Anda di halaman 1dari 20

KEDUDUKAN KEJAKSAAN DALAM STRUKTUR

KETATANEGARAAN INDONESIA

Ferdinand Chandra A. (81921967)

Fakultas Hukum Universitas Pendidikan Nasional

ABSTRAK
Kejaksaan merupakan salah satu lembaga yang memiliki peranan penting dalam peradilan.
Kedudukan serta posisinya yang selama ini diatur dalam Undang-Undang No.16 Tahun 2004
tentang Kejaksaan Republik Indonesia (selanjutnya disebut UU Kejaksaan) ternyata memunculkan
pertanyaan serta perdebatan. Selama ini pengaturan kedudukan Kejaksaan tidak diatur secara tegas
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 hanya disebut secara eksplisit
dalam Pasal 24 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945. Namun pada UU Kejaksaan, tempat dari kejaksaan
sendiri ditempatkan di ranah eksekutif pada Pasal 2 ayat (1) nya. Pasal 2 ayat (1) Undang –Undang
Kejaksaan No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan menyebutkan bahwa Kejaksaan adalah lembaga
pemerintah yang melaksanakan kekuasaan Negara dibidang penuntutan serta kewenangan lain
yang berdasarkan undang-undang. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dengan
spesifikasi penelitian yang bersifat preskriptif analitis. Jenis data yang digunakan dalam penelitian
ini adalah data sekunder, yaitu data yang diperoleh melalui bahan hukum primer, sekunder dan
tersier. Simpulan dari analisis ini adalah Untuk mewujudkan kekuasaan penuntutan yang
independen maka perlu untuk melakukan reposisi kedudukan Kejaksaan Republik
Indonesia. Reposisi yang dimaksud dalam hal ini dalah menempatkan Kejaksaan Republik
Indonesia sebagai bagian dari kekuasaan kehakiman yang murni dan terbebas dari intervensi
kekuasaan politik dengan cara mencantumkan Kejaksaan Republik Indonesia secara eksplisit
kedalam pasal di Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau dengan
merevisi Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan

Kata Kunci : Kejaksaan, lembaga pemerintah, kedudukan lembaga.

ABSTRACT
The prosecutor's office is an institution that has an important role in the judiciary. The position that has been
regulated in Law No.16 of 2004 concerning the Republic of Indonesia Public Prosecutors Office have raised
questions and debates. So far, the regulation of the position of the Prosecutor's Office is not explicitly regulated
in the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia, it is only mentioned explicitly in Article 24 paragraph
(3) of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia. However, in the Law on the Prosecution, the place of
the prosecutor itself is placed in the executive domain in Article 2 paragraph (1). Article 2 paragraph (1) Law
No. 16 of 2004 concerning the Attorney General's Office states that the Attorney General's Office is a
government institution that exercises State powers in the field of prosecution and other powers based on law.
This study uses a normative juridical method with a prescriptive analytical research specification. The type of
data used in this study is secondary data, namely data obtained through primary, secondary and tertiary legal
materials. The conclusion of this analysis is that in order to achieve an independent prosecutorial power, it is
necessary to reposition the position of the Republic of Indonesia Prosecutor's Office. The repositioning referred
to in this case is placing the Attorney General's Office of the Republic of Indonesia as part of pure judicial
power and free from interference from political power by including the Attorney General's Office of the Republic
of Indonesia explicitly in the articles in the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia or by revising the
Law. Number 16 of 2004 concerning the Attorney General's Office

Keywords: Attorney General's Office, government agencies, position of institution.


I. Pendahuluan
Indonesia sebagai negara hukum memiliki ciri khas tersendiri bila dihadapkan
dengan konsep negara hukum rechtsstaat maupun konsep negara hukum the rule of
law. Meskipun memiliki kesamaan tujuan dalam hal untuk melawan kesewenang-
wenangan atau absolutisme penguasa tetapi konsep negara hukum di Indonesia
berpijak dan berpedoman pada ideologi bangsa yang berbeda dengan ideologi lain
seperti kapitalisme, liberalisme maupun sosialisme, ideologi bangsa tersebut yaitu
Pancasila. Negara hukum Indonesia mempunya ciri khas tersendiri yang sedikit
berbeda dengan negara lain. Hanya untuk prinsip umumnya, seperti terjaminnya Hak
Asasi Manusia, pemisahan ataupun pembagian kekuasaan, adanya kedaulatan rakyat,
terselenggaranya pemerintahan yang berpijak pada aturan hukum yang ada serta
adanya peradilan administrasi negara masih digunakan sebagai sebuah dasar untuk
tertujunya negara hukum di Indonesia. Pada sistem peradilan pidana, terdapat tahapan
penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di pengadilan serta pelaksanaan
putusan. Dengan melihat hal tersebut maka bagian-bagian dalam sistem peradilan
pidana terdiri dari kepolisian, kejaksaan, pengadilan serta lembaga pemasyarakatan.

Seorang jaksa harus bertanggung jawab secara hierarkis kepada jaksa yang ada di
atasnya, dan Jaksa Agung selaku pimpinan lembaga kejaksaan juga harus bertanggung
jawab kepada Presiden. Kedudukan kejaksaan yang dipimpin Jaksa Agung demikian
ini membuat kejaksaan kurang efektif dalam proses penegakan hukum. Indonesia yang
dalam konstitusinya menyatakan sebuah negara hukum wajib menjamin terlaksananya
asas-asas umum sebuah negara hukum. Salah satu dari asas-asas tersebut adalah
adanya lembaga peradilan yang mandiri.

Peradilan dalam sebuah sistem tentunya meliputi polisi, jaksa, dan hakim. Oleh
karena itu, seharusnya negara menjamin kemandirian ketiga aparat hukum tersebut.
Terutama dalam hal ini adalah lembaga kejaksaan dalam menjalankan fungsi, tugas,
dan kewenangannya dalam sebuah peraturan perundang-undangan.

Pada sistem peradilan pidana, peran dari kejaksaan benar-benar penting sebab
menjadi penentu apakah suatu subjek hukum harus dilakukan pemeriksaan oleh
pengadilan atau tidak. Keberadaan Kejaksaan ini diatur dalam Undang-Undang
Kejaksaan Republik Indonesia ( selanjutnya disebut dengan UU Kejaksaan) yakni UU
no.16 Tahun 2004. Pada aturan ini menjelaskan secara jelas mengenai kewenangan
dalam menjalankan kekuasaan negara dalam hal atau bidang penuntutan tersebut
dilaksanakan oleh kejaksaan. Selain memiliki peran dalam peradilan pidana, lembaga
tersebut juga memiliki peran pula dalam hal keperdataan, dan juga tata usaha Negara
yakni mewakili Negara atau pemerintah dalam hal perdata dan tata usaha Negara.
Kejaksaan berperan melaksanakan kewenangan itu dalam hal penuntutan dan juga
menjalankan putusan pengadilan dan wewenang lain berdasar pada peraturan
perundang-undangan.

Di Indonesia, kekuasaan yudikatif lazim disebut dengan kekuasaan kehakiman.


Menurut Penjelasan Pasal 24 ayat (1) Undang - Undang Dasar 1945, Kekuasaan
Kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka, artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan
pemerintah. Semua lembaga peradilan yang ada di Indonesia identik disebut dengan
Kekuasaan Kehakiman. Menurut Pasal 24 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, Kekuasaan
Kehakiman merupakan “kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan
guna menegakkan hukum dan keadilan.” Dari ketentuan Pasal tersebut tidak
ditemukan adanya batasan pengertian mengenai kekuasaan kehakiman. Ketentuan
mengenai “badan - badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman
diatur dalam undang-undang” diatur dalam Pasal 38 ayat (3) Undang - Undang
Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (selanjutnya
disebut sebagai Kekuasaan Kehakiman Tahun 2009). Penjelasan Pasal 38 ayat (3) UU
Kekuasaan Kehakiman Tahun 2009 tersebut di atas, yang dimaksud “badan-badan lain”
antara lain Kepolisian, Kejaksaan, Advokat dan Lembaga Pemasyarakatan.

Pasal 2 ayat (1) UU Kejaksaan Tahun 1991 menyatakan bahwa Kejaksaan adalah satu
satunya lembaga pemerintahan pelaksana kekuasaan negara yang mempunyai tugas
dan wewenang di dalam bidang penuntutan dalam penegakan hukum dan keadilan di
lingkungan peradilan umum. Dari penjelasan Pasal tersebut diketahui bahwa
kedudukan Kejaksaan merupakan bagian dari organ kehakiman, namun berdasarkan
Pasal 2 ayat (1) UU Kejaksaan Tahun 1991 sebagaimana telah dijelaskan di atas,
Kejaksaan adalah satu satunya lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan
negara di bidang penuntutan.

Dari banyaknya aturan-aturan mengenai kejaksaan, dapat dilihat mengenai


kedudukannya dalam sistem hukum Negara ini sangatlah penting. Tidaklah dapat
disangkal bahwasanya kejaksaan sendiri dalam melaksanakan tugas serta fungsinya
tidaklah berdiri sendiri justru malah berkemungkinan untuk dipengaruhi oleh pihak
lain. Melihat dari UUD NRI 1945 dan juga UU Kejaksaan, ternyata terdapat perbedaan
anggapan dalam hal dimana kedudukan kejaksaan itu sebenarnya. Padahal, dari segi
fungsi sendiri Kejaksaan memiliki fungsi yang sangat sentral.
II. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif yang bersifat


preskriptif. Penelitian hukum normatif yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan
cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer
dan bahan hukum sekunder. Dalam penelitian ini, sifat penelitian yang digunakan
adalah preskriptif. Penelitian bersifat preskriptif, yaitu suatu ilmu yang mempelajari
tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum dan
norma-norma hukum. Sebagai ilmu yang bersifat preskriptif, penelitian hukum yang
dalam hal ini bukan hanya sekedar menetapkan aturan yang ada, melainkan juga
menciptakan hukum untuk mengatasi masalah yang dihadapi. Pendekatan yang
penulis gunakan adalah pendekatan undang-undang (statute approach). Pendekatan
undang-undang dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang
bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang dibahas. Penelitian ini menggunakan
sumber bahan hukum primer dan sekunder. Bahan hukum primer terdiri dari peraturan
perundang-undangan, catatan-catatan resmi, atau risalah dalam pembuatan undang-
undang, dan putusan-putusan hakim. Sedangkan bahan hukum sekunder berupa
semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi.
Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku, teks, kamus-kamus hukum, jurnal
hukum, dan komentar-komentar atas putusan pengadilan. Teknik analisis data yang
dipergunakan peneliti dalam penelitian ini adalah teknik analisis data yang bersifat
content analysis yaitu teknik analisis data dengan cara mengkaji suatu data sekunder
yang sudah dikumpulkan agar disusun, kemudian dijelaskan dari materi perundang-
undangan
III. Hasil dan Pembahasan
1. Kedudukan Kejaksaan berdasarkan Perundang-Undangan

Dalam perspektif teori Hukum Tata Negara dan Ilmu Politik, terdapat tiga cabang dan
fungsi kekuasaan dalam Negara, yaitu Cabang Kekuasaan Legislatif dengan fungsi “law
making”, Cabang Kekuasaan Eksekutif dengan fungsi “law executing”, dan Cabang
Kekuasaan Yudikatif dengan fungsi “law enforcement”. Montesquieu (1689 – 1785)
mengidealkan ketiga fungsi kekuasaan Negara itu dilembagakan masing – masing ke dalam
tiga cabang kekuasaan atau organ Negara. Satu organ atau cabang kekuasaan hanya boleh
menjalankan satu fungsi dan tidak boleh mencampuri urusan masing – masing cabang
kekuasaan dalam arti yang mutlak. Jika tidak demikian, maka kebebasan akan terancam.
Konsepsi yang kemudian disebut dengan Trias Politica tersebut, pada satu sisi
dipandang sudah tidak relevan dengan kondisi negara dewasa ini mengingat tidak
mungkin lagi mempertahankan bahwa ketiga cabang kekuasaan tersebut hanya berurusan
secara eksklusif dengan salah satu dari ketiga cabang kekuasaan tersebut. Kenyataan
dewasa ini menunjukkan bahwa hubungan antar cabang kekuasaan itu tidak mungkin
tidak saling berkorelasi, bahkan ketiganya berkedudukan sederajat dan saling
mengendalikan satu sama lain sesuai dengan prinsip checks and balances. Pada sisi lain,
perkembangan masyarakat, baik secara ekonomi, politik maupun sosial budaya serta
pengaruh global, menghendaki struktur organisasi negara lebih responsif terhadap
tuntutan masyarakat serta lebih efektif dan efisien dalam melaksanakan pelayanan publik
guna mencapai tujuan penyelenggaraan pemerintahan.
Dari perkembangan tersebut lahir kemudian berbagai lembaga Negara sebagai bentuk
eksperimentasi kelembagaan (institutional experimentation) berupa Dewan (council) ;
Komisi (commission) ; Komite (committee) ; Badan (board) atau Otorita (authority).
Lembaga – lembaga baru tersebut biasa disebut sebagai lembaga negara yang bersifat
penunjang (state auxiliary organs atau auxiliary institutions). Di antara lembaga-lembaga
tersebut, ada yang disebut sebagai self regulatory agencies, independent supervisory
bodies, atau lembaga-lembaga yang menjalankan fungsi campuran (mix-function) antara
fungsi-fungsi regulatif, administratif, dan fungsi penghukuman yang biasanya dipisahkan
tetapi justru dilakukan secara bersamaan oleh lembaga-lembaga baru tersebut. Bahkan ada
pula di antara lembaga-lembaga itu yang disebut sebagai quasi non-governmental
organization.
Berkembangnya demikian banyak lembaga-lembaga yang bersifat independen tersebut
mencerminkan adanya kebutuhan untuk mendekonsentrasikan kekuasaan dari tangan
birokrasi ataupun organ-organ konvensional pemerintahan tempat kekuasaan selama
masa-masa sebelumnya terkonsentrasi. Salah satu akibatnya, fungsi-fungsi kekuasaan yang
biasanya melekat dalam fungsi -fungsi lembaga-lembaga Legislatif, Eksekutif, dan bahkan
Yudikatif dialihkan menjadi fungsi organ tersendiri yang bersifat independen. Karena itu,
kadang-kadang lembaga-lembaga baru tersebut menjalankan fungsi-fungsi yang bersifat
campuran dan masing-masing bersifat independen (independent bodies). Lembaga-
lembaga independen itu sebagian lebih dekat ke fungsi legislatif dan regulatif ; dan sebagian
lagi lebih dekat ke fungsi administratif- eksekutif, bahkan ada juga yang lebih dekat kepada
cabang kekuasaan Yudikatif

Indonesia ialah Negara hukum dimana hal ini berarti ada sebuah jaminan
berjalannya kekuasaan kehakiman yang merdeka ataupun independen dalam
melaksanakan peradilan serta tugas-tugas lainnya dan demi menegakkan hukum serta
keadilan berdasarkan konstitusi Negara dan aturan-aturan yang berlaku. Kejaksaan sendiri
merupakan sebuah lembaga yang dapat melakukan atau memiliki kewenangan
melaksanakan kekuasaan negara dalam hal penuntutan dan juga memiliki kewenangan lain
berdasarkan aturan yang berlaku, hal ini berpijak pada ketentuan yang tertera pada Pasal 2
ayat (1) UU Kejaksaan. Berpijak kepada ayat (2) pasal dan undang undang yang sama
makan dapat diketahui bersama bahwasanya kekuasaan Negara yang terdapat dalam ayat
(1) tersebut dilaksanakan secara merdeka, atau dalam kata lain adalah independen. Namun
pada kenyataannya jaksa tersebut tidak hanya dapat bertugas sebagai penuntut umum
dalam sidang di pengadilan saja, melainkan juga dapat berperan sebagai seorang pengacara
yang diberikan kuasa khusus untuk menyelesaikan perkara yang berkenaan dengan hukum
baik itu perkara yang bersifat Perdata maupun TUN.

Kedudukan serta peranan Kejaksaan dalam hal penegakan hukum diatur dalam UU
Kejaksaan, maka dapat dilihat adanya ambivalensi diantara kedudukan kelembagaan
(yakni kejaksaan sebagai salah satu bagian dari kekuasaan eksekutif dengan kata lain
sebagai unsur pemerintah dengan kata lain pula pembantu presiden) namun memiliki
fungsi dalam kekuasaan penuntutan dimana hal tersebut masuk dalam kekuasaan
yudikatif. Kekuasan kehakiman di dalam peraturan perundang undangan di Indonesia
diatur lewat UUD NRI Tahun 1945 pada BAB IX pasal 24 sampai Pasal 24C serta pada Pasal
25. Kejaksaan secara tidak langsung ditempatkan di dalam kekuasan eksekutif, walaupun
kejaksaan sendiri tidak disebut secara langsung dalam Konstitusi negara tetap saja
kejaksaan adalah suatu hal yang sulit rasanya dipisahkan dari kekuasaan Yudikatif.

Fungsi dan tugas Kejaksaan RI diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia


Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan R.I. Aturan ini menjadi dasar hukum dari
Kejaksaan dalam mengemban tugas dan langkah geraknya sebagai penyidik dan penuntut
umum. lembaga Kejaksaan mempunyai fungsi, yaitu :

1. Perumusan kebijakan teknis kegiatan justisial pidana khusus berupa pemberian


bimbingan dan pembinaan dalam bidang tugasnya;

2. Perencanaan, pelaksanaan, pemeriksaan tambahan penuntutan, eksekusi,atau


melaksanakan penetapan hukum dan putusan pengadilan, pengawasan terhdap
pelaksanaan keputusan lepas bersyarat dan tindak hukum lain serta
pengadministrasiannya;

3. Pembinaan kerjasama, pelaksanaan koordinasi dan pemberian bimbingan serta


petunjuk teknis dalam penanganan perkara tindak pidana khusus dengan
isntansi dan lembaga terkait mengenai penyelidikan dan penyidikan
berdasarkan perundang-undangan dan kebijaksaan yang ditetapkan oleh jaksa
agung;

4. Pemberian saran, konsepsi tentang pendapat dan atau pertimbangan hukum


jaksa agung mengenai perkara tindak pidana khusus dan masalah hukum
lainnya dalam kebijaknsasanaan penegakan hukum;
5. Pembinaan dan peningkatan kemampuan, ketrampilan dan integritas
kepribadian aparat tindak pidana khusus dilingkungan kejaksaan;

6. Penanganan teknis dan pelaksanaan tugas dan wewenang Kejaksaan dibidang


tindak pidana khusus berdasarkan peraturan perundang-undangan dan
kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Jaksa Agung.

Didalam buku petunjuk pelaksanaan tentang Proses Penyidikan Tindak Pidana,


disebutkan bahwa Jaksa adalah sebagai alat negara penegak hukum, berkewajiban untuk
memelihara tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat
manusia, serta ketertiban dan kepastian hukum. Dengan demikian Jaksa berperan sebagai
penegak hukum yang melindungi masyarakat.

Dalam pasal 1 (1) Undang-Undang Nomor. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan


Republik Indonesia ditentukan bahwa “Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi
wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai penyelidik, penuntut umum
dan pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum serta
wewenang lain berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004”

Kejaksaan Republik Indonesia sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan


kekuasaan negara di bidang penuntutan harus bebas dari pengaruh kekuasaan pihak
manapun. Dalam penuntutan dilaksanakan secara merdeka terlepas dari pengaruh
kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya. Kejaksaan sebagai salah satu
lembaga penegak hukum dituntut lebih berperan dalam menegakkan supremasi hukum,
perlindungan kepentingan umum, penegakan hak asasi manusia, serta pemberantasan
korupsi yang mungkin tinggi, sedang-sedang saja atau rendah.

Kedudukan tersebut sebenarnya mempunyai wadah, yang isinya adalah hakhak


dan kewajiban-kewajiabn tertentu. Menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004
Tentang Kejaksaan Republik Indonesia dalam Pasal 1 bagian ketentuan umum memberikan
pengertian :
a. Jaksa adalah pejabat umum yang di beri wewenang oleh Undang-Undang ini untuk
bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

b. Penuntut Umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh Undang-Undang ini
untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.

c. Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara kepada


Pengadilan Negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam
hukum acara pidana dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim
sidang pengadilan.

d. Jabatan fungsional jaksa adalah jabatan yang bersifat keahlian teknis dalam
organisasi kejaksaan yang karena fungsinya memungkinkan kelancaran
pelaksanaan tugas kejaksaan.

Yang dimaksud dengan Kejaksaan menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004


Tentang Kejaksaan Republik Indonesia dalam Pasal 2 memberikan pengertian :

a. Kejaksaan Republik Indonesia yang selanjutnya dalam Undang-Undang ini disebut


kejaksaan adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara
dibidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan Undang-Undang.

b. Kekuasaan negara sebagai dimaksud pada huruf a dilaksankan secara merdeka.

c. Kejaksaan sebagaimana dimaksud pada huruf a adalah satu dan tidak terpisah.
Jaksa adalah profesi yang merupakan

Jaksa adalah profesi yang merupakan kuasa dari masyarakat. Profesi ini bekerja untuk
dan atas nama masyarakat membawa kasus-kasus yang merugikan kepentingan
masyarakat umum ke Pengadilan, yang dalam istilah hukum disebut dengan tugas
“penuntutan”. Disamping tugas penuntutan tersebut, dengan alasan historis, jaksa juga
mempunyai kewenangan penyidikan terhadap tindak pidana khusus. Selain itu, jaksa juga
mempunyai kewenangan mewakili Negara dalam bidang perdata apabila negara menjadi
tergugat atau penggugat.

Sejak berlakunya KUHAP, maka sistem peradilan pidana yang dianut dalam negara
kita adalah sistem peradilan pidana terpadu (integreted creminal justice system). Sistem
terpadu tersebut diletakan diatas landasan “diferensiasi fungsional” diantara aparat
penegak hukum sesuai dengan “tahap proses kewenangan” yang diberikan undang-
undang kepada masing-masing. Sehingga aktivitas pelaksanaan criminal justice system
merupakan fungsi gabungan (collection of fungction) dari, Legislator, Polisi, Jaksa,
Pengadilan, dan Penjara.

Salah satu isi pokok UUD NRI 1945 adalah mengatur kelembagaan nasional, namun
dalam amandemen UUD NRI 1945 menjadi instansi terkait tidak ada ketentuan yang jelas
mengenai istilah atau kategori yang merupakan lembaga nasional dan istilah lembaga
nasional. Lembaga nasional dapat digolongkan sebagai lembaga yang lahir langsung
melalui Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Tidak adanya
pengaturan tentang hal ini menimbulkan banyaknya tafsiran dalam mendefinisikan dan
mengklasifikasikan apa itu lembaga negara.

Menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Kejaksaan


merupakan salah satu lembaga yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman.
Pernyataan tersebut terdapat dalam konsideran menimbang huruf b UU Kejaksaan Tahun
2004.11 Pengertian kekuasaan kehakiman yang dimaksud di sini dipertegas dalam Pasal 1
Ayat 1 UU Kehakiman Tahun 2009 yang berbunyi; “Kekuasaan kehakiman adalah
kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan
hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia.

2. Independensi Kejaksaan dalam menjalankan fungsinya di bidang perdata


maupun pidana.
Pada tahun 1945-1959 Hakim dan Jaksa berada di bawah kementerian kehakiman,
namun demikian baik Hakim maupun Jaksa sunguh-sungguh “independent”. Setelah
adanya Keputusan Presiden Nomor 204 Tahun 1960 tentang Pembentukan Departemen
Kejaksaan yang dikeluarkan dari Departemen Kehakiman oleh Presiden Soekarno pada
tanggal 22 Juli 1960 dan diikuti dengan lahirnya Undang Undang Nomor 15 Tahun 1961
tentang Pokok - Pokok Kejaksaan Republik Indonesia, Kejaksaan memang “mandiri”,
mempunyai badan sendiri dan terlepas dari Departemen Kehakiman, namun
independensinya telah hilang karena Jaksa Agung bukan lagi Jaksa Agung dalam
Mahkamah Agung tetapi menteri atau anggota kabinet sebagai pembantu Presiden yang
setiap saat dapat diganti oleh Presiden.

Kemandirian Kejaksaan sebagai lembaga yang melaksanakan kekuasaan kehakiman


bidang penuntutan ini dapat dibagi menjadi 2 (dua) aspek, yaitu :
1. Mandiri secara Institusional (kelembagaan) Mandiri
secara lembaga berarti bahwa Kejaksaan itu ditempatkan dalam posisi yang
independen secara kelembagaan. Kejaksaan memang semestinya lebih baik
ditempatkan secara mandiri secara kelembagaan dan lepas dari kekuasaan
manapun. Mandiri secara fungsional.
2. Mandiri secara fungsional berarti bahwa Jaksa itu bisa bebas dan merdeka dalam
menjalankan tugasnya untuk menuntut ataukah tidak menuntut
Dari dua aspek kemandirian tersebut diatas, bukanlah masalah jika secara kelembagaan
Kejaksaan tidak Independent, sepanjang secara fungsional Kejaksaan bisa bebas
menjalankan fungsinya tanpa intervensi. Permasalahannya disini adalah jika Kejaksaan
secara fungsional tidak independent, karena tujuan penuntutan dalam hukum acara pidana
adalah untuk mendapat penetapan dari penuntut umum tentang adanya alasan cukup
untuk menuntut seorang terdakwa di muka hakim. tujuan penuntutan dalam hukum acara
pidana adalah untuk mendapat penetapan dari penuntut umum tentang adanya alasan
cukup untuk menuntut seorang terdakwa di muka hakim.
Jika Jaksa tidak independen dalam penuntutan, maka mustahil hakim akan dapat
independent karena putusannya tergantung dari dakwaan Jaksa. Banyak kalangan yang
menganggap mustahil Kejaksaan dalam menjalankan fungsi, tugas dan wewenangnya
terlepas dari pengaruh kekuasaan lainnya karena Kedudukannya secara kelembagaan
berada di bawah kekuasaan eksekutif.
Tugas dan fungsi kejaksaan di bidang Perdata, sesungguhnya bukanlah sesuatu
yang baru karena berdasarkan Staatsblad Nomor 522 Tahun 1922, kejaksaan diberi tugas
dan fungsi di bidang hukum Perdata. Bahkan, jauh sebelumnya dalam Burgerlijke Wetboek
(Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) pun tercantum ketentuan mengenai tugas dan
wewenang keperdataan dari kejaksaan, seperti wewenang kejaksaan untuk mengajukan
permohonan kepada pengadilan untuk memerintahkan Balai Harta Peninggalan mengurus
harta dan kepentingan orang yang meninggalkan tempat tinggalnya tanpa
memberitahukan tempat tinggal baru dan tanpa kabar berita (Pasal 463 KUH Perdata).
Meskipun tugas wewenang kejaksaan dibidang perdata bukanlah hal yang baru,
karena secara formal dan meterieel telah ada sejak jaman penjajahan Belanda, namun materi
ini dimuat lagi didalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004, yaitu pada pasal 30 ayat
(2). Hal ini merupakan upaya dari kekuasaan legislatif didalam rangka memantapkan
kedudukan dan peranan kejaksaan agar lebih mampu dan berwibawa dalam melaksanakan
tugas dan wewenangnya dalam negara hukum yang berdasarkan Pancasila, sebagai negara
yang sedang membangun.
Kekuasaan legislatif memberikan peranan baru dalam upaya agar kejaksaan
mampu terlibat sepenuhnya dalam proses pembangunan, antara lain turut menciptakan
kondisi dan prasarana yang mendukung dan mengamankan pelaksanaan pembangunan,
serta berkewajiban turut menjaga dan menegakkan kewibawaan pemerintah dan negara.
Kekuasaan legislatif menegaskan peranan, tugas dan fungsi kejaksaan di bidang Perdata
dan Tata Usaha Negara, di dalam Undang-Undang RI Nomor 16 Tahun 2004 tentang
Kejaksaan RI, dalam rangka memantapkan kedudukan dan peranan kejaksaan untuk turut
serta menjaga dan menegakkan kewibawaan pemerintah dan negara serta melindungi
kepentingan rakyat melalui penegakan hukum.
Di dalam bidang penegakan hukum, permasalahan yang sangat mendasar dibidang
hukum dewasa ini adalah bagaimana hukum dapat berfungsi memberikan jaminan
perlindungan dan kepastian hukum bagi rakyat. Hukum telah banyak membuktikan
dirinya dapat dimanfaatkan sebagai intrumen rekayasa masyarakat untuk sampai pada
kondisi yang diinginkan oleh penguasa. Sedangkan disisi lain hukum juga dapat dijadikan
sebagai instrumen untuk mengendalikan masyarakat.
Adapun tujuan hukum berdasarkan cita-cita hukum Pancasila adalah untuk
memberikan pengayoman kepada manusia, yakni melindungi menusia secara pasif dengan
mencegah tindakan sewenang-wenang, dan secara aktif dengan menciptakan kondisi
masyarakat berlangsung secara wajar sehingga secara adil tiap manusia memperoleh
kesempatan yang luas dan sama untuk mengembangkan seluruh potensi kemanusiaannya
secara utuh. Penegakan hukum ialah tugas dan wewenang kejaksaan dibidang hukum
perdata sebagaimana ditetapkan oleh peraturan perundangundangan atau berdasarkan
keputusan pengadilan dalam rangka memelihara ketertiban hukum, kepastian hukum dan
melindungi kepentingan negara dan pemerintah serta hak-hak keperdataan masyarakat.
Dapat dimisalkan, jaksa dapat menuntut pembatalan suatu perkawinan yang dilakukan
dimuka wali nikah yang tidak sah atau tanpa dihadiri oleh dua orang saksi. Demikian pula
Jaksa dapat melakukan gugatan uang pengganti berdasarkan putusan pengadilan.
Berkaitan dengan tugas dan wewenang penegakan hukum, bantuan hukum,
pertimbangan hukum, pelayanan hukum serta tindakan hukum lainnya, kejaksaan
mempunyai fungsi antara lain: 1) Mewakili negara atau pemerintah dalam perkara perdata
dan tata usaha negara; 2) Mengajukan kasasi demi kepentingan umum dalam perkara
perdata dan tata usaha negara; 3) Membatalkan suatu perkawinan yang dilakukan di muka
catatan sipil yang tidak sah atau tanpa dihadiri oleh dua orang saksi; 4) meminta kepada
pengadilan untuk menyatakan suatu keadaan pailit; 5) Melaksanakan penahanan terhadap
seseorang yang jatuh pailit atas usul Balai Harta Peninggalan; 6) Menuntut kepada
pengadilan agar pendaftaran merek dinyatakan batal, jika suatu merek yang telah
didaftarkan bertentangan dengan peraturan perundangundangan; 7) Menuntut kepada
pengadilan agar pendaftaran merek dinyatakan batal, bila barang yang dibubuhi merek
tersebut tidak sesuai dengan contoh/keterangan yang diberikan; 8) Mengusulkan kepada
pengadilan untuk memerintahkan Balai Harta Peninggalan, mengurus harta kekayaan serta
kepentingan seseorang yang meninggalkan tempat tinggalnya tanpa menunjuk seorang
wakil; 9) Menuntut kepada pengadilan agar seorang Bapak atau Ibu dibebaskan dari
kekuasaannya sebagai orang tua; 10) Menuntut kepada pengadilan agar memecat seorang
wali dari anak yang belum dewasa; 11) Meminta kepada pengadilan untuk mengangkat
pengurus pengganti, jika pengurus waris meninggal dunia; 12) Menuntut kepada
pengadilanuntuk mengangkat seorang pengurus waris dalam hal si waris pemikul beban
tidak memberikan jaminan; 13) Memberikan pendapat kepada pengadilan, sebelum
memberikan ijin untuk menjual atau memberikan barang bergerak/tidak bergerak dari
harta waris yang akan diterima orang lain; 14) Mengajukan tuntutan kepada hakim untuk
menyatakan batal suatu badan hukum yang menyimpang dari anggaran dasar yang sah;
15) Memberikan bantuan kepada PUPN apabila terbukti ada penyalahgunaan pemakaian
kredit; 16) Melaporkan kepada pengadilan, terhadap notaris yang mengabaikan keluhuran
martabat atau melanggar peraturan umum, baik di dalam maupun di luar menjalankan
jabatannya; 17) Menerima pertanggungan jawab dari balai harta peninggalan, dengan
menunjukkan surat-surat berharga dan surat-surat lain yang berhubungan dengan
pengurusan boedel setiap akhir tahun; 18) Menerima laporan secara tertulis dari balai harta
peningggalan tentang boedel yang tidak terurus yang diurusnya; 19) Melakukan gugatan
uang pengganti atas putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap
dalam perkara tindak pidana korupsi; 20) Melakukan gugatan ganti kerugian, biaya
pemulihan serta tindakan hukum lainnya yang timbul dari perbustsn melawan hukum
yang menimbulkan kerugian keuangan atau kekayaan negara; 21) Mewakili kepentingan
keperdataan dari masyarakat; 22) Membina kerjasama, melakukan konsultasi, melakukan
koordinasi, memberikan pelayanan dan pertimbangan di bidang perdata dan tata usaha
negara, serta memberikan bimbingan dan petunjuk tehnis dalam penanganan perkara
kepada instansi lain; 23) Meminta kepada pengadilan untuk menempatkan seseorang yang
mengganggu atau membahayakan orang lain atau lingkungan, dirumah sakit atau dirumah
perawatan jiwa atau tempat tertentu yang ditunjuk; 24) Menerima, mengolah dan menelaah
laporan, pengaduan atau informasi dalam rangka penegakan, bantuan, pertimbangan dan
pelayanan hukum kepada instansi lain atau masyarakat; 25) Melakukan negosiasi, somasi,
mediasi, dan tindakan hukum lain didalam mewakili kepentingan negara, pemerintah atau
masyarakat; dan 26) Melakukan tindakan hukum lain didalam rangka upaya mencabut hak
keperdataan tertentu.
Sehubungan dengan hal ini, fungsi kejaksaan di bidang perdata tersebut meliputi 3
(tiga) permasalahan pokok yaitu: kepentingan negara, persoalan kepastian hukum dan rasa
keadilan. Sebagai bahan analisis permasalahan tersebut dipergunakan sumber kepustakaan
tentang teori-teori kepastian hukum dan teori keadilan, selanjutnya dipergunakan bahan
hukum berupa keputusan pengadilan. Bahan putusan tersebut dipergunakan untuk
menjelaskan posisi jaksa dalam mewakili posisi jaksa kepentingan negara atau pemerintah
sebagai penggugat. Bagian akhir adalah analisis putusan, dan analisa terhadap
pertimbangan hakim. Untuk inilah diperlukan sebuah telaah kritis tentang permasalahan
tersebut
Jaksa di samping berfungsi melakukan penuntuntan dalam perkara pidana;
melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan; melakukan pengawasan
terhadap pelaksanaan keputusan lepas bersyarat; juga melakukan ketertiban umum berupa
turut menyelenggarakan kegiatan peningkatan kesadaran hukum masyarakat;
pengamanan kebijakan penegakan hukum; pengamanan peredaran barang cetakan;
pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara;
pencegahan penyalahgunaan dan atau penodaan agama; juga berfungsi sebagai pengacara
negara dalam bidang perdata dan tata usaha negara. Sebagai pengacara negara dalam
bidang perdata, kejaksaan dapat bertindak di dalam maupun diluar pengadilan untuk dan
atas nama negara atau pemerintahan.
Oleh karena kejaksaan bekerja sebagai pelaku hukum keperdataan (civil actor),
maka “Perbuatan hukum yang dilakukan kejaksaan tersebut tidak diatur berdasarkan
hukum publik, tetapi didasarkan pada peraturan perundang-undangan hukum perdata
(privaatrecht) sebagaimana lazimnya peraturan perundang-undangan yang mendasari
hukum keperdataan yang dilakukan seseorang warga dan badan hukum perdata”
Kejaksaan sebagai badan hukum publik yang ikut serta dalam hubungan hukum
keperdataan, maka “dia tidak bertindak sebagai penguasa, sebagai organisasi kekuasaan
tetapi dia menggunakan hak-hak pada kedudukan yang sama dengan rakyat, sehingga
kejaksaan harus tunduk kepada peradilan biasa, sebagai kuasa hukum yang mewakili
kepentingan negara atau pemerintah di depan pengadilan, maka kejaksaan mempunyai
kedudukan yang sama atau sederajat dengan pihak lawan. Dalam kaitannya dengan posisi
jaksa mewakili kepentingan negara sebagai tergugat dan posisi jaksa mewakili kepentingan
negara sebagai penggugat, maka dapat disampaikan bahwa posisi negara sebagai tergugat
ini berhubungan erat dengan kedudukan Negara sebagai lembaga publik.
Kejaksaan dalam sub sistem peradilan pidana melaksanakan kekuasaan negara
dibidang penuntutan. Pasal 1 angka 1 UU Kejaksaan Tahun 2004 menyebutkan
bahwa: “Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang
untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap serta kewenangan lain berdasarkan undang undang.”
Pasal 1 angka 3 UU Kejaksaan Tahun 2004 menyebutkan bahwa:“Penuntutan adalah
tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara ke Pengadilan Negeri yang
berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Hukum Acara Pidana dengan
permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan.”
Berdasarkan kedua pasal tersebut di atas, dalam melakukan penuntutan, Jaksa
bertindak untuk dan atas nama negara sehingga harus bisa menampung kepentingan
masyarakat, negara dan korban kejahatan agar bisa dicapai keadilan. Kedudukan Kejaksaan
dalam peradilan pidana bersifat menentukan karena merupakan jembatan yang
menghubungkan antara tahap penyidikan dengan tahap pemeriksaan di pengadilan.
Banyak fakta yang menunjukkan dalam penanganan sebuah kasus Kejaksaan
sangat rentan diintervensi oleh kekuasaan eksekutif. Agar dapat menjaga
independensinya, Kejaksaan dalam sistem peradilan pidana yang menjalankan fungsi
kekuasaan kehakiman harus terpisah dari kekuasaan lain. Oleh karenanya perlu dibuat
legitimasi yang kuat dan dinyatakan dengan tegas dalam konstitusi dan diturunkan dalam
peraturan perundang-undangan yang relevan. Dengan demikian jika ada pihak-pihak
tertentu yang melakukan intervensi terhadap tugas dan wewenang Kejaksaan, maka
Kejaksaan mempunyai landasan yang kuat untuk menolak.
Tanpa adanya landasan konstitusional, pelaksanaan yang hanya dilandasi fungsi
dan wewenang terbatas pada Undang-Undang justru telah menimbulkan sorotan
stigmatisasi mengenai keberhasilan lembaga ini. Dalam menjalankan fungsi penuntutan
tertinggi, Kejaksaan RI harus diberi tugas dan kewenangan yang independen dari
kekuasaan tertinggi eksekutif. Maka dari itu, perlu untuk meletakkan kekuasaan
penyidikan, kekuasaan penuntutan dalam bab Kekuasaan Kehakiman di dalam UUD NRI
Tahun 1945.

IV. Kesimpulan
Kedudukan Kejaksaan yang secara kelembagaan berada di bawah kekuasaan eksekutif
dan secara kewenangan dalam melaksanakan tugas dan fungsinya termasuk bagian dari
kekuasaan yudikatif menyebabkan Kejaksaan rawan terhadap intervensi kekuasaan
lainnya dalam melaksanakan kekuasaan di bidang penuntutan terkait perannya sebagai
lembaga pemerintah. Untuk mewujudkan kekuasaan penuntutan yang independen maka
perlu untuk melakukan reposisi kedudukan Kejaksaan Republik Indonesia. Reposisi yang
dimaksud dalam hal ini adalah menempatkan Kejaksaan Republik Indonesia sebagai
bagian dari kekuasaan kehakiman yang murni dan terbebas dari intervensi kekuasaan
politik dengan cara mencantumkan Kejaksaan Republik Indonesia secara eksplisit dalam
pasal di Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau dengan
merevisi Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan.
V. DAFTAR PUSTAKA

Rosita, Dian. (2018). Kedudukan Kejaksaan Sebagai Pelaksana Kekuasaan Negara Di Bidang
Penuntutan Dalam Struktuk Ketatanegaraan Indonesia. Vol (3) No 1.
Putra, Gede N. A. & Ni Luh Gede Astariyani. Kedudukan Kejaksaan Dalam Ketatanegaraan
Dari Prespektif Huku Tata Negara.
Sunarjo. 2014. Peradilan Sebagai Pilar Negara Hukum dalam Prespektif Pancasila. Vol (19)
No.1.
Siallagan, Haposan. 2016. Penerapan Prinsip Negara Hukum Indonesia. Vol.18. No.2.
Sosiohumaniora Universitas Padjajaran.
Wibowo, Ari. 2015. Independensi Kejaksaan Dalam sistem Peradilan Pidana Indonesia.
Vol.12. No.1. Jurnal Hukum Istinbath IAIN Metro Lampung.
Royzal, A Nur Rahman. 2017. Kedudukan Kejaksaan Republik Indonesia Menurut
Undang-Undang Dasar 1945. Fakultas Hukum Universitas Lampung.
Septiandini, Kadek Mitha. 2016. Ketentuan Tentang Pembatalan Perkawinan Oleh Jaksa Terhadap
Hak Waris Anak Dalam Hukum Perkawinan. Kertha Semaya. Vol.04. No.02.
Tutik, Titik Triwulan. 2010. Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen
UUD 1945. Prenada Media. Jakarta
Sofan P. 2013. Analisis Yuridis Kedudukan dan Kewenangan Jaksa Agung Dalam Sistem
Ketatanegaraan Indonesia Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004
Tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Fakultas Hukum. Universitas Jember: Jember.
Angkous, Julio Audy. 2013. Tugas Dan Fungsi Lembaga Kejaksaan Dalam Menyelesaikan
Kasus Tindak Pidana Korupsi di Indonesia. Vol II. No. 3.
Rusdianto. 2015. Fungsi Kejaksaan Sebagai Pengacara Negara Dalam Prespektif Penegakan
Hukum Di Indonesia. Vol. 6. No. 1.

Anda mungkin juga menyukai