Anda di halaman 1dari 4

Kondisi Lingkungan Hidup di Indonesia di Tengah Isu Pemanasan Global.

Di tengah isu pemanasan global yang sekarang ini dampaknya semakin sering kita rasakan bahkan mulai
menjamah negara-negara Eropa dan Amerika, ternyata kasus perusakan lingkungan hidup di indonesia
justru terjadi semakin parah. Begitupula arah kebijakan pemerintah malah menguntungkan kapitalisme
dan membahayakan masa depan lingkungan hidup.

Peringatan “Kode Merah” oleh IPCC

Baru-baru ini ilmuwan yang tergabung dalam Panel Antar Pemerintah tentang Perubahan Iklim atau
IPCC memberikan peringatan berupa “kode merah bagi umat manusia”. Hal ini disampaikan oleh Sekjen
PBB Antonio Guterres setelah diterbitkannya hasil laporan kelompok kerja ilmuwan IPCC pada tanggal 9
Agustus 2021. Peringatan ini bukan hanya ditujukan untuk beberapa negara saja, melainkan untuk
seluruh dunia, termasuk Indonesia.

Dimana menurut prediksi ilmuwan yang tergabung dalam IPCC, pemanasan global yang menjadi
penyebab bencana cuaca ekstrim di seluruh dunia ini, dalam 20 tahun kedepan berisiko tidak lagi dapat
dikendalikan. Namun dengan catatan apabila kita masih melakukan aktifitas seperti biasa atau business
as usual dan tidak mengurangi emisi karbon dioksida secara ekstrim.

Dari analisis yang sudah dilakukan, ternyata sebanyak 14 ribu studi yang berkaitan dengan perubahan
iklim menunjukkan bahwa penyebab kenaikan suhu bumi sebesar 1.1°C, yakni akibat pembakaran bahan
bakar fossil. Salah satunya industri pembangkit listrik yang mayoritas bahan bakarnya masih
menggunakan batubara.

Peningkatan suhu bumi sebesar 1.1°C kelihatannya angka yang kecil. Namun kalau berkaitan dengan
suhu bumi, efek yang ditimbulkan sangatlah besar dan destruktif. Sebut saja hujan dengan intensitas
tinggi, siklon tropis, banjir, dan musim kemarau yang semakin panjang penyebab kebakaran skala besar.

Salah satu efek perubahan iklim yang sangat mengkhawatirkan yakni kejadian gelombang panas ekstrim
dalam beberap bulan terakhir ini. Dimana sebagian besar wilayah eropa dan amerika mengalami
kebakaran hingga ratusan titik.
Juga termasuk melelehnya daratan beku permanen atau permafrost, serta kebakaran skala besar
sepanjang sejarah yang baru saja terjadi di Siberia, padahal Siberia merupakan wilayah berpenghuni
paling dingin di dunia.

Bagi sektor yang menggantungkan kondisi cuaca tahunan seperti pertanian, maka ke depannya apabila
suhu bumi terus memanas, perubahan iklim akan merubah ritme musiman yang bisa mengakibatkan
penurunan produktifitas hasil pertanian secara signifikan, tak terkecuali resiko gagal panen akan
semakin sering terjadi.

Perubahan iklim ini juga bakal menyebabkan perubahan pola cuaca di seluruh dunia, akibatnya yakni
semakin sering terjadi gelombang panas dan kekeringan dalam waktu panjang, yang akan memicu
kebakaran hutan dengan area yang sangat luas.

Disamping itu, ketika turun hujan, maka intensitasnya bisa berlangsung selama berhari-hari tanpa henti
hingga terjadi bencana banjir bandang. Seperti yang baru saja terjadi di negara Eropa Barat mulai dari
German, Belanda dan Belgia. Hujan yang berlangsung selama berhari-hari ini setidaknya memakan
korban jiwa sebanyak 120 orang dan 1.300 orang lainnya masih dalam pencarian.

Bagaimana Dengan Kondisi di Indonesia Saat Ini?

Sayangnya kondisi lingkungan hidup di Indonesia dalam keadaan yang sangat tidak baik-baik saja. Hutan
di Kalimantan hingga Papua masih terus mengalami eksploitasi dan penghancuran oleh korporasi, yakni
berupa penggundulan hutan untuk dialihkan menjadi industri ekstraktif.

Aktifitas industri ekstraktif yang mengeksploitasi alam ini bukan hanya berdampak pada menyusutnya
hutan yang berfungsi sebagai penyerap emisi karbon dioksida, namun sekaligus ikut memperparah laju
pemanasan global dan mengancam sumber penghidupan puluhan juta masyarakat adat.

Dari riset yang telah dilakukan oleh WALHI didapatkan data bahwa lahan seluas 159 juta hektar sudah
terkapling dalam ijin investasi industri ekstraktif. Luas wilayah daratan yang secara legal sudah dikuasai
oleh korporasi yakni sebesar 82.91%, sedangkan untuk wilayah laut sebesar 29.75%.
Data IPBES 2018 juga menyebutkan bahwa setiap tahunnya Indonesia kehilangan hutan seluas 680 ribu
hektar, yang mana merupakan terbesar di region asia tenggara. Sedangkan data kerusakan sungai yang
dihimpun oleh KLHK tercatat bahwa, dari 105 sungai yang ada, 101 sungai diantaranya dalam kondisi
tercemar sedang hingga berat.

Bukan hanya itu, penelusuran WALHI pada tahun 2013 hingga 2019 didapatkan data yang cukup
mencengangkan, dimana penguasaan lahan sawit di Indonesia ternyata selama ini hanya dikendalikan
oleh 25 orang taipan. Total luasan hutan yang dikuasai oleh konglomerat sawit ini sebesar 12.3 juta
hektar. Dari total luas hutan yang sudah mendapat lampu hijau dan mengantongi ijin tersebut, 5.8 juta
hektar diantaranya sekarang ini sudah menjadi perkebunan sawit.

Padahal di Indonesia terdapat 50-70 juta masyarakat adat yang tinggal dan menggantungkan hidupnya
dari hutan. Ketika hutan dirusak dan dikuasai oleh korporasi, selain akan memperparah laju pemanasan
global, kasus konflik di daerah juga bakal semakin meningkat. Pemerintah seharusnya lebih menghargai
hak-hak masyarakat adat, dan melindungi dari kriminalisasi korporasi, bukan malah memberikan karpet
merah pada kapitalisme.

Laporan dari Auriga Nusantara juga tidak kalah mengkhawatirkan. Selama pemerintahan Jokowi,
setidaknya dalam 20 tahun terakhir ini terjadi deforestasi di Papua seluas 663.443 hektar. Dimana 71
persen diantaranya terjadi sepanjang tahun 2011 sampai 2019. Penyumbang deforestasi terbesar yakni
ditujukan untuk pembukaan perkebunan sawit seluas 339.247 hektar. Namun dari hasil penelusuran
ternyata hanya 194 ribu hektar saja yang sudah ditanami sawit, selebihnya dalam kondisi rusak.

Dampak pengalih fungsian hutan menjadi wilayah industri ekstraktif, baik itu perkebunan, properti,
pertanian, kehutanan, tambang, infrastruktur dan kelautan, ternyata juga syarat akan beragam masalah.
Dari laporan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), sepanjang tahun 2018 saja terjadi 410 konflik agraria
dengan luas wilayah konflik 807.177 hektar, dengan melibatkan 87.568 KK.

Dengan kerusakan hutan yang seluas itu, tidak mengherankan jika kemudian sepanjang tahun 2020,
BNPB mencatat terdapat 2.925 kejadian bencana alam di Indonesia, mulai dari banjir, putting beliung,
tanah longsor, kebakaran hutan dan lahan, kekeringan, serta gelombang panas.

Praktik ekosida penghancurann lingkungan yang mengabaikan tata ruang dan lingkungan hidup ini
menjadi fakta bahwa praktik buruk segelintir korporasi yang menguasai jutaan hektar lahan terbukti
memperparah intensitas bencana di Indonesia. Jumlah korban jiwa pun juga naik hampir tiga kali lipat,
yakni pada periode 2017 hingga 2018 terjadi peningkatan jumlah korban bencana, dari yang sebelumnya
sebanyak 3.49 juta orang menjadi 9.88 juta orang.

Data ini seharusnya menjadi tamparan keras bagi pemerintah untuk mengkaji ulang arah kebijakan yang
sudah dibentuk. Karena baru-baru ini aturan yang dibuat oleh pemerintah maupun DPR justru
menguntungkan segelintir pengusaha dan korporasi ekstraktif dengan menggadaikan nasib jutaan
masyarakat marjinal.

Sumber : (https://www.walhi.or.id/kondisi-lingkungan-hidup-di-indonesia-di-tengah-isu-pemanasan-
global)

Anda mungkin juga menyukai