Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH TEOSOFI

MAQAMAT DALAM TASAWUF

Dosen Pengampu :

Mubasyiroh, S.S, M.Pd.I

Disusun oleh :

Ainayah Syafirah 18640075


Halim Pamungkas S. 19640025
Ursila Rofidah 19640037
Hana Silmi A. 19640065

PROGRAM STUDI FISIKA

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM

MALANG

2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami haturkan kehadirat Allah SWT, karena dengan karunia-Nya kami
dapat menyelesaiakan makalah Teosofi yang berjudul “Maqamat dalam Tasawuf”. Meskipun
banyak hambatan yang kami alami dalam proses pengerjaannya, kami telah berhasil
menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu .
Tentunya ada hal-hal yang ingin kami berikan kepada pembaca dari hasil makalah ini.
Karena itu kami berharap semoga makalah ini dapat menjadi sesuatu yang berguna bagi kita
semua.
Kami menyadari bahwa dalam menyusun makalah ini masih jauh dari kesempurnaan,
untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun guna
menyempurnakan makalah ini. Kami berharap semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi
kami khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.

Rabu,10 Februari 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I 1
Latar Belakang Masalah 1
Perumusan Masalah 1
Tujuan Penulisan 1
BAB II 2
Pengertian Maqamat 2
Macam-macam Maqamat 2
BAB III 11
Kesimpulan 11
Saran 11
DAFTAR PUSTAKA 12

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Tasawuf merupakan salah satu fenomena dalam Islam yang memusatkan perhatian pada
pembersihan aspek rohani manusia, yang selanjutnya menimbulkan akhlak mulia. Tinjauan analitis
terhadap tasawuf menunjukkan bahwa para sufi dengan berbagai aliran yang dianutnya memiliki suatu
konsepsi tentang jalan (thariqat) menuju Allah. Jalan ini dimulai dengan latihan-latihan rohaniah
(riyadhah), lalu secara bertahap menempuh berbagai fase, yang dikenal dengan maqam (tingkatan)
dan hal (keadaan), dan berakhir dengan mengenal (ma’rifat) kepada Allah. Tingkat pengenalan
(ma’rifat) menjadi jargon yang umumnya banyak dikejar oleh para sufi.

Perjalanan menuju Allah merupakan metode pengenalan Ma’rifah secara rasa (Rohaniyah)
yang benar terhadap Allah. Manusia tidak akan tahu banyak mengenai penciptanaya apabila belum
melakukan perjalanan menuju Allah. Perbedaan antara iman secara aqliyah atau logis teoritis
walaupun ia adalah orang yang beriman secara aqliayah. Hal ini karena adanya percaya (Al-Iman Al-
Aqli An-Nazhori) dan iman secara rasa (Al-Iman Asy-Syu’uri dan Adz-Dzauqi). Lingkup ‘irfani tidak
dapat dicapai dengan mudah tetapi, harus melalui proses perjalanan yang sangat panjang. Proses yang
dimaksud adalah maqam- maqam (tingkatan ) dan ahwal (jama’ dari hal).

Dalam makalah ini, kami akan memaparkan tinjauan teoritis yang diambil dari berbagai
sumber pustaka guna mengetahui lebih dalam apa yang dimaksud dengan maqamat beserta
penjelasannya. Sehingga mahasiswa dapat memahami dan dapat menjelaskan kembali nilai-nilai luhur
dari ajaran tersebut.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud dengan maqamat?
2. Apa saja macam-macam maqamat?
1.3 Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan maqamat.

2. Untuk memahami dan dapat menjelaskan macam-macam maqamat..

1
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Maqamat

Maqamat adalah bentuk jamak dari kata maqam, yang secara bahasa berarti
pangkat atau derajat. Dalam bahasa Inggris, maqamat disebut dengan istilah stations atau
stages. Sementara menurut istilah tasawuf, maqamat adalah kedudukan seorang hamba di
hadapan Allah, yang diperoleh dengan melalui peribadatan, mujahadat dan lain-lain,
latihan spiritual serta (berhubungan) yang tidak putus-putusnya dengan Allah.

Secara teknis maqamat juga berarti aktivitas dan usaha maksimal seorang sufi
untuk meningkatkan kualitas spiritual dan kedudukannya (maqam) di hadapan Allah
dengan amalan-amalan tertentu sampai adanya petunjuk untuk mengubah pada
konsentrasi terhadap amalan tertentu lainnya, yang diyakini sebagai amalan yang lebih
tinggi nilai spiritualnya di hadapan Allah.1

Adapun Pengertian Maqamat menurut beberapa pendapat sufi,diantaranya :

1. Al-Qusyairi

Al-Qusyairi merupakan salah satu sufi yang menjelaskan mengenai maqamat yang
terkandung dalam mahakaryanya Ar-risalah al-Qusyairiyah. Menurutnya maqam adalah
tahapan adab atau etika seorang hamba dalam rangka mencapai (wushul) kepada Allah
SWT dengan berbagai upaya, yang diwujudkan dengan suatu pencarian dan ukuran
tugas. Maqam ini merupakan tempat dimana harus dilalui oleh para sufi secara
berurutan. Oleh karena itu al-Qusyairi menyaratkan bahwa tidak boleh bagi seorang sufi
melewati satu maqam sebelum maqam sebelumnya terpenuhi. Orang tidak boleh
bertawakal sebelum dia menjadi seorang yang qona’ah, tidak ada inabah sebelum
melakukan taubat. Sedangkan hal dimaknai sebagai suatu keadaan yang dirasakan oleh
hati seorang sufi tanpa adanya kesengajaan dan usaha dari para sufi tersebut. Hal itu
merupakan anugerah dari Allah SWT kepada hamban-Nya yang ia kehendaki.2

1 Syamsun Ni’am, Tasawuf Studies: Pengantar Belajar Tasawuf, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2014),
hlm. 137.
2 Al Qusyairi, Ar-risalah al-Qusyairiyah, (Beirut: Dar al Kutub, T. Th), hlm. 132 21
Abu Nasr as-Sarraj, Kitab al-Luma’ fi al Tasawuf, hlm. 182. 22 Ibid.

2
Menurut Al-Qusyairi dapat disimpulkan bahwa :“Hasil usaha manusia dengan kerja keras
dan keluhuran budi pekerti yang dimiliki hamba Tuhan yang dapat membawanya kepada
usaha dan tuntutan dari segala kewajiban”.

2. Abdurrazaq Al-Qasami

Menurut M. Solihin dalam bukunya Tasawuf Tematik Membedah Tema-tema Penting


Tasawuf 30 memuatkan kata-kata dari Abd Ar-Razaq Al-Qasamy, maqam adalah
pemenuhan terhadap kewajiban yang telah ditetapkan. Jika seseorang belum memenuhi
kewajiban-kewajiban yang terdapat di dalam suatu maqam, ia tidak boleh naik ke jenjang
yang lebih tinggi. Maka dapat difahami bahwa ada sesetangah pandangan yang
mengatakan bahwa maqamat ini harus ditempuhi satu persatu, tidak bole tidak
menempuhnya dengan sekaligus karena jika ditempuhi dengan sekaligus sudah pasti
akan berlaku kesalah fahaman dalam peramalan bahkan bisa menjadikan seseorang itu
jauh tersimpang dari syariat islam jika tidak diawasi secara hemat.

Menurut Abdurrazaq Al-Qasami dapat disimpulkan bahwa : “Pemenuhan terhadap


kewajiban-kewajiban yang telah ditetapkan. Jika seseorang belum memenuhi kewajiban
yang terdapat dalam suatu maqam, ia tidak boleh naik ke jenjang yang lebih tinggi”.

3. Al-Thusi atau Abu Nasr as-Sarraj Al-Thusi

Seorang sufi dari Nisyapur, mempunyai pandangan yang lebih sistematik dan
komprehensif mengenai konsep maqam. Menurutnya, maqam adalah kedudukan atau
tingkatan seorang hamba di hadapan Allah yang diperoleh melalui serangkaian ibadah,
kesungguhan melawan hawa nasfu dan penyakit-penyakit hati (mujahadah), latihan-
latihan spritual (riyadah), dan mengarahkan segenap jiwa raga sematamata kepada Allah
SWT serta memutuskan pandangan dari selain Allah SWT.21 Perjuangan menapaki
maqamat ini setidaknya terlukiskan dalam sebuah hadits Nabi SAW yang menyatakan
bahwa ruh-ruh itu ibarat pasukan yang dimobilisir (mujannadah). Kesungguhan hamba
dalam melewati maqamat ini yang kemudian akan menentukan derajatnya di hadapan
Allah SWT.
Menurut Al-Thusi dapat disimpulkan bahwa : “Kedudukan hamba dihadapan Allah
yang diperoleh melalui kerja keras dalam ibadah, kesungguhan melawan hawa nafsu,
latihan-latihan kerohanian serta menyerahkan seluruh jiwa dan raga semata-mata untuk
berbakti kepada-Nya”.

3
2.2 Macam-macam Maqamat
1. Taubat

Taubat berarti ar-ruju’ min adz-dzanbi, ar-ruju’ an adz-dzanbi, yang berarti kembali dari
berbuat dosa menuju kebaikan atau meninggalkan dosa. 3 Langkah pertama yang harus dilakukan
seseorang adalah taubat dari dosadosanya. Karena itu, stasiun pertama dalam tasawuf adalah
taubat. Pada mulanya seorang calon sufi harus taubat dari dosa-dosa besar yang dilakukannya.
Kalau ia telah berhasil dalam hal ini, ia akan taubat dari dosadosa kecilnya, kemudian dari
perbuatan makruh dan selanjutnya dari perbuatan syubhat. Taubat yang dimaksud adalah taubat
an-nasuha, yaitu taubat yang membuat orang menyesal atas dosa-dosanya yang lampau dan
betul-betul tidak berbuat dosa lagi walau sekecil apapun.4 Taubat ini terus dilakukan selama
hidup, karena manusia tidak lepas dari dosa, baik dalam anggota tubuh maupun dalam hatinya
yang kosong dari mengingat Allah. Jika hatinya hadir (selalu ingat Allah) maka tidak luput dari
menempuh tahapan (maqam) yang rendah menuju tahap yang tinggi.

Taubat diawali dengan mengetahui dua hal, yakni dosa-dosa yang dilakukan dan
kedudukan Allah azza wa jalla. Hati yang mengetahui kedudukan Allah, maka akan timbul rasa
takut dalam dirinya. Rasa takut ini merupakan keinginan untuk bertaubat.5

Orang awam bertaut dari dosa-dosa lahir dan orang saleh bertaubat dari sifat-sifat
batin yang tercela, orang yang bertakwa bertaubat dari posisi-posisi keraguan dan taubat para
pecinta Allah (muhibbin) adalah taubat dari kelalaian zikir. Sedang orang arif bertaubat untuk
berhenti dari suatu maqam, yang di depannya masih terdapat maqam-maqam lagi. Maqam-
maqam dalam hal kedekatan dari Allah tidak ada batasnya. Maka taubat seorang yang arif tidak
ada batasan akhir.6

Taubat merupakan awal berangkatnya seorang salik menuju kepada tingkatan berikutnya.
Karena itu, membangun taubat harus dengan kuat, yakni harus didasari dengan taqwa yang kuat
pula. Taqwa yang kuat akan selalu mendasari setiap tingkatan maqam selanjutnya hingga pada
maqam yang lebih tinggi.7
3 Yoana Bela Pradityas dkk, Maqamat Tasawuf dan Terapi Kesehatan Mental (Studi Pemikiran Amin
Syukur), (STAIN Pekalongan: Jurnal RELIGIA vol. 18 No. 2, Oktober 2015), hlm. 197
4 Syamsun Ni’am, Tasawuf Studies: Pengantar Belajar Tasawuf, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2014),
hlm. 141.
5 Amr Khalid, Ishlahul Qulub, (Beirut: Daar Al Arabiyah lil Ulum, 2004), hlm. 6; Lihat juga Al Ghazali,
Ihya Ulumiddin Juz 4, (Indonesia:Dar Ihya Al Kutub Al Arabiyah, t.th.), hlm. 3.
6 Al Ghazali, 40 Prinsip Dasar Agama, terj. Al Arbain fi Ushuliddin, (Jakarta: Pustaka Amani, 2000),
hlm. 253.
7 Fahrudin, Tasawuf sebagai Upaya Membersihkan Hati guna Mencapai Kedekatan dengan Allah,
(Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia, Jurnal Pendidikan Agama Islam – Ta’lim, vol. 14 No.
2, 2016), hlm. 72.

4
2. Zuhud

Zuhud ialah penolakan terhadap gemerlapnya harta dunia.8 Dikatakan bahwa zuhud pada
sesuatu adalah tidak gembira atas apa yang dimilikinya terhadap dunia, dan tidak bersedih atas
apa yang tidak dimilikinya.9 Sementara al-Junaid memberikan batasan tentang zuhud,
menurutnya, zuhud adalah kosongnya tangan dari kepemilikan dan hati dari hal yang
mengikutinya (ketamakan).10

Dari pengertian di atas, selanjutnya dapat dipahami bahwa tingkatan zuhud pada
dasarnya ada tiga, yaitu:11

a. Orang yang zuhud terhadap dunia, padahal ia suka padanya, hatinya condong
padanya dan nafsunya selalu menoleh kepadanya; kendati demikian, dilawannya hawa
nafsu dan keinginan terhadap kenikmatan duniawi itu. Orang ini disebut mutazahhid
(yang berusaha untuk hidup zuhud).

b. Orang yang zuhud terhadap dunia dengan mudah, karena ia menganggap terhadap
perkara keduniaan itu sedikit sekali manfaat dan gunanya, meski ia menginginkannya.
Tetapi ia melihat kezuhudannya dan berpaling padanya. Orang yang berwawasan
demikian sama halnya dengan mereka yang merelakan uangnya satu dirham untuk
memperoleh ganti dua dirham.

c. Orang yang zuhud terhadap dunia, tetapi zuhud terhadap


kezuhudannya itu, sehingga tidak terasa bahwa dirinya telah menanggalkan
jubah keduniaannya. Orang yang demikian setingkat dengan orang yang
meninggalkan tembikar dan memungut intan permata. Sufyan ats-Tsauri
mengatakan: “Zuhud terhadap dunia adalah memmbatasi keinginan terhadap
dunia, bukan memakan makanan yang keras dan memakai baju kasar”.12

3. Wara’

Kalau kesenangan dunia dan kelezatan materi tak bisa menggodanya lagi, ia keluar dari
pengasingannya masuk kembali ke dunianya semula. Ia terus banyak berpuasa, melakukan

8 Syamsun Ni’am, Tasawuf Studies: Pengantar Belajar Tasawuf, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2014),
hlm. 146.
9 Al-Qusyairi, al-Risalah al-Qusyairiyyah, hlm. 116.
10 Hamdani Anwar, Sufi al-Junaid, (Jakarta: Fikahati Aneska, 1995), hlm. 65.
11 Syamsun Ni’am, Tasawuf Studies: Pengantar Belajar Tasawuf, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2014),
hlm. 147.
12 Al Qusyairi, al-Risalah al-Qusyairiyah, (Indonesia: Al Haramain, t.th) hlm. 115.

5
shalat, membaca Al-Qur’an dan berdzikir. Ia juga akan selalu naik haji. Sampailah ia ke stasiun
wara’. Di sini ia dijauhkan Tuhan dari perbuatan-perbuatan syubhat.13

Wara’ dapat diartikan sebagai usaha seseorang untuk menjauhkan diri dari segala sesuatu
yang syubhat. Dalam tahapan ini, seorang sufi akan sangat berhati-hati dalam menerima sesuatu
karena ditakutkan adanya syubhat tersebut.

Al-Musaibi menjelaskan bahwa wara’ adalah menghisab setiap hal yang dibenci oleh
Allah, baik tindakan fisik, hati atau anggota badan, dan menjauhi dari menyia-nyiakan sesuatu
yang diwajibkan oleh Allah, baik dalam hati maupun anggota badan, dan hal ini hanya akan
dapat dilakukan dengan muhasabah. Dengan demikian, wara’ adalah menyucikan hati dan
berbagai anggota badan.14

4. Faqr

Secara harfiah biasanya diartikan sebagai orang yang berhajat, butuh atau orang miskin.
Ruwaym pernah ditanya tentang tanda-tanda seorang miskin, ia mengatakan miskin berarti
menyerahkan jiwa pada ketentuan-ketentuan Allah SWT. Dikatakan pula, bahwa tanda orang
miskin itu ada tiga yaitu dia melindungi batinnya, dia melaksanakan kewajiban-kewajiban
agamanya, dan dia menyembunyikan kemiskinannya. Selain itu, ath-Thusi juga pernah
menyatakan bahwa orang miskin adalah yang terkaya di antara ciptaan Allah. Mereka melepas
pemberian demi sang Pemberi. 15

Abu Muhammad al-Jurairi berkomentar fakir ialah hendaklah kamu tidak mencari
sesuatu yang tidak ada pada dirimu, sehingga kamu kehilangan sesuatu yang ada pada dirimu,
dan hendaklah kamu tidak usah mencari rezekirezeki kecuali kamu takut tidak dapat
menegakkan kewajiban.15

13 Syamsun Ni’am, Tasawuf Studies: Pengantar Belajar Tasawuf, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2014),
hlm. 142.
14 Amin Syukur, Sufi Healing: Terapi dengan Metode Tasawuf, (Jakarta: Erlangga, 2012), hlm. 56.
15 Syamsun Ni’am, Tasawuf Studies, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2014) hlm. 150 – 151. 15 Syamsun
Ni’am, Tasawuf Studies, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2014) hlm. 150.

6
Dengan begitu fakir menurut pandangan sufi yaitu tidak meminta lebih dari apa yang
telah ada pada diri kita. Tidak meminta rezeki kecuali hanya untuk menjalankan kewajiban-
kewajiban. Tidak meminta ketika tidak ada pada diri kita dan menerima ketika diberi. Tidak
meminta tetapi tidak menolak. Jadi, kefakiran adalah meniadakan segala sesuatu yang menjadi
keinginan-keinginan hati, baik yang bersifat lahiri maupun batini. Karena dengan munculnya
keinginan-keinginan dalam hatinya, berarti seorang sufi telah melepaskan dirinya dari sikap
kefakirannya. Jika demikian halnya, sang sufi akan terhalang untuk mendapatkan buah dari
nilai-nilai spiritual.

5. Sabar

Sabar berarti tabah hati. Sabar secara etimologi adalah suatu keadaan jiwa yang kokoh,
stabil dan konsekuen dalam pendirian. Menurut pandangan Dzun Nun al-Misri, sabar berarti
menjauhkan diri dari hal-hal yang bertentangan dengan kehendak Allah SWT, tetap tenang
ketika mendapat cobaan dan menampakkan sikap cukup, walaupun sebenarnya berada dalam
kefakiran. Berdasarkan pengertian tersebut, maka sabar erat hubungannya dengan pengendalian
diri, pengendalian sikap, pengendalian emosi. Oleh sebab itu sikap sabar tidak bisa terwujud
begitu saja, akan tetapi harus melalui latihan yang sungguh-sungguh.

Sabar, menurut Al-Ghazali, jika dipandang sebagai pengekangan tuntutan nafsu dan
amarah, dinamakan sebagai kesabaran jiwa (ash-shabr annafs), sedangkan menahan terhadap
penyakit fisik, disebut sebagai sabar badani (ash-shabr al-badani). Kesabaran jiwa sangat
dibutuhkan dalam berbagai aspek. Misalnya, untuk menahan nafsu makan dan seks yang
berlebihan.16

Orang yang telah berhasil membentuk dirinya menjadi seorang yang sabar maka orang
tersebut akan mendapatkan status yang tinggi dan mulia, sabar juga sangat penting peranannya
dalam rangka mencapai tujuan, dan orang yang sabar akan mendapatkan kesejahteraan dengan
mendapat nikmatnya balasan akhirat.

6. Tawakkal

Secara harfiah tawakkal berarti menyerahkan diri dan mempercayakan secara bulat
kepada Allah SWT setelah melakukan suatu rencana dan usaha. Al-Qusyairi mengatakan bahwa
tawakkal tempatnya di dalam hati, dan timbulnya gerak dalam perbuatan tidak mengubah
tawakkal yang terdapat dalam hati itu. Hal itu terjadi setelah hamba meyakini bahwa segala

16 Robison Anwar dan Mukhtar Solihin, Ilmu Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2004) hlm. 72.

7
ketentuan hanya didasarkan pada ketentuan Allah. Mereka menganggap jika menghadapi
kesulitan maka yang demikian itu sebenarnya takdir Allah. Manusia hanya menjalankan dan
mengusahakan rencananya tetapi Allah yang menentukan.

Pengertian tawakkal yang demikian itu sejalan pula dengan yang dikemukakan Harun
Nasution, ia mengatakan bahwa tawakkal adalah menyerahkan diri kepada qada dan keputusan
Allah. Selamanya dalam keadaan tenteram, jika mendapat pemberian berterima kasih, jika
mendapat apa-apa bersikap sabar dan menyerah kepada qada dan qadar Allah. Tidak
memikirkan hari esok, cukup dengan apa yang ada untuk hari ini. Tidak mau makan, jika ada
orang lain yang lebih berhajat pada makanan tersebut daripada dirinya. Percaya kepada janji
Allah. Menyerah kepada Allah dan karena Allah.17

Tetapi bagi kaum sufi pengertian tawakkal itu tidak cukup kalau hanya sekedar
menyerahkan diri seperti itu. Seperti biasanya dalam mengartikan ajaran agama, mereka lebih
jauh dan mendalam. Tawakkal menurut pandangan sufi adalah jangan meminta, jangan menolak
dan jangan menduga-duga. Nasib apapun yang diterima itu adalah karunia Allah. Sikap seperti
itu yang dicari dan diusahakan sufi agar jiwa mereka tenang, berani dan ikhlas dalam hidupnya
walau apapun yang dihadapi atau dialaminya.

7. Ridha

Ridha menurut Imam Al-Junaid adalah ketundukan mutlak dan penyerahan diri
seutuhnya pada ketentuan qadha Allah yang telah di tetapkan sejak zaman azali. Imam Al-
Junaid berkata “Ridha berarti melepas ikhtiar”. Melepas ikhtiar di sini tidak berarti bahwa
seorang hamba praktis menjadi seorang fatalis dalam segala perbuatan yang di lakukannya
yang terjadi karena keinginan pelaku sendiri. Akan tetapi, melepas ikhtiar berarti ridha dengan
qadha Allah dalam bentuk cobaan-cobaan yang di ujikan-Nya pada hambahambanya.

Ridha dengan pengertian yang shahih ini merupakan salah satu derajat ma’rifat billah.
Jalan kesinambungan ma’rifat billah dan sarana meraih keabadian ridha-Nya. Ridha juga
menjadi sarana meraih kebahagiaan hidup yaitu kehidupan yang nyaman dan menentramkan
hati. Itulah bentuk daripada ridha kepada Allah SWT1819. Oleh karena sikap mental ridha ini
sudah mendekati sifat kesempurnaan (rijal al-kamal). Menurut Qomar Kailani dalam fi al-

17 Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011) hlm. 202.
18 Muhammad Fauqi al-Hajjaj, Tasawuf Islam dan Akhlak, (Jakarta: Amzah, 2013),hlm.
19 .

8
Tasawuf al-islam bahwasannya ridha adalah maqam terakhir dari perjalanan salik sebab
datangnya sikap mental ridha itu adalah berkat perjuangan yang di lakukan secara berantai.20

8. Mahabbah

Al-Hubb atau mahabbah adalah salah satu istilah yang selalu berdampingan dengan
ma’rifat, karena manifestasi dari mahabbah itu adalah tingkat pengenalan kepada tuhan yang di
sebut dengan Ma’rifat. Al-Hubb mengandung pengertian terpadu seluruh kecintaan hanya
kepada Allah yang menyebabkan adanya rasa kebersamaan dengan-Nya. Menurut al-Sarraj,
mahabbah mempunyai tiga tingkat21:

a. Cinta biasa, yaitu selalu berzikir dan mengingat Tuhan.

b. Cinta orang yang siddiq, yaitu orang yang kenal kepada Tuhan, pada
kebesaran-Nya, pada kekuasaan-Nya, pada ilmu-Nya, dan lain lain. cinta dapat
menghilangkan tabir antara diri seseorang dengan Tuhannya, sehingga ia dapat
melihat rahasia-rahasia-Nya. Ia mengadakan dialog dengan Tuhan dan
merasakan kesenangan dengan dialognya itu. Cinta tingkat kedua ini mampu
menghilangkan kehendak dan sifat-sifatnya sendiri, sedang hatinya penuh
dengan perasaan cinta dan rindu kepada Tuhannya.

c. Cinta orang yang ‘arif, yaitu orang yang tahu betul dengan Tuhannya. Cinta
seperti ini timbul karena telah tahu betul-betul pada Tuhan. Yang dilihat dan
dirasa bukan lagi cinta, tetapi diri yang dicintai. Akhirnya sifat-sifat yang
dicintai masuk ke dalam diri yang mencintai.

Paham mahabbah untuk pertama kalinya di perkenalkan oleh Rabi’ah Al-Adhawiyah


yang lahir di Bashrah 95 H dan meninggal dunia 185 H. Menurut Rabi’ah, al-Hubb adalah
kerinduan dan pasrah pada Allah seluruh ingatan dan perasaan kepada Allah. Tujuan satu-
satunya yang wajar dan sewajarnya di cintai ialah Allah, agar dapat sampai kepadanya, seorang
sufi harus lebih dulu mendidik dirinya untuk mencintai keindahan alam.22

9. Ma’rifat

20 A Rivay Siregar, Tasawuf:dan Sufisme Klasik ke Neo-sufisme,(Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2002), hlm.
122.
21 Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 2014), hlm. 55.
22 Op. Cit., hlm. 129.

9
Dalam istilah tasawuf berarti pengetahuan yang sangat jelas dan pasti tentang Tuhan
yang diperoleh melalui sanubari. Dalam sejarah dapat diketahui bahwa Al-Misri adalah orang
pertama yang menganalisis ma’rifat secara konsepsional, ia mengklasifikasikan kepada tiga
kelas, yakni:

1. Ma’rifat tauhid (ma’rifatnya orang awam)

2. Ma’rifat al-burhan wa al-istidlal (ma’rifatnya bagi mutakallimin, filosof) yaitu pengetahuan


tentang tuhan melalui pemikiran dan pembuktian akal

3. Ma’rifat para wali, yaitu pengetahuan dan pengenalan tentang tuhan melalui sifat dan
Keesaannya.

Menurut Al-Ghazali, pengertian ma’rifat ialah mengetahui mata hati, karena jelas dan
terangnya pengetahuan itu ia mengungkapkan dalam kalimat “nazharu ila wajhi Allah”
memandang wajhi Allah disini maksudnya melihat dengan mata hatinya bukan dengan mata
inderanya23.

23 Harun Nasution, Loc. Cit, hlm. 61.

10
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Maqamat dapat diartikan sebagai aktivitas dan usaha maksimal seorang sufi untuk
meningkatkan kualitas spiritual dan kedudukannya (maqam) di hadapan Allah dengan
amalan-amalan tertentu sampai adanya petunjuk untuk mengubah pada konsentrasi
terhadap amalan tertentu lainnya, yang diyakini sebagai amalan yang lebih tinggi nilai
spiritualnya di hadapan Allah.

Maqamat merupakan tingkatan-tingkatan yang menjadi konsentrasi seorang sufi


untuk menggapai Tuhannya melalui jalan: 1) Taubat; 2) Zuhud; 3) Wara; 4) Faqr; 5)
Shabr; 6) Tawakkal; 7) Ridha; 8) Mahabbah; dan 9) Ma’rifat. Kesembilan maqam tersebut
dipraktikkan sesuai dengan konsentrasi yang dapat dicapai seorang salik sebelum menuju
maqam yang lebih tinggi.

3.2 Saran
Untuk memahami ilmu tasawuf, diperlukan sumber referensi yang terpercaya disertai
studi komprehensif tasawuf sehingga ilmu dapat diterima dengan baik dan mencegah
timbulnya kesalahpahaman.

11
DAFTAR PUSTAKA

Abuddin Nata. 2011. Akhlak Tasawuf. Jakarta: Rajawali Pers.

Al Ghazali. 2000. 40 Prinsip Dasar Agama, terj. Al Arbain fi Ushuliddin. Jakarta:


Pustaka Amani.. T. Th. Ihya Ulumiddin Juz 4. Indonesia: Dar Ihya Al Kutub Al
Arabiyah.

Al Qusyairi. T.Th. al-Risalah al-Qusyairiyah. Indonesia: Al Haramain.

Al-Hajjaj, Muhammad Fauqi. 2013. Tasawuf Islam dan Akhlak. Jakarta: Amzah.

Anwar, Hamdani. 1995. Sufi al-Junaid. Jakarta: Fikahati Aneska.

Anwar, Robison dan Mukhtar Solihin. 2004. Ilmu Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia.

Fahrudin. 2016. Tasawuf sebagai Upaya Membersihkan Hati guna Mencapai


Kedekatan dengan Allah. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia, Jurnal
Pendidikan Agama Islam – Ta’lim, vol. 14 No. 2.

Khalid, Amr. 2004. Ishlahul Qulub. Beirut: Daar Al Arabiyah lil Ulum.

Nasution, Harun. 2014. Falsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang.

Ni’am, Syamsun. 2014. Tasawuf Studies: Pengantar Belajar Tasawuf. Yogyakarta: Ar-
Ruzz Media.

Pradityas, Yoana Bela dkk. 2015. Maqamat Tasawuf dan Terapi Kesehatan Mental
(Studi Pemikiran Amin Syukur). STAIN Pekalongan: Jurnal RELIGIA vol. 18
No. 2.

Siregar, A Rivay. 2002. Tasawuf:dan Sufisme Klasik ke Neo-sufisme. Jakarta: Raja


Grafindo Persada.

Syukur, Amin. 2012. Sufi Healing: Terapi dengan Metode Tasawuf. Jakarta: Erlangga.

12

Anda mungkin juga menyukai