Anda di halaman 1dari 11

Konsep Tentang Maqamat Dan Ahwal

Anggota Kelompok :
1. Riska Dewi Arimbi (214110303108)
2. Akhsanul Fiqri (214110303120)
3. Muhammad Rizky Hidayatullah (214110303059)

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI PROF K.H. SAIFUDDIN ZUHRI PURWOKERTO


FAKULTAS SYARIAH
PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Maqamat dan ahwal adalah dua hal yang senantiasa dialami oleh


orang yang menjalani tasawuf sebelum sampai pada tujuan yang
di kehendaki. Yang pertama berupa keadaan, sedangkan yang kedua
berupa tahapan perjalanan. Keduanya dapat dibedakan namun sering pula
disamakan, bahkan dipertukarkan.

Pernyataan para sufi tentang kedua tema tersebut sangat beragam.


Keragaman itu terdapat dalam pengertian yang dirumuskan, jumlahnya,
pembagian urutannya, dan isyarat-isyarat yang diberikan tentang
keduanya. Dibalik keragaman ini, tentu terdapat jumlah segi-segi yang
mempertemukannya.

Keragaman pernyataan para sufi tentang maqamat dan ahwal dapat


dimengerti. Mereka memperkatakan dengan keduanya menurut kata hati
mereka, dengan berdasarkan pengalaman yang bersifat individual.
Pembicaraan tentang maqamat dan ahwal dalam tasawuf menjadi
berkembang dengan bertambahnya jumlah para sufi dari waktu ke waktu.

B. Rumusan masalah
1. Definisi maqamat dan ahwal
2. Contoh-contoh dan pengalaman
3. Fungsi dalam kehidupan
BAB II
PEMBAHASAN

1. Definisi maqamat dan ahwal

a. Pengertian maqamat
Secara bahasa, maqamat adalah bentuk jamak dari kata maqam yang berarti pangkat
atau derajat 1. Dalam bahasa inggris, maqamat disebut dengan stages (tangga)
atau stations (terminal) 2

Menurut istilah tasawuf, maqamat adalah kedudukan seorang hamba dihadapan Allah,


yang diperoleh dengan melalui peribadatan, mujahadah, latihan spiritual serta (berhubungan)
yang tidak putus-putusnya dengan Allah.
Jadi, maqamat adalah hasil kesungguhan dan perjuangan terus-menerus, dengan
melakukan kebiasaan-kebiasaan yang lebih baik. Macam-macam maqamat dalam ilmu
tasawuf:
1.    Taubat
Taubat adalah memohon ampun kepada Allah atas segala kesalahan yang telah dilakukan
pada saat yang lampau dan berjanji dengan sungguh-sungguh untuk tidak mengulangi
perbuatan dosa-dosa tersebut dan dibarengi dengan melakukan kebajikan yang dianjurkan
oleh Allah.
Taubat memiliki beberapa tingkatan; pertama, taubat tingkat rendah yang menyangkut
dosa yang dilakukan jasad atau angota-anggota badan. Kedua, taubat tingkat menengah
terhadap pangkal dosa-dosa seperti taubat dari sifat dendam, sombong, iri, riya’, pamer dan
lainnya. Ketiga, taubat tertinggi merupakan taubat untuk berusaha menjauhkan diri dari
bujukan syetan dan kelalaian dari mengingat Allah.Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi
ketika melakukan taubat, sebagai berikut:
a.    Meninggalkan kemaksiatan yang dilakukan.
b.    Menyesali perbuatan maksiat yang dilakukan.
c.    Bertekad untuk tidak mengulangi pebuatan maksiat yang telah dilakukan.
2.    Zuhud
Zuhud adalah sebagai suatu sikap melepaskan diri dari rasa ketergantungan terhadap
kehidupan duniawi dengan mengutamakan kehidupan ukhrawi. Zuhud dibagi menjadi 3
tingkatan: Pertama (terendah), menjauhkan dunia agar terhindar dari hukuman
akhirat. Kedua (menengah), menjauhi dunia dengan menimbang imbalan
akhirat. Ketiga (tertinggi), mengucilkan dunia bukan karena takut atau berharap, tetapi karena
cinta kepada Allah semata.

1 Syamsun Ni’am, Tasawuf Studies Pengantar Belajar Tasawuf  (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2014), hlm. 137.
2 Mohammad Muchlis Solichin, Akhlak dan Tasawuf  (Surabaya: Pena Salsabila, 2014), hlm. 146.
3.    Sabar
Secara bahasa, sabar berarti tabah hati. Secara istilah, sabar adalah suatu keadaan jiwa
yang kokoh, stabil, dan konsekuen dalam pendirian. Dalam ajaran tasawuf sifat sabar dibagi
menjadi 3 macam, yaitu:
a.    Sabar dalam beribadah kepada  Allah.
b.    Sabar dalam menjauhi larangan Allah.
c.    Sabar dalam menerima cobaan dari Allah.3
4.    Wara’
Secara harfiah, wara’ berarti shaleh, menjauhkan diri dari perbuatan dosa atau maksiat.
Menurut pandangan sufi, wara’ adalah meninggalkan segala sesuatu yang tidak jelas
hukumnya, baik yang menyangkut pakaian, makanan, maupun persoalan lainnya.
Wara’ dibagi menjadi 2 yaitu:
a.    Wara’ segi lahir yaitu tidak mempergunakan segala yang masih diragukan dan meninggalkan
kemewahan.
b.    Wara’  batin yaitu tidak menempatkan atau mengisi hati kecuali dengan mengingat Allah.

5.    Faqr
Faqr adalah tidak menuntut banyak dan merasa cukup dengan apa yang telah diterima dan
dianugrahi oleh Allah, sehingga tidak mengharapkan atau meminta suatu yang bukan haknya.
6.    Tawakal
Secara harfiah, tawakal berarti menyerahkan diri. Secara umum, tawakal adalah keteguhan
hati dalam menggantungkan diri hanya kepada Allah. Serta berhenti memikirkan diri sendiri
dan merasa memiliki daya dan kekuatan. Tanda-tanda tawakal ada 3 yaitu:
a.    Menyingkirkan sikap ketergantungan.
b.    Menghilangkan bujukan yang berkaitan dengan tabiat.
c.    Berpedoman pada kebenaran dalam mengikuti tabiat.
Tawakal dibagi menjadi 3 tingkatan yaitu:
a.    Kayakinan seseorang akan tanggungan dan pemeliharaan Allah sama dengan keyakinannya
terhadap orang kepercayaannya.
b.    Derajat yang lebih tinggi dari pada derajat pertama, yang memposisikan diri di hadapan
Allah seperti posisi seorang bayi di hadapan ibunya.
c.    Derajat tertinggi, yaitu memposisikan diri di hadapan Allah ibarat posisi mayat di hadapan
orang yang memandikan.

7.    Ridha (Rela)
Secara harfiah, ridha berarti rela, senang dan suka.Secara umum, ridha adalah menerima
dengan rasa puas terhadap apa yang dianugerahkan Allah. Orang yang rela mampu menerima
dan melihat hikmah dan kebaikan dibalik cobaan yang diberikan Allah dan tidak berburuk
sangka terhadap ketentuannya. Ridha memiliki dua sudut pandang yaitu:
a.    Terarah kepada perbuatan Allah, yang dimana seorang hamba merasa ridha terhadap
perbuatan Allah yang menetapkan terjadinya segala sesuatu.
b.    Terarah kepada kejadian yang diputuskan, yaitu terhadap musibah itu sendiri. Artinya
seseorang harus merasa ridha dengan musibah yang diberikan oleh Allah.

3 Mohammad Muchlis Solichin, Akhlak dan Tasawuf,  hlm. 154.


8.    Mahabah
Mahabah berasal dari kata ahabah-yuhibu-mahabatan yang berarti mencintai secara
mendalam. Mahabah adalah cinta abadi kepada Allah yang melebihi cinta kepada siapa pun
dan apapun. Adapun tanda-tanda cinta seorang terhadap Allah diantaranya yaitu:
a.    Senang bertemu dengan kekasihnya (Allah) dengan cara saling membuka rahasia dan saling
melihat satu sama lain.
b.    Melakukan segala hal yang disenangi kekasihnya (Allah).
c.    Senantiasa berdzikir menyebut nama-Nya.
d.   Merasa tenang dan damai ketika bermunajat kepada Allah dam membaca kepada kitabnya.

9.    Ma’rifat
Secara bahasa, ma’rifat berasal dari kata arafah, ya’rifu, irfan, ma’rifat yang artinya
pengetahuan dan pengalaman. Menurut ulama, ma’rifat adalah kemampuan seorang
sufi  untuk mengenal Allah, sifat-sifat-Nya, yang membenarkan Allah dengan keyakinan dan
iman yang sejati dan dengan suka rela melaksanakan ajaran-Nya dalam segala perbuatan.

10.    Istiqamah
Menurut Kyai Achmad, Istiqamah berarti tekun, telaten, terus menerus, dan tidak pernah
bosan untuk mengamalkan apapun yang  dapat diamalkan. Contohnya: setiap selesai sholat
maghrib Ayu selalu mengaji.

b.  Pengertian Ahwal
Dari segi  bahasa,  ahwal adalah bentuk jamak dari hal yang berarti sifat dan keadaan
sesuatu4. Menurut al-Gazali, hal adalah kedudukan atau situasi kejiwaan yang dianugerahkan
Allah kepada seseorang hamba pada suatu waktu, baik sebagai buah dari amal shaleh yang
mensucikan jiwa. Pada intinya, hal (ahwal) adalah keadaan rohani seorang hamba ketika
hatinya sudah dalam keadaan bersih dan suci. Diantara contoh hal (keadaan) adalah
keterpusatan diri (muraqabah), kehampiran atau kedekatan (qarb), cinta (hubb), takut (khauf),
harap (raja’), rindu (syauq), intim (uns), tenteram (thuma’ninah), penyaksian (musyahadah),
dan yakin.

Adapun macam-macam ahwal dalam ilmu tasawuf, sebagai berikut:


1.    Muhasabah (mawas diri) dan Muraqabah (waspada)
Muhasabah (mawas diri) adalah sebagai upaya untuk meneliti diri sendiri dengan cermat
apakah segala perbuatannya dalam sehari-hari telah sesuai atau bertentangan dengan
ketentuan Allah. Sedangkan Muraqabah (waspada) adalah meyakini bahwa Allah
mengetahui segala pikiran, perbuatan, dan rahasia dalam hati yang membuat seseorang
menjadi hormat, takut, dan tunduk kepada Allah.

2.    Raja’ (berharap) dan Khauf (takut)


Raja’ adalah berharap atau perasaan hati yang senang karena menanti sesuatu yang
diinginkan atau disenangi. Raja’ menuntut tiga perkara yaitu:

4 Ris’an Rusli, Tasawuf dan Tarekat, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2013), hlm. 58.


a.    Cinta pada apa yang diharapkannya.
b.    Takut harapannya hilang.
c.    Berusaha untuk mencapainya.
Menurut ahli sufi, khauf adalah suatu sikap mental merasa takut kepada Allah karena
khawatir kurangnya pengabdian. Orang yang selalu merasa takut, maka timbulah sikap untuk
selalu berusaha agar perilakunya tidak menyimpang dari yang dikehendaki Allah dan
mendorong seseorang untuk melakukan hal-hal yang positif dan terpuji serta menjauhi
perbuatan tercela. Berdasarkan penyebabnya khauf dibagi menjadi dua, yaitu:
a.    Sesuatu yang ditakuti karena akibat yang ditimbulkan, seperti takut mati sebelum taubat,
ketidakmampuan memenuhi hak-hak Allah.
b.    Sesuatu yang ditakuti karena zatnya, seperti takut pada mati dan beratnya menghadapi
kematian.

3.    Hubb (cinta)
Hubb adalah kacenderungan hati untuk memerhatikan keindahan dan kecantikan.Ibn
Taimiyah membagi  tingkatan-tingkatan cinta, yaitu:
a.    Al-‘Alaqah, yaitu keterkaitan hati dengan yang dicintai.
b.    Al-Shababah (kegairahan), yaitu hati selalu bergairah kepada-Nya.
c.    Al-Ghuram, yaitu cinta sebagaimana biasanya.
d.   Al-‘Isyq, yaitu mencintai kepada-Nya dengan bergairah yang berlebih.
e.    Al tatayyum (menjadi budak), yaitu menjadi budak kepada-Nya.

4.    Syauq (rindu) dan Uns (intim)


Syauq adalah kerinduan yang ingin segera bertemu dengan Allah. Uns adalah sifat merasa
selalu berteman, tak pernah merasa sepi. Orang-orang yang intim (yang merasakan uns)
terbagi menjadi tiga kondisi, yaitu:
a.    Seorang hamba yang merasakan suka cita berdzikir mengingat Allah dan merasa gelisah
disaat lalai. Merasa senang disaat berbuat ketaatan dan gelisah berbuat dosa.
b.    Seorang hamba yang merasa senang dengan Allah dan gelisah terhadap bisikan-bisikan hati,
pikiran dan segala sesuatu selain Allah yang akan menghalanginya untuk dekat dengan Allah.
c.    Kondisi yang tidak lagi melihat suka citanya karena adanya wibawa, kedekatan, kemuliaan
dan mengagungkan disertai dengan suka cita5

5.    Thuma’ninah
Thuma’ninah adalah rasa tenang, tidak ada rasa waswas atau khawatir, tidak ada yang
dapat mengganggu perasaan dan pikiran, karena ia telah mencapai tingkat kebersihan jiwa
yang paling tinggi. Thuma’ninah dibagi menjadi tiga tingkatan, yaitu:
a.    Ketenangan bagi kaum awam. Artinya, ketenangan ini didapatkan ketika seorang hamba
berdzikir, mereka merasa tenang karena do’a-do’anya terkabul.
b.    Ketenangan bagi orang-orang khusus. Artinya, dalam tingkatan ini mereka merasa tenang
karena mereka rela, senang atas keputusan Allah, sabar atas cobaan-Nya, ikhlas, dan takwa.
c.    Ketenangan bagi orang-orang yang paling khusus. Artinya, mereka mendapatkan ketenangan
karena mereka mengetahui bahwa rahasia-rahasia hati mereka tidak sanggup merasa tentram
kepada-Nya dan tidak bisa tenang kepada-Nya, karena kewibawaan dan keagungan-Nya.

5 Moch. Misbachul Munir, Akhlak Tasawuf, hlm. 266.


6.    Musyahadah
Secara harfiah, musyahadah adalah menyaksikan dengan mata kepala. Secara terminologi
tasawuf, musyahadah adalah menyaksikan secara jelas dan sadar apa yang dicari (Allah) atau
penyaksian terhadap kekuasaan dan keagungan Allah.

2. Contoh-contoh dan pengalaman maqamat & ahwal

 Contoh maqamat
1) Taubat, yaitu memohon ampun disertai janji tidak akan
mengulangi lagi.
2) Zuhud, yaitu meninggalkan kehidupan dunia (dalam hal
kemaksiatan) dan mengutamakan kebahagiaan di akhirat.
3) Wara’, yaitu meninggalkan segala yang syubhat (tidak jelas halal
haramnya).
4) Faqir, yaitu tidak meminta lebih dari apa yang sudah diterima.
5) Sabar, yaitu tabah dalam menjalankan perintah Allah SWT
dan tenang menghadapi cobaan.
6) Tawakkal, yaitu berserah diri pada qada dan keputusan Allah.
7) Ridho, yaitu tidak berusaha menentang qada Allah

 Contoh ahwal
1. takut,
2. syukur
3. rendah hati
4. ikhlas
5. takwa
6. gembira.
Walaupun definisi yang diberikan sering berlawanan makna,
namun kebanyakan mereka mengatakan bahwa ahwal
dialami secara spontan dan berlangsung sebentar dan
diperoleh bukan atas dasar usaha sadar dan perjuangan
keras, seperti halnya pada maqamat, melainkan sebagai
hadiah dari kilatan Ilahiah (divine flashes), yang biasa
disebut “lama’at”.

 Contoh Orang yang Memiliki Maqomat dan Ahwal


Menurut Abu Bakar al-Kalabaẓi, tokoh sufi asal Bukhara, Asia Tengah menyebutkan
tujuh maqām yang harus dilalui sufi menuju Tuhan yaitu taubat, warak, zuhud, fakir,
dan sabar. Adapun contoh orang yang memiliki maqamat dan al-ahwal dalam tasawuf
adalah sebagai berikut:
a. Orang yang selalu meninggalkan perbuatan berbagai dosa besar. Seperti
menyekutukan Allah SWT, durhaka kepada orangtua, berzina, meminum khamar,
bersumpah palsu dan membunuh tanpa alasan yang dibenarkan agama.
b. Orang yang meninggalkan dosa kecil. Seperti, perbuatan makruh, sikap dan tindakan
yang menyimpang dari keutamaan, merasa diri suci, merasa telah dekat dengan Tuhan.
c. Bertobat tertinggi. Adalah dari kelengahan hati mengingat Allah Swt. Kalau bertobat
dari dosa atau maksiat itu biatobasa. Namun bertobat dari lengah mengingat Allah hanya
mampu dilakukan oleh orang yang derajat tinggi.
d. Sabar dalam pandangan sufi, musuh terberat bagi orang-orang beriman. Adalah
dorongan hawa nafsunya sendiri, yang setiap saat dapat menggoyahkan iman.
Kesabaran merupakan kunci keberhasilan dalam meraih karunia Allah Swt. yang lebih
besar, mendekatkan diri kepada-Nya, memperoleh kedudukan mulia disisi-Nya, karena
tanpa kesabaran, keberhasilan tidak mungkin dicapai.
e. Tawakal. Berarti mempercayakan atau menyerahkan segenap masalah kepada Allah
Swt. dan menyadarkan kepada-Nya penangan berbagai masalah yang dihadapi.
f. Ridha. Seorang hamba tidak akan berontak batinnya terhadap segala cobaan Allah
Swt. Akan tetapi ia akan menerimanya dengan senang hati. Ia tidak minta masuk surga,
dan tidak minta dijauhkan dari neraka. Di dalam hatinya tidak ada perasaan benci.
Ketika malapetaka menimpanya, hatinya merasa rela dan di dalamnya bergelora rasa
cinta kepada Allah Swt.

 Pengalaman maqamat dan ahwal


Pertama, tazkiyatun nafs, yakni membersihkan diri dari dosa
besar maupun dosa kecil, serta membersihkan diri dari berbagai
penyakit hati dan sifat-sifat tercela. Menurut As-Sarraj (w. 988 M),
ada empat langkah utama yang biasa dilakukan oleh para sufi dalam
hal tazkiyatun nafs. Keempat kegiatan tersebut adalah:
1. Al-Ibadat, yakni melakukan berbagai ibadah secara
konsisten dan berkesinambungan baik yang wajib
maupun yang sunah.
2. Al-Mujahadat, yakni perjuangan untuk melawan berbagai
dorongan nafsu dan bisikan setan.
3. Ar-Riyadat, yaitu melakukan latihan-latihan keruhanian
berupa ibadah sunnah seperti puasa, shalat, dzikir, dan
wirid secara teratur. Latihan-latihan ini juga harus
diimbangi dengan latihan diri dari kebiasaan yang baik.
4. Al-Inqitha’ ilallah, yakni menguatkan tekad dan arah
bahwa hidup dan kehidupan ini semata-mata untuk Allah.
Dengan kegiatan ini para sufi mengokohkan arahan pada
diri mereka sendiri untuk membiasakan niat guna mencari
keridhaan Allah sebelum memulai suatu pekerjaan.
Kedua, yakni taqarrub ilallah (mendekatkan diri kepada
Allah dengan sedekat-dekatnya). Memberikan perhatian serius
kepada usaha-usaha pengamalan tasawuf adalah perjuangan untuk
menghampiri Allah yang diakui-Nya dekat dengan para hamba,
bahkan lebih dekat daripada jarak manusia dengan urat lehernya.
Ketiga, hudhurul qalbi ma’a Allah, yakni merasakan
kehadiran Allah di dalam kalbu. Amaliah ini memfokuskan diri pada
perjuangan merasakan kehadiran Allah dan melihat-Nya dengan mata
hati, bahkan hingga merasakan kesatuan diri dengan-Nya. Ketiga
amaliah di atas harus selalu dibarengi dengan landasan akidah yang
sesuai dengan syariat Islam. Sebab di dalam Islam tidak ada tasawuf
yang berdiri sendiri, tanpa dipadukan dengan landasan akidah dan
pengamalan syariat.

3. Fungsi maqamat dan ahwal dalam kehidupan

Untuk mendekatkan manusia kepada Allah dengan sedekat-dekatnya dan agar manusia
tidak tergoda dengan nafsu yang nikmatnya hanya sementara dan orientasinya hanya kepada
dunia.Untuk itu, para sufi memiliki konsepsi tentang jalan (tariqat) menuju Allah. Jalan ini
dimulai dengan latihan-latihan rohaniah (riyadah), lalu secara bertahap menempuh berbagai
fase, yang dikenal dengan maqam (tingkatan) dan hal (keadaan), dan berakhir dengan
mengenal (ma'rifat) kepada Allah
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Maqamat adalah hasil kesungguhan dan perjuangan terus-menerus,
dengan melakukan kebiasaan-kebiasaan yang lebih baik
Ahwal adalah keadaan rohani seorang hamba ketika hatinya sudah
dalam keadaan bersih dan suci. Diantara contoh hal (keadaan) adalah
keterpusatan diri (muraqabah), kehampiran atau kedekatan (qarb), cinta
(hubb), takut (khauf), harap (raja’), rindu (syauq), intim (uns), tenteram
(thuma’ninah), penyaksian (musyahadah), dan yakin.
Contoh maqamat yaitu 1) Taubat, yaitu memohon ampun disertai janji
tidak akanmengulangi lagi.2) Zuhud, yaitu meninggalkan kehidupan dunia
(dalam halkemaksiatan) dan mengutamakan kebahagiaan di akhirat. 3)
Wara’, yaitu meninggalkan segala yang syubhat (tidak jelas halal
haramnya).4) Faqir, yaitu tidak meminta lebih dari apa yang sudah
diterima.5) Sabar, yaitu tabah dalam menjalankan perintah Allah SWT dan
tenang menghadapi cobaan.6) Tawakkal, yaitu berserah diri pada qada dan
keputusan Allah.7) Ridho, yaitu tidak berusaha menentang qada Allah.
Sedangakan Contoh ahwal yaitu takut,syukur,rendah
hati,ikhlas,takwa,gembira
Pengalaman maqamat dan ahwal,pertama, tazkiyatun nafs.Kedua,
yakni taqarrub ilallah (mendekatkan diri kepada Allah dengan sedekat-
dekatnya,Ketiga, hudhurul qalbi ma’a Allah, yakni merasakan
kehadiran Allah di dalam kalbu. Amaliah ini memfokuskan diri pada
perjuangan merasakan kehadiran Allah dan melihat-Nya dengan mata
hati, bahkan hingga merasakan kesatuan diri dengan-Nya
Fungsi maqamat dan ahwal dalam kehidupan adalah untuk mendekatkan
manusia kepada Allah dengan sedekat-dekatnya dan agar manusia tidak
tergoda dengan nafsu yang nikmatnya hanya sementara dan orientasinya
hanya kepada dunia.Untuk itu, para sufi memiliki konsepsi tentang jalan
(tariqat) menuju Allah. Jalan ini dimulai dengan latihan-latihan rohaniah
(riyadah), lalu secara bertahap menempuh berbagai fase, yang dikenal
dengan maqam (tingkatan) dan hal (keadaan), dan berakhir dengan mengenal
(ma'rifat) kepada Allah
Daftar Pustaka

Syamsun Ni’am, Tasawuf Studies Pengantar Belajar Tasawuf (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media,


2014), hlm. 137.
Mohammad Muchlis Solichin, Akhlak dan Tasawuf  (Surabaya: Pena Salsabila, 2014), hlm. 146.
Mohammad Muchlis Solichin, Akhlak dan Tasawuf, hlm. 154.
Ris’an Rusli, Tasawuf dan Tarekat, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2013), hlm. 58.
Moch. Misbachul Munir, Akhlak Tasawuf, hlm. 266.

Anda mungkin juga menyukai