Anda di halaman 1dari 26

BAB V

TITRASI ASAM - BASA

5.1 PENDAHULUAN

Titrasi asam-basa adalah titrasi yang melibatkan reaksi netralisasi dimana asam

bereaksi dengan sejumlah ekivalen basa. Dengan menggambarkan kurva titrasi kita dengan

mudah dapat menjelaskan bagaimana titik akhir titrasi dideteksi. Kurva titrasi dibuat

dengan memplot pH larutan sebagai fungsi dari volume titran yang ditambahkan. Titran

selalu merupakan asam atau basa kuat, sedangkan analit bisa berupa basa atau asam kuat

ataupun basa atau asam lemah. Di bawah ini akan dibahas berbagai jenis titrasi asam basa

dan pembuatan kurva titrasinya. Namun ada baiknya kita dahului pembicaraan ini dengan

bahasan tentang indikator dalam deteksi titik akhir titrasi asam-basa.

5.2 DETEKSI TITIK AKHIR TITRASI DENGAN INDIKATOR

Dalam titrasi kita harus menentukan saat titik ekivalen yaitu saat ekivalen titran

sama dengan ekialen titrat. Saat reaksi diamati sempurna, yaitu saat terjadi perubahan

yang dapat diamati, disebut dengan titik akhir. Titrasi harus dilakukan secermat mungkin

sehingga titik ekivalen berhimpitan atau sangat dekat dengan titik akhir titrasi. Salah sattu

cara yang paling nyata untuk menentukan titik akhir adalah mengukur pH pada berbagai

titik/keadaan titrasi, kemudian membuat plotnya lawan volume titran. Ini dapat dilakukan

dengan menggunakan pH-meter.

Selain dengan pH meter, biasanya lebih cocok bila kita menambahkan indikator ke

dalam larutan uji, kemudian mendeteksi perubahan warna secara visual. Indikator untuk

titrasi asam-basa merupakan suatu asam atau basa lemah yang sangat berwarna. Warna

indikator bentuk terionisasi sangat berbeda dengan warna indikator yang tidak terionisasi.

59
Salah satu bentuk bisa tidak berwarna, tetapi bentuk yang satunya lagi berwarna. Senyawa-

senyawa seperti ini biasanya tersusun dari komponen-komponen organik yang

terkonyugasi yang menyebabkan perubahan warna.

Sebagai contoh, misalkan indikator yang kita gunakan adalah suatu asam lemah

yang disimbulkan dengan HIn. Warna bentuk yang tidak terionisasi merah, sedangkan

yang terionisasi berwarna biru.

HIn H+ + In- (5.1)


merah biru

Persamaan Hederson-Hasselbalch untuk ini sama halnya seperti persamaan asam lemah

lainnya.

[In-]
pH = pKIn + log  (5.2)
[HIn]

Indikator akan berubah warna pada suatu rentang pH dimana rentang transisinya

bergantung pada kepekaan/kemampuan pengamat terhadap perubahan warna yang kecil.

Bila yang digunakan adalah indikator yang kedua bentuknya berwarna, umumnya hanya

satu warna yang teramati. Ini akan terjadi bila rasio kedua bentuk adalah 10 : 1, hanya

warna bentuk yang lebih pekat yang terlihat. Dari sini kita bisa hitung rentang transisi pH

yang dibutuhkan agar warna satu dan lainnya bisa dilihat. Bila hanya warna bentuk yang

tidak terionisasi yang terlihat maka, [In-]/[HIn] = 1/10 sehingga:

pH = pKa + log 1/10 = pKa - 1 (5.3)

Bila warna bentuk yang terionisasi yang terlihat, maka [In-]/[HIn] = 10/1 sehingga

pH = pKa + log 10/1 = pKa + 1 (5.4)

Dengan demikian pH pada perubahan warna satu ke yang lainnya berkisar antara pKa - 1

sampai dengan pKa + 1. Ini merupakan perubahan pH sebesar dua satuan pH, sehingga

sebagian besar indikator memerlukan rentang transisi sekitar dua satuan pH. Selama

60
transisi, warna yang teramati adalah campuran kedua warna. Pada pertengahan transisi

konsentrasi kedua bentuk adalah sama dimana pH = pKa. Dengan demikian, nyatalah

bahwa pKa indikator harus dekat dengan pH pada titik ekivalen. Perhitungan yang serupa

juga dapat diterapkan terhadap indikator basa yang pada akhirnya diperoleh rentang

transisi yang sama dimana pOH pada petengahan transisi sama dengan pKb, sehingga pH =

14 - pKb. Dengan demikian, indikator basa lemah harus dipilih sehingga pH nya = 14 -

pKb. Gambar 5.1 adalah ilustrasi warna dan rentang transisi berbagai indikator yang umum

dipakai. Transisi akan lebih mudah diamati bila salah satu bentuk indikator tidak

berwarna. Oleh karena itu, untuk titrasi asam-basa kuat digunakan indikator fenolftalein

yang dalam keadaan asam tidak berwarna dan dalam keadaan basa berwarna merah muda.

Gambar 5.1 Rentang Transisi pH dan Warna Berbagai Indikator

Oleh karena indikator adalah suatu asam atau basa, maka jumlah yang harus

ditambahkan harus sesedikit mungkin, sedemikian rupa sehingga tidak begitu

61
mempengaruhi pH sehingga hanya sedikit kelebihan titran diperlukan untuk titran yang

terjadinya perubahan warna. Perubahan warna akan lebih tajam bila konsentrasi indikator

kecil karena hanya sedikit asam atau basa yang diperlukan untuk mengubahnya dari satu

bentuk ke bentuk lainnya. Dengan demikian, indikator biasanya dibuat dengan konsentrasi

beberapa persen saja dan ditambahkan sekitar 2 - 3 tetes ke dalam larutan yang dititrasi.

Kesalahan dapat terjadi dalam penggunaan indikator visual. Salah satunya adalah

apabila indikator yang digunakan tidak berubah warna pada pH yang sesuai. Akan tetapi,

kesalahan tetap ini dapat dikoreksi dengan jalan melakukan titrasi blangko. Kesalahan

lainnya adalah bila kurva titrasi terlalu landai sehingga perbahan warna pada titik ekivalen

tidak tajam.

5.3 TITRASI ASAM KUAT DENGAN BASA KUAT

Dalam titrasi ini baik titran maupun analit terionisasi sempurna. Salah satu contoh

titrasi ini adalah titrasi asam klorida dengan natrium hidroksida.

H+ + Cl- + Na+ + OH-  H2O + Na+ + Cl- (5.5)

H+ dan OH- bergabung membentuk H2O, sedangkan ion lainnya Na+ dan Cl- tetap tidak

berubah. Dengan demikian hasil akhir netralisasi ini adalah perubahan HCl menjadi

larutan netral NaCl.

Kurva titrasi untuk 100 mL HCl 0,1 M yang dititrasi dengan NaOH 0,1 M

ditampilkan dalam Gambar 5.2. Perhitungan kurva titrasi hanya melibatkan perhitungan

pH dari konsentrasi spesies tertentu yang terdapat dalam berbagai tahap titrasi. Perubahan

volume selama titrasi harus dilibatkan untuk menentukan konsentrasi spesies tersebut.

Pada permulaan titrasi kita mempunyai HCl 0,1 M sehingga pH awal = 1,0. begitu

titrasi dimulai sebagian H+ bergabung dengan OH- membentuk H2O sehingga konsentrasi

H+ akan berkurang perlahan-lahan.

62
Gambar 5.2 Kurva Titrasi untuk 100 mL HCl 0,1 M lawan NaOH 0,1 M

Pada netralisasi 90% (90 mL NaOH ditambahkan) hanya 10% H+ tersisa. Bila kita

abaikan perubahan volumenya, maka konsentrasi H+ pada tahap ini adalah 10-2 M dan pH

akan naik sebesar dua satuan pH. Bila kita melakukan koreksi terhadap perubahan volume,

maka pH akan sedikit lebih tinggi. Ketika mendekati titik ekivalen konsentrasi H+

berkurang dengan cepat sampai tercapai titik ekivalen dimana netralisasi sempurna dan

terdapat larutan netral NaCl dengan pH = 7. Bila kita melanjutkan menambahkan NaOH,

konsentrasi OH- akan meningkat dengan cepat dari 10-7 pada titik ekivalen sampai pada

10-2 dan 10-1 M, sehingga kita akan mempunyai larutan NaOH dan NaCl. Oleh karena itu

pH akan hampir konstan pada kedua sisi titik ekivalen, tetapi akan berubah dengan tajam

pada daerah sangat dekat dengan titik ekivalen. Perubahan yang sangat besar ini

memungkinkan penentuan kesempurnaan reaksi dengan jalan mengukur baik pH ataupun

sifat lainnya yang berubah dengan pH. Besarnya rentang bergantung pada konsentrasi

asam dan basa. Kurva titrasi dengan berbagai konsentrasi asam kuat dan basa kuat

63
ditampilkan dalam Gambar 5.3. Titrasi kebalikan akan memberikan bayangan cermin dari

kurva ini seperti ditunjukkan dalam Gambar 5.4.

Gambar 5.3 Kebergantungan Tanjakan Titik Akhir Titrasi pada Konsentrasi.


1). 100 mL HCl 0,1 M dengan NaOH 0,1 M
2). 100 mL HCl 0,01 M dengan NaOH 0,01 M
3). 100 mL HCl 0,001 M dengan NaOH 0,001 M

Gambar 5.4 Kurva titrasi untuk 100 mL NaOH dengan HCl 0,1 M

64
CONTOH 5.1 Hitunglah pH pada saat titrasi 0, 10, 90, 100, dan 110% titrasi 50 mL HCl

0,1000 M dengan NaOH 0,1000 M.

Penyelesaian

Pada 0% : pH = -log 0,1000 = 1,00

Pada 10% : 5,0 mL NaOH ditambahkan.

Kita awalnya memiliki HCl : 0,1000M x 50,0 mL = 5,00 mmol

NaOH yang ditambahkan : 0,1000M x 5,0 mL = 0,5 mmol

[H+] sisa = 4,50 mmol/55,0 mL

= 0,0818 M

pH = -log 0,0818 = 1,09

Pada 90% : H+ awal = 5,00 mmol

NaOH yang ditambahkan : 0,1000 M x 45,0 mL = 4,50 mmol

[H+] sisa = 0,50 mmol/95,0mL

= 0,00526 M

pH = -log 0,00526 = 2,28

Pada 100% : Semua H+ telah bereaksi dengan OH-, sehingga kita mempunyai

larutan NaCl 0,0500 M, sehingga pH = 7,00

Pada 110% : Disini kita mempunyai larutan yang mengandung NaCl dan kelebihan
NaOH
OH- = 0,100 M x 5,00 mL = 0,50 mmol/105 mL larutan

[OH-] = 0,00476 M

pOH = -log 0,00476 = 2,32 maka pH = 11,68

65
5.4 TITRASI ASAM LEMAH DENGAN BASA KUAT

Kurva titrasi untuk 100 mL asam asetat 0,1 M yang dititrasi dengan natrium

hidroksida 0,1 M ditunjukkan dalam Gambar 5.5.

Gambar 5.5 Kurva Titrasi untuk 100 mL HOAc 0,1 M dengan NaOH 0,1 M

Reaksi netralisasi asam asetat dengan natrium hidroksida adalah sebagai berikut:

HOAc + Na+ + OH-  H2O + Na+ + OAc- (5.6)

Asam asetat yang hanya beberapa persen saja terionisasi (bergantung pada konsentrasinya)

ternetralkan menjadi air dan sejumlah ekivalen garam natrium asetat. Sebelum titrasi

dimulai kita memiliki HOAc 0,1 M dan pH larutan dihitung dengan cara:

[H+] = Ka x [HOAc] (5.7)

Setelah titrasi dimulai sebagian HOAc diubah menjadi NaOAc sehingga terbentuk sistem

bufer. Selama titrasi berlangsung pH akan meningkat perlahan-lahan karena rasio [OAc-]/

[HOAc] berubah. Pada pertengahan titrasi [OAc-]= [HOAc] sehingga pH = pKa. Pada titik

ekivalen kita hanya mempunyai larutan NaOAc. Oleh karena garam ini suatu basa

66
Bronsted (terhidrolisis) maka pH pada titik ekivalen akan basa (alkalis). Dari Gambar 5.6

kita bisa lihat bahwa pH akan bergantung pada konsentrasi NaOAc. Semakin besar

konsentrasinya semakin tinggi pHnya. Oleh karena ada kelebihan NaOH yang

ditambahkan setelah titik ekivalen maka ionisasi basa OAc- ditekan sampai pada jumlah

yang dapat diabaikan, sehingga pH ditentukan hanya oleh konsentrasi kelebihan OH-.

Dengan demikian kurva titrasi di luar titik ekivalen sama halnya dengan kurva titrasi asam

kuat.

Adanya tanjakan perlahan sebelum titik ekivalen disebut dengan daerah bufer.

Kapasitas bufer akan paling besar pada pH yang berhubungan dengan pKa. Kapasitas bufer

juga bergantung pada konsentrasi HOAc dan OAc- sehingga kapasitas bufer total

meningkat bila konsentrasinya meningkat. Dengan kata lain jarak bagian datar pada ke dua

sisi pKa akan naik bila [HOAc] dan [OAc-] naik.

Bila kita bandingkan kurva titrasi untuk asam kuat-basa kuat dengan kurva titrasi

asam lemah-basa kuat maka kurva pada Gambar 5.2 dan 5.3 akan jauh lebih datar daripada

kurva pada kurva Gambar 5.5. Dengan alasan ini maka larutan asam kuat atau basa kuat

akan membentuk bufer yang jauh lebih bagus, dengan basa atau asam yang ditambahkan,

daripada sistem bufer konvensional yang telah kita kenal. Hanya saja di sini masalahnya

adalah terbatas pada daerah pH yang sangat sempit, terutama bila konsentrasi asam atau

basanya cukup kuat mempengaruhi kapasitas bufer. Dengan demikian, ini adalah daerah

yang praktis jarang dibufer. Lagipula, larutan asam atau basa kurang tahan terhadap

perubahan pH saat pengenceran tidak seperti bufer konvensional yang tahan terhadap

perubahan seperti itu. Oleh karena itu kita sering memakai bufer campuran dari asam atau

basa lemah dengan garamnya, sehingga kita dapat melakukan seleksi terhadap daerah pH

yang diinginkan.

67
Seringkali bufer dipakai untuk memberikan satu pH yang spesifik dan tidak ada

asam atau basa yang ditambahkan. pH yang diinginkan akan lebih mudah diperoleh dengan

sistem bufer konvensional daripada dengan sistem asam kuat dan basa kuat. Rentang

transisi indikator untuk asam lemah haruslah berada pada rentang sekitar 7 sampai 10

(Gambar 5.5). Fenolftalein sangat cocok dipakai untuk tujuan tersebut. Bila indikator

seperti misalnya metil merah yang digunakan maka indikator ini akan segera berubah

warna ke warna basanya begitu titrasi dimulai sampai sekitar pH 6, yaitu sebelum tercapai

titik ekivalennya. Kebergantungan bentuk kurva titrasi dan pH titik ekivalen pada

konsentrasi ditunjukkan dalam Gambar 5.6 untuk berbagai konsentrasi HOAc dan NaOH.

Gambar 5.6 Kebergantungan Kurva Titrasi pada Konsentrasi.


1). 100 mL HOAc 0,1 M dengan NaOH 0,1 M
2). 100 mL HOAc 0,01 M dengan NaOH 0,01 M
3). 100 mL HOAc 0,001 M dengan NaOH 0,001 M

Kenyataannya, fenolftalein tidak dapat digunaka sebagai indikator untuk

larutan lebih encer dari 10-3 M (Kurva 3, Gambar 5.6). Perhatikanlah bahwa pH titik

ekivalen turun bila sistem asam lemahnya semakin encer yang mana hal ini tidak terjadi

dalam sistem asam kuat. Titik ekivalen untuk setiap titrasi asam lemah dengan basa kuat

68
akan alkalis. Semakin lemah asam (Ka makin kecil), Kb garam akan semakin besar dan

titik ekivalen semakin alkalis.

Gambar 5.7 menunjukkan kurva titrasi untuk 100 mL larutan asam lemah 0,1 M

dengan berbagai nilai Ka yang dititrasi dengan NaOH 0,1 M. Ketajaman titik ekivalen akan

berkurang bila Ka menurun. Seperti terlihat dalam Gambar 5.6 ketajaman berkurang

karena konsentrasi berkurang. Pada umumnya titrasi makro ( 0,1 M), asam dengan Ka

sekecil 10-6 dapat dititrasi secara akurat dengan indikator visual. Asam yang lebih lemah

dari ini tidak akan memberikan titik ekivalen yang tajam. Untuk hal seperti ini pH-meter

dapat dipakai untuk memplot kurva titrasi sehingg diperoleh ketepatan yang bagus.

Suatu asam dengan Ka lebih kecil dari 10-7 atau 10-8 merupakan asam yang terlalu

lemah untuk ditrasi dalam larutan berair.

Gambar 5.7 Kurva untuk Titrasi 100 mL Asam Lemah dengan Berbagai
Harga Ka dengan NaOH 0,1 M.

69
CONTOH 5.2 Hitunglah pH pada saat penambahan 0, 10,0; 25,0; 50,0; 60,0 mL titran

pada titrasi 50 mL asam asetat 0,1000 M dengan NaOH 0,1000 M.

Penyelesaian

Pada 0 mL titran : kita mempunyai larutan yang hanya mengandung HOAc 0,1000 M.

[H+] = 1,75 x 10-5 x 0,1000 = 1,32 x 10-3 M

pH = -log 1,32 x 10-3 = 2,88

Pada 10,0 mL titran : Awalnya ada 0,1000 M x 50 mL = 5,00 mmol HOAc.

Sebagian bereaksi dengan OH- dan diubah menjadi OAc-.

HOAc awal = 5,00 mmol

OH- yang ditambahkan = 0,1000 M x 10,0 mL = 1,00 mmol (= OAc- yang

terbentuk) dalam 60 mL larutan.

Maka HOAc sisa = (5,00 - 1,00) mmol = 4,00 mmol/60 mL. Di sini kita mempunyai

sistem buffer sehingga:

[OAc-]
pH = pKa + log 
[HOAc]

1,00/60
pH = 4,76 + log  ; pH = 4,16
4,00/60

Pada 25,0 mL titran: setengah HOAc telah diubah menjadi OAc-, sehingga pH = pKa.

HOAc awal = 5,00 mmol

OH- yang ditambahkan = 0,1000 M x 25,0 mL = 2,50 mmol

(= OAc- yang terbentuk) dalam75 mL larutan.

Maka HOAc sisa = (5,00 - 2,50) mmol = 2,50 mmol/75 mL.

70
2,50/75
pH = 4,76 + log 
2,50/75

pH = 4,76

Pada 50,0 mL titran : semua HOAc telah diubah menjadi OAc- (5,00 mmol dalam

100 mL atau 0,0500 M).

Kw
-
[OH ] =  [OAc-]
Ka

1,0 x 10-14
[OH-] =  x 0,0500 = 5,35 x 10-6 M
1,75 x 10-5

pOH = 5,27; pH = 8,73

Pada 60,0 mL titran : Kita mempunyai larutan NaOAc dan kelebiha NaOH. Hidrolisis

asetat diabaikan dalam kelebihan OH-. Dengan demikian pH

ditentukan oleh konsentrasi kelebihan OH-.

OH- = 0,1000 M x 10,0 mL = 1,00 mmol/110 mL larutan

[OH-] = 0,00909; pOH = 2,04; pH = 11,96

5.5 TITRASI BASA LEMAH DENGAN ASAM KUAT

Titrasi asam lemah dengan basa kuat analog dengan titrasi asam lemah dengan basa

kuat di atas, hanya saja kurva titrasinya berlawanan. Kurva titrasi untuk 100 mL amonia

0,1 M dititrasi dengan HCl 0,1 M ditunjukkan dalam Gambar 5.8.

Reaksi netralisasinya adalah sebagai berikut:

NH3 + H+ + Cl-  NH4+ + Cl- (5.8)

71
Pada permulaan titrasi kita mempunyai NH3 0,1 M dan pH-nya dihitumg dengan cara

sebagai berikut:

[OH-] = Kb x [NH3] (5.9)

Gambar 5.8 Kurva untuk Titrasi 100 mL NH3 0,1 M dengan HCl 0,1 M.

Segera setelah titrasi dimulai dimana ditambahkan sejumlah asam, sebagian NH3 diubah

menjadi NH4+ sehingga kita mempunyai daerah bufer. Pada pertengahan titrasi [NH4+] =

[NH3] dan pH larutan = 14 - pKb. Pada titik ekivalen kita akan mempunyai larutan NH4Cl

(asam Bronsted) yang terhidrolisis menghasilkan larutan asam. Di sini pH juga bergantung

pada konsentrasi garamnya. Semakin tinggi konsentrasinya pH semakin rendah. Di luar

titik ekivalen H+ bebas akan menahan ionisasi sehingga pH ditentukan oleh penambahan

H+ berlebih. Dengan demikian kurva titrasi di luar titik ekivalen akan sesuai dengan kurva

titrasi untuk basa kuat (Gambar 5.4). Oleh karena Kb untuk amonia sama dengan Ka untuk

asam asetat maka kurva titrasi amonia lawan asam kuat merupakan bayangan cermin dari

kurva asam asetat lawan basa kuat.

72
Indikator untuk titrasi dalam Gambar 5.8 mempunyai rentang transisi sekitar pH 4

sampai 7. Metil merah merupakan indikator yang cocok untuk titrasi ini seperti

ditunjukkan oleh gambar. Bila fenolftalein yang digunakan sebagai indikator maka

indikator akan perlahan-lahan kehilangan warnanya antara pH 10 dan 8 sebelum titik

ekivalen tercapai.

Kurva titrasi untuk berbagai konsentrasi NH3 yang dititrasi dengan berbagai

konsentrasi HCl akan merupakan bayangan cermin kurva dalam Gambar 5.6. Metil merah

tidak dapat digunakan untuk larutan encer. Kurva untuk titrasi 100 mL basa lemah 0,1 M

untuk berbagai Kb dengan HCl 0,1 M ditunjukkan dalam Gambar 5.9. Dalam titrasi makro

basa lemah dengan Kb  10-6 dapat dititrasi dengan menggunakan indikator visual

sedangkan titrasi basa lemah dengan Kb 10-7 sampai 10-8 dilakukan dengan menggunakan

pH-meter.

Gambar 5.9 Kurva untuk Titrasi 100 mL Basa Lemah 0,1 M dengan Berbagai
Kb vs HCl 0,1 M.

Persamaan-persamaan untuk pembuatan kurva titrasi asam kuat (HX) atau basa kuat

(BOH) dan titrasi basa lemah (HA) atau basa lemah (B) disajikan dalam tabel 5.1 dan 5.2.

73
74
5.6 TITRASI NATRIUM KARBONAT

Natrium karbonat adalah suatu basa Bronsted yang digunakan sebagai zat baku

primer pada pembakuan asam kuat. Natrium karbonat terhidrolisis dalam dua tahap

sebagai berikut:

Kw
CO32- + H2 O HCO3- + OH- KH1 = Kb1  = 2,1 x 10-4
(5.10)
Ka2

Kw
HCO3- + H2 O CO2 + H2O + OH- KH2 = Kb2  = 2,3 x 10-8
(5.11)
Ka1

Ka1 dan Ka2 adalah nilai Ka untuk H2CO3. HCO3- adalah asam konyugasi dari CO32-

dan H2CO3 adalah asam konyugasi dari HCO3-, dan Kb dihitung dengan cara seperti garam

dari asam dan basa lemah.

Natrium karbonat dapat dititrasi dimana akan terdapat dua titik ekivalen yang

berhubungan dengan tahap pelepasan proton dalam pembentukkan HCO3- dan CO2. Nilai

Kb keduanya harus berbeda sedikitnya 104 agar diperoleh pemisahan titik ekivalen yang

bagus. Kurva untuk titrasi Na2CO3 dengan HCl ditunjukkan dalam Gambar 5.10. Di sini,

nilai Kb1 jauh lebih besar dari 10-6; tanjakan pH turun disebabkan oleh pembentukkan CO2

di luar titik ekivalen yang pertama. Tanjakan titik ekivalen yang kedua tidak begitu tajam

karena harga Kb2 lebih kecil dari 10-6. Namun demikian titik ekivalen ini bisa dipertajam

karena CO2 yang dihasilkan dari netralisasi mudah menguap dan ini bisa dihilangkan

dengan cara mendidihkan larutan.

Pada permulaan titrasi pH ditentukan oleh hidrolisis CO32-. Setelah titrasi

dimulai, sebagian CO32- diubah menjadi HCO3- sehingga akan terbentuk sistem bufer

CO32-/HCO3- . Pada titik ekivalen yang pertama dalam larutan masih ada HCO3- di mana

[H+]  Ka1 . Ka2 . Di luar titik ekivalen yang pertama, HCO3- secara parsial diubah menjadi

75
H2CO3 (CO2), di sini akan terjadi sistem bufer yang kedua dengan pH yang disebabkan

oleh [HCO3-]/[CO2]. pH pada titik ekivalen yang kedua ditentukan oleh konsentrasi asam

lemah CO2.

Fenolftalein digunakan untuk deteksi titik ekivalen yang pertama sedangkan untuk

deteksi titik ekivalen yang kedua dipakai metil oranye.

Gambar 5.10 Kurva Titrasi untuk 50 mL Na2CO3 0,1 M dengan HCl 0,1 M

5.7 TITRASI ASAM POLIPROTIK

Asam diprotik dapat dititrasi secara bertahap seperti titrasi natrium karbonat. Agar

diperoleh titik ekivalen yang baik dalam pelepasan proton yang pertama maka Ka1 harus

sedikitnya 104 x Ka2 . Bila Ka2 berada dalam rentang yang dibutuhkan yaitu 10-7 - 10-8

maka akan diperoleh titik ekivalen yang bagus dalam pelepasan proton yang kedua. Asam

triprotik dapat dititrasi dengan cara yang sama pula, tetapi Ka3 -nya biasanya terlalu kecil

untuk terjadinya pelepasan proton yang ketiga.

Pada suatu titarsi asam H2A, akan terjadi ionisasi sebagai berikut:

H2A  HA- + H+ Ka1 (5.12)

HA-  A2- + H+ Ka2 (5.13)

76
pH pada awal titrasi ditentukan dari ionisasi proton pertama bila larutannya tidak terlalu

encer. Selama titrasi sampai dengan titik ekivalen pertama terdapat sistem bufer HA-/ H2A.

Pada titik ekivalen pertama, dalam larutan akan ada HA- dan [H+]  Ka1. Ka2 . Di luar titik

ini akan ada sistem bufer A2-/ HA-. Akhirnya pada titik ekivalen yang kedua pH larutan

ditentukan dari hidrolisis A2-.

5.8 TITRASI CAMPURAN ASAM ATAU BASA

Campuran asam atau basa dapat dititrasi secara bertahap bila ada perbedaan

kekuatan yang mencolok. Di sini harus ada perbedaan Ka sedikitnya 104. Jika salah satu

asamnya asam kuat, maka titik ekivalen untuk asam kuat dapat diamati (bila Ka  10-5 atau

lebih kecil lagi). Sebagai contoh, lihatlah Gambar 5.11 yang merupakan kurva titrasi

campuran HCl dan HOAc dengan NaOH dimana hanya ada lekukan kecil untuk HCl.

Asam yang lebih kuat akan tertitrasi lebih dahulu dan akan memberikan lekukan pH pada

titik ekivalennya. Ini akan diikuti oleh asam yang lebih lemah dengan lekukan pH pada

titik ekivalennya. Pada titik ekivalen HCl dalam larutan akan terdapat HOAc dan NaCl

sehingga titik ekivalennya bersifat asam. Di luar titik ekivalen ini ada sistem bufer yang

menekan lekukan pH untuk HCl. Titrasi berikutnya sana seperti titasi HOAc tunggal.

Bila campuran dua asam kuat dititrasi bersamaan, maka tidak akan ada perbedaan

dengan titrasi asam kuat tunggal, sehingga hanya satu titik ekivalen teramati. Hal yang

sama juga terjadi untuk campuran asam lemah jika harga kedua Ka-nya tidak jauh berbeda.

Sebagai contoh, campuran asam asetat (Ka = 1,75 x 10-5) dengan asam propianat (Ka = 1,3

x 10-5) akan memberika satu titik ekivalen.

Untuk asam sulfat, H2SO4, proton yang pertama terdisosiasi sempurna yang

memberikan titik ekivalen yang pertama, sedangkan proton yang kedua mempunyai Ka

sekitar 10-2, sehingga proton yang kedua ini juga dapat dititrasi sebagai asam kuat.

77
Gambar 5.11 Kurva Titasi untuk 50 mL Campuran HCl 0,1 dan HOAc 0,2 M dengan
NaOH.

Dengan demikian, hanya satu titik ekivalen yang kelihatan. Hal seperti ini juga

dapat terjadi pada campuran asam kuat dan asam lemah dengan Ka = 10-2.

Asam sulfit, H2SO3, mempunyai Ka1 = 1,3 10-2 dan Ka2 = 5 x 10-6. Dengan

demikian dalam campurannya dengan HCl, proton pertama dari H2SO3 tertitrasi

bersamaan dengan HCl, pH pada titik ekivalen ditentukan oleh HSO3-, yaitu [H+]

= Ka1 . Ka2 karena HSO3- bisa sebagai asam atau basa. Setelah titik ekivalen yang

pertama, titrasi dilanjutkan untuk proton kedua sehingga memberikan titik ekivalen yang

kedua. Volume titran akan selalu lebih banyak dalam mencapai titik ekivalen pertama

daripada dalam mencapai titik ekivalen kedua. Hal ini disebabkan oleh karena dalam titrasi

yang pertama, titran diperlukan untuk menitrasi kedua asam. Jumlah H2SO3 dapat

ditentukan dari jumlah basa yang dibutuhkan untuk titrasi proton kedua, sedangkan jumlah

HCl dapat ditentukan dengan mengurangkan volume pada titik ekivalen pertama dari

volume pada titrasi proton kedua yang sama dengan volume yang dibutuhkan untuk titrasi

proton yang pertama.

78
CONTOH 5.3 Suatu campuran HCl dan H3 PO4 dititrasi dengan NaOH 0,1000 M. Titik
ekivalen pertama (metil merah) terjadi pada 35 mL dan titik ekivalen kedua (bromotimol
biru) terjadi pada volume total 50,00 mL (15,00 mL setelah titik ekivalen yang pertama).
Hitunglah mmol HCl dan H3 PO4 dalam campuran tersebut.
Penyelesaian

Titik ekivalen yang kedua bertautan dengan titrasi satu proton dari H3PO4 (H2PO4- menjadi

HPO42-). Dengan demikian:

mmol H3PO4 = 0,1000 M x 15,00 mL = 1,50 mmol

15,00 mL basa dibutuhkan untuk titrasi proton pertama dari H3PO4, sehingga mmol HCl =

0,1000 M x (35,00 - 15,00) mL = 2,00 mmol

Dengan cara yang sama campuran basa juga dapat dititrasi jika kekuatannya cukup

berbeda. Sekali lagi perbedaan Kb di antara keduanya sedikitnya104.

5.9 TITRASI ASAM AMINO

Asam amino adalah senyawa amfoter yang mengandung gugus asam maupun basa

(dapat bersifat sebagai asam ataupun basa). Gugus asamnya adalah gugus asam karboksilat

(-COOH) dan gugus basanya adalah gugus amina (NH2). Dalam larutan berair senyawa ini

cenderung mengalami perpindahan proton internal dari gugus karboksilat ke gugus amina

menghasilkan zwitterion.

R CH CO2-

NH3+

Oleh karena asam amino bersifat amfoter maka senyawa ini dapat dititrasi dengan asam

kuat maupun basa kuat. Beberapa asam amino terlalu lemah untuk dititrasi dalam larutan

berair tetapi banyak juga yang memberikan titik ekivalen yang bagus apalagi kalau dipakai

79
pH-meter dalam pembuatan kurva titrasinya. Perhatikan asam konyugasi dari zwitterion

dibawah ini sebagai asam diprotik yang terionisasi secara bertahap:

Ka1 Ka2
R CH CO2H == H + R CH CO2 == H+ + R CH CO2-
+ -
(5.14)
  
NH3+ NH3+ NH2

as. konyugasi zwitterion basa konyugasi


dari zwitterion dari zwitterion

Kesetimbangan asam-basa untuk amino diperlakukan sama dengan asam diprotik lainnya.

Konsentrasi ion hidrogen dalam zwitterion dihitung dengan cara yang sama seperti garam

amfoter lain, misalnya HCO3- :

[H+] = Ka1 . Ka2 (5.15)

Bila zwitterion asam amino dititrasi dengan asam kuat, maka akan terjadi daerah bufer

yang terdiri dari zwitterion atau garam dan asam konyugasinya. Pertengahan menuju titik

ekivalen pH = p Ka1, dan pada titik ekivalen pH ditentukan oleh asam konyugasinya (Ka1 ).

Bila zwitterion dititrasi dengan basa kuat, maka akan terbentuk daerah bufer basa

konyugasi (garam) dan zwitterion (asam). Pertengahan menuju titik ekivalen pH = pKa2

dan pada titik ekivalen pH ditentukan oleh basa konyugasi (Kb = Ka2 /Kw ). Untuk asam

amino yang mempunyai lebih dari satu gugus karboksilat maupun amina, maka ini akan

mengalamu titik ekivalen secara bertahap.

5.10 ANALISIS KJELDAHL

Metode ini adalah metode yang sangat penting untuk menentukan nitrogen dalam

protein atau nitrogen lainnya secara akurat. Jumlah protein dapat dihitung dari % nitrogen

yang terkandung. Metode ini merupakan metode baku yang menjadi dasar berbagai metode

analisis nitrogen lainnya.

80
Dalam analisis dengan metode ini cuplikan didestruksi (digest) dengan asam sulfat

untuk mendekomposisinya dan mengubah nitrogen menjadi amonium hidrogen sulfat.

asam sulfat
CaHbNc  aCO2 + 1/2bH2O + cNH4HSO4 (5.16)
katalis

Larutan kemudian didinginkan, ditambah basa kuat agar larutan bersifat alkalis, amonia

didestilasi ke dalam larutan asam baku berlebih. Setelah destilasi, mka kelebiha asam

dititrasi kembali dengan larutan basa baku.

OH-
cNH4HSO4  cNH3 + cSO42-

cNH3 + (c+d)HCl  cNH4Cl + dHCl

dHCl + dNaOH  1/2dH2O + dNaCl

mmol N(c) = mmol HCl yang bereaksi = mmol HCl terpakai


(c + d) - mmol NaOH(d)
mmol CaHbNc = mmol N x (1/c)

Destruksi dapat dipercepat dengan menambahkan kalium sulfat untuk menaikkan titik

didih, bisa juga dengan katalis, seperti selenium, merkur, atau garam tembaga. Jumlah

senyawa yang mengandung nitrogen dapat dihitung dari bobot nitrogen hasil analisis

dikalikan dengan faktor gravimetri.

Dalam metode Kjeldahl konvensional dibutuhkan dua larutan baku, tetapi telah

dilakukan modifikasi sehingga diperlukan satu larutan baku. Ammonia ditampung dalam

larutan asam borat. Dalam destilasi akan terbentuk sejumlah ammonium borat:

NH3 + H3BO3 NH4+ + H2BO3-

Asam borat terlalu lemah dititrasi tetapi borat yang ekivalen dengan jumlah ammonia

merupakan basa Bronsted yang cukup kuat dititrasi dengan larutan baku asam. Di sini

81
asam borat terlalu lemah sehingga tidak mengganggu dan konsentrasinya tidak perlu

diketahui dengan akurat.

5.11 PEMBUATAN LARUTAN BASA BAKU

Dalam titrasi asam-basa, basa yang biasanya digunakan adalah NaOH. Zat ini

umumnya masih mengandung sejumlah air dan natrium karbonat sehingga tidak bisa

dipakai sebagai zat baku primer. Agar diperoleh kerja yang akurat, natrium karbonat harus

dihilangkan dari NaOH karena natrium karbonat akan bereaksi membentuk bufer yang

mengurangi ketajaman titik ekivalen. Tambahan pula, ini dapat menimbulkan kesalahan

saat NaOH dibakukan dengan indikator fenolftalein dimana CO32- dapat membentuk

HCO3-. Untuk mengatasi ini biasanya dipakai indikator metil oranye dimana CO32- akan

membentuk CO2. Dengan kata lain, di sini molaritas efektif basa mengalami peningkatan

karena reaksi HCO3-lebih lanjut.

Natrium karbonat pada dasarnya tidak larut dalam NaOH hampir jenuh. Ini bisa

disingkirkan dengan baik dengan cara melarutkan NaOH dalam sejumlah

volume (mL) air yang sama dengan bobotnya (gram). Na2CO3 yang tidak larut dibiarka

mengendap selama beberapa hari, kemudian cairan supernatan yang jernih didekantasi atau

disaring dengan crucible Gooch dengan alas asbes (residu Na2CO3 tidak dicuci). Larutan

NaOH harus disimpan dalam bejana tertutup non-glas (Pyrex) atau botol plastik agar

terhindar dari CO2 atmosfer yang menyebabkan reaksi NaOH lebih lanjut membentuk

Na2CO3. Prosedur ini tidak bisa diterapkan terhadap KOH karena K2CO3 larut dalam air.

Natrium hidroksida biasanya dibakukan dengan cara melakukan titrasi terhadap

sejumlah zat baku primer kalium asam ftalat (KHP), yang merupakan asam yang cukup

lemah (Ka = 4 x 10-6) hampir mirip dengan asam asetat, dengan indikator fenolftalein.

82
5.12 PEMBUATAN LARUTAN ASAM BAKU

HCl adalah asam yang biasa dipakai untuk titrasi basa. Sebagian besar garam

klorida larut dalam HCl dan hanya sedikit reaksi samping yang terjadi dengan asam ini.

HCl bukanlah zat baku primer. Larutan asam ini dapat dibuat dengan cara melarutkan

asam pekatnya. Untuk mendapatkan hasil yang paling akurat, maka air yang digunakan

sebaiknya dididihkan terlebih dahulu. CO2 mempunyai kelarutan yang rendah dalam asam

ini sehingga tidak mengganggu.

Untuk membakukan larutan HCl biasanya digunakan zat baku natrium karbonat.

Sayangnya natrium karbonat mempunyai bobot rumus yang kecil dan titik ekivalennya

tidak tajam, kecuali dipakai indikator metil merah, metil purple, serta larutan didihkan

pada titik ekivalennya.

Bila kita memiliki NaOH yang sudah dibakukan, HCl dapat dibakukan dengan

NaOH tersebut. Titik ekivalen titrasi ini tajam dan cepat dicapai. NaOH di sini disebut

dengan larutan baku sekunder.

5.13 TITRASI DALAM PELARUT BUKAN AIR

Asam dan basa dengan tetapan ionisasi kurang dari 10-7 dan 10-8 terlalu lemah

untuk dititrasi secara akurat dalam larutan berair. Hal ini disebabkan oleh keasaman dan

kebasaan air. Dengan memilih pelarut yang kurang asam dari air, maka banyak asam yang

lebih lemah dapat dititrasi. Ini bisa dilakukan dengan memakai pelarut basa, pelarut inert

atau aprotik dan pelarut amfiprotik. Dengan pelarut amfiprotik, asam atau basa akan

disesuaikan dengan kekuatan kation atau anion pelarut, di mana asam atau basa tersebut

akan mengalami ionisasi sempurna.

Asam asetat glasial yang merupakan pelarut amfiprotik biasanya dipakai untuk

titrasi basa lemah, misalnya amonia yang terionisasi sebagai berikut:

83
RNH2 + HOAc RNH3+ + OAc-

OAc- kemudian dititrasi sama halnya dengan titrasi OH- dalam pelarut air. Asam perklorat

adalah asam mineral terkuat sehingg biasanya dipakai sebagai titran (dilarutkan dalam

asam asetat glasial). Asam lemah, seperti fenol dapat dititrasi dalam etilendiamin dengan

titran tetrabutil amonium hidroksida. Berbagai titrasi dapat dilakukan dalam etanol dengan

titarn natrium etoksida. Beberapa pelarut lain yang khas dipakai adalah metil isobutil

keton, asetonitril, dan kloroform.

84

Anda mungkin juga menyukai