(UTS) Hukum Acara MK - Ferdinand C.A.
(UTS) Hukum Acara MK - Ferdinand C.A.
KETATANEGARAAN INDONESIA
ABSTRAK
Kejaksaan merupakan salah satu lembaga yang memiliki peranan penting dalam peradilan.
Kedudukan serta posisinya yang selama ini diatur dalam Undang-Undang No.16 Tahun 2004
tentang Kejaksaan Republik Indonesia (selanjutnya disebut UU Kejaksaan) ternyata memunculkan
pertanyaan serta perdebatan. Selama ini pengaturan kedudukan Kejaksaan tidak diatur secara tegas
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 hanya disebut secara eksplisit
dalam Pasal 24 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945. Namun pada UU Kejaksaan, tempat dari kejaksaan
sendiri ditempatkan di ranah eksekutif pada Pasal 2 ayat (1) nya. Pasal 2 ayat (1) Undang –Undang
Kejaksaan No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan menyebutkan bahwa Kejaksaan adalah lembaga
pemerintah yang melaksanakan kekuasaan Negara dibidang penuntutan serta kewenangan lain
yang berdasarkan undang-undang. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dengan
spesifikasi penelitian yang bersifat preskriptif analitis. Jenis data yang digunakan dalam penelitian
ini adalah data sekunder, yaitu data yang diperoleh melalui bahan hukum primer, sekunder dan
tersier. Simpulan dari analisis ini adalah Untuk mewujudkan kekuasaan penuntutan yang
independen maka perlu untuk melakukan reposisi kedudukan Kejaksaan Republik
Indonesia. Reposisi yang dimaksud dalam hal ini dalah menempatkan Kejaksaan Republik
Indonesia sebagai bagian dari kekuasaan kehakiman yang murni dan terbebas dari intervensi
kekuasaan politik dengan cara mencantumkan Kejaksaan Republik Indonesia secara eksplisit
kedalam pasal di Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau dengan
merevisi Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan
ABSTRACT
The prosecutor's office is an institution that has an important role in the judiciary. The position that has been
regulated in Law No.16 of 2004 concerning the Republic of Indonesia Public Prosecutors Office have raised
questions and debates. So far, the regulation of the position of the Prosecutor's Office is not explicitly regulated
in the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia, it is only mentioned explicitly in Article 24 paragraph
(3) of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia. However, in the Law on the Prosecution, the place of
the prosecutor itself is placed in the executive domain in Article 2 paragraph (1). Article 2 paragraph (1) Law
No. 16 of 2004 concerning the Attorney General's Office states that the Attorney General's Office is a
government institution that exercises State powers in the field of prosecution and other powers based on law.
This study uses a normative juridical method with a prescriptive analytical research specification. The type of
data used in this study is secondary data, namely data obtained through primary, secondary and tertiary legal
materials. The conclusion of this analysis is that in order to achieve an independent prosecutorial power, it is
necessary to reposition the position of the Republic of Indonesia Prosecutor's Office. The repositioning referred
to in this case is placing the Attorney General's Office of the Republic of Indonesia as part of pure judicial
power and free from interference from political power by including the Attorney General's Office of the Republic
of Indonesia explicitly in the articles in the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia or by revising the
Law. Number 16 of 2004 concerning the Attorney General's Office
Seorang jaksa harus bertanggung jawab secara hierarkis kepada jaksa yang ada di
atasnya, dan Jaksa Agung selaku pimpinan lembaga kejaksaan juga harus bertanggung
jawab kepada Presiden. Kedudukan kejaksaan yang dipimpin Jaksa Agung demikian
ini membuat kejaksaan kurang efektif dalam proses penegakan hukum. Indonesia yang
dalam konstitusinya menyatakan sebuah negara hukum wajib menjamin terlaksananya
asas-asas umum sebuah negara hukum. Salah satu dari asas-asas tersebut adalah
adanya lembaga peradilan yang mandiri.
Peradilan dalam sebuah sistem tentunya meliputi polisi, jaksa, dan hakim. Oleh
karena itu, seharusnya negara menjamin kemandirian ketiga aparat hukum tersebut.
Terutama dalam hal ini adalah lembaga kejaksaan dalam menjalankan fungsi, tugas,
dan kewenangannya dalam sebuah peraturan perundang-undangan.
Pada sistem peradilan pidana, peran dari kejaksaan benar-benar penting sebab
menjadi penentu apakah suatu subjek hukum harus dilakukan pemeriksaan oleh
pengadilan atau tidak. Keberadaan Kejaksaan ini diatur dalam Undang-Undang
Kejaksaan Republik Indonesia ( selanjutnya disebut dengan UU Kejaksaan) yakni UU
no.16 Tahun 2004. Pada aturan ini menjelaskan secara jelas mengenai kewenangan
dalam menjalankan kekuasaan negara dalam hal atau bidang penuntutan tersebut
dilaksanakan oleh kejaksaan. Selain memiliki peran dalam peradilan pidana, lembaga
tersebut juga memiliki peran pula dalam hal keperdataan, dan juga tata usaha Negara
yakni mewakili Negara atau pemerintah dalam hal perdata dan tata usaha Negara.
Kejaksaan berperan melaksanakan kewenangan itu dalam hal penuntutan dan juga
menjalankan putusan pengadilan dan wewenang lain berdasar pada peraturan
perundang-undangan.
Pasal 2 ayat (1) UU Kejaksaan Tahun 1991 menyatakan bahwa Kejaksaan adalah satu
satunya lembaga pemerintahan pelaksana kekuasaan negara yang mempunyai tugas
dan wewenang di dalam bidang penuntutan dalam penegakan hukum dan keadilan di
lingkungan peradilan umum. Dari penjelasan Pasal tersebut diketahui bahwa
kedudukan Kejaksaan merupakan bagian dari organ kehakiman, namun berdasarkan
Pasal 2 ayat (1) UU Kejaksaan Tahun 1991 sebagaimana telah dijelaskan di atas,
Kejaksaan adalah satu satunya lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan
negara di bidang penuntutan.
Dalam perspektif teori Hukum Tata Negara dan Ilmu Politik, terdapat tiga cabang dan
fungsi kekuasaan dalam Negara, yaitu Cabang Kekuasaan Legislatif dengan fungsi “law
making”, Cabang Kekuasaan Eksekutif dengan fungsi “law executing”, dan Cabang
Kekuasaan Yudikatif dengan fungsi “law enforcement”. Montesquieu (1689 – 1785)
mengidealkan ketiga fungsi kekuasaan Negara itu dilembagakan masing – masing ke dalam
tiga cabang kekuasaan atau organ Negara. Satu organ atau cabang kekuasaan hanya boleh
menjalankan satu fungsi dan tidak boleh mencampuri urusan masing – masing cabang
kekuasaan dalam arti yang mutlak. Jika tidak demikian, maka kebebasan akan terancam.
Konsepsi yang kemudian disebut dengan Trias Politica tersebut, pada satu sisi
dipandang sudah tidak relevan dengan kondisi negara dewasa ini mengingat tidak
mungkin lagi mempertahankan bahwa ketiga cabang kekuasaan tersebut hanya berurusan
secara eksklusif dengan salah satu dari ketiga cabang kekuasaan tersebut. Kenyataan
dewasa ini menunjukkan bahwa hubungan antar cabang kekuasaan itu tidak mungkin
tidak saling berkorelasi, bahkan ketiganya berkedudukan sederajat dan saling
mengendalikan satu sama lain sesuai dengan prinsip checks and balances. Pada sisi lain,
perkembangan masyarakat, baik secara ekonomi, politik maupun sosial budaya serta
pengaruh global, menghendaki struktur organisasi negara lebih responsif terhadap
tuntutan masyarakat serta lebih efektif dan efisien dalam melaksanakan pelayanan publik
guna mencapai tujuan penyelenggaraan pemerintahan.
Dari perkembangan tersebut lahir kemudian berbagai lembaga Negara sebagai bentuk
eksperimentasi kelembagaan (institutional experimentation) berupa Dewan (council) ;
Komisi (commission) ; Komite (committee) ; Badan (board) atau Otorita (authority).
Lembaga – lembaga baru tersebut biasa disebut sebagai lembaga negara yang bersifat
penunjang (state auxiliary organs atau auxiliary institutions). Di antara lembaga-lembaga
tersebut, ada yang disebut sebagai self regulatory agencies, independent supervisory
bodies, atau lembaga-lembaga yang menjalankan fungsi campuran (mix-function) antara
fungsi-fungsi regulatif, administratif, dan fungsi penghukuman yang biasanya dipisahkan
tetapi justru dilakukan secara bersamaan oleh lembaga-lembaga baru tersebut. Bahkan ada
pula di antara lembaga-lembaga itu yang disebut sebagai quasi non-governmental
organization.
Berkembangnya demikian banyak lembaga-lembaga yang bersifat independen tersebut
mencerminkan adanya kebutuhan untuk mendekonsentrasikan kekuasaan dari tangan
birokrasi ataupun organ-organ konvensional pemerintahan tempat kekuasaan selama
masa-masa sebelumnya terkonsentrasi. Salah satu akibatnya, fungsi-fungsi kekuasaan yang
biasanya melekat dalam fungsi -fungsi lembaga-lembaga Legislatif, Eksekutif, dan bahkan
Yudikatif dialihkan menjadi fungsi organ tersendiri yang bersifat independen. Karena itu,
kadang-kadang lembaga-lembaga baru tersebut menjalankan fungsi-fungsi yang bersifat
campuran dan masing-masing bersifat independen (independent bodies). Lembaga-
lembaga independen itu sebagian lebih dekat ke fungsi legislatif dan regulatif ; dan sebagian
lagi lebih dekat ke fungsi administratif- eksekutif, bahkan ada juga yang lebih dekat kepada
cabang kekuasaan Yudikatif
Indonesia ialah Negara hukum dimana hal ini berarti ada sebuah jaminan
berjalannya kekuasaan kehakiman yang merdeka ataupun independen dalam
melaksanakan peradilan serta tugas-tugas lainnya dan demi menegakkan hukum serta
keadilan berdasarkan konstitusi Negara dan aturan-aturan yang berlaku. Kejaksaan sendiri
merupakan sebuah lembaga yang dapat melakukan atau memiliki kewenangan
melaksanakan kekuasaan negara dalam hal penuntutan dan juga memiliki kewenangan lain
berdasarkan aturan yang berlaku, hal ini berpijak pada ketentuan yang tertera pada Pasal 2
ayat (1) UU Kejaksaan. Berpijak kepada ayat (2) pasal dan undang undang yang sama
makan dapat diketahui bersama bahwasanya kekuasaan Negara yang terdapat dalam ayat
(1) tersebut dilaksanakan secara merdeka, atau dalam kata lain adalah independen. Namun
pada kenyataannya jaksa tersebut tidak hanya dapat bertugas sebagai penuntut umum
dalam sidang di pengadilan saja, melainkan juga dapat berperan sebagai seorang pengacara
yang diberikan kuasa khusus untuk menyelesaikan perkara yang berkenaan dengan hukum
baik itu perkara yang bersifat Perdata maupun TUN.
Kedudukan serta peranan Kejaksaan dalam hal penegakan hukum diatur dalam UU
Kejaksaan, maka dapat dilihat adanya ambivalensi diantara kedudukan kelembagaan
(yakni kejaksaan sebagai salah satu bagian dari kekuasaan eksekutif dengan kata lain
sebagai unsur pemerintah dengan kata lain pula pembantu presiden) namun memiliki
fungsi dalam kekuasaan penuntutan dimana hal tersebut masuk dalam kekuasaan
yudikatif. Kekuasan kehakiman di dalam peraturan perundang undangan di Indonesia
diatur lewat UUD NRI Tahun 1945 pada BAB IX pasal 24 sampai Pasal 24C serta pada Pasal
25. Kejaksaan secara tidak langsung ditempatkan di dalam kekuasan eksekutif, walaupun
kejaksaan sendiri tidak disebut secara langsung dalam Konstitusi negara tetap saja
kejaksaan adalah suatu hal yang sulit rasanya dipisahkan dari kekuasaan Yudikatif.
b. Penuntut Umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh Undang-Undang ini
untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.
d. Jabatan fungsional jaksa adalah jabatan yang bersifat keahlian teknis dalam
organisasi kejaksaan yang karena fungsinya memungkinkan kelancaran
pelaksanaan tugas kejaksaan.
c. Kejaksaan sebagaimana dimaksud pada huruf a adalah satu dan tidak terpisah.
Jaksa adalah profesi yang merupakan
Jaksa adalah profesi yang merupakan kuasa dari masyarakat. Profesi ini bekerja untuk
dan atas nama masyarakat membawa kasus-kasus yang merugikan kepentingan
masyarakat umum ke Pengadilan, yang dalam istilah hukum disebut dengan tugas
“penuntutan”. Disamping tugas penuntutan tersebut, dengan alasan historis, jaksa juga
mempunyai kewenangan penyidikan terhadap tindak pidana khusus. Selain itu, jaksa juga
mempunyai kewenangan mewakili Negara dalam bidang perdata apabila negara menjadi
tergugat atau penggugat.
Sejak berlakunya KUHAP, maka sistem peradilan pidana yang dianut dalam negara
kita adalah sistem peradilan pidana terpadu (integreted creminal justice system). Sistem
terpadu tersebut diletakan diatas landasan “diferensiasi fungsional” diantara aparat
penegak hukum sesuai dengan “tahap proses kewenangan” yang diberikan undang-
undang kepada masing-masing. Sehingga aktivitas pelaksanaan criminal justice system
merupakan fungsi gabungan (collection of fungction) dari, Legislator, Polisi, Jaksa,
Pengadilan, dan Penjara.
Salah satu isi pokok UUD NRI 1945 adalah mengatur kelembagaan nasional, namun
dalam amandemen UUD NRI 1945 menjadi instansi terkait tidak ada ketentuan yang jelas
mengenai istilah atau kategori yang merupakan lembaga nasional dan istilah lembaga
nasional. Lembaga nasional dapat digolongkan sebagai lembaga yang lahir langsung
melalui Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Tidak adanya
pengaturan tentang hal ini menimbulkan banyaknya tafsiran dalam mendefinisikan dan
mengklasifikasikan apa itu lembaga negara.
IV. Kesimpulan
Kedudukan Kejaksaan yang secara kelembagaan berada di bawah kekuasaan eksekutif
dan secara kewenangan dalam melaksanakan tugas dan fungsinya termasuk bagian dari
kekuasaan yudikatif menyebabkan Kejaksaan rawan terhadap intervensi kekuasaan
lainnya dalam melaksanakan kekuasaan di bidang penuntutan terkait perannya sebagai
lembaga pemerintah. Untuk mewujudkan kekuasaan penuntutan yang independen maka
perlu untuk melakukan reposisi kedudukan Kejaksaan Republik Indonesia. Reposisi yang
dimaksud dalam hal ini adalah menempatkan Kejaksaan Republik Indonesia sebagai
bagian dari kekuasaan kehakiman yang murni dan terbebas dari intervensi kekuasaan
politik dengan cara mencantumkan Kejaksaan Republik Indonesia secara eksplisit dalam
pasal di Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau dengan
merevisi Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan.
V. DAFTAR PUSTAKA
Rosita, Dian. (2018). Kedudukan Kejaksaan Sebagai Pelaksana Kekuasaan Negara Di Bidang
Penuntutan Dalam Struktuk Ketatanegaraan Indonesia. Vol (3) No 1.
Putra, Gede N. A. & Ni Luh Gede Astariyani. Kedudukan Kejaksaan Dalam Ketatanegaraan
Dari Prespektif Huku Tata Negara.
Sunarjo. 2014. Peradilan Sebagai Pilar Negara Hukum dalam Prespektif Pancasila. Vol (19)
No.1.
Siallagan, Haposan. 2016. Penerapan Prinsip Negara Hukum Indonesia. Vol.18. No.2.
Sosiohumaniora Universitas Padjajaran.
Wibowo, Ari. 2015. Independensi Kejaksaan Dalam sistem Peradilan Pidana Indonesia.
Vol.12. No.1. Jurnal Hukum Istinbath IAIN Metro Lampung.
Royzal, A Nur Rahman. 2017. Kedudukan Kejaksaan Republik Indonesia Menurut
Undang-Undang Dasar 1945. Fakultas Hukum Universitas Lampung.
Septiandini, Kadek Mitha. 2016. Ketentuan Tentang Pembatalan Perkawinan Oleh Jaksa Terhadap
Hak Waris Anak Dalam Hukum Perkawinan. Kertha Semaya. Vol.04. No.02.
Tutik, Titik Triwulan. 2010. Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen
UUD 1945. Prenada Media. Jakarta
Sofan P. 2013. Analisis Yuridis Kedudukan dan Kewenangan Jaksa Agung Dalam Sistem
Ketatanegaraan Indonesia Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004
Tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Fakultas Hukum. Universitas Jember: Jember.
Angkous, Julio Audy. 2013. Tugas Dan Fungsi Lembaga Kejaksaan Dalam Menyelesaikan
Kasus Tindak Pidana Korupsi di Indonesia. Vol II. No. 3.
Rusdianto. 2015. Fungsi Kejaksaan Sebagai Pengacara Negara Dalam Prespektif Penegakan
Hukum Di Indonesia. Vol. 6. No. 1.