Anda di halaman 1dari 4

NAMA : ANHAR SAPUTRA

KELAS : HTN 1E
NIM : 2103020123
MATKUL : USHUL FIQHI

TUGAS : RESUME METERI RUKUN IJMA DAN SYARAT IJMA

Sebagaimana dijelaskan bahwa ijma merupakan kesepakatan semua mujtahid


muslim pada suatu masa terhadap sebuah hukum syara’. Dari definisi tersebut
menurut Abul Wahab Khalaf dalam kitab ‘Ilm Ushul Fiqh, terdapat empat rukun
ijma’ yang merupakan hakikat dan unsur pokok dari suatu ijma. Di antaranya:
Pertama, saat berlangsung kejadian yang memerlukan adanya ijma, terdapat
sejumlah orang yang berkualitas mujtahid. Karena kesepakatan tidak dapat terjadi
kecuali berdasarkan kesepakatan pndapat dari seluruh mujtahid. Jika pada suatu masa
tidak ada mujtahid sama sekali kecuali hanya satu maka ijma tidak bisa terlaksana
secara hukum. Karena itu tidak ada ijma pada zaman Rasul karena beliau satu-satunya
mujtahid pada saat itu.
Kedua, semua mujtahid itu pada satu masa sepakat atas hukum suatu masalah tanpa
memandang negeri asal, suku dan kelompok tertentu. Jika pada masa tersebut yang
mencapai kesepakatan suatu hukum hanya ulama Haramain saja, atau hanya ulama
Irak saja, maka ijma’ tidak dapat disebut ijma’. Karena ijma hanya tercapai dalam
kesepakatan menyeluruh saja.
Ketiga, kesepakatan itu tercapai setelah terlebih dahulu masing-masing mujtahid
mengemukanan pendapatnya sebagai hasil dari usaha ijtihadnya, baik pendapat itu
dikemukakan dalam bentuk ucapan dengan mengeluarkan fatwa, atau dalam bentuk
perbuatan dengan memutuskan hukum dalam pengadilan dalam kedudukannya
sebagai hakim. Penyampaian pendapat itu mungkin dalam bentuk perseorangan yang
kemudian ternyata hasilnya sama atau secara bersama-sama dalam suatu majelis yang
sesudah bertukar pikiran ternyata terdapat kesamaan pendapat.
Keempat, kesepakatan hukum dicapai dari hasil kesepakatan pendapat para ulama
secara keseluruhan. Seandainya ada sebagian dari ulama yang tidak setuju dengan
kesepakatan tersebut maka tidak bisa disebut sebagai ijma. Meski para ulama yang
berbeda pendapat itu sedikit dan yang setuju banyak. Karena ketika terdapat
perbedaan ulama maka ada kemungkinan terdapat kesalahan, sehingga pada saat itu
kesepakatan yang dicapai oleh mayoritas tidak bisa dijadikan sebagai dalil syara yang
pasti dan wajib.
Faishal Ibn Dawud dalam al-‘Ijma’‘inda al-Ushuliyyin menjeskan bahwa keempat
tersebut merupakan rukun-rukun yang disepakati oleh para ulama. Adapun ijma’ yang
dipertentangkan adalah ijma’ sukuti yaitu kesepaatan yang didapat karena mujtahid
lain tidak mengemukakan pendapatnya, sehingga tidak diketahui apakah dimanya
adalah tanda sepakat atau tidak. Adapun rukun yang dikemukakan oleh Imam Ghazali
lebih mengerucut pada dua hal; yaitu adanya para mujtahid dan kesepakatan. Menurut
sebagian ulama dari golongan Nazhamiyah dan Syiah berpendapat bahwa realisasi
ijma dengan rukun-rukun sebagaimana disebutkan di atas sangat sulit diterapkan di
kehidupan nyata. Sebab tidak ada ukuran tertentu untuk mengetahui bahwa seseorang
telah sampai pada derajat mujtahid. Selain itu mungkin susah untuk mengumpulkan
mereka secara fisik atau mengumpulkan pendapat mereka secara kolektif atau
perorangan. Dan sekalipun pendapat mereka dapat dikumpulkan dengan cara
meyakinkan tidak ada yang menjamin bahwa setiap mujtahid itu akan tetap pada
pendiriannya sampai semua pendapat terkumpul semua.
Namun Abdul Wahab Khalaf menentang pendapat tersebut dengan mengatakan
bahwa ijma mungkin saja terjadi dalam kenyataan, sebagaimaan pengangkatan Abu
Bakar mengantikan Rasulullah, haramnya lemak babi, berhaknya kakeh terhadap
harta warisan atas harta cucunya, serta tertutupnya hak waris cucu dengan adanya
anak kandung dan sebagainya. Memang pengumpulan ijma akan sulit jika dilakukan
perorangan atau kelompok. Namun realisasi ijma sebenarnya akan mudah tercapai
pelaksanaannya jika ijma ditangani oleh negara secara langsung berkerjasama dengan
negara lain yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Apalagi di zaman serba
modern ini, di mana teknologi informasi memungkinkan untuk bertukar pendapat dan
berdiskusi semakin mudah.
Pada akhir penjelasannya tentang perdebatan mengenai minimnya tingkat realisasi
ijma di kehidupan nyata, Abdul Wahab Khalaf sampai pada sebuah pendapat bahwa
sebuah hukum bisa dikatakan mencapai ijma jika tidak diketahui adanya pendapat
yang menyalahinya.
Pengertian Ijma’
Ijma’ menurut istilah ushul fiqhi adalah kesepakatan seluruh mujtahid dikalangan
umat Islam pada suatu masa setelah Rasulullah saw., wafat atas hukum syara’
mengenai suatu kejadian. Apabila terjadi sesuatu kejadian yang dihadapkan kepada
semua mujtahid dari umat islam pada waktu kejadian itu terjadi dan mereka sepakat
atas hukum yang mengenainya, maka kesepakatan mereka itu yang disebut dengan
Ijma’
Rukun Ijma’
Dalam defenisi di atas dikatakan bahwa sepakat semua mujtahid muslim pada suatu
masa terhadap hukum syar’i, maka dari sini diambil kesimpulan bahwa rukun Ijma’
ada 4 yaitu :
Pada saat terjadinya peristiwa itu, mujtahid jumlahnya lebih dari satu orang
Sepakat atas hukum syar’i tentang suatu peristiwa
Ada kesepakatan itu dimulai
Menetapkan kesepakatan dari semua mujtahid terhadap suatu hukum
Syarat-Syarat Ijma’
-Yang bersepakat adalah para mujtahid
-Yang bersepakat adalah seluruh mujtahid
-Ijma’ dilakukan setelah wafatnya Rasulullah saw.,
-Kesepakatan mereka harus berhubungan dengan syari’at
Macam-Macam Ijma’
Dilihst dari cara terjadinya, maka ijma’ terbagi atas dua macam yaitu :
1. Ijma’ Sharih
Yaitu semua mujtahid mengemukakan pendapatnya masing-masing, kemudian
menyepakati salah satunya. Hal ini terjadi bila semua mujtahid berkumpul disuatu
tempat, kemudian masing-masing mengeluarkan pendapat terhadap masalah yang
diketahui ketetapan hukumnya. Setelah itu mereka menyepakati salah satu dari
berbagai pendapat yang mereka keluarkan.

2. Ijma’ Sakuti
Yaitu pendapat ulama tentang suatu masalah yang diketahui oleh paramujtahid
lainnya, tetapi mereka diam, tidak menyepakati ataupun pendapat itu secara jelas.
Adapun ijma’ sakuti terbagi atas dua macam yaitu sebagai berikut :
Ijma’ Qath’i , yaitu bahwa hukumnya dipastikan dan tidak ada jalan untuk
memutuskan hukum yang berlainan dengan alasan kasus ini, dan tidak ada peluang
untuk ijtihad dalam suatu kasus setelah terjadinya ijma’ yang sharih atas hukum
syara’ mengenai kasus ini.
Ijma’ Dzanni, yaitu bahwa hukumnya diduga kuat dan ijma’ ini tidak mengeluarkan
kasus ini dari kandungannya sebagao objek ijtihad, karena merupakan ungkapan dari
sekelompok mujtahid bukan keseluruhannya.
Kehujjaan Ijma'.
Ada beberapa masalah yang berkaitan dengan kehujjan ijma', misalnya apakah
ijma' itu syar'i,?, Apakah ijma' itu merupakan landasan ushul fiqhi atau bukan?
Bolehkah kita nafikan atau mengingkari ijma'?.
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, maka para ulama berbeda
pendapat sebagai berikut :
Al-Badawi berpendapat bahwa, orang-orang hawa tidak menjadikan ijma itu sebagai
hujjah secara mutlak
Menurut Al-Hamidi, bahwa para ulama sepakat mengenai ijma' itu bukan sebagai
hujjah yang wajib diamalkan. Pendapat tersebut bertentangan dengan syari'ah
khawarij dan Nizam dari golongan Mu'tazilah
Al-Hajib berkata bahwa ijma' itu hujjah tanpa menanggapi pendapat nizam, khawarij
dan syi'ah
Ar-Rahawi ko berpendapat bahwa ijma' itu pada dasarnya adalah hujjah
Dalam kitab Qawaidul Ushul dan Ma'aqidul ushul dikatakan bahwa ijma' itu hujjah
pada setiap masa. Namun pendapat ini ditentang oleh daud yang mengatakan bahwa
ijma' itu terjadi pada masa sahabat.

Anda mungkin juga menyukai