Soal
1) Apa yang saudara ketahui tentang norma/kaidah dan rambu-rambu aktivitas dakwah,
jelaskan !
2) Bagaimana pandangan saudara tentang isu berikut :
a. Isu ekstrimisme dakwah
b. Da’i berwawasan Islam Nusantara
c. Pentarifan jasa dakwah
3) Lakukan studi sederhana terhadap pengalaman sukses salah seorang tokoh dakwah di
daerah saudara !
Jawab
1) A. Pengertian norma bisa diartikan sebagai petunjuk atau pedoman tingkah laku yang
harus dilakukan ataupun tidak boleh dilakukan dalam kehidupan sehari-hari, berdasarkan
suatu alasan tertentu.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), norma adalah aturan atau
ketentuan yang mengikat warga kelompok dalam masyarakat. Di mana sebagai
panduan, tatanan, dan pengendali tingkah laku yang sesuai.
Norma biasanya berlaku dalam lingkungan masyarakat dengan aturan tak
tertulis, tetapi secara sadar masyarakat mematuhinya. Ada berbagai macam-macam
norma diantaranya, norma agama, norma kesopanan, norma hukum, dan norma
kesusilaan.
Sama halnya dengan kehidupan, dakwah pun memiliki aturan yang mengikat
aktivitas tersebut. Maka dari itu, norma dakwah juga kerap kali disebut dengan etika
dakwah. Karena pada dasarnya kedua kata tersebut memiliki makna yang sama
namun hanya dibedakan dengan cara pembalutan konsonan katanya saja. Etika
dakwah sendiri dapat kita definisikan melalui dua cara, yakni:
a. Secara etimologi (bahasa), kita bisa membedah satu persatu kata yang
menyusun kalimat etika dakwah. Etika berasal dari bahasa Yunani, yaitu ethos
yang berarti adat-istiadat (kebiasaan), perasaan batin, kecenderungan hati
untuk melakukan perbuatan. Etika juga mengajarkan tentang keluhuran budi
baik dan buruk. Jika dibatasi asal-usul kata ini, etika berarti ilmu tentang apa
yang bisa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan. Etika berarti kumpulan
asas norma tingkah laku, tata cara melakukan, sistem perilaku, tata karma,
atau disebut juga kode etik. Sedangkan dakwah adalah proses penyampaian
pesas keislaman atau juga seruan untuk berjalan di jalan Allah Swt. Sehingga
dapat disimpulkan bahwa etika dakwah adalah norma atau tata cara dalam
proses penyampaian pesan keagamaan.
Norma/kaidah dakwah adalah seperangkat hal – hal yang harus
diperhatikan oleh seorang da’i dalam berdakwah. Diantara norma-norma atau
kaidah da’i dalam berdakwah yaitu hendaknya soerang da’i memiliki sifat :
ٰٓ
ص َـر َو ْٱلفُؤَا َد ُكلُّ أُ ۟ولَئِكَ َكانَ َع ْنهُ َم ْسـُٔواًۭل
َ َك بِ ِهۦ ِع ْل ٌم ۚ إِ َّن ٱل َّس ْم َع َو ْٱلب َ َواَل تَ ْقفُ َما لَي
َ َْس ل
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai
pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati
semuanya itu akan dimintai pertanggungjawaban.”
(QS Al Israa’: 36)
10. Tilmidzu Imam Laa Tilmidzu Kitab (murid Guru bukan murid buku)
Aktivitas ibadah adalah kegiatan berupa perbuatan yang ditujukan untuk memperoleh
ridho Allah. Kebiasaan-kebiasaan dan aktivitas ibadah yang ditanamkan sejak kecil sangat
memengaruhi keagamaan seseorang. Dar aktivitas ibadah seseorang sangat erat hubungannya
dengan perilaku sosial di lingkungan masyarakat luas, dengan kesimpulan bahwa aktivitas
ibadah yang tinggi maka perilaku sosial juga tinggi
2) Analisis perspektif
A. Ekstrimisme dakwah.
Sebelumnya kita harus faham apa itu ekstrimisme dakwah, Menurut Merriam-Webster
Dictionary, ekstremisme secara harfiah artinya “kualitas atau keadaan yang menjadi ekstrem”
atau “advokasi ukuran atau pandangan ekstrim”.
Hadirnya isu terhadap ekstrimisme dakwah sejatinya dibangun untuk memecah belah
umat islam itu sendiri. Para oknum sengaja menghadirkan ekstrimisme itu sendiri dengan
mengatasnamakan Islam (dakwah), padahal islam sendiri adalah agama yang indah. Islam
aadalah agama “rahmatan lil aalamiin” (rahmat untuk semesta alam), islam agama yang
damai dan cinta kasih.
Maka, baik bagi da’i ataupun mad’u harus berhati-hati dalam menerima isu tersebut.
Seorang da’i tidak boleh tergiur dengan isu tersebut sehingga ikut-ikutan berdakwah dengan
cara yang ekstrim. Sementara bagi mad’u juga jangan mudah terprovokasi dengan adanya isu
tersebut sehingga menolak semua ajaran dan pesan-pesan dakwah yang disampaikan oleh
da’i.
Allah SWT berfirman,
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan
yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada
Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada
buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui.” (QS Al-Baqarah:256)
Maka seharusnya ekstrimisme dakwah ini jangan sampai menyebar dengan luas, karena
menurut saya oknum-oknum ini adalah orang-orang yang terlalu fanatic terhadap ilmu yang
dia miliki, sehingga dia berani memaksakan iman orang lain untuk dirubah. Sama saja
perumpamaannya dengan kita yang ingin membelokan suatu kayu, tidak semua benda dapat
membengkokan benda tersebut, jadi jangan sampai kita paksakan, bisa jadi kayu tersebut
menjadi patah. Begitu pula dakwah, jika ilmu yang kita bagikan tidak dapat membuat orang
lain berubah arah menjadi lebih baik, maka jangan dipaksakan, mungkin memang bukan
dakwah kita yang dapat mengubah dia.
Jumhur ulama berpendapat dibolehkan bagi seorang yang guru mengajarkan al Qur’an
(guru ngaji) untuk mengambil upah dari pengajarannya tersebut berdasarkan apa yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhori dari Ibnu Abbas bahwa beberapa sahabat Nabi saw
melewati sumber mata air dimana terdapat orang yang tersengat binatang berbisa, lalu salah
seorang yang bertempat tinggal di sumber mata air tersebut datang dan berkata; “Adakah di
antara kalian seseorang yang pandai menjampi? Karena di tempat tinggal dekat sumber mata
air ada seseorang yang tersengat binatang berbisa.” Lalu salah seorang sahabat Nabi pergi ke
tempat tersebut dan membacakan al fatihah dengan upah seekor kambing. Ternyata orang
yang tersengat tadi sembuh, maka sahabat tersebut membawa kambing itu kepada teman-
temannya. Namun teman-temannya tidak suka dengan hal itu, mereka berkata; “Kamu
mengambil upah atas kitabullah?” setelah mereka tiba di Madinah, mereka berkata; “Wahai
Rasulullah, ia ini mengambil upah atas kitabullah.” Maka Rasulullah bersabda:
“Sesungguhnya upah yang paling berhak kalian ambil adalah upah karena (mengajarkan)
kitabullah.”
Hal itu juga diperkuat bahwa Rasulullah saw pernah memerintahkan seorang lelaki
untuk mengajarkan istrinya al Qur’an sebagai mahar baginya.
Demikian halnya dengan seorang ustadz, guru agama, dosen-dosen yang mengajarkan
ilmu-ilmu agama atau para dai atau khotib yang menyampaikan ceramah-ceramahnya maka
dibolehkan bagi mereka menerima upah dari pengajarannya itu sebagaimana dibolehkannya
seorang yang mengajarkan Al Qur’an mengambil upah atau bayaran atau gaji dari pengajaran
al Qur’annya kepada murid-muridnya.
Markaz al Fatwa menyebutkan bahwa boleh mengambil upah dari mengajarkan ilmu-
ilmu syar’i (baca : ilmu agama) seperti para ustadz (dosen) di Fakultas Syariah dan lainnya.
Namun hendaklah setiap ustadz, dai, khotib, dosen, guru agama atau orang-orang
yang memberikan pengajaran dan pengetahuan tentang agama kepada orang lain yang
mendapatkan bayaran atau gaji darinya tetap menjaga keikhlasan niatnya agar apa yang
didapatnya itu tidak menghapuskan pahalanya di sisi Allah swt.
Diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim dari Umar bin Khattab dia berkata,
“Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya amalan itu tergantung dengan niatnya, dan
sesungguhnya ia akan mendapatkan sesuatu yang diniatkannya.”
Menjadi tokoh tersohor dan terhormat dikampung. Menjadi alasan kuat beliau untuk
terus berdakwah, walaupun dengan kondisi yang sederhana enggan melek terhadap
perubahan zaman, jika dilihat dari penampilannya beliau sangat sederhana. dan sikap
emosional beliau lah yang mampu membuat mata hati mad’u di sini mau untuk menerima
pesan dakwah darinya.
Beliau sangat sukses dengan melahirkan keluarga yang dapat meneruskan jejaknya di
kampung ini, dan alhamdulillah keluarga mulai dari anak-anaknya sampai menantu nya.
Dengan cara dan gaya personal nya masing-masing yang lebih kekinian dan modern
mengikuti mileniall.