Bab V Titrasi Asam - Basa
Bab V Titrasi Asam - Basa
5.1 PENDAHULUAN
Titrasi asam-basa adalah titrasi yang melibatkan reaksi netralisasi dimana asam
bereaksi dengan sejumlah ekivalen basa. Dengan menggambarkan kurva titrasi kita dengan
mudah dapat menjelaskan bagaimana titik akhir titrasi dideteksi. Kurva titrasi dibuat
dengan memplot pH larutan sebagai fungsi dari volume titran yang ditambahkan. Titran
selalu merupakan asam atau basa kuat, sedangkan analit bisa berupa basa atau asam kuat
ataupun basa atau asam lemah. Di bawah ini akan dibahas berbagai jenis titrasi asam basa
dan pembuatan kurva titrasinya. Namun ada baiknya kita dahului pembicaraan ini dengan
Dalam titrasi kita harus menentukan saat titik ekivalen yaitu saat ekivalen titran
sama dengan ekialen titrat. Saat reaksi diamati sempurna, yaitu saat terjadi perubahan
yang dapat diamati, disebut dengan titik akhir. Titrasi harus dilakukan secermat mungkin
sehingga titik ekivalen berhimpitan atau sangat dekat dengan titik akhir titrasi. Salah sattu
cara yang paling nyata untuk menentukan titik akhir adalah mengukur pH pada berbagai
titik/keadaan titrasi, kemudian membuat plotnya lawan volume titran. Ini dapat dilakukan
Selain dengan pH meter, biasanya lebih cocok bila kita menambahkan indikator ke
dalam larutan uji, kemudian mendeteksi perubahan warna secara visual. Indikator untuk
titrasi asam-basa merupakan suatu asam atau basa lemah yang sangat berwarna. Warna
indikator bentuk terionisasi sangat berbeda dengan warna indikator yang tidak terionisasi.
59
Salah satu bentuk bisa tidak berwarna, tetapi bentuk yang satunya lagi berwarna. Senyawa-
Sebagai contoh, misalkan indikator yang kita gunakan adalah suatu asam lemah
yang disimbulkan dengan HIn. Warna bentuk yang tidak terionisasi merah, sedangkan
Persamaan Hederson-Hasselbalch untuk ini sama halnya seperti persamaan asam lemah
lainnya.
[In-]
pH = pKIn + log (5.2)
[HIn]
Indikator akan berubah warna pada suatu rentang pH dimana rentang transisinya
Bila yang digunakan adalah indikator yang kedua bentuknya berwarna, umumnya hanya
satu warna yang teramati. Ini akan terjadi bila rasio kedua bentuk adalah 10 : 1, hanya
warna bentuk yang lebih pekat yang terlihat. Dari sini kita bisa hitung rentang transisi pH
yang dibutuhkan agar warna satu dan lainnya bisa dilihat. Bila hanya warna bentuk yang
Bila warna bentuk yang terionisasi yang terlihat, maka [In-]/[HIn] = 10/1 sehingga
Dengan demikian pH pada perubahan warna satu ke yang lainnya berkisar antara pKa - 1
sampai dengan pKa + 1. Ini merupakan perubahan pH sebesar dua satuan pH, sehingga
sebagian besar indikator memerlukan rentang transisi sekitar dua satuan pH. Selama
60
transisi, warna yang teramati adalah campuran kedua warna. Pada pertengahan transisi
konsentrasi kedua bentuk adalah sama dimana pH = pKa. Dengan demikian, nyatalah
bahwa pKa indikator harus dekat dengan pH pada titik ekivalen. Perhitungan yang serupa
juga dapat diterapkan terhadap indikator basa yang pada akhirnya diperoleh rentang
transisi yang sama dimana pOH pada petengahan transisi sama dengan pKb, sehingga pH =
14 - pKb. Dengan demikian, indikator basa lemah harus dipilih sehingga pH nya = 14 -
pKb. Gambar 5.1 adalah ilustrasi warna dan rentang transisi berbagai indikator yang umum
dipakai. Transisi akan lebih mudah diamati bila salah satu bentuk indikator tidak
berwarna. Oleh karena itu, untuk titrasi asam-basa kuat digunakan indikator fenolftalein
yang dalam keadaan asam tidak berwarna dan dalam keadaan basa berwarna merah muda.
Oleh karena indikator adalah suatu asam atau basa, maka jumlah yang harus
61
mempengaruhi pH sehingga hanya sedikit kelebihan titran diperlukan untuk titran yang
terjadinya perubahan warna. Perubahan warna akan lebih tajam bila konsentrasi indikator
kecil karena hanya sedikit asam atau basa yang diperlukan untuk mengubahnya dari satu
bentuk ke bentuk lainnya. Dengan demikian, indikator biasanya dibuat dengan konsentrasi
beberapa persen saja dan ditambahkan sekitar 2 - 3 tetes ke dalam larutan yang dititrasi.
Kesalahan dapat terjadi dalam penggunaan indikator visual. Salah satunya adalah
apabila indikator yang digunakan tidak berubah warna pada pH yang sesuai. Akan tetapi,
kesalahan tetap ini dapat dikoreksi dengan jalan melakukan titrasi blangko. Kesalahan
lainnya adalah bila kurva titrasi terlalu landai sehingga perbahan warna pada titik ekivalen
tidak tajam.
Dalam titrasi ini baik titran maupun analit terionisasi sempurna. Salah satu contoh
H+ dan OH- bergabung membentuk H2O, sedangkan ion lainnya Na+ dan Cl- tetap tidak
berubah. Dengan demikian hasil akhir netralisasi ini adalah perubahan HCl menjadi
Kurva titrasi untuk 100 mL HCl 0,1 M yang dititrasi dengan NaOH 0,1 M
ditampilkan dalam Gambar 5.2. Perhitungan kurva titrasi hanya melibatkan perhitungan
pH dari konsentrasi spesies tertentu yang terdapat dalam berbagai tahap titrasi. Perubahan
volume selama titrasi harus dilibatkan untuk menentukan konsentrasi spesies tersebut.
Pada permulaan titrasi kita mempunyai HCl 0,1 M sehingga pH awal = 1,0. begitu
titrasi dimulai sebagian H+ bergabung dengan OH- membentuk H2O sehingga konsentrasi
62
Gambar 5.2 Kurva Titrasi untuk 100 mL HCl 0,1 M lawan NaOH 0,1 M
Pada netralisasi 90% (90 mL NaOH ditambahkan) hanya 10% H+ tersisa. Bila kita
abaikan perubahan volumenya, maka konsentrasi H+ pada tahap ini adalah 10-2 M dan pH
akan naik sebesar dua satuan pH. Bila kita melakukan koreksi terhadap perubahan volume,
maka pH akan sedikit lebih tinggi. Ketika mendekati titik ekivalen konsentrasi H+
berkurang dengan cepat sampai tercapai titik ekivalen dimana netralisasi sempurna dan
terdapat larutan netral NaCl dengan pH = 7. Bila kita melanjutkan menambahkan NaOH,
konsentrasi OH- akan meningkat dengan cepat dari 10-7 pada titik ekivalen sampai pada
10-2 dan 10-1 M, sehingga kita akan mempunyai larutan NaOH dan NaCl. Oleh karena itu
pH akan hampir konstan pada kedua sisi titik ekivalen, tetapi akan berubah dengan tajam
pada daerah sangat dekat dengan titik ekivalen. Perubahan yang sangat besar ini
sifat lainnya yang berubah dengan pH. Besarnya rentang bergantung pada konsentrasi
asam dan basa. Kurva titrasi dengan berbagai konsentrasi asam kuat dan basa kuat
63
ditampilkan dalam Gambar 5.3. Titrasi kebalikan akan memberikan bayangan cermin dari
Gambar 5.4 Kurva titrasi untuk 100 mL NaOH dengan HCl 0,1 M
64
CONTOH 5.1 Hitunglah pH pada saat titrasi 0, 10, 90, 100, dan 110% titrasi 50 mL HCl
Penyelesaian
= 0,0818 M
= 0,00526 M
Pada 100% : Semua H+ telah bereaksi dengan OH-, sehingga kita mempunyai
Pada 110% : Disini kita mempunyai larutan yang mengandung NaCl dan kelebihan
NaOH
OH- = 0,100 M x 5,00 mL = 0,50 mmol/105 mL larutan
[OH-] = 0,00476 M
65
5.4 TITRASI ASAM LEMAH DENGAN BASA KUAT
Kurva titrasi untuk 100 mL asam asetat 0,1 M yang dititrasi dengan natrium
Gambar 5.5 Kurva Titrasi untuk 100 mL HOAc 0,1 M dengan NaOH 0,1 M
Reaksi netralisasi asam asetat dengan natrium hidroksida adalah sebagai berikut:
Asam asetat yang hanya beberapa persen saja terionisasi (bergantung pada konsentrasinya)
ternetralkan menjadi air dan sejumlah ekivalen garam natrium asetat. Sebelum titrasi
dimulai kita memiliki HOAc 0,1 M dan pH larutan dihitung dengan cara:
Setelah titrasi dimulai sebagian HOAc diubah menjadi NaOAc sehingga terbentuk sistem
bufer. Selama titrasi berlangsung pH akan meningkat perlahan-lahan karena rasio [OAc-]/
[HOAc] berubah. Pada pertengahan titrasi [OAc-]= [HOAc] sehingga pH = pKa. Pada titik
ekivalen kita hanya mempunyai larutan NaOAc. Oleh karena garam ini suatu basa
66
Bronsted (terhidrolisis) maka pH pada titik ekivalen akan basa (alkalis). Dari Gambar 5.6
kita bisa lihat bahwa pH akan bergantung pada konsentrasi NaOAc. Semakin besar
konsentrasinya semakin tinggi pHnya. Oleh karena ada kelebihan NaOH yang
ditambahkan setelah titik ekivalen maka ionisasi basa OAc- ditekan sampai pada jumlah
yang dapat diabaikan, sehingga pH ditentukan hanya oleh konsentrasi kelebihan OH-.
Dengan demikian kurva titrasi di luar titik ekivalen sama halnya dengan kurva titrasi asam
kuat.
Adanya tanjakan perlahan sebelum titik ekivalen disebut dengan daerah bufer.
Kapasitas bufer akan paling besar pada pH yang berhubungan dengan pKa. Kapasitas bufer
juga bergantung pada konsentrasi HOAc dan OAc- sehingga kapasitas bufer total
meningkat bila konsentrasinya meningkat. Dengan kata lain jarak bagian datar pada ke dua
Bila kita bandingkan kurva titrasi untuk asam kuat-basa kuat dengan kurva titrasi
asam lemah-basa kuat maka kurva pada Gambar 5.2 dan 5.3 akan jauh lebih datar daripada
kurva pada kurva Gambar 5.5. Dengan alasan ini maka larutan asam kuat atau basa kuat
akan membentuk bufer yang jauh lebih bagus, dengan basa atau asam yang ditambahkan,
daripada sistem bufer konvensional yang telah kita kenal. Hanya saja di sini masalahnya
adalah terbatas pada daerah pH yang sangat sempit, terutama bila konsentrasi asam atau
basanya cukup kuat mempengaruhi kapasitas bufer. Dengan demikian, ini adalah daerah
yang praktis jarang dibufer. Lagipula, larutan asam atau basa kurang tahan terhadap
perubahan pH saat pengenceran tidak seperti bufer konvensional yang tahan terhadap
perubahan seperti itu. Oleh karena itu kita sering memakai bufer campuran dari asam atau
basa lemah dengan garamnya, sehingga kita dapat melakukan seleksi terhadap daerah pH
yang diinginkan.
67
Seringkali bufer dipakai untuk memberikan satu pH yang spesifik dan tidak ada
asam atau basa yang ditambahkan. pH yang diinginkan akan lebih mudah diperoleh dengan
sistem bufer konvensional daripada dengan sistem asam kuat dan basa kuat. Rentang
transisi indikator untuk asam lemah haruslah berada pada rentang sekitar 7 sampai 10
(Gambar 5.5). Fenolftalein sangat cocok dipakai untuk tujuan tersebut. Bila indikator
seperti misalnya metil merah yang digunakan maka indikator ini akan segera berubah
warna ke warna basanya begitu titrasi dimulai sampai sekitar pH 6, yaitu sebelum tercapai
titik ekivalennya. Kebergantungan bentuk kurva titrasi dan pH titik ekivalen pada
konsentrasi ditunjukkan dalam Gambar 5.6 untuk berbagai konsentrasi HOAc dan NaOH.
larutan lebih encer dari 10-3 M (Kurva 3, Gambar 5.6). Perhatikanlah bahwa pH titik
ekivalen turun bila sistem asam lemahnya semakin encer yang mana hal ini tidak terjadi
dalam sistem asam kuat. Titik ekivalen untuk setiap titrasi asam lemah dengan basa kuat
68
akan alkalis. Semakin lemah asam (Ka makin kecil), Kb garam akan semakin besar dan
Gambar 5.7 menunjukkan kurva titrasi untuk 100 mL larutan asam lemah 0,1 M
dengan berbagai nilai Ka yang dititrasi dengan NaOH 0,1 M. Ketajaman titik ekivalen akan
berkurang bila Ka menurun. Seperti terlihat dalam Gambar 5.6 ketajaman berkurang
karena konsentrasi berkurang. Pada umumnya titrasi makro ( 0,1 M), asam dengan Ka
sekecil 10-6 dapat dititrasi secara akurat dengan indikator visual. Asam yang lebih lemah
dari ini tidak akan memberikan titik ekivalen yang tajam. Untuk hal seperti ini pH-meter
dapat dipakai untuk memplot kurva titrasi sehingg diperoleh ketepatan yang bagus.
Suatu asam dengan Ka lebih kecil dari 10-7 atau 10-8 merupakan asam yang terlalu
Gambar 5.7 Kurva untuk Titrasi 100 mL Asam Lemah dengan Berbagai
Harga Ka dengan NaOH 0,1 M.
69
CONTOH 5.2 Hitunglah pH pada saat penambahan 0, 10,0; 25,0; 50,0; 60,0 mL titran
Penyelesaian
Pada 0 mL titran : kita mempunyai larutan yang hanya mengandung HOAc 0,1000 M.
Maka HOAc sisa = (5,00 - 1,00) mmol = 4,00 mmol/60 mL. Di sini kita mempunyai
[OAc-]
pH = pKa + log
[HOAc]
1,00/60
pH = 4,76 + log ; pH = 4,16
4,00/60
Pada 25,0 mL titran: setengah HOAc telah diubah menjadi OAc-, sehingga pH = pKa.
70
2,50/75
pH = 4,76 + log
2,50/75
pH = 4,76
Pada 50,0 mL titran : semua HOAc telah diubah menjadi OAc- (5,00 mmol dalam
Kw
-
[OH ] = [OAc-]
Ka
1,0 x 10-14
[OH-] = x 0,0500 = 5,35 x 10-6 M
1,75 x 10-5
Pada 60,0 mL titran : Kita mempunyai larutan NaOAc dan kelebiha NaOH. Hidrolisis
Titrasi asam lemah dengan basa kuat analog dengan titrasi asam lemah dengan basa
kuat di atas, hanya saja kurva titrasinya berlawanan. Kurva titrasi untuk 100 mL amonia
71
Pada permulaan titrasi kita mempunyai NH3 0,1 M dan pH-nya dihitumg dengan cara
sebagai berikut:
Gambar 5.8 Kurva untuk Titrasi 100 mL NH3 0,1 M dengan HCl 0,1 M.
Segera setelah titrasi dimulai dimana ditambahkan sejumlah asam, sebagian NH3 diubah
menjadi NH4+ sehingga kita mempunyai daerah bufer. Pada pertengahan titrasi [NH4+] =
[NH3] dan pH larutan = 14 - pKb. Pada titik ekivalen kita akan mempunyai larutan NH4Cl
(asam Bronsted) yang terhidrolisis menghasilkan larutan asam. Di sini pH juga bergantung
titik ekivalen H+ bebas akan menahan ionisasi sehingga pH ditentukan oleh penambahan
H+ berlebih. Dengan demikian kurva titrasi di luar titik ekivalen akan sesuai dengan kurva
titrasi untuk basa kuat (Gambar 5.4). Oleh karena Kb untuk amonia sama dengan Ka untuk
asam asetat maka kurva titrasi amonia lawan asam kuat merupakan bayangan cermin dari
72
Indikator untuk titrasi dalam Gambar 5.8 mempunyai rentang transisi sekitar pH 4
sampai 7. Metil merah merupakan indikator yang cocok untuk titrasi ini seperti
ditunjukkan oleh gambar. Bila fenolftalein yang digunakan sebagai indikator maka
ekivalen tercapai.
Kurva titrasi untuk berbagai konsentrasi NH3 yang dititrasi dengan berbagai
konsentrasi HCl akan merupakan bayangan cermin kurva dalam Gambar 5.6. Metil merah
tidak dapat digunakan untuk larutan encer. Kurva untuk titrasi 100 mL basa lemah 0,1 M
untuk berbagai Kb dengan HCl 0,1 M ditunjukkan dalam Gambar 5.9. Dalam titrasi makro
basa lemah dengan Kb 10-6 dapat dititrasi dengan menggunakan indikator visual
sedangkan titrasi basa lemah dengan Kb 10-7 sampai 10-8 dilakukan dengan menggunakan
pH-meter.
Gambar 5.9 Kurva untuk Titrasi 100 mL Basa Lemah 0,1 M dengan Berbagai
Kb vs HCl 0,1 M.
Persamaan-persamaan untuk pembuatan kurva titrasi asam kuat (HX) atau basa kuat
(BOH) dan titrasi basa lemah (HA) atau basa lemah (B) disajikan dalam tabel 5.1 dan 5.2.
73
74
5.6 TITRASI NATRIUM KARBONAT
Natrium karbonat adalah suatu basa Bronsted yang digunakan sebagai zat baku
primer pada pembakuan asam kuat. Natrium karbonat terhidrolisis dalam dua tahap
sebagai berikut:
Kw
CO32- + H2 O HCO3- + OH- KH1 = Kb1 = 2,1 x 10-4
(5.10)
Ka2
Kw
HCO3- + H2 O CO2 + H2O + OH- KH2 = Kb2 = 2,3 x 10-8
(5.11)
Ka1
Ka1 dan Ka2 adalah nilai Ka untuk H2CO3. HCO3- adalah asam konyugasi dari CO32-
dan H2CO3 adalah asam konyugasi dari HCO3-, dan Kb dihitung dengan cara seperti garam
Natrium karbonat dapat dititrasi dimana akan terdapat dua titik ekivalen yang
berhubungan dengan tahap pelepasan proton dalam pembentukkan HCO3- dan CO2. Nilai
Kb keduanya harus berbeda sedikitnya 104 agar diperoleh pemisahan titik ekivalen yang
bagus. Kurva untuk titrasi Na2CO3 dengan HCl ditunjukkan dalam Gambar 5.10. Di sini,
nilai Kb1 jauh lebih besar dari 10-6; tanjakan pH turun disebabkan oleh pembentukkan CO2
di luar titik ekivalen yang pertama. Tanjakan titik ekivalen yang kedua tidak begitu tajam
karena harga Kb2 lebih kecil dari 10-6. Namun demikian titik ekivalen ini bisa dipertajam
karena CO2 yang dihasilkan dari netralisasi mudah menguap dan ini bisa dihilangkan
dimulai, sebagian CO32- diubah menjadi HCO3- sehingga akan terbentuk sistem bufer
CO32-/HCO3- . Pada titik ekivalen yang pertama dalam larutan masih ada HCO3- di mana
[H+] Ka1 . Ka2 . Di luar titik ekivalen yang pertama, HCO3- secara parsial diubah menjadi
75
H2CO3 (CO2), di sini akan terjadi sistem bufer yang kedua dengan pH yang disebabkan
oleh [HCO3-]/[CO2]. pH pada titik ekivalen yang kedua ditentukan oleh konsentrasi asam
lemah CO2.
Fenolftalein digunakan untuk deteksi titik ekivalen yang pertama sedangkan untuk
Gambar 5.10 Kurva Titrasi untuk 50 mL Na2CO3 0,1 M dengan HCl 0,1 M
Asam diprotik dapat dititrasi secara bertahap seperti titrasi natrium karbonat. Agar
diperoleh titik ekivalen yang baik dalam pelepasan proton yang pertama maka Ka1 harus
sedikitnya 104 x Ka2 . Bila Ka2 berada dalam rentang yang dibutuhkan yaitu 10-7 - 10-8
maka akan diperoleh titik ekivalen yang bagus dalam pelepasan proton yang kedua. Asam
triprotik dapat dititrasi dengan cara yang sama pula, tetapi Ka3 -nya biasanya terlalu kecil
Pada suatu titarsi asam H2A, akan terjadi ionisasi sebagai berikut:
76
pH pada awal titrasi ditentukan dari ionisasi proton pertama bila larutannya tidak terlalu
encer. Selama titrasi sampai dengan titik ekivalen pertama terdapat sistem bufer HA-/ H2A.
Pada titik ekivalen pertama, dalam larutan akan ada HA- dan [H+] Ka1. Ka2 . Di luar titik
ini akan ada sistem bufer A2-/ HA-. Akhirnya pada titik ekivalen yang kedua pH larutan
Campuran asam atau basa dapat dititrasi secara bertahap bila ada perbedaan
kekuatan yang mencolok. Di sini harus ada perbedaan Ka sedikitnya 104. Jika salah satu
asamnya asam kuat, maka titik ekivalen untuk asam kuat dapat diamati (bila Ka 10-5 atau
lebih kecil lagi). Sebagai contoh, lihatlah Gambar 5.11 yang merupakan kurva titrasi
campuran HCl dan HOAc dengan NaOH dimana hanya ada lekukan kecil untuk HCl.
Asam yang lebih kuat akan tertitrasi lebih dahulu dan akan memberikan lekukan pH pada
titik ekivalennya. Ini akan diikuti oleh asam yang lebih lemah dengan lekukan pH pada
titik ekivalennya. Pada titik ekivalen HCl dalam larutan akan terdapat HOAc dan NaCl
sehingga titik ekivalennya bersifat asam. Di luar titik ekivalen ini ada sistem bufer yang
menekan lekukan pH untuk HCl. Titrasi berikutnya sana seperti titasi HOAc tunggal.
Bila campuran dua asam kuat dititrasi bersamaan, maka tidak akan ada perbedaan
dengan titrasi asam kuat tunggal, sehingga hanya satu titik ekivalen teramati. Hal yang
sama juga terjadi untuk campuran asam lemah jika harga kedua Ka-nya tidak jauh berbeda.
Sebagai contoh, campuran asam asetat (Ka = 1,75 x 10-5) dengan asam propianat (Ka = 1,3
Untuk asam sulfat, H2SO4, proton yang pertama terdisosiasi sempurna yang
memberikan titik ekivalen yang pertama, sedangkan proton yang kedua mempunyai Ka
sekitar 10-2, sehingga proton yang kedua ini juga dapat dititrasi sebagai asam kuat.
77
Gambar 5.11 Kurva Titasi untuk 50 mL Campuran HCl 0,1 dan HOAc 0,2 M dengan
NaOH.
Dengan demikian, hanya satu titik ekivalen yang kelihatan. Hal seperti ini juga
dapat terjadi pada campuran asam kuat dan asam lemah dengan Ka = 10-2.
Asam sulfit, H2SO3, mempunyai Ka1 = 1,3 10-2 dan Ka2 = 5 x 10-6. Dengan
demikian dalam campurannya dengan HCl, proton pertama dari H2SO3 tertitrasi
bersamaan dengan HCl, pH pada titik ekivalen ditentukan oleh HSO3-, yaitu [H+]
= Ka1 . Ka2 karena HSO3- bisa sebagai asam atau basa. Setelah titik ekivalen yang
pertama, titrasi dilanjutkan untuk proton kedua sehingga memberikan titik ekivalen yang
kedua. Volume titran akan selalu lebih banyak dalam mencapai titik ekivalen pertama
daripada dalam mencapai titik ekivalen kedua. Hal ini disebabkan oleh karena dalam titrasi
yang pertama, titran diperlukan untuk menitrasi kedua asam. Jumlah H2SO3 dapat
ditentukan dari jumlah basa yang dibutuhkan untuk titrasi proton kedua, sedangkan jumlah
HCl dapat ditentukan dengan mengurangkan volume pada titik ekivalen pertama dari
volume pada titrasi proton kedua yang sama dengan volume yang dibutuhkan untuk titrasi
78
CONTOH 5.3 Suatu campuran HCl dan H3 PO4 dititrasi dengan NaOH 0,1000 M. Titik
ekivalen pertama (metil merah) terjadi pada 35 mL dan titik ekivalen kedua (bromotimol
biru) terjadi pada volume total 50,00 mL (15,00 mL setelah titik ekivalen yang pertama).
Hitunglah mmol HCl dan H3 PO4 dalam campuran tersebut.
Penyelesaian
Titik ekivalen yang kedua bertautan dengan titrasi satu proton dari H3PO4 (H2PO4- menjadi
15,00 mL basa dibutuhkan untuk titrasi proton pertama dari H3PO4, sehingga mmol HCl =
Dengan cara yang sama campuran basa juga dapat dititrasi jika kekuatannya cukup
Asam amino adalah senyawa amfoter yang mengandung gugus asam maupun basa
(dapat bersifat sebagai asam ataupun basa). Gugus asamnya adalah gugus asam karboksilat
(-COOH) dan gugus basanya adalah gugus amina (NH2). Dalam larutan berair senyawa ini
cenderung mengalami perpindahan proton internal dari gugus karboksilat ke gugus amina
menghasilkan zwitterion.
R CH CO2-
NH3+
Oleh karena asam amino bersifat amfoter maka senyawa ini dapat dititrasi dengan asam
kuat maupun basa kuat. Beberapa asam amino terlalu lemah untuk dititrasi dalam larutan
berair tetapi banyak juga yang memberikan titik ekivalen yang bagus apalagi kalau dipakai
79
pH-meter dalam pembuatan kurva titrasinya. Perhatikan asam konyugasi dari zwitterion
Ka1 Ka2
R CH CO2H == H + R CH CO2 == H+ + R CH CO2-
+ -
(5.14)
NH3+ NH3+ NH2
Kesetimbangan asam-basa untuk amino diperlakukan sama dengan asam diprotik lainnya.
Konsentrasi ion hidrogen dalam zwitterion dihitung dengan cara yang sama seperti garam
Bila zwitterion asam amino dititrasi dengan asam kuat, maka akan terjadi daerah bufer
yang terdiri dari zwitterion atau garam dan asam konyugasinya. Pertengahan menuju titik
ekivalen pH = p Ka1, dan pada titik ekivalen pH ditentukan oleh asam konyugasinya (Ka1 ).
Bila zwitterion dititrasi dengan basa kuat, maka akan terbentuk daerah bufer basa
konyugasi (garam) dan zwitterion (asam). Pertengahan menuju titik ekivalen pH = pKa2
dan pada titik ekivalen pH ditentukan oleh basa konyugasi (Kb = Ka2 /Kw ). Untuk asam
amino yang mempunyai lebih dari satu gugus karboksilat maupun amina, maka ini akan
Metode ini adalah metode yang sangat penting untuk menentukan nitrogen dalam
protein atau nitrogen lainnya secara akurat. Jumlah protein dapat dihitung dari % nitrogen
yang terkandung. Metode ini merupakan metode baku yang menjadi dasar berbagai metode
80
Dalam analisis dengan metode ini cuplikan didestruksi (digest) dengan asam sulfat
asam sulfat
CaHbNc aCO2 + 1/2bH2O + cNH4HSO4 (5.16)
katalis
Larutan kemudian didinginkan, ditambah basa kuat agar larutan bersifat alkalis, amonia
didestilasi ke dalam larutan asam baku berlebih. Setelah destilasi, mka kelebiha asam
OH-
cNH4HSO4 cNH3 + cSO42-
Destruksi dapat dipercepat dengan menambahkan kalium sulfat untuk menaikkan titik
didih, bisa juga dengan katalis, seperti selenium, merkur, atau garam tembaga. Jumlah
senyawa yang mengandung nitrogen dapat dihitung dari bobot nitrogen hasil analisis
Dalam metode Kjeldahl konvensional dibutuhkan dua larutan baku, tetapi telah
dilakukan modifikasi sehingga diperlukan satu larutan baku. Ammonia ditampung dalam
larutan asam borat. Dalam destilasi akan terbentuk sejumlah ammonium borat:
Asam borat terlalu lemah dititrasi tetapi borat yang ekivalen dengan jumlah ammonia
merupakan basa Bronsted yang cukup kuat dititrasi dengan larutan baku asam. Di sini
81
asam borat terlalu lemah sehingga tidak mengganggu dan konsentrasinya tidak perlu
Dalam titrasi asam-basa, basa yang biasanya digunakan adalah NaOH. Zat ini
umumnya masih mengandung sejumlah air dan natrium karbonat sehingga tidak bisa
dipakai sebagai zat baku primer. Agar diperoleh kerja yang akurat, natrium karbonat harus
dihilangkan dari NaOH karena natrium karbonat akan bereaksi membentuk bufer yang
mengurangi ketajaman titik ekivalen. Tambahan pula, ini dapat menimbulkan kesalahan
saat NaOH dibakukan dengan indikator fenolftalein dimana CO32- dapat membentuk
HCO3-. Untuk mengatasi ini biasanya dipakai indikator metil oranye dimana CO32- akan
membentuk CO2. Dengan kata lain, di sini molaritas efektif basa mengalami peningkatan
Natrium karbonat pada dasarnya tidak larut dalam NaOH hampir jenuh. Ini bisa
volume (mL) air yang sama dengan bobotnya (gram). Na2CO3 yang tidak larut dibiarka
mengendap selama beberapa hari, kemudian cairan supernatan yang jernih didekantasi atau
disaring dengan crucible Gooch dengan alas asbes (residu Na2CO3 tidak dicuci). Larutan
NaOH harus disimpan dalam bejana tertutup non-glas (Pyrex) atau botol plastik agar
terhindar dari CO2 atmosfer yang menyebabkan reaksi NaOH lebih lanjut membentuk
Na2CO3. Prosedur ini tidak bisa diterapkan terhadap KOH karena K2CO3 larut dalam air.
sejumlah zat baku primer kalium asam ftalat (KHP), yang merupakan asam yang cukup
lemah (Ka = 4 x 10-6) hampir mirip dengan asam asetat, dengan indikator fenolftalein.
82
5.12 PEMBUATAN LARUTAN ASAM BAKU
HCl adalah asam yang biasa dipakai untuk titrasi basa. Sebagian besar garam
klorida larut dalam HCl dan hanya sedikit reaksi samping yang terjadi dengan asam ini.
HCl bukanlah zat baku primer. Larutan asam ini dapat dibuat dengan cara melarutkan
asam pekatnya. Untuk mendapatkan hasil yang paling akurat, maka air yang digunakan
sebaiknya dididihkan terlebih dahulu. CO2 mempunyai kelarutan yang rendah dalam asam
Untuk membakukan larutan HCl biasanya digunakan zat baku natrium karbonat.
Sayangnya natrium karbonat mempunyai bobot rumus yang kecil dan titik ekivalennya
tidak tajam, kecuali dipakai indikator metil merah, metil purple, serta larutan didihkan
Bila kita memiliki NaOH yang sudah dibakukan, HCl dapat dibakukan dengan
NaOH tersebut. Titik ekivalen titrasi ini tajam dan cepat dicapai. NaOH di sini disebut
Asam dan basa dengan tetapan ionisasi kurang dari 10-7 dan 10-8 terlalu lemah
untuk dititrasi secara akurat dalam larutan berair. Hal ini disebabkan oleh keasaman dan
kebasaan air. Dengan memilih pelarut yang kurang asam dari air, maka banyak asam yang
lebih lemah dapat dititrasi. Ini bisa dilakukan dengan memakai pelarut basa, pelarut inert
atau aprotik dan pelarut amfiprotik. Dengan pelarut amfiprotik, asam atau basa akan
disesuaikan dengan kekuatan kation atau anion pelarut, di mana asam atau basa tersebut
Asam asetat glasial yang merupakan pelarut amfiprotik biasanya dipakai untuk
83
RNH2 + HOAc RNH3+ + OAc-
OAc- kemudian dititrasi sama halnya dengan titrasi OH- dalam pelarut air. Asam perklorat
adalah asam mineral terkuat sehingg biasanya dipakai sebagai titran (dilarutkan dalam
asam asetat glasial). Asam lemah, seperti fenol dapat dititrasi dalam etilendiamin dengan
titran tetrabutil amonium hidroksida. Berbagai titrasi dapat dilakukan dalam etanol dengan
titarn natrium etoksida. Beberapa pelarut lain yang khas dipakai adalah metil isobutil
84