Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN PENDAHULUAN

BENIGN PROSTATIC HYPERPLASIA (BPH)

Dibuat untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah stase keperawatan Dasar
Profesional Islami
Dosen Pembimbing :

Anggriyana Tri Widianti. S.,Kep.,Ners.,M.Kep

Disusun Oleh

Rizki Maulana Rikmanda

NIM 402021068

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS

UNIVERSITAS ‘AISYIYAH BANDUNG

2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas ridho

dan rahmat-Nya yang maha besar penulis dapat menyelesaikan tugas karya tulis

ilmiah ini yang berjudul “ Laporan Pendahuluan Benign Prostatic Hyperplasia

(BPH)”.

Dalam menyelesaikan karya tulis ilmiah ini, tidak sedikit kesulitan dan

hambatan yang penulis jumpai, namun puji dan syukur Alhamdulillah berkat

rahmat dan hidayah-Nya serta kesungguhan yang disertai bantuan dan dukungan

dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung, segala kesulitan

dapat diatasi dengan sebaik-baiknya yang pada akhirnya karya tulis ilmiah ini

dapat diselesaikan.

Penulis menyadari bahwa tanpa bimbingan, bantuan dan saran dari

berbagai pihak, sangatlah sulit untuk menyelesaikan tugas ini dengan baik.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa karya tulis ilmiah ini masih terdapat banyak

kekurangan dan jauh dari kata kesempurnaan, hal ini tidak lepas dari terbatasnya

pengetahuan dan wawasan yang penulis miliki, serta sarana dan prasarana lain

yang menunjang karya tulis ilmiah ini. Oleh karena itu, penulis sangat

mengharapkan kritik dan saran untuk perbaikan dimasa yang akan datang.
Bandung, 25 Oktober 2021

Penulis

Rizki Maulana Rikmanda


BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Benigna Prostat Hyperplasia (BPH) adalah pembesaran kelenjar dan

jaringan seluler kelenjar prostat yang berhubungan dengan perubahan endokrin

berkenaan dengan proses penuaan (Suharyanto, 2009). Pembesaran prostat

disebabkan oleh dua faktor penting yaitu ketidakseimbangan hormon estrogen dan

androgen, serta faktor umur atau proses penuaan sehingga obstruksi saluran kemih

dapat terjadi. (Andre, 2011)

Adanya obstruksi ini akan menyebabkan, respon nyeri pada saat buang air

kecil dan dapat menyebabkan komplikasi yang lebih parah seperti gagal ginjal

akibat terjadi aliran balik ke ginjal selain itu dapat juga menyebabkan peritonitis

atau radang perut akibat terjadinya infeksi pada kandung kemih. (Andre, 2011)

Berdasarkan data WHO pada tahun 2016 di dunia penderita BPH

(Benigna Prostat Hyperplasia) sebanyak 30 juta. Di Indonesia pada tahun 2017

terdapat 6,2 juta kasus (Purnomo, 2014). Di RS Panti Waluya terdapat 45 kasus

BPH, yang dilakukan tindakan pembedahan terdapat 10 kasus dalam jangka

waktu 1 tahun mulai dari 01 Januari 2017 hingga 31 Desember 2017.

Benigna Prostat Hyperplasia (BPH) dapat menyebabkan obstruksi

sehingga dapat dilakukan penanganan dengan cara melakukan tindakan yang

paling ringan yaitu secara konservatif (non operatif) sampai tindakan yang paling

berat yaitu operasi. Terdapat macam-macam tindakan bedah yang dapat dilakukan
pada klien BPH antara lain, Prostatektomi Suprapubis, Prostatektomi Parineal,

Prostatektomi Retropubik, Insisi Prostat Transuretral (TUIP), Transuretral

Reseksi Prostat (TURP). (Purnomo, 2014)

Tindakan pembedahan dapat menyebabkan kerusakan jaringan yang actual

dan potensial sehingga seseorang dapat mengalami nyeri yang berdampak pada

aktivitas sehari-hari. Nyeri merupakan salah satu gejala yang sering timbul pasca

bedah dimana melibatkan empat proses fisiologis: transduction, transmission,

modulationdanperception. Nyeri sebagai konsekuensi operasi yakni pengalaman

sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan, terkait dengan kerusakan

jaringan aktual atau potensial (Herdman, 2015). Nyeri pasca operasi disebabkan

karena trauma (reseksi jaringan prostat), iritasi foley kateter dan traksi kateter

pasca operasi pada luka operasi. (Ariani, 2010)

Fenomena yang penulis temukan ketika praktik klinik di RS.Panti Waluya

pada bulan November 2017 terdapat 2 klien yang mengalami BPH dan menjalani

operasi TURP, klien 1 berumur 46 tahun mengatakan merasakan nyeri, nyeri

semakin terasa ketika beraktivitas, nyeri hilang ketika tidur, nyeri terasa seperti

disayat benda tajam, nyeri terasa pada bagian dalam organ yang dilakukan operasi

dengan skala nyeri 7, nyeri hilang timbul. Klien belum bisa mengontrol rasa nyeri

post operasi nya dan merasa tidak nyaman dengan rasa nyeri tersebut sehingga

klien sering terbangun ketika tidur. Klien 2 berumur 52 tahun mengatakan nyeri,

nyeri semakin terasa ketika bergerak, nyeri berkurang ketika tidur, nyeri terasa

seperti di tusuk-tusuk, nyeri terasa pada bagian dalam organ yang dilakukan

operasi, dengan skala nyeri 6, nyeri hilang timbul. Klien merasa tidak nyaman
dengan nyeri tersebut, akibatnya klien mengalami kesulitan saat melakukan

aktivitas.

Nyeri pasca operasi harus menjadi perhatian utama dari perawat

professional dalam merawat pasien pasca operasi, karena adanya nyeri dapat

menyebabkan gangguan intake nutrisi dan aktifitas istirahat pasien, dan pada

akhirnya berkontribusi pada komplikasi sehingga memperpanjang masa perawatan

pasien (Hospitalisasi). Pasien yang menjalani operasi dapat mengalami kehilangan

control serta emosi yang dapat berdampak pada meningkatnya persepsi nyeri

(Mangku G dkk, 2015)

Sebagai perawat pertolongan kesehatan yang dapat diberikan adalah

memberikan terapi relaksasi dan distraksi. Sehingga penulis melakukan studi

kasus dengan judul “Laporan Pendahuluan Benign Prostatic Hyperplasia

(BPH)”.

RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang dan data yang di peroleh tentang Benign

Prostatic Hyperplasia (BPH), maka disini akan membahas tentang “Bagaimana

cara melakukan Asuhan Keperawatan pada Tn.E yang Benign Prostatic

Hyperplasia (BPH)?”.
TUJUAN

1. Tujuan umum

Mampu melaksanakan asuhan keperawatan secara langsung dan dapat

mendokumentasikan secara komperhensif meliputi bio-psiko-sosio dan spiritual

pada Tn.E dengan Benign Prostatic Hyperplasia (BPH).

2. Tujuan khusus

Adapun tujuan khusus dari penulisan karya tulis ilmiah ini adalah penulis

mampu :

a. Mampu melakukan pengkajian pada Tn.E dengan Benign Prostatic

Hyperplasia (BPH).

b. Mampu merumuskan diagnosis keperawatan pada Tn.E dengan

Benign Prostatic Hyperplasia (BPH).

c. Mampu menyusun tindakan keperawatan sesuai dengan rencana yang

telah dibuat pada Tn.E dengan Benign Prostatic Hyperplasia (BPH).

d. Mampu mengevaluasi hasil Asuhan keperawatan yang telah

dilaksanakan pada Tn.E dengan Benign Prostatic Hyperplasia (BPH).

e. Mampu mendokumentasikan hasil asuhan keperawatan yang

dilakukan pada Tn.E dengan Benign Prostatic Hyperplasia (BPH).


BAB II
TINJAUAN TEORITIS
Konsep BPH

Definisi BPH

BPH ( Benigna Prostat Hyperplasia ) adalah suatu keadaan dimana

kelenjar prostat mengalami pembesaran, memanjang ke atas ke dalam kandung

kemih dan menyumbat aliran urine dengan menutup orifisium uretra (Smeltzer

dan Bare, 2013). Hyperplasia merupakan pembesaran ukuran sel dan diikuti oleh

penambahan jumlah sel. BPH merupakan suatu kondisi patologis yang paling

umum di derita oleh laki-laki dengan usia rata-rata 50 tahun. (Prabowo Eko dan

Pranata Eka, 2014)

Gambar BPH (Benign Prostatic Hyperplasia)

Tanda dan Gejala BPH


Menurut Haryono, (2012) tanda dan gejala BPH meliputi:
1. Gejala obstruktif

a. Hesitansi, yaitu memulai kencing yang lama dan sering kali disertai

dengan mengejan.
b. Intermittency, yaitu terputus-putusnya aliran kencing yang disebabkan

oleh ketidak mampuan otot destrussor dalam mempertahankan

tekanan intra vesika sampai berakhirnya miksi.

c. Terminal dribbling, yaitu menetesnya urin pada akhir kencing.

d. Pancaran lemah, yaitu kelemahan kekuatan dan kaliber pancaran

destrussor memerlukan waktu untuk dapat melampaui tekanan di

uretra.

e. Rasa tidak puas setelah berakhirnya buang air kecil dan terasa belum

puas.

2. Gejala iritasi

a. Urgensi, yaitu perasaan ingin buang air kecil yang sulit di tahan.

b. Frekuensi, yaitu penderita miksi lebih sering miksi dari biasanya dapat

terjadi pada malam dan siang hari.

c. Disuria, yaitu nyeri pada waktu kencing.

Klasifikasi BPH

Menurut Sjamsuhidajat R, (2010), klasifikasi BPH meliputi :

a. Derajat 1 : Biasanya belum memerlukan tindakan bedah, diberi

pengobatan konservatif

b. Derajat 2 : Merupakan indikasi untuk melakukan pembedahan biasanya

dianjurkan reseksi endoskopik melalui uretra ( trans urethral resection /

TUR ).
c. Derajat 3 : Reseksi endoskopik dapat dikerjakan, bila diperkirakan prostate

sudah cukup besar, reseksi tidak cukup 1 jam sebaiknya dengan

pembedahan terbuka, melalui trans retropublik / perianal.

d. Derajat 4 : Tindakan harus segera dilakukan membebaskan klien dari

retensi urine total dengan pemasangan kateter

Etiologi BPH

Menurut Prabowo Eko dan Pranata Eka, (2014) etiologi BPH sebagai berikut:

1. Peningkatan DKT (dehidrotestosteron) Peningkatan 5 alfa reduktase dan

resepto androgen akan menyebabkan epitel dan stroma dari kelenjar

prostat mengalami hyperplasia.

2. Ketidak seimbangan esterogen-testosteron Ketidak seimbangan ini terjadi

karena proses degeneratif. Pada proses penuaan, pada pria terjadi

peningkan hormone estrogen dan penurunan hormon testosteron. Hal ini

yang memicu terjadinya hiperplasia stroma pada prostat.

3. Interaksi antar sel struma dan sel epitel prostat peningkatan kadar

epidermal growth factor atau fibroblast growth factor dan penurunan

transforming growth factor beta menyebabkan hiperplasia stroma dan

epitel, sehingga akan terjadi BPH.

4. Berkurangnya kematian sel ( apoptosis )

Estrogen yang meningkat akan menyebabkan peningkatan lama hidup

stroma dan epitel dari kelenjar prostat.


5. Teori stem sel

Sel stem yang meningkat akan mengakibatkan proliferasi sel transit dan

memicu terjadi BPH.

Komplikasi

Menurut Widijanto G, (2011) komplikasi BPH meliputi :

a) Aterosclerosis

b) Infark jantung

c) Impoten

d) Haemoragik post operasi

e) Fistula

f) Struktur pasca operasi dan inconentia urin

g) Infeksi

Penatalaksanaan

Menurut (Haryono, 2012) penatalaksaan BPH meliputi :

1. Terapi medikamentosa

a. Penghambat adrenergik, misalnya prazosin, doxazosin, afluzosin.

b. Penghambat enzim, misalnya finasteride

c. Fitoterapi, misalnya eviprostat

2. Terapi bedah

Waktu penanganan untuk tiap pasien bervariasi tergantung beratnya gejala

dan komplikasi, adapun macam-macam tindakan bedah meliputi:

a. Prostatektomi
1) Prostatektomi suprapubis , adalah salah satu metode mengangkat kelenjar

melalui insisi abdomen yaitu suatu insisi yang di buat kedalam kandung

kemih dan kelenjar prostat diangkat dari atas.

2) Prostaktektomi perineal, adalah mengangkat kelenjar melalui suatu insisi

dalam perineum.

3) Prostatektomi retropubik, adalah suatu teknik yang lebih umum di banding

Pendekatan suprapubik dimana insisi abdomen lebih rendah mendekati

kelenjar prostat yaitu antara arkuspubis dan kandung kemih tanpa

memasuki kandung kemih.

b. Insisi prostat transurethral (TUIP)

Yaitu suatu prosedur menangani BPH dengan cara memasukkan instrumen

melalui uretra. Cara ini diindikasikan ketika kelenjar prostat berukuran kecil (30

gr / kurang) dan efektif dalam mengobati banyak kasus dalam BPH.

c. Transuretral Reseksi Prostat (TURP)

Adalah operasi pengangkatan jaringan prostat lewat uretra menggunakan

resektroskop dimana resektroskop merupakan endoskopi dengan tabung 10-3-F

untuk pembedahan uretra yang di lengkapi dengan alat pemotong dan counter

yang di sambungkan dengan arus listrik.


Pemeriksaan penunjang

Menurut Haryono, (2012) pemeriksaan penunjang BPH meliputi :

1. Pemeriksaan colok dubur Pemeriksaan colok dubur dapat memberikan

kesan keadaan tonus sfingter anus mukosa rectum kelainan lain seperti

benjolan dalam rectum dan prostat.

2. Ultrasonografi (USG) Digunakan untuk memeriksa konsistensi volume

dan besar prostat juga keadaan buli-buli termasuk residual urine.

3. Urinalisis dan kultur urine Pemeriksaan ini untuk menganalisa ada

tidaknya infeksi dan RBC (Red Blood Cell) dalam urine yang

memanifestasikan adanya pendarahan atau hematuria.

4. DPL (Deep Peritoneal Lavage) Pemeriksaan pendukung ini untuk melihat

ada tidaknya perdarahan internal dalam abdomen. Sampel yang di ambil

adalah cairan abdomen dan diperiksa jumlah sel darah merahnya.

5. Ureum, Elektrolit, dan serum kreatinin Pemeriksaan ini untuk menentukan

status fungsi ginjal. Hal ini sebagai data pendukung untuk mengetahui

penyakit komplikasi dari BPH.

6. PA(Patologi Anatomi)

Pemeriksaan ini dilakukan dengan sampel jaringan pasca operasi. Sampel

jaringan akan dilakukan pemeriksaan mikroskopis untuk mengetahui

apakah hanya bersifat benigna atau maligna sehingga akan menjadi

landasan untuk treatment selanjutnya.


Patofisiologi

Pertama kali BPH terjadi salah satunya karena faktor

bertambahnya usia, dimana terjadi perubahan keseimbangan testosterone,

esterogen, karena produksi testosterone menurun, produksi esterogen

meningkat dan terjadi konversi testosteron menjadi estrogen pada jaringan

adipose di perifer. Keadaan ini tergantung pada hormon testosteron, yang

di dalam sel-sel kelenjar prostat hormon ini akan dirubah menjadi

dehidrotestosteron (DHT) dengan bantuan enzim alfa reduktase.

Dehidrotestosteron inilah yang secara langsung memacu m-RNA di dalam

sel-sel kelenjar prostat untuk mensistesis protein sehingga mengakibatkan

kelenjar prostat mengalami hyperplasia yang akan meluas menuju

kandung kemih sehingga mempersempit saluran uretra prostatika dan

penyumbatan aliran urine. Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan

intravesikal. Untuk dapat smengeluarkan urin, buli-buli harus berkontraksi

lebih kuat guna melawan tahanan itu (Presti sJ, 2013). Kontraksi yang

terus-menerus ini menyebabkan perubahan anatomi dari buli-buli berupa

hipertrofi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sakula, dan

divertikel buli-buli. Fase penebalan otot detrusor ini disebut fase

kompensasi. Perubahan struktur pada buli-buli dirasakan oleh pasien

sebagai keluhan pada saluran kemih sebelah bawah atau lower urinary

tract symptom (LUTS) yang dahulu dikenal dengan gejala-gejala

prostatismus. Dengan semakin meningkatnya resistensi uretra, otot

detrusor masuk ke dalam fase dekompensasi dan akhirnya tidak mampu


lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensi urin. Retensi urine ini

diberikan obat-obatan non invasive tetapi obat-obatan ini membutuhkan

waktu yang lama, maka penanganan yang paling tepat adalah tindakan

pembedahan, salah satunya adalah TURP. (Joyce dkk, 2014)

TURP adalah suatu operasi pengangkatan jaringan prostat lewat uretra

menggunakan resektroskop, dimana resektroskop merupakan endoskop

dengan tabung 10-3-F untuk pembedahan uretra yang dilengkapi dengan

alat pemotongan dan counter yang disambungkan dengan arus listrik.

Trauma bekas resectocopy menstimulasi pada lokasi pembedahan

sehingga mengaktifkan suatu rangsangan saraf ke otak sebagai

konsekuensi munculnya sensasi nyeri. (Haryono, 2012)


Konsep Nyeri Akut
Definisi nyeri Akut
Nyeri akut adalah nyeri yang terjadi setelah cedera akut, penyakit

atau intervensi bedah dan memiliki awitan yang cepat, dengan intensitas

yang bervariasi ringan sampai berat dan berlangsung dalam waktu

beberapa detik hingga enam bulan. (Andarmoyo, 2013)

Penyebab nyeri Akut

Nyeri akut sebagian terbesar, di akibatkan oleh penyakit, radang,

atau injuri. Nyeri ini awalnya datang tiba-tiba dan biasanya. Nyeri akut

biasanya sejalan dengan terjadinya penyembuhan. Apabila nyeri akut tidak

diatasi secara adekuat mempunyai efek nyeri yang dapat membahayakan

diluar ketidaknyamanan yang disebabkannya seperti mempengaruhi

system pulmonary, kardiovaskuler, gastrointestinal, endokrin dan

imunologik.(Ardiansyah, 2012)

Klasifikasi nyeri akut

1. Nyeri berdasarkan lokasi atau sumber

a. Nyeri somatic supervisial (kulit)

b. Nyeri kulit berasal dari struktur-struktur super visial kulit dan jaringan

subkutis.

c. Nyeri somatic dalam mengacu kepada nyeri yang berasal dari otot

tendon, ligamentum, tulang, sendi dan arteri.

d. Nyeri visera mengacu kepada nyeri yang berasal dari organ-organ

tubuh.
e. Nyeri alih, nyeri berasal dari salah satu daerah di tubuh teapi dirasakan

terletak di daerah lain.

f. Nyeri neuropatik system syaraf secara normal menyalurkan rangsangan

yang merugikan dari system syaraf tepi (SST) ke system syaraf pusat

(SSP) menimbulkan nyeri.

2. Alat ukur Nyeri

a. Intensitas nyeri

Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri

yang dirasakan oleh individu. Pengukuran intensitas nyeri dengan

subjektif dan individu, dan kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama

dirasakan sangat-sangat berbeda oleh dua orang yang berbeda. Pengukuran

subjektif nyeri dapat dilakukan menggunakan :

1) Visual analoge scale (VAS).

Keterangan :

0-1 : Perasaan tidak nyeri

1-3 : Nyeri ringan.

4-7 :Nyeri sedang

7-9: Nyeri yang berat.


10 : Nyeri yang sangat hebat.

VAS adalah garis lurus sepanjang 10 cm, yang mewakili intensitas

nyeri yang terus menerus dan pendeskripsi verbal pada setiap ujungnya.

Ujung kiri menandakan “tidak ada nyeri ” dan ujung kanan menandakan

“nyeri yang paling buruk”. VAS merupakan pengukuran yang lebih

sensitive karena dapat mengidentifikasi setiap titik (Smeltzer dan Bare,

(2013) didalam Andarmoyo, 2013)

2) Skala Numerik

Mengandung nilai 1 – 10 yang bisa direpresentasikan dalam format verbal

maupun grafik. Klien harus diberikan penjelasan nilai terendah dan tertinggi dari

skor nyeri.

3. Nyeri berdasarkan karakteristik

Menurut Judha, (2012) yang terdiri dari : Provocate / Paliatif (P), penyebab

terjadinya nyeri dari klien, hal yang membuat nyerinya lebih baik, dalam hal ini

perlu dipertimbangkan bagian-bagian tubuh mana yang mengalami cedera

termasuk menghubungkan antara nyeri yang diderita dengan factor psikologisnya,


karena biasanya terjadinya nyeri hebat karena dari factor psikologis bukan dari

lukanya.

Quality(Q), kualitas nyeri merupakan sesuatu yang subyektif yang diungkapkan

oleh klien, seringkali klien mendiskripsikan nyeri dengan kalimat nyeri seperti

ditusuk, terbakar, sakit nyeri dalam atau superfisial, atau bahkan seperti di gencet.

Region(R), untuk mengkaji lokasi, tenaga kesehatan meminta penderita untuk

menunjukkan semua bagian / daerah yang dirasakan tidak nyaman. Untuk

melokalisasi lebih spesifik maka sebaiknya tenaga kesehatan meminta penderita

untuk menunjukkan daerah yang nyerinya minimal sampai kearah nyeri yang

sangat. Namun hal ini akan sulit dilakukan apabila nyeri yang dirasakan bersifat

menyebar atau difuse.

Severe(S), tingkat keparahan merupakan hal yang paling subyektif yang dirasakan

oleh penderita, karena akan diminta bagaimana kualitas nyeri, kualitas nyeri harus

bisa digambarkan menggunakan skala yang sifatnya kuantitas.

Time(T), tenaga kesehatan mengkaji tentang awitan, durasi dan rangkaian nyeri.

Perlu ditanyakan kapan mulai muncul adanya nyeri, berapa lama menderita,

seberapa sering untuk kambuh dll.

Penatalaksanaan nyeri pasca bedah

1. Farmakologis

a. Analgesik: yang diberikan pada pasien pasca bedah TUR-Prostat pada

umumnya menggunakan golongan non opioid Andarmoyo, (2013).

Golongan non opioid yang sering diberikan adalah acetaminophen atau


non steroidal anti-inflamantory drugs (NSAIDs) dan digunakan untuk

menghilangkan nyeri ringan atau sedang.

b. Terapi simptomatis : pemberian golongan reseptor alfa-adrenergik

inhibitor mampu merelaksasikan otot polos prostat dan saluran kemih akan

lebih terbuka. Obat golongan 5-alfa-reduktase inhibitor mampu

menurunkan kadar dehidrotestosteron intraprostat, sehingga dengan

turunnya kadar testosterone dalam plasma maka prostatakan mengecil.

(Prabowo Eko dan Pranata Eka, 2014)

2. Non farmakologis :

Banyak intervensi keperawatan nonfarmakologis yang dapat dilakukan

dengan mengkombinasikan pemberian analgesik dengan terapi

nonfarmakologis seperti distraksi dan relaksasi.

a. Relaksasi merupakan terapi perilaku-kognitif pada intervensi

nonfarmakologis yang dapat mengubah persepsi pasien tentang

nyeri, mengubah perilaku nyeri dan memberi pasien rasa

pengendalian yang lebih besar terhadap nyeri. Relaksasi akan

menimbulkan respon fisiologis seperti penurunan denyut nadi,

penurunan konsumsi oksigen, penurunan kecepatan pernapasan,

penurunan tekanan darah dan penurunan tegangan otot. Selain itu,

relaksasi akan berdampak terhadap respon psikologis yaitu

menurunkan stress, kecemasan, depresi dan penerimaan terhadap

kontrol nyeri pasca bedah.


b. Distraksi adalah mengalihkan perhatian klien ke hal yang lain

sehingga dapat menurunkan kewaspadaan terhadap nyeri bahkan

meningkatkan toleransi terhadap nyeri. (Prabowo Eko dan Pranata

Eka, 2014)

Konsep Asuhan Keperawatan Post Operasi BPH

Pengkajian

1. Anamnese :

a. Identitas : identitas digunakan untuk mengetahui klien yg mengalami BPH

yang sering dialami oleh laki –laki diatas umur 45 tahun.

b. Keluhan Utama : pada klien post operasi BPH biasanya muncul keluhan

nyeri, sehingga yang perlu dikaji untk meringankan nyeri (provocative/

paliative), rasa nyeri yang dirasakan (quality), keganasan/intensitas

(saverity) dan waktu serangan, lama, (time).

c. Riwayat penyakit sekarang: Keluhan yang sering dialami klien BPH

dengan istilah LUTS (Lower Urinary Tract Symtoms). Antara lain:

hesistansi, pancaran urin lemah, intermittensi, ada sisa urine pasca miksi,

frekuensi dan disuria (jika obstruksi meningkat).

d. Riwayat penyakit dahulu : tanyakan pada klien riwayat penyakit yang

pernah diderita, dikarenakan orang yang dulunya mengalami ISK dan faal

darah beresiko terjadinya penyulit pasca bedah.

2. Pemeriksaan fisik (Data Objektif)

a. Vital sign (tanda vital)

1) Pemeriksaan temperature dalam batas normal


2) Pada klien post operasi BPH mengalami peningatan RR

3) Pada klien post operasi BPH mengalami peningkatan nadi

4) Pada klien post operasi BPH mengalami peningkatan tekanan darah.

Pemeriksaan fisik ( head to toe )

1) Mata : lihat kelopak mata, konjungtiva (pucat atau tidak)

2) Mulut dan gigi : kaji bagaimana kebersihan rongga mulut dan bau mulut,

warna bibir (pucat atau kering), lidah (bersih atau kotor). Lihat jumlah

gigi, adanya karies gigi atau tidak.

3) Leher : Palpasi daerah leher untuk merasakan adanya massa pada kalenjar

tiroid, kalenjar limfe, dan trakea, kaji juga kemampuan menelan klien,

adanya peningkatan vena jugularis.

4) Dada : lihat bentuk dada, pergerakan dinding dada saat bernafas, apakah

ada suara nafas tambahan.

5) Abdomen

Menurut Purnomo, (2014) pemeriksaan abdomen meliputi:

a) Perkusi : Pada klien post operasi BPH dilakukan perkusi pada 9 regio

abdomen untuk mengetahui ada tidaknya residual urine

b) Palpasi : Teraba kistus di daerah suprasimfisis akibat retensi urin dan

sering dilakukan teknik bimanual untuk mengetahui adanya

hidronefrosis dan pyelonefrosis

6) Genetalia

a) Pada klien post operasi BPH terpasang treeway folley kateter dan

biasanya terjadi hematuria setelah tindakan pembedahan, sehingga


terdapat bekuan darah pada kateter. Dan dilakukan tindakan spolling

dengan Ns 0,9% / PZ, ini tergantung dari warna urine yang keluar. Bila

urine sudah jernih spolling dapat dihentikan dan pipa spolling di lepas.

(Jitowiyono, 2010)

b) Pada pemeriksaan penis, uretra dan skrotum tidak ditemukan adanya

kelainan, kecuali adanya penyakit penyerta seperti stenosis meatus,

striktur uretralis, urethralithiasis, Ca penis, maupun epididymitis.

c) Ekstermitas

Pada klien post opersi BPH perlu dikaji kekuatan otot dikarenakan

mengalami penurunan kekuatan otot.

Diagnosa Keperawatan

1. Nyeri akut berhubungan dengan agens cedera (biologis, zat kimia, fisik

dan psikologis)

2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d

3. Gangguan pola tidur b. perubahan status kesehatan

4. Resiko tinggi infeksi b.d pembedahan

Batasan karakteristik

Menurut Prabowo Eko dan Pranata Eka, (2014) batasan karakteristik meliputi:

1) Perubahan selera makan.

2) Perilaku distraksi

3) Gangguan tidur

4) Tekanan darah, frekuensi jantung, frekuensi pernapasan mengalami

peningkatan
5) Mengekspresikan perilaku nyeri

6) Melindungi area nyeri dan fokus menyempit (gangguan persepsi nyeri,

hambatan proses pikir, penurunan interaksi)

7) Melaporkan nyeri secara verbal

Faktor yang berhubungan

Agen cedera (biologis, kimiawi, fisik, psycohologis)

Intervensi nyeri akut pada klien post operasi BPH

Tabel intervensi keperawatan post operasi BPH (Beningn Prostatic Hypertrophy)

Tujuan Kritreria Hasil Intervensi Rasional


Diharapkan a) Skala nyeri berkurang 1) Kaji nyeri secara 1) Penilaian reguler

nyeri b) Tanda vital dalam komprehensif terhadap klien

berkurang rentang normal termasuk lokasi, sangat penting untuk

setelah TD:100-140 / 60-90 karakteristik, durasi, rencana manajemen

dilakukan mmHg frekuensi, kualitas dan nyeri.

tindakan N : 60-100x/menit faktor presipitasi. 2) Penilaian nyeri

keperawatan S : 36 -37,5 °C 2) Kaji skala nyeri dapat diandalkan

selama 3×24 RR: 16-24x/menit dengan pengkajian sebagai ukuran

jam. c) Dapat PQRST. tingkat intensitas

mengidentifikasi 3) Berikan klien posisi nyeri

(skala, intensitas, nyaman pada waktu 3) Imobilisasi sangat di

frekuensi dan tanda istirahat ataupun tidur. perlukan untuk

nyeri) ketika 4) Kaji tanda-tanda membatasi nyeri.

berlangsung pembengkakan pada 4) Mengkaji tanda


d) Mampu mengontrol daerah post operasi. pembengkakan

nyeri (tahu penyebab 5) Monitor tanda-tanda sangat penting untuk

nyeri, mampu vital. mengetahui ada

menggunakan teknik 6) Observasi reaksi non tidaknya infeksi.

nonfarmakologi verbal dari 5) Dengan memonitor

seperti teknik ketidaknyamanan dan tanda tanda vital

distraksi dan gunakan komunikasi dapat mengetahui

relaksasi, kompres terapeutik untuk perubahan

hangat, imajinasi mengetahui tandatanda vital

terbimbing, dan pengalaman nyeri klien untuk

hypnosis diri untuk klien. menentukan terapi

mengurangi nyeri, 7) Ajarkan teknik yang akan dilakukan

mencari bantuan) relaksasi seperti nafas selanjutnya

e) Melaporkan bahwa dalam dan tehnik 6) Informasi ini

nyeri berkurang distraksi seperti membantu untuk

dengan menggunakan menonton tv, mengidentifikasi

manajemen nyeri mendengarkan music, kemungkinan

f) Tidak terdapat atau hal kesukaan faktor-faktor yang

Gangguan konsentrasi klien untuk dapat

g) Klien tidak terbangun mengalihkan mempengaruhi

karena nyeri perhatian nyeri klien. intensitas nyeri

h) Wajah menjadi segar 8) Kontrol lingkungan 7) Strategi perilaku

dan tidak meringis yang dapat mandiri dapat


kesakitan mempengaruhi nyeri mengembalikan rasa

i) Tidak takut terjadinya seperti suhu ruangan, kontrol diri,

cidera pencahayaan dan kemanjuran pribadi,

kebisingan. dan pertanggung

9) Kolaborasi dengan jawaban aktif dalam

tim medis lain dalam perawatannya

pemberian analgesic. sendiri.

8) Salah satu Langkah

terpenting menuju

peningkatan kontrol

rasa sakit adalah

suasana tenang.

9) Bekerja sebagai anti

inflamasi dan efek

analgesic ringan

dalam mengurangi

kekakuan dan

meningkatkan

mobilitas

Implementasi Keperawatan

Implementasi merupakan tahap yang muncul jika perencanaan

yang dibuat diaplikasikan pada klien. Sebelum melakukan implementasi,


seharusnya menerima laporan tindakan dari perawat shift sebelumnya hal-

hal tersebut merupakan kunci dari efisiensi kerja pertukaran shift.

(Deswani., 2009)

Evaluasi Keperawatan

Evaluasi adalah tahap akhir dari proses keperawatan, pada tahap ini

membandingkan hasil tindakan yang telah dilakukan dengan kriteria hasil.

Evaluasi berfokus pada klien, baik itu individu ataupun kelompok

(Deswani., 2009). Evaluasi keperawatan pada post operasi BPH meliputi:

a) Skala nyeri berkurang.

b) Tanda vital dalam rentang normal :

TD : 100-140 / 60- 90 mmHg

N : 60-100x/menit

S : 36,5 -37,5 °C

RR : 16-24x/menit

c) Dapat mengidentifikasi (skala, intensitas, frekuensi dan tanda nyeri) ketika

berlangsung.

d) Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu menggunakan tehnik

nonfarmakologi seperti tehnik distraksi dan relaksasi, kompres hangat,

imajinasi terbimbing, dan hypnosis diri untuk mengurangi nyeri, mencari

bantuan).

e) Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen nyeri.

f) Tidak terdapat gangguan konsentrasi.


g) Menyatakan kenyamanan

h) Klien tidak terbangun karena nyeri.

i) Wajah menjadi segar dan tidak meringis kesakitan.

j) Tidak takut terjadinya cidera


DAFTAR PUSTAKA

Andarmoyo. (2013). Skala nyeri visual analog scale. In Salemba Medika. Salemba
Medika.
Andre, T. & E. (2011). Case Files Ilmu Bedah (Edisi 3). Karisma Publishing
Group.
Ardiansyah, M. (2012). Medikal Bedah Untuk Mahasiswa. DIVA Ekspres.
Ariani, D. W. (2010). Manajemen Operasi Jasa. Rineka Cipta.
Deswani. (2009). Proses keperawatan dan berpikir kritis. Salemba Medika.
Haryono, R. (2012). Keperawatan medical bedah system perkemihan. rapha
publishing.
Herdman, T. H. (2015). Diagnosa Keperawatan Definisi dan Klasifikasi 2015-
2016.
Jitowiyono, sugeng. (2010). Asuhan keperawatan post operas. Nuha Medika.
Joyce dkk. (2014). Medical Surgical Nursing vol 2. Salemba Medika.
Judha, M. (2012). Teori Pengukuran Nyeri dan nyeri persalinan. Nuha Medika.
Mangku G dkk. (2015). Buku Ajar Ilmu Anastesi dan reanimasi. Indeks.
Prabowo Eko dan Pranata Eka. (2014). Buku ajar asuhan keperawatan sistem
perkemihan. Nuha Medika.
Presti J, et al. (2013). Neoplasm of The Prostate Gland. The McGraw Hill
Compaines Inc.
Purnomo. (2014). Dasar-dasar Urologi. CV.Agung.
Sjamsuhidajat R, dkk. (2010). Buku Ajar Ilmu Bedah edisi 3.
Smeltzer dan Bare. (2013). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner dan
Suddarth edisi 8.
Suharyanto, toto. (2009). Asuhan Keperawatan Pada Klien dengan Gangguan
Sistem Perkemihan. Trans Info Me.
Widijanto G. (2011). Nursing: Menafsirkan Tanda-Tanda dan Gejala Penyakit.
PT Indeks Permata Puri Media.

Anda mungkin juga menyukai