Anda di halaman 1dari 15

BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1. Perdarahan Uterus Abnormal (PUA)


2.1.1. Definisi PUA
Pendarahan Uterus Abnormal (PUA) adalah istilah yang digunakan untuk
menggambarkan semua kelainan haid baik dalam hal jumlah maupun lamanya.
Manifestasi klinisnya dapat berupa pendarahan dalam jumlah yang banyak atau
sedikit, dan haid yang memanjang atau tidak beraturan (Munro, 2011).
Perdarahan uterus abnormal dapat disebabkan oleh faktor hormonal, berbagai
komplikasi kehamilan, penyakit sistemik, kelainan enometrium (polip), masalah-
masalah serviks / uterus (leiomioma) / kanker. Namun pola perdarahan abnormal
seringkali sangat membantu dalam menegakkan diagnosa secara individual
(Ralph. C Benson, 2009).
Perdarahan uterus abnormal digunakan untuk menunjukkan semua
keadaan perdarahan melalui vagina yang abnormal. PUA disini digambarkan
dengan perdarahan vagina yang terjadi didalam siklus <20 hari / >40 hari,
berlangsung >8 hari sehingga dapat mengakibatkan kehilangan darah >80 mL
dan dapat menyebabkan anemia (Rudolph, A. 2007).

2.1.2. Etiologi PUA


Menurut wiknjoksastro (2007) penyebab perdarahan uterus abnormal
antara lain:
A. Kelainan Hormonal
 Anovulasi/ovulasi
 Gangguan korpus luteum
 KB hormonal
B. Kelainan Anatomi Genital
 Tumor jinak
 Pemakai IUD
C. Kontak Berdarah
 Endometrium
 Portio uteri
 Vagina

5
 Labia
2.1.3. Patofisiologi PUA
Mekanisme terjadinya perdarahan uterus abnormal belum dapat diketahui
secara pasti. Namun berdasarkan beberapa kajian, menyimpulkan bahwa PUA
disebabkan adanya kerusakan dari jaringan-jaringan dan pembuluh-pembuluh
darah karena kelainan-kelainan organik (terutama karena adanya infeksi dan
tumor) pada alat-alat genitalia interna dan tidak berfungsinya jaringan-jaringan
tersebut secara maksimal untuk melakukan proses penghentian perdarahannya.
Secara umum penyebab terjadinya PUA adalah kelainan organik pada alat-alat
genitalia interna (seperti serviks uteri, korpus uterus, tuba fallopi, dan ovarium),
kelainan sistemik atau darah (seperti kelainan faktor pembekuan darah), dan
kelaianan fungsional dari alat-alat genitalia (Wiknjoksastro, 2007).

2.1.4. Gambaran Klinis PUA


Perdarahan rahim yang dapat terjadi tiap saat dalam siklus menstruasi.
Jumlah perdarahan bisa sedikit-sedikit atau terus menerus atau banyak dan
berulang. Pada siklus ovulasi biasanya perdarahan bersifat spontan, teratur dan
lebih bisa diramalkan serta seringkali disertai rasa tidak nyaman, sedangkan
pada anovulasi merupakan kebalikannya (Rudolp, A. 2006).

2.1.5. Terminologi yang Berkaitann dengan PUA


Berikut ini pola perdarahan yang berhubungan dengan perdarahan uterus
abnormal, diantaranya :
a. Metroragi : perdarahan antar mens
b. Menoragi (hipermenorea) : perdarahan mens yang berlebihan
c. Polimenorea : perdarahan mens yang abnormal seringnya
d. Oligomenorea : mens yang banormal jarangnya
e. Hipomenorea : perdarahan mens yang kurang
f. Amenorea : tidak ada mens
g. Perdarahan peri-menopause : perdarahan tidak teratur sebelum menopause
h. Perdarahan pasca-menopause : perdarahan yang terjadi 1 tahun atau lebih
sesudah menopause.

2.1.6. Klasifikasi PUA


A. Klasifikasi PUA berdasarkan jenis perdarahan (Munro, 2011)

6
1. Perdarahan uterus abnormal akut
Didefinisikan sebagai pendarahan haid yang banyak sehingga perlu
dilakukan penanganan segera untuk mencegah kehilangan darah.
Pendarahan uterus abnormal akut dapat terjadi pada kondisi.
2. Perdarahan uterus abnormal kronik
Merupakan terminologi untuk pendarahan uterus abnormal yang telah
terjadi lebih dari 3 bulan. Kondisi ini biasanya tidak memerlukan
penanganan yang segera seperti PUA akut.
3. Perdarahan tengah (intermenstrual bleeding)
Merupakan pendarahan haid yang terjadi diantara 2 siklus haid yang
teratur. Pendarahan dapat terjadi kapan saja atau dapat juga terjadi di
waktu yang sama setiap siklus. Istilah ini ditujukan untuk menggantikan
terminologi metroragia.
B. Pola perdarahan yang secara klinik dapat terjadi pada wanita usia 15-44
tahun
1) Scheduled bleeding : menstruasi atau perdarahan regular pada
penggunaan kontrasepsi hormonal kombinasi (menggunakan pembalut)
2) Unscheduled bleeding : prdarahan di luar siklus haid.
 Frequent bleeding : perdarahan lebih dari lima episode.
 Prolonged bleeding : satu atau lebih episode perdarahan yang
berlangsung selama 14 hari atau lebih.
 Irregular bleeding : perdarahan yang terjadi antara 3 dan 5
episode dengan kurang dari 3 hari bleeding free interval
berlangsung selama 14 hari atau lebih.
 Breakthrough bleeding (perdarahan sela) : perdarahan di luar
siklus haid (unscheduled bleeding) pada perempuan yang
menggunakan kontrasepsi hormonal.
3) Spotting (perdarahan bercak) : perdarahan yang tidak memerlukan
pembalut
C. Klasifikasi PUA berdasarkan penyebab perdarahan
Menurut FIGO (International Federation of Gynecology and Obstetrics),
terdapat 9 kategori utama yang disusun berdasarkan akronim “PALM-COEIN”
 Kelompok “PALM” adalah merupakan kelompok kelainan struktur
penyebab PUA yang dapat dinilai dengan berbagai teknik pencitraan dan
atau pemeriksaan histopatologi.

7
 Kelompok “COEIN” adalah merupakan kelompok kelainan non struktur
penyebab PUA yang tidak dapat dinilai dengan teknik pencitraan atau
histopatologi. PUA terkait dengan penggunaan hormon steroid seks
eksogen, AKDR, atau agen sistemik atau lokal lainnya diklasifikasikan
sebagai “iatrogenik”.
Berikut ini adalah penjabaran dari masing-masing jenis PUA :
1. Polip (PUA-P)
Polip adalah pertumbuhan endometrium berlebih yang bersifat lokal
mungkin tunggal atau ganda, berukuran mulai dari beberapa milimeter
sampai sentimeter. Polip endometrium terdiri dari kelenjar, stroma, dan
pembuluh darah endometrium (Kim, 2004). Polip biasanya bersifat
asimptomatik, tetapi dapat pula menyebabkan PUA. Lesi umumnya jinak,
namun sebagian kecil atipik atau ganas. Diagnosis polip ditegakkan
berdasarkan pemeriksaan USG dan atau histeroskopi, dengan atau tanpa
hasil histopatologi. Histopatologi pertumbuhan eksesif lokal dari kelenjar
dan stroma endometrium yang memiliki vaskularisasi dan dilapisi oleh
epitel endometrium (Affandi, 2010; Saifuddin, 2010).
2. Adenomiosis (PUA-A)
Merupakan invasi endometrium ke dalam lapisan miometrium,
menyebabkan uterus membesar, difus, dan secara mikroskopik tampak
sebagai endometrium ektopik, non neoplastik, kelenjar endometrium, dan
stroma yang dikelilingi oleh jaringan miometrium yang mengalami
hipertrofi dan hiperplasia (Marret, 2010; Munro, 2011). Ditandai dengan
nyeri haid, nyeri saat senggama, nyeri menjelang atau sesudah haid,
nyeri saat buang air besar, atau nyeri pelvik kronik. Gejala nyeri tersebut
dapat disertai dengan perdarahan uterus abnormal (Saifuddin, 2010).
Kriteria adenomiosis ditentukan berdasarkan kedalaman jaringan
endometrium pada hasil histopatologi. Adenomiosis dimasukkan ke
dalam sistem klasifikasi berdasarkan pemeriksaan MRI dan USG. Hasil
USG menunjukkan jaringan endometrium heterotopik pada miometrium
dan sebagian berhubungan dengan adanya hipertrofi miometrium. Hasil
histopatologi menunjukkan dijumpainya kelenjar dan stroma endometrium
ektopik pada jaringan miometrium (Saifuddin, 2010).

8
3. Leiomioma (PUA-L)
Leiomioma adalah tumor jinak fibromuscular pada permukaan
myometrium. Berdasarkan lokasinya, leiomioma dibagi menjadi:
submukosum, intramural, subserosum (Munro, 2011). Prevalensi dari
mioma adalah 70% pada wanita kaukasian dan 80% pada wanita
keturunan Africa. Gejala yang sering muncul diantaranya perdarahan
uterus abnormal dan penekanan terhadap organ sekitar uterus atau
benjolan dinding abdomen. Pertimbangan dalam membuat sistem
klasifikasi mioma uteri yakni hubungan mioma uteri dengan endometrium
atau serosa lokasi, ukuran, serta jumlah mioma uteri (Affandi, 2010;
Saifuddin, 2009.
4. Malignancy and Hyperplasia (PUA-M)
Hiperplasia endometrium adalah pertumbuhan abnormal berlebihan
dari kelenjar endometrium. Gambaran dari hiperplasi endometrium dapat
dikategorikan sebagai (Affandi, 2010; Saifuddin, 2009: hiperplasi
endometrium simpleks non atipik dan atipik, dan hiperplasia
endometrium kompleks non atipik dan atipik (Baak, 2005; Salman, 2010).
Diagnosa pasti ditegakkan berdasarkan pemeriksaan histopatologi .
5. Coagulopathy (PUA-C)
Terminologi koagulopati digunakan untuk merujuk kelainan
hemostasis sistemik yang mengakibatkan PUA (Munro, 2011). Tiga belas
persen perempuan dengan perdarahan haid banyak memiliki kelainan
hemostatis sistemik, dan yang paling sering ditemukan adalah penyakit
von Willebran (Saifuddin, 2010).
6. Ovulatory dysfunction (PUA-O)
Kegagalan terjadinya ovulasi yang menyebabkan ketidakseimbangan
hormonal yang dapat menyebabkan terjadinya pendarahan uterus
abnormal (Munro, 2011). Gejala bervariasi mulai dari amenorea,
perdarahan ringan dan jarang, hingga perdarahan haid banyak.
Gangguan ovulasi dapat disebabkan oleh sindrom ovarium polikistik,
hiperprolaktenemia, hipotiroid, obesitas, penurunan berat badan,
anoreksia atau olahraga berat yang berlebihan (Saifuddin, 2010)
7. Endometrial (PUA-E)
Pendarahan uterus abnormal yang terjadi pada perempuan dengan
siklus haid teratur akibat gangguan hemostasis lokal endometrium

9
(Munro, 2011). Adanya penurunan produksi faktor yang terkait
vasokonstriksi seperti endothelin-1 dan prostaglandin F2α serta
peningkatan aktifitas fibrinolitik. Gejala lain kelompok ini adalah
perdarahan tegah atau perdarahan yang berlanjut akibat gangguan
hemostasis lokal endometrium. Diagnosis PUA-E ditegakkan setelah
menyingkirkan gangguan lain pada siklus haid yang berovuasi (Saifuddin,
2010).
8. Iatrogenik (PUA-I)
Pendarahan uterus abnormal yang berhubungan dengan penggunaan
obat-obatan hormonal (estrogen, progestin) ataupun non hormonal (obat-
obat antikoagulan) atau AKDR (Munro, 2011). Perdarahan haid diluar
jadwal yang terjadi akibat penggunaan estrogen atau progestin
dimasukkan dalam istilah perdarahan sela atau breakthrough bleeding.
Perdarahan sela terjadi karena rendahnya konsentrasi estrogen dalam
sirkulasi yang disebabkan oleh sebagai berikut (Saifuddin, 2010):
o Pasien lupa atau terlambat minum pil kontrasepsi.
o Pemakaian obat tertentu seperti rifampisin.
o Perdarahan haid banyak yang terjadi pada perempuan pengguna
anti koagulan (warfarin, heparin, dan low molecular weight heparin)
dimasukkan ke dalam klasifikasi PUA-C.
9. Not yet classification (PUA-N)
Kategori ini dibuat untuk penyebab lain yang jarang atau sulit
dimasukkan dalam klasifikasi (misalnya adalah endometritis kronik atau
malformasi arteri-vena) (Munro, 2011). Kelainan tersebut masih belum
jelas kaitannya dengan kejadian PUA.

2.1.7. Penatalaksanaan PUA


A. Pengobatan Non Hormonal
1. Asam Traneksamat
Obat ini bersifat inhibitor kompetitif pada aktivasi plasminogen.
Plasminogen akan diubah menjadi plasmin yang berfungsi untuk
memecah fibrin menjadi fibrin degradation product (FDPs). Oleh karena
itu obat ini berfungsi sebagai agen anti fibrinolitik. Obat ini akan
menghambat faktor-faktor yang memicu terjadinya pembekuan darah,
namun tidak menimbulkan kejadian trombosis. Perdarahan menstruasi

10
melibatkan pencairan darah beku dari arteriol spinal endometrium, maka
pengurangan dari proses ini dipercaya sebagai mekanisme penurunan
jumlah darah mens. Penggunaan asam traneksamat saat haid mampu
menurunkan jumlah perdarahan hingga 40-50%. Efek samping :
gangguan pencernaan, diare, sakit kepala. Dosisnya untuk perdarahan
mens yang berat adalah 1g (2x500mg) dari awal perdarahan hingga 4
hari (Baziad, 2008; Prawirohardjo, 2011).
2. Obat Anti Inflamasi Non Stroid (NSAID)
Kadar prostaglandin pada endometrium penderita gangguan haid
akan meningkat. NSAID ditujukan untuk menghambat siklooksigenase,
dan akan menurunkan sintesa prostaglandin pada endometrium.
Prostaglandin mempengaruhi reaktivitas jaringan lokal dan terlibat dalam
respon inflamasi, jalur nyeri, perdarahan uterus, dan kram uterus. NSAID
dapat mengurangi jumlah darah haid hingga 20-50 persen. Pemberian
NSAID dapat dimulai sejak perdarahan hari pertama atau sebelumnya
hingga perdarahan yang banyak berhenti. Efek samping : gangguan
pencernaan, diare, perburukan asma pada penderita yang sensitif, ulkus
peptikum hingga kemungkinan terjadinyaperdarahandan peritonitis. Asam
mefenamat dan ibuprofen termasuk dalam kelompok obat NSAID.
Pemberian asam mefenamat adalah per oral dengan dosis 3x500 mg per
hari , sedangkan ibuprofen dapat diberikan dengan dosis 600-1200 mg
per hari (Baziad, 2008; Prawirohardjo, 2011).

B. Pengobatan Hormonal
1. Estrogen
Terapi estrogen dapat diberikan dalam 2 bentuk, intravena atau oral,
tetapi sediaan intravena aulit didapatkan di Indonesia. Pemberian
estrogen oral dosis tinggi cukup efektif untuk mengatasi PUD, yaitu
estrogen konjugasi dengan dosis 1,25 mg atau 17 β estradiol 2 mg setiap
6 jam selama 24 jam. Setelah perdarahan berhenti dilanjutkan dengan
pemberian pil kontrasepsi kombinasi. Rasa mual bisa terjadi pada
pemberian terapi estrogen (Prawirohardjo, 2011).
2. Progesteron
Pemberian progesteron dapat menyeimbangkan pengaruh estrogen
terhadap endometrium karena perdarahan uterus abnormal sebagian

11
besar bersifat anovulator (Wiknjosastro, 2009). Progestin diberikan
selama 14 hari kemudian berhenti tanpa obat selama 14 hari, diulang
selama 3 bulan. Progestin biasanya diberikan bila ada kontraindikasi
terhadap estrogen. Saat ini tersedia beberapa sediaan progestin oral
yang biasa digunakan yaitu medroksi progesteron asetat (MPA) dengan
dosis 2x10 mg, noretisteron asetat dosis 2x5 mg, didrogesteron dosis
2x10 mg dan normegestrol asetat dosis 2x5 mg (Prawirohardjo, 2011).
3. Kombinasi estrogen-progesteron
Perdarahan akut dan banyak akan membaik bila diobati dengan
kombinasi estrogen dan progesteron dalam bentuk pil kontrasepsi. Dosis
dimulai dengan 2x1 tablet selama 5-7 hari dan setelah terjadi perdarahan
lucut dilanjutkan 1x1 tablet selama 3-6 siklus. Dapat pula diberikan
dengan dosisi tapering 4x1 tablet selama 4 hari, diturunkan dosis menjadi
3x1 tablet selama 3 hari, 2x1 tablet selama 2 hari, 1x1 tabelt selama 3
minggu kemudian berhenti tanpa obat selama 1 minggu, dilanjutkan pil
kombinasi 1x1 tablet selama 3 siklus(Prawirohardjo, 2011).
4. Androgen
Merupakan pilihan lain bagi penderita yang tidak cocok dengan
estrogen dan progesteron. Sediaan yang dapat dipakai antara lain adalah
proprionas testoterondan metil testoteron. Androgen mempunyai efek
baik terhadap perdarahan yang disebabkan hiperplasia endometrium.
Namun terapi ini tidak dapat digunakan terlalu lama mengingat bahaya
virilisasi. Dapat diberikan propionas testosteron 50 mg intramuskulus
yang dapat diulangi 6 jam kemudian dan z 5 mg sehari (Wiknjosastro,
2009).
5. Agonis Gonadotropin Releasing Hormone (GnRH)
Obat ini bekerja dengan cara mengurangi reseptor GnRH pada
hipofisis melalui mekanisme down regulation terhadap reseptor dan efek
pasca reseptor, yang akan mengakibatkan hambatan pada pelepasan
hormon gonadotropin. Pemberian obat ini biasanya ditujukan pada wanita
dengan kontraindikasi untuk operasi. Obat ini dapat membuat penderita
menjadi amenorea. Dapat diberikan luprolid acetate 3.75 mg
intramuskular setiap 4 minggu, namun pemberiannya dianjurkan tidak
lebih dari 6 bulan karena terjadi percepatan demielinisasi tulang. Apabila
pemberiannya melebihi 6 bulan, maka dapat diberikan tambahan terapi

12
estrogen dan progestin dosis rendah (add back therapy). Efek samping
biasanya muncul pada penggunaan jangka panjang, yakni : keluhan-
keluhan mirip wanita menopause (misalkan hot flushes, keringat yang
bertambah, kekeringan vagina), osteoporosis (terutama tulang-tulang
trabekular apabila penggunaan GnRH agonis lebihdari 6 bulan) (Munro et
al., 2011).

C. Pengobatan Operatif
Untuk tujuan menghentikan perdarahan, tindakan curretase ternyata berhasil
mengatasi keadaan 40-60% kasus PUD. Tetapi tindakan curretase bukan
merupakan pilihan utama dalam penatalaksanaan PUD karena tindakan ini
menyelesaikan proses pada organ sasaran tanpa melihat patofisiologinya.
Pada penderita yang belum menikah, apabila tidak terpaksa, tindakan
curretase tidak dianjurkan. Sebaliknya pada usia perimenopause tindakan
curretase ini masih menjadi pilihan apabila selain untuk maksud diagnostik
juga untuk keperluan terapetik dan terapi hormonal tak berhasil. Histerektomi
hanya dilakukan atas indikasi kegagalan curretase terapetik maupun
keganasan (Baziad, 2008).

2.2. Adenomiosis Uteri


2.2.1. Definisi Adenomiosis
Istilah adenomiosis berasal dari istilah adeno (kelenjar), myo (otot) dan
osis (kondisi) atau dikenal sebagai "Endometriosis Rahim”. Endometriosis rahim
adalah adenomiosis jinak dan tidak menyebabkan kanker. Paling umum,
penyakit tersebut mempengaruhi dinding belakang (sisi belakang) dari rahim.
Sel-sel endometrium menembus jauh ke dalam otot rahim (miometrium)
(Smeltzer, 2002). Adenomiosis adalah suatu keadaan dimana jaringan
endometrium yang merupakan lapisan bagian dalam rahim, ada dan tumbuh di
dalam dinding (otot) rahim. Biasanya terjadi di akhir2 masa usai subur dan pada
wanita yang telah melahirkan (Hall, 2006). Adenomyosis adalah penetrasi dan
bertumbuhnya jaringan endometrium (jaringan yang melapisi dinding dalam
rahim) ke dalam myometrium (lapisan otot rahim), sering disebut pula dengan
endometriosis internal (Boback, 2004).

13
2.2.2. Etiologi Adenomiosis
Penyebab terjadinya Adenomiosis masih belum diketahui secara pasti,
namun berdasarkan literatur terdapat beberapa hal yang diduga sebagai
tersangka penyebab, diantaranya (Hall, 2006):
A. Jaringan endometrium yang menyusup ke dinding rahim
Ini terjadi contohnya saat dilakukan operasi cesar, sel endometrium
menyusup ke dinding rahim, lalu tumbuh dan berkembang disana. Beberapa
ahli percaya bahwa adenomiosis hasil dari invasi langsung dari sel-sel
endometrium dari permukaan rahim ke dalam otot yang membentuk dinding
rahim. Insisi uterus dilakukan selama operasi seperti operasi caesar (C-
section) mempromosikan invasi langsung dari sel-sel endometrium ke dalam
dinding rahim.
B. Teori pertumbuhan
Diyakini sejak awal, jaringan endometrium ini memang sudah ada saat
janin mulai tumbuh. ahli lainnya berspekulasi adenomiosis yang berasal
dalam otot rahim dari jaringan endometrium disimpan di sana ketika rahim
pertama kali terbentuk pada janin perempuan.
C. Peradangan rahim akibat proses persalinan
Teori ini menyatakan ada hubungan antara adenomiosis dan proses
persalinan. Proses deklamasi endometrium pada periode paska persalinan
bisa menyebabkan pecahnya/putusya ikatan sel pada endometrium.
Berdasarkan teori di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa faktor risiko
terkena adenomiosis bisa berasal dari dari riwayat persalinan dengan operasi
caesar maupun riwayat persalinan normal.

14
2.2.3. Faktor Risiko
Berikut ini beberapa hal yang dapat menjadi faktor risiko terkena
adenomiosis, yaitu (Hall, 2006):
a. Sebelum operasi rahim, seperti bagian-C atau penghapusan fibroid
b. Melahirkan
c. Trauma pembedahan
d. Kebisaan kesehatan
e. Menstruasi

2.2.4. Patofisiologi Adenomiosis


Penyakit ini disebabkan oleh tumbuhnya endometrium (selaput lender
rahim) di tempat yang tidak semestinya. Akibatnya jaringan tempat tumbuhnya
selaput lendir yang abnormal ini rusak, meradang, dan menimbulkan rangsang
nyeri. Jadi penyakit ini sejenis dengan endometriosis. Adenomyosis dapat ada
bersamaan dengan endometriosis eksternal. Dan jaringan endometrium yang
salah tempat ini, seperti endometrium yang normal, akan mengikuti siklus
menstruasi, jadi cenderung mengalami pendarahan pada saat menstruasi. Darah
yang terkumpul di dalam jaringan otot rahim ini akan menyebabkan
pembengkakan; rahim menjadi lebih besar. Pembengkakan (adenomyosis) ini
dapat merata atau terfokus di satu tempat. Jika pembengkakan ini terfokus di
satu tempat maka disebut sebagai adenomyoma, yang mana menyerupai tumor
rahim lainya (Hall, 2006).
Adenomiosis dapat berupa bercak-bercak di selaput lendir rongga perut
(peritoneum), benjolan (nodul), maupun cairan yang terkumpul dalam bentuk
kista indung telur. Adenomiosis sering kali menimbulkan nyeri yang lebih hebat
dan gangguan infertilitas yang lebih berat Selama wanita tersebut masih
mendapatkan haid, maka pada saat yang bersamaan jaringan endometrium
abnormal juga mengalami reaksi peluruhan yang menimbulkan perdarahan
(Smeltzer, 2002).

2.2.5. Manifestasi Klinik


Adenomyosis tidak memunculkan gejala yang sama pada setiap
penderitanya. Berikut ini beberapa gejala yang dapat dialami oleh wanita yang
menderita adenomyosis, diantaranya yaitu (Hall, 2006):

15
a. Triad gejala yakni pembesaran rahim, nyeri pelvis dan menstruasi yang
banyak dan abnormal.
b. Nyeri, yang dirasakan terutama selama menstruasi disebut dysmenorrhea
dapat berupa kram yang hebat atau seperti disayat pisau. Nyeri dapat juga
dirasakan pada saat tidak sedang menstruasi.
c. Pembesaran rahim dapat merata dengan tonjolan-tonjolan rahim yang
besar atau dapat pula seperti “tumor” yang terlokalisir.
d. Pendarahan pada saat menstruasi dapat banyak sekali dan berhari-hari,
mungkin dengan bekuan-bekuan darah. Pendarahan yang hebat ini dapat
menyebabkan anemia (berkurangnya kadar Hemoglobin dalam sel darah
merah). Selain itu diluar saat menstruasi bisa ada pendarahan abnormal
(pendarahan sedikit-sedikit, bercak-bercak).

2.2.6. Pemeriksaan Diagnostik


Pemeriksaaan yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosa
adenomyosis diantaranya adalah sebagai berikut (Hall, 2006; Juall, 2008):
a. Histerosalpingogram: suatu pemeriksaan roentgen daerah panggul setelah
suatu kontras dimasukkan ke dalam dinding rahim.
b. Pemeriksaan MRI: mendeteksi adanya adenomyosis dan seberapa luas
adenomyosis dan juga dapat membedakannya dari fibroid. Pemeriksaan
MRI panggul ini harus dikerjakan dengan media kontras Gadolinium yang
disuntikkan ke pembuluh darah.
c. USG transvaginal: USG yang alatnya dimasukkan ke dalam vagina.

2.2.7. Penatalaksanaan
Penderita adenomyosis seringkali mengalami pembesaran rahim yang
tidak begitu besar dan biasanya tidak menimbulkan gejala dan karenanya tidak
diperlukan obat-obatan (Smeltzer, 2002; Potter & Perry, 2005). Namun,
adenomyosis juga seringkali dapat menimbulkan rasa nyeri yang hebat dan
perdarahan yang berlebihan, maka dapat dilakukan beberapa terapi berikut ini
(Smeltzer, 2002; Boback, 2004):
1. Danazol
Adalah merupakan steroid sintesis yang berasal dari ethisterone.
Danazol dapat digunakan untuk sejumlah masalah medis yang berbeda

16
misalnya nyeri karena endometriosis, perkembangan penyakit yang
mengarah pada kista payudara, serta angioedema herediter.
2. Obat GnRH agonis
Untuk kasus-kasus pendarahan hebat disertai nyeri yang amat sangat
dapat dipakai obat GnRH agonis (menyebabkan suatu keadaan seperti
menopause dengan penghentian fungsi indung telur secara lengkap dan
juga menghentikan menstruasi, yang menyebabkan jaringan yang
abnormal bisa menyusut). Keadaan seperti menopause ini sangat
menguntungkan bagi penderita yang mengalami anemia karena
memungkinkan penderita untuk memulihkan anemianya, terutama dibantu
dengan obat-obatan penambah darah.
3. Hysterectomy (operasi pengangkatan rahim)
Saat ini dipertimbangkan sebagai satu-satunya terapi yang efektif
untuk mengangkat sebagian dari rahim (hanya daerah rahim yang
mengandung adenomyosis saja). Meskipun hanya sebagian rahim yang
diangkat tetapi dengan begitu maka tidak dibolehkan lagi adanya
kehamilan.

2.3. Dismenore
Dismenore didefinisikan sebagai sensai nyeri yang hebat di perut bagian
bawah dan dosertai gejala biologis lain seperti berkeringat, frekuensi nadi tinggi,
sakit kepala, mual, muntah, diare, dan merinding yang terjadi sebelum atau
selama siklus menstruasi (Katz et al, 2007). Secara garis besar, dismenore
dikelompokka menjadi dua jenis, yaitu dismenore primer dan dismenore
sekunder.
a. Dismenore Primer
Dismenore primer terjadi beberapa waktu setelah menarche biasanya
setelah 12 bulan atau lebih. Oleh karena itu, siklus-siklus menstruasi pada
bulan-bulan pertama setelah menarche umumnya berjenis anovulatoir yang
tidak disertai dengan rasa nyeri. Sifat rasa nyeri adalah kejang berjangkit-
jangkit, biasanya terbatas pada perut bawah, tetapi dapat menyebar ke
daerah pinggang dan paha. Bersamaan rasa nyeri dapat dijumpai rasa
mual, muntah, sakit kepala, diare, iritabilitas, dan sebagainya (Simanjuntak,
2007). Nyeri tersebut timbul sebagai akibat dari pelepasan prostaglandin
ketika terjadi peluruhan sel-sel endometrium. Pelepasan prostaglandin

17
tersebut menyebabkan uterus mengalami iskemik melalui kontraksi
miometrium dan vasokonstriksi (Holder et al, 2011).
b. Dismenore Sekunder
Dismenore sekunder adalah dismenore yang disertai dengan kelainan
ginekologi pada alat-alat genital (Simanjuntak, 2007). Dismenore sekunder
sering dikira sebagai dismenore primer apabila tidak diperiksa lebih lanjut.
Hal ini karena munculnya gejala akibat kelainan ginekologinya tidak
menentu kapan terjadi. Penyebab dismenore sekunder antara lain :
1) Endometriosis
2) Adenomiosis uteri
3) Salpingitis
4) Stenosis serviks uteri
5) Lain-lain
Oleh karena itu, nyeri yang timbul akan semakin hebat dan tidak menentu
dikarenakan pelepasan prostaglandin menjadi tidak terkontrol sebagai efek
inflamasi dari kelainan ginekologi yang diderita (Holder et al, 2011). Derajat nyeri
yang dialami wanita saat menstruasi berbeda-beda satu sama lain. Derajat nyeri
dapat diklasifikasikan sebagai berikut (Katz et al, 2007):
a. Dismenore derajat ringan
Nyeri ringan tanpa gejala sistemik, jarang membutuhkan pengobatan,
dan jarang mengganggu pekerjaan saat menstruasi.
b. Dismenore derajat sedang
Nyeri sedang diikuti beberapa gejala sistemik, membutuhkan
pengobatan, dan mengganggu pekerjaan saat menstruasi.
c. Dismenore derajat berat
Nyeri hebat diikuti banyak gejala sistemik, respon buruk terhadap
pengobatan, dan sangat menghalangi pekerjaan saat menstruasi.
Dismenore yang dialami wanita saat menstruasi sering kali mengganggu
bahkan sangat menghalangi aktivitasnya. Beberapa cara dilakukan untuk
mengurangi dan atau menghilangkan kondisi dismenore tersebut. Penanganan
dismenore sendiri harus tepat berdasarkan jenis dan derajatnya. Adapun
penanganan dismenore primer hanya ditujukan untuk mengurangi atau
menghentikan pelepasan prostaglandin, sedangkan penangan dismenore
sekunder selain ditujukan untuk mengurangi atau menghentikan pelepasan
prostaglandin juga lebih didasarkan pada penyakit penyebabnya itu sendiri.

18
Beberapa bentuk penanganan yang dapat diterapkan pada pasien dismenore,
khususnya sekunder antara lain :
a. Edukasi
b. Pemberian analgesik
c. Terapi hormonal
d. Terapi obat nonsteroid anti prostaglandin
e. Dilatasi canalis servicalis
f. Pemberian kontrasepsi kombinasi
g. Pemberian guaifenesin
h. Akupuntur
i. Pembedahan konservatif atau radikal

19

Anda mungkin juga menyukai