Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

SISTEM PEMERINTAHAN KHULAFA’ RASYIDIN

Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Kelompok


Mata Kuliah : Studi Peradaban Islam
Dosen Pengampu : Al-Ustadz M. Asrori

Disusun oleh:
Bela Noviana Dewi
210104210029

PROGRAM MAGISTER PENDIDIKAN BAHASA ARAB


PASCASARJANA
UINIVERSITAS MAULANA MALIK IBRAHIM
MALANG
2021
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Islam merupakan agama universal yang mencakup semua aspek
kehidupan manusia, mempunyai hubungan yang terpadu dan terintegrasi
dengan politik, sosial, ekonomi, dan budaya. Islam mengatur kehidupan
manusia di bumi, tidak hanya memberikan pedoman dalam aspek aqidah,
ibadah, dan akhlak, tetapi juga dalam bidang kemasyarakatan. Ajaran-ajaran
kemasyarakatan tidak mungkin terlaksana tanpa dukungan kekuasaan
negara. Mendirikan suatu negara atau pemerintahan untuk mengelola
urusan rakyat merupakan kewajiban negara yang paling agung, karena
agama tidak mungkin tegak tanpa negara dan pemerintahan. Ukuran
tegaknya suatu nilai-nilai agama seperi keamanan, keadilan, keteraturan
hanya mungkin dilakukan melalui negara atau pemerintahan. Menurut Ibn
Taimiyah, bahwa umat manusia tidak akan mungkin mencukupi segala
kebutuhan tanpa kerjasama dan saling membantu dalam kehidupan
kelompok dan setiap kehidupan kelompok atau bermasyarakat memerlukan
seorang kepala atau pemimpin.1
Seorang pemimpin harus memegang janji, jujur, amanah dan
bertanggung jawab untuk menjalangkan kekuasaannya berdasarkan
kepentingan umum, inilah intisari ajaran Islam. kepemimipinan bukan suatu
yang perlu dibanggakan tetapi merupakan bentuk pengabdian dan
pertanggungjawaban terhadap prinsip-prinsip keimanan. Seorang yang di
angkat menjadi pemimpin harus memegang komitmen untuk menunaikan
kewajiban kepemimpinannya dalam rangka mewujudkan kemaslahatan
bersama, karena pemimpin mengampu sebuah amanah yang akan
dipertanggungjawabkan kepada rakyat yang dipimpin dan kepada Allah
SWT.2

1
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara; Ajaran Sejarah dan Pemikiran, Cet. V
(Jakarta: UI Press, 1993), hlm. 89
2
Syarifuddin Jurdi, Pemikiran Politik Islam Indonesia: Pertautan Negara, Khilafah,
Masyarakat Madani dan Demokrasi, (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2008), hlm. 60
Dalam Islam, menentukan pemimpin tidak dijelaskan secara jelas
atau tidak ditetapkan, seperti persoalan pertama yang dihadapi kaum
muslimin setelah Rasulullah wafat. Rasulullah tidak menentukan siapa yang
akan menggantikan dan bagaimana mekanisme pergantian itu dilakukan.
Dalam sejarah Islam dikenal sebagai mekanisme penetapan kepala negara,
dan tentu saja dengan berbagai kriteria yang sesuai. Dalam kasus Khulafa
al-Rasyidin, Abu Bakar ditetapkan berdasarkan pemilihan suatu
musyawarah terbuka, Umar bin Khatthab ditetapkan berdasarkan
penunjukan kepala negara pendahulunya, Utsman bin Affan ditetapkan
berdasarkan pemilihan dalam suatu dewan formatur dan Ali bin Abi Talib
ditetapkan berdasarkan pemilihan melalui musyawarah dalam pertemuan
terbuka. Fase ini disebut fase pembentukan khilafah.3
Khilafah adalah lembaga pemerintahan dalam Islam, sedangkan
dalam masyarakat modern dikenal dengan demokrasi yaitu suatu atauran
kelembagaan dalam rangka mengambil suatu keputusan politik dimana
masing-masing orang memiliki kekuatan untuk memutuskan dan berjuang
secara kompetitif untuk memperoleh dukungan atau suara rakyat.4
Berdasarkan hal tersebut, penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam
tentang bentuk sistem pemerintahan yang diterapkan pada masa khulafa’
Rasyidin.

B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan sistem pemerintahan demokrasi?
2. Bagaimanakah sistem pemerintahan demokrasi pada masa Khulafa’
Rasyidin?

3
Djazuli, Fikh Siyasah: Implemetasi Kemaslahatan Umat dalam Rambu-Rambu Syariah,
Cet. III (Jakarta: Prenada Media Group, 2003), hlm. 17
4
Muhammad Mahmud MD, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Cet. II, (Jakarta: PT
Rineka Cipta, 2003), hlm. 19
C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengetahui pengertian dari sistem pemerintahan demokrasi
2. Untuk mengetahui sistem pemerintahan demokrasi pada masa
Khulafa’ Rasyidin
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Sistem Pemerintahan Demokrasi
1. Pengertian Pemerintahan

Pemerintahan dalam arti luas adalah segala bentuk kegiatan atau


aktivitas penyelenggara Negara yang dilakukan oleh organ-organ Negara
yang mempunyai otoritas atau kewenangan untuk menjalankan
kekuasaan dalam rangka mencapai tujuan. Sedangkan pemerintah dalam
arti sempit adalah aktivitas atau kegiatan yang dilakukan oleh fungsi
eksekutif saja dalam hal ini yang dilakukan oleh presiden, menteri-
menteri sampai birokrasi paling bawah.5

Sarjana Hukum Indonesia terkenal, Prof. R. Djokosutono, S.H.


mengatakan bahwa, Negara dapat pula diartikan sebagai suatu organisasi
manusia atau kumpulan-kumpulan manusia, yang berada di bawah suatu
pemerintahan yang sama. Pemerintahan ini sebagai alat untuk bertindak
demi kepentingan rakyat untuk mencapai tujuan organisasi Negara,
antara lain kesejahteraan, pertahanan, keamanan, tata tertib, keadilan,
kesehatan dan lain-lain. Untuk dapat bertindak dengan sebaik-baiknya
guna mencapai tujuan tersebut, pemerintah mempunyai wewenang,
wewenang mana dibagikan lagi kepada alat-alat kekuasaan Negara, agar
tiap sektor tujuan Negara dapat bersamaan dikerjakan. Berkenaan dengan
pembagian wewenang ini, maka terdapatlah suatu pembagian tugas
Negara kepada alat-alat kekuasaan Negara. 6

Yang dimaksud dengan sistem pemerintahan adalah suatu tatanan


atau susunan pemerintahan yang berupa suatu struktur yang terdiri dari
organ-organ pemegang kekuasaan di dalam Negara dan saling
melakukan hubungan fungsional diantara organ-organ Negara tersebut

5
Nurmi Chatim, Hukum Tata Negara, (Pekanbaru: Cendikia Insani, 2006), hlm. 46
6
C.S.T. Kansil, Hukum Tata Negara Republik Indonesia, (Jakarta: PT. Rineka Cipta,
2000), hlm. 90
baik secara vertikal maupun secara horizontal untuk mencapai suatu
tujuan yang ingin dicapai.7

2. Pengertian Demokrasi

Secara harfiah kata demokrasi berasal dari bahasa Yunani


“demos” (masyarakat) dan “kratia” (aturan atau kekuasaan) dan
demokrasi berarti kekuasaan di tangan rakyat atau pemerintahan oleh dan
untuk rakyat mayoritas. Dengan demikian, demokrasi dapat berarti
sistem pemerintahan yang berlawanan dengan sistem pemerintahan yang
hanya di tangan seseorang atau pemerintahan yang dipimpin oleh hanya
beberapa orang saja.8

Sedangkan pengertian demokrasi secara terminologi adalah


sebagai berikut:

a) Menurut Abraham Lincoln, demokrasi adalah suatu pemerintahan dari


rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat
b) Menurut Josept A. Schupeter, demokrasi adalah suatu perencanaan
institusional untuk mencapai keputusan politik dimana individu-
individu memperoleh kekuasaan untuk memutuskan dengan cara
perjuangan komperatif atas suara rakyat9

Dari beberapa definisi yang telah diungkapkan, maka dapat


disimpulkan bahwa demokrasi mengandung makna suatu sistem
pemerintahan atau aturan dalam masyarakat yang mengikut sertakan
seluruh anggota masyarakat baik secara langsung maupun malalui
perwakilan unutk mengambil keputusan yang menyangkut soal-soal
kenegaraan dan kepentingan bersama, dengan berlandaskan kepada nilai-
nilai kebersamaan, keadilan, dan kebebasan.

7
Ibid, hlm. 91
8
Fuad Fachruddin, Agama dan Pendidikan Demokrasi, Pengalaman Muhammadiyah dan
Nahdlatul Ulama, Cet. I, (Jakarta: Pustaka Alfabet, 2006), hlm.25-26.
9
Masykuri Abdillah, Respons of Indonesia Muslim Intelectuals to the Concept of
Democracy, Cet. I, (Yokyakarta: Taitara Wacana, 1992), hlm. 72
Demokrasi secara sempit dapat didefinisikan sebagai suatu jenis
sistem pemerintahan. Demokrasi adalah suatu aturan kelembagaan dalam
rangka mengambil suatu keputusan politik di mana masing-masing orang
memiliki kekuatan untuk memutuskan dan berjuang secara kompratif
untuk memperoleh dukungan atau suara rakyat. Demokrasi juga bisa
diartikan sebagai alat untuk melindungi masyarakat yang dipimpin dari
dari penyalahgunaan kekuasaan oleh yang memimpin. Demokrasi adalah
suatu sistem politik dengan konsep kedaulatan di tangan rakyat, penguasa
mempertanggungjawabkan secara berkala terhadap yang dipimpinnya,
hak minoritas (termasuk hak untuk menyadi mayoritas), dilindungi,dan
persaingan politik antarindividu dan antargagasan sangat terbuka.10

Pemerintah yang demokrasi dicirikan dengan pelaksanaan


pemilihan umum yang bebas dan terbuka dengan terjamin kerahasiaan
pemungutan suara; memakai prinsip satu orang satu suara; adanya
pembagian dan pemisahan kekuasaan alam pemerintahan; keadilan dan
kedudukan yang sama bagi setiap orang di hadapan hukum; membuka
komunikasi antara masyarakat dengan pihak pemerintah; dan
menegakkan hak asasi manusia seperti kebebasan berbicara, berekspresi
atau kebebasan beragama.

B. Sistem Pemerintahan Demokrasi Pada Masa Khulafa’ Rasyidin


Arti kata khilafah ialah perwakilan atau pengganti. Istilah ini berasal
dari bahasa Arab, yakni khalf, yang berarti wakil, pengganti, dan
penguasa.11 Khilafah adalah istilah yang muncul dalam sejarah
pemerintahan Islam sebagai institusi politik Islam.
Dalam Al-Qur'an, manusia secara umum merupakan khalifah Allah
di muka bumi untuk merawat dan memberdayakan bumi beserta isinya.
Sedangkan khalifah secara khusus maksudnya adalah pengganti Nabi
Muhammad saw sebagai Imam umatnya, dan secara kondisional juga
menggantikannya sebagai penguasa sebuah edentitas kedaulatan Islam

10
Muhammad Mahmud MD, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, hlm. 19.
11
Abi Hasim Ahmad ibn Fari ibn Zakariya, Mu’jam Maqayis al-lughah fi al-Arabiyah
(Bayrut: Daar al-Fikri, 1998), hlm. 328.
(negara). Sebagaimana diketahui bahwa Muhammad saw selain sebagai
Nabi dan Rasul juga sebagai Imam, Penguasa, Panglima Perang, dan lain
sebagainya.12
Khulafa’ Rasyidin bermakna pengganti-pengganti Rasul yang
cendekiawan. Adapun pencetus nama Khulafa’ Rasyidin adalah dari
orang-orang muslim yang paling dekat dari Rasul setelah meninggalnya
beliau. Mengapa demikian, karena mereka menganggap bahwa 4 tokoh
sepeninggal Rasul itu orang yang selalu mendampingi Rasul ketika beliau
menjadi pemimpin dan dalam menjalankan tugas.13
Tugas Khulafa’ Rasyidin adalah menggantikan kepemimpinan
Rasulullah dalam mengatur kehidupan kaum muslimin. Jika tugas
Rasulullah terdiri dari dua hal yaitu tugas kenabian dan tugas kenegaraan.
Maka Khulafa’ Rasyidin bertugas menggantikan kepemimpinan
Rasulullah dalam masalah kenegaraan yaitu sebagai kepala Negara atau
kepala pemerintahan dan pemimpin agama. Adapun tugas kerosulan tidak
dapat digantikan oleh Khulafa’ Rasyidin karena Rasulullah adalah Nabi
dan Rasul yang terakhir. Setelah Beliau tidak ada lagi Nabi dan Rasul lagi.
Tugas Khulafa’ Rasyidin sebagai kepala Negara adalah mengatur
kehidupan rakyatnya agar tercipta kehidupan yang damai, adil, makmur,
aman, dan sentosa. Sedangkan sebagai pemimpin agama Khulafaur
Rasyidin bertugas mengatur hal-hal yang berhubungan dengan masalah
keagamaan. Bila terjadi perselisihan pendapat maka khalifah yang berhak
mengambil keputusan. Meskipun demikian Khulafa’ Rasyidin dalam
melaksanakan tugasnya selalu mengutamakan musyawarah bersama,
sehingga setiap kebijakan yang diambil tidak bertentangan dengan kaum
muslimin
Khulafa’ Rasyidin merupakan pemimpin umat Islam dari kalangan
sahabat pasca Nabi wafat. Mereka merupakan pemimpin yang dipilih
langsung oleh para sahabat melalui mekanisme yang demokratis. Siapa

12
Ahmad Jamil, Sejarah Kebudayaan Dinamika Islam, (Gresik: Putra Kembar Jaya, 2011),
hlm. 22.
13
Fatah Syukur, Sejarah Peradaban Islam, Cet. III, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2011,
hlm. 50.
yang terpilih, maka sahabat yang lain memberikan baiat (sumpah setia)
pada calon yang terpilih tersebut. Ada dua cara dalam pemilihan khalifah
ini , yaitu : pertama, secara musyawarah oleh para sahabat Nabi. Kedua,
berdasarkan atas penunjukan khalifah sebelumnya.14

1. Abu Bakar ash-Shiddiq (11-13 H/632-634 M)


Abu Bakar adalah salah seorang sahabat terdekat Nabi
Muhammad SAW dan termasuk di antara orang- orang yang pertama
masuk Islam (as-saabiqun al-awwalun). Nama lengkapnya adalah
Abdullah bin Abi Kuhafah al-Tamimi. Pada masa kecilnya, Abu Bakar
bernama Abdul Ka`bah. Kemudian nama itu ditukar oleh Nabi
Muhammad SAW menjadi Abdullah. Gelar Abu Bakar diberikan
Rasulullah saw karena ia salah satu orang yang paling awal masuk
Islam, sedang gelar ash-siddiq yang berarti “amat membenarkan” ,
gelar tersebut diberikan kepadanya karena ia amat segera
membenarkan rasulullah saw dalam berbagai macam peristiwa,
terutama peristiwa Isra’ Mi`raj.15
Ketika Nabi Muhammad wafat, nabi tidak meninggalkan
wasiat tentang siapa yang akan menggantikan beliau sebagai
pemimpin politik umat islam setelah beliau wafat. Beliau tampaknya
menyerahkna persoalan tersebut pada kaum muslimin sendiri untuk
menentukannya. Karena itulah, tidak lama setelah beliau wafat dan
jenazahnya belum dimakamkan, sejumlah tokoh muhajirin dan anshar
berkumpul di balai kota Bani Sa’idah, Madinah. Mereka
memusyawarahkan siapa yang akan dipilih menjadi pemimpin.
Musyawarah cukup alot karena masing-masing pihak, baik muhajirin
maupun anshar, sama-sama merasa berhak menjadi pemimpin umat
Islam. Namun dengan semangat ukhuwwah islamiyah yang tinggi,
akhirnya Abu Bakar terpilih. Rupanya semangat keagamaan Abu

14
Machfud Syaefuddin, Peradaban Islam, (Yogyakarta: Pustaka Ilmu, 2013), hlm. 29
15
Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Amzah, 2009), hlm. 92
Bakar yang tinggi mendapat penghargaan yang tinggi dari umat Islam,
sehingga masing- masing pihak menerima dan membaiatnya.16
Sepak terjang pola pemerintahan Abu Bakar dapat dipahami
dari pidato Abu Bakar ketika ia diangkat menjadi khalifah. Secara
lengkap pidatonya sebagai berikut: “Wahai manusia sungguh aku
telah memangku jabatan yang kamu kerjakan, padahal aku bukan
orang yang terbaik diantara kamu. Apabila aku melaksanakan tugasku
dengan baik,bantulah aku, dan jika aku berbuat salah , luruskanlah
aku. Kebenaran adalah suatu kepercayaan, dan kedustaan adalah
suatu penghianatan. Orang yang lemah diantara kamu adalah orang
yang kuat bagi ku sampai aku memenuhi hak-haknya, dan orang kuat
diantara kamu adalah lemah bagi ku hingga aku mengambil haknya,
Insya Allah.janganlah salah seorang darimu meninggalkan jihad.
Sesungguhnya kaum yang tidak memenuhi panggilan jihad maka Allah
akan menimpakan suatu kehinaan. Patuhlah kepadaku selama aku taat
kepada Allah dan Rasul Nya. Jika aku tidak menaati Allah dan Rasul-
Nya, sekali-kali jangan lah kamu menaatiku . Dirikanlah shalat,
semoga Allah merahmati kamu”.
Masa awal pemerintahan Abu Bakar banyak di guncang oleh
pemberontakan orang-orang murtad yang mengaku-ngaku menjadi
Nabi dan enggan membayar zakat, karena hal inilah khalifah lebih
memusatkan perhatiannya untuk memerangi para pemberontak, maka
dikirimlah pasukan untuk memerangi para pemberontak ke yamamah,
dalam insiden itu banyak para khufadhil qur’an yang mati syahid.
Kemudian, karena khawatir hilangnya Al-Qur’an, sayyidina Umar
mengusulkan pada khalifah untuk membukukan Al-Qur’an, kemudian
untuk merealisasikan saran tersebut diutuslah Zaid Bin Tsabit untuk
mengumpulkan semua tulisan Al-Qur’an. Dan jika diperhatikan, pola
pendidikan khalifah Abu Bakar masih seperti Nabi, baik dari segi
materi maupun lembaga pendidikannya.17

16
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, Cetakan ke 16, (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 35
17
Hanun Asrohah, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Wacana Ilmu, 2009), hlm. 36
Abu bakar menjadi khalifah hanya dua tahun. Pada tahun 634
M ia meninggal dunia. Selain menyelesaikan masalah-masalah yang
terjadi dalam tubuh umat islam, Abu Bakar juga mengembangkan
wilayah ke luar Arab. Dalam kepemimpinannya, Abu Bakar
melaksanakan kekuasaannya sebagaimana pada masa Rasulullah,
bersifat sentral; kekuasaan legislative, eksekutif, dan yudikatif terpusat
di tangan khalifah. Meskipun demikian, khalifah juga melaksanakan
hukum. Dan sebagaimana Nabi Muhammad SAW, Abu Bakar selalu
mengajak sahabat-sahabat besarnya untuk bermusyawarah.18

2. Umar bin Khatthab (13-23 H / 634-644 M)

Dilahirkan 12 tahun setelah kelahiran Rasulullah Muhamad


SAW. Ayahnya bernama Khattab dan ibunya bernama Khatmah.
Perawakannya tinggi besar dan tegap dengan otot-otot yang menonjol
dari kaki dan tangannya, jenggot yang lebat dan berwajah tampan,
serta warna kulitnya coklat kemerah-merahan. Beliau dibesarkan di
dalam lingkungan Bani Adi, salah satu kaum dari suku Quraisy. Beliau
merupakan khalifah kedua didalam islam setelah Abu Bakar ash-
Siddiq.19

Khalifah kedua itu dinobatkan sebagai khalifah pertama yang


sekaligus memangku jabatan panglima tertinggi pasukan islam,
dengan gelar khusus amir al-mukminin (panglima orang-orang
beriman).20 Pada masa Umar bin Khatthab, kondisi politik dalam
keadaan stabil, usaha perluasan wilayah islam memperoleh hasil yang
gemilang. Wilayah Islam pada masa Umar bin Khatthab meliputi
Semenanjung Arabia, Palestina, Syria, Irak, Persia dan Mesir.

Pada hari Rabu bulan Dzulhijah tahun 23 H Umar bin Khatthab


wafat, beliau ditikam ketika sedang melakukan Shalat Subuh oleh

18
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam..., hlm. 36
19
Mufrad, Kisah hidup Umar bin Khatab, (Jakarta: Zaman, 2008), hlm17-18
20
Philip K. Hitti, History Of The Arabs, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2002), hlm. 222
seorang Majusi yang bernama Abu Lu’luah, budak milik al-Mughirah
bin Syu’bah diduga ia mendapat perintah dari kalangan Majusi. Umar
bin Khattab dimakamkan di samping Nabi saw dan Abu Bakar ash-
Siddiq, beliau wafat dalam usia 63 tahun.21

Umar dikenal seseorang yang pandai dalam menciptakan


peraturan, karena tidak hanya memperbaiki bahkan mengkaji ulang
terhadap kebijakan yang telah ada. Khalifah umar juga telah juga
menerapkan prinsip demokratis dalam kekuasaan yaitu dengan
menjamin hak yang sama bagi setiap warga Negara. Khalifah Umar
terkenal seorang yang sederhana bahkan ia membiarkan tanah dari
negeri jajahan untuk dikelola oleh pemiliknya bahkan melarang kaum
muslimin memilikinya, sedangkan para prajurit menerima tunjangan
dari Baitul Mal, yaitu dihasilkan dari pajak.22

3. Utsman bin Affan (23-35 H / 644-656 M)

Nama lengkapnya adalah Utsman bin `Affan bin Abi al-`Ash


bin Umayyah dari suku Quraisy. Ia memeluk Islam karena ajakan Abu
Bakar, dan iapun menjadi salah seorang sahabat terdekat Nabi
Muhammad SAW. Ia sangat kaya tetapi tetap berlaku sederhana, dan
sebagian besar kekayaannya digunakan untuk kepentingan Islam.
Selain itu, ia diberi gelar Dzunnuraini, artinya orang yang memiliki
dua cahaya, karena ia menikahi dua putri nabi secara berurutan setelah
yang satu meninggal. Ia menjadi khalifah setelah melalui proses
pemilihan badan syura yang dibentuk oleh Umar menjelang wafatnya,
dan memerintah selama 12 tahun. Para penulis sejarah membagi zaman
pemerintahan Utsman menjadi dua periode, yaitu enam tahun pertama
merupakan masa kejayaan pemerintahannya, dan enam tahun terakhir
merupakan masa pemerintahan yang buruk.23

21
Sulton Adi, Umar bin khattab, (Bandung: Fitrah, 2010), hlm 99
22
Fatah Syukur, Sejarah Peradaban Islam, hlm. 54
23
Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban..., hlm. 105
Salah satu faktor yang menyebabkan banyak rakyat kecewa
terhadap kepemimpinan Ustman adalah kebijaksanaannya
mengangkat keluarga dalam kedudukan tinggi. Yang terpenting
diantaranya adalah Marwan ibn Hakam. Dialah pada dasarnya yang
menjalankan pemerintahan, sedangkan Ustman hanya menyandang
gelar Khalifah. Meskipun demikian, tidak berarti bahwa pada masanya
tidak ada kegiatan-kegiatan yang penting. Ustman berjasa membangun
bendungan untuk menjaga arus banjir yang besar dan mengatur
pembagian air ke kota-kota. Dia juga membangun jalan-jalan,
jembatan-jembatan, masjid-masjid, dan memperluas masjid di
Madinah.24

Prestasi yang terpenting bagi khalifah Ustman adalah menulis


kembali al-Quran yang telah ditulis pada zaman Abu Bakar yang pada
waktu itu disimpan oleh Khafsoh binti Umar. Manfaat dibukukan al-
Qur`an pada masa Ustman adalah menyatukan kaum muslimin pada
satu macam mushaf yang seragam ejaan tulisannya, menyatukan
bacaan, kendatipun masih ada perbedaannya, namun harus tidak
berlawanan dengan ejaan mushaf Ustmani, dan menyatukan tertib
susunan surat- surat menurut tertib urut yang kelihatan pada mushaf
sekarang ini.

Awal pemerintahan Utsman diwarnai dengan suasana yang


kurang kondusif, masyarakat terpecah menjadi dua kelompok:
kelompok pendukung Ali yang kurang mendukung pemerintahan
Utsman, dan pendukung Utsman yang mendukung kepemimpinannya.
Mereka mendukung Utsman bukan karena memberi penghargaan
kepadanya, tetapi karena ingin menyatukan keinginan masing-
masing.25

24
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, hlm. 39.
25
Syalabi, Sejarah dan Kebudayan Islam, terj. Mukhtar Yahya, (Jakarta: Pustaka al-Husna,
1983), Jilid I, hlm. 274
Beberapa tahun pertama pemerintahannya, Utsman melanjut-
kan kebijakan-kebijakan Umar, terutama dalam perluasan wilayah
kekuasaan Islam. Daerah-daerah strategis yang telah dikuasai Islam
seperti Mesir dan Irak terus dilindungi. Di masa pemerintahan Utsman,
wilayah Armenia, Tunisia, Cyprus, Rhodes, dan bagian yang tersisa
dari Persia, Transoxania, serta Tabaristall berhasil direbut. Ekspansi
Islam pertama berhenti sampai di sini.26

Kepemimpinan Utsman memang sangat berbeda dengan


kepemimpinan Umar. Ini mungkin karena umurnya yang lanjut
(diangkat dalam usia 70 tahun) dan sifatnya yang lemah lembut. Salah
satu faktor yang menyebabkan banyak rakyat kecewa terhadap
kepemimpinan Utsman adalah kebijaksanaan nya mengangkat
keluarga dalam kedudukan tinggi. Yang terpenting di antaranya adalah
Marwan bin Hakam. Dialah pada dasarnya yang menjalankan
pemerintahan, sedangkan Utsman hanya menyandang gelar Khalifah.
Setelah banyak anggota keluarganya yang duduk dalam jabatan-
jabatan penting, Utsman laksana boneka di hadapan kerabatnya itu.
Dia tidak dapat berbuat banyak dan terlalu lemah terhadap
keluarganya. Dia juga tidak tegas terhadap kesalahan bawahan. Harta
kekayaan negara, oleh kerabatnya dibagi-bagikan tanpa terkontrol oleh
Utsman sendiri.27

Perubahan sistem pemerintahan ini memicu semangat


perlawanan terhadap kebijakan pemerintah yang menyebabkan
pemberontakan di Madinah dan daerah-daerah Arab yang lain. Situasi
politik pada masa akhir pemerintahan Ustman semakin mencekam dan
timbul pemberontakan pemberontakan yang mengakibatkan
terbunuhnya Ustman. Ustman akhirnya wafat sebagai syahid pada hari
jumat tanggal 17 Dzulhijjah 35 H/ 655 M. ketika para pemberontak
berhasil memasuki rumahnya dan membunuh Ustman saat membaca

26
Dudung Abdurrahman dkk, Sejarah Peradaban Islam dari Masa Klasik hingga Modern,
(Yogyakarta: LESFI, 2009), Cet. ke-3, hlm. 52
27
Dudung Abdurrahman dkk., Sejarah Peradaban…, hlm. 55
al-Quran. Persis seperti yang disampaikan Rasulullah perihal kematian
Ustman yang syahid nantinya. Beliau dimakamkan di pekuburan Baqi
di Madinah. Kematian Usman dengan cara tersebut menyebabkan
huru- hara di kalangan kaum muslimin sehingga ribuan pemuda yang
tidak berdosa telah menjadi korban.28

4. Ali bin Abi Thalib (35-40 H / 656-661 M)

Ali bin Abi Thalib adalah putra Abdul Muthalib, ia sepupu dan
menantu Nabi. Ali lahir di Mekkah pada hari Jumat tanggal 13 Rajab.29
Ia telah masuk Islam pada usia muda dan menemani Nabi Muhammad
SAW dalam perjuangan menegakkan Islam baik di Mekkah maupun
Madinah. Ali adalah orang yang banyak memiliki kelebihan,
pribadinya penuh vitalitas dan energik, perumus kebijakan dengan
wawasan ke depan, seorang pahlawan yang gagah berani, penasehat
hukum yang ulung, pemegang teguh tradisi, seorang sahabat sejati, dan
seorang lawan yang dermawan. Ia telah bekerja keras hingga akhir
hayatnya dan merupakan orang kedua paling berpengaruh setelah Nabi
Muhammad SAW.30

Selama masa pemerintahannya, ia menghadapi berbagai


pergolakan. Tidak ada masa sedikit pun dalam pemerintahannya yang
dapat dikatakan stabil. Setelah menduduki jabatan khalifah, Ali
memecat para gubernur yang diangkat oleh Usman. Dia yakin bahwa
pemberontakan-pemberontakan terjadi karena keteledoran mereka.
Dia juga menarik kembali tanah yang dihadiahkan Usman kepada
penduduk dengan menyerahkan hasil pendapatannya kepada negara,
dan memakai kembali sistem distribusi pajak tahunan di antara orang-
orang Islam sebagaimana pernah diterapkan Umar. Oposisi terhadap
Ali secara terang-terangan dimulai dari Aisyah, Thalhah, dan Zubair.
Meski pun mereka mempunyai alasan pribadi sehubungan dengan

28
Syalabi, Sejarah dan…, hlm. 278-280
29
Syed Hussain Moh. Jafri, Moralitas Politk Islam, terj. Ilyas Hasan, (Jakarta: Pustaka
Zahra, 2003), hlm. 13
30
Syamsul Munir Amin, Sejarah Peradaban..., hlm. 109
penentangan terhadap Ali, mereka menuntut Khalifah menghukum
para pembunuh Usman. Tuntutan yang sama juga diajukan Muawiyah,
bahkan ia memanfaatkan peristiwa berdarah itu untuk menjatuhkan
legalitas kekuasaan Ali, dengan membangkitkan kemarahan rakyat dan
menuduh Ali sebagai orang yang mendalangi pembunuhan Usman,
jika Ali tidak bisa menemukan dan menghukum yang sesungguhnya.31

31
Syamsul Munir Amin, Sejarah Peradaban..., hlm. 110
BAB III

PENUTUP

Demokrasi adalah suatu aturan kelembagaan dalam rangka


mengambil suatu keputusan politik di mana masing-masing orang
memiliki kekuatan untuk memutuskan dan berjuang secara kompratif
untuk memperoleh dukungan atau suara rakyat. Adapun prinsip-
prinsip demokrasi dalam Islam adalah persaudaraan, persamaan,
kebebasan, keadilandan musyawarah.

Setelah Nabi Muhammad wafat, perjuangan dilanjutkan oleh


Khulafa’ Rasyidin. Para khalifah tersebut menjalankan pemerintahan
dengan bijaksana, ini karena faktor dekatnya hubungan pribadi mereka
dengan Nabi dan otoritas keagamaan yang mereka miliki.
Kekhalifahan awal ini secara politik didasarkan pada komunitas
muslim Arabia dan pada kekuatan kesukuan bangsa Arab yang berhasil
menundukkan imperium Timur Tengah. Meskipun hanya berlangsung
selama 30 tahun, namun masa ini penting dalam sejarah Islam.
Khulafa’ Rasyidin berhasil menyelamatkan Islam, mengonsolidasikan
dan meletakkan dasar politik bagi keagungan Islam.

Khalifah Abu Bakar menyelamatkan umat Islam dari bahaya


besar orang-orang murtad dan mempertahankan kebenaran ajaran
Islam. Khalifah Umar berhasil mengkonsolidasikan Islam di Arabia,
mengubah masyarakat padang pasir yang liar menjadi bangsa pejuang
yang berdisiplin, menghancurkan kekaisaran Persia dan Bizantium
serta membangun suatu imperium yang sangat kuat meliputi Persia,
Irak, Kaldera, Syria, Palestina, dan Mesir.

Khalifah Utsman menambah ekspansi imperium lebih jauh di


Asia Tengah dan Tripoli. Sedangkan Khalifah Ali berjuang keras
untuk mengatasi kekacauan-kekacauan dalam negeri. Pada masa inilah
terjadi disintegrasi dan kekacauan politik yang menandai berakhirnya
pemerintahan Khulafa ‘Rasyidin.
Terakhir, konflik yang terjadi di antara sahabat Nabi
merupakan sunnatullah yang bisa terjadi kepada siapa, di mana dan
kapan saja. Semua itu merupakan pelajaran berharga bagi umat Islam
di kemudian hari. Jika sahabat saja, yang oleh Al-Quran disebut khair
al-ummah, bisa mengalami konflik, apalagi umat-umat sesudahnya.
Sehingga dengan mengerti sejarah diharapkan umat Islam bisa
menyikapinya secara bijak dan mengambil sisi positif pada setiap
permasalahan yang ada.
DAFTAR PUSTAKA

Abdillah, M. (1992). Respons of Indonesia Muslim Intelectuals to the Concept of


Democracy. Yogyakarta: Taitara Wacana.

Amin, S. M. (2009). Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Amzah.

Asrohah, H. (2009). Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Wacana Ilmu.

Chatim, N. (2006). Hukum Tata Negara. Pekanbaru: Cendikia Insani.

Djazuli. (2003). Fikh Siyasah: Implemetasi Kemaslahatan Umat dalam Rambu-


Rambu Syariah. Jakarta: Prenada Media Group.

Dudung. A. (2009). Sejarah Peradaban Islam dari Masa Klasik hingga Modern.
Yogyakarta: LESFI.

Fachruddin, F. (2006). Agama dan Pendidikan Demokrasi, Pengalaman


Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama. Jakarta: Pustaka Alfabet.

Jafri, S. H. (2003). Moralitas Politk Islam, terj. Ilyas Hasan. Jakarta: Pustaka
Zahra.

Jamil, A. (2011). Sejarah Kebudayaan Dinamika Islam. Gresik: Putra Kembar


Jaya.

Jurdi, S. (2008). Pemikiran Politik Islam Indonesia: Pertautan Negara, Khilafah,


Masyarakat Madani dan Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka Belajar.

Kansil, C. (2000). Hukum Tata Negara Republik Indonesia. Jakarta: PT. Rineka
Cipta.

MD, Mahmud. M. (2003). Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia. Jakarta: PT.


Rineka Cipta.

Mufrad. (2008). Kisah hidup Umar bin Khatab. Jakarta: Zaman.

Philip, K. Hitti, (2002). History Of The Arabs. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.

Sjadzali, M. (1993). Islam dan Tata Negara; Ajaran Sejarah dan Pemikiran.
Jakarta: UI Press.
Syaefuddin, M. (2013). Peradaban Islam. Yogyakarta: Pustaka Ilmu.

Syalabi. (1983). Sejarah dan Kebudayan Islam, terj. Mukhtar Yahya. Jakarta:
Pustaka al-Husna.

Syukur, F. (2011). Sejarah Peradaban Islam. Semarang: Pustaka Rizki Putra.

Yatim, B. (2004). Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II. Jakarta: Raja
Grafindo Persada.

Zakariya, A. H. (1998). Mu’jam Maqayis al-lughah fi al-Arabiyah. Beirut: Daar al-


Fikri.

Anda mungkin juga menyukai