Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hiperplasia prostat jinak juga dikenal sebagai Benign Prostatic

Hypertrophy (BPH) adalah diagnosis histologis yang ditandai oleh proliferasi

dari elemen seluler prostat. Akumulasi seluler dan pembesaran kelenjar timbul

dari proliferasi epitel dan stroma, gangguan diprogram kematian sel

(apoptosis), atau keduanya. (Detters, 2011).

BPH melibatkan unsur-unsur stroma dan epitel prostat yang timbul di zona

periuretra dan transisi dari kelenjar. Hiperplasia menyebabkan pembesaran

prostat yang dapat menyumbat aliran urin dari kandung kemih. BPH dianggap

sebagai bagian normal dari proses penuaan pada pria yang tergantung pada

hormon testosteron dan dihidrotestosteron (DHT). Diperkirakan 50% pria

menunjukkan histopatologis BPH pada usia 60 tahun. Jumlah ini meningkat

menjadi 90% pada usia 85 tahun. (Detters, 2011).

Disfungsi berkemih yang dihasilkan dari pembesaran kelenjar prostat dan

Bladder Outlet Obstruction (BOO) disebut Lower Urinary Tract Symptoms

(LUTS). Ini juga sering disebut sebagai prostatism, meskipun istilah ini jarang

digunakan. Pernyataan ini tumpang tindih, tidak semua laki-laki dengan BPH

memiliki LUT dan tidak semua pria dengan LUT mengalami BPH. Sekitar

setengah dari pria yang didiagnosis dengan BPH histopatologi menunjukkan

LUT berat. (Detters, 2011).

1
Manifestasi klinis dari LUT meliputi frekuensi kencing, urgency (buang

air kecil yang tidak dapat ditahan), nocturia (bangun di malam hari untuk

buang air kecil), atau polakisuria (sensasi buang air kecil yang tidak puas).

Komplikasi terjadi kurang umum tetapi mungkin dapat terjadi acute urine

retention (AUR), pengosongan kandung kemih terganggu, kebutuhan untuk

operasi korektif, gagal ginjal, infeksi saluran kemih berulang, batu kandung

kemih, atau gross hematuria. (Detters, 2011).

Volume prostat dapat meningkat dari waktu ke waktu pada pria dengan

BPH. Selain itu gejala dapat memburuk dari waktu ke waktu pada pria dengan

BPH yang tidak diobati dan risiko AUR sehingga kebutuhan untuk operasi

korektif meningkat. (Detters, 2011).

Pasien yang tidak mengalami gejala tersebut harus mengalami

kewaspadaan pada komplikasi BPH. Pasien dengan LUT ringan dapat diobati

dengan terapi medis pada awalnya. Transurethral resection of the prostate

(TURP) dianggap standar kriteria untuk menghilangkan BOO yang disebabkan

BPH. Namun, ada minat yang cukup besar dalam pengembangan terapi

minimal invasif untuk mencapai tujuan TURP sambil menghindari efek

samping. (Detters, 2011).

2
1.2. Tujuan Penulisan

1.2.1.Tujuan Umum

Mampu melaksanakan Asuhan Keperawatan pada Tn. R dengan

Benigna Prostat Hiperplasia di Poli Bedah RSI Siti Khadijah Palembang.

1.2.2. Tujuan Khusus

a. Mampu melakukan pengkajian keperawatan pada Tn. R dengan

Benigna Prostat Hiperplasia.

b. Mampu merumuskan diagnosa keperawatan pada Tn. R dengan

Benigna Prostat Hiperplasia.

c. Mampu membuat perencanaan keperawatan pada Tn. R dengan

Benigna Prostat Hiperplasia.

d. Mampu melakukan pelaksanaan asuhan keperawatan pada Tn. R

dengan Benigna Prostat Hiperplasia.

e. Mampu melakukan evaluasi keperawatan pada Tn. R dengan

Benigna Prostat Hiperplasia.

1.2.3.  Manfaat Penulisan

Adapun manfaat dari penulisan Laporan Kasus Lengkap ini adalah:

1. Menambah wawasan dan pengetahuan bagi mahasiswa mengenai

penanganan keperawatan pada pasien dengan Benigna Prostat

Hiperplasia.

2. Memberikan motivasi bagi semua perawat untuk melaksanakan asuhan

keperawatan pada pasien Benigna Prostat Hiperplasia.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Penyakit

2.1.1. Definisi

BPH adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat ( secara umum

pada pria lebih tua dari 50 tahun ) menyebabkan berbagai derajat obstruksi

uretral dan pembatasan aliran urinarius ( Marilynn, E.D, 2000 ).

Benigne Prostat Hyperplasia adalah pembesaran atau hypertropi

prostat. Kelenjar prostat membesar, memanjang ke arah depan ke dalam

kandung kemih dan menyumbat aliran keluar urine, dapat menyebabkan

hydronefrosis dan hydroureter (Dafid Arifiyanto, 2008).

Hiperplasia prostat benigna adalah pembesaran progresif dari kelenjar

prostat (secara umum pria lebih tua dari 50 tahun) menyebabkan berbagai

derajat obstruksi urethral dan pembatasan aliran urinarius (Doengoes Dkk,

2000).

Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa apabila

kelenjar prostat mengalami pembesaran, organ ini membuntu uretra dan

menyebabkan terhambatnya aliran urine keluar dari buli-buli.

4
2.1.2. Anatomi Dan Fisiologi.

Kelenjar prostat adalah salah satu organ genetalia pria yang terletak di

sebelah inferior buli-buli, dan membungkus uretra posterior. Bentuknya

sebesar buah kenari dengan berat normal pada orang dewasa ± 20gram.

Menurut Mc Neal (1976) yang dikutip dan bukunya Basuki (2000),

membagi kelenjar prostat dalam beberapa zona, antara lain zona perifer,

zona sentral, zona transisional, zona fibromuskuler anterior dan periuretra

(Basuki, 2000). Sjamsuhidajat (2005), menyebutkan bahwa pada usia

lanjut akan terjadi perubahan keseimbangan testosteron estrogen karena

produksi testosteron menurun dan terjadi konversi tertosteron menjadi

estrogen pada jaringan adipose di perifer. Basuki (2000) menjelaskan

bahwa pertumbuhan kelenjar ini sangat tergantung pada hormon

tertosteron, yang di dalam sel-sel kelenjar prostat hormon ini akan

dirubahmenjadi dehidrotestosteron (DHT) dengan bantuan enzim alfa

reduktase. Dehidrotestosteron inilah yang secaralangsung memacu m-

RNA di dalam sel-sel kelenjar prostat untuk mensintesis protein sehingga

terjadi pertumbuhan kelenjar prostat.

5
Oleh karena pembesaran prostat terjadi perlahan, maka efek terjadinya

perubahan pada traktus urinarius juga terjadi perlahan-lahan. Perubahan

patofisiologi yang disebabkan pembesaran prostat sebenarnyadisebabkan

oleh kombinasi resistensi uretra daerah prostat, tonus trigonum dan leher

vesika dan kekuatankontraksi detrusor. Secara garis besar, detrusor

dipersarafi oleh sistem parasimpatis, sedang trigonum, leher vesika dan

prostat oleh sistem simpatis. Pada tahap awal setelah terjadinya

pembesaran prostat akan terjadiresistensi yang bertambah pada leher

vesika dan daerah prostat. Kemudian detrusor akan mencoba mengatasi

keadaan ini dengan jalan kontraksi lebih kuat dan detrusor menjadi lebih

tebal. Penonjolan serat detrusor kedalam kandung kemih dengan

sistoskopi akan terlihat seperti balok yang disebut trahekulasi (buli-buli

balok). Mukosa dapat menerobos keluar diantara serat aetrisor. Tonjolan

mukosa yang kecil dinamakan sakula sedangkan yang besar disebut

divertikel. Fase penebalan detrusor ini disebut Fase kompensasi otot

dinding kandung kemih. Apabila keadaan berlanjut maka detrusor menjadi

lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk

berkontraksi sehingga terjadi retensi urin. Pada hiperplasi prostat

digolongkan dua tanda gejala yaitu obstruksi dan iritasi. Gejala obstruksi

disebabkan detrusor gagal berkontraksi dengan cukup lama dan kuat

sehingga kontraksi terputus-putus (mengganggu permulaan miksi), miksi

terputus, menetes pada akhir miksi, pancaran lemah, rasa belum puas

setelah miksi. Gejala iritasi terjadi karena pengosongan yang tidak

6
sempurna atau pembesaran prostat akan merangsang kandung kemih,

sehingga sering berkontraksiwalaupun belum penuh atau dikatakan

sebagai hipersenitivitas otot detrusor (frekuensi miksi meningkat, nokturia,

miksi sulit ditahan/urgency, disuria).

Karena produksi urin terus terjadi, maka satu saat vesiko urinaria

tidak mampu lagi menampung urin,sehingga tekanan intravesikel lebih

tinggi dari tekanan sfingter dan obstruksi sehingga terjadi

inkontinensia paradox (overflow incontinence). Retensi kronik

menyebabkan refluks vesiko ureter dan dilatasi. ureter danginjal, maka

ginjal akan rusak dan terjadi gagal ginjal. Kerusakan traktus urinarius

bagian atas akibat dari obstruksi kronik mengakibatkan penderita harus

mengejan pada miksi yang menyebabkan peningkatan tekanan

intraabdomen yang akan menimbulkan hernia dan hemoroid. Stasis urin

dalam vesiko urinaria akan membentuk  batu endapan yang menambal.

Keluhan iritasi dan hematuria. Selain itu, stasis urin dalam vesika

urinariamenjadikan media pertumbuhan mikroorganisme, yang dapat

menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluksmenyebabkan pyelonefritis

(Sjamsuhidajat, 2005).

2.1.3. Etiologi

Penyebab hiperplasia prostat belum diketahui dengan pasti, ada

beberapa pendapat dan fakta yang menunjukan, ini berasal dan proses

yang rumit dari androgen dan estrogen. Dehidrotestosteron yang berasal

dan testosteron dengan bantuan enzim 5α-reduktase diperkirakan sebagai

7
mediator utama pertumbuhan prostat. Dalam sitoplasma sel prostat

ditemukan reseptor untuk dehidrotestosteron (DHT). Reseptor ini

jumlahnya akan meningkat dengan bantuan estrogen. DHT yang dibentuk

kemudian akan berikatan dengan reseptor membentuk DHT-Reseptor

komplek. Kemudian masuk ke inti sel dan mempengaruhi RNA untuk

menyebabkan sintesis protein sehingga terjadi protiferasi sel. Adanya

anggapan bahwa sebagai dasar adanya gangguan keseimbangan hormon

androgen dan estrogen, dengan bertambahnya umur diketahui bahwa

jumlah androgen berkurang sehingga terjadi peninggian estrogen secara

retatif. Diketahui estrogen mempengaruhi prostat bagian dalam (bagian

tengah, lobus lateralis dan lobus medius) hingga pada hiperestrinisme,

bagian inilah yang mengalami hiperplasia. (Hardjowidjoto,2000).

Menurut Basuki (2000), hingga sekarang belum diketahui secara pasti

penyebab prostat hiperplasi, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa

hiperplasi prostat erat kaitannya dengan peningkatan

kadar dehidrotestosteron (DHT) dan proses penuaan. Beberapa hipotesis

yang diduga sebagai penyebab timbulnyahiperplasi prostat adalah :

1. Adanya perubahan keseimbangan antara hormon testosteron dan

estrogen pada usia lanjut. 

2. Peranan dari growth factor  (faktor pertumbuhan) sebagai pemicu

pertumbuhan stroma kelenjar prostat.

3. Meningkatnya lama hidup sel-sel prostat karena berkurangnya sel yang

mati.

8
4. Teori sel stem, menerangkan bahwa terjadi proliferasi abnormal sel

stem sehingga menyebabkan produksi selstroma dan sel epitel kelenjar

prostat menjadi berlebihan.

9
2.1.4. Patoflow

10
2.1.5. Manifestasi Klinis

Gambaran klinis pada hiperplasi prostat digolongkan dua tanda gejala

yaitu obstruksi dan iritasi. Gejala obstruksi disebabkan detrusor gagal

berkontraksi dengan cukup lama dan kuat sehingga

mengakibatkan: pancaran miksi melemah, rasa tidak puas sehabis miksi,

kalau mau miksi harus menunggu lama (hesitancy), harus mengejan

(straining), kencing terputus-putus (intermittency), dan waktu miksi

memanjang yang akhirnya menjadi retensio urin dan inkontinen karena

overflow.

Gejala iritasi, terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna atau

pembesaran prostat akan merangsang kandung kemih, sehingga sering

berkontraksi walaupun belum penuh atau dikatakan sebagai

hipersenitivitasotot detrusor dengan tanda dan gejala antara lain: sering

miksi (frekwensi), terbangun untuk miksi pada malam hari (nokturia),

perasaan ingin miksi yang mendesak (urgensi), dan nyeri pada saat miksi

(disuria) (Mansjoer,2000)

Derajat berat BPH menurut Sjamsuhidajat (2005) dibedakan menjadi

4 stadium :

1. Stadium I

Ada obstruktif tapi kandung kemih masih mampu mengeluarkan urine

sampai habis. 

11
2. Stadium II

Ada retensi urine tetapi kandung kemih mampu mengeluarkan urine

walaupun tidak sampai habis, masih tersisa kira-kira 60-150 cc. Ada

rasa ridak enak BAK atau disuria dan menjadi nocturia.

3. Stadium III

Setiap BAK urine tersisa kira-kira 150 cc.

4. Stadium IV

Retensi urine total, buli-buli penuh pasien tampak kesakitan, urine

menetes secara periodik (over flowin kontinen).

Menurut Smeltzer (2002) menyebutkan bahwa :

Manifestasi dari BPH adalah peningkatan frekuensi penuh, nokturia,

dorongan ingin berkemih, anyang-anyangan, abdomen tegang, volume urine

yangturun dan harus mengejan saat berkemih, aliran urine tak lancar,

dribbing (urine terus menerus setelah berkemih), retensi urine akut. Adapun

pemeriksaan kelenjar prostat melalui pemeriksaan di bawah ini :

1. Rectal Gradding

Dilakukan pada waktu vesika urinaria kosong :

a. Grade 0 : Penonjolan prostat 0-1 cm ke dalam rectum.

b. Grade 1 : Penonjolan prostat 1-2 cm ke dalam rectum.

c. Grade 2 : Penonjolan prostat 2-3 cm ke dalam rectum.

d. Grade 3 : Penonjolan prostat 3-4 cm ke dalam rectum.

e. Grade 4 : Penonjolan prostat 4-5 cm ke dalam rectum. 

12
2. Clinical Gradding

Banyaknya sisa urine diukur tiap pagi hari setelah bangun tidur,

disuruh kencing dahulu kemudian dipasang kateter.

a. Normal : Tidak ada sisa

b. Grade I : sisa 0-50 cc

c. Grade II : sisa 50-150 cc

d. Grade III : sisa > 150 cc

e. Grade IV : pasien sama sekali tidak bisa kencing

2.1.6. Pemeriksaan Penunjang

Menurut Soeparman (2000), pemeriksaan penunjang yang mesti

dilakukan pada pasien dengan BPH adalah :

a. Laboratorium

1. Sedimen Urin

Untuk mencari kemungkinan adanya proses infeksi atau inflamasi

saluran kemih.

2. Kultur Urin

Mencari jenis kuman yang menyebabkan infeksi atau sekaligus

menentukan sensitifitas kumanterhadap beberapa antimikroba yang

diujikan. 

3. IVP ( Intra Vena Pielografi)

Mengetahui kemungkinan kelainan ginjal atau ureter berupa

hidroureter atau hidronefrosis,memperkirakan besarnya kelenjar

prostat, penyakit pada buli-buli.

13
4. Ultrasonografi ( trans abdominal  dan trans rektal )

Untuk mengetahui, pembesaran prostat, volume buli-buli atau

mengukur sisa urin dan keadaan patologi lainnya seperti difertikel,

tumor.

5. Systocopy

Untuk mengukur besar prostat dengan mengukur panjang uretra

parsprostatika dan melihat penonjolan prostat ke dalam rektum.

2.1.7 Komplikasi

1. Arteroclerosis

2. Infark jantung

3. Impoten

4. Heamarogissssk post operasi

5. Fistula

6. Struk pasca operasi dan incotensia urin

7. infeksi

2.1.8 Penatalaksanaan

2.1.8.1 Medis

1. Medical Treatment

Ada beberapa jenis pengobatan medikamentosa pada BPH yaitu :

a. Penghambat adrenergik alfa

Obat ini menghambat reseptor alfa pada otot polos di

trigonum, leher vesika, prostat, dan kapsul prostat, sehingga terjadi

relaksasi, penurunan tekanan di uretra pars prostatika, sehingga

14
meringankan obstruksi. Perbaikan gejala timbul dengan cepat,

contohnya Prazosin, Doxazosin, Terazosin, Afluzosin, atau

Tamsulosin. Efek samping yang dapat timbul adalah karena

penurunan tekanan darah sehingga pasien bisa mengeluh pusing,

capek, hidung tersumbat, dan lemah.

b. Penghambat enzim 5 α reduktase

Obat ini menghambat kerja enzim 5 α reduktase sehingga

testosteron tidak diubah menjadi DHT, konsentrasi DHT dalam

prostat menurun, sehingga sintesis protein terhambat. Perbaikan

gejala baru muncul setelah 6 bulan, dan efek sampingnya antara lain

melemahkan libido, dan menurunkan nilai PSA.

c. Phytoterapi

Obat dari tumbuhan herbal ini mengandung Hypoxis

Rooperis, Pygeum Africanum, Urtica Sp, Sabal Serulla, Curcubita

pepo, populus temula, Echinacea pupurea, dan Secale cereale.

Banyak mekanisme kerja yang belum jelas diketahui, namun

PPygeum Africanum diduga mempengaruhi kerja Growth

Factor terutama b-FGF dan EGF. Efek dari obat lain yaitu anti-

estrogen, anti-androgen, menurunkan sex binding hormon globulin,

hambat proliferasi sel prostat, pengaruhi metabolisme prostaglandin,

anti-inflamasi, dan menurunkan tonus leher vesika.(Sjamsuhidajat,

2004).

15
2.1.8.2 Keperawatan

1. Watchfull Waiting

Tatalaksana pada penderita BPH saat ini tergantung pada LUTS

yang diukur dengan sistem skor IPSS. Pada pasien dengan skor ringan

(IPSS ≤ 7 atau Madsen Iversen ≤ 9), dilakukan watchful waiting atau

observasi  yang mencakup edukasi, reasuransi, kontrol periodik, dan

pengaturan gaya hidup. Bahkan bagi pasien dengan LUTS sedang yang

tidak terlalu terganggu dengan gejala LUTS yang dirasakan juga dapat

memulai terapi dengan malakukan watchful waiting. Saran yang

diberikan antara lain :

a. Mengurangi minum setelah makan malam (mengurangi nokturia).

b. Menghindari obat dekongestan (parasimpatolitik).

c. Mengurangi minum kopi dan larang minum alkohol (mengurangi

frekuensi miksi).

d. Setiap 3 bulan mengontrol keluhan.

2. Tatalaksana Invasif

Tatalaksana invasif pada BPH bertujuan untuk mengurangi jaringan

adenoma. Indikasi absolut untuk melakukan tatalaksana invasif:

a. Sisa kencing yang banyak

b. Infeksi saluran kemih berulang

c. Batu vesika

d. Hematuria makroskopil

e. Retensi urin berulang

16
f. Penurunan fungsi ginjal

2.2 Asuhan Keperawatan.

2.2.1.Pengkajian

Pengkajian adalah pemikiran dasar dari proses keperawatan yang

bertujuan untuk mengumpulan informasi / data tentang klien, agar dapat

mengidentifikasi, mengenali masalah, kebutuhan kesehatan dan

keperawatan klien baik fisik, mental, sosial dan lingkungan.

a. Pengumpulan data

Data yang perlu dikumpulkan dari klien meliputi :

b. Identitas klien

Merupakan biodata klien yang meliputi : nama, umur, jenis

kelamin, agama, suku bangsa / ras, pendidikan, bahasa yang dipakai,

pekerjaan, penghasilan dan alamat. Jenis kelamin dalam hal ini klien

adalah laki – laki berusia lebih dari 50 tahun dan biasanya banyak

dijumpai pada ras Caucasian.

c. Keluhan utama

Keluhan utama yang biasa muncul pada klien BPH pasca TURP

adalah nyeri yang berhubungan dengan spasme buli – buli. Pada saat

mengkaji keluhan utama perlu diperhatikan faktor yang mempergawat

atau meringankan nyeri ( provokative / paliative ), rasa nyeri yang

dirasakan (quality), keganasan / intensitas ( saverity ) dan waktu

serangan, lama, kekerapan (time).

17
d. Riwayat penyakit sekarang

Kumpulan gejala yang ditimbulkan oleh BPH dikenal dengan

Lower Urinari Tract Symptoms ( LUTS ) antara lain : hesitansi, pancar

urin lemah, intermitensi, terminal dribbling, terasa ada sisa setelah

selesai miksi, urgensi, frekuensi dan disuria.

Perlu ditanyakan mengenai permulaan timbulnya keluhan, hal-

hal yang dapat menimbulkan keluhan dan ketahui pula bahwa

munculnya gejala untuk pertama kali atau berulang.

e. Riwayat penyakit dahulu

Adanya riwayat penyakit sebelumnya yang berhubungan

dengan keadaan penyakit sekarang perlu ditanyakan . Diabetes

Mellitus, Hipertensi, PPOM, Jantung Koroner, Dekompensasi Kordis

dan gangguan faal darah dapat memperbesar resiko terjadinya penyulit

pasca bedah Ketahui pula adanya riwayat penyakit saluran kencing

dan pembedahan terdahulu.

f. Riwayat penyakit keluarga

Riwayat penyakit pada anggota keluarga yang sifatnya

menurun seperti : Hipertensi, Diabetes Mellitus, Asma perlu digali .

g. Riwayat psikososial

Kaji adanya emosi kecemasan, pandangan klien terhadap

dirinya serta hubungan interaksi pasca tindakan TURP.

h. Pola – pola fungsi kesehatan

1) Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat.

18
Timbulnya perubahan pemeliharaan kesehatan karena tirah baring

selama 24 jam pasca TURP. Adanya keluhan nyeri karena spasme buli

– buli memerlukan penggunaan anti spasmodik sesuai terapi dokter.

2) Pola nutrisi dan metabolisme.

Klien yang di lakukan anasthesi SAB tidak boleh makan dan minum

sebelum flatus .

3) Pola eliminasi

Pada klien dapat terjadi hematuri setelah tindakan TURP. Retensi urin

dapat terjadi bila terdapat bekuan darah pada kateter. Sedangkan

inkontinensia dapat terjadi setelah kateter di lepas.

4) Pola aktivitas dan latihan

Adanya keterbatasan aktivitas karena kondisi klien yang lemah dan

terpasang traksi kateter selama 6 – 24 jam. Pada paha yang dilakukan

perekatan kateter tidak boleh fleksi selama traksi masih diperlukan.

5) Pola tidur dan istirahat

Rasa nyeri dan perubahan situasi karena hospitalisasi dapat

mempengaruhi pola tidur dan istirahat.

6) Pola kognitif perseptual

Sistem Penglihatan, Pendengaran, Pengecap, peraba dan Penghidu tidak

mengalami gangguan pasca TURP.

7) Pola persepsi dan konsep diri

19
Klien dapat mengalami cemas karena ketidaktahuan tentang perawatan

dan komplikasi pasca TURP.

8) Pola hubungan dan peran

Karena klien harus menjalani perawatan di rumah sakit maka dapat

mempengaruhi hubungan dan peran klien baik dalam keluarga tempat

kerja dan masyarakat.

9) Pola reproduksi seksual

Tindakan TURP dapat menyebabkan impotensi dan ejakulasi retrograd.

10) Pola penanggulangan stress

Stress dapat dialami klien karena kurang pengetahuan tentang

perawatan dan komplikasi pasca TURP. Gali adanya stres pada klien

dan mekanisme koping klien terhadap stres tersebut.

11) Pola tata nilai dan kepercayaan

Adanya traksi kateter memerlukan adaptasi klien dalam menjalankan

ibadahnya .

i. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan didasarkan pada sistem – sistem tubuh antara lain :

1) Keadaan umum

Setelah operasi klien dalam keadaan lemah dan kesadaran baik,

kecuali bila terjadi shock. Tensi, nadi dan kesadaran pada fase awal

( 6 jam ) pasca operasi harus diminitor tiap jam dan dicatat. Bila

keadaan tetap stabil interval monitoring dapat diperpanjang misalnya

3 jam sekali.

20
2) Sistem pernafasan

Klien yang menggunakan anasthesi SAB tidak mengalami

kelumpuhan pernapasan kecuali bila dengan konsentrasi tinggi

mencapai daerah thorakal atau servikal .

3) Sistem sirkulasi

Tekanan darah dapat meningkat atau menurun pasca TURP. Lakukan

cek Hb untuk mengetahui banyaknya perdarahan dan observasi cairan

(infus, irigasi, per oral) untuk mengetahui masukan dan haluaran.

4) Sistem neurologi

Pada daerah kaudal akan mengalami kelumpuhan (relaksasi otot) dan

mati rasa karena pengaruh anasthesi SAB.

5)  Sistem gastrointestinal

Anasthesi SAB menyebabkan klien pusing, mual dan muntah. Kaji

bising usus dan adanya massa pada abdomen .

6) Sistem urogenital

Setelah dilakukan tindakan TURP klien akan mengalami hematuri .

Retensi dapat terjadi bila kateter tersumbat bekuan darah. Jika terjadi

retensi urin, daerah supra sinfiser akan terlihat menonjol, terasa ada

ballotemen jika dipalpasi dan klien terasa ingin kencing. Residual urin

dapat diperkirakan dengan cara perkusi. Traksi kateter dilonggarkan

selama 6 – 24 jam .

7) Sistem muskuloskaletal

21
Traksi kateter direkatkan di bagian paha klien. Pada paha yang

direkatan kateter tidak boleh fleksi selama traksi masih diperlukan.

j. Pemeriksaan penunjang

a) Laboratorium

Setiap penderita pasca TURP harus di cek kadar hemoglobinnya dan

perlu diulang secara berkala bila urin tetap merah dan perlu di periksa

ulang bila terjadi penurunan tekanan darah dan peningkatan nadi. Kadar

serum kreatinin juga perlu diulang secara berkala terlebih lagi bila

sebelum operasi kadar kreatininnya meningkat. Kadar natrium serum

harus segera diperiksa bila terjadi sindroma TURP. Bila terdapat tanda

septisemia harus diperiksa kultur urin dan kultur darah.

b) Analisa dan sintesa data

Setelah data dikumpulkan, dikelompokkan dan dianalisa kemudian data

tersebut dirumuskan ke dalam masalah keperawatan . Adapun masalah

yang mungkin terjadi pada klien BPH pasca TURP antara lain : nyeri,

retensi urin, resiko tinggi infeksi, resiko tinggi kelebihan cairan, resiko

tinggi ketidakefektifan pola napas, resiko tinggi kekurangan cairan,

kurang pengetahuan, inkontinensia dan resiko tinggi disfungsi seksual .

2.2.2. Diagnosa keperawatan

1. Nyeri ( akut ) berhubungan dengan iritasi mukosa buli – buli : reflek

spasme otot sehubungan dengan prosedur bedah dan / atau tekanan

dari traksi.

22
2. Resiko tinggi kekurangan cairan berhubungan dengan kehilangan

darah berlebihan .

3. Resiko tinggi kelebihan cairan yang berhubungan dengan absorbsi

cairan irigasi (TURP).

4. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan kateter di buli –

buli.

5.Resiko tinggi terhadap ketidakefektifan pola napas yang berhubungan

anastesi.

2.2.3. Intervensi Keperawatan

1. Resiko tinggi ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan

anastesi.

a. Tujuan

Pola napas tetap efektif.

b. Kriteria hasil

Paru-paru bersih pada auskultasi, frekuensi dan irama napas dalam

batas normal, melakukan batuk dan napas dalam tanpa kesulitan.

c. Rencana tindakan dan rasional

1) Bantu klien dengan spirometer insentif jika dianjurkan.

Rasional: memaksimalkan ekspansi paru.

2) Ajarkan dan bantu klien untuk membalik, batuk, dan napas dalam

tiap 2 jam.

Rasional: merupakan upaya untuk mengeluarkan sekret.

23
3) Kaji bunyi napas tiap 4 jam.

Rasional: Laporkan penurunan atau tidak adanya bunyi napas

pada tim medis.

4) Kaji kulit terhadap tanda sianosis dan diaforesis.

5) Pantau dan laporkan gejala gangguan pertukaran gas kacau.

Rasional : (c, d, e, f): deteksi dini ketidakefektifan pola napas.

6) Berikan obat penghilang nyeri dengan interval yang tepat untuk

menguranginyeri.

Rasional: berkurang / hilangnya nyeri dapat membantu klien

melakukan latihan batuk dan napas dalam secara efektif.

2. Resiko tinggi kekurangan cairan yang berhubungan dengan kehilangan

darah berlebihan.

a. Tujuan

Keseimbangan cairan tubuh tetap terpelihara.

b. Kriteria hasil

Mempertahankan hidrasi adekuat dibuktikan dengan: tanda -tanda

vital stabil, nadi perifer teraba, pengisian perifer baik, membran

mukosa lembab dan keluaran urin tepat.

c. Rencana tindakan dan rasional

1) Benamkan kateter, hindari manipulasi berlebihan.

Rasional : gerakan penarikan kateter dapat menyebabkan

perdarahan atau pembentukan bekuan darah dan pembenaman

kateter pada distensi buli-buli.

24
2)  Pantau masukan dan haluaran cairan.

Rasional: indikator keseimangan cairan dan kebutuhan

penggantian.

3) Observasi drainase kateter, hindari manipulasi berlebihan atau

berlanjut.

Rasional : perdarahan tidak umum terjadi 24 jam pertama tetapi

perlu pendekatan perineal. Perdarahan kontinu / berat atau

berulangnya perdarahan aktif memerlukan intervensi / evaluasi

medik.

4)  Evaluasi warna, konsistensi urin, contoh : Merah terang dengan

bekuan darah.

Rasional : mengindikasikan perdarahan arterial dan memerlukan

terapi cepat.

5) Peningkatan veskositas, warna keruh gelap dengan bekuan

gelap.

Rasional : menunjukkan perdarahan vena, biasanya berkurang

sendiri.

6) Awasi tanda-tanda vital, perhatikan peningkatan nadi dan

pernapasan, penurunan tekanan darah, diaforesis, pucat,

pelambatan pengisian kapiler dan membran mukosa kering.

7) Selidiki kegelisahan, kacau mental dan perubahan perilaku.

Rasional : dapat menunjukkan penurunan perfusi serebral.

8)  Dorong pemasukan cairan 3000 ml/harikecuali kontraindikasi.

25
Rasional : membilas gonjal / buli-buli dari bakteri dan debris.

Awasi dengan ketat karena dapat mengakibatkan intoksikasi

cairan.

9) Hindari pengukuran suhu rektal dan penggunaan selang rektal /

enema.

Rasional : dapat mengakibatkan penyebaran iritasi terhadap

dasar prostat dan peningkatan kapsul prostat dengan resiko

perdarahan.

10) Kolaborasi dalam memantau pemeriksaan laboratorium sesuai

indikasi, contoh:

Hb / Ht, jumlah sel darah merah.

Rasional : berguna dalam evaluasi kehilangan darah/kebutuhan

penggantian.

Pemeriksaan koagulasi, jumlah trombosit.

3. Resiko tinggi terjadinya kelebihan cairan yang berhubungan dengan

absorbsi cairan irigasi (TURP).

a. Tujuan

Keseimbangan cairan tetap terpelihara.

b. Kriteria hasil

Masukan dan haluaran seimbang, irigan keluar secara total,

sadar penuh, berorientasi, dan menunjukkan tak ada

abnormalitas fungsi motorik.

c. Rencana tindakan dan rasional

26
1)  Pantau dan laporkan tanda dan gejala difusi hiponatremia.

Rasional : Hiponatremi adalah tanda kelebihan cairan.

2) Pantau masukan dan haluaran tiap 4 – 8 jam.

Rasional : indikator keseimbangan cairan dan kebutuhan

penggantian.

3) Hentikan irigasi saat saat tanda kelebihan cairan terjadi dan

laporkan tim medis.

Rasional : mencegah absorbsi yang berlebihan.

4) Gunakan spuit untuk mengirigasi kateter oleh bekuan darah

jika diinstruksikan.

Rasional: mencegah terjadinya retensi

4. Retensi urin berhubungan dengan obstruksi sekunder dari TURP.

a. Tujuan

Retensi urin teratasi.

b. Kriteria hasil

Eliminasi urin kembali normal, menunjukkan perilaku

peningkatan kontrol buli-buli.

c.  Rencana tindakan dan rasional

1) Awasi masukan dan haluaran serta karakteristiknya.

Rasional: deteksi dini terjadinya retensi urin.

2) Kolaborasi dalam mempertahankan irigasi secara konstan

selama 24 jam pertama.

27
Rasional: mencuci buli-buli dari bekuan darah dan debris

untuk mempertahankan patensi kateter / aliran urin.

3) Dorong pemasukan 3000 ml / hari sesuai toleransi.

Rasional: mempertahankan hidrasi adekuat dan perfusi ginjal

untuk aliran urin.

4) Setelah kateter diangkat, terus pantau gejala-gejala retensi.

Rasional: deteksi dini terjadinya retensi.

5. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan kateter di

buli – buli.

a. Tujuan

Infeksi dicegah.

b. Kriteria hasil

Mencapai waktu penyembuhan, tidak mengalami tanda

infeksi.

c. Rencana tindakan dan rasional

1) Pertahankan sistem kateter steril, berikan perawatan

kateter reguler dengan sabun dan air, berikan salep

antibiotik disekitar sisi kateter.

Rasional: mencegah pemasukan bakteri dan infeksi /

sepsis lanjut.

2) Ambulasi dengan kantung drainase dependen.

28
Rasional: menghindari reflek balik urin dapat

memasukkan bakteri ke dalam buli – buli.

3) Awasi tanda dan gejala infeksi saluran perkemihan.

Rasional: mendeteksi infeksi sejak dini.

4) Berikan antibiotik sesuai indikasi.

Rasional: kemungkinan diberikan secara profilaktik

berhubungan dengan peningkatan resiko pada

prostatektomi.

2.2.4 Implementasi Keperawatan

Berdasarkan diagnosa pertama implementasi yang dapat dilakukan

yaitu mengkaji skala nyeri, mengobservasi TTV : TD, RR, P, Temp,

mengatur posisi senyaman mungkin, mengajarkan teknik relaksasi

dengan cara latih nafas dalam, melibatkan keluarga dalam memberikan

motivasi pada klien, berkolaborasi dengan tim medis.

Diagnosa yang kedua maka implementasi yang dilakukan yaitu :

meng observasi adanya pembatasan dalam aktifitas, mengatur posisi

senyaman mungkin, mengajarkan teknik relaksasi, melibatkan keluarga

dalam pemenuhan kebutuhan klien, berkolaborasi dengan tim medis.

2.2.5. Evaluasi Keperawatan

Hasil dari evaluasi dari yang diharapkan dalam pemberian

tindakan keperawatan melalui proses keperawtan pada klien dengan

Benigna Prostatic Hypertrophy berdasarkan tujuan pemulangan adalah

29
1. Nyeri/ ketidaknyamanan hilang.

2. Cairan terpenuhi secara adekuat

3. airan tubuh tidak berlebihan

4. Tidak terjadi retensi urine

5. Risiko infeksi dihindari.

BAB III

KESIMPULAN

 3.1. Kesimpulan

Benigna Prostat Hiperplasia merupakan penyakit yang terjadi karena

adanya penyumbatan jalan kemih oleh benda asing, sel kanker, kista, yang

menyebabkan ketidakmampuan seseorang untuk berkemih secara normal.

Selain itu BPH juga terjadi akibat pola hidup yang tidak sehat dan

bersih. Hal ini menyebabkan terjadinya pembesaran kelenjar prostat

sehingga menutupi saluran kemih yang menghambat proses pengeluaran

urine.

Akan tetapi BPH bisa dihindari dengan menjaga pola hidup serta

kebersihan alat kelamin. Terlebih juga dapat dilakukan pembedahan guna

mengembalikan kegunaan dari alat kelamin.

3.2. Saran

Sebaiknya, untuk menghindari terjadinya penyakit BPH di usia senja

akan lebih baik jika pola hidup sehat dan bersih ditingkatkan. Kemudian

melakukan aktivitas seperti olahraga terbukti dapat mengurangi persentase

mensgidap BPH.

30
DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, Linda Jual. (2001). Rencana Asuhan & Dokumentasi Keperawatan


(terjemahan). PT EGC. Jakarta.

Doenges, et al. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan (terjemahan). PT EGC.


Jakarta.

Engram, Barbara. (1998). Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah. Volume


I (terjemahan). PT EGC. Jakarta.

Hardjowidjoto S. (1999).Benigna Prostat Hiperplasia. Airlangga University Press.


Surabaya

Long, Barbara C. (1996). Perawatan Medikal Bedah. Volume I.


(terjemahan).Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan
Pajajaran. Bandung.

Soeparman. (1990). Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. FKUI. Jakarta.

Guyton, Arthur C, Fisiologi manusia dan mekanisme penyakit, EGC Penerbit


buku kedokteran, Jakarta, 1987.

Johnson., Mass. 1997. Nursing Outcomes Classification, Availabel on:


www.Minurse.com, 28 Oktober 2009

McCloskey, Joanne C,. Bulecheck, Gloria M. 1996. Nursing Intervention


Classsification (NIC). Mosby, St. Louise.

NANDA, 2002. Nursing Diagnosis : Definition and Classification (2001-2002),


Philadelphia

31

Anda mungkin juga menyukai