Kelompok 5 - Surveilans Gizi Buruk

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 35

ANALISIS SISTEM SURVEILANS GIZI BURUK DI KOTA BLITAR

Untuk Memenuhi Ujian Akhir Semester V Mata Kuliah Surveilans Kesehatan Masyarakat

Dosen Pengampu : Ibu Oktovina Rizky Indrasari, S.KM., M.Kes.

Disusun oleh :

Kelompok 5 - Kelas A

1. Amalia Rizqi Fariska 10318003


2. Dita Meylinda Hafsari 10318012
3. Diva Savira Az-Zahra 10318013
4. Hedwig Dyah Ayu R. 10318023
5. Magdalena 10318031
6. Mohammad Uwais S. 10318037

PROGRAM STUDI S1 KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN KESEHATAN

INSTITUT ILMU KESEHATAN BHAKTI WIYATA

KEDIRI

2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan pada kehadirat Allah SWT., berkat rahmat dan
hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah dengan judul
“Analisis Sistem Surveilans Gizi Buruk di Kota Blitar” ini dengan baik dan dalam bentuk
yang sederhana. Makalah surveilans kesehatan masyarakat ini kami susun dengan tujuan
memenuhi tugas UAS Mata Kuliah Surveilans Kesehatan Masyarakat.

Penyusunan makalah ini dapat terwujud berkat bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu
dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada:

1. Ibu Oktovina Rizki Indrasari, S.KM., M.Kes selaku Dosen Pengampu Mata Kuliah
Surveilans Kesehatan Masyarakat.
2. Teman-teman prodi S1 Kesehatan Masyarakat angkatan tahun 2018.
3. Anggota Kelompok 5 Kelas A

Semoga Allah SWT., membalas budi baik semua pihak yang telah memberikan
kesempatan, dukungan dan bantuan dalam menyelesaikan makalah ini. Kami sebagai penulis
menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, sehingga kami memohon maaf
dan harap dimaklumi karena masih dalam tahap pembelajaran. Kritik dan saran dari semua
pihak sangat kami butuhkan untuk menyempurnakan makalah kami nantinya. Sekian dari
kami, semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai bahan pembelajaran dan manfaat oleh
semua kalangan yang membacanya.

Kediri, 03 Februari 2021

Penulis,
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Dalam Undang-undang kesehatan No.36 tahun 2009 dinyatakan bahwa
pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan
kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan
masyarakat yang setinggi-tingginya, sebagai investasi bagi pembangunan sumber
daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis. Jika kesehatan sudah
merupakan prioritas bagi pembangunan manusia maka kualitas sumber daya manusia
pun akan meningkat dan turut meningkatkan pula derajat suatu bangsa di mata dunia.
Kualitas sumber daya manusia suatu negara sangat tergantung dari derajat
kesehatan dan salah satu penentunya adalah status gizi penduduk. Permasalahan gizi
pada balita hingga saat ini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang
utama khususnya di Indonesia. Kondisi balita kurang gizi yang terdiri dari balita
dengan status gizi kurang dan gizi buruk merupakan penyebab utama tingginya angka
morbiditas dan mortalitas pada anak balita di negara berkembang termasuk di
Indonesia (WHO, 2016). Gizi buruk merupakan status kondisi seseorang yang
kekurangan nutrisi, atau nutrisinya dibawah rata-rata. Gizi buruk biasanya terjadi pada
anak balita dibawah usia 5 tahun. Gizi buruk adalah bentuk terparah dari proses
terjadinya kekurangan gizi menahun. Anak balita usia 12-59 bulan merupakan
kelompok umur yang rawan terhadap gangguan kesehatan dan gizi.
Angka kejadian balita dengan kurang gizi di Indonesia terjadi secara masif
dengan wilayah sebaran yang hampir merata. Pada tahun 2013, secara nasional
prevalensi kurang gizi pada anak balita sebesar 19,6%, yang berarti masalah kurang
gizi di Indonesia masih merupakan masalah kesehatan masyarakat mendekati
prevalensi tinggi (Riskesdas, 2013). Angka prevalensi tersebut terdiri dari 5,7% gizi
buruk dan 13,9% gizi kurang. Jika dibandingkan dengan angka prevalensi nasional
tahun 2007 (18,4%) dan tahun 2010 (17,9%), angka tersebut terlihat meningkat.
Perubahan terutama pada prevalensi gizi buruk yaitu dari 5,4% tahun 2007, 4,9%
pada tahun 2010, dan 5,7% pada tahun 2013 sedangkan prevalensi gizi kurang, naik
sebesar 0,9% dari tahun 2007 ke tahun 2013. Berdasarkan hasil Riskesdas 2018, kasus
gizi buruk menurun menjadi 3,35 %. Pada Kota Blitar Provinsi Jawa timur tahun 2018
jumlah kasus gizi buruk pun juga semakin meningkat menjadi 11 kasus gizi buruk.
Faktor penyebab gizi buruk dapat dikelompokkan menjadi 2 yaitu penyebab
langsung dan penyebab tidak langsung. Penyebab langsung gizi buruk meliputi
kurangnya jumlah dan kualitas makanan yang dikonsumsi dan menderita penyakit
infeksi, sedangkan penyebab tidak langsung gizi buruk yaitu ketersediaan pangan
rumah tangga, kemiskinan, pola asuh yang kurang memadai dan pendidikan yang
rendah. Faktor konsumsi makanan merupakan penyebab langsung dari kejadian gizi
buruk pada balita. Hal ini disebabkan karena konsumsi makanan yang tidak
memenuhi jumlah dan komposisi zat gizi yang memenuhi syarat gizi seimbang yaitu
beragam, sesuai kebutuhan, bersih dan aman sehingga akan berakibat secara langsung
terhadap pertumbuhan dan perkembangan balita. Faktor penyakit infeksi berkaitan
dengan tingginya kejadian penyakit menular terutama diare, cacingan dan penyakit
pernapasan akut (ISPA). Faktor kemiskinan sering disebut sebagai akar dari
kekurangan gizi, yang mana faktor ini erat kaitannya terhadap daya beli pangan di
rumah tangga sehingga berdampak terhadap pemenuhan zat gizi. Untuk itu, surveilans
gizi buruk di Kota Blitar tahun 2018 dilakukan sebagai bahan dalam penanggulangan
dan penyebaran informasi gizi serta pengambilan keputusan gizi buruk di Kota Blitar.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, rumusan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana sistem surveilans Gizi Buruk di Kota Blitar ?
2. Bagaimana Tindak Lanjut dari surveilans gizi buruk ?
3. Bagaimana pemberdayaan masyarakat dalam pencegahan gizi buruk di Kota
Blitar ?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui sistem surveilans Gizi buruk di Kota Blitar
2. Untuk mengetahui tindak lanjut dari adanya surveilans gizi buruk.
3. Untuk mengatahui pemberdayaan masayarakat yang telah dijalankan dalam
pencegahan gizi buruk di Kota Blitar.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. GIZI BURUK
1. Definisi Gizi Buruk
Gizi buruk sendiri adalah status gizi yang didasarkan pada indeks berat badan
menurut umur (BB/U) yang merupakan padanan istilah severely underweight
(Kemenkes RI, 2011). Gizi buruk memperlihatkan kekurangan gizi tingkat berat yang
disebabkan oleh rendahnya konsumsi energi dan protein dari makanan sehari-hari
dibanding kebutuhan dan terjadi dalam jangka waktu yang lama.
Gizi buruk (severe malnutrition) adalah suatu istilah teknis yang umumnya
dipakai oleh kalangan gizi, kesehatan dan kedokteran. Gizi buruk adalah bentuk
terparah dari proses terjadinya kekurangan gizi menahun(Wiku A, 2005).
2. Faktor Penyebab Gizi Buruk
WHO menyebutkan bahwa banyak faktor dapat menyebabkan gizi buruk,
yang sebagian besar berhubungan dengan pola makan yang buruk, infeksi berat dan
berulang terutamapada populasi yang kurang mampu. Diet yang tidak memadai, dan
penyakit infeksi terkait erat dengan standar umum hidup, kondisi lingkungan,
kemampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, perumahan dan
perawatan kesehatan (WHO, 2012).
a. Konsumsi zat gizi
Konsumsi zat gizi yang kurang dapat menyebabkan keterlambatan pertumbuhan
badan dan keterlambatan perkembangan otak serta dapat pula terjadinya
penurunan atau rendahnya daya tahan tubuh terhadap penyakit infeksi
(Krisnansari d, 2010).Selain itu faktor kurangnya asupan makanan disebabkan
oleh ketersediaan pangan, nafsu makan anak,gangguan sistem pencernaan serta
penyakit infeksi yang diderita (Proverawati A, 2009).
b. Penyakit infeksi
Infeksi dan kekurangan gizi selalu berhubungan erat. Infeksi pada anak-anak
yang malnutrisi sebagian besar disebabkan kerusakan fungsi kekebalan tubuh,
produksi kekebalan tubuh yang terbatas dan atau kapasitas fungsional berkurang
dari semua komponen seluler dari sistem kekebalan tubuh pada penderita
malnutrisi (RodriquesL, 2011).
c. Pengetahuan ibu tentang gizi dan kesehatan
Seorang ibu merupakan sosok yang menjadi tumpuan dalam mengelola makan
keluarga. pengetahuan ibu tentang gizi balita merupakan segala bentuk informasi
yang dimiliki oleh ibu mengenai zat makanan yang dibutuhkan bagi tubuh balita
dan kemampuan ibu untuk menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari
(Mulyaningsih F, 2008). Kurangnya pengetahuan tentang gizi akan
mengakibatkan berkurangnya kemampuan untuk menerapkan informasi dalam
kehidupan sehari-hari yang merupakan salah satu penyebab terjadinya gangguan
gizi(Notoadmodjo S, 2003).Pemilihan bahan makanan, tersedianya jumlah
makanan yang cukup dan keanekaragaman makanan ini dipengaruhi oleh tingkat
pengetahuan ibu tentang makanan dan gizinya. Ketidaktahuan ibu dapat
menyebabkan kesalahan pemilihan makanan terutama untuk anak balita
(Nainggolan J dan Zuraida R, 2010).
d. Pendidikan ibu
Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka semakin mudah diberikan
pengertian mengenai suatu informasi dan semakin mudah untuk
mengimplementasikan pengetahuannya dalam perilaku khususnya dalam hal
kesehatan dan gizi (Ihsan M.Hiswani, Jemadi, 2012). Pendidikan ibu yang relatif
rendah akan berkaitan dengan sikap dan tindakan ibu dalam menangani masalah
kurang gizi pada anak balitanya (Oktavianis, 2016).
e. Pola asuh anak
Pola asuh anak merupakan praktek pengasuhan yang diterapkan kepada anak
balita dan pemeliharaan kesehatan(Siti M, 2015).Pola asuh makan adalah praktik-
praktik pengasuhan yang diterapkan ibu kepada anak balita yang berkaitan
dengan cara dan situasi makanPola asuh yang baik dari ibu akan memberikan
kontribusi yang besar pada pertumbuhan dan perkembangan balita sehingga akan
menurunkan angka kejadian gangguan gizi dan begitu sebaliknya (Istiany,dkk,
2007).
f. Sanitasi
Sanitasi lingkungan termasuk faktor tidak langsung yang mempengaruhi status
gizi. Gizi buruk dan infeksi kedua –duanya bermula dari kemiskinan dan
lingkungan yang tidak sehat dengan sanitasi buruk(Suharjo, 2010). Upaya
penurunan angka kejadian penyakit bayi dan balita dapat diusahakan dengan
menciptakan sanitasi lingkungan yang sehat, yang pada akhirnya akan
memperbaiki status gizinya(Hidayat T, dan Fuada N, 2011).
g. Tingkat pendapatan
Tingkat pendapatan keluarga merupakan faktor eksternal yang mempengaruhi
status gizi balita(Mulyana DW, 2013). Keluarga dengan status ekonomi
menengah kebawah, memungkinkan konsumsi pangan dan gizi terutama pada
balita rendah dan hal ini mempengaruhi status gizi pada anak balita ( Supariasa
IDN, 2012). Balita yang mempunyai orang tua dengan tingkat pendapatan kurang
memiliki risiko 4 kali lebih besar menderita status gizi kurang dibanding dengan
balita yang memiliki orang tua dengan tingkat pendapatan cukup(Persulessy V,
2013).
h. Ketersediaan pangan
Kemiskinan dan ketahanan pangan merupakan penyebab tidak langsung
terjadinya status gizi kurang atau buruk (Roehadi S, 2013). Masalah gizi yang
muncul sering berkaitan dengan masalah kekurangan pangan, salah satunya
timbul akibat masalah ketahanan pangan ditingkat rumahtangga, yaitu
kemampuan rumahtangga memperolehmakanan untuk semua anggotanya(Sobila
ET, 2009).
i. Jumlah anggota keluarga
Jumlah anggota keluarga berperan dalam status gizi seseorang. Anak yang
tumbuh dalam keluarga miskin paling rawan terhadap kurang gizi. apabila
anggota keluarga bertambah maka pangan untuk setiap anak berkurang, asupan
makanan yang tidak adekuat merupakan salah satu penyebab langsung karena
dapat menimbulkan manifestasi berupa penurunan berat badan atau terhambat
pertumbuhan pada anak, oleh sebab itu jumlah anak merupakanfaktor yang turut
menentukan status gizi balita(Faradevi R, 2017).
j. Sosial budaya
Budaya mempengaruhi seseorang dalam menentukan apa yang akan dimakan,
bagaimana pengolahan, persiapan, dan penyajiannya serta untuk siapa dan dalam
kondisi bagaimana pangan tersebut dikonsumsi. Sehingga hal tersebut
dapatmenimbulkan masalah gizi buruk(Arifn Z, 2015).
3. Klasifikasi Gizi Buruk
Gizi buruk berdasarkan gejala klinisnya dapat dibagi menjadi 3, yaitu:
a. Marasmus
Marasmus terjadi disebabkan asupan kalori yang tidak cukup. Marasmus sering
sekali terjadi pada bayi di bawah 12 bulan. Pada kasus marasmus, anak terlihat
kurus kering sehingga wajah seperti orangtua,kulit keriput, cengeng dan rewel
meskipun setelah makan, perut cekung, rambut tipis, jarang dan kusam, tulang
iga tampak jelasdan pantat kendur dan keriput (baggy pant).
b. Kwashiorkor
Kwashiorkor adalah salah satu bentuk malnutrisi protein yang berat disebabkan
oleh asupan karbohidrat yang normal atau tinggi namun asupan protein yang
inadekuat(Liansyah TM, 2015). Beberapa tanda khusus dari kwashiorkor adalah:
rambut berubah menjadi warna kemerahan atau abu-abu, menipis dan mudah
rontok, apabila rambut keriting menjadi lurus, kulit tampak pucat dan biasanya
disertai anemia, terjadi dispigmentasi dikarenakan habisnya cadangan energi atau
protein. Pada kulit yang terdapat dispigmentasi akan tampak pucat,Sering terjadi
dermatitis (radang pada kulit), terjadi pembengkakan, terutama pada kaki dan
tungkai bawah sehingga balita terlihat gemuk. Pembengkakan yang terjadi
disebabkan oleh akumulasi cairan yang berlebihan.Balita memiliki selera yang
berubah-ubah dan mudah terkena gangguan pencernaan (Arvin Ann M, 2000).
c. Marasmus-Kwashiorkor
Memperlihatkan gejala campuran antara marasmus dan kwashiorkor. Makanan
sehari-hari tidak cukup mengandung protein dan energi untuk pertumbuhan
normal. Pada penderita berat badan dibawah 60% dari normal memperlihatkan
tanda-tanda kwashiorkor seperti edema, kelainan rambut, kelainan kulit serta
kelainan biokimia (Pudjiadi S, 2010).
4. Diagnosis Gizi Buruk
Diagnosis gizi buruk dapat diketahui melalui gejala klinis, antropometri dan
pemeriksaan laboratorium.
a. Gejala Klinis
Gejala klinis gizi buruk berbeda-beda tergantung dari derajat dan lamanya
deplesi protein dan energi, umur penderita, modifikasi disebabkan oleh karena
adanya kekurangan vitamin dan mineral yang menyertainya. Gejala klinis gizi
buruk ringan dan sedang tidak terlalu jelas, yang ditemukan hanya pertumbuhan
yang kurang seperti berat badan yang kurang dibandingkan dengan anak yang
sehat.
Gizi buruk ringan sering ditemukan pada anak-anak dari 9 bulan sampai 2
tahun, akan tetapi dapat dijumpai pula pada anak yang lebih besar. Pertumbuhan
yang terganggu dapat dilihat dari pertumbuhan linier mengurang atau terhenti,
kenaikan berat badan berkurang, terhenti dan adakalanya beratnya menurun,
ukuran lingkar lengan atas menurun, maturasi tulang terlambat, rasio berat
terhadap tinggi normal atau menurun, tebal lipat kulit normal atau mengurang,
anemia ringan, aktivitas dan perhatian berkurang jika dibandingkan dengan anak
sehat, adakalanya dijumpai kelainan kulit dan rambut.
Gizi buruk berat memberi gejala yang kadang-kadang berlainan, tergantung
dari dietnya, fluktuasi musim, keadaan sanitasi dan kepadatan penduduk. Gizi
buruk berat dapat dibedakan tipe kwashiorkor, tipe marasmus dan tipe marasmik-
kwashiorkor. Tipe kwashiorkor ditandai dengan gejala tampak sangat kurus dan
atau edema pada kedua punggung kaki sampai seluruh tubuh, perubahan status
mental, rambut tipis kemerahan seperti warna rambut jagung, mudah dicabut
tanpa rasa sakit, rontok, wajah membulat dan sembab, pandangan mata sayu,
pembesaran hati, kelainan kulit berupa bercak merah muda yang meluas dan
berubah warna menjadi coklat kehitaman dan terkelupas, cengeng dan rewel.
Tipe marasmus ditandai dengan gejala tampak sangat kurus, wajah seperti orang
tua, cengeng, rewel, kulit keriput,perut cekung, rambut tipis, jarang dan kusam,
tulang iga tampak jelas, pantat kendur dan keriput. Tipe marasmik-kwashiorkor
merupakan gabungan beberapa gejala klinik kwashiorkor – marasmus.
b. Antropometri
Pengukuran antropometrik lebih ditujukan untuk menemukan gizi buruk ringan
dan sedang. Pada pemeriksaan antropometrik, dilakukan pengukuran-pengukuran
fisik anak (berat, tinggi, lingkar lengan, dan lain-lain) dan dibandingkan dengan
angka standar (anak normal). Untuk anak, terdapat tiga parameter yang biasa
digunakan, yaitu berat dibandingkan dengan umur anak, tinggi dibandingkan
dengan umur anak dan berat dibandingkan dengan tinggi/panjang anak.
Parameter tersebut lalu dibandingkan dengan tabel standar yang ada. Untuk
membandingkan berat dengan umur anak, dapat pula digunakan grafik
pertumbuhan yang terdapat pada KMS.
c. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan adalah pemeriksaan kadar hemoglobin
darah merah (Hb) dan kadar protein (albumin/globulin) darah. Dengan
pemeriksaan laboratorium yang lebih rinci, dapat pula lebih jelas diketahui
penyebab malnutrisi dan komplikasi-komplikasi yang terjadi pada anak tersebut.
5. Pencegahan Gizi Buruk
Langkah-langkah untuk mencegah tcrjadinya gizi buruk pada anak balita merupakan
gabungan dari beberapa tindakan pencegahan, seperti berikut ini:
a. Pemberian ASI secara baik dan tepat disertai dengan pengawasan BB şecara
teratur dan terus-menerus.
b. Menghindari pemberian makanan buatan kepada anak untuk mengganti ASI
sepanjang ibu masih mampu menghasilkan ASI, terutama pada usİa di bawah
empat bulan.
c. Dimulainya pemberian makanan tambahan mengandung berbagai zat gizi şecara
lengkap sesuai kebutuhan, guna menambah ASI mulaİ bayi usİa mencapaİ lima
bulan.
d. Pemberian kekebalan melalui imunisasi guna melindungi anak dari
kemungkinan menderita penyakit infeksi seperti DPT, campak, dan sebagainya.
e. Melindungi anak dari berbagai kemungkinan menderita diare (muntaber) dan
kekurangan cairan (dehidrasi) dengan jalan memelihara kebersihan,
menggunakan air masak untuk minum, dan mencuci alat pembuat susu.
f. Mengatur jarak kehamilan ibu agar ibu cukup waktu untuk merawat dan
mengatur makanan bayinya terutama pemberian ASI, Yang apabila ibu mulai
hamil produksi ASI akan berhenti.
g. Meningkatkan pendapatan keluarga Yang dapat dilakukan dengan upaya
mengikutsertakan para anggota keluarga Yang sudah cukup umur untuk bekerja
diimbangi dengan penggunaan uang Yang terarah dan efisien. Cara lain Yang
bisa ditempuh ialah pemberdayaan melalui peningkatan keterampilan dan
kewirausahaan.
h. Meningkatkan intensitas komunikasi informasi edukasi (KIE) kepada
masyarakat, terutama para ibu mengenai pentingnya konsumsi Zat gizi Yang
diatur sesuai kebutuhan. Hal ini bisa dikoordinasikan dengan kegiatan
posyandu.
6. Penanggulangan Gizi Buruk
Yang pertama harus ditanggulangi ialah gejala-gejala penyakit infeksi yang
akut terlebih dahulu, seperti kejang-kejang, dehidrasi, dan diare. Bila gejala akut
sudah mulai dikuasai, baru dilakukan terapi spesifik terhadap infeksinya sambil
menanggulangi KEP-nya.
Realimentasi dilakukan dengan makanan cair yang mengandung cukup kalori,
vitamin, dan protein, serta komponen gizi lainnya. Konsentrasi zat-zat dapat dimulai
parsial, misalnya mulai dengan pengenceran atau secara bertingkat dinaikkan
sehingga konsentrasi penuh. Kalau sudah tahan beberapa lama terhadap makanan cair
konsentrasi penuh, maka dimulai memberikan makanan setengah padat (bubur), dan
kernudian makanan padat biasa. Komponen makanan harus tinggi kalori, tinggi
protein, dan cukup vitamin serta mineral, dan dihidangkan dalam bentuk yang mudah
dicerna. Dari susunan makanan miskin residu, Secara perlahan-lahan beralih ke
makanan yang mengandung cukup residu agar memudahkan defekasi.

B. Surveilans Kesehatan Masyarakat


1. Definisi
CDC mendefinisikan Surveilans Kesehatan adalah prosedur sistematik dalam
pengumpulan, pengolahan, analisis, dan interpretasi data, yang diikuti dengan
pengaplikasian data tersebut pada program kesehatan masyarakat dalam rangka
meningkatkan aktivitas kesehatan masyarakat.
Menurut Depkes (2003:15), Surveilans epidemiologi adalah suatu rangkaian
proses pengamatan yang terus menerus sistematik dan berkesinambungan dalam
pengumpulan data, analisis dan interpretasi data kesehatan dalam upaya untuk
menguraikan dan memantau suatu peristiwa kesehatan agar dapat dilakukan untuk
menguraikan dan memantau suatu peristiwa kesehatan agar dapat dilakukan
penanggulangan yang efektif dan efesien terhadap masalah kesehatan masyarakat
tersebut.
Surveilans gizi adalah kegiatan pengamatan yang teratur dan terus menerus
terhadap masalah gizi masyarakat dan faktor-faktor yang terkait melalui kegiatan
pengumpulan data/informasi, pengolahan dan analisis data, dan disseminasi
informasi yang dihasilkan sebagai dasar untuk membuat keputusan dalam upaya
meningkatkan status gizi masyarakat.
Dengan demikian kata kunci dalam surveilans kesehatan masyarakat adalah
mengumpulkan, menganalisis, menginterpretasi, menerapkan, dan menghubungkan
dengan praktik-praktik kesehatan masyarakat. Hasil dari surveilans intinya adalah
tindakan yang berbentuk respon. Respon terhadap surveilan ada dua tipe yaitu
Respon segera
2. Jenis Surveilans
Surveilans Kesehatan Masyarakat terdiri dari 5 jenis (McNab, NA dalam
Crooker, 2014) yaitu: 1) Participatory surveillance; 2) Predictive Surveillance
(Climate and Ecology); 3) Syndromic surveillance; 4) Event-based surveillance; dan
5) Indicator-based surveillance.
Disamping itu menurut intervensinya ke masyarakat, surveilans kesehatan
masyarakat dibagi menjadi dua, yaitu:
a. Active surveillance (surveilans aktif) yaitu pemerintah melalui petugas
kesehatan secara aktif mengumpulkan data kejadian kesehatan di masyarakat
atau komunitas;
b. Pasive surveillance (surveilans pasif) yaitu pemerintah melalui biro kesehatan
(dinkes) menerima laporan penyakit secara reguler dari pelayanan kesehatan
sesuai dengan aturan yang berlaku.
3. Tujuan Surveilans
Secara umum tujuan surveilans adalah mendapatkan informasi epidemiologi
penyakit tertentu dan mendistribusikannya kepada pihak terkait, pusat-pusat kajian,
pusat penelitian, serta unit lainnya. Adapun tujuan khusus diselenggarakannya
surveilans kesehatan masyarakat dari berbagai sumber dan literatur adalah sebagai
berikut:
a. Mendeteksi wabah;
b. Mengidentifikasi masalah kesehatan dan kecenderungan penyebaran penyakit;
c. Mengestimasi luas dan pengaruh masalah kesehatan;
d. Memberi penekanan pada penyebaran kejadian kesehatan secara geografis dan
demografis;
e. Mengevaluasi cara pengawasan;
f. Membantu dalam pengambilan keputusan;
g. Mengalokasikan sumberdaya kesehatan secara lebih baik;
h. Menggambarkan riwayat alamiah suatu penyakit;
i. Membuat hipotesis dalam rangka pengembangan penelitian epidemiologi;
j. Memonitor perubahan agen infeksi;
k. Memfasitasi program perencanaan kesehatan.
4. Langkah-Langkah Surveilans
Menurut WHO (1999) serta Myrnawati (2001) langkah-langkah surveilans
kesehatan masyarakat meliputi: Pengumpulan data, Pengolahan Data, Analisis data;
dan Penyebarluasan informasi.
a. Pengumpulan Data
Tahap ini merupakan permulaan kegiatan surveilans yang sangat penting untuk
menghasilkan data kejadian penyakit yang baik. Kegiatan pengumpulan data
dapat dilakukan secara aktif dan pasif.
1) Sumber data yang bisa digunakan dalam surveilans antara lain:
2) Laporan penyakit, Pencatatan kematian,
3) Laporan wabah, Pemeriksaan laboratorium,
4) Penyelidikan peristiwa penyakit,
5) Penyelidikan wabah,
6) Survey/Studi Epidemiologi,
7) Penyelidikan distribusi vektor dan reservoir,
8) Penggunaan obat-serum-vaksin,
9) Laporan kependudukan dan lingkungan,
10) Laporan status gizi dan kondisi pangan, dan sebagainya.
Sedangkan jenis data surveilans meliputi:
1) Data kesakitan, Data kematian,
2) Data demografi,
3) Data geografi,
4) Data laboratorium,
5) Data kondisi lingkungan,
6) Data status gizi,
7) Data kondisi pangan,
8) Data vektor dan reservoir,
9) Data dan informasi penting lainnya.

Dilihat dari frekuensi pengumpulannya, data surveilans dibedakan dalam empat


kategori:

1) Data rutin bulanan, yang digunakan untuk perencanaan dan evaluasi.


Misalnya: data yang bersumber dari SP2TP, SPRS;
2) Data rutin harian dan mingguan, yang digunakan dalam Sistem Deteksi Dini
pada Kejadian Luar Biasa (SKD KLB). Misalnya: data yang bersumber dari
Laporan Penyakit Potensial Wabah (W2);
3) Data insidensil. Misalnya: Laporan KLB (W1); dan
4) Data survey.
Adapun syarat yang dibutuhkan agar data surveilans yang dikumpulkan
berkualitas adalah sebagai berikut:

1) Memuat informasi epidemiologi yang lengkap. Misalnya:


a) Angka kesakitan dan angka kecacatan menurut umur, jenis kelamin dan
tempat tinggal;
b) Angka cakupan program;
c) Laporan Faktor Risiko Penyakit; dan sebagainya
2) Pengumpulan data dilakukan secara terus menerus dan sistematis;
3) Data kejadian penyakit yang dikumpulkan selalu tepat waktu, lengkap dan
benar;
4) Mengetahui dengan baik sumber data yang dibutuhkan, misalnya dari
Puskesmas, pelayanan kesehatan swasta, laporan kegiatan lapangan
Puskesmas, dan sebagainya; dan
5) Menerapkan prioritas dalam pengumpulan data yang diutamakan pada
masalah yang signifikan.
b. Pengolahan data
Pengolahan data merupakan kegiatan penyusunan data yang sudah
dikumpulkan ke dalam format-format tertentu, menggunakan teknik-teknik
pengolahan data yang sesuai. Dalam pengolahan data, dua aspek perlu
dipertimbangkan yaitu ketepatan waktu dan sensitifitas data. Dalam pengolahan
data, terdapat langkah yang penting yaitu Kompilasi Data, yang bertujuan untuk
menghindari duplikasi (doble) data dan untuk menilai kelengkapan data. Proses
kompilasi data dapat dilakukan secara manual (dengan kartu pengolah data atau
master table), atau komputerisasi (dengan aplikasi pengolah data, misalnya Epi-
info). Variabel yang dikompilasi meliputi orang, tempat, dan waktu.
Pengolahan data yang baik memenuhi kriteria antara lain:
1) Selama proses pengolahan data tidak terjadi kesalahan sistemik;
2) Kecenderungan perbedaan antara distribusi frekeuensi dengan distribusi
kasus dapat diidentifikasi dengan baik;
3) Tidak ada perbedaan atau tidak ada kesalahan dalam menyajikan
pengertian/definisi; dan
4) Menerapkan metode pembuatan tabel, grafik, peta yang benar.
c. Analisis Data
Data yang telah diolah kemudian dilakukan analisis untuk membantu dalam
penyusunan perencanaan program, monitoring, evaluasi, dan dalam upaya
pencegahan serta penanggulangan penyakit. Penganalisis data harus memahami
dengan baik data yang akan dianalisa. Data yang telah diolah dan disusun dalam
format tertentu umumnya lebih mudah dipahami. Beberapa cara berikut
biasanya dilakukan untuk memahami data dengan baik, antara lain:

1) Pada data sederhana dan jumlah variabel tidak terlalu banyak, cukup dengan
mempelajari tabel saja; dan

2) Pada data yang kompleks, selain mempelajari tabel juga dilengkapi dengan
peta dan gambar. Peta dan gambar berfungsi untuk mempermudah pemahaman
akan trend, variasi, dan perbandingan. Beberapa teknik berikut umumnya
dipakai dalam analisa data surveilans, seperti:

a) Analisis univariat, yaitu teknik analisis terhadap satu variable saja dengan
menghitung proporsi kejadian penyakit dan menggambarkan deskripsi
penyakit secara statistik (mean, modus, standar deviasi);
b) Analisis Bivariat, yaitu teknik analisis data secara statistik yang melibatkan
dua variable. Untuk menggambarkan analisis ini bisa digunakan
tools seperti Tabel (menghitung proporsi dan distribusi frekuensi), Grafik
(menganalisis kecenderungan), dan Peta (menganalisis kejadian
berdasarkan tempat dan waktu); dan
c) Analisis lebih lanjut dengan Multivariat, yaitu teknik analisis statistik
lanjutan terhadap lebih dari dua variable, untuk mengetahui determinan
suatu kejadian penyakit.
d. Penyebarluasan Informasi
Tahap selanjutnya adalah menyebarluaskan informasi berdasarkan kesimpulan
yang didapat dari analisis data. Penyebaran informasi disampaikan kepada
pihak-pihak yang berkepentingan dengan program kesehatan, seperti Pimpinan
program, Pengelola program, atau Unit-unit kerja yang kompeten di lintas
program atau sektoral. Menurut Noor (2008) informasi surveilans sebaiknya
disebarkan kepada tiga arah yaitu:
1) Kepada tingkat administrasi yang lebih tinggi, sebagai tindak lanjut dalam
menentukan kebijakan;
2) Kepada tingkat administrasi yang lebih rendah atau instansi pelapor, dalam
bentuk data umpan balik; dan
3) Kepada instansi terkait dan masyarakat luas.

Penyebaran dapat memanfaatkan waktu-waktu atau kegiatan yang


memungkinkan berkumpulnya para pemangku kepentingan, misalnya pada
rapat rutin, rapat koordinasi, atau pertemuan rutin warga masyarakat. Selain
berbentuk laporan, media untuk penyebaran informasi dapat berupa bulletin,
news letter, jurnal akademis, website, dan media social.
BAB III

ANALISIS

A. DATA KASUS GIZI BURUK KOTA BLITAR TAHUN 2018


Grafik 1. Jumlah kasus gizi buruk di Kota Blitar tahun 2014-2018
Sumber : Seksi Kesehatan Keluarga dan Gizi, Dinas Kesehatan Kota Blitar

Pada 5 tahun terakhir ditemukan jumlah kasus gizi buruk yang jumlahnya fluktuatif. Pada
tahun 2018 ditemukan 11 kasus gizi buruk, dimana meningkat dibanding tahun 2017.
Adapun rincian jumlah balita gizi buruk tahun 2018 sebagai berikut:
- Kecamatan Sananwetan: 5 orang;
- Kecamatan Sukorejo: 2 orang;
- Kecamatan Kepanjenkidul: 4 orang.

Grafik 2. Persentase Gizi Balita (BB/U) Kota Blitar tahun 2018

Sumber : Seksi Kesehatan Keluarga dan Gizi, Dinas Kesehatan Kota Blitar

Berdasarkan grafik diatas, dapat disimpulkan bahwa hanya ada 0,3 % BB kurang pada tahun
2018 di Kota Blitar, dan paling tinggi adalah BB normal (94,6 %).
Grafik 3. Jumlah kasus dan persentase BBLR menurut kecamatan di Kota Blitar tahun 2018

Sumber : Seksi Kesehatan Keluarga dan Gizi, Dinas Kesehatan Kota Blitar
Berdasarkan grafik diatas, jumlah kasus dan persentase BBLR tertinggi berada pada kecamatan
Kota yakni sebanyak 85 kasus. dan terendah pada kecamatan kepanjen kidul sebesar 18 kasus.

Grafik 4. Cakupan imunisasai dasar lengkap pada bayi menurut kecamatan di Kota Blitar
tahun 2018

Sumber : Seksi Kesehatan Keluarga dan Gizi, Dinas Kesehatan Kota Blitar
Berdasarkan grafik diatas, cakupan imunisasi dasar lengkap tertinggi pada kecamatan
sananwetan yakni sebesar 96,7 % dan terendah pada kecamatan sukorejo yakni 83,05 %
Grafik 5. Cakupan bayi yang diberi asi eksklusif di Kota Blitar tahun 2014-2018

Sumber : Seksi Kesehatan Keluarga dan Gizi, Dinas Kesehatan Kota Blitar

Berdasarkan grafik diatas, cakupan asi ekslusif di Kota blitar dari tahun 2014 sampai
2016 cenderung meningkat, namun pada tahun 2017 sampai 2018 semakin menurun
dan berakhir pada 75,3 % di tahun 2018

Grafik 6. Cakupan Pemberian Vitamin A pada Bayi dan Anak Balita di Kota Blitar tahun
2014-2018

Sumber : Seksi Kesehatan Keluarga dan Gizi, Dinas Kesehatan Kota Blitar

Berdasarkan grafik diatas, cakupan pemberian vitamin A pada bayi dan anak balita
dari tahun 2014 ke 2015 meningkat, tetapi ada penurunan pada tahun 2016.
Kemudian, setelah itu meningkat 3 tahun sampai ke 2018 yakni sebesar 96,12 % pada
bayi dan 102,78 % pada balita.
B. LANGKAH-LANGKAH KEGIATAN SURVEILANS GIZI BURUK
1. Pengumpulan Data
Pengumpulan data secara cepat, akurat, teratur, dan berkelanjutan dari berbagai
surveilans gizi sebagai sumber informasi, yaitu :
a. Kegiatan rutin yaitu penimbangan bulanan dan pengukuran tinggi badan,
pemantauan dan pelaporan kasus gizi buruk, pendistribusian kapsul Vitamin A
balita, dan pemberian ASI eksklusif.
b. Kegiatan survey khusus yang dilakukan berdasarkan kebutuhan, seperti konsumsi
garam beriodium, pendistribusian MP-ASI dan PMT, pemantauan status gizi
anak dan ibu hami dan WUS (Wanita Usia Subur)
Pengumpulan data dilakukan dengan cara aktif dan pasif. Jenis data Surveilans
Kesehatan dapat berupa data kesakitan, kematian, dan faktor risiko. Pengumpulan
data dapat diperoleh dari berbagai sumber antara lain individu, Fasilitas Pelayanan
Kesehatan, unit statistik dan demografi, dan sebagainya.
Tabel 3. Rekapitulasi Data di Tingkat Kabupaten/Kota

Data Sumber Data Instrumen Pengumpul Data Waktu


Gizi - Laporan RS - Form Laporan Tenaga Setiap
buruk - Laporan Kewaspadaan pelaksanaan gizi bulan dan
Puskesmas KLB-Gizi di RS puskesmas/RS sewaktu-

- Laporan - Form laporan waktu bila

Posyandu bulanan kasus ada kasus


gizi buruk
Hasil Laporan LB3/ Fill Gizi TPG Puskesmas Setiap
Penimban Puskesmas bulan
gan (D/S)
Asi Laporan Form asi eksklusif TPG Puskesmas Setiap 6
ekslusif puskesmas bulan
(februari
dan
agustus)
Garam Laporan Form pemantauan Guru SD dan Minimal
beriodiu puskesmas garam beriodium TPG puskesmas 1x dalam
m setahun
Distribus Laporan LB3 /Fill Gizi TPG Puskesmas Setiap 6
i kapsul puskesmas bulan
Vit.A (februari
dan
agustus)
Distribus Laporan LB3 /Fill Gizi Badan Setiap
i tablet puskesmas coordinator dan bulan
tambah TPG puskesmas
darah
(TTD)

Dalam pelaksanaan pengumpulan data, bila puskesmas ada yang tidak melapor atau
melapor tidak tepat waktu, data laporan tidak lengkap, dan tidak akurat maka
petugas Dinkes Kabupaten/Kota perlu melakukan pembinaan secara aktif untuk
melengkapi data. Kegiatan ini dapat dilakukan melalui telepon, SMS, atau
kunjungan ke puskesmas yang bersangkutan.
2. Pengolahan dan analisis data
a) Pengolahan
Data yang telah dikumpulkan dari kegiatan surveilans gizi buruk dapat diolah
menurut waktu (bulanan atau tahunan), kelompok umur, jenis kelamin, dan
wilayah (insidens, proporsi, dan prevalensi). Setelah dilakukan pengolahan, data
selanjutnya disajikan dalam berbagai bentuk sesuai jenis data dalam bentuk
narasi, tabel, grafik, dan peta wilayah 37 (Depkes, 2006).
b) Analisis
Menurut Hikmawati (2011) Analisis data surveilans menggunakan pendekatan
desktiptif dengan determinan epidemiologi, yaitu orang, tempat dan waktu.
Dalam melakukan analisis data surveilans dibutuhkan data penunjang diluar
informasi yang telah dikumpulkan misalnya data kependudukan, data geografis,
data sosial budaya agar penarikan keputusan lebih komprehensif.
Analisis deskriptif dimaksudkan untuk memberikan gambaran secara umum
tentang data cakupan kegiatan pembinaan gizi masyarakat. Tujuannya adalah
untuk menetapkan daerah prioritas untuk pembinaan wilayah dan menentukan
kecenderungan antar waktu
1) Menetapkan daerah prioritas untuk pembinaan wilayah
Analisis deskriptif untuk membandingkan antar wilayah dilakukan dengan
membandingkan cakupan antar wilayah dengan target yang harus dicapai.
Wilayah yang cakupannya rendah harus mendapatkan prioritas pembinaan.
Tabel 1. Jumlah bayi yang diberi ASI eksklusif di Kota Blitar tahun 2018

Berdasarkan jumlah bayi yang diberi asi eksklusif di Kota Blitar tahun
2018 cakupan pemberian asi eksklusif di Kota Blitar sebesar 75,3 % dan
masih belum memenuhi target (Renstra Dinas Kesehatan pada tahun 2018
sebesar 85%). Diantaranya : cakupan terendah diperoleh oleh puskesmas
sananwetan yakni sebesar 64,3 %. Dan tertinggi pada puskesmas sukorejo
sebesar 84,1 %. Dengan demikian, prioritas pembinaan dilakukan pada
puskesmas sananwetan karena cakupannya masih kurang.
Tabel 2. Cakupan imunisasi dasar lengkap di Kota Blitar tahun 2018

Berdasarkan tabel cakupan imunisasi dasar lengkap di Kota Blitar tahun 2018, dapat diuraikan bahwa Capaian Imunisasi Dasar Lengkap di Kota
Blitar sebesar 87,44 %. Hal ini masih belum memenuhi target IDL tahun 2018 berdasarkan Kemenkes yakni 92,5 %. Diantaranya : cakupan
terendah diperoleh oleh puskesmas kepanjen kidul yakni sebesar 80,58 %. Dan tertinggi pada puskesmas sananwetan sebesar 96,79 %. Dengan
demikian, prioritas pembinaan dilakukan pada puskesmas kepanjenkidul karena cakupannya masih kurang.
Tabel 3. Cakupan pemberian vitamin A pada bayi dan anak balita di Kota Blitar tahun 2018

Berdasarkan tabel diatas, dapat diuraikan bahwa :

- Cakupan pemberian Vit.A pada bayi usia 6-11 bulan sebesar 96,2 % diantaranya tertinggi pada puskesmas kepanjenkidul yakni 109,17 %
dan terendah pada puskesmas karangsari sebesar 80,85 5
- Cakupan pemberian Vit. A pada balita usia 12-59 bulan sebesar 102,76 %, diantaranya tertinggi pada puskesmas kepanjenkidul yakni
109,60 % dan terendah pada puskesmas sananwetan 99,97 %
- Cakupan Pemberian Vit.A pada balita usia 6-59 bulan sebesar 101,38 %, diantaranya tertinggi pada puskesmas kepanjenkidul yakni 109,51
% dan terendah pada puskesmas karangsari 96,02 %
c) Penyajian Data
Data yang telah dikumpulkan dari kegiatan surveilans gizi dapat diolah
menurut waktu (bulanan atau tahunan), kelompok umur, jenis kelamin, dan wilayah
(insidens, proporsi, dan prevalensi). Setelah dilakukan pengolahan, data selanjutnya
disajikan dalam berbagai bentuk sesuai jenis data dalam bentuk narasi, tabel, grafik,
dan peta wilayah (Depkes, 2006).
Menurut Muninjaya (2004) terdapat tiga teknik penyajian data yang biasa
digunakan untuk menggambarkan informasi yang berhasil dikumpulkan dan dalam
rangka mempermudah dalam menganalisis data, yaitu bentuk narasi, tabel, dan
grafik.
Grafik Persentase Cakupan Asi Eksklusif di Kota Blitar tahun 2018

Persentase Cakupan Asi Eksklusif di Kota Blitar tahun 2018


100.00%
84.10%
77.40%
80.00%
64.30%
60.00%
40.00%
20.00% Cakupan Asi Eksklusif
0.00%
ul
ri

an
sa

kid

et
ng

nw
en
ra

na
nj
Ka

pa

Sa
as

Ke

as
m

m
as
es

es
m
sk

es

sk
Pu

sk

Pu
Pu

Grafik Persentase Cakupan Imunisasi Dasar Lengkap Kota Blitar tahun 2018

Persentase Cakupan IDL di Kota Blitar tahun 2018


96.79%
100.00%
83.05% 80.58%
80.00%
60.00%
40.00%
20.00%
Cakupan IDL
0.00%
i ul
ar id an
ngs K wet
ra en n
Ka anj ana
as p S
sm Ke as
e as sm
sk sm
sk
e
Pu sk
e
Pu
Pu
Grafik Persentase Cakupan Pemberian Vit.A di Kota Blitar tahun 2018

Cakupan Pemberian Vit.A pada balita usia 6-59 bulan di Kota Blitar 2018
110.00% 109.51%

105.00%

99.97%
100.00%

96.02% Cakupan Pemberian


95.00% Vit.A

90.00%

85.00%
Puskesmas Karangsari Puskesmas Kepanjenkidul Puskesmas Sananwetan

3. Diseminasi Informasi
Hasil dari suatu pelaksanaan surveilans gizi buruk akan bermanfaat apabila hasil
tersebut diinformasikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dengan bahasa
yang mudah dipahami. Namun kenyataannya penyebaran informasi yang
disampaikan masih sering diartikan dalam bentuk data-data yang begitu banyak dan
belum diinterpretasikan menjadi suatu informasi yang mudah dipahami (Adi dan
Mukono, 2000).
Diseminasi informasi lebih tepat dimaksudkan untuk memberi informasi yang
dapat dimengerti dan kemudian dimanfaatkan dalam menentukan arah kebijakan
kegiatan, upaya pengendalian dan evaluasinya, baik berupa data atau interpretasi dan
kesimpulan analisis (Adi dan Mukono, 2000).
Terdapat beberapa cara dalam diseminasi informasi hasil surveilans gizi, antara
lain sebagai berikut :
a. Membuat suatu laporan yang disampaikan kepada unit kesehatan pada tingkat
yang lebih tinggi
b. Membuat suatu laporan yang disampaikan dalam seminar atau pertemuan lain,
c. Membuat suatu tulisan dalam majalah atau jurnal kesehatan.
a) Umpan Balik
Surveilans merupakan suatu kegiatan yang berjalan terus-menerus dan
berkesinambungan. Oleh karena itu, maka umpan balik atau pengiriman
informasi kembali sebagai umpan balik kepada sumber-sumber data mengenai
arti data yang telah mereka berikan dan kegunaannya setelah selesai diolah,
merupakan suatu kegiatan yang sangat penting, sama pentingnya dengan tindakan
follow up lainnya. Dengan dilakukannya hal tersebut diharapkan pelapor secara
terus-menerus mengadakan pengamatan penyakit dan melaporkan hasil
pengamatannya (Adi dan Mukono, 2000). Bentuk dari umpan balik dapat berupa
ringkasan dari informasi yang dimuat dalam buletin atau surat yang berisi
pertanyaan terkait informasi yang dilaporkan atau berupa kunjungan ke tempat
asal laporan untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya serta mengadakan
perbaikan jika perlu. Jika umpan balik berupa buku laporan atau buletin maka
harus diperhatikan ketepatan dalam waktu terbit (Adi dan Mukono, 2000).
b) Pertemuan Lintas Program dan Lintas Sektor
Secara khusus tujuan dari pertemuan lintas program dan lintas sektor adalah
pemantapan program gizi dalam menangani masalah gizi melalui upaya lintas
sektor dan lintas program untuk mengatasi penyebab langsung, tidak langsung
dan akar masalah melalui upaya intervensi spesifik dan intervensi sensitif.
4. Tindak Lanjut
Hasil surveilans gizi buruk akan dimanfaatkan oleh pemangku kepentingan
sebagai tindak lanjut dari informasi yang diperoleh. Tindak lanjut tersebut berupa
tindakan segera, perencanaan jangka pendek, menengah, dan panjang, serta
perumusan pembinaan gizi masyarakat baik di kabupaten / kota, provinsi, maupun
tingkat pusat. Jika hasil analisis menunjukkan peningkatan kasus gizi buruk maka
respons yang perlu dilakukan adalah:
a. Melakukan konfirmasi laporan kasus gizi buruk
b. Menyiapkan puskesmas dan rumah sakit untuk penatalaksanaan gizi buruk
c. Meningkatkan kemampuan petugas puskesmas dan rumah sakit dalam
melakukan surveilans gizi
d. Pemberian PMT bagi balita
e. Melakukan pemantauan kasus yang lebih intensif pada daerah dengan risiko
tinggi terjadi kasus gizi buruk
f. Melakukan penyelidikan kasus bersama dengan lintas program dan lintas sektor
terkait
5. Pencatatan dan Pelaporan
a) Jenis dan Frekuensi Pelaporan
Laporan kejadian kasus gizi buruk disampaikan ke dinas kesehatan dan
direktorat bina gizi masyarakat dalam waktu 1 x 24 jam dengan menggunakan
formulir KLB, sedangkan pelaporan hasil pelacakan kasus gizi buruk dilakukan
dalam waktu 2 x 24 jam. Laporan dapat disajikan dalam bentuk narasi, tabel,
grafik, dan peta, atau bentuk penyajian informasi lainnya. Laporan dalam bentuk
tabel dapat digunakan untuk kepentingan diseminasi hasil surveilans gizi yang
penyajian informasinya memperlihatkan pencapaian indikator yang saling terkait,
baik antar indikator gizi maupun indikator gizi dengan indikator program terkait
lainnya. Laporan surveilans gizi yang berbentuk diagram peta dapat
memperlihatkan wilayah yang sudah mencapai target dan yang belum. Dengan
demikian maka dapat dengan segera diketahui wilayah puskesmas yang perlu
mendapatkan prioritas untuk dilakukan pembinaan.
b) Alur Pelaporan
Laporan hasil surveilans gizi disampaikan secara berjenjang. Laporan
surveilans gizi di tingkat Kota yaitu Kota Blitar disampaikan ke Dinas Kesehatan
Provinsi Jawa Timur dan Direktorat Gizi Masyarakat sesuai dengan frekuensi
pelaporan. Dinas Kesehatan Provinsi melaporkan hasil surveilans gizi ke
Direktorat Gizi Masyarakat sesuai dengan frekuensi pelaporan.
Umpan balik hasil kegiatan surveilans gizi disampaikan secara berjenjang dari
pusat ke provinsi setiap tiga bulan. Umpan balik dari provinsi ke kabupaten / kota
dan dari kabupaten / kota ke puskesmas sesuai dengan frekuensi pelaporan pada
setiap bulan berikutnya.
Mekanisme dan alur pelaporan, umpan balik serta koordinasi pelaksanaan
surveilans gizi dapat digambarkan sebagai berikut:
6. Indikator Keberhasilan
a) Indikator Input
1) Tersedianya tenaga gizi di puskesmas
2) Jumlah dan jenis pencatatan dan pelaporan
3) Tersedia timbangan berat badan dan alat ukur tinggi badan, pita LILA, buku
KIA / KMS
4) Tersedia dana untuk pelaksanaan program
5) Jumlah distribusi dan persediaan vitamin A, tablet tambah darah, MP-ASI
balita dan ibu hamil, taburia (tambahan multivitamin dan mineral)
b) Indikator Proses
1) Frekuensi kegiatan pelatihan
2) Frekuensi kegiatan analisis data, pelaporan, dan diseminasi informasi
3) Frekuensi kegiatan pemantauan pertumbuhan anak balita di posyandu
4) Frekuensi kegiatan edukasi gizi
5) Frekuensi kegiatan konseling ASI dan MP-ASI
c) Indikator Output
1) Persentase D/S, K/S, N/D, BGM/D, 2 T
2) Cakupan pemberian Asi Eksklusif dan MP-ASI
3) Jumlah puskesmas yang memiliki konselor ASI
4) Jumlah kader posyandu yang telah dilatih
5) Cakupan pemberian Vitamin A
C. Pemberdayaan Masyarakat terhadap Masalah Gizi
Permendagri RI Nomor 7 Tahun 2007 tentang Kader Pemberdayaan Masyarakat,
dinyatakan bahwa pemberdayaan masyarakat adalah suatu strategi yang digunakan
dalam pembangunan masyarakat sebagai upaya untuk mewujudkan kemampuan dan
kemandirian dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara (Pasal 1 , ayat
(8) ).
Kader Posyandu merupakan salah satu pihak atau organisasi yang mempunyai
peranan penting dalam memberdayakan masyarakat terutama di bidang kesehatan ibu
dan anak terkait dengan masalah gizi . Secara teknis, tugas kader yang terkait dengan
gizi adalah melakukan pendataan balita, melakukan penimbangan serta mencatatnya
dalam Kartu Menuju Sehat (KMS), memberikan makanan tambahan,
mendistribusikan vitamin A, melakukan penyuluhan gizi serta kunjungan ke rumah ibu
yang menyusui dan ibu yang memiliki balita. Kader diharapkan berperan aktif dan
mampu menjadi pendorong, motivator dan penyuluh masyarakat. Kader diharapkan
dapat menjembatani antara petugas/ahli kesehatan dengan masyarakat serta membantu
masyarakat mengidentifikasi dan menghadapi/menjawab kebutuhan kesehatan mereka
sendiri. Kader juga diharapkan dapat menyediakan informasi bagi pejabat kesehatan
berwenang yang mungkin tidak dapat mencapai masyarakat langsung, serta mampu
mendorong para pejabat kesehatan di sistem kesehatan agar mengerti dan merespons
kebutuhan masyarakat. Kader dapat membantu mobilisasi sumber daya masyarakat,
mengadvokasi masyarakat serta membangun kemampuan lokal.
Adapun contoh tindakan nyata kader posyandu dan advokasi di Kota Blitar dalam
melakukan pemberdayaan masyarakat adalah sebagai berikut :
1. Pemberdayaan Masyarakat melalui Posyandu di Kecamatan Sukorejo
Wisma Yuniar, Kepala Puskesmas Kecamatan Sukorejo mengatakan,
pelayanan Posyandu masih tetap diaksanakan di Puskesmas Pembantu oleh kader-
kader posyandu yang sudah disebar di kelurahan yang ada di Sukorejo. Sementara
untuk pengambilan makanan tambahan bagi balita seperti susu, biscuit maupun roti,
orang tua bisa datang ke Puskesmas Sukorejo dengan tetap menerapkan protocol
kesehatan pencegahan covid-19. “Kita layani pemberian tambahan makanan berupa
susu dan biscuit, bisa diambil di Puskesmas dengan menerapkan protocol kesehatan.
Untuk Lansia kita juga berikan pelayanan cek kesehatan, cek gizi, dan kejiwaan tapi
hanya untuk lansia yang beresiko tinggi,” kata Wisma, saat ditemui di ruang kerjanya,
Senin (22/06/2020) kepada tim redaksi Mahardhika Tidak hanya untuk balita,
Puskesmas Sukorejo juga masih melaksanakan Posyandu Lansia ditengah wabah
corona, seperti pemeriksaan kesehatan  rutin, status gizi hingga kejiwaan lansia.
2. Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian Kota Blitar Gelar Program Gerakan
Masyarakat Makan Ikan
Dalam rangka mencegah terjadinya stunting pada anak-anak di Kota Blitar,
Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian menggelar Gerakan Masyarakat Makan
Ikan. Berlangsung di kantor dinas Perikanan Provinsi Jawa imur. Kepala Seksi
Akses Pasar, Promosi dan Logistik menjelaskan bahwa kegiatan rutin yang
dilaksanakan Pemerintah Provinsi bersinergi dengan Dinas Ketahanan Pangan dan
Pertanian Kota Blitar. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan minat masyarakat
untuk gemar mengonsumsi ikan. Dalam kegiatan ini, Dinas Ketahanan Pangan dan
Pertanian Kota Blitar memerikan ikan konsumsi ke 150 penerima. Walikota Blitar
mengatakan bahwa, kegiatan Gerakan Masyarakat Makan Ikan dapat membantu
masyarakat untuk gemar mengonsumsi ikan. Menurutnya, gemar mengonsumsi ikan
akan melindungi anak-anak Kota Blitar agar terhindar dari stunting dan masalah gizi
lainnya. Ia juga berharap, dengan kebiasaan masyarakat mengonsumsi ikan maka
akan meningkatkan kecerdasan dan mencegah terjadinya stunting.
BAB IV

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Permasalahan gizi pada balita masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang
utama khususnya di Indonesia. Kondisi balita kurang gizi merupakan penyebab utama
tingginya angka morbiditas dan mortalitas pada anak balita di negara berkembang
termasuk di Indonesia. Di Kota Blitar sebanyak 11 kasus gizi buruk di tahun 2018 yang
terdiri atas 5 kasus di Kecamatan Sananwetan, 2 kasus di Kecamatan Sukorejo, dan 4
kasus di Kecamatan Kepanjenkidul.
Berdasarkan analisis surveilans gizi buruk di Kota Blitar dilihat dari 3 cakupan gizi
memuat hasil diantaranya :
1. Cakupan ASI eksklusif belum memenuhi target. Dari 3 puskesmas, cakupan
terendah diperoleh puskesmas sananwetan yakni sebesar 64,3 %
2. Cakupan imunisasi dasar lengkap belum memenuhi target. Dari 3 puskesmas,
cakupan terendah diperoleh puskesmas kepanjen kidul yakni sebesar 80,58 %.
3. Cakupan Pemberian Vit.A pada usia 6-59 bulan sudah memenuhi target.
Tindak lanjut yang bisa dilakukan dalam mengatasi kesenjangan cakupan dengan
target pencapaian adalah Pemberian PMT bagi balita, Melakukan pemantauan kasus
yang lebih intensif pada daerah dengan risiko tinggi terjadi kasus gizi buruk, dan
Melakukan penyelidikan kasus bersama dengan lintas program dan lintas sektor terkait.
Selain itu, Kader Posyandu merupakan salah satu organisasi yang mempunyai
peranan penting dalam memberdayakan masyarakat terutama di bidang kesehatan ibu
dan anak terkait dengan masalah gizi. Kader juga diharapkan dapat menjembatani antara
petugas/ahli kesehatan dengan masyarakat serta membantu masyarakat mengidentifikasi
dan menghadapi/menjawab kebutuhan kesehatan mereka sendiri.
B. SARAN.

1. Pemantapan program gizi dalam menangani masalah gizi melalui upaya lintas sektor
dan lintas program untuk mengatasi penyebab langsung, tidak langsung dan akar
masalah melalui upaya intervensi spesifik dan intervensi sensitif.
2. Pengoptimalan kader posyandu atau organisasi local lainnya dalam upaya
pemberdayaan masyarakat guna mencegah kasus gizi buruk
3. Masyarakat diharapkan dapat menerima himbauan dari pemerintah dengan baik dan
bisa menerapkannya dalam kehidupan sehai-hari.
BAB V

REKOMENDASI

Rekomendasi yang bisa diberikan yaitu :


1. Mementingkan pada deteksi dan intervensi dini mengingat penyebab Gizi buruk
sangat kompleks, pengelolaan gizi buruk memerlukan kerjasama yang komprehensif
dari semua pihak. Bukan dari dokter maupun tenaga medis saja, namun akan lebih
baik jika pihak orang tua, keluarga, pemuka masyarakat maupun pemuka agama dan
pemerintah.
2. Rekomendasi penurunan Gizi Buruk yaitu dengan cara Penyuluhan Gizi yang
sekiranya dapat dijadikan sebagai bahan masukan bagi ibu peserta penyuluhan gizi
sebagai pendukung tumbuh kembang anak dan kader posyandu/bidan desa sebagai
penyelenggara penyuluhan Gizi Buruk.
3. Rekomendasi pencegahan yaitu posyandu dan puskesmas melakukan skrining /
deteksi dini dan pelayanan. Dengan penggunaan kartu menuju sehat dan pemberian
makanan tambahan di posyandu serta balita yang sudah 2 kali berturut-turut tidak
naik timbangan berat badan untuk segera mendapat akses pelayanan dan edukasi
yang lebih lanjut.
DAFTAR PUSTAKA

Arwanti, D., sabilu, Y., & ainurrafiq, A. (2016). PELAKSANAAN SURVEILANS


EPIDEMIOLOGI DI PUSKESMAS SE-KOTA KENDARI TAHUN 2016. Jurnal
Ilmiah Mahasiswa Kesehatan Masyarakat Unsyiah, 1(3).

Rahmawati, A. (2019). Faktor yang Berhubungan dengan Pengetahuan Orang Tua tentang
Stunting pada Balita. Jurnal Ners Dan Kebidanan (Journal of Ners and Midwifery),
6(3). https://doi.org/10.26699/jnk.v6i3.art.p389-395

Zulfianto, Nils Aria & Rachmat, Mochamad. 2017. Surveilans Gizi. Kemenkes RI. Tanggal
diakses: 31 Januari 2021 pukul 19.15 WIB

Iswarawanti, Dwi Nastiti. 2010. KADER POSYANDU:PERANAN DAN TANTANGAN


PEMBERDAYAANNYADALAM USAHA PENINGKATAN GIZI ANAK DI
INDONESIA. SEAMEO TROPMED Regional Center for Community Nutrition
Universitas Indonesia. Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 13, No. 4
Desember 2010.

Profil Kesehatan Kota Blitar tahun 2018

Sugiasih, Etty. 2012. GAMBARAN PELAKSANAAN SURVEILANS CAMPAK DI


PUSKESMAS CEPU DAN TUNJUNGANKABUPATEN BLORA TAHUN 2012.
Universitas Negeri Semarang.

Syafei, Abdullah. 2010. GAMBARAN PELAKSANAAN SISTEM SURVEILANS GIZI DI


DIREKTORAT BINA GIZI MASYARAKAT DIREKTORAT JENDERAL BINA
KESEHATAN MASYARAKAT KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
TAHUN 2010. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Cholisin. 2011. Pemberdayaan Masyarakat. Staf Pengajar FIS UNY

Irianti, B. (2018). FAKTOR- FAKTOR YANG MENYEBABKAN STATUS GIZI


KURANG PADA BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS SAIL
PEKANBARU TAHUN 2016. Midwifery Journal: Jurnal Kebidanan UM. Mataram,
3(2). https://doi.org/10.31764/mj.v3i2.478

Oktavia, S., Widajanti, L., & Aruben, R. (2017). FAKTOR-FAKTOR YANG


BERHUBUNGAN DENGAN STATUS GIZI BURUK PADA BALITA DI KOTA
SEMARANG TAHUN 2017 (STUDI DI RUMAH PEMULIHAN GIZI
BANYUMANIK KOTA SEMARANG). Jurnal Kesehatan Masyarakat (e-Journal),
5(3).

Adriani, M., & Wiratmadji, B. (2012). Pengantar Gizi Masyarakat. In Kencana Predana
Media Group.

Krisnansari, D. (2010). Nutrisi dan Gizi Buruk. Mandala of Health, 4.


Eprila. Franciska, Y. 2018. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Status Gizi Balita di
Puskesmas Keramasan Palembang Tahun 2011. Jurnal Kesehatan Poltekes Palembang
Vol 1 No 11 (2013)

Putra, N.H. 2017. SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS PEMETAAN DAERAH GIZI


BURUK DI KABUPATEN LUMAJANG. Politeknik Negeri Malang.

Zulfianto, N.A. Rachmat, M. 2017. Surveilans Gizi. PUSAT PENDIDIKAN SUMBER


DAYA MANUSIA KESEHATAN. BADAN PENGEMBANGAN DAN
PEMBERDAYAAN SUMBER DAYA MANUSIA KESEHATAN. KEMENTERIAN
KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA.

Heryana, A. 2015. Surveilans Epidemiologi Penyakit Menular. Jakarta : Universitas Esa


Unggul.

Anda mungkin juga menyukai