Anda di halaman 1dari 5

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Vaksin adalah sejenis produk biologis yang mengandung unsur antigen berupa virus atau
mikroorganisme yang sudah mati atau sudah dilemahkan dan juga berupa toksin mikroorganisme
yang telah diolah menjadi toksid atau protein rekombinan, yang sudah ditambahkan dengan zat
lainnya. Vaksin berguna untuk membentuk kekebalan spesifik secara aktif terhadap penyakit
tertentu. Vaksin merupakan produk yang rentan, masing -masing mempunyai karakteristik
tertentu maka diperlukan pengelolaan secara khusus sampai di gunakan (WHO, 2015;
Proverawati dan Andhini., 2010). Mutu tiap vaksin terjamin bila tindakan yang benar dilakukan
saat pengelolaan rantai dingin vaksin, rentang suhu yang di anjurkan yaitu 20C-80C. Pengelolaan
rantai dingin vaksin yang tidak sesuai dengan ketentuan yang ada dapat mengakibatkan
kerusakan vaksin, sehingga potensi vaksin berkurang atau hilang. Potensi vaksin yang berkurang
atau hilang tidak dapat lagi diperbaiki (WHO, 2015; Proverawati dan Andhini., 2010).
Masalah pengelolaan rantai dingin vaksin termasuk masalah global, masalah ini melanda
negara berkembang dan negara maju di dunia. Pengelolaan rantai dingin vaksin yang tidak baik
seperti terpapar dengan suhu beku pada saat transportasi dan penyimpanan. Antara negara
berkembang dan negara maju angka kejadiannya tidak teralalu jauh berbeda yaitu sebesar 35,3%
pada saat transportasi di negara berkembang dan sebesar 16,7% di negara maju, sedangkan pada
saat penyimpanan yaitu sebesar 21,9% di negara berkembang dan sebesar 13,5% di negara maju
(Matthias et al., 2007).
Suhu beku dapat merusak potensi vaksin, terutama pada golongan vaksin rentan beku atau
Freeze Sensitive (FS) seperti Diphteri Tetanus (DT), Tetanus Toksoid (TT), Tetanus diptheri
(Td), Diphteri Pertusis Tetanus/Hepatitis B/Hemophilus Influenza Type B (DPT/HB/Hib) dan
Hepatitis B. Vaksin golongan ini menggunakan ajuvan garam aluminium yang akan mengendap
bila terpapar dengan suhu beku (WHO, 2015; Kemenkes RI, 2013). Penelitian di India oleh
Serum Institute of India (2002) tentang pembekuan vaksin DPT, bahwa pada pembekuan
pertama potensi komponen tetanus berkurang menjadi 85,5% dibanding sebelum pembekuan,
pembekuan kedua menjadi 38,5% dan pembekuan ketiga menjadi 20%. Potensi komponen
difteri berkurang menjadi 94% dibanding sebelum pembekuan, pembekuan kedua menjadi 80%
dan pembekuan ketiga menjadi 44%. Sedangkan komponen pertusis tidak berkurang pada
pembekuan pertama, tetapi berkurang pada pembekuan kedua menjadi 77% dan pembekuan
ketiga menjadi 45% (PATH, 2003).
Masalah pengelolaan rantai dingin vaksin pada saat pengangkutan dan penyimpanan, tidak
hanya masalah suhu beku tetapi juga masalah suhu panas. Penelitian yang dilakukan di negara
Hungaria pada vaksin Diptheri Pertusis Tetanus (DPT), bahwa vaksin pada saat transportasi
dengan layanan pos terpapar suhu panas sebesar 6% (Galazka et al., 1998). Kemudian penelitian
yang dilakukan pada 10 kota di negara India tahun 2012 tentang vaksin, bahwa di semua kota
vaksin terpapar dengan suhu diatas 80C selama penyimpanan (Murhekar et al., 2013).
Sedangkan suhu panas menyebabkan seluruh jenis vaksin menjadi rusak, terutama
golongan vaksin sensitif panas atau Heat Sensitive (HS) seperti vaksin Bacillus Calmette
Guerine (BCG), vaksin Polio dan vaksin Campak (WHO, 2015; Kemenkes RI, 2013). Penelitian
vaksin Campak di Pasuruan, bahwa tidak akan terjadi perlindungan terhadap penyakit Campak
bila vaksin yang diberikan rusak akibat terpapar suhu panas (Ningtyas dan Wibowo., 2015).
Potensi vaksin yang baik perlu dalam program imunisasi, supaya kekebalan secara aktif
terbentuk. Program imunisasi sudah dimulai di Indonesia semenjak tahun 1956 yang diawali oleh
imunisasi Cacar. Saat ini di Indonesia sudah ada 8 macam jenis vaksinasi yang diupayakan untuk
pencegahan beberapa penyakit melalui program imuniasi dasar. Penyakit menular yang dicegah
melalui program imunisasi tersebut lebih dikenal dengan sebutan Penyakit yang Dapat Dicegah
Dengan Imunisasi (PD3I). Jenis vaksin dalam program imunisasi dasar yaitu BCG, DT, Td, TT,
Oral Polio Vaccine (OPV) atau Inactive Polio Virus (IPV), Campak, DPT/HB/Hib dan Hepatitis
B (Kemenkes RI, 2013).

Kerusakan potensi vaksin dapat dicegah mulai dari pembuatan sampai digunakan di unit
pelayanan kesehatan dengan pengelolaan rantai dingin vaksin dengan baik. Setiap negara telah
membuat jaminan mutu terhadap kualitas vaksin, yang berada di bawah naungan Kementerian
Kesehatan masing-masing. Indonesia untuk menjaga potensi vaksin telah disiapkan petugas dan
peralatan pengelola vaksin mulai dari pusat sampai ke tingkat Puskesmas. Semua itu untuk
menjaga supaya vaksin tidak rusak selama transportasi, penyimpanan dan pemakaian (Kemenkes
RI, 2013).
Mempertahankan potensi vaksin dalam program imunisasi membutuhkan faktor-faktor
pendukung. Faktor pertama berkaitan dengan kecukupan peralatan pengelolaan rantai dingin
vaksin, faktor kedua mengenai petugas yang meliputi pengetahuan dan sikap (Kristini, 2008).
Sesuai dengan hasil penilaian Effective Vaccine Management (EVM) yang dilakukan oleh
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia bersama United National Childrens Fund
(UNICEF) pada tahun 2011 dan 2012, bahwa peralatan vaksin tidak dikelola dengan baik
sehingga banyak terjadi kerusakan vaksin (Kemenkes RI, 2013). Penelitian Susyanty pada tahun
2012, bahwa di Indonesia pengelolaan rantai dingin vaksin yang baik baru di Provinsi sedangkan
di Kabupaten dan Puskesmas masih banyak mengalami kekurangan seperti perencanaan,
pendistribusian dan fasilitas penyimpanan (Susyanty et al., 2014). Kemudian hasil penelitian
yang dilakukan terhadap Puskesmas induk di Kabupaten Sorolangun tahun 2016, bahwa
pengelolaan rantai dingin vaksin imunisasi dasar di 12 Puskesmas belum ada yang baik (Kairul
et al., 2016).
Dalam rangka mewujudkan keberhasilan PD3I pada program imunisasi, salah satu faktor
pendukung yaitu pemberian vaksin kepada anak yang potensinya masih baik disamping faktor
gizi anak dan cara penyuntikkan yang benar. Jika dilihat dari pencapaian program PD3I di
Indonesia seperti penyakit Campak dan Difteri dapat dikatakan program imunisasi belum baik,
hal ini dapat tergambar dari angka kejadian penyakit Campak dan Difteri. Pada tahun 2016
bahwa ada sebesar 37,7% kejadian penyakit Campak dan sebesar 54,1% kejadian penyakit
Difteri yang terjangkit pada anak dengan status diimunisasi (Kemenkes RI, 2016). Provinsi
Sumatera Barat kejadian penyakit Campak dan Difteri, dilihat dari proporsi divaksinasi terhadap
total kasus terlihat penyakit Campak ada sebesar 49,2% dan penyakit Difteri sebesar 88,9%
(Kemenkes RI, 2016)
Capaian program imunisasi dasar lengkap berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala
Seksi imunisasi Dinas Kesehatan Kabupaten Solok Selatan, bahwa dari 9 Puskesmas untuk 3
tahun terakhir sudah mencapai terget yaitu diatas 85%. Namun kasus PD3I seperti penyakit
Campak dalam 2 tahun ini muncul, yang kejadiannya pada anak yang sudah diimunisasi dengan
proporsi sebesar 40% tahun 2016 dan sebesar 66,6% tahun 2017. Demikian juga penyakit
Difteri pada tahun 2017 muncul bersamaan dengan Kejadian Luar Biasa (KLB) di beberapa
daerah di Indonesia dengan proporsi divaksinasi terhadap total kasus yaitu sebesar 66,6%
(Dinkes, 2017).
B. Perumasan Masalah

Berdasarkan uraian di atas dapat dirumuskan masalah dalam penelitian ini adalah
bagaimana pengelolaan rantai dingin vaksin imunisasi dasar di Puskesmas Dinas Kesehatan
Kabupaten Solok Selatan.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Menganalisis pelaksanaan pengelolaan rantai dingin vaksin imunisasi dasar di Puskesmas


Dinas Kesehatan Kabupaten Solok Selatan tahun 2018.

2. Tujuan Khusus

a. Diketahui input (tenaga, prosedur kerja, sarana prasarana dan dana) terkait dengan
pengelolaan rantai dingin vaksin imunisasi dasar di Puskesmas Dinas Kesehatan
Kabupaten Solok Selatan tahun 2018.
b. Diketahui process (transportasi vaksin, penyimpanan vaksin, pemakaian vaksin serta
pencatatan dan pelaporan vaksin) dalam pengelolaan rantai dingin vaksin imunisasi dasar
di Puskesmas Dinas Kesehatan Kabupaten Solok Selatan tahun 2018.
c. Diketahui output pengelolaan rantai dingin vaksin imunisasi dasar di Puskesmas Dinas
Kesehatan Kabupaten Solok Selatan tahun 2018.

D. Manfaat Penelitian

1. Aspek Teoritis

Hasil yang didapatkan dari penelitian ini dengan harapan dapat menjadi sumbangan
pemikiran bagi para akademisi dalam pengembangan ilmu kesehatan masyarakat tentang
pengelolaan rantai dingin vaksin imunisasi dasar yang baik.

2. Aspek Praktis

Bagi aspek praktisi, manfaat dari hasil yang ditemukan dalam penelitian ini dapat
digunakan sebagai masukan yang berharga bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Solok Selatan,
karena bisa dipakai sebagai acuan rencana strategis dalam pengelolaan rantai dingin vaksin
imunisasi dasar yang baik.

Anda mungkin juga menyukai