Sejarah Hukum Agraria
Sejarah Hukum Agraria
Oleh :
Aal Lukmanul Hakim
Dosen Fakultas Hukum Universitas Djuanda Bogor
BAB I
PENDAHULUAN
Dari berbagai alasan kenapa pentingnya suatu kajian sejarah hukum, maka
penulis menganggap perlu untuk melakukan kajian terhadap sejarah hukum
agraria Indonesia. Dengan demikian setidaknya dapat dilihat gambaran tentang
hukum agrraria Indonesia sebagai suatu gejala yang tidak terlepas dari proses
masa lalu.
Dari uraian di atas, panulis menuangkan kajian tentang sejarah hukum ini
dalam makalah sederhana dengan judul “Hukum Agraria Indonesia : Sejarah
dan Perkembangannya”
1
John Gilissen†, Frits Gorle dan Freddy Tengker, Sejarah Hukum : Suatu Pengantar, Refika Aditama,
Bandung, 2005, hlm. 1 dst.
2
B. Identifikasi Masalah
Dari uraian latar belakang masalah di atas, maka masalah yang dikaji dalam
makalah ini adalah :
1. Bagaimana proses sejarah hukum agararia Indonesia sampai dengan
terbentuknya UUPA 1960 ?
2. Bagaimana perkembangan hukum agararia Indonesia dalam konteks kekinian
2. Kegunaan Penelitian.
a. Secara Teoritis; makalah ini diaharapkan berguna untuk memperkaya
litertur kasanah kajian hukum agraria Indonesia guna kemajuan ilmu
pengetahuan hukum khususnya di bidang hukum agararia Indonesia;
b. Secara Praktis; makalah ini dapat berguna sebagai sumber kajian
berikutnya dalam bidang hukum ke-agraria-an Indonesia.
D. Kerangka Teoritis
Di mana ada masyarakat, di situ ada hukum. Ubi cocietas, ibi ius. Di
manapun di dunia ini selama di situ ada masyarakat, maka di situ ada aturan
hukum. Sejalan dengan hal itu, hukum itu tumbuh dan berkembang bersama
masyarakatnya. Hukum itu tumbuh dan berkembang dari refleksi kebutuhan-
kebutuhan yang terungkap dalam jalinan-jalinan hidup masyarakat di mana hukum
itu hidup. Apapun corak hukum itu dipengaruhi oleh jalinan kebutuhan-kebutuhan
masyarakat itu yang merupakan kebudayaan dari masyarakat bersangkutan.
3
Dengan demikian, bahwa suatu tatanan hukum yang hidup dan ditaati
keberadaannya di masyarakat merupakan hasil dari ekstraksi adat sitiadat, cita,
rasa, karsa masyarakat yang dikristalkan dalam bentuk seperangkat aturan yang
memiliki wibawa sehingga hal itu diikuti dalam rangka mencapai tujuan hidup
bermasyarakat yang tertib, teratur, dan adil.
Faham tersebut di atas dikenal dalam ranah imu pengetahuan hukum
dengan faham/mazhab sejarah (historis). Faham inilah yang melandasi pijakan
2
Lili Rasjidi dan B. Arief Sidharta, Filasafat Hukum : Mazhab dan Refleksinya, Remaja Rosdakarya,
Bandung, 1994, hlm. 30.
3
W. Friedmann, Teori dan Filsafat Hukum : Idealisme Filosofis dan & Problema Keadilan (susunan
II), Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 60.
4
berfikir dalam makalah ini, di mana bahwa hukum agraria yang berlaku dalam
sistem hukum nasional adalah merupakan hasil dari ekstraksi volkgeist bangsa
Indonesia. Hal mana ditegaskan dalam UUPA itu sendiri, bahwa UUPA tersebut
berdasarkan hukum adat. Seperti yang disebutkan oleh Pasal 5 UUPA, bahwa :
Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat,
sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang
berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-
peraturan yang tercantum dalam Undang-undang ini dan dengan peraturan-peraturan
yang tercantum dalam perundangan lainya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-
unsur yang bersandar pada hukum agama.
5
BAB II
PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP HUKUM AGRARIA
A. Pengertian Agraria
Boedi Harsono membedakan pengertian agraria dalam tiga perspektif,
yakni arti agraria dalam arti umum, Administrasi Pemerintahan dan pengertian
agraria berdasarkan Undang-undang Pokok Agraria.4 Pertama dalam perspektif
umum, agraria berasal dari bahasa Latin ager yang berarti tanah atau sebidang
tanah. Agrarius berarti perladangan, persawahan, pertanian. Menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia,5 Agraria berarti urusan pertanian atau tanah pertanian,
juga urusan pemilikan tanah. Maka sebutan agraria atau dalam bahasa Inggris
agrarian selalu dairtikan dengan tanah dan dihubungakan dengan usaha pertanian.
Sebutan agrarian laws bahkan seringkali digunakan untuk menunjuk kepada
perangkat peraturan-peraturan hukum yang bertujuan mengadakan pembagian
tanah-tanah yang luas dalam rangka lebih meratakan penguasaan dan
pemilikannya.
Di Indonesia sebutan agraria di lingkungan Administrasi Pemerintahan
dipakai dalam arti tanah, baik tanah pertanian maupun non pertanian.
Tetapi Agrarisch Recht atau Hukum Agraria di lingkungan administrasi
pemerintahan dibatasi pada perangkat peraturan perundang-undangan yang
memberikan landasan hukum bagi penguasa dalam melaksanakan kebijakannya di
bidang pertanahan. Maka perangkat hukum tersebut merupakan bagian dari
hukum administrasi negara.
Sebutan agrarische wet, agrarische besluit, agrarische inspectie pada
departemen Van Binnenlandsche Bestuur, agrarische regelingan dalam himpunan
Engelbrecht, bagian agraria pada kementerian dalam negeri, menteri agraria,
kementerian agraria, departemen agraria, menteri pertanian dan agraria,
departemen pertanian dan agraria, direktur jenderal agraria, direktorat jenderal
agraria pada departemen dalam negeri, semuanya menunjukan pengertian
demikian.
4
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria, Isi
dan Penjelasannya, Djambatan, Jakarta, Jilid 1, 1999, hlm. 4 dst.
5
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta, Edisi
Ketiga, 2005, hlm. 13.
6
bawahnya dan air di atasnya, ada pada Negara Republik Indonesia. (Undang-
undang Nomor : 5 Tahun 1983 tentang : Zone Ekonomi Eksklusif LN. 1983-44).
Sementara, A. P. Parlindungan menyatakan bahwa pengertian agraria
mempunyai ruang lingkup, yaitu dalam arti sempit, bisa terwujud hak-hak atas
tanah, atupun pertanian saja, sedangkan Pasal 1 dan Pasal 2 UUPA telah
mengambil sikap dalam pengertian yang meluas, yakni bumi, air, ruang angkasa
dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
Dari batasan agraria yang diberikan UUPA dalam ruang lingkupnya di
atas mirip dengan pengertian ruang dalam Undang-undang Nomor : 24 Tahun
1992 tentang : Penataan Ruang. Menurut Pasal 1 angka 1 dinyatakan bahwa ruang
adalah wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara sebagai
satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan mahluk lainnya hidup dan melakukan
kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya.
Dari uraian pengertian agraria di atas, maka dapat disimpulkan
pengertian agraria dengan membedakan pengertian agraria dalam arti luas dan
pengertian agraria dalam arti sempit. Dalam arti sempit, agraria hanyalah meliputi
bumi yang disebut tanah, sedangkan pengertian agraria dalam arti luas adalah
meliputi bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya. Pengertian tanah yang dimaksudkan di sini adalah bukan dalam arti
fisik, melainkan tanah dalam pengertian yuridis, yaitu hak. Pengertian agraria
yang dimuat dalam UUPA adalah pengertian agraria dalam arti luas.
6
Suardi, Hukum Agraria, B.P. Iblam, Jakarta, 2005, hlm. 4 dst.
9
7
Ibid.
10
tanah itu dalam batas menurut UUPA, dan peraturan-perturan hukum lain yang
lebih tinggi.
C. Hukum Tanah
Dalam pengertian konteks agraria, tanah berarti permukaan bumi paling
luar berdimensi dua dengan ukuran panjang dan lebar. Hukum tanah di sini bukan
mengatur tanah dalam segala aspeknya, melainkan hanya mengatur salah satu
aspeknya saja yaitu aspek yuridisnya yang disebut dengan hak-hak penguasaan
atas tanah.
Dalam hukum, tanah merupakan sesuatu yang nyata yaitu berupa
permukaan fisik bumi serta apa yang ada di atasnya buatan manusia yang disebut
fixtures. Walaupun demikian perhatian utamanya adalah bukan tanahnya itu,
melainkan kepada aspek kepemilikan dan penguasaan tanah serta
perkembangannya. Objek perhatiannya adalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban
berkenaan dengan tanah yang dimiliki dan dikuasai dalam berbagai bentuk hak
penguasaan atas tanah.
Dengan demikian, jelaslah bahwa tanah dalam arti yuridis adalah
permukaan bumi, sedangkan hak atas tanah hak atas sebagiaan tertentu permukaan
bumi, yang berbatas, berdimensi dua dengan ukuran panjang dan lebar.
Yang dimaksud dengan hak atas tanah adalah hak yang memberi
wewenang kepada pemegangnya untuk mempergunakan dan/atau mengambil
manfaat dari tanah yang dihakinya. Atas ketentuan Pasal 4 ayat (2) UUPA,
kepada pemegang hak atas tanah diberikan wewenang untuk mempergunakan
tanah yang bersangkutan, demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang di atasnya
sekedar diperlukan untuk kepentingan langsung yang berhubungan dengan
penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut UUPA dan peraturan-peraturan
hukum lain yang lebih tinggi.
Hirarki hak-hak atas penguasaan atas tanah dalam hukum tanah nasional
adalah :
1. Hak bangsa Indonesia atas tanah;
2. Hak menguasai negara atas tanah;
3. Hak ulayat masyarakat hukum adat;
4. Hak-hak perseorangan, meliputi :
a. Hak-hak atas tanah, meliputi :
11
8
Urip Santoso, Hukum Agraria & Hak-hak Atas Tanah, Prenada Media, Jakarta, Edisi Pertama Cet.
Ke-2 2005. hlm. 12.
12
9
Djuhaendah Hasan, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda-benda Lain yang Melekat
Pada Tanah Dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horisontal, Citra Aditya, Bandung, 1996,
hlm. 67.
13
“Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara
dan dipergunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
BAB III
HUKUM DAN POLITIK AGRARIA KOLONIAL
Beberapa ketentuan hukum agraria pada masa kolonial beserta ciri dan
sifatnya dapat diuraikan sebagai berikut :
3). Roerendiensten.
Keijaksanaan ini dikenal dengan kerja rodi, yang dibebankan kepada
rakyat Indonesia yang tidak mempunyai tanah pertanian.
10
Urip Santoso, Hukum Agraria & Hak-hak Atas Tanah, Kencana, Jakarta, Edisi Pertama, Cet. Ke-2,
2005, hlm. 16.
11
Ibid, hlm. 18.
16
12
Ibid.
17
Jika diterjemahkan :
“Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan dalam Pasal 2 dan 3
Agrarische Wet, tetap dipertahankan asas, bahwa semua tanah yang pihak
lain tidak dapar membuktikan sebagai hak eigendomnya, adalah domein
negara (milik) negara”.
13
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia : Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria,
Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, Edisi Revisi, Cet. Ke-8, 1999, hlm. 41 dst.
22
c. Erfacht Ordonantie.
Mengenai pemberian hak erfacht kepada para pengusaha tersebut,
menurut AW harus diataur dalam ordonansi. Maka daka dalam
pelaksanaannya dijumpai berbagai peraturan mengenai hak erfacht, yaitu
:14
a. Untuk Jawa dan Madura, kecuali daerah-daerah Swapraja :
1). Agrarische Besluit (S.1870-118) Pasal 9 sampai dengan 17;
2). Ordonansi yang dimuat S.1872-237a, yang beberapa kali
mengalami perubahan , terakhir dalam tahun 1913 disusun kembali
dan diundangkan dalam S.1913-699.
b. Untuk luar Jawa dan Madura, kecuali daerah-daerah Swapraja : semula
ada beberapa ordonansi yang mengatur hal-hal mengenai pemberian
hak erfacht yang berlaku di daerah-daerah tertentu,
1). S.1874f untuk Sumatera.
2). S.1877-55 untuk keresidenan Manado.
3). S.1888-58 utnuk daerah Zuider-en Oosteradeling Borneo.
14
Ibid, hlm.39.
23
d. Agrarische Eigendom.
Agrarische eigendom adalah suatu koninklijk besluit tertanggal 16
April 1872, Nomor : 29, mengenai hak agrarische eigendom.
Yang dimaksud dengan Agrarische eigendom adalah suatu hak
yang bertujuan untuk memberikan kepada orang-orang
Indonesia/pribumi,nsuatu hak yang kuat atas sebidang tanah. Agrarische
eigendom ini, dalam praktik untuk membedakan hak eigendom
sebgaimana yang dimaksud dalam BW.
Agrarische eigendom diatur dalam Pasal 51 ayat (7) I.S., diatur
lebih lanjut dalam Pasal 4 AB kemudian diatur lebih lanjut dalam KB
tanggal 16 April 1872 Nomor : 29 (S. 1872-117) dan S. 1837-38.
berdasarkan KB tersbut, tata cara memperoleh Agrarische eigendom
dijelaskan di bawah ini, yaitu :
24
1). Apabila seseorang Indonesia asli (=bumi putera) berkeinginan agar hak
milik atas tanahnya, dirubah menjadi Hak Agrarische eigendom, maka
pemohonannya harus diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri
setempat, agar ia ditetapkan sebagai pemiliknya. Inilah yang disebut :
uitwijzing van erfelijk individucel gebbruikrecht. Ini hanya mungkin
apabila tanahnya di lkuar sengketa, artinya tanpa berperkara dengan
pihak lain.
2). Untuk ini semua sebelumnya diadakan pengumuman, di desanya yang
bersangkutan untuk memberi kesempatan kepada pihak ketiga yang
merasa berkepentigan akan mengajukan keberatan-keberatan terhadap
permohonan uitwijzing van erfelijk individucel gebbruikrecht di atas.
3). Dengan berlandaskan keputusan ketua pengadilan negeri tersebut,
maka agrarische eigendom dapat diberikan kepada pemohon oleh
bupati yang bersangkutan bertindak untuk dan atas nama pemberian
gubernur jenderal.
4). Agrarische eigendom yang telah diperoleh dari bupati tersebut, maka
Agrarische eigendom tersebut harus didafatarkan menurut peraturan
sebagaimana dimuat dalam S.1873-38, dan kepada pemiliknya akan
mendapat surat tanda bukti hak.
5). Setiap peralihan hak, pembebanan degnan hypotheek, harus
didaftarkan di Kantor Pengadilan Negeri.
15
Asas konkordansi yaitu suatu asas hukum yang menyatakan bahwa hukum yang berlaku untuk suatu
golongan di negara tertentu haruslah sama dengan hukum yang berlaku di negara lain untuk
golongan yang sama.
26
lain yang dapat berbentuk rumah atau bangunan, tanaman dan seterusnya
di samping hak opstal tersebut memberikan wewenang terhadap benda-
benda tersebut kepada pemegang haknya juga diberikan wewenang-
wewenang yaitu :
a). Memindah-tangankan benda yang menjadi haknya kepada pihak lain;
b). Dapat dijadikan jaminan utang;
c). Dapat diwariskan.
Dengan catatan hak opstal tersebut belum habis waktunya menurut
perjanjian yang telah ditetapkan bersama.
3) Tanah hak erfacht, yaitu hak untuk dapat diusahakan/mengolah tanah
orang lain dan menarik atau hasil yang sebanyak-banyaknya dari tanah
tersebut, keweangangan pemegang hak erfacht hampir sama dengan
kewewnangan hak opstal.
4) Tanah hak gebruik, yaitu tanah hak pakai atas tanah orang lain.
Di samping hak atas tanah barat tersebut di atas, juga ada tanah-tanah
dengan hak Indonesia, seperti tanah-tanah dengan hak adat, yang disebut tanah
hak adat. Ada pula tanah-tanah dengan hak ciptaan pemerintha Hindia Belanda
seperti agararische eigendom, landerijn bezitrecht. Juga dengan hak-hak
ciptaan pemerintah swapraja, seperti grant sultan. Tanah-tanah dengan hak-
hak adat dan hak-hak ciptaan pemerintha Hindia Belanda dan swapraja
tersebut, bisa disebut tanah-tanah hak Indonesia, yang cakupannya lebih luas
dari tanah-tanah hak adat.
Tanah-tanah hak barat dapat dikatakan hampir semuanya terdaftar pada
Kantor Overschrijvings Ambtenar menurut Overschrijvings Ordonantie S.
1834-27 dan dipetakan oelh Kantor Kadaster menurut peraturan-peraturan
kadaster. Tanah hak barat ini tunduk pada hukum tanah barat. Artinya hak-hak
dan kewajiban pemegang haknya, persyaratan bagi pemegang haknya, hal-hal
mengenai tanah yang dihaki, sert aperolehannya, pembebanannya diatur
menuurut ketentuan-ketentuan hukum tanah barat.16
Tanah-tanah hak adat hampir semuanya belum didaftar. Tanah-tanah
itu tunduk pada hukum adat yang tidak tertulis. Tanah-tanah hak adat, yang
16
Boedi Harsono, Ibid, hlm. 54.
28
teridiri atas apa yang disebut tanh ulayat msyarakat-masayrakat hukum adat
dan tanah perorangan, seperti hak milik adat, merupakan sebagian terbesar
ranah Hindi Belanda.
Untuk tanah-tanah hak ciptaan pemerintah swapraja, di daerah-daerah
swpraja Sumatera Timur dipunyai dengan hak-hak ciptaan pemerintah
swapraja. Di daerah Kesultanan Deli misalnya dikenal tanh-tanah yang
dipunyai dengan apa yang disebut :17
1) Grant Sultan semacam hak milik adat, diberikan oleh pemrintah swapraja,
khusus bagi para kaula swapraja, didaftar di kantor pejabat swapraja;
2) Grant Controleu, diberikan oleh pemerintah swapraja bagi bukan kaula
swapraja, didaftar di kantor Controleur (pejabat pangreh praja Belanda);
3) Grant Deli Maatschappij, terdapat di kota Medan dan diberikan oleh Deli
Maatschappaij, juga didaftar di kantor perusahaan tersebut. Deli
Maatschappaij adalah suatu perusahaan yang mempunyai usah perkebunan
besar tembakau dan bergerak juga di bidang pelayanan umum dan tanah,
memperoleh tanah yang luas dari pemerintah swapraja Deli dengan Grant.
Tanah tersebut dipetak-petak dan diberikan kepada yang memerlukan oleh
Deli Maatschappaij kepada juga dengan grant yang merupakan “sub-grant”
dikenal dengan sebutan “grant D”, singkatatan dari grant Deli
Maatschappaij.
4) Hak konsesi untuk perusahaan perkebunan besar, diberikan oleh
pemerintah swapraja dan didaftar di kantor residen.
17
Ibid.
29
Pada masa kolonial ini tanah-tanah hak adat tidak terdaftar, kalaupun
ada hanyalah bertujuan untuk bukti setoran pajak yang telah dibayar oleh
pemiliknya, sehingga secara yuridis formal bukan sebagai pembuktian hak.
18
Suardi, Hukum Agraria, Badan Penerbit Iblam, Jakarta, 2005, hlm. 19.
30
seluas ± 8.000 Ha. Daerah Kediri luas tanah perkebunan ± 23.000 Ha.
pendudukan oleh rakyat seluas ± 13.000 Ha. dan menurut perkiraan dari
luas tanah perkebunan di Jawa yang seluas ± 200.000 Ha. telah diduduki
akan diberlakukan oleh negara untuk mencapai tujuan negara yang bentuknya
dapat berupa pembuatan hukum baru dan penggantian hukum lama.19
Dengan demikian, politik hukum agraria merupakan arah kebijaksanaan
hukum dalam bidang agraria dalam usaha memelihara, mengawetkan,
memperuntukan, mengusahakan, mengambil manfaat, mengurus dan membagi
tanah dan sumber daya alam lainnya yang terkandung di dalamnya untuk
kepentingan dan kesejahteraan rakyat. Dimana dalam pelaksanaan legal policy itu
dapat dituangkan dalam sebuah peraturan perundang-undangan yang memuat asas,
dasar, dan norma dalam bidang agraria dalam garis besar.
Sementara itu, politik hukum agraria kolonial adalah prinsip dagang, yakni
untuk mendapatkan hasil bumi/bahan mentah dengan harga yang serendah
mungkin, kemudian dijual dengan harga yang setinggi-tingginya. Tujuannya tidak
lain mencari keuntungan sebesar-besarnya bagi diri pribadi penguasa kolonial
yang merangkap sebagai pengusaha. Keuntungan ini juga dinikmati oleh
pengusaha Belanda dan pengusaha Eropa. Sebaliknya bagi rakyat Indonesia
menimbulkan penderitaan yang sangat mendalam.
Sistem kolonial ditandai dengan 4 ciri pokok, yaitu dominasi, eksploitasi,
diskriminasi dan dependensi. Prinsip dominan terjadi dalam kekuasaan golongan
penjajah yang minoritas terhadap penduduk pribumi yang mayoritas. Dominasi ini
ditopang oleh keunggulan militer kaum penjajah dalam menguasai dan
memerintah penduduk peribumi. Eksploitasi atau pemerasan sumber kekayaan
tanah jajahan untuk kepentingan negara penjajah. Penduduk pribumi diperas
tenaga dan hasil peoduksinyaaunutk diserahkan kepada penjajah, yang kemudian
oleh pihak penjajah itu dikirim ke negara induknya untuk kemakmuran mereka
sendiri. Diskriminasi atau perbedaan ras dan etnis. Golongan penjajah dianggap
sebagai golongan yang superior, sedangkan penduduk pribumi yang dijajah
dipandang sebagai bangsa yang rendah atau hina. Dependensi atau ketergantungan
masyarakat jajahan terhadao penjajah. Masyarakat terjajah menjadi makin
tergantung kepada penjajah dalam hal modal, teknologim pengetahuan, dan
keterampilan karena mereka semakin lemah dan miskin.20
19
Mahfud MD. Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi. Jakarta , LP3ES, 2006. hlm.. 13
dst.
20
Noer Fauzi dalam Urip Santoso, Op. Cit. Hlm. 28.
33
21
Imam Sotiknjo, Pelaksanaan Undang-undang Pokok Agraria dala Rangka Menyukseskan Pelita V,
Makalh Ceramah Sehari, Universitas 17 Agustus 1945, Surabaya, 1989, hlm. 2-3 dalam Urip
Santoso, Op. Cit. hlm. 31.
35
BAB IV
UNDANG-UNDANG POKOK AGRARIA (UUPA)
SEBAGAI HUKUM AGRARIA NASIONAL
22
Undang-Undang Dasar 1945 ditetapkan sebagai Hukum Dasar (Konstitusi) Negara Republik
Indonesia adalah pada tanggal 18 Agustus 1945 dalam Rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI) yang dipimpin oleh Soekarno.
37
Dasar politik hukum agraria nasional dinyatakan dalam Pasal 33 ayat (3)
UUD 1945 yang menyebutkan :
“Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara, dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
23
Urip Santoso, Hukum Agraria & Hak-hak Atas Tanah, Kencana, Jakarta, Edisi Pertama, Cet. Ke-2,
2005, hlm. 36.
38
memungut sebgian dari hasil tanama rakyat yang mengusahakan tanah itu.
berdasarkan S.1918-20, para pengusaha asing tersebut kemudian mendapatkan
hak atas tanah oleh raja yang disebut hal konversi (beschikking konversi).
Keputusan raja, pada hakikatnya merupakan suatu keputusan penguasa untuk
memakai dan mengusahakan tanah tertentu.
Berdasrkan Undang-undang Nomor 13 Tahun 1948 yang mencabut Stb.1918-
20. dan ditambah dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1950, yang secara
tegas dinyatakan bahwa lembaga konversi, begitu juga hak-hak konversi serta
hypotheek yangmembebaninya menjadi hapus.
3. Pengahapusan tanah pertikelir.
Pada masa penjajahan dikeluarkan kebijaksanaan di bidan pertanahan oleh
Pemerintah Hindia Belanda berpa tanah partikelir yang di dalamnya terdapat
hak peruanan. Dengan adanya hak pertuanan ini, seakan-akan tanah-tanah
partikelir tersebut merupakan negara dalam negara. Tuan-tuan tanah yang
mempunyai hak kekuasaan yang demikian besar banyak yang
menyalahgunakan haknya, sehingga banyak menimbulkan penderitaan dan
kesengsaraan rakyat yang ada atau berdiam di wilayahnya.
Setelah Indonesia merdeka, pemerintah Indonesia melakukan pembelian
tanah-tanah partikelir, namun hasilnya tidak memuaskan dikarenakan tidak
tersedianya dan yang cukup juga karena tuan-tuan tanah yang bersangkutan
menuntut harga yang tinggi.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1958 tentang Penghapusan
Tanah-tanah Partikelir, 24 Januari 1958, hak-hak milik partikelir atas tanahnya
dan hak-hak pertuanannya hapus, dan tanah bekas apartikelir itu karen hukum
seluruhnya serentak menjadai tanah negara.
Undang-unang Nomor 1 Tahun 1958 pada hakikatnya merupajan pencabutan
hak, dan kepada pemilik tanah partikelir diberikan ganti kerugian. Tanah
partikelir dinyatakan hapus jika pembayaran ganti kerugian telah sesuai.
4. Perubahan peraturan persewaan tanah rakyat.
Praturan tentang persewaan tanah rakyat kepada perusahaan perkebunan bedar
khususnya dan orang-orang bukan Indonesia asli pada umumnya sebagai yang
dimaksudkan dalam Pasal 51 ayat (8) I.S. untuk Jawa dan Madura diatur
dalam dua peraturan, yaitu Grondhuur Ordonantie S.1918-88 untuk
daerahpemerintahan langsung dan Voerstenlands Grondhuureglement S.1918-
39
a. Dasar Hukum.
Panitia ini dibentuk dengan Penetapan Presiden Nomor : 16 Tahun
1948 tanggal 21 Mei 1948, berkedudukan di Yogyakarta diketuai oleh
Sarimin Reksodihardjo, Kepala Bagian Agraria Kementerian Agraria.
Panitia ini bertugas anatara lain :
1) Memberikan pertimbangan kepada pemerintah tentang soal-soal
mengenai hukum tanah pada umumnya;
2) Merencanakan dasar-dasar hukum tanah yang memuat politik agararia
Republik Indonesia;
3) Merencanakan peralihan, penggantian, pencabutan peraturan-peraturan
lama tentang tanah yang tidak sesuai lagi dengan kedudukan Republik
Indonesia sebagai negara yang merdeka;
4) Menyelidiki soal-soal lain yang berkenaan dengan hukum tanah.
2. Panitia Jakarta.
a. Dasar Hukum.
Panitia Yogyakarta dibubarkan dengan Keputusan Presiden Nomor
: 3 6 Tahun 1951 tanggal 19 Maret 1951, sekaligus dubentuk Panitia
Agraria Jakarta yang berkedudukan di Jakarta.
b. Keanggotaan.
Panitia Jakarta beranggotakan :
1) Ketua : Sarimin Reksodihardjo, kemudian pada tahun 1953 diganti
oleh Singgih Praptodihardjo (Wakil Kepala Bagian Agraria
Kementrian Agararia);
2) Pejabat-pejabat kementrian;
3) Pejabat-pejabt jawatan; dan
4) Wakil-wakil organisasi tani.
3. Panitia Soewahjo.
a. Dasar Hukum.
Guna mempercepat proses pembentukan undang-undang agraria
nasional, maka dengan Keputusan Presiden RI tertanggal 14 Januari 1956
Nomor : 1 Tahun 1956, berkedudukan di Jakarta, diketuai oleh Soewahjo
Soemodilogo, Sekretaris Jenderal Kementrian Agraria. Tugas utama
panitia ini adalah mepersiapkan rencana undang-undang pokok agararia
yang nasional, sedapat-dapatnya dalam waktu satu tahun.
b. Rancangan Undang-undang.
Panitia ini berhasil menyusun naskah Rancangan Undang-undang
Pokok Agraria pada tanggal 1 Januari 1957 yang pada berisi :
1) dihapuskannya asas domein dan diakuinya hak ulayat, yang harus
ditundukkan pada kepentingan mum (negara);
2) Asas domein diganti dengan hak kekuasaan negara atas dasar
ketentuan Pasal 38 ayat (3) UUDS 1950;
3) Dualisme hukum agraria dihapuskan. Secara sadar diadakan kesatuan
hukum yang akan memuata lembaga-lembga dan unsur-unsur yang
baik, baik yang terdapat dalam hukum adat maupun hukum barat;
4) Hak-hak atas tanah : hak milik sebagai hak yang terkuat yang berfungsi
sosial kemudian ada hak usaha, hak bangunan dan hak pakai;
5) Hak milik hanya boleh dipunyai oleh warga negara Indonesia yang
tidak diadakan pembedaan antara waraga negara asli dan tidak asli.
Badan-badan hukum pada asasnya tidak boleh mempunyai hak milik
atas tanah;
6) Perlu diadakan penetapan batan maksimum dan minimum luas tanah
yang boleh menjadi milik seseorang atau badan hukum;
7) Tanah pertanian pada asasnya perlu dikerjakan dan diushakan sendiri
oleh pemiliknya;
8) Perlu diadakan pendaftaran tanah dan perencanaan penggunaan tanah.
4. Rancangan Soenarjo.
Setelah diadakan perubahan sistematika dan rumusan beberapa pasal,
Rancangan Panitia Soewahjo diajukan oleh Menteri Soenarjo ek Dewan
Perwakilan Rakyat. Untuk membahas rancangan tersebut, DPR perlu
mengumpulkan bahan yang lebih lengkap dengan meminta kepada Universitas
Gadjah Mada, selanjutnya membentuk panitia ad hoc yang terdiri dari :
Ketua merangkap anggota : A.M. Tambunan
Wakil Ketua merangkap anggota : Mr. Memet Tanumidjaja
Anggota-anggota : Notosoekardjo
Dr. Sahar glr Sutan Besar
K.H. Muslich
Soepeno
Hadisiwojo
I.J. Kasimo
Selain dari Universitas Gadjah Mada bahan-bahan juga diperoleh dari
Mahkamah Agung RI yang diketuai oleh Mr. Wirjono Prodjodikoro.
5. Rancangan Sadjarwo.
Melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959 diberlakukan kembali UUD 1945.
Karena rancangan Soenarjo disusun berdasarkan UUDS 1950, maka pada
tanggal 23 Maret 1960 rancangan tersebut ditarik kembali. Dalam rangka
menyesuaikan rancangan UUPA dengan UUD 1945, perlu diminta saran dari
Universitas Gadjah Mada. Untuk itu, pada tanggal 29 Desember 1959, Menteri
Mr. Sadjarwo beserta stafnya Singgih Praptodihardjo, Mr, Boedi Harsono, Mr.
Soemitro pergi ke Yogyakarta untuk berbicara dengna pihak Universitas
Gadjah Mada yang diwakili oleh Prof. Mr. Drs. Notonagoro dan Drs. Imam
Sutigyo.
Setelah selesai penyusunannya, maka rancangan UUPA diajukan
kepada DPRGR. Pada hari Sabtu tanggal 24 September 1960 rancanan UUPA
sisetujui oleh DPRGR dan kemudian disahkan oleh Presiden RI menjadi
Undang-undang Nomor : 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok
Agraria, yang lazim disebut Undang-undang Pokok Agraria disingkat UUPA.
47
DAFTAR PUSTAKA