Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sebagai mahluk sosial manusia selalu berhubungan dengan manusia lainnya. Interaksi
yang terjalin dalam komunikasi tersebut tidak hanya berdimensi kemanusiaan dan sosial budaya,
namun juga menyangkut aspek hukum, termasuk perdata. Naluri untuk mempertahankan diri,
keluarga dan kepentingannya membuat manusia berfikir untuk mengatur hubungan usaha bisnis
mereka ke dalam sebuah perjanjian.1

Salah satu bidang hukum yang mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang dimiliki
pada subyek hukum dan hubungan antara subyek hukum. Hukum perdata disebut pula hukum
privat atau hukum sipil sebagai lawan dari hukum publik. Maka hukum perdata mengatur
hubungan antara penduduk atau warga negara sehari-hari, seperti misalnya kedewasaan
seseorang, perkawinan, perceraian, kematian, pewarisan, harta benda, perjanjian, kegiatan usaha
dan tindakan-tindakan yang bersifat perdata lainnya.

B. Rumusan Masalah

Dari Uraian diatas dapat diambil beberapa rumusan masalah sebagai berikut :

1. Hubungan antara perikatan dan perjanjian

2. Macam-macam perikatan

3. Sistem Terbuka dan Asas Konsensualitas dalam Hukum Perjanjian

4. Syarat-syarat sah nya Perjanjian

5. Batalnya Suatu Perjanjian.

BAB II

1
Mashudi, 1995, Bab-bab Hukum Perikatan, Bandung: Mandar Maju. Hal 96
1
PEMBAHASAN

A. Hubungan antara Perikatan dan Perjanjian

Perikatan adalah suatu Hubungan Hukum, antara dua orang atau dua pihak atau lebih,
berdasarkan mana pihak yang satu berhak menunutut sesuatu hal dari pihak yang lain dan pihak
yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut.

Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji pada seorang lain atau dimana
dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Peristiwa perjanjian tersebut
timbul dari suatu hubungan yang dinamakan perikatan.2

Dalam Pasal 1313 KUHPerdata, perjanjian adalah suatu perbuatan di mana satu orang
atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih. Pengertian ini mengundang kritik
dari banyak ahli hukum, karena menimbulkan penafsiran bahwa perjanjian tersebut yang bersifat
sepihak, padahal dalam perjanjian harus terdapat interaksi aktif yang bersifat timbal balik di
kedua belah pihak untuk melaksanakan hak dan kewajiban masing-masing. Untuk itu secara
sederhana perjanjian dapat dirumuskan sebagai sebuah perbuatan dimana kedua belah pihak
sepakat untuk saling mengikatkan diri satu sama lain.

Atau lebih singkatnya, menurut pasal 1313 KUHPer perjanjian adalah suatu perbuatan
dengan mana satu orang atau lebih lainnya. Sedangkan sumber dari perikatan adalah
perjanjian.Sumber-sumber perikatan berdasarkan pasal 1233 KUHPerdata adalah :

1. Perjanjian (pasal 1314 KUHPerdata)

2. Undang-Undang

Perbedaan antara perikatan dan perjanjian adalah bahwa perikatan adalah suatu
pengertian yang abstrak sedangkan perjanjian adlah suatu yang kongkrit dan merupakan suatu
peristiwa. Perikatan yang lahir dari perjanjian memang dikehendaki oleh 2 (dua) pihak yang
membuat suatu perjanjian, sedangkan perikatan yang lahir dari undang-undang diadakan oleh
undang-undang diluar kemauan para pihak yang bersangkutan.

2
Mashudi, 1995, Bab-bab Hukum Perikatan, Bandung: Mandar Maju. Hal 98
2
B. Macam-macam Perikatan3

a. Perikatan Bersyarat

Perikatan bersyarat adalah suatu perikatan yang digantungkan pada suatu kejadian
dikemudian hari, yang masih belum tentu akan akan atau tidak terjadi. Dari pengertian ini dapat
diambil dua kemungkinan :

Pertama, mungkin untuk memperjanjikan, bahwa perikatan itu barulah akan lahir, apabila
kejadian yang belum tentu timbul.

Kedua, mungkin untuk memperjanjikan, bahwa suatu perikatan yang sudah akan berlaku,
akan dibatalkan apabila kejadian yang belum tentu itu timbul.4

b. Perikatan yang digantungkan pada suatu ketetapan waktu

Bedanya dengan perikatan dengan suatu syarat adalah yang pertama berupa suatu
kejadian atau peristiwa yang belum tentu atau tidak akan terlaksana, sedangkan yang kedua
adalah suatu hal yang pasti akan datang, meskipun mungkin belum dapat ditentukan kapan
datangnya.5 Seperti perjanjian perburuhan, suatu hutang wesel yang dapat ditagih suatu waktu
setelahnya dipertunjukkan dan lain sebagainya.

c. Perikatan Yang membolehkan Memilih (alternatif)

Perikatan alternative adalah suatu perikatan dimana debitur berkewajiban melaksanakan


satu dari dua atau lebih prestasi yang dipilih baik menurut pilihan debitur, kreditur atau pihak
ketiga, dengan pengertian bahwa pelaksanaan daripada salah satu prestasi mengakhiri perikatan6

d. Perikatan Tanggung Menanggung (hoofdelijk atau solidair)

Ini adalah suatu perikatan dimana beberapa orang bersama-sama sebagai pihak yang
berhutang berhadapan dengan satu orang yang menghutangkan, atau sebaliknya. Beberapa orang

3
Ibid, hlm : 101
4
Subekti, 2003, Pokok-pokok hukum Perdata, Jakarta : PT Intermasa. hal: 78
5
Ibid, hal: 82
6
Mashudi, 1995, Bab-bab Hukum Perikatan, Bandung: Mandar Maju. Hal: 112
3
sama-sama berhak menagih suatu piutang dari satu orang. Tetapi perikatan semacam yang
belakangan ini, sedikit sekali terdapat dalam praktek.7

Suatu perikatan adalah solider atau tanggung renteng jika berdasrkan kehendak para
pihak atau ketentuan UU :

 setiap debitur dari dua atau lebih kreditur-kreditur dapat menuntut keseluruhan
prestasi dari debitur dengan pengertian pemenuhan terhadap seorang kreditur
membebaskan debitur dari kreditur-kreditur lainnya (tanggung renteng aktif)8.

 Setiap debitur dari dua atau lebih debitur-debitur berkewajiban terhadap kreditur
ats keseluruhan prestasi. Dengan dipenuhinya prestasi oleh salah seorang debitur,
membebaskan debitur-debitur lainnya(tanggung renteng pasif)9

e. Perikatan yang dapat dibagi dan yang tidak dapat dibagi (Pasal 1296-1303
KUHPerdata)

Apakah suatu perikatan dapat dibagi atau tidak, tergantung pada kemungkinan tidaknya
membagi prestasi. Pada hakekatnya tergantung pula dari kehendak atau maksud dari kedua belah
pihak

f. Perikatan dengan penetapan hukuman (strafbeding) diatur dalam pasal 1304

C. Sistem Terbuka dan Asas Konsensualitas dalam Hukum Perjanjian

Sistem terbuka dan asas konsensualitas merupakan salah satu asas dalam perjanjian yang
sifatnya sangat penting sebagai pegangan dalam tata pelaksanaan perikatan. sistem terbuka (open
system), setiap orang boleh mengadakan perjanjian apa saja, walaupun belum atau tidak diatur
dalam undang-undang. Atau sering disebut asas kebebasan bertindak. Asas ini dapat disimpulkan
dari Pasal 1338 KUH Perdata yang menerangkan bahwa segala perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

7
Ibid, hal: 115
8
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, 1995. Jakarta: PT Pradnya Paramita. hal: 160

9
Ibid, hal: 163
4
Sebenarnya yang dimaksudkan oleh pasal tersebut tidak lain dari pernyataan bahwa
setiap perjanjian mengikat kedua belah pihak. Dan dari pasal tersebut dapat ditarik kesimpulan
bahwa oarng leluasa membuat perjanjian apa saja asal tidak melanggar ketertiban umum atau
kesusilaan. Bersifat konsensual, artinya perjanjian itu terjadi sejak adanya kata sepakat antara
pihak-pihak.

Lebih singkatnya, Sistem terbuka adalah bahwa “ Dalam membuat perjanjian para pihak
diperkenankan untuk menentukan isi dari perjanjian sebagai Undang-Undang bagi mereka
sendiri. sedangkan Asas Konsensualitas adalah bahwa perjanjian tersebut lahir pada saat
tercapainya kata sepakat antara para pihak mengenai hal-hal yang pokok dan tidak memerlukan
sesuatu formalitas. Asas Konsensualisme dapat disimpulkan dalam pasal 1320 BW “

Asas konsensualitas, Maksud dari asas ini ialah bahwa suatu perjanjian cukup ada suatu
kata sepakat dari mereka yang membuat perjanjian tanpa diikuti oleh perbuatan hukum lain,
kecuali perjanjian yang bersifat formil. Ini jelas sekali terlihat pada syarat-syarat sahnya suatu
perjanjian dimana harus ada kata sepakat dari mereka yang membuat perjanjian (Pasal 1320
KUH Perdata).

Perjanjian itu sudah ada dalam arti telah mempunyai akibat hukum atau sudah mengikat
sejak tercapainya kata sepakat. Sedangkan dalam pasal 1329 KUH Perdata tidak disebutkan
suatu formalitas tertentu di samping kata sepakat yang telah tercapai itu, maka disimpulkan
bahwa setiap perjanjian itu adalah sah. Artinya mengikat apabila sudah tercapai kata sepakat
mengenai hal-hal pokok dari apa yang diperjanjikan.

Terhadap asas konsensualitas ini terdapat pengecualian yaitu apabila ditentukan suatu
formalitas tertentu untuk beberapa macam perjanjian dengan ancaman batal apabila tidak
dipenuhi formalitas tersebut, misalnya perjanjian penghibahan, perjanjian mengenai benda tidak
bergerak.

D. Syarat-syarat sah nya Perjanjian

Perjanjian yang sah artinya perjanjian yang memenuhi syarat yang telah ditentukan oleh
undang- undang, sehingga ia diakui oleh hukum (legally concluded contract). Berdasarkan pasal

5
1320 Kitap Undang-Undang Hukum Perdata, terdapat 4 syarat suatu perjanjian dinyatakan sah
secara hukum yaitu:

1. Adanya kesepakatan untuk mengikatkan diri

Bahwa semua pihak menyetujui materi yang diperjanjikan, tidak ada paksaan atau
dibawah tekanan.

2. Para pihak mampu membuat suatu perjanjian

Kata mampu dalam hal ini adalah bahwa para pihak telah dewasa, tidak dibawah
pengawasan karena prerilaku yang tidak stabil dan bukan orang-orang yang dalam undang-
undang dilarang membuat suatu perjanjian tertentu.

3. Ada hal yang diperjanjikan

Perjanjian yang dilakukan menyangkut obyek/hal yang jelas.

4. Dilakukan atas sebab yang halal

Adalah bahwa perjanjian dilakukan dengan itikad baik bukan ditujukan untuk suatu
kejahatan. Suatu sebab dikatakan halal apabila sesuai dengan ketentuan pasal 1337 KUHPer,
yaitu:

 Tidak bertentangan dengan ketertiban umum.

 Tidak bertentangan dengan kesusilaan

 Tidak bertentangan dengan undang-undang

Dua syarat pertama disebut syarat subyektif, karena mengenai orang-orangnya atau
subyek yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat
obyektif karena mengenai perjanjiannya sendiri atau obyek dari perbuatan hukum yang
dilakukan itu. Konsekuensi apabila tidak terpenuhinya syarat subyektif maka perjanjian tersebut
dapat dimintakan akan pembatalan oleh salah satu pihak dalam perjanjian. Sedangkan apabila
tidak terpenuhi syarat obyektif maka perjanjian tersebut menjadi batal demi hukum secara serta
merta.

6
E. Batalnya Suatu Perjanjian

Syarat sah perjanjian adalah adanya kesepakatan untuk mengikatkan diri, para pihak
mampu membuat perjanjian, ada hal yang diperjanjikan, dilakukan atas sebab yang halal. Dua
hal yang pertama disebut sebagai syarat subyektif dan dua hal yang terakhir disebut syarat
obyektif. Suatu perjanjian yang mengandung cacat pada syarat subyektif akan memiliki
konsekwensi untuk dapat dibatalkan (vernietigbaar). Dengan demikian selama perjanjian yang
mengandung cacat subyektif ini belum dibatalkan, maka ia tetap mengikat para pihak layaknya
perjanjian yang sah. Maksudnya, perjanjian yang dibuat oleh orang-orang yang menurut undang-
undang tidak cakap untuk bertindak sendiri, atau karena paksaan, kekhilafan, penipuan ataupun
mempunyai sebab yang bertentangan dengan undang-undang, atau ketertiban umum , maka
perjanjian itu dapat dibatalkan.

Sedangkan perjanjian yang memiliki cacat pada syarat obyektif (hal tertentu dan causa
yang halal), maka maka perjanjian batal demi hukum yang artinya perjanjian tersebut dianggap
tidak pernah ada (null and void) secara tegas dinyatakan sebagai batal demi hukum. (J.Satrio,
1992)

BAB III
PENUTUP

7
A. Kesimpulan

Dari penjelasan di atas maka dapat diambil beberapa kesimpulan , yaitu

1. Perikatan adalah suatu Hubungan Hukum, antara dua orang atau dua pihak atau
lebih, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menunutut sesuatu hal dari
pihak yang lain dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan
tersebut.

2. Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji pada seorang lain atau
dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Peristiwa
perjanjian tersebut timbul dari suatu hubungan yang dinamakan perikatan.

3. Macam-macam perikatan antara lain: perikatan bersyarat, Perikatan yang


digantungkan pada suatu ketetapan waktu, Perikatan Yang membolehkan
Memilih (alternatif), Perikatan Tanggung Menanggung (hoofdelijk atau
solidair), Perikatan yang dapat dibagi dan yang tidak dapat dibagi, dan Perikatan
dengan penetapan hukuman (strafbeding)

4. Sistem terbuka atau open system adalah setiap orang boleh mengadakan
perjanjian apa saja, walaupun belum atau tidak diatur dalam undang-undang,
asal tidak melanggar ketertiban umum atau kesusilaan.

5. Asas konsensualitas, ialah bahwa suatu perjanjian cukup ada suatu kata sepakat
dari mereka yang membuat perjanjian tanpa diikuti oleh perbuatan hukum lain,
kecuali perjanjian yang bersifat formil.

6. Syarat-syarat sah perjanjian antara lain:

 Adanya kesepakatan untuk mengikatkan diri

 Para pihak mampu membuat suatu perjanjian

 Ada hal yang diperjanjikan

 Dilakukan atas sebab yang halal

8
7. Suatu perjanjian bisa batal jika tidak memenuhi syarat subjektif maupun syarat
objektif.

B. Saran

Demikian makalah kami dapat kami selesaikan. Kami berharap agar makalah yang kami
susun ini menjadi bermanfaat bagi penulis maupun pembaca dan menambah wawasan mengenai
hukum perdata, khususnya permasalahan hukum perjanjian dan hukum perikatan ini.

Namun, dalam penyusunan ini, kami sadar terdapat banyak kekurangan, Karena kami pun
masih dalam tahap belajar, dan menyusun. Maka dari itu kami membutuhkan kritik dan saran
yang konstruktif dari para pembaca dan pembimbing

DAFTRAR PUSTAKA

Mashudi, 1995, Bab-bab Hukum Perikatan, Bandung: Mandar Maju

Subekti, 2003, Pokok-pokok hukum Perdata, Jakarta : PT Intermasa


9
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, 1995. Jakarta: PT Pradnya Paramita

http://yusranandpartner.wordpress.com/2007/11/20/sekilas-mengenai-hukum-perjanjian-
somasi/

http.StudiHukum.htm

http://www.slideshare.net/diarta/hukum-perikatan

http://pojokhukum.blogspot.com/2008/03/standard-contract.html

http://nasrulloh-one.blogspot.com/2009/03/macam-macam-perikatan.html

10

Anda mungkin juga menyukai