penerapannya yaitu pengadilan agama
hanya diberi wewenang untuk memutus perkara apabila kedua belah pihak, baik penggugat
maupun tergugat beragama Islam. Masalah yang timbul yakni siapa saja yang dimaksudkan
sebagai orang Islam yang dalam hal ini Notosusanto memberikan kriteria bahwa yang termasuk
a. Seorang yang termasuk bagian dari kaum muslimin menurut pandangan sesama warga
secara Islam dan menginginkan dikubur secara Islam jika meninggal dunia.
c. Orang yang tidak sekadar mengucapkan dua kalimat syahadat, tetapi juga memiliki
d. Orang yang tidak sekadar memiliki pengetahuan ajaran-ajaran pokok Islam, tetapi juga
2. Orde Baru
Runtuhnya kekuasaan Orde Lama memberikan harapan baru bagi umat Islam untuk
memantapkan keberadaan hukum Islam dalam tata hukum di Indonesia. Namun harapan pada
awal orde baru ini juga disertai dengan kekecewaan baru karena ternyata setelah pemerintah
11
Orde Baru memantapkan kekuasaannya, mereka segera melakukan kontrol yang lebih ketat
terhadap kekuatan politik Islam, terutama para kelompok radikal yang dikhawatirkan dapat
menandingi kekuatan pihak pemerintah. Pengawasan terhadap politik Islam tersebut terus
diperketat bahkan disertai dengan isu-isu sensitif trauma masa lalu tentang pembangkangan
pemimpin-pemimpin Islam.
Memperhatikan sikap pemerintah yang semakin ketat dalam pengawasan partai-partai politik
seperti itu, para pemimpin Islam sadar bahwa perjuangan untuk menegakkan hukum Islam
melalui jalur politik tidak selamanya berhasil, bahkan resikonya lebih tinggi. Karena itu para
pemimpin Islam mulai “berubah haluan” perjuangan yang semula untuk mewujudkan suatu
negara Islam berubah menjadi perjuangan untuk mewujudkan masyarakat Islam. Perjuangan
untuk mewujudkan hukum Islam di Indonesia yang semula dipandang sebagai suatu perjuangan
untuk memproklamasikan suatu negara Islam secara formal berubah menjadi perjuangan kultural
dari bawah yakni dengan berusaha keras melakukan penerapan praktis dari hukum Islam dengan
tetap bertitik tolak pada “Piagam Jakarta”. Di dalam perkembangannya, perjungan untuk
mengangkat unsur-unsur hukum Islam dalam hukum nasional tetap dilakukan oleh kelompok
masyarakat muslimin. Adapun bidang-bidang hukum Islam yang diperjuangkan waktu itu yakni
hukum perkawinan, hukum kewarisan, hibah, wakaf, dan hukum zakat. Diantara bidang-bidang
hukum yang diperjuangkan itu hanya bidang hukum perkawinan yang dapat dikatakan berhasil
Hazairin dan Mahadi merupakan ajal bagi kematian teori receptie. Karena Pasal 2 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dengan tegas menyatakan bahwa “perkawinan adalah sah
apabila dilakukan menurut ketentuan hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.
12
Dalam hal ini menurut Daud Ali, bahwa sejak lahirnya undang-undang perkawinan nasional itu,
maka:
1) Hukum Islam menjadi sumber hukum yang langsung tanpa harus melalui hukum adat dalam
2) Hukum Islam sama kedudukannya dengan hukum adat dan hukum Barat,
3) Negara Republik Indonesia dapat mengatur suatu masalah sesuai dengan hukum Islam
Selanjutnya berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991
lingkungan peradilan agama di Indonesia yang berfungsi sebagai petunjuk dalam memeriksa,
Islam. Kompilasi Hukum Islam tidak dihasilkan melalui proses legislasi dewan perwakilan
rakyat sebagaimana peraturan dan perundang-undangan lainnya yang dijadikan sebagai hukum
positif, tetapi merupakan hasil diskusi para ulama yang digagas oleh mahkamah agung dan
departemen agama yang melibatkan berbagai perguruan tinggi Islam di Indonesia beserta
Kebijakan pemerintah pada masa orde baru terhadap hukum Islam juga tidak jauh
berbeda dengan sebelumnya. Pada masa orde baru, pemerintah membatasi dan memperketat
pengawasan terhadap aktifitas gerakan politik Islam karena dikhawatirkan akan menandingi
kekuatan pemerintah. Karena itu terjadi perubahan perjuangan oleh para tokoh-tokoh Islam yang
semula ingin mewujudkan negara Islam berubah menjadi perjuangan untuk mewujudkan
masyarakat Islam.
13
unsur-unsur hukum Islam dalam hukum nasional sehingga hukum Islam dapat diterapkan secara
praktis dan secara hukum adalah sah. Perjungan tersebut akhirnya berhasil yang ditandai dengan
lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menurut Hazairin dan
Mahadi dengan lahirnya undang-undang ini merupakan ajal bagi kematian teori receptie karena
hukum Islam secara otomatis berlaku tanpa harus melalui hukum adat. Setelah berlakunya
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ini kemudian diikuti dengan
menandakan hukum Islam telah mendapat tempat tersendiri dalam Negara Republik Indonesia,
walaupun baru di bidang perkawinan, kewarisan dan perwakafan yang dikuatkan dengan
Kompilasi Hukum Islam dengan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 No. Surat Keputusan
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Positivisasi adalah proses menjadikan sesuatu sebagai sumber hukum atau dapat juga
diartikan sebagai upaya memasukkan unsur-unsur hukum ke dalam Undang-undang Negara. Itu
artinya, bahwa positivisasi hukum Islam merupakan upaya pemberlakuan menjadikan hukum
Islam sebagai salah satu hukum positif atau hukum yang yang berlalu pada saat ini.
perkembangan masyarakat Islam. Masyarakat Islam dapat diberi batasan awal dari masa tugas
kerasulan Nabi Muhammad di Madinah (periode Madinah). Pada masa itu mulai dilakukan
penataan kehidupan masyarakat sejalan dengan turunnya wahyu yang berisi pengaturan
kehidupan manusia.
oleh bangsa Indonesia, terjadi perubahan dalam pemerintahan secara umum, tetapi tidak segera
terjadi perubahan dalam tata peradilan, khususnya Peradilan Agama. Hal ini tidak saja
dihadapkan pada revolusi fisik dalam menghadapi Belanda yang kembali menjajah, tetapi juga
tersebut, berkenaan dengan adanya ketentuan Peraturan Peralihan dalam UUD 1945. Lalu,
DAFTAR PUSTAKA
Daud Ali, Mohammad. 2014. Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di
Supriyadi, Dedi. 2010. SEJARAH HUKUM ISLAM (Dari Kawasan Jazirah Arab sampai
Muhammad Daud Ali, “Kedudukan dan pelaksanaan hukum Islam dalam negara Republik
Indonesia” dalam Jurnal dua bulanan, Mimbar Hukum No. 29 November-Desember 1996,
hlm.7-8.
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di
J.J Ras, “Tradisi Jawa Mengenai Masuknya Islam di Indonesia”, dalam Beberapa Kajian
Perkembangannya di Indonesia, ctk. Pertama, Kreasi Total Media, Yogyakarta, 2008, hlm. 88-
89.
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di