Anda di halaman 1dari 10

UJIAN AKHIR SEMESTER (UAS)

FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI


UIN SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG
TAHUN AKADEMIK 2020-2021

NAMA Adi Wahyudi


NIM 1184020007
MATA KULIAH Etika Dakwah
JUR/SMT/KLS KPI/V/A
DOSEN Aliyudin, M.Ag.
TANGGAL 26 Januari 2021
TANDA TANGAN

Soal

1) Apa yang saudara ketahui tentang norma/kaidah dan rambu-rambu aktivitas dakwah,
jelaskan !
2) Bagaimana pandangan saudara tentang isu berikut :
a. Isu ekstrimisme dakwah
b. Da’i berwawasan Islam Nusantara
c. Pentarifan jasa dakwah
3) Lakukan studi sederhana terhadap pengalaman sukses salah seorang tokoh dakwah di
daerah saudara !

Jawab

1) A. Pengertian norma bisa diartikan sebagai petunjuk atau pedoman tingkah laku yang
harus dilakukan ataupun tidak boleh dilakukan dalam kehidupan sehari-hari, berdasarkan
suatu alasan tertentu.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), norma adalah aturan atau
ketentuan yang mengikat warga kelompok dalam masyarakat. Di mana sebagai
panduan, tatanan, dan pengendali tingkah laku yang sesuai.
Norma biasanya berlaku dalam lingkungan masyarakat dengan aturan tak
tertulis, tetapi secara sadar masyarakat mematuhinya. Ada berbagai macam-macam
norma diantaranya, norma agama, norma kesopanan, norma hukum, dan norma
kesusilaan.

Sama halnya dengan kehidupan, dakwah pun memiliki aturan yang mengikat
aktivitas tersebut. Maka dari itu, norma dakwah juga kerap kali disebut dengan etika
dakwah. Karena pada dasarnya kedua kata tersebut memiliki makna yang sama
namun hanya dibedakan dengan cara pembalutan konsonan katanya saja. Etika
dakwah sendiri dapat kita definisikan melalui dua cara, yakni:

a. Secara etimologi (bahasa), kita bisa membedah satu persatu kata yang
menyusun kalimat etika dakwah. Etika berasal dari bahasa Yunani, yaitu ethos
yang berarti adat-istiadat (kebiasaan), perasaan batin, kecenderungan hati
untuk melakukan perbuatan. Etika juga mengajarkan tentang keluhuran budi
baik dan buruk. Jika dibatasi asal-usul kata ini, etika berarti ilmu tentang apa
yang bisa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan. Etika berarti kumpulan
asas norma tingkah laku, tata cara melakukan, sistem perilaku, tata karma,
atau disebut juga kode etik. Sedangkan dakwah adalah proses penyampaian
pesas keislaman atau juga seruan untuk berjalan di jalan Allah Swt. Sehingga
dapat disimpulkan bahwa etika dakwah adalah norma atau tata cara dalam
proses penyampaian pesan keagamaan.
Norma/kaidah dakwah adalah seperangkat hal – hal yang harus
diperhatikan oleh seorang da’i dalam berdakwah. Diantara norma-norma atau
kaidah da’i dalam berdakwah yaitu hendaknya soerang da’i memiliki sifat :

1. Al Qudwah Qabla Ad Da’wah (menjadi teladan sebelum berdakwah)


Terampil dalam hal publik speaking saja, tanpa memperhatikan amal
perbuatan kita sebelum berdakwah, maka sejatinya akan mempengaruhi
respon mad’u (audience) terhadap da’i. Sebab, mad’u akan melihat terlebih
dahulu apa yang kita perbuat sebelum mendengar apa yang kita bicarakan.
Karena, pepatah arab juga menyatakan bahwa
“Lisanul Haal Afsahu Min Lisanil Maqal” 
(bahasa perbuatan lebih fasih daripada bahasa lisan).
Sementara, dalam Al Qur’an juga disebutkan bahwa :

َ َ‫اس بِ ْٱلبِرِّ َوتَن َسوْ نَ أَنفُ َس ُك ْم َوأَنتُ ْم تَ ْتلُونَ ْٱل ِك ٰت‬


َ‫ب ۚ أَفَاَل تَ ْعقِلُون‬ َ َّ‫أَتَأْ ُمرُونَ ٱلن‬
“Mengapa kamu menyuruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedangkan
kamu melupakan diri (kewajiban)mu sendir, apa kamu tidak berfikir” (QS Al
Baqarah: 44)
Ayat tersebut jelas memperintahkan kepada seorang da’i agar
senantiasa menjadi teladan sebelum berdakwah.

2. At Ta’lif Qabla At Ta’rif (mengikat hati sebelum mengenalkan)


Objek dakwah itu adalah mad’u dan setiap mad’u tentunya memiliki
hati dan cara penerimaan yang berbeda. Untuk itu, agar pesan dakwah
(maudu’) dapat diterima dan diamalkan dengan baik oleh mad’u, maka
sejatinya mad’u itu harus terlebih dulu mengenal dan tahu terhadap da’inya.
Dan salahsatu cara untuk mengikat hati mad’u agar pesan dakwah sampai
kepada mereka, yitu dengan cara membangun keakraban terlebih dahulu
antara da’i dengan mad’u.
Arti dalam mengikat hati disini yaitu harus adanya hubungan
emosional antara da’i dengan mad’u, sebab jika tidak ada hubungan emosional
khawatir mad’u tidak mau menerima pesan dakwah yang disampaikan oleh
da’i.

3. At Ta’rif Qabla At Taklif (mengenalkan sebelum memberi beban/amanah)


Banyak sekali kasus da’i yang berdakwah dengan cara yang ekstrim,
dimana sang da’i selalu memerintahkan mad’unya untuk melakukan suatu
amalan sebelum mad’u tersebut benar-benar paham terhadap ilmu dari amalan
tersebut. Ini adalah salasatu kesalahan terbesar dalam dakwah dan hal ini juga
menjadi penyebab mad’u salah dalam menerima pemahaman, sehingga
banyak menimbulkan perselisihan akibat perbedaan masing-masing mad’u.
Dakwah itu sejatinya memiliki landasan ilmu dan hujjah yang jelas,
bukan doktrin-doktrin yang tanpa ilmu dan hujjah yang tidak jelas. Maka,
penting sekali bagi da’i untuk memberikan pemahaman terlebih dahulu sesuai
dengan ilmu dan hujjah yang jelas, sebelum akhirnya memerintahkannya
kepada mad’u.

4. At Tadarruj fi At Taklif (bertahap dalam membebankan suatu amal)


Setiap mad’u memiliki pemahaman yang berbeda. Maka, respon yang
akan diberikan pun juga akan berbeda. Seorang da’i tentunya mampu
mengemas serta memilih dan memilah metode yang pantas
untukmenyampaikan dakwah kepada mereka. Seperti halnya, dakwah kepada
mad’u yang tingkat pendidikannya rendah harus dibedakan dengan mad’u
yang tingkat pendidikannya tinggi. Karena bagaimanapun juga pemahaman
dan cara mereka menerima pesan dakwah akan berbeda.
Hal ini bukan berarti seorang da’i harus membeda-beda, tapi lebih
kepada memilih untuk menggunakan metode yang sesuai dengan mereka agar
pesan dakwah yang disampaikan kepada mereka mampu diserap dan
diamalkan dengan baik oleh mad’u.

5. At Taysir Laa At Ta’sir (memudahkan bukan menyulitkan)


Dakwah itu sejatinya mampu memberikan kemudahan kepada
mad’unya. Karena Islam sendiri adalah agama yang mudah dan indah. Islam
melarang hambanya untuk mempersulit urusan orang lain, sebagaimana bahwa
Allah akan mempersulit urusan seorang hambanya diakhiratjika ia suka
mempersulit urusan saudaranya di dunia. Begitupun dalam berdakwah,
seorang da’i tidak boleh mempersulit para mad’u untuk menerima pesan
dakwah semisal mematok harga untuk tarif pengajiannya, melarang mad’unya
menerima pesan dakwah dari orang lain, melarang mad’unya belajar kepada
orang lain dan lain sebagainya.

6. Al Ushul Qabla Al Furu’ (perkara pokok sebelum perkara cabang)


Hendaknya seorang da’i itu benar-benar paham dengan pokok
permasalahan, baik itu permasalahn yang bersifat pokok (ushul) ataupun
cabang (furu’). Jangan sampai da’i menekankan kepada mad’unya untuk
melakukan perkara yang bersifat cabang (furu) ketimbang melakukan perkara
pokok (ushul). Karena da’i yang tidak memahami masalah-
masalah ushul dan furu’ ini akan menjadikan dakwah tidak lagi menuai
maslahat, bahkan dapat bersifat kontraproduktif .
Perkara ushul sejatinya harus didahulukanketimbang  furu’, sebab
furu’ dapat dilaksanakan dengan baik dan benar ketika berpijak
pada ushul yang baik dan benar pula.

7. At Targhib Qabla At Tarhib (memberi harapan sebelum ancaman)


Dalam berdakwah, sejatinya da’i mampu memberikan kebahagiaan
terlebih dahulu agar mereka tertarik dan mau menerima dengan apa yang
diajarkan dalam islam. Karena islam itu indah. Maka hendaknya seorang da’i
itu memberikan sebuah harapan sebagaimana janji-janji Allah terhadap orang-
orang yang beriman, sebelum menyampaikan ancaman kepada mereka.
Terlebih jika dihadapkan dengan mad’u yang penuh dengan dosa. Maka, da’i
harus memberikan harapan kepada mad’u tersebut bahwa Allah Swt akan
memberikan maghfiroh (ampunan) kepada setiap hamba-Nya apabila hamba-
Nya mau bertaubat kepada-Nya.

8. At Tafhim Laa At Talqin (memberi pemahaman bukan mendikte)


Da’i itu sejatinya bukan hanya harus cerdas dalam spiritual dan
emosional saja, akan tetapi wawasan intelektualnya pun harus juga beriringan.
Jadi, da’i itu bukan sekedar menyampaikan pemahaman saja (mendikte) akan
tetapi pesan dakwah yang disampaikan itu harus bisa melekat pada sanubari
sang mad’u, supaya pesan dakwah yang di sampaikan dapat diterima dan
direalisasikan oleh mad’u dengan baik.
Sebagaimana Allah SWT berfirman :

ٰٓ
‫ص َـر َو ْٱلفُؤَا َد ُكلُّ أُ ۟ولَئِكَ َكانَ َع ْنهُ َم ْسـُٔواًۭل‬
َ َ‫ك بِ ِهۦ ِع ْل ٌم ۚ إِ َّن ٱل َّس ْم َع َو ْٱلب‬ َ ‫َواَل تَ ْقفُ َما لَي‬
َ َ‫ْس ل‬
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai
pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati
semuanya itu akan dimintai pertanggungjawaban.” 
(QS Al Israa’: 36)

9. At Tarbiyah Laa At Ta’riyah (mendidik bukan menelanjangi)


Dakwah itu artinya mengajak bukan mengejek. Maka, seorang da’i
harus memberikan pelajaran yang baik kepada mad’unya, menggunakan
bahasa yang santun dan tidak menyakiti sesuai dengan prinsip-prinsip
komunikasi dalam islam.

10. Tilmidzu Imam Laa Tilmidzu Kitab (murid Guru bukan murid buku)

B. Beberapa rambu dakwah menurut Ali Mustafa Yacub :

 Pertama, tidak memisahkan antara perbuatan dan ucapan.

 Kedua, tidak melakukan toleransi agama. Toleransi antarumat beragama


memang sangat dianjurkan sebatas tidak menyangkut masalah akidah dan
ibadah Dalammasalah keduniaan (muamalah), Islam sangat menganjurkan
adanyatoleransi.

 Ketiga, tidak mencerca sesembahan agama lain.

 Keempat, tidak melakukan diskriminasi.

 Kelima, tidak memungut imbalan.

 Keenam, tidak melakukan diskriminasi. Dan,

 ketujuh, tidak menyampaikan hal-hal yang tidak diketahui

Aktivitas ibadah adalah kegiatan berupa perbuatan yang ditujukan untuk memperoleh
ridho Allah. Kebiasaan-kebiasaan dan aktivitas ibadah yang ditanamkan sejak kecil sangat
memengaruhi keagamaan seseorang. Dar aktivitas ibadah seseorang sangat erat hubungannya
dengan perilaku sosial di lingkungan masyarakat luas, dengan kesimpulan bahwa aktivitas
ibadah yang tinggi maka perilaku sosial juga tinggi

2) Analisis perspektif

A. Ekstrimisme dakwah.
Sebelumnya kita harus faham apa itu ekstrimisme dakwah, Menurut Merriam-Webster
Dictionary, ekstremisme secara harfiah artinya “kualitas atau keadaan yang menjadi ekstrem”
atau “advokasi ukuran atau pandangan ekstrim”.
Hadirnya isu terhadap ekstrimisme dakwah sejatinya dibangun untuk memecah belah
umat islam itu sendiri. Para oknum sengaja menghadirkan ekstrimisme itu sendiri dengan
mengatasnamakan Islam (dakwah), padahal islam sendiri adalah agama yang indah. Islam
aadalah agama “rahmatan lil aalamiin” (rahmat untuk semesta alam), islam agama yang
damai dan cinta kasih.
Maka, baik bagi da’i ataupun mad’u harus berhati-hati dalam menerima isu tersebut.
Seorang da’i tidak boleh tergiur dengan isu tersebut sehingga ikut-ikutan berdakwah dengan
cara yang ekstrim. Sementara bagi mad’u juga jangan mudah terprovokasi dengan adanya isu
tersebut sehingga menolak semua ajaran dan pesan-pesan dakwah yang disampaikan oleh
da’i.
Allah SWT berfirman,

“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan
yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada
Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada
buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui.” (QS Al-Baqarah:256)
Maka seharusnya ekstrimisme dakwah ini jangan sampai menyebar dengan luas, karena
menurut saya oknum-oknum ini adalah orang-orang yang terlalu fanatic terhadap ilmu yang
dia miliki, sehingga dia berani memaksakan iman orang lain untuk dirubah. Sama saja
perumpamaannya dengan kita yang ingin membelokan suatu kayu, tidak semua benda dapat
membengkokan benda tersebut, jadi jangan sampai kita paksakan, bisa jadi kayu tersebut
menjadi patah. Begitu pula dakwah, jika ilmu yang kita bagikan tidak dapat membuat orang
lain berubah arah menjadi lebih baik, maka jangan dipaksakan, mungkin memang bukan
dakwah kita yang dapat mengubah dia.

B. Da’i berwawasan Islam Nusantara


Dari hasil Musyawarah Nasional Alim Ulama Nahdatul Ulama (Munas alim ulama
NU), dalam pembahasan di Komisi Bahtsul Masail Maudluiyyah, para kiai NU menyatakan
bahwa Islam Nusantara bukanlah aliran baru.
Sementara itu, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Said Aqil
Siroj, memperjelas jika Islam Nusantara bukan aliran, mazhab, atau sekte, melainkan Islam
yang menghormati budaya dan tradisi Nusantara yang ada selama tidak bertentangan dengan
syariat Islam.
Jadi, jika melihat pendapat para ulama tersebut bahwa Islam Nusantara bukanlah
sebuah aliran, madzhab atau sekte baru, melainkan sebuah pemahaman islam yang
menghormati budaya dan tradisi nusantara.
Dalam proses dakwah Islam, budaya sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan
bahkan menjadi salahsatu metode dalam berdakwah. Seperti halnya para wali songo yang
juga menyebarkan dakwah Islam dengan menggunakan budaya, semisal wayang, seni musik,
dan lain sebagainya.
Menurut saya tidak ada masalah dengan wawasan tersebut dengan landasan
keberagaman yang telah disebutkan sebelumnya selama ajaran dan wawasan sang da’I
tersebut tidak menyesatkan dan melenceng dari dakwah Islam karena saya yakin wawasan
apapun yang dianut dalam berdakwah jika berdasar pada Al-Qur’an, Hadits, dakwah Rasul
tujuannya sama yaitu untuk menyebarkan agama Islam, hanya berbeda dalam pelaksanannya.
Menjadi dai sendiri yang berwawasan nusantara sendiri bagus karena memiliki
wawasan mengenai nusantara mengetahui medan dari tempat yang akan di dakwahi sehingga
cukup dalam pengetahuan tinggal pengaplikasian yang sesuai denga napa yang talah di
ajaraka oleh Nabi Muhammad saw sehingga terhindar dari penyimpangan penyimpangan.

C. Pentarifan jasa dakwah

Jumhur ulama berpendapat dibolehkan bagi seorang yang guru mengajarkan al Qur’an
(guru ngaji) untuk mengambil upah dari pengajarannya tersebut berdasarkan apa yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhori dari Ibnu Abbas bahwa beberapa sahabat Nabi saw
melewati sumber mata air dimana terdapat orang yang tersengat binatang berbisa, lalu salah
seorang yang bertempat tinggal di sumber mata air tersebut datang dan berkata; “Adakah di
antara kalian seseorang yang pandai menjampi? Karena di tempat tinggal dekat sumber mata
air ada seseorang yang tersengat binatang berbisa.” Lalu salah seorang sahabat Nabi pergi ke
tempat tersebut dan membacakan al fatihah dengan upah seekor kambing. Ternyata orang
yang tersengat tadi sembuh, maka sahabat tersebut membawa kambing itu kepada teman-
temannya. Namun teman-temannya tidak suka dengan hal itu, mereka berkata; “Kamu
mengambil upah atas kitabullah?” setelah mereka tiba di Madinah, mereka berkata; “Wahai
Rasulullah, ia ini mengambil upah atas kitabullah.” Maka Rasulullah bersabda:
“Sesungguhnya upah yang paling berhak kalian ambil adalah upah karena (mengajarkan)
kitabullah.”

Hal itu juga diperkuat bahwa Rasulullah saw pernah memerintahkan seorang lelaki
untuk mengajarkan istrinya al Qur’an sebagai mahar baginya.

Demikian halnya dengan seorang ustadz, guru agama, dosen-dosen yang mengajarkan
ilmu-ilmu agama atau para dai atau khotib yang menyampaikan ceramah-ceramahnya maka
dibolehkan bagi mereka menerima upah dari pengajarannya itu sebagaimana dibolehkannya
seorang yang mengajarkan Al Qur’an mengambil upah atau bayaran atau gaji dari pengajaran
al Qur’annya kepada murid-muridnya.

Markaz al Fatwa menyebutkan bahwa boleh mengambil upah dari mengajarkan ilmu-
ilmu syar’i (baca : ilmu agama) seperti para ustadz (dosen) di Fakultas Syariah dan lainnya.

Al Khotib al Baghdadiy didalam “al Fiqh wa al Mutafaqqih” mengatakan,”diwajibkan


bagi seorang imam (pemimpin) untuk memberikan kecukupan penghasilan kepada orang-
orang yang menyerahkan dirinya untuk memberikan pengajaran didalam bidang fiqih atau
fatwa hukum-hukum dan ambilah untuk itu dari baitul mal kaum muslimin. Jika di sana tidak
terdapat baitul mal maka penduduk negeri harus bekerja sama menyisihkan sebagian dari
hartanya untuk diberikan kepadanya (mufti) agar dia bisa fokus mencurahkan segenap
waktunya untuk memberikan fatwa kepada mereka dan jawaban-jawaban dari permasalahan-
permasalahan mereka. (Markaz al Fatwa, fatwa No. 34050)

Namun hendaklah setiap ustadz, dai, khotib, dosen, guru agama atau orang-orang
yang memberikan pengajaran dan pengetahuan tentang agama kepada orang lain yang
mendapatkan bayaran atau gaji darinya tetap menjaga keikhlasan niatnya agar apa yang
didapatnya itu tidak menghapuskan pahalanya di sisi Allah swt.

Diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim dari Umar bin Khattab dia berkata,
“Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya amalan itu tergantung dengan niatnya, dan
sesungguhnya ia akan mendapatkan sesuatu yang diniatkannya.”

3) Studi sederhana terhadap pengalaman sukses salah seorang tokoh dakwah di


daerah saudara
Pak Maman, seorang tokoh masyarakat yang aktif membangun aktifitas dakwah
didaerah Kampung Sukadana RT 02 RW 05 Kec. Ciparay Kabupaten Bandung. Selain
menjadi tokoh dakwah, beliau juga merupakan salah pendiri DKM dengan mewadari remaja
mesjid disini.

Menjadi tokoh tersohor dan terhormat dikampung. Menjadi alasan kuat beliau untuk
terus berdakwah, walaupun dengan kondisi yang sederhana enggan melek terhadap
perubahan zaman, jika dilihat dari penampilannya beliau sangat sederhana. dan sikap
emosional beliau lah yang mampu membuat mata hati mad’u di sini mau untuk menerima
pesan dakwah darinya.

Beliau sangat sukses dengan melahirkan keluarga yang dapat meneruskan jejaknya di
kampung ini, dan alhamdulillah keluarga mulai dari anak-anaknya sampai menantu nya.
Dengan cara dan gaya personal nya masing-masing yang lebih kekinian dan modern
mengikuti mileniall.

Anda mungkin juga menyukai