Anda di halaman 1dari 17

TUGAS KEPERAWATAN BENCANA

“ Makalah Perawatan Populasi Rentan Pada Anak”

OLEH: KELOMPOK 2

VII A KEPERAWATAN

Nama Kelompok:

1. Ni Kadek Mira Utami (C1118006)


2. Gusti Ayu Ari Wulandari (C1118016)
3. A.A.Ayu Winda Asmari (C1118017)
4. Ni Kadek Dwi Aprianti (C1118033)

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN

STIKES BINA USADA BALI

2021
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Berbagai bencana telah menimbulkan korban dalam jumlah yang besar. Banyak
korban yang selamat menderita sakit dan cacat. Rumah, tempat kerja, ternak, dan peralatan
menjadi rusak atau hancur. Korban juga mengalami dampak psikologis akibat bencana,
misalnya - ketakutan, kecemasan akut, perasaan mati rasa secara emosional, dan kesedihan
yang mendalam. Bagi sebagian orang, dampak ini memudar dengan berjalannya waktu.
Tapi untuk banyak orang lain, bencana memberikan dampak psikologis, jangka panjang,
baik yang terlihat jelas misalnya depresi , psikosomatis (keluhan fisik yang diakibatkan
oleh masalah psikis) ataupun yang tidak langsung : konflik, hingga perceraian.
Beberapa gejala gangguan psikologis merupakan respons langsung terhadap
kejadian traumatik dari bencana. Namun gejala-gejala yang lain juga akan menyusul, ini
adalah dampak tidak langsung dan bersifat jangka panjang yang dapat mengancam berbagai
golongan terutama kelompok yang rentan yaitu anak-anak, remaja, wanita dan lansia.
Dalam banyak kasus, jika tidak ada intervensi yang dirancang dengan baik, banyak
korban bencana akan mengalami depresi parah, gangguan kecemasan, gangguan stress
pasca-trauma, dan gangguan emosi lainnya. Bahkan lebih dari dampak fisik dari bencana,
dampak psikologis dapat menyebabkan penderitaan lebih panjang, mereka akan kehilangan
semangat hidup, kemampuan social dan merusak nilai-nilai luhur yang mereka miliki.
Menurut Departeman Hukum dan Hak Asasi Manusia, kelompok rentan adalah
semua orang yang menghadapi hambatan atau keterbatasan dalam menikmati standar
kehidupan yang layak bagi kemanusiaan dan berlaku umum bagi suatu masyarakat yang
berperadaban. Jadi kelompok rentan dapat didefinisikan sebagai kelompok yang harus
mendapatkan perlindungan dari pemerintah karena kondisi sosial yang sedang mereka
hadapi. Konteks kerentanan merujuk kepada situasi rentan yang setiap saat dapat
mempengaruhi atau membawa perubahan besar dalam penghidupan masyarakat. Setiap
orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan
perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya. Kelompok masyarakat yang rentan
adalah orang lanjut usia, anak-anak, perempuan, dan penyandang cacat. Dalam konteks ini,
kita akan membicarakan lebih rinci mengenai “Perawatan Populasi Rentan Anak”.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana perawatan populasi rentan pada anak dalam situasi bencana?

C. TUJUAN
1. Untuk dapat mengetahui bagaimana perawatan populasi rentan pada anak dalam
situasi bencana

D. MANFAAAT
Untuk menambah referensi terkait dengan materi perawatan populasi rentan
pada anak dalam situasi bencana dan sebagai pemenuhan tugas keperawatan bencana
yang dimana sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan nilai penugasan keperawatan
bencana.
BAB II

PEMBAHASAN

A. DEFINISI KEPERAWATAN POPULASI RENTAN PADA ANAK


Bencana adalah sebagai peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam
dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan baik oleh
faktor alam atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan
timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan
dampak psikologis ( Undang-Undang No 24 Thn 2007 Pasal 1). Bencana menimbulkan
trauma psikologis bagi semua orang yang mengalaminya.
Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) merupakan gangguan kecemasan yang
dapat terjadi setelah mengalami atau menyaksikan suatu persitiwa traumatis.
Anak-anak adalah orang yang memerlukan kegembiraan,kasih sayang
perlakuan yang santun dan asupan gizi seimbang untuk memastikan potensi-potensi
dalam dirinya bisa tumbuh dengan baik. bencana atau ancaman bencana akan bisa
merampas ini semua,sehingga kebijakan berkaitan kebencanaan harus memastikan bisa
menjamin dan melindungi mereka. Kelompok yang paling rentan ketika terjadi bencana
adalah anak.

B. TINDAKAN YANG SESUAI UNTUK KELOMPOK RENTAN ANAK


Untuk mengurangi dampak bencana pada individu dari kelompok rentan, petugas-
petugas yang terlibat dalam perencanaan dan penanganan bencana perlu (Morrow, &
Daily, 2010)
a. Mempersiapkan peralatan-peralatan kesehatan sesuai dengan kebutuhan kelompok-
keompok rentan tersebut, contohnya ventilisator untuk anak, alat bantu untuk
individu yang cacat, alat-alat bantuan persalinan, dll.
b. Melakukan pemetaan kelompok-kelompok rentan (anak)
c. Merencanakan intervensi-intervensi untuk mengatasi hambatan informasi dan
komunikasi
d. Menyediakan transportasi dan rumah penampungan yang dapat diakses
e. Menyediakan pusat bencana yang dapat diakses
C. PERAWATAN POPULASI RENTAN PADA ANAK
Anak-anak sering menjadi korban dalam semua tipe bencana karena
ketidakmampuan mereka melarikan diri dari daerah bahaya. Ketika Pakistan diguncang
gempa Oktober 2005, sekitar 16.000 anak meninggal karena gedung sekolah mereka
runtuh. Tanah longsor yang erjadi di Leyte, Filipina, beberapa tahun lalu mengubur
lebih dari 200 anak sekolah yang tengah belajar di dalam kelas (Indriyani 2014).
Diperkirakan sekitar 70% dari semua kematian akibat bencana adalah anak-anak baik
itu pada bencana alam maupun bencana yang disebabkan oleh manusia (Powers &
Daily, 2010).
Selain menjadi korban, anak-anak juga rentan terpisah dari orang tua atau wali
mereka saat bencana terjadi. Diperkirakan sekitar 35.000 anak-anak Indonesia
kehilangan satu atau dua orang tua mereka saat kejadian tsunami 2004. Terdapat juga
laporan adanya perdagangan anak (Child-Trafficking) yang dialami oleh anak-anak
yang kehilangan orang tua/wali (Powers & Daily, 2010)
Pasca bencana, anak-anak berisiko mengalami masalah-masalah kesehatan jangka
pendek dan jangka panjang baik fisik dan psikologis karena malnutrisi, penyakit-
penyakit infeksi, kurangnya skill bertahan hidup dan komunikasi, ketidakmampuan
melindungi diri sendiri, kurangnya kekuatan fisik, imunitas dan kemampuan koping.
Kondisi tersebut dapat mengancam nyawa jika tidak diidentifikasi dan ditangani
dengan segera oleh petugas kesehatan (Powers & Daily, 2010; Veenema, 2007).

D. TINDAKAN YANG SESUAI UNTUK KELOMPOK BERISIKO PADA ANAK


a. Pra Bencana
1) Mensosialisasikan dan melibatkan anak-anak dalam latihan kesiagsiagaan
bencana misalnya dalam simulasi bencana kebakaran atau gempa bumi
2) Mempersiapkan fasilitas kesehatan yang khusus untuk anak pada saat bencana
3) Perlunya diadakan pelatihan-pelatihan penanganan bencana bagi petugas
kesehatan khusus untuk menangani kelompok-kelompok berisiko
b. Saat Bencana
1) Mengintegrasikan pertimbanan pediatric dalam sistem triase standar yang
digunakan saat bencana
2) Lakukan pertolongan kegawat daruratan kepada bayi dan anak sesuai dengan
tingkat kegawatan dan kebutuhannya dengan mempertimbangkan aspek tumbuh
kembangnya, misalnya menggunakan alat dan bahan khusus untuk anak dan
tidak disamakan dengan orang dewasa
3) Selama proses evakuasi, transportasi, sheltering dan dalam pemberian pelayanan
fasilitas kesehatan, hindari memisahkan anak dari orang tua, keluarga atau wali
mereka
c. Pasca Bencana
1) Usahakan kegiatan rutin sehari-hari dapat dilakukan sesegera mungkin
contohnya waktu makan dan personal hygiene teratur, tidur, bermain dan sekolah
2) Monitor status nutrisi anak dengan pengukuran antropometri
3) Dukung dan berikan semangat kepada orang tua
4) Minta bantuan dari ahli kesehatan anak yang mungkin ada di lokasi evakuasi
sebagai voluntir untuk mencegah, mengidentifikasi,mengurangi resiko kejadian
depresi pada anak pasca bencana.
5) Identifikasi anak yang kehilangan orang tua dan sediakan penjaga yang
terpercaya serta lingkungan yang aman untuk mereka.

E. HAK ANAK DALAM MASA TANGGAP DARURAT


Secara umum ada lima kluster pengelompokan hak anak yang harus dipenuhi dalam
konteks tahap tanggap darurat mengacu kepada Konvensi Hak Anak dan undang-
undang perlindungan anak.
a. Hak Sipil dan Kemerdekaan
Ada dua hak dasar anak yang harus diperhatikan terkait dengan hak sipil dan
kemerdekaan dalam tanggap darurat, yaitu:
1) Hak atas pencatatan kelahiran dan identitas (KHA pasal 7, UUPA pasal 5).
Dalam situasi pasca bencana, kehancuran infrastruktur dan kelumpuhan sistem
administrasi negara sampai di tingkat RT/ RW, membuat anak-anak yang lahir
pasca gempa tidak tercatat. Hal ini menempatkan anak-anak dalam situasi
kehilangan hak akibat tidak tercatat dalam mekanisme pencatatan kelahiran
ataupun pencatatan darurat menyangkut bantuan darurat. Di samping itu, situasi
darurat saat bencana mengakibatkan masyarakat tidak dapat mengamankan harta
benda dan dokumen-dokumen berharga seperti akte kelahiran sehingga ketika
bencana datang akte kelahiran tersebut menjadi ikut rusak. Oleh karena itu, perlu
mengembangkan program khusus dari pemangku kepentingan untuk memenuhi
kebutuhan anak akan hak identitas mereka. Selama ini, karena dianggap tidak
terlalu mendesak program yang mencoba menjawab kebutuhan ini belum banyak
dilakukan dalam masa tanggap darurat.
2) Hak atas Kebebasan Beragama (KHA pasal 27). Dalam situasi pasca bencana,
bantuan kemanuasiaan baik fisik maupun bersifat dukungan psikologis harus
ditujukan kepada semua anak/orang dewasa tanpa memandang keyakinan dan
agama. Situasi pasca bencana, sangat mudah dijumpai pemberian bantuan dan
dukungan kemanusiaan yang lain dimanfaatkan baik secara langsung maupun
terselubung untuk memaksakan keyakinan agama pada korban, termasuk anak-
anak. Oleh karena itu, setiap program yang dilaksanakan haruslah menghormati
keyakinan dan agama yang dianut oleh penerima manfaat program sehingga
program yang dilaksanakan tidak dijadikan media untuk mengubah keyakinan
anak. Dalam konteks ini, peran masyarakat dan pemerintah menjadi penting
sekali untuk memantau setiap program yang mempunyai maksud dan tujuan
tersembunyi untuk mengubah agama para penerima manfaat.
b. Lingkungan keluarga dan pengasuhan alternative
1) Hak atas bimbingan orang tua (KHA pasal 5). Dalam situasi pasca bencana,
kehidupan yang serba darurat sering membuat orangtua kehilangan kontrol atas
pengasuhan dan bimbingan terhadap anak-anak mereka. Keadaan ini dapat
mengancam perkembangan mental, moral dan sosial anak, sekaligus
menempatkan anak dalam posisi rentan terhadap kemungkinan tindak
eksploitasi, penculikan, kekerasan dan perdagangan. Perhatian dari orang tua
mengambil peran penting dalam membantu anak melewati masa-masa krisis
setelah bencana. Oleh karena itu, menjadi penting untuk setiap stakeholder
melibatkan peran orang tua dalam melakukan pendampingan terhadap anak-anak
mereka sesuai dengan kapasitas yang bisa diperankan oleh mereka. Peran paling
sederhana yang bisa diperankan oleh orang tua adalah bersikap tenang karena
anakanak secara psikologis melihat tanda dari apa yang diperlihatkan oleh orang
tua mereka. Mereka akan menjadi semakin panik dan stress ketika orang tua
mereka menunjukkan kepanikan dan stress. Oleh karena itu orang tua dan
pemangku kepentingan yang lain harus mendampingi anak dan meyakinkan
mereka bahwa keluarga dan masyarakat akan memperhatikan mereka dan
keadaan akan kembali normal. Disamping itu, orang tua adalah teman anak yang
dapat mendorong anak untuk mengungkapkan perasaan dan perhatian mereka
terkait dengan bencana. Kemampuan mendengarkan dan berempati dari orang
tua menjadi kekuatan yang luar bisaa dalam membantu anak melewati masa-
masa krisis akibat bencana
2) Hak untuk tidak dipisahkan dan penyatuan kembali dengan orang tua (KHA
pasal 9 dan 10, UUPA pasal 7). Dalam situasi pasca bencana, anak-anak dapat
terpisahkan dari orangtua mereka. Kemungkinan situasi keterpisahan bersifat
permanen (orangtua meninggal atau tidak pernah ditemukan) atau temporer
hingga orangtua kelak ditemukan. Pengalaman dari bencana Gempa dan
Tsunami di Aceh menunjukkan bahwasanya banyak sekali anak-anak yang
dibawa keluar dari Aceh terpisah dengan orang tuanya. Meskipun bertujuan baik
untuk mengadopsi misalnya terkadang hal tersebut dapat merampas hak anak
untuk mendapatkan pengasuhan langsung dari orang tua mereka. Oleh karena
itu, prioritas utama program yang dapat dilakukan adalah program reunifikasi
atau mempertemukan anak dengan orang tua dan keluarganya.
c. Kesehatan dan kesejahteraan dasar
1) Hak khusus anak difabel/orang dengan kecacatan (KHA pasal 23). Pada saat dan
pasca bencana, anak-anak difabel berada dalam kerentanan khusus karena situasi
kecacatan mereka. Saat terjadi bencana mereka mengalami kesulitan untuk
menyelamatkan diri. Di samping itu, peristiwa bencana dapat mengakibatkan
anak menjadi difabel baru. Saat pasca bencana kebutuhan khusus mereka
seringkali terabaikan oleh bantuan masa tanggap darurat yang disalurkan. Oleh
karena itu menjadi penting untuk merancang program yang memperhatikan
kebutuhan khusus dari anak-anak difabel baik karena bencana atau tidak.
2) Hak atas layanan kesehatan (KHA pasal 6 dan 24, UUPA pasal 8). Pada saat dan
pasca bencana, anak-anak dihadapkan pada situasi yang dapat mengancam
tingkat kesehatan mereka. Hancur dan rusaknya fasilitas sanitasi, luka-luka
akibat bencana alam ataupun lingkungan buruk pasca bencana alam
menyebabkan dapat menurunkan tingkat kesehatan anak. Di sisi lain, hilangnya
kemampuan orang tua memberikan asupan gizi yang layak dalam jangka panjang
dapat mempengaruhi perkembangan fisik dan kesehatan anak. Oleh karena itu,
program yang memberikan layanan kesehatan gratis bagi korban anak sangat
dibutuhkan dalam situasi tanggap darurat. Pengalaman penanganan bencana
selama ini menunjukan banyak sekali program-program layanan kesehatan yang
disediakan untuk korban bencana baik anak-anak maupun orang dewasa baik
dari unsur pemerintah dan non-pemerintah.
3) Hak atas standar penghidupan yang layak (KHA pasal 27). Dalam situasi pasca
bencana, standar kehidupan yang layak bagi perkembangan jasmani, mental,
spiritual, moral and sosial anak yang dalam situasi normal disediakan oleh
orangtua/wali tidak terpenuhi akibat kerusakan sarana prasarana. Stakeholder
khususnya Negara wajib memberikan bantuan material serta program dukungan,
khususnya menyangkut nutrisi, pakaian dan penampungan sementara.
Menyangkut bantuan tersebut, anakanak memilki kebutuhan sangat khusus
terutama berkaitan dengan tingkat usia mereka. Pemenuhan hak dasar inilah
dalam konteks tangap darurat melului bantuan logistic mendominasi model dan
bentuk bantuan kemanusian yang diberikan oleh hampir semua stakeholder.
d. Pendidikan, waktu luang dan kegiatan budaya
1) Hak atas pendidikan termasuk pelatihan dan bimbingan keterampilan (KHA
pasal 28, UUPA pasal 9). Dalam situasi pasca bencana, kerusakan sarana dan
prasarana pendidikan termasuk prasarana perhubungan serta situasi-situasi
seperti kehidupan keluarga anak dan keluarga guru yang tidak normal dapat
menyebabkan proses belajar-mengajar reguler terhenti. Terganggunya
perekonomian akibat bencana juga menempatkan anak-anak dalam posisi rawan
putus sekolah. Berdasarkan kondisi ini, program-program pendidikan alternatif
yang diberikan para pemangku kepentingan akan sangat membantu para korban
anak. Program sekolah darurat, program menggambar, bercerita, Taman
Pendidikan Al-Qur’an adalah program yang sering dilaksanakan untuk
menjawab kebutuhan dan hak anak atas pendidikan dalam masa tanggap darurat.
2) Hak atas waktu luang, rekreasi dan kegiatan budaya (KHA pasal 31). Dalam
situasi darurat pasca bencana, aktifitas sosialbudaya menjadi terganggu. Ruang
fisik dan ruang sosial untuk bermain dan bersosialisasi secara normal menjadi
hilang. Keadaan ini dapat berlangsung lama hingga masa rekonstruksi dan
rehabilitasi. Begitu pula, kehidupan perekonomian yang belum pulih membuat
anak-anak rawan untuk kehilangan waktu beristirahat dan mendapatkan waktu
luang yang cukup. Untuk menjawab kebutuhan dan hak anak akan waktu luang,
rekreasi dan budaya, banyak program yang bisa ditawarkan seperti program
bermain, rekreasi, pelatihan seni seperti menari, menyanyi dll.
e. Perlindungan khusus
1) Hak untuk dilindungi dari eksploitasi ekonomi (KHA pasal 32). Kerusakan
sarana & prasarana ekonomi serta situasi tidak normal yang dialami oleh
keluarga-keluarga mengancam kelangsungan pendapatan keluarga baik dalam
jangka pendek maupun jangka panjang. Tantangan pemenuhan kebutuhan yang
dihadapi oleh keluarga-keluarga menempatkan anak-anak dalam posisi rawan
mengalami eksploitasi ekonomi, baik oleh orangtua/keluarga sendiri maupun
oleh orang/pihak lainnya. Dalam kondisi tersebut, tidak jarang anak bekerja
dalam bentukbentuk pekerjaan terburuk untuk anak seperti menjadi pekerja
rumah tangga dll.
2) Hak untuk dilindngi dari Eksploitasi dan kekerasan seksual (KHA pasl 34). Pada
situasi pasca bencana, terutama dalam situasi pemukiman kolektif di barak-barak
pengungsian, tidak memberi ruang privasi dan pemenuhan kebutuhan seksual
orang dewasa sehingga menempatkan anak-anak dalam posisi rawan mengalami
kekerasan atau eksploitasi seksual.
3) Hak untuk mendapat perlindungan dari penculikan dan perdagangan anak (KHA
pasal 35). Dalam situasi pasca bencana, keterpisahan dari orangtua, atau
orangtua yang kehilangan kontrol efektif terhadap anak-anak mereka, orangtua
yang kehilangan kemampuan finansial untuk mengasuh anak-anak mereka, atau
terdesak oleh kebutuhan finansial yang nyata dan ketiadaan perlindungan sosial
yang memadai, menempatkan anak-anak dalam posisi rawan untuk menjadi
korban penculikan dan perdagangan. Berdasarakan kondisi inilah maka, Komisi
Perlindungan Anak Indonesia mensinyalir bahwa praktek perdagangan anak
meningkat pasca bencana alam di daerah.

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KELOMPOK RENTAN ANAK

1. PENGKAJIAN
Pengkajian untuk klien anak dengan PTSD meliputi empat aspek yang akan
berinteraksi terhadap stress terhadap pengalaman traumatis
a. Pengkajian Perilaku (Behavioral Assesment)
1) Dalam keadaan bagaimana klien mengalami perilaku agresif yang
berlebihan
2) Dalam keadaan yang sepetia apa klien mengalami kembali trauma yang
dirasakan
3) Bagaimana cara klien untuk menghindari situasi atau afektifitas yang akan
mengingatkan klien terhadap trauma
4) Seberapa sering klien terlibat aktivitas sosial
5) Apakah klien mengalami kesulitan semenjak kejadian traumatis
b. Pengkajian Affektif (Affective Assesment)
1) Berapa lama klien dalam 1 hari merasa ketegangan dan perasaan ingin cepat
marah
2) Apakah klien pernah mengalami perasaan panik
3) Apakah klien pernah mengalamiperasaan bersalah yang berkaitan dengan
trauma
4) Tipe aktivitas yang akan dilakukan
5) Apa saja sumber-sumber kesenagan dalam hidup klien
6) Bagaimana hubungan yang secara emosional terasa akrab dengann orang
lain
c. Pengkajian Intelektual (Intellectual Assesment)
1) Kesulitan dalam hal konsentrasi
2) Kesulitan dalam hal memori
3) Berapa frekuensi dalam satu hari tentang fikiran yang berulang yang
berkaitan dengan trauma
4) Apakah klien bisa mengontrol pikiran-pikiran berulang tersebut
5) Mimpi buruk yang dialami klien
6) Apa yang disukai klien terhadap dirinya dan apa yang tidak disukai klien
terhadap dirinya

2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Sindrome pasca trauma berhubungan dengan respon maladaftif berulang terhadap
peristiwa traumatik yang penuh tekanan
b. Ketidakberdayaan berhubungan dengan ketidakmampuan untuk melaksanakan
aktivitas sebelumnya
c. Ketakutan berhubungan dengan perubahan fisik
d. Ansietas berhubungan dengan perasaan takut yang disebabkan oleh antisipasi
terhadap bahaya
e. Koping defensif berhubungan dengan harapan diri yang tidak realistik
3. TUJUAN & INTERVENSI KEPERAWATAN
a. Sindrome pasca trauma berhubungan dengan respon maladaftif berulang terhadap
peristiwa traumatik yang penuh tekanan
Tujuan;
Setelah dilakukan tindakan keperawatan klien mampu merespon adaftif terhadap
peristiwa trauma yang dialami
NOC;
1) Pemulihan dari trauma
2) Pengendalian impuls: kemampua untuk menahan diri dari perilaku infulsive

NOC;

1) Konseling
2) Tunjukan empati dan kehangantan

b. Ketidakberdayaan berhubungan dengan ketidakmampuan untuk melaksanakan


aktivitas sebelumnya
Tujuan;
Setelah dilakukan tindakan keperawatan klien mampu melaksanakan aktivitas
sebelumnya
NOC;
1) Mengungkapkan dengan kata-kata tentang segala perasaan ketidakberdayaan
2) Mengidentifikasi tindakan yang berada dalam kendalinya

NIC;

1) Dukung kekuatan-kekuatan diri yang dapat diidentifikasi oleh klien


2) Dorong kemandirian, tetapi bantu klien jika tidak dapat melakukan

c. Ketakutan berhubungan dengan perubahan fisik


Tujuan;
Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan ketakutan yang dialami klien
menurun atau menghilang
NOC;
1) Klien mampu mencari informasi untuk menurunkan ketakutan
2) Klien mampu menghindari sumber ketakutan bila mungkin
3) Klien mampu mengendalikan respon ketakutan

NIC;

1) Sering ebrikan penguatan positif bila pasien mendemontrasikan perilaku yang


dapat menurunkan / menghilankan takutnya
2) Gunakan pendekatan yang tenang dan meyakinkan

d. Ansietas berhubungan dengan perasaan takut yang disebabkan oleh antisipasi


terhadap bahaya
Tujuan;
Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan cemas dan stess yang dialami
klien menurun atau menghilang
NOC;
1) Intensitas kecemasan berkurang atau menghilang
2) Tidak ditemukan tanda-tanda kecemasan
3) Menunjuka relaksasi

NIC;

1) Tenangkan klien instruksikan klien untuk menggunkan teknik relaksasi


2) Sediakan aktivitas untuk menurunkan keteganagan

e. Koping defensif berhubungan dengan harapan diri yang tidak realistik


Tujuan;
Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan terbentuk koping yang efektif
NOC;
1) Koping efektif
2) Harga diri positif
3) Keterampilan interaksi sosial positif

NIC;

1) Bantu klien untuk mengidentifikasi dampak penyakit terhadap konsen diri


2) Bantu klien mengidentifikasi aspek positif dalam dirinya
4. IMPLEMETASI & EVALUASI KEPERAWATAN
Disesuaikan dengan intervensi keperawatan
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Berdasarkan makalah diatas kami dapat menyimpulkan bahwa Perawatan Populasi
Rentan pada Ibu Hamil, Anak dan Penyakit Kronis diatur dalam UU No 24/2007, pasal 55,
ayat 2 Kelompok rentan dalam situasi bencana adalah individu atau kelompok yang
terdampak lebih berat diakibatkan adanya kekurangan dan kelemahan yang dimilikinya
yang pada saat bencana terjadi menjadi beresiko lebih besar, meliputi: bayi, balita, dan
anak-anak; ibu yang sedang mengandung/menyusui; penyandang cacat (disabilitas); dan
orang lanjut usia.
Anak-anak adalah orang yang memerlukan kegembiraan, kasih sayang perlakuan
yang santun dan asupan gizi seimbang untuk memastikan potensi-potensi dalam dirinya
bisa tumbuh dengan baik. Bencana atau ancaman bencana akan bisa merampas ini semua,
sehingga kebijakan berkaitan kebencanaan harus memastikan bisa menjamin dan
melindungi mereka. Kelompok yang paling rentan ketika terjadi bencana adalah anak.
Bayi dan anak-anak sering menjadi korban dalam semua tipe bencana karena
ketidakmampuan mereka melarikan diri dari daerah bahaya. Pasca bencana, anak-anak
berisiko mengalami masalah-masalah kesehatan jangka pendek dan jangka panjang baik
fisik dan psikologis karena malnutrisi, penyakit-penyakit infeksi, kurangnya skill bertahan
hidup dan komunikasi, ketidakmampuan melindungi diri sendiri, kurangnya kekuatan fisik,
imunitas dan kemampuan koping. Kondisi tersebut dapat mengancam nyawa jika tidak
diidentifikasi dan ditangani dengan segera oleh petugas kesehatan.
Bencana juga berdampak pada penyakit kronis yang akan memberi pegaruh besar
pada kehidupan dan lingkungan bagi orang-orang dengan penyakit kronik. Terutama dalam
situasi yang terpaksa hidup di tempat pengungsian dalam waktu yang lama atau terpaksa
memulai kehidupan yang jauh berbeda dengan pra-bencana, sangat suli tmengatur dan
memanajemen penyakit seperti sebelum bencana. Walaupun sudah berhasil selamat dari
bencana dan tidak terluka sekalipun manajemen penyakit kronis mengalami kesulitan,
sehingga kemungkinan besar penyakit tersebut kambuh dan menjadi lebih parah lagi ketika
hidup di pengungsian atau ketika memulai kehidupan sehari-hari lagi.
B. SARAN

Kami menyadari bahwa makalah diatas banyak sekali kesalahan dan jauh dari
kesempurnaan. Kami akan memperbaiki makalah tersebut dengan berpedoman pada
banyak sumber yang dapat dipertanggungjawabkan. Maka dari itu kami mengharapkan
kritik dan saran mengenai pembahasan makalah diatas.
DAFTAR PUSTAKA

Dewa.(2017).perawatan pada kelompok rentan saat bencana. Diakses di


http://id.scribd.com/document/340027590/perawatan-pada-kelompok-rentan-saat-
bencana
Farida, Ida. 2014. Manajemen Penanggulangan Bencana Kegiatan Belajar II: Keperawatan
Bencana pada Anak. Jakarta: Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya
Manusia, Pusat Pendidikan dan Pelatihan Tenaga Kesehatan
Dewa.(2017).perawatan pada kelompok rentan saat bencana.
Diakses di http://id.scribd.com/document/340027590/perawatan-pada-kelompok-
rentan-saat-bencana
Farida, Ida. 2014. Manajemen Penanggulangan Bencana Kegiatan Belajar II: Keperawatan
Bencana pada Anak. Jakarta: Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya
Manusia, Pusat Pendidikan dan Pelatihan Tenaga Kesehatan.
Purnomo Hadi, Dkk, Manajemen Bencana: Respon dan Tindakan Terhadap Bencana, Jakarta:
Niaga Swadaya, 2016.
Herman Ade, wulan Susilo. (2018). penanggulangan bencana. Vol. 9, No. 2 Tahun 2018
Hal.102-115
Nurhidayati, I,. Ema R. 2017. Kesiapsiagaan Keluarga Dengan Penyakit Kronis Menghadapi
Becana Gunung Berapi Di Desa Sidorejo Kec. Kemalang Klaten. Jurnal Ilmiah
keperawatan Indonesia. Vol 1, No 1. Klaten
Widayatun,. Zainal, F. 2013. Permasalahan Kesehatan Dalam Kondisi Bencana: Peran Petugas
Kesehatan Dan Partisipasi Masyarakat. Jurnal Kependudukan Indonesia. Vol. 8 No.1

Anda mungkin juga menyukai