Anda di halaman 1dari 16

PROPOSAL PENELITIAN

ANALISIS YURIDIS PENENTUAN LOCUS DELICTI DALAM TINDAK


PIDANA PENIPUAN DENGAN DUA KORBAN

(Studi Kasus di Reskrimum POLDA DIY)

DISUSUN OLEH:

Galih Tadhakara Yekti (19103040040)

Dosen Pembimbing:

Diky Faqih Maulana


BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan negara hukum. Hal ini disebutkan pada Pasal 1 ayat (3)

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Maka dari itu segala

perbuatan dan tingkah laku masyarakat di negara Indonesia diatur oleh hukum yang

berlaku. Sejalan dengan hal tersebut maka masyarakat di Negara Indonesia berhak

untuk mendapatkan keadilan dalam proses hukum yang dijalani. Pernyataan tersebut

dijelaskan pada Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun

1945 yang berbunyi “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan

kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”.

Di Indonesia terdapat beberapa bidang hukum, salah satunya adalah hukum

pidana. Hukum pidana sendiri termasuk ke dalam jenis hukum publik. Hukum publik

sendiri menurut Prof. Dr. Peter Mahmud Marzuki, S.H., M.Si., LLM adalah hukum
1
yang mengatur mengenai negara dan kepentingan masyarakat. Sedangkan hukum

pidana menurut Moeljatno adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu

negara yang mengadakan dasar-dasar dan mengatur ketentuan tentang perbuatan yang

tidak boleh dilakukan, dilarang yang disertai ancaman pidana bagi barang siapa yang

melakukan.2’ Hukum pidana di Indonesia dibagi menjadi 2 jenis, yakni pertama hukum

pidana formiil yaitu hukum yang mengatur tentang tata cara pelaksanaan hukum pidana

yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau biasa disebut
1
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Kencana 2018), hlm. 181.
2
Eddy O.S. Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, (Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka 2018), cet 5, hlm 3.
KUHAP. Kemudian kedua adalah hukum pidana materiil yaitu hukum yang mengatur

mengenai tindak pidana, pelaku, dan sanksi pidana yang diatur dalam Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana atau biasa disebut KUHP. Menurut Andi Hamzah tujuan dari

hukum acara pidana yang diatur dalam KUHAP adalah untuk mencari dan mendapatkan

atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, kebenaran yang selengkap-

lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara

pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat

didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta

pemeriksaan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu

tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwakan itu dapat

dipersalahkan.3

KUHAP pada dasarnya merupakan tata cara penegakan hukum di Indonesia

mulai dari proses penyidikan, penyelidikan, penuntutan, pemeriksaan sidang

pengadilan, dan pengawasan putusan pengadilan. Setelah selesai melakukan proses-

proses tersebut maka di akhir akan keluar putusan pidana sebagaimana diatur pada Pasal

182 KUHAP Ayat (1) yang berbunyi “yang dimulai dari penuntutan, pembelaan, dan

jawaban telah berakhir, tibalah hakim menyatakan “pemeriksaan dinyatakan ditutup”.

Setiap putusan pidana yang dikeluarkan di Indonesia haruslah berdasar pada KUHAP. 4

Dalam putusan akhir (vonis), hakim yang bertugas menangani suatu kasus pidana harus

memberikan pendapatnya tentang jalannya persidangan mulai dari proses penuntutan,

pembuktian sampai putusan akhir yang kemudian dijadikan tumpuan oleh para pencari

keadilan. Putusan hakim merupakan alur terakhir dalam proses peradilan. Dalam

3
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2016), ed 2, cet 10, hlm. 8.
4
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP, (Jakarta:Sinar Grafika, 2016),
ed 2, cet 5,hlm. 347.
KUHAP diatur tata cara hakim dalam menentukan putusan pidana. Putusan hakim

sendiri dijelaskan pada Pasal 1 angka 11 KUHAP yaitu “Putusan pengadilan adalah

pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa

pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut

cara yang diatur dalam undang-undang ini”. Sedangkan menurut Leden Marpaung

adalah hasil atau kesimpulan dari sesuatu yang telah dipertimbangkan dan dinilai

dengan semasak-masaknya yang dapat berbentuk tertulis maupun lisan.5 Andi hamzah

berpendapat bahwa setiap keputusan yang dijatuhi oleh hakim memiliki tiga

kemungkinan yakni:

1. Pemidanaan atau penjatuhan pidana dan/atau tata tertib;

2. Putusan bebas; dan

3. Putusan lepas dari segala tuntutan hukum.6

Hakim dalam membuat keputusan dituntut untuk cermat dalam menganalisa

fakta-fakta yang ada dalam persidangan dan harus mempertimbangan seluruh aspek

yang ada agar tidak terjadi kelalaian yang dilakukan oleh hakim itu sendiri ketika

membuat keputusan. Hal ini disebabkan karena jika hakim tidak membuat keputusan

secara hati-hati dan tidak cermat dalam mempertimbangkan segala aspek termasuk di

dalamnya bersifat formiil atau materiil maka akan menyebabkan keputusan tersebut

batal demi hukum.

Tindak pidana penipuan sendiri diatur dalam KUHP Buku II bab XXV

mengenai kejahatan pada Pasal 378 yang berbunyi “Barang siapa dengan maksud untuk

menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai

5
Ibid, hlm. 202.
6
Andi hamzah, Op. Cit, hlm. 285
nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan,

menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya

memberi hutang rnaupun menghapuskan piutang diancam karena penipuan dengan

pidana penjara paling lama empat tahun”.

Locus Delicti merupakan tempat terjadinya suatu delik (tindak pidana). Menurut

E. Utrecht, dimanakah sesuatu delik dilakukan menjadi paling penting untuk diketahui

karena dua sebab, yaitu:

1. Mementukan berlakunya undang-undang pidana nasional dalam hal konkrit

2. Menyelesaikan kompetensi relatif7

Dalam penentuan Locus Delicti tidak diatur dalam KUHP.8 Namun, dalam ilmu

hukum pidana bersama-sama dengan yurisprudensi dibuat beberapa teori untuk

menyelesaikan masalah penentuan Locus Delicti ini yaitu: 9

1. Teori perbuatan materil

Menurut teori perbuatan materil (leer van de lichamelijke lichamelijke daad),

locus delicti ialah tempat dimana pembuat melakukan segala yang kemudian

dapat mengakibatkan delik yang bersangkutan.

2. Teori alat yang dipergunakan

Menurut teori alat yang dipergunakan (leer van het instrument), delik

dilakukan di tempat dimana alat yang dipergunakan itu menyelesaikannya.

3. Teori akibat

Menurut teori akibat (leer van het gevolg), locus delicti adalah tempat

7
E Utrecht, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana, (Surabaya: Pustaka Tinta Mas, 2000), hlm.233.
8
Andi Hamzah, KUHP & KUHAP, (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), hlm. 288.
9
Leden Marpaung, Asas, Teori, Praktik Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hlm. 166.
dimana timbulnya akibat dari delik yang dilakukan.

4. Teori lebih dari satu tempat

Teori lebih dari satu tempat (leer van meervoudig plaats) menggabungkan

tiga teori sebelumnya.

Teori mana diantara teori-teori di atas yang dapat dipilih, tergantung pada sifat

dan corak perkara kongkrit yang hendak kita selesaikan.

Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk mengkaji Perkara Pidana

Penipuan di Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor:

B/981/IX/WAS.2./2021/Ditreskrimum dengan terlapor bernama WN, dimana terlapor

melakukan penipuan terhadap 2 korban sekaligus. Hal yang menarik untuk dikaji

dalam perkara ini adalah karena adanya perbedaan locus delicti yaitu korban pertama

berlokasi di Bantul dan korban kedua di wonosari dimana kedua locus tersebut

dibawah naungan Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta(Selanjutnya disebut

POLDA DIY). Uniknya, tingkatan POLDA hanya menyelesaikan penipuan yang

nominalnya lebih dari Rp50.000.000, sedangkan kedua korban mengalami kerugian

di bawah Rp50.000.000. Maka dari itu perkara penipuan ini dilimpahkan ke tingkatan

lebih rendah yaitu Kepolisian Resort(Selanjutnya disebut POLRES). Namun karena

perbedaan lokasi korban di tingkatan POLRES maka akan terjadi perbedaan tempat

mengusut perkara tersebut.

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, dalam hal ini penulis sangat tertarik untuk

menganalisanya dalam karya ilmiah dengan judul “ ANALISIS YURIDIS PENENTUAN

LOCUS DELICTI DALAM TINDAK PIDANA PENIPUAN DENGAN DUA

KORBAN” di POLDA DIY.


I.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan

sebagai berikut:

1. Apakah terlapor telah memenuhi unsur-unsur penipuan dalam pasal 378

KUH Pidana jika ditinjau dari kronologi berdasarkan laporan perkara

Nomor: B/981/IX/WAS.2./2021/Ditreskrimum?

2. Bagaimana pihak kepolisian mementukan locus delicti dalam penanganan

perkara pidana dengan dua korban yang berbeda locus delicti?

I.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan penelitian, tujuan penelitian dapat dirumuskan sebagai

berikut:

1. Mengetahui dan memahami perbuatan terlapor dalam perkara Nomor:

B/981/IX/WAS.2./2021/Ditreskrimum apakah memenuhi unsur-unsur dalam

tindak pidana penipuan.

2. Mengetahui dan memahami cara kepolisian menentukan locus delicti dalam

tindak pidana penipuan dengan dua korban yang berbeda locus.

I.4 Manfaat Penelitian

1. Aspek Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan

mengenai penentuan locus deliti oleh kepolisian ketika ada tindak pidana

penipuan dengan dua korban yang berbeda locus, serta juga diharapkan sebagai
sarana pengembangan ilmu pengetahuan yang secara teoritis dipelajari di bangku

perkuliahan. 

2. Aspek Praktis

a. Bagi penulis penelitian ini harapannya dapat menjadi sarana yang bermanfaat

dalam mengimplementasikan pengetahuan penulis terkait penentuan locus

delicti oleh kepolisian ketika ada tindak pidana penipuan dengan dua korban

yang berbeda locus.

b. Bagi peneliti, harapannya penelitian ini dapat memberikan kontribusi dalam

pengembangan teori mengenai penentuan locus delicti oleh kepolisian ketika

ada tindak pidana penipuan dengan dua korban yang berbeda locus.

I.5 Literatur Review/Telaah Pustaka

Pertama, Skipsi yang ditulis oleh Akbar Maulana yang berjudul Analisis Yuridis

Tindak Pidana Penggelapan dan Penipuan Serta Penjatuhan Pidananya (Putusan PN

Sumedang Nomor 306/Pid.B/2017/PN.Smd). Dalam skripsi ini penulis membahas

tentang analisis terhadap putusan pidana di Pengadilan Negeri Sumedang tentang tindak

pidana Penggelapan dan penipuan serta penjatuhan pidananya. Hasil dari penelitian ini

adalah putusan hakim di Pengadilan Negeri Sumedang Nomor :

306/Pid.B/2017/PN.Smd yang menyatakan terdakwa terbukti bersalah melakukan

tindak pidana penggelapan yang diatur pada Pasal 372 KUHP tidak sesuai dengan fakta-

fakta yang ada dalam persidangan.

Perbuatan terdakwa sejak awal terlihat menggerakkan korban dengan melakukan sebuah

upaya secara melawan hukum yaitu maratabat palsu, rangkaian kebohongan, dan tipu

muslihat agar korban menyerahkan uang kepada terdakwa dan tindakan terdakwa

terbukti dengan alat bukti dipersidangan. Unsur tidak melawan hukum tidak terpenuhi
maka terdakwa secara sah terbukti melanggar Pasal 378 KUHP yaitu tentang Penipuan.

Kemudian putusan hakim yang memutus pidana penjara selama 10 tahun kepada korban

tidak tepat karena melebihi ketentuan ancaman pidana dari Pasal 372 KUHP, dimana

dalam ancaman pidana Pasal 372 KUHP paling lama empat tahun yang bertentangan

dengan asas legalitas, dan asas keadilan bagi terdakwa. 10

Kedua, Skipsi yang ditulis oleh Martini Puji Astuti yang berjudul Penentuan

Tempus dan Locus Delicti dalam Kejahatan Cyber Crime (Studi Kasus di Reskrimsus

POLDA Jateng). Dalam skripsi ini penulis membahas tentang penentuan Tempus dan

Locus Delicti dalam kejahatan Cyber Crime yang ada di Kepolisian Daerah Jawa

Tengah. Hasil dari penelitian ini adalah dalam menentukan tempus dan locus delicti

dalam kejahatan cyber crime dengan kejahatan biasa sama, perbedaannya hanya pada

media yang digunakan dalam mengakses kejahatan tersebut menggunakan internet.

Penentuan tempus dan locus delicti dalam pidana menggunakan empat teori, yaitu :

a. Teori perbuatan materiil (de leer van de lichamelijke daad)

b. Teori akibat (de leer van het gevolg)

c. Teori instrumen (de leer van het instrument)

d. Teori gabungan (de leer van de meervoudige pleets)

Penegak hukum dalam menentukan tempus dan locus delicti menggunakan keempat

teori di atas, namun lebih banyak menggunakan teori perbuatan materiil dan teori

akibat. Sehingga dalam penentuan tempat dan waktu tindak pidana cyber crime tersebut

dapat ditentukan dengan pasti.

10
Akbar Maulana, Skripsi,”Analisis Yuridis Tindak PIdana Penggelapan dan Penipuan Serta Penjatuhan
Pidananya (Putusan PN Sumedang Nomor 306/Pid.B/2017/PN.Smd).”(Jember: Universitas Jember,
2017), Hal. 52.
Kemudian, pengaturan mengenai pengadilan negeri mana yang berhak mengadili

cyber crime sudah diatur dalam Pasal 84 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang

KUHAP yaitu bahwa pengadilan negeri berwenang mengadili segala perkara mengenai

tindak pidana yang dilakukan di daerah hukumnya dan pengadilan negeri yang dalam

daerah hukumnya terdakwa bertempat tinggal, berdiam terakhir, di tempat ia ditemukan

dan ditahan, dan sebagian besar tempat kediaman saksi-saksi. Jadi, pada dasarnya tidak

diatur secara khusus mengenai jenis tindak pidana apa yang dilakukan. Pengadilan

negeri dimana daerah tindak pidana tersebut merupakan daerah hukumnya berhak

mengadili semua tindak pidana, baik cyber crime maupun tindak pidana konvensional.11

Ketiga, Jurnal yang ditullis oleh Rahmawati yang berjudul Penentuan Tempus dan

Locus Delicti dalam Cyber Crime. Dalam skripsi ini penulis membahas tentang

penentuan Tempus dan Locus Delicti dalam kejahatan Cyber Crime. Hasil dari

penelitian ini adalah dalam penentuan locus delicti menggunakan teori-teori pidana

yaitu :

1. Teori perbuatan materiil, yaitu Tempat tindak pidana ditantukan oleh pembuat

jasmaniah yang dilakukan oleh si pembuat dalam mewujudkan tindak pidana.

2. Teori instrument (alat), yaitu dalam teori ini tempat terjadinya delik ialah tempat

bekerjanya alat yang dipakai si pembuat.

3. Teori akibat, yaitu teori ini ukurannya adalah berpatok pada tempat terjadinya

akibat tersebut terjadi.

Kemudian ada teori lain juga dalam penentuan locus delicti pada tindak pidana

cyber crime, diantaranya:

1. Teori tempat dimana kejahatan itu dilakukan

11
Martini Puji Astuti, Skripsi,“Penentuan Tempus dan Locus Delicti dalam Kejahatan Cyber Crime(Studi
Kasus di Resrimsus POLDA Jateng).”(Semarang: UNNES, 2013), Hal. 78-79.
2. Teori dimana akibat tersebut ditimbulkan

3. Teori alat yang dipergunakan dalam melakukan kejahatan tersebut12

Sedangkan dalam penentuan locus dan tempus delicti pada pengadilan diatur dengan

kekuasaan dalam mengadili. Kekuasaan dalam mengadili ada dua hal, yang biasa

disebut dengan kompetensi yaitu yang pertama kompetensi relatif yakni kewenangan

wilayah hukum suatu Pengadilan Negara untuk mengadili suatu perkara pidana, kata

lain Pengadilan Negara mana yang berwenang mengadili suatu peristiwa pidana,

sedangkan yang kedua kompetensi absolut yaitu kewenangan pengadilan untuk

mengadili perkara berdasarkan atas tingkatan pengadilan lain. Dalam penentuan suatu

pengadilan, jaksa penuntut umum melihat dari domisili si pelaku, dan banyaknya saksi

yang ada untuk mempermudah dalam proses peradilan nantinya. Di dalam peraturan

perundang-undangan sendiri, pengaturan tempus dan locus delicti tidak diatur dalam

KUHAP maupun KUHP, karena dalam KUHAP hanya mengatur sebagai berikut pada

pasal 84:

1. Pengadilan Negeri berwenang mengadili segala perkara mengenai tindak pidana

yang dilakukan dalam daerah hukumya.

2. Pengadilan Negeri yang di dalam daerah hukumnya terdakwa bertempat tinggal,

berdiam terakhir, di tempat ia diketemukan atau ditahan, hanya berwenang

mengadili perkara terdakwa tersebut, apabila tempat kediaman sebagian besar

saksi yang dipanggil lebih dekat pada tempat Pengadilan negeri itu daripada

tempat kedudukan Pengadilan Negeri yang di dalam daerahnya tindak pidana itu

dilakukan.

12
Rahmawati, “Penentuan Locus dan Tempus Delicti dalam Cyber Crime”, Sol Justicia, Vol.3 No. 1 (Juni
2020), hlm. 97.
3. Apabila seorang terdakwa melakukan bebebrapa tindak pidana dalam daerah

hukum Pengadilan Negeri, maka tiap Pengadilan Negeri itu masing-masing

berwenang mengadili perkara pidana itu.

4. Terhadap beberapa perkara pidana yang satu sama lain ada sangkut pautnya dan

dilakukan oleh seorang dalam daerah hukum berbagai Pengadilan Negeri, diadili

oleh masing-masing Pengadilan Negeri dengan ketentuan dibuka kemungkinan

penggabungan perkara tersebut”.13

I.6 Kerangka Teori

Kerangka teori merupakan abstraksi dari hasil pemikiran yang digunakan

sebagai acuan dasar dalam membuat penelitian karya ilmiah. Kerangka teori yang

digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Teori Penegakan Hukum

Penegakan hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide

keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan sosial menjadi kenyataan.

Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya tegaknya atau

berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman pelaku dalam

lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan

bernegara14

2. Teori Tindak Pidana

Negara Indonesia, seperti yang kita ketahui bersama sampai saat ini belum

memiliki produk hukum nasional hasil karya bangsa sendiri dalam pengaturan

masalah hukum pidana. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (disingkat

menjadi KUHP) yang ada di Indonesia saat ini berasal dari Hindia Belanda yaitu
13
Rahmawati, “Penentuan Locus dan Tempus Delicti dalam Cyber Crime”, Sol Justicia, Vol.3 No. 1 (Juni
2020), hlm. 101-102.
14
Dellyana,Shant, 1988, Konsep Penegakan Hukum. Liberty, Yogyakarta, hlm. 32.
Wetboek van Straafrecht (WvS) yang aslinya berbahasa Belanda lalu kemudian

diartikan. Oleh karena itu, masih banyak perbedaan penafsiran istilah antara para

sarjana hukum.

Delik atau Straafbafeit dalam bahasa Belanda adalah salah satu contoh

istilah yang memiliki banyak perbedaan pendapat antara para sarjana hukum di

Indonesia, diantaranya:

a. Moeljatno, menerjemahkan dengan istilah pembuatan pidana.

b. Tresna dan E. Utrecht menterjemahkan dengan istilah pidana.

c. Roeslan Saleh, menterjemahkan dengan istilah sifat melawan hukum

dari pada perbuatan pidana.

d. Soedarto menggunakan istilah tindak pidana dengan alasan sudah

mempunyai penilaian sosial, ternyata dalam perundang-undangan

pidana di Indonesia telah dipakai istilah tindak pidana.15

Berdasarkan beberapa pendapat sarjana hukum di atas, staarbaarfeit

dipahami sebagai tindak pidana atau pembuatan pidana. Sedangkan dalam

pengertian ilmu hukum, straafbaarfeit dipahami dengan hanya menyangkut

perbuatan manusia (menselifke handeling) dengan pengertian bahwa handeling

dapat berarti perbuatan manusia yang aktif dan pasif, yaitu berbuat sesuatu dan

tidak berbuat sesuatu.

3. Tindak Pidana Penipuan

Tindak pidana penipuan adalah suatu kejahatan terhadap harta benda. Tindak

pidana penipuan sendiri diatur dalam Bab XXV tentang Perbuatan Curang Pasal

378 sampai 395 KUHP. Penipuan sendiri jika menurut Pasal 378 KUHP adalah

sebagai berikut:
15
Soemitro dkk, BPK Hukum Pidana. UNS Press. Surakarta. 1996. Hlm. 47-48.
“Barang siapa dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang

lain secara melawan hukum dengan memakai nama palsu atau martabat

palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan,

menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya,

atau supaya memberi utang maupun menghapuskan piutang, diancam

karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun”

I.7 Metode Penelitian

Metode penelitian merupakan hal penting dalam pembuatan suatu karya ilmiah

agar pengkajian terhadap objek studi dapat dilakukan dengan baik dan optimal.

Pemilihan metode penelitian yang tepat merupakan kunci untuk menghasilkan karya

tulis yang dengan hasil ilmiah.

Dalam tulisan ini, penulis menggunakan metode penelitian normatif yang

menggunakan jenis penelitian deskriptif dengan pendekatan yuridis sosiologis yaitu

pendekatan yang menggunakan asas dan prinsip hukum dalam meninjau, melihat, dan

menganalisa masalah yang terjadi dan dapat menggambarkan atau menjelaskan gejala

atau peristiwa hukum dengan tepat dan jelas. Sifat penelitian dalam tulisan ini

menggunakan sifat kualitatif.

Sumber data merupakan hal yang penting dalam penelitian ilmiah untuk

memperoleh data yang lengkap, benar, dan dapat dipertanggungjawabkan. Sumber data

yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

a. Data primer sebagai data utama


Sumber data primer merupakan sumber data yang langsung memberikan

data kepada pengumpul data dengan cara mengumpulkan data secara

langsung kepada pihak-pihak yang mengetahui persis masalah yang akan

dibahas. Jadi, data primer diperoleh dari data di lapangan atau dari penelitian

di masyarakat, disamping informan dan responden, juga berupa data-data

hasil penelitian yang diperoleh di lapangan.

b. Data sekunder sebagai data pendukung

Sumber data sekunder merupakan sumber data yang tidak langsung memberikan

kepada pengumpul data. Sumber data sekunder terdiri dari 3 bahan hukum,

yaitu:

1) Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang bersifat mengikat

berupa peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2) Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang sifatnya

menjelaskan bahan hukum primer yang berbentuk literatur seperti

buku, jurnal hukum, kesimpulan para ahli hukum, atau kasus-kasus

hukum yang pernah terjadi.

3) Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang digunakan sebagai

pelengkap kedua bahan hukum di atas yang berupa kamus hukum

dan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).

Metode pengumpulan data yang digunakan penulis ada 2 macam yaitu studi

kepustakaan dan wawancara. Studi kepustakaan merupakan penelaahan bahan-bahan

kepustakaan dengan cara membaca dan mencatat literatur-literatur terkait. Sedangkan

wawancara sendiri memiliki pengertian percakapan dengan maksud tertentu yang

dilakukan oleh dua pihak yaitu pewawancara sebagai pihak yang mengajukan
pertanyaan dan yang diwawancarai sebagai pihak yang memberikan jawaban atas

pertanyaan itu. -Wawancara dilakukan secara langsung kepada pihak-pihak terkait dan

berwenang memberikan informasi yakni kepolisian khususnya di Reskrimum POLDA

Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).

Anda mungkin juga menyukai