Anda di halaman 1dari 20

HUKUM WARIS ADAT DI INDONESIA

Tugas Kelompok Mata Kuliah Hukum Adat

Dosen Pengampu: Fatni Erlina S.H.I., M.H.


Disusun oleh:
KELOMPOK 9
Anggota kelompok :
1. Rifky Akhnan Saufi (2017303079)
2. Bella Imaniah (2017303082)
3. Trias Adi Prayoga (2017303086)
4. Pebriyana (2017303088)
5. Desti Fitriani (2017303089)

KELAS 3 HTN B
PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA
FAKULTAS SYARIAH
UIN PROF. K. H. SAIFUDDIN ZUHRI PURWOKERTO
2021

1
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perkawinan sebagai konsep tentang persatuan antara laki-laki dan
perempuan, sehingga menciptakan harta yang berhubungan dengan
perkawinan tersebut. Dalam perkawinan terdapat dua harta yaitu harta
bawaan dan harta bersama. Harta bersama merupakan harta benda yang
didapat selama perkawinan berlangsung. Ada tiga konsep yang mengulas
mengenai harta bersama dari perspektif Hukum Islam, Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata, dan Hukum Adat. Ketika terjadi perceraian
Kompilasi Hukum Islam dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
mengatur bahwa harta bersama akan dibagi dua setengah untuk suami dan
setengah untuk istri, sedangkan menurut Hukum Adat pembagian harta
bersama diatur secara berbeda dari satu wilayah dengan wilayah lainnya.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep harta perkawinan menurut adat dan UU ?
2. Apa saja jenis-jenis harta perkawinan ?
3. Apakah pengertian dan sistem pewarisan adat ?
C. Tujuan
1. Mengetahui konsep harta perkawinan menurut adat dan UU
2. Mengetahui jenis-jenis harta perkawinan
3. Mengetahui pengertian dan sistem pewarisan adat

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Konsep Harta Perkawinan


1. Menurut Adat
Hukum Perkawinan Adat adalah keseluruhan kaidah hukum yang
menentukan prosedur yang harus ditempuh oleh dua orang yang
bertalian kelamin dalam menciptakan kehidupan bersama dalam suatu
rumah tangga dengan tujuan untuk meneruskan keturunan (Djaren
Saragih, 1992:1).
Hilman Hadikusuma, menyebutkan Hukum Adat Perkawinan
adalah aturan-aturan hukum adat yang mengatur tentang bentuk-
bentuk perkawinan, cara-cara pelamaran, upacara perkawinan dan
putusnya perkawinan di Indonesia (Hilman Hadikusuma, 1992:182).
Mengenai peristiwa perceraian menurut hukum adat adalah merupakan
peristiwa yang luar biasa, merupakan problem sosial dan yuridis yang
penting dalam kebanyakan daerah di Indonesia. Menurut Djojodigoeno
sebagaimana dikutip oleh Tolib Setiady (2008:267) menyatakan,
Perceraian ini di kalangan orang-orang Jawa adalah suatu hal yang
tidak disukai karena cita-cita orang Jawa berjodohan seumur hidup
sampai Kakek-Ninen.
Hal ini pada umumnya telah menjadi pandangan seluruh bangsa
yang sedapatdapatnya perceraian itu wajib dihindari. Menurut hukum
adat yang dimaksud harta perkawinan adalah, semua harta yang
dikuasai suami istri selama mereka terikat dalam ikatan perkawinan,
baik harta kerabat yang dikuasai, maupun harta perorangan yang
berasal dari harta warisan, harta hibah, harta penghasilan sendiri, harta
pencaharian hasil bersama suami istri, dan barang-barang hadiah.
Kesemuanya itu dipengaruhi oleh prinsip kekerabatan yang dianut

3
setempat dan bentuk perkawinan yang berlaku terhadap suami istri
yang bersangkutan (Hilman Hadikusuma, 1992:156).
Sedangkan Harta Perkawinan dalam hukum adat, menurut Ter
Haar, dapat dipisah menjadi empat macam sebagai berikut: pertama,
Harta yang diperoleh suami atau istri sebagai warisan atau hibah dari
kerabat masing-masing dan dibawa ke dalam perkawinan; kedua, Harta
yang diperoleh suami atau istri untuk diri sendiri serta atas jasa diri
sendiri sebelum perkawinan atau dalam masa perkawinan; ketiga,
Harta yang dalam masa perkawinan diperoleh suami dan istri sebagai
milik bersama; keempat, Harta yang dihadiahkan kepada suami dan
istri bersama pada waktu pernikahan (Muhamad Isna Wahyudi,
2008:4).
Penyebutan harta bersama suami-istri berbeda dari satu daerah
dengan daerah lainnya. Di Minangkabau harta bersama disebut dengan
harta suarang, di Kalimantan disebut barang perpantangan, di Bugis
disebut dengan cakkara, di Bali disebut dengan druwe gabro, di Jawa
disebut dengan barang gini atau gonogini, dan di Pasundan disebut
dengan guna kaya, barang sekaya, campur kaya, atau kaya reujeung.
Di beberapa daerah terdapat pengecualian terhadap harta bersama
tersebut. Di Aceh, penghasilan suami menjadi milik pribadinya sendiri,
apabila istrinya tidak memberikan suatu dasar materiil (misal yang
berbentuk suatu kebun atau suatu pekarangan kediaman) bagi keluarga
atau tidak memberi bekal kepada suaminya yang mengadakan suatu
perjalanan. Sementara di Jawa Barat, apabila pada saat perkawinan
istri kaya sedangkan suami miskin (perkawinan nyalindung kagelung),
maka penghasilan yang diperoleh semasa perkawinannya menjadi
milik istri sendiri. Di Kudus Kulon (Jawa Tengah) dalam lingkungan
para pedagang, maka suami dan istri masing-masing tetap memiliki
barang-barang yang mereka bawa ke dalam perkawinan dan juga
barang-barang yang mereka peroleh masing-masing selama selama
perkawinan. Adanya harta bersama dalam perkawinan merupakan

4
gejala umum dan telah menjadi azas umum dalam hukum adat seiring
dengan pertumbuhan somah (suami dan istri sebagai suatu kesatuan
bersama anak-anaknya dalam masyarakat adat) yang semakin kuat di
dalam masyarakat yang menggeser kedudukan dan pengaruh keluarga
besar atau kerabat dalam masalah harta perkawinan.1
2. Menurut UU
Konsepsi Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan.
Sebagai dasar utama perkawinan di Indonesia, Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah memuat beberapa
pasal tentang harta bersama, tepatnya dalam Bab VII Pasal 35 sampai
dengan Pasal 37.
Pada Pasal 35 Undang-Undang Perkawinan menyatakan bahwa
Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama,
dan Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda
yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di
bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak
menentukan lain.
Pada Pasal 36 Undang-Undang Perkawinan menyatakan bahwa
mengenai harta bersama, suami dan istri dapat bertindak atas
persetujuan kedua belah pihak, dan harta bawaan masing-masing
suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan
perbuatan hukum mengenai harta bendanya.
Pada Pasal 37 Undang-Undang Perkawinan menyatakan bahwa
bila perkawinan putus karena perceraian harta bersama diatur menurut
hukumnya masing-masing. Jika diperhatikan maka Pasal 37 Undang-
Undang Perkawinan dan penjelasannya, tidak memberikan
keseragaman hukum positif tentang bagaimana penyelesaian harta
bersama apabila terjadi perceraian. Kalau dicermati pada penjelasan
1
Besse Sugiswati, "Konsepsi Harta Bersama dari Perspektif Hukum Islam, Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata dan Hukum Adat", Jurnal Perapektif, Vol XIX No. 3, September 2018, hlm. 202-
204

5
Pasal 37 Undang-Undang Perkawinan, maka undang-undang ini
memberikan jalan pembagian sebagai berikut: Pertama, Dilakukan
berdasarkan hukum agama jika hukum agama itu merupakan
kesadaran hukum yang hidup dalam mengatur tata cara perceraian;
Kedua, Aturan pembagiannya akan dilakukan menurut hukum adat,
jika hukum tersebut merupakan kesadaran hukum yang hidup dalam
lingkungan masyarakat yang bersangkutan; Ketiga, atau hukum-
hukum lainnya. (M. Yahya Harahap, 1975:125)
Dari Pasal 35 Undang-Undang Perkawinan menyimpulkan bahwa
harta dalam perkawinan berupa: 1. Harta Bersama, dan 2. Harta
Pribadi dapat berupa: Harta bawaan suami, Harta bawaan istri, Harta
hibahan/warisan suami, dan Harta hibahan/warisan istri (Satrio J.,
1990:59).2

B. Jenis-jenis Harta Perkawinan


1. Harta Bersama
a. Menurut UU
Harta bersama adalah harta yang diperoleh sepanjang
perkawinan berlangsung sejak perkawinan dilangsungkan hingga
perkawinan berakhir atau putusnya perkawinan akibat perceraian,
natian maupun putusan Pengadilan. (Darmabrata dan Surini,
2016: 96) Harta bersama meliputi:
1). Harta yang diperoleh sepanjang perkawinan berlangsung;
2). Harta yang diperoleh sebagai hadiah, pemberian atau warisan
apabila tidak ditentukan demikian;
3). Utang-utang yang timbul selama perkawinan berlangsung
kecuali yang merupakan harta pribadi masing-masing suami
istri.
Menurut Pasal 35 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan bahwa, harta bersama suami-istri hanyalah meliputi .

2
Besse Sugiswati, "Konsepsi Harta Bersama dari Perspektif Hukum Islam, Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata dan Hukum Adat", Jurnal Perapektif, Vol XIX No. 3, September 2018, hlm. 209

6
ta-harta yang diperoleh suami-istri sepanjang perkawinan, ingga
yang termasuk harta bersama adalah hasil dan pendapatan suami,
basil dan pendapatan istri. (Satrio, 1993: 66)
Pasal 119 KUH Perdata menentukan bahwa, mulai saat
perkawinan dilangsungkan, secara hukum berlakulah kesatuan
bulat antara kekayaan suami-istri, sekadar mengenai itu dengan
perjanjian kawin tidak diadakan dengan ketentuan lain. Persatuan
harta kekayaan itu sepanjang perkawinan dilaksanakan dan tidak
boleh ditiadakan atau diubah dengan suatu persetujuan antara
suami dan istri apa pun. Jika bermaksud mengadakan
penyimpangan dari ketentuan itu, suami-istri harus menempuh
jalan dengan perjanjian kawin yang diatur dalam Pasal 139
sampai Pasal 154 KUH Perdata.
b. Menurut Adat
Secara umum, hukum adat tentang harta gono-gini hampir
sama di seluruh daerah. Yang dapat dianggap sama adalah
perihal atasnya harta kekayaan yang menjadi harta bersama
(harta satuan), sedangkan mengenai hal-hal lainnya, terutama
agenai kelanjutan dari harta kesatuan itu sendiri pada yataanya
memang berbeda di masing-masing daerah. Misalnya Lwa,
pembagian harta kekayaan kepada harta bawaan dan harta o-gini
setelah terjadi perceraian antara suami dan istri akan nakna
penting sekali.
Hal ini berbeda sekali dengan kondisi dari salah satu
keduanya tinggal dunia, pembagian tersebut tidak begitu penting.
entara itu, di Aceh, pembagian harta kekayaan kepada harta
bawaan dan hareuta sauhareukat bermakna sangat penting baik
ketika terjadi perceraian maupun pada saat pembagian warisan
jika salah seorang pasangan meninggal dunia. Meskipun
pembagian harta gono-gini di berbagai daerah boleh dikatakan
hampir sama, tetapi ada juga yang dibedakan berdasarkan

7
konteks budaya lokal masyarakatnya. Salah satu contoh di mana
hukum adat yang cenderung tidak memberlakukan konsep harta
gono-gini, yaitu di daerah Lombok, Nusa Tenggara Barat.
Menurut hukum adat Lombok, perempuan yang bercerai pulang
kerumah orangtuanya dengan hanya membawa anak dan barang
seadanya, tanpa mendapat hak Bono-gini.

2. Harta Bawaan
Harta Bawaan adalah harta yang dikuasai masing-masing
pemiliknya yaitu suami atau istri. Masing-masing atau istri berhak
sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta
bendanya (Pasal 36 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan).
Dalam hal ini baik KUH Perdata maupun Undang-Undang
Perkawinan No.1 Tahun 1974 sama-sama berlaku bagi siapa saja.
(dengan kata lain, tunduk pada kedua hukum tersebut). sedangkan
harta bersama KUH Perdata dan harta bersama menurut UU
Perkawinan hanya untuk memperbandingkan atau memperjelas
pengertiannya. Harta yang selama ini dimiliki, secara otomatis akan
menjadi harta bersama sejak terjadinya suatu perkawinan sejauh
tidak ada perjanjian mengenai pemisahan harta (yang dikenal dengan
perjanjian perkawinan) sebelum atau pada saat perkawinan itu
dilaksanakan. Bila harta yang dimiliki saat ini adalah sebuah rumah,
mobil serta deposito menjadi satu yang dikenal dengan nama harta
bersama, maka sebelum atau pada saat perkawinan dilaksanakan,
kedua pihak atas persetujuan bersama dapat melakukan perjanjian
perkawinan mengenai pemisahan harta secara tertulis yang disahkan
oleh Pegawai Pencatat Perkawinan yang mana isinya berlaku juga
terhadap pihak ketiga yang tersangkut (Pasal 29 ayat (1) UU No.1
Tahun 1974 tentang Perkawinan). Jika terjadi perceraian bila tidak
terdapat adanya suatu perjanjian perkawinan mengenai pemisahan

8
harta, dalam praktik biasanya memang mengalami kesulitan dalam
pembuktiannya, sehingga untuk lebih jelasnya mengenai “bagian
masing-masing”, diadakan perjanjian perkawinan mengenai
pemisahan harta.
Harta bawaan adalah harta yang dikuasai oleh masing-masing
pemiliknya yaitu suami atau istri. Masing-masing atau istri berhak
sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta
bendanya (Pasal 36 ayat (2) UU Perkawinan). Harta warisan
merupakan harta bawaan yang sepenuhnya dikuasai oleh suami atau
istri, sehingga harta warisan tidak dapat diganggu gugat oleh suami
atau istri. Jika terjadi perceraian maka harta warisan (dari orangtua)
tetap ada di bawah kekuasaan masing-masing (tidak dapat dibagi).
3. Harta Bawaan Keluarga
Kewarisan merupakan salah satu mekanisme peralihan hak
kepemilikan atas suatu harta benda. Pasca musibah gempa dan
tsunami, persoalan kewarisan menjadi salah satu masalah hukum
yang membutuhkan penanganan yang baik dan seakurat mungkin.
Dengan jumlah korban jiwa yang sangat besar dalam musibah
tersebut, menjadikan seseorang secara seketika dapat menyandang
status ahli waris atau mendapatkan hak kepemilikan atas suatu harta
warisan, namun tidak jarang juga persoalan terjadi bahwa harta
warisan ini dapat menjadi bumerang dan bahkan menyebabkan tali
persaudaraan terganggu.
Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 171 huruf e menjelaskan,
bahwa makna `harta warisan’ adalah sebagai harta bawaan ditambah
bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris
selama sakit sampai meninggal dan membayar seluruh utang-
utangnya. Dari definisi ini berarti, harta warisan terdiri dari 2 jenis
harta, pertama harta bawaan dan kedua harta bersama dalam sebuah
keluarga, warisan bukan hanya berupa harta peninggalan dalam arti
harta yang selama ini dikumpulkan oleh suami dan istri, tetapi

9
adakalanya juga harta bawaan. Ketentuan Pasal 35 ayat (2)
UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
menegaskan bahwa, “Harta bawaan adalah harta benda yang
diperoleh masing-masing suami dan istri sebelum menikah, serta
hadiah, hibah atau warisan yang diterima dari pihak ketiga selama
perkawinan”.
Sebelum berbicara lebih jauh tentang harta bawaan, dalam buku
Hukum Adat Sketsa Asas, (karangan Iman Sudiyat, Guru Besar
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada) menjelaskan, pada um
umnya harta kekayaan keluarga itu dapat dibedakan ke dalam 4
(empat) bagian:
a. Harta warisan (dibagikan semasa hidup atau sesudah si pewaris
meninggal) untuk salah seorang di antara suami-istri, dari
kerabatnya masing-masing;
b. Harta yang diperoleh atas usaha dan untuk sendiri oleh suami
atau istri masing-masing sebelum atau selama perkawinan;
c, Harta yang diperoleh suami-istri selama perkawinan atas usaha
dan sebagai milik bersama;
d. Harta yang dihadiahkan pada saat pernikahan kepada suami
istri bersama.
Biasanya pasangan yang menikah sudah dibekali dengan
Undang-Undang Perkawinan, namun tidak sedikit yang hanya
sekadar menyimpan undang-undang tersebut tanpa membacanya,
tetapi hanya sebatas pelengkap buku nikah, sehingga banyak
pasangan suami-istri tidak terlalu memahami aturan yang ada di
dalamnya.3
C. Pengertian Hukum Waris Adat
Pengertian waris dalam hukum adat waris tidak pula
mendefiniskan mengenai waris saja, namun memiliki hubungan yang
lebih luas. Hukum waris adat ini mencantumakn berbagai macam garis

3
Jurnal Penelitian Hukum DE JURE, ISSN 1410-5632 Vol. 17 No. 4 , Desember 2017: 445 - 461

10
ketentuan terkait suatu sistem serta asas hukum waris, harta waris yang
dipindahtangankan kepemilikannya dari pewaris kepada ahli waris.
Secara keseluruhan hukum waris adat ini merupakan hukum penerusan
atau pengalihan harta kekayaan dari generasi satu ke generasi lainnya.
Hukum waris dalam suasana hukum adat adalah suatu kompleks
kaidahkaidah yang mengatur proses penerusan ataupun pengalihan dan
pengoperan dari suatu harta, seperti halnya material maupun inmaterial
dari suatu generasi kegenerasi berikutnya. Maksud proses disini berarti
bahwa pewarisan hukum adat bukan selalu aktual dengan adanya
kematianatau walaupun tidak ada kematian proses pewaris itu tetap ada.
Mengenai penerusan pengoperan atau meneruskan kedudukan harta
material dan inmaterial, penerusan itu dari generasi berikutnya jadi
pewarisan ini bukan merupakan pewarisan individual.
Ter Haar mengemukakan pendapatnya mengenai hukum adat
waris merupakan berbagai aturan hukum terhadap cara penerusan serta
peralihan dari harta kekayaan yang berwujud dan tidak berwujud dari
generasi kepada generasi selanjutnya.4
Sedangkan Soepomo berpendapat bahwa hukum adat waris
memuat berbagai macam peraturan berkenaan dengan proses
meneruskan serta mengalihkan harta benda dan barang-barang yang
tidak berwujud benda dari suatu generasi kepada turunannya.5

Selain kedua pendapat para ahli tersebut, Wiryono juga


mengemukakan pendapatnya bahwa pengertian warisan adalah bahwa
warisan itu menyangkut hak maupun kewajiban mengenai kekayaan
seseorang ketika meninggal dunia sehingga berpindah kepada orang lain
yang masih hidup.
Maka dari itu, dapat disimpulkan bahwa menurut Wiryono
adalah suatu cara untuk menyelesaikan hubungan hukum didalam
4
Soerojo Wignojodipoero, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, (Jakarta: Haji Masagung,
1988), hal. 161.
5
Soejono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012), hal. 259.

11
masyarakat yang memunculkan beberapa kesulitan menjadi akibat
kematian seseorang, yaitu meninggalkan harta kekayaannya. Sehingga
hukum adat waris adalah berbagai peraturan terhadap proses meneruskan
dan memindahkan barang-barang harta benda maupun barangbarang
yang tidak berwujud benda dari suatu generasi kepada turunannya.
Hukum adat waris adalah berpegang teguh pada prinsip-prinsip yang
muncul dari pemikiran paham komunal dan konkrit dari bangsa
Indonesia. Pengertian mewarisi menurut pendapat tradisional masyarakat
Jawa berarti mengoperkan harta keluarga kepada turunannya, yaitu
terutama anak-anak lelaki dan anakanak perempuan. Sedang maksud
perkawinan menurut paham tradisional masyarakat Indonesia adalah
meneruskan angkatan atau meneruskan turunan. Jadi harta benda orang
tua (ibu dan bapak) akan diperuntukkan sebagai syaratsyarat perbedaan
untuk menyelenggarakan proses meneruskan turunan tersebut6

D. Sistem Pewarisan Adat


Pewarisan didalam hukum adat tidak menjadi aktual atau tidak
menjadi perlu mendesak berhubungan dengan adanya kematian, dalam
hukum adat dapat dilakukan pewarisan antara orang yang masih hidup.
Pada dasarnya yang menjadi ahli waris adalah angkatan yang
lebih muda. Kaidah-kaidah hukum waris ada dijiwai oleh sikap hidup
kekeluargaan, hal ini disimpulkan dari definisi yang telah ada dimana
pewaris itu berlangsung dari generasi ke generasi berikutnya.
Hal ini tampak pada pasal 1066 KUHS pasal ini menentukan
pada ahli waris bahwa setiap waris menentukan warisan pada hukum
adat pada dasarnya baru akan terjadi keadaan memaksa dan
memungkinkan.
1. Sistem Pewarisan Individual
Pewarisan dengan sistem individual atau perseorangan ini adalah
sistem pewarisan dimana setiap waris mendapatkan pembagian untuk

6
Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003), hal 8

12
dapat menguasai dan atau memiliki harta warisan menurut bagian
masing-masing. Setelah diadakan pembagian maka masing-masing
waris dapat menguasai dan memiliki bagian harta warisannya untuk
diusahakan, dinikmati ataupun dialihkan/dijual/ dioperkan kepada
sesama waris anggota kerabat, tetangga ataupun orang lain. Dengan
kata lain ahli waris dapat berbuat bebas sekehendak hatinya terhadap
harta warisannya tanpa ada batasan ataupun yang melarangnya.
Dalam sistem individual ini, dimana setelah menerima bagian
warisan masing-masing ahli waris tersebut berhak dan dapat
menguasai harta warisan yang menjadi bagiannya secara mutlak
secara perseorangan/ pribadi atas hartas warisannya tersebut. Sistem
individual ini ada dan banyak berlaku dalam masyarakat yang ikatan
kekerabatnnya sudah tidak begitu kuat lagi dimana hak-hak
induvidual/ perseorangan dalam masyarakat itu sudah begitu kuat
dan besar. Sistem pewarisan individual ini banyak berlaku atau
terdapat dikalangan masyarakat yang sistem kekerabatannya parental
sebagaimana masyarakat adat Jawa atau juga sebagian kalangan
masyarakat kekerabatan patrilinial seperti masyarakat Batak, atau
juga dikalangan masyarakat adat yang kuat dipengaruhi hukum
Islam, dipantai-pantai Selatan Lampung (Hilman Hadikusuma, 1983:
35).
Faktor lainnya yang menyebabkan perlu dilaksanakan pembagian
warisan secara individual adalah dikarenakan tidak ada lagi yang
berhasrat memimpin penguasaan atau pemilikan harta warisan secara
bersama (dalam masyarakat patrilinial dan matrilinial), disebabkan
para ahli waris tidak mau terikat lagi pada satu rumah kerabat
(Rumah Gadang) atau rumah orang tua dan lapangan kehidupan
masing-masing anggota waris telah tersebar di tempat kediamannya.
Dengan telah tersebarnya tempat kediaman masing-masing anggota-
39 anggota kerabat bahkan mungkin sebagian sangat jauh akan terasa
kelonggaran ikatan kekerabatan yang sebelumnya begitu kuat

13
mengikat. Disamping itu terasa pula betapa pentingnya memiliki
harta peninggalan/ warisan secara perseorangan/ individual tanpa ada
ikatan dari kerabatnya untuk sebagai dasar/ basis modal untuk
kehidupan rumah tangga karena kediamannya yang baru itu jauh dan
tempat kerabatnya berada.
Dalam sistem pewarisan individual ini dapat kita lihat kebaikan-
kebaikan dan kelemahan-kelemahan ataupun keburukannya sebagai
berikut :
Kebaikan sistem pewarisan individual
Dengan pemilikan harta warisan secara perseorangan atau pribadi
maka ahli waris dapat bebas menguasai dan memiliki harta warisan
bagiannya untuk dipergunakan sebagai modal kehidupan lebih lanjut
tanpa dipengaruhi anggota-anggota ataupun terikat keluarga yang
lain. Ahli waris tersebut dapat mentransaksikan bagian warisannya
itu kepada orang lain untuk dipergunakan menurut kebutuhannya
sendiri atau menurut kebutuhan keluarga tetangganya. Bagi keluarga-
keluarga modern/maju dimana rasa ikatan kekerabatannya telah
menipis/mengecil bahkan sudah hilang dimana tempat kediaman
anggota kerabat tersebut sudah terpencar-pencar jauh dan tidak
begitu terikat lagi untuk bertempat tinggal/ kediaman di daerah asal,
apalagi jika telah melakukan perkawinan campuran, maka sistem
individual ini nampak besar pengaruhnya.
Kelemahan sistem pewarisan individual
Kelemahan sistem ini adalah pecahnya harta warisan dan
merenggangkan tali kekerabatan yang dapat berakibat timbulnya
hasrat ingin memiliki kebendaan secara pribadi dan mementingkan
dari sendiri. Selain sistem pewarisan secara individual ini dapat
menjurus ke arah nafsu yang individualisme. Hal mana kebanyakan
menyebabkan timbulnya perselisihan dan perpecahan diantara
anggoata keluarga pewaris.
2. Sistem Pewarisan Kolektif

14
Pewarisan dengan sistem kolektif adalah dimana harta
peninggalan diteruskan dan dialihkan pemiliknya dari pewaris
kepada ahli waris sebagai kesatuan yang tidak terbagi-bagi
penguasaan dan pemiliknya dan setiap ahli waris berhak untuk
mengusahakan, menggunakan, memanfaatkan atau mendapat hasil
dari harta peninggalan itu. Bagaimana cara pemakaian untuk
kepetingan dan kebutuhan masing-masing waris diatur bersama
atas dasar musyawarah dan mufakat oleh semua anggota kerabat
yang berhak atas harta peninggalan dibawah bimbingan kepala
kerabat (Hilman Hadikusuma, 1983: 36).
Sistem kolektif banyak berlaku di kalangan masyarakat
patrilinial dan matrilinial dan secara terbatas terdapat dalam
masyarakat parental di Minahasa dan suku Dayak di Kalimantan.
Sistem kolektif dominan terdapat dalam masyarakat yang ikatan
kekerabatannya sangat kuat dan para anggota-anggotanya
sebagian besar masih berdiam didalam atau didaerah asalnya dan
ini terdapat pada masyarakat matrilinial dan patrilinial.
Di Minangkabau (matrilinial) sistem kolektif berlaku atas
tanah pusaka yang diurus bersama dibawah pimpinan atau
pengurus Mamak Kepala Waris dimana para anggota (keluarga)
hanya mempunyai hak memakai = hak pakai (Minang = Ganggam
Bantuiq). Serupa tanah pusaka Minang ini adalah tanah Dati di
Ambon (patrilinial) yang tidak dibagi-bagikan kepada ahli waris,
melainkan disediakan bagi para waris untuk dipergunakan,
terutama para anggota keluarga pewaris yang telah wafat dibawah
pimpinan atau pengurusan Kepala Dati. (Wirjono
Projodikoro,1983: 23).
Di Minahasa (parental) berlaku sistem kolektif atas barang
tanah kelakeran yang merupakan tanah sekerabat milik kerabat
yang tidak dibagi-bagi, tetapi boleh dipakai untuk para anggota
keluarga. Status hak pakai anggota keluarga (famili) dibatasi

15
dengan tidak boleh menanam tanaman keras. Yang mengatur dan
mengawasi tanah kelakeran adalah tua-tua kerabat yang disebut
Tua Untaranak, Haka Umbana atau Paki Itenan tanahtanah dan
jika tua-tua dari kerabat lain disebut Mapontol. Dalam
perkembangan dimasa sekarang sudah ada tanah kelakeran yang
dibagi-bagi. (J Wewengkang Mogot, 1978 : 19).
Perkembangan di beberapa daerah yang karena longgarnya
ikatan kekerabatan, lemahnya fungsi dan peranan kepala/
pimpinan kerabat dan juga karena harta bersama itu tidak lagi oleh
dan untuk bersama maka sistem kolektif itu berubah ke arah
sistem individual.
Sama seperti halnya dalam sistem individual, dalam sistem
kolektif ini juga terdapat kebaikan dan kelemahan sebagi berikut:
Kebaikan-kebaikan dari sistem kolektif
Kebaikan dari sistem kolektif ini masih nampak apabila fungsi
harta kekayaan itu diperuntukkan buat kelangsungan hidup
kerabat/ keluarga sekarang dan masa seterusnya masih tetap
berperan. Tolong-menolong antara yang satu dengan yang lain di
bawah pimpinan kepala kerabat yang penuh tanggung jawab
masih tetap dipelihara, dibina dan dikembangkan.
Pada beberapa kerabat yang masih mempunyai pimpinan yang
berpengaruh, sistem kolektif atas harta pusaka (tanah kerabat,
danau kerabat. rumah kerabat dan sebagainya) yang terletak
didaerah produktif masih dapat meningkatkannya kedalam usaha-
usaha kolektif yang berbentuk usaha bersama misalnya : koperasi
pertanian kerabat, koperasi peternakan kerabat dan lain
sebagainya.
Kelemahan sistem kolektif
Kelemahan sistem kolektif ini adalah menimbulkan cara
berfikir yang terlalu sempit/tertutup dan kurang terbuka bagi
orang luar. Disamping itu oleh karena tidak selamanya suatu

16
kerabat mempunyai kepemimpinan yang dapat diandalkan yang
selalu dapat mempersatukan anggota kerabat, juga karena aktifitas
hidup yang kian meluas bagi para anggota kerabat, merasa setia
kawan, rasa setia kerabat bertambah lemah dan meluntur dan pada
akhirnya hal-hal inilah yang menyebabkan cerai berainya dan
musnahnya kerabat.
3. Sistem Pewarisan Mayorat
Sistem pewarisan mayorat sesunguhnya juga merupakan
sistem pewarisan kolektif, hanya saja pengurusan dan pengalihan
hak penguasaan atas harta yang tidak terbagi-bagi ini dilimpahkan
kepada anak tertua yang bertugas sebagai pemimpin rumah tangga
atau kepala keluarga menggantikan kedudukan ayah dan ibu
sebagai kepala keluarga. Anak tertua yang merupakan satu-
satunya ahli waris dalam sistem ini dikatakan berhak tunggal atas
warisan, anak tertua yang menerima warisan ini adalah dalam
rangka kedudukannya sebagai-penerus tanggung jawab orang tua
yang wafat berkewajiban mengurus dan memelihara
saudarasaudaranya yang lain. Terutama bertanggung jawab atas
harta warisan dan kehiduan adik-adiknya yang masih kecil sampai
mereka dapat berumah tangga dan berdiri sendiri dalam suatu
wadah kekerabatan yang turun-temurun. Seperti halnya dalam
sistem kolektif, setiap anggota waris dari harta bersama
mempunyai hak memakai dan menikmati hasil atas harta bersama
itu tanpa hak menguasai atau memilikinya secara
individual/perseorangan.
Jadi, disini dapat dikatakan bahwa anak yang tertua (lakilaki
atau perempuan) berhak tunggal (merupakan satu-satunya ahli
waris) untuk dapat mewaris atau menerima warisan dengan
konskuensi bertanggung jawab atas kehidupan adikadiknya
sampai dapat mandiri.
Sistem mayorat ini ada dua macam dikarenakan perbedaan

17
sistem keturunan yang dianut, yaitu :
a. Mayorat laki-laki
Yaitu apabila anak laki-laki tertua atau keturunan lakilaki
merupakan ahli waris tunggal dari pewaris seperti
dilingkungan masyarakat adat Lampung terutama yang
beradat pepadun. Juga terdapat di daerah Irian Jaya
terutama di daerah Teluk Yos Sudarso.
b. Mayorat anak perempuan
Yaitu apabila anak perempuan yang tertua yang
merupakan ahli waris tunggal dari pewaris yang mengurus
dan menguasai harta peninggalan, yang disebut dengan
istilah Tunggal Tubangtera Selatan.
Kelemahan dan kebaikan sistem pewarisan mayorat terletak pada
kepemimpinan anak tertua dalam kedudukannya sebagai
pengganti orang tua yang telah wafat dalam mengurus kekayaan
dan memanfaatkannya guna kepentingan semua anggota keluarga
yang ditinggalkan.
Kebaikan sistem mayorat
Apabila anak tertua yang ditunjuk sebagai ahli waris itu
penuh tanggung jawab, maka akan dapat mempertahankan
keutuhan dan kerukunan keluarga sampai semua waris menjadi
dewasa dan dapat berdiri sendiri mengatur rumah tangga sendiri.
Kelemahan sistem mayorat
Apabila anak tertua tadi tidak bertanggung jawab, yang
tidak dapat mengendalikan diri terhadap kebendaan, pemboros
lebih mementingkan diri sendiri dan lain sebagainya. Jangankan
akan dapat mengurus harta peninggalan serta mengurus adik-
adiknya serta saudara yang lainnya, malah alih-alih sebaliknya dia
diurus oleh anggota keluarga yang lain.7

7
Sigit Sapto Nugroho, "Hukum Waris Adat di Indonesia," (Solo: Pustaka Iltizam, 2016), hlm. 37-
46.

18
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Hukum Perkawinan Adat adalah keseluruhan kaidah hukum yang


menentukan prosedur yang harus ditempuh oleh dua orang yang bertalian
kelamin dalam menciptakan kehidupan bersama dalam suatu rumah tangga
dengan tujuan untuk meneruskan keturunan (Djaren Saragih, 1992:1).
Konsepsi Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan.
Jenis-jenis harta perkawinan :
1. Harta Bersama
2. Harta Bawaan
3. Harta Bawaan Keluarga

Waris dalam hukum adat waris tidak pula mendefiniskan mengenai waris saja,
namun memiliki hubungan yang lebih luas. Hukum waris adat ini
mencantumakn berbagai macam garis ketentuan terkait suatu sistem serta asas
hukum waris, harta waris yang dipindahtangankan kepemilikannya dari pewaris
kepada ahli waris. Secara keseluruhan hukum waris adat ini merupakan hukum
penerusan atau pengalihan harta kekayaan dari generasi satu ke generasi lainnya.

Sistem Pewarisan Adat dibagi menjadi 3 :

1. Sistem Pewarisan Individual


2. Sistem Pewarisan Kolektif
3. Sistem Pewarisan Mayorat

1
DAFTAR PUSTAKA

Soerojo, Wignojodipoero. 1988. Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat. Jakarta:


Haji Masagung.
Soejono, Soekanto. 2012. Hukum Adat Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Nugroho, Sigit Sapto. 2016. Hukum Waris Adat di Indonesia. Solo: Pustaka

Iltizam.

Jurnal Penelitian Hukum DE JURE. 2017. ISSN 1410-5632 Vol. 17 No. 4.

Besse, Sugiswati. 2018. Konsepsi Harta Bersama dari Perspektif Hukum Islam,

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Hukum Adat. Jurnal

Perapektif, Vol XIX No. 3,

Anda mungkin juga menyukai