Anda di halaman 1dari 11

BAGIAN ILMU PENYAKIT PARU REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN NOVEMBER


2021 UNIVERSITAS HASANUDDIN

PERAN TEOFILIN DAN AMINOFILIN PADA PPOK

Oleh:

Hanif Uzwa Hasanah Sudirman C014202273

Teguh Purnomo Adji C014202094

Huznul Azisah C011171339

TUGAS KEPANITERAAN
KLINIK BAGIAN ILMU
PENYAKIT PARU
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
HASANUDDIN MAKASSAR
2021
BAB I
PENDAHULUAN

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) saat ini merupakan penyebab kematian
nomor empat di dunia, tetapi diprediksikan menjadi penyebab kematian nomor tiga pada
tahun 2020. Lebih dari 3 juta orang di dunia meninggal karena PPOK pada tahun 2012.
PPOK merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas kronis di seluruh dunia,
banyak orang penderita penyakit ini selama bertahun-tahun, dan meninggal karena
komplikasi yang terjadi. Secara global, beban PPOK diproyeksikan meningkat dalam
beberapa dekade mendatang karena paparan terus menerus terhadap faktor risiko PPOK
dan penuaan populasi.
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit yang umum, dapat
dicegah dan diobati yang ditandai dengan gejala pernapasan yang persisten dan
keterbatasan aliran udara yang disebabkan oleh kelainan saluran napas dan/atau alveolus
yang terpapar paparan yang signifikan terhadap partikel atau gas berbahaya.
Keterbatasan aliran udara kronis yang merupakan karakteristik PPOK disebabkan oleh
adanya small airways disease (misalnya, bronkiolitis obstruktif) dan kerusakan parenkim
(emfisema), yang kontribusi relatifnya bervariasi dari orang ke orang.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)


1. Definisi
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit yang umum, dapat
dicegah dan diobati yang ditandai dengan gejala pernapasan persisten dan
keterbatasan aliran udara yang disebabkan oleh kelainan saluran napas dan / atau
alveolar yang biasanya diakibatkan oleh pajanan signifikan terhadap partikel atau gas
yang berbahaya.

2. Penyebab dan Faktor Risiko


Faktor risiko PPOK yang paling sering ditemui adalah merokok. Seorang tidak
merokok juga dapat terkena PPOK. PPOK adalah hasil interaksi kompleks dari
paparan kumulatif jangka panjang terhadap gas dan partikel berbahaya,
dikombinasikan dengan berbagai faktor pejamu termasuk genetika, hiper-responsif
saluran napas, dan pertumbuhan paru-paru yang buruk selama masa kanak-kanan.
Risiko terjadinya PPOK berhubungan dengan faktor-faktor berikut:
a) Asap tembakau – perokok memiliki prevalensi gejala pernapasan dan kelainan
fungsi paru yang lebih tinggi, tingkat penurunan lebih besar pada FEV1 setiap
tahunnya.
b) Polusi udara dalam ruangan – akibat pembakaran kayu dan bahan bakar biomassa
lainnya yang biasanya digunakan untuk memasak dan menghangatkan ruangan
pada ruangan yang kurang ventilasi, merupakan faktor risiko utama pada
perempuan di negara-negara berkembang.
c) Paparan di tempat kerja – termasuk debu organik dan anorganik, bahan kimia dan
asap, merupakan faktor risiko untuk PPOK
d) Polusi udara luar ruangan – juga berkontribusi pada beban total partikel yang
dihirup oleh paru-paru, meskipun tampaknya memiliki efek yang relatif kecil
dalam menyebabkan PPOK.
e) Faktor genetik – defisiensi herediter pada antitripsin alfa-1 (AATD), gen yang
mengkode matriks metalloproteinase 12 (MMP-12) dan glutathione S-transferase
juga telah dikaitkan dengan penurunan fungsi paru1 atau risiko PPOK.
f) Status sosial ekonomi – Kemiskinan secara konsisten dikaitkan dengan obstruksi
aliran udara dan status sosial ekonomi yang lebih rendah dikaitkan dengan
peningkatan risiko berkembangnya PPOK. Namun, tidak jelas apakah pola ini
mencerminkan paparan polutan udara dalam dan luar ruangan, kepadatan
penduduk, gizi buruk, infeksi, atau faktor lain yang berhubungan dengan status
sosial ekonomi rendah.
g) Asma dan hiper-reaktivitas saluran napas – asma dapat menjadi faktor risiko
untuk pengembangan keterbatasan aliran udara dan PPOK.
h) Bronkitis kronis – dapat meningkatkan frekuensi eksaserbasi total dan eksaserbasi
yang buruk
i) Infeksi – riwayat infeksi saluran pernapasan pada masa kanak-kanak yang telah
dikaitkan dengan penurunan fungsi paru-paru akan meningkatan gejala
pernapasan di masa dewasa.

B. AMINOFILIN
1. Definisi
Aminofilin adalah salah satu obat bronkodilator golongan xantin yang memiliki
efek mendilatasi bronkus. Aminofilin merupakan senyawa kompleks teofilin dengan
etilendiamin, dengan kandungan teofilin anhidrat bervariasi antara 79-86. Dalam
tubuh aminofilin terurai menjadi teofilin. Teofilin termasuk obat-obatyang
mempunyai lingkup terapi (therapeutic windows) sempit. (10-20 mcg/mL) Artinya
jarak antar dosis terapeutik dan dosis toksis kecil, sehingga efek toksik akan mudah
timbul apabila dosis atau kadarnya melewati ambang toksik. 

2. Farmakodinamik 
a) Mekanisme
Aminofilin atau teofilin menghambat enzim fosfodiesterase sehingga
mencegah pemecahan cAMP dan cGMP masing-masing menjadi 5’-AMP dan 5’-
GMP. Penghambatan menyebabkan akumulasi cAMP dan cGMP dalam sel
sehingga menyebabkan relaksasi otot polos termasuk otot polos bronkus.
Aminofilin ataupun teofilin relatif nonselektif dalam menghambat subtype PDE.
Aminofilin ataupun teofilin merupakan suatu antagonis kompetitif pada
reseptor adenosin. Adenosin dapat menyebabkan bronkokonstriksi pada pasien
asma dan memperkuat pelepasan mediator dari sel mast yang diinduksi oleh
rangsang imunologis, karena itu dengan pemberian aminofilin atau teofilin dapat
mengatasi bronkokonstriksi yang terjadi pada pasien asma. Atas dasar kedua hal
di atas maka aminofilin dapat menimbulkan efek relaksasi otot polos bronkus atau
bronkodilator pada pasien asma.
b) Efek Pada Susunan Saraf Pusat
Aminofilin atau teofilin merupakan perangsang SSP yang kuat, bila dosis
pemberian ditinggikan maka mampu memberikan efek gugup, gelisah, insomnia,
tremor, dan kejang. Tetapi dengan dosis rendah metilxantin seperti aminofilin
dapat merangsang SSP yang sedang mengalami depresi, misalnya pemberian
aminofilin dosis 2mg/kgbb dengan cepat akan memulihkan keadaan narkosis pada
individu yang mendapat 100 mg morfin IV untuk anestesia.
c) Efek Pada Medula Oblongata
Metilxantin seperti aminofilin dapat merangsang pusat nafas pada medula
oblongata dengan meningkatkan kepekaan pusat nafas terhadap perangsangan
CO2. Selain itu juga dapat menimbulkan mual dan muntah karena perangsangan
sentral maupun perifer. Muntah dapat diinduksi bila kadar dalam plasma melebihi
15 mcg/ml.
d) Efek Pada Sistem Kardiovaskular
Pernah digunakan untuk pengobatan darurat payah jantung berdasarkan
kemampuannya menurunkan tahanan perifer, merangsang jantung, meningkatkan
perfusi dan menimbulkan diuresis, tetapi karena absorbsi dan disposisinya susah
diduga dan sering terjadi toksisitas serius terhadap SSP dan jantung sekarang
sudah tidak digunakan lagi.
a) Jantung - Aminofilin atau teofilin dapat meningkatkan frekuensi denyut jantung.
Pemberian aminofilin dapat meningkatkan kadar epinefrin hingga 100% dan
hanya memberikan pengaruh sedikit pada norepinefrin.
b) Pembuluh darah - Aminofilin atau teofilin menyebabkan dilatasi pembuluh darah
termasuk pembuluh darah koroner dan pulmonal karena efek langsung pada otot
pembuluh darah
c) Sirkulasi otak - Xantin menyebabkan hambatan adenosin yang penting untuk
pengaturan sirkulasi otak, sehingga dengan pemberian xantin akan terjadi
pengurangan aliran darah ke otak.
d) Sirkulasi coroner - Golongan xantin menyebabkan vasodilatasi arteri koroner dan
bertambahnya aliran darah koroner. Selain itu golongan xantin juga
meningkatkan kerja jantung atau kontraksi jantung.
e) Tekanan darah - Efek aminofilin atau teofilin pada tekanan darah tidak bisa
diramalkan, karena disatu sisi menyebabkan stimulasi pusat vasomotor dan
stimulasi miokard yang dapat menyebabkan kenaikan tekanan darah, tetapi disisi
lain menyebabkan adanya vasodilatasi yang dapat menyebabkan penurunan
tekanan darah, resultan dari kedua hal ini biasanya sedikit menaikkan tekanan
darah tidak lebih dari 10mmHg. Karena adanya vasodilatasi aliran darah lebih
cepat dan efisien dan menyebabkan tekanan nadi meningkat.
e) Efek Pada Otot Polos
Golongan xantin dapat merelaksasi otot polos utamanya otot polos
bronkus dengan menghambat PDE. Aminofilin juga menyebabkan penurunan
motilitas usus untuk sementara waktu.
f) Otot Rangka
Golongan xantin Dapat memperbaiki kontraktilitas dan mengurangi
kelelahan otot diafragma.
g) Diuresis
Semua golongan xantin meningkatkan produksi urin tetapi efeknya hanya
sebentar. Diduga efek ini melalui mekanisme penghambatan reabsorbsi elektrolit
di tubulus proksimal tanpa disertai perubahan filtrasi ataupun perubahan aliran
darah ke ginjal.
h) Lambung
Golongan xantin dapat meningkatkan sekresi asam lambung
i) Metabolik
Golongan xantin dapat meningkatkan kadar asam lemak bebas dalam
plasma dan dapat meningkatkan basal metabolisme.

3. Farmakokinetik
Obat golongan xantin seperti aminofilin cepat diabsorbsi setelah
pemberian oral, rektal ataupun parenteral. Kelarutan aminofilin lebih besar
daripada teofilin, tetapi ternyata derajat absorpsinya tidak banyak berbeda.
Setelah pemberian per-oral, obat ini diabsorpsi dengan cepat, sehingga kadang-
kadang terjadi lonjakan kadar dalam darah yang menimbulkan gejala efek
samping. Pemberian teofilin/aminofilin bersama dengan katekolamin dan
simpatomimetik golongan amina harus hati-hati karena dapat memperkuat
terjadinya takhiaritmia. Teofilin mengalami metabolisme terutama di hepar dan ±
8 % fraksi obat diekskresikan melalui urin dalam bentuk tetap. Aminofilin dapat
mencapai kadar puncak plasma dalam waktu 2 jam, tetapi saat ini ada teofilin
lepas lambat yang bisa bertahan dengan interval 8, 12 atau 24 jam. Adanya
makanan dalam lambung akan memperlambat kecepatan absorbsi aminofilin atau
golongan xantin lainnya. Pemberian IM dapat menyebabkan nyeri lokal yang
sangat lama. Metilxantin dapat menembus plasenta dan masuk ke air susu ibu.
Dalam keadaan normal ikatan golongan xantin dengan protein sebesar 60% tetapi
pada keadaan sirosis hepar ikatan protein menurun menjadi 40%. Eliminasi xantin
terutama melalui metabolisme hepar. Sebagian besar dieliminasi bersama urin
dalam bentuk asam metilurat atau metilxantin, kurang dari 20% aminofilin
ditemukan dalam bentuk utuh dalam urin.

4. Bentuk Sediaan
Tablet 200 mg, 225 mg (phyllocontin) dan 350 mg
Injeksi ampul 10 ml mengandung 24 mg/ml (phaminov)

5. Dosis
Per oral : dosis 200 mg – 1000mg/hari
IV : 250-500 mg/hari diberikan secara lambat

6. Indikasi
Menghilangkan dan mengatasi gejala-gejala asma dan bronkhospasme yang
bersifat reversibel yang berhubungan dengan bronkhitis kronis dan emfisema.

7. Efek Samping
a) Gastrointestinal, misalnya : mual, muntah, diare.
b) Susunan saraf pusat, misalnya : sakit kepala, insomnia.
c) Kardiovaskuler, misalnya : palpitasi, takikardi, aritmia ventrikuler.
d) Pernafasan, misalnya : tachypnea.
e) Rash, hiperglikemia.
8. Kontra-indikasi
a) Tidak dianjurkan untuk anak berusia kurang dari 12 tahun.
b) Hipersensitif terhadap aminofilina atau komponen obat.
c) Penderita tukak lambung

9. Peringatan
Hati-hati pada penderita hipoksemia (kekurangan oksigen dalam darah),
hipertensi, atau penderita yang mempunyai riwayat tukak lambung.

• Dapat mengiritasi saluran pencernaan.


• Hati-hati pemberian pada wanita hamil, menyusui dan anak-anak.
• Jangan melampaui dosis yang dianjurkan dan bila dalam waktu 1 jam
gejala-gejalanya masih tetap atau bertambah buruk, agar menghubungi
Puskesmas atau Rumah Sakit terdekat.
• Hati-hati pemberian pada penderita kerusakan fungsi hati, penderita di
atas usia 55 tahun terutama pria dan pada penderita penyakit paru-paru kronik.
• Hentikan penggunaan obat ini jika terjadi jantung berdebar-debar.

10. Interaksi Obat


• Hindari pemberian bersamaan dengan beta-blocker (seperti propranolol)
karena dapat menyebabkan bronkospasma.
• Jangan diberikan bersamaan dengan preparat xantin yang lain.
• Simetidin, siprofloksasin, klaritromisin, norfloksasin, eritromisin,
troleandomisin, dan kontrasepsi oral dapat meningkatkan konsentrasi plasma
teofilin.
• Rifampisin, verapamil, diltiazem menurunkan konsentrasi plasma teofilin.

C. TEOFILIN

1. Definisi

Teofilin adalah derivat methylxantine merupakan preparat yang biasanya paling


banyak digunakan karena diabsorbsi dengan baik yaitu sekitar 9095% walaupun
diberikan secara oral. Absorbsi teofilin dari traktus gastro intestinal sebenarnya
lengkap, laju absobrsinya sangat berbedabeda, tergantung pada formulasinya.
Mula kerja yang cepat dapat dicapai Teofilin dalam bentuk elixir (efek puncak
pada kirakira 60 menit), sedangkan masa kerja yang panjang diperoleh pada
pemakaian preparat lepas lambat (efek puncak pada 6-8 jam), sehingga pemberian
obat cukup satu atau dua kali sehari. Preparat lainnya berbentuk suppositoria dan
injeksi. Absorbsi dari rektum tidak menentu, dan pemberian teofilin suppositoria
rektal sebagian besar sudah ditinggalkan. Sedangkan pemberian dalam bentuk
injeksi intra vena sering terjadi insiden alergi yang meningkat.2,3,4

Teofilin merelaksasi prostaglandin F2 (PGF2) dengan merangsang tonus cincin


arteri pulmonalis in vitro pada konsentrasi yang sama dalam menghambat cAMP
hidrolisis melalui PDE pada arteri yang sama. Meskipun teofilin tampak kurang
poten pada arteri pulmonalis daripada di bronkus, akan tetapi terdapat kesamaan
pada besarnya tonus bronkus yang ditimbulkan dan PGF2 menginduksi kontraksi
otot arteri sehingga menunjukkan perbedaan alamiah fungsi otot otot, termasuk
fakta bahwa total aktivitas PDE pada arteri pulmonalis kirakira dua kali lipat di
bronkus. Kurva PDE inhibisi di bronkus untuk aminofilin secara esensial
monophasik, dan dengan pola inhibisi yang sama dengan hidrolisis cAMP pada
zardaverine. Teofilin dan selektif inhibitor isoenzim PDE dapat menyebabkan
relaksasi otot polos arteri pulmonalis yang secara klinis juga digunakan sebagai
terapi pada hipertensi pulmonalis yang sering terkait dengan PPOK dan asma

akut.5

2. Mekanisme

Teofilin yaitu meningkatkan kadar adenosin monofosfat siklis (cAMP) dengan


cara menghambat aktifitas PDE yaitu enzim yang membantu konversi cAMP
menjadi 5’ AMP yang tidak siklis, dan akan terjadi akumulasi cAMP pada
jantung. Pada sistem kardiovaskular teofilin secara langsung mempengaruhi
akselerasi jantung (direct cardioaccelerating effects) yaitu sebagai inotropik
positif. Mekanisme lainnya pada sistem kardiovaskular yaitu melalui peningkatan

mobilisasi Ca2+ dalam sel dengan cara mempertinggi arus pemasukan Ca 2+


sehingga terjadi peningkatan daya kontraksinya. Teofilin juga mempunyai sifat
antagonis adenosin endogen, sedangkan edenosin bersifat antagonistik fisiologis
terhadap katekolamin oleh karena itu diduga bahwa adenosin dapat memproteksi
jantung untuk menentang stimulasi berlebihan yang diinduksi oleh katekolamin
endogen. Pengaruh aminofilin (Theophylline ethylenediamine) terhadap
hemodinamik walaupun masih belum terungkap secara keseluruhan melalui
penelitian, namun menunjukkan pengaruhnya dalam menurunkan tekanan arteri
pulmonalis pada penderita dengan Kor pulmonal. Begitu juga pada studi
sebelumnya aminofilin terbukti dapat menurunkan filling pressures pada ventrikel
kiri dan kanan serta dapat menurunkan tekanan arteri pulmonalis sehingga dapat
meningkatkan cardiac output.6,7

Teofilin dapat menurunkan tahanan perifer, merangsang jantung, meningkatkan


perfusi berbagai organ dan menimbulkan diuresis, tetapi karena absorbsi dan
disposisi teofilin sulit diduga pada pasien dengan gangguan fungsi sirkulasi
sehingga sering terjadi toksisitas yang serius terhadap susunan saraf pusat dan
jantung.8,9
DAFTAR PUSTAKA

1. Alfred P.Fishman, Jack A.Elias JAF at el. Fishman’s Pulmonary Diseases and
Disorders. 4th ed. Mc Graw Hill; 2008. 1524 p.
2. Boushey HA. Asthma Drugs. In : Katzung BG (Ed). Basic & Clinical

Pharmacology. 8th Boston: Mc. Graw Hill. Companies Inc; 2001:p.583613.


3. Dent Gordon, Rabe KF. Theophylline. In: Martin RJ, Kraft Monica (Ed).
Combination Theraphy for Asthma and Chronic Obstructive Pulmonary Disease.
New York: Marcel Dekker, Inc; 2000:p.77108.
4. Serio KJ, Bigby TD. Pharmacotherapy. In: Bordow RA, Ries AL, Morris TA (ed)

Manual of Clinical Problems in Pulmonary Medicine. 5 th Philadelphia:


Lippincott Williams & Wilkins; 2001:p.23945.
5. K.F. Rabe, H. Magnussen, G. Dent. Theophylline and selective PDE inhibitors as
bronchodilators and smooth muscle relaxants. Eur Respir J. 1995;8:637–42.
6. Ferguson GT. Update on Pharmacologic Theraphy for Chronic Obstructive Pulmonary
Disease. In: Rochester Carolyn L (Guest Ed). Clinics in Chest Medicine: Chronic
Obstructive Pulmonary Disea se. Philadelphia. WB Saunders Company; 2000 p.72338.
7. Pauwels Romain, Person Carl GA. Xanthines. In: Kaliner MA, Barnes PJ, Persson CGA
(Ed). Asthma Its Pathology and Tretment. New York: Marcel Dekker, Inc; 1991:p.503
8. Weinberger Miles. Methylxanthines. In: Claark TJH, Godfrey S, Lee TH (Ed).
Asthma. 3th. London: Chapman & Hall; 1992:p.390415. Meyer BH.
Aminophylline in Healthy volunteer adult. Anesth Analg. 1984:63:9001.
9. Boushey HA. Asthma Drugs. In : Katzung BG (Ed). Basic & Clinical

Pharmacology. 8th Boston: Mc. Graw Hill. Companies Inc; 2001:p.583613.

Anda mungkin juga menyukai