Anda di halaman 1dari 24

Ayam Mati di Dalam Lumbung : 1

Kepingan Sejarah Kekalahan Orang Melayu atas Tanah Adatnya *


Oleh: edy Ikhsan**

“One can not understand the working of the present forms of legal life
Unless one has studied the process to some extent in organisms
that are now defunct or moribund” (Petric Devlin)

Pengantar
Sengketa tanah komunal (ulayat) orang Melayu di Sumatera Timur (saat ini bahagian
besarnya menjadi wilayah administratif Sumatera Utara) bisa dikatakan sebagai satu dari
ratusan bahkan ribuan sengketa tanah yang sangat panjang, dinamis dan complicated dalam
sejarah perebutan kuasa atas tanah di Indonesia. Sejak awal sekali kita melihat benih konflik
mulai terbuka tatkala konsesi-konsesi perkebunan tembakau diberikan oleh Kesultanan Deli
kepada para planters asing yang avonturir. Pelzer berkata: ”As to the agrarian rights of the
local population whose villages and fields were located within the boundaries of a
concession, the early contract made, at best, desultory provision by rulling that village land,
fileds and orchards, in particular nutmeg and papper gardens, be respected by the planters.
But nothing was said as to amount of land that must be spared.2

Jauh sebelum pernyataan Pelzer tersebut, Deli, Serdang dan kawasan-kawasan sekitarnya
telah menjadi rebutan dari berbagai kerajaan lokal dan negeri-negeri kolonial. Tarik menarik
antara Kerajaan Siak, Johor dan Aceh pada abad ke 16, 17 dan 18 3 dan kompetisi politik
ekonomi antara Belanda dan Ingggris (yang kemudian diakhiri dengan Traktat London pada
tahun 1824) di kawasan ini menunjukkan betapa berharga dan bernilainya wilayah ini di mata
orang luar. Kesuburan dan kekayaan tanah di kawasan ini digambarkan Anderson dengan
cukup detail dan menunjukkan kelak potensinya yang tinggi dalam perebutan kuasa atas

1
Ayam Mati di Dalam Lumbung adalah sebuah metafor Melayu yang berarti miskin di tempat makmur. Ini
mungkin bisa menggambarkan situasi orang Melayu di Sumatera Utara dan hak-hak atas tanahnya, yang secara
terus menerus mengalami tekanan, penyusutan , pergeseran, pengabaian, penistaan dan pada ujungnya
memiskinkan mereka. Tanah-tanah Orang Melayu Deli, Serdang dan Langkat yang yang ada diantara Sungai
Wampu di Langkat dan Sungai Ular di Serdang adalah tanah-tanah yang sangat tinggi kualitasnya untuk
tanaman perkebunan namun tak mampu memberikan kesejahteraan kepada kelompok penduduk asli ini.
Tentang Bidal, metafor, peribahasa dll. bisa dilihat Ainon Mohd, Abdullah Hasan. Pepatah, Bidal dan
Perumpamaan (Siri Kamus).Kuala Lumpur, PTS Publications & Distributors Sdn. Berhad: 2003, hal.29.
2
*Disajikan untuk Seminar Konflik Pertanahan di Sumatera Utara, DPC Ikadin Medan, 21 April 2012. Draft
awal tulisan ini telah disampaikan pada Seminar Internasional Pemikiran Tengku Luckman Sinar tentang
Kemelayuan dan Keindonesiaan. Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara, Medan, 23 Pebruari 2011.
** Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan Badan Penasihat BPRPI (Badan Perjuangan
Rakyat Penunggu Indonesia)
Pelzer, Karl J. Planters and Peasant: Colonial Policy and The Agrarian Struggle in East Sumatra 1863-1947,
(Verhandelingen KITLV No.84, ‘S-Gravenhage – Martinus Nijhoff, 1978)hal. 69.
3
Di tahun 1591 sebenarnya Deli sudah berada ditangan Johor, tetapi berhasil direbut oleh Aceh kembali pada
tahun 1612. Tahun 1619 Aceh kembali menyerang Deli, karena disana berada kekuatan Portugis yang
mendukung Deli. Tahun 1669, Deli pernah menyatakan diri terlepas dari Aceh (akibat melemahnya kesultanan
Aceh), disusul Batubara. Johor dengan keberaniannya berusaha merebut kembali pada tahun 1710. Sumatera
Timur tetap tidak aman oleh ulah Aceh, Johor dan Siak. Supremasi Siak secara aktif atas Deli terjadi pada tahun
1780 dengan menaklukkan Deli. Lihatlah, Said, Muhammad. Aceh Sepanjang Abad. Medan:Penerbit Waspada,
1981, hal 269. Husny, Tengku Lah. Lintasan Sejarah Peradaban dan Budaya Penduduk Melayu Pesisisir Deli di
Sumater Timur 1612-1950. Medan:Badan Penerbit Husny, 1975. Hal. 48. Pelly, Usman dkk. Sejarah
Pertumbuhan Pemerintahan Kesultanan Langkat, Deli dan Serdang. Jakarta: Departemen Pendidikan dan
kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, 1986. Hal.76.

1
tanah di wilayah ini, walaupun sayangnya laporan atau kisah naratif Anderson tersebut
memang hampir tidak menyentuh soal pengaturan-pengaturan atas tanah dan sumber daya
alam lainnya. Anderson menulis: “Tanah, yang saya saksikan merupakan tanah endapan
yang yang sangat istimewa, dan tanaman sayuran tumbuh dengan subur. Deli, Langkat dan
Bulu Cina, tanah-tanah tersebut sangat berlimpah, seperti sebuah cetakan yang berwarna
hitam, di beberapa lokasi, kedalamannya mencapai 8 sampai 10 kaki, di posisi atas berupa
tanah liat yang kental, dan di bagian bawahnya pasir dan krikil, namun semakin ke Asahan,
tanahnya tidak begitu bagus. Jika kamu berlanjut menuju wilayah pegunungan, akan dijumpai
tanah-tanah merah dan berpasir, bercampur dengan butir-butir granit dan biji-biji buah yang
terkelopak.”4 Tentang hasil-hasil produksi yang penting, Anderson berkata:” Hampir tidak
ada bagian yang bisa dihuni di bumi ini melampaui Sumatera Timur dalam keberagaman dan
nilai dari produksi sumber daya alamnya. Berikut ini bisa dihitung sebagai sebagai barang-
barang utama dalam perdagangan eksport dari wilayah ini: emas, champor, gading, lilin, lada
(hitam dan putih), benjamin, kayu manis, gambir, rotan, sulfur (belerang), tembakau,
batubara, kayu gaharu, dye-woods, kayu ebony, beragam kayu untuk kapal, tali ijuk untuk
kabel, telur-telur ikan, sirip ikan hiu, gula, tikar, bermacam kcang-kacangan, beras, dragon’s
blood, sutera dan kuda-kuda. Disamping itu, ada banyak lagi barang-barang yang
diperuntukkan untuk kebutuhan penduduk.”5

Menurut catatan Anderson, Deli sepertinya sebuah wilayah yang penting di masa-masa lalu,
seperti yang disebutkan Marsden, mencoba melepaskan diri dari kesetiannya kepada Aceh di
tahun 1669; dan di tempat-tempat lain telah mengalami invasi dalam periode-periode yang
berbeda. Sejarah awal dari negara (kerajaan, pen) ini, seperti juga kebanyakan negara-negara
pesisir, relatif tidak begitu jelas; tidak ada data yang pasti di masa lalu, yang disimpan oleh
orang-orang di wilayah ini; dan jikapun usah-usaha dilakukan untuk menunjukkan
kemunculan dan progresnya, terlalu banyak fiksi dan tradisi takhyul bercampur aduk dalam
penceritaanya, sehingga sulit memisahkan (mana yang benar dan tidak, pen) dan mencapai
kesimpulan yang memuaskan. Orang-orang Melayu dalam versi Anderson adalah orang-
orang yang suka bertakhyul; dan banyak dari mereka menempatkan kepercayaan secara
implisit di dalam tradisi-tradisi yang absurd dan takhyul.6

Tembakau, Kebutuhan Tanah dan Pengabaian Rakyat

Paruh ketiga abad ke 19, Deli, Serdang dan kawasan sekitarnya diperkenalkan dengan sesuatu
yang sangat baru dalam kehidupan sosial ekonomi penduduknya. Kedatangan planters asing
dalam pertanian tembakau yang ekspansif merubah total mental masyarakat, terutama para
pemimpinnya7. Pelzer menyebutkan, selama Sultan Deli memberikan konsesi-konsesi hanya
di dalam batas-batas wilayahnya sendiri, segala sesuatunya tampaknya berjalan dengan
lancar; tetapi ketika menjelang tahun 1871 ia mulai menyewakan tanah yang terletak di
distrik-distrik Batak Karo, di luar wilayahnya sendiri, kepala-kepala Suku Batak Karo, yang
dianggapnya sebagai bawahanannya, menentang dengan perasaan benci dan marah. Daripada
mengumumkan perang kepada Sultan, kepala-kepala suku ini menyerang sumber penghasilan

4
Anderson, Jhon. Mission to the East Coast of Sumatra Under the Direction of the Government of Prince of
Wales Island. William Blackwood, Edinburgh: And T.Cadell, Strand. (London: Blackwood, 1826), hal. 97.
5
Anderson, Ibid. hal .204.
6
Anderson, Ibid. Hal.271-272
7
De Ridder menyebutkan satu bentuk masyarakat dengan mental yang baru hasil percampuran (pengaruh
mempengaruhi) antara masyarakat adat dan masyarakat eropah yang modern, yang dia sebut dengan “de
koloniale wissel werking”. Lebih jauh lihatlah De Ridder.J. De Invloed van de Westersche Cultures op de
Autochtone Bevolking ter Oostkust van Sumatra. Wageningen: H.Veenman&Zonen. 1935, hal.9.

2
baru Sultan itu dengan membakari bangsal-bangsal pengeringan tembakau perkebunan,
terutama ketika sedang penuh berisi tembakau.8

Konsesi-konsesi tersebut dalam catatan Mahadi bukan merupakan masalah pada awalnya,
karena hak-hak rakyat cukup dikodifikasikan di dalam-akta-akta yang ada (sejak contoh akta
1892). Hanya pelaksanannya disana sini mengalami kemacetan. Seterusnya segi-segi
negatipnya selalu baru dihadapi setelah menjelma, seperti batas kebun hampir sampai
ketangga rumah rakyat, perlakuan-perlakuan pihak kebun yang tidak senonoh terhadap para
buruh, tindakan yang yang kejam dan sebagainya.9 Satu contoh pengakuan hak tanah
penduduk dalam akta 1877 antara lain berbunyi: “apabila dalam perbatasan tanah terdapat
pohon buah-buahan, kepunyaan penduduk terdahulu (behoorende aan vroegere bewoners),
pihak perkebunan wajib membayar harga pohon-pohon itu secara patut. Kalau terdapat
perselisihan paham, diputuskan oleh Sultan setelah, jika dikehendaki oleh Sultan, berunding
dengan Gewestelijk of Plaatselijk Bestuur.” 10

Menurut Said, akte konsesi tidak jelas ada ditekankan bahwa tanah-tanah yang sudah menjadi
kampung atau perladangan tidak turut menjadi tanah konsesi. Akta konsesi sebagai itu hanya
terdapat kemudian, itupun dalam prakteknya tidak diperlindungi oleh raja jika ada tuntutan.
Lebih lanjut Said mengutip Schade: “Menjadi pertanyaan benar-benar apakah para pengusaha
perkebunan yang terdahulu senantiasa mengindahkan hak-hak penduduk atas tanah dan
tanaman-tanaman mereka, bilamana tanah sedemikian dipilih untuk dijadikan perkebunan,
dan memanglah harus diketahui bahwa walaupun penduduk secara tidak langsung turut
mendapat keuntungan dari perkebunan-perkebunan eropah itu, namun kadang-kadang mereka
langsung menderita kerugian karenanya.11

Said secara terus terang menunjuk Konsesi sebagai faktor yang mempercepat meletusnya
perang Sunggal (1872-1859). Tentang ini, Sinar menulis: “karena rakyat Sunggal melihat
disekeliling mereka, di Deli dan Langkat, tanah-tanah rakyat yang subur diberikan untuk
konsesi perkebunan tembakau kepada maskapai-maskapai asing, sedangkan keuntungannya
tidak untuk rakyat disitu, mulailah rakyat Sunggal berjaga-jaga dan menentang cara-cara
seperti itu. Kejadian meledak ketika di tahun 1870, Sultan Mahmud Deli berani menyerahkan
tanah subur kepada maskapai Belanda “De Rotterdam”, tanah mana terletak di dalam wilayah
Sunggal.12

8
Penyelidikan-penyelidikan setelah kejadian itu menunjukkan fakta bahwa datuk-datuk (kepala suku) Batak
Karo tidak diajak berunding oleh Sultan mengenai konsesi-konsesi tanah di dalam wilayah mereka, datuk-datuk
ini menentang dan menuduh bahwa Sultan Deli dengan pemberian konsesi-konsesi ini telah melanggar hukum
adat yang sudah ada sebelum Belanda dan pengusaha-pengusaha ondeneming datang. Sebaliknya, karena tahu
sedang didukung oleh kekuatan Belanda dan karena rakus akan pembayaran yang lebih banyak dari pengusaha
onderneming, serta merasa jauh lebih unggul daripada kepala-kepala suku Batak Karo, maka sultan
mengabaikan adat itu. Pelzer.Ibid. hal.70.
9
Mahadi, Sedikit Sejarah Perkembangan Hak-Hak Suku Melayu atas Tanah di Sumatera Timur (1800-1975),
(Bandung: Penerbit Alumni,1976), Hal.42. Tentang kekerasan yang dialami buruh atau kuli di perkebunan-
perkebunan di Sumatera Timur bisa dilihat dalam beberapa karya antara lain, Jan Breman, Koelies,Planters en
Koloniale Pollitiek, Het Arbeidsregime op de grootlandbouwondernemingen aan Sumatra’s Oostkust in het
begin van de twintigtste eeuw (Leiden: KITLV Uitgeverij, 1992), T.Keizerina Devi, Poenale Sanctie, Studi
tentang Globalisasi Ekonomi dan Perubahan Hukum di Sumatera Timur (1870-1950), (Medan: Program Pasca
Sarjana Universitas Sumatera Utara, 2004) dan Budi Agustono, Violence on North Sumatra Plantations, dalam
Colombijn and Linblad (eds), Roots of Violence in Indonesia, (Leiden:KITLVPress, 2002)
10
Mahadi, op.cit. hal.52.
11
WHM.Schadee, Geschiedenis der Sumatra’s Oostkust, 1 dan II, hal.188 dalam H.Mohammad Said, Suatu
Zaman Gelap di Deli: Koeli Kontrak Tempo Doeloe, Dengan Derita dan Kemarahannya, (Medan: Percetakan
Waspada, 1977), hal. 35.

3
Dalam bahasa yang hampir sama Schadee melanjutkan: “De uitgifte van gronden voor
landbouwondernemingen in Deli had groot vordeel gebracht aan de Sultan van dit rijk door
de stijging der opbrengsten van monopolies en belastingen, doch de bevolking zag zich
daardoor in de beschikking over den grond beperkt. Het is zeer de vraag of de eerste
planters wel altijd nauwkeurig rekening hielden met de rechten van der bevolking op
gronden en gewassen, wanneer deze gelegen waren in het terrein, dat zij voor ontginning
hadden uitgekozen en het moet wel worden aangenomen, dat de bevolking, hoewel indirect
ook eenig voordeel trekkende van de Europeesche ondernemingen, somtijds daarvan eenige
directe nadeelen ondervond. Zoo onstond onder de bevolking een zekere tegenzin ten aanzien
van de voortgaande uitbreiding der ondernemingen.” 13 (Pemberian tanah-tanah untuk
perusahaan perkebunan di Deli telah membawa keuntungan kepada Sultan kerajaan ini
melalui kenaikan hasil dari monopoli-monopoli dan pajak-pajak, namun bagi penduduk
melihat hal ini sebagai sebuah pembatasan atas tanah-tanah (mereka). Sesungguhnya ada
pertanyaan di sini apakah para pekebun awal dengan cermat memperhitungkan hak-hak atas
tanah dan tanaman-tanaman yang dimiliki penduduk, yang terletak di kawasan konsesi, yang
telah mereka tentukan untuk penanaman dan harus diterima, bahwa penduduk juga
mendapatkan keuntungan tidak langsung dari perkebunan-perkebunan orang-orang Eropah,
namun kadang-kadang mengalami kerugian karena itu. Demikianlah dikalangan penduduk
timbul ketidaksenangan terkait perluasan perkebunan-perkebunan ini.

Lawan! Bakar!: Ini Tanah Punya Siapa?

Batak Oorlog dengan nama lainnya Perang Sunggal menjadi satu bentuk resistensi yang
sangat jelas terhadap keputusan-keputusan sepihak Sultan Deli dan hal ini berimplikasi luas
pada masa itu. Sinar menuliskannya sebagai berikut: “Karena rakyat Sungal melihat
disekeliling mereka, di Deli dan daerah Langkat, tanah-tanah rakyat yang subur diberikan
untuk konsesi perkebunan tembakau kepada maskapai-maskapai asing, sedang
keuntungannya tidak untuk rakyat disitu. Mulailah Sunggal mulai berjaga-jaga dan
menentang cara-cara yang tidak bersahabat tersebut. Kejadian meledak ketika di tahun 1870
Sultan Mahmud Deli berani menyerahkan tanah subur kepada maskapai Belanda “De
Rotterdam”, tanah mana terletak di dalam wilayah Sunggal. 14 Selanjutnya dari Pihak
pemerintah Belanda mencari-cari juga apa sebenarnya latar belakang perlawanan rakyat ini.
Resident Rier melaporkan kepada Governour Generaal (GG) dengan surat tanggal 9-8-1872
No.2001/1 bahwa ada pendapat dari bekas kontrolir Deli bernama De Haan yang mengatakan
bahwa mungkin sebab-sebab perlawanan itu karena ketidakpuasan dari datuk-datuk/Suku dan
Penghulu-penghulu Karo di wilayah-wilayah urung karena tuan-tuan kebon Belanda
bersimaharajalela di Deli dan bersama mereka dimasukkan pula orang-orang Cina sehingga
penduduk asli jadi terdesak kehidupannya. Sudah diketahui Belanda bahwa memang pernah
ada rapat rahasia antara keempat datuk15 dengan raja-raja urung di Deli yang berlangsung di
Sunggal bahkan inti usul mereka secara terang-terangan sudah disampaikan kepada Sultan
Deli yaitu: a. Apakah wilayah urung akan diobah karena adanya pemberian tanah-tanah
secara besar-besaran oleh Sultan Deli kepada pengusaha-pengusaha perkebunan eropah? 2.
Apakah dengan itu, kekuasan hukum para kepala-kepala urung akan juga berkurang,
misalnya kepada orang-orang Cina?16 3. Apakah kepala-kepala urung dan penghulu-
12
Said, Ibid. Untuk uraian panjang tentang Perang Sunggal, bisa dibaca tulisan T.Luckman Sinar SH, Perang
Sunggal (1872-1895), (Medan: Percetakan Perwira, 1987).
13
Schadee, loc.cit.
14
Tengku Luckman. Sinar. Perang Sunggal (1872-1895).Medan: Percetakan Perwira: 1987, hal.10.
15

16
Tentang kedatangan, tantangan dan bagaimana imigran Cina hidup di Deli dan sekitarnya, lihatlah
Bruin.A.G. Mededeling No.I. De Chinezeen ter Oostkust van Sumatra. Leiden: E.J.Brill, 1918. Juga, Bool. H.J.

4
penghulunya berhak atas andil atas sewa tanah yang diberikan oleh Sultan kepada pengusaha-
pengusaha perkebunan eropah itu.17

Ketegangan-ketegangan antara penduduk dengan para penguasaha onderneming terkait hak-


hak tanah adat mereka ternyata menjurus kepada sengketa fisik. Gouw Giok Siong
mengutarakan:”dapat disimpulkan bahwa ketika Sultan Mahmud (Sultan Deli pada saat itu)
memberikan konsesi-konsesi kepada para ondernemer baik kepada Nienhuijs maupun kepada
lain-lain yang kemudian menjadi Deli Maatschappij, yaitu daerah Mabar hingga Deli Tua,
tanpa memperhatikan hak-hak rakyat telah menimbulkan kesulitan-kesulitan. Begitu hak-hak
adat tanah rakyat digencet, begitu timbul chaos dengan terjadinya pembakaran-pembakaran
bangsal-bangsal tembakau dan perusakan tahunan. Baru sesudah diakui hak mereka dan hal
itu kemudian disesuaikan dengan adanya konsesi. Banyak hak-hak rakyat itu ditambahkan
pada akte konsesi dilakukan dengan pasal supletoir tentang hak-hak dari pada rakyat tersebut.
Proses tembakau Bremen juga berhasil karena diakui bahwa hukum adat masih berlaku di
atas areal tembakau Deli.18

Gugatan-gugatan atas hak-hak yang dimiliki pemegang konsesi dalam kaitannya dengan hak-
hak masyarakat lokal yang telah ada sebelumnya terus terjadi dalam tahun-tahun sesudahnya,
dan ini bisa dilihat dari perubahan model akte konsesi dari tahun 1877 sampai dengan tahun
1892. Sampai tahun 1933 sajapun perdebatan tentang itu masih berlangsung. Buffart secara
tajam menuliskan: “Walaupun telah ada penyerahan tanah dengan cara-cara konsesi, di atas
mana ada hak-hak penduduk asli, tidaklah benar bahwa pemegang konsesi memiliki hak
penguasaan tunggal (mutlak) atas tanah tersebut. Konsesi pertanian mengandung juga
pengaturan tentang tanah-tanah penduduk dan oleh karena itu konsesionaris mesti
memperhitungkan tentang hak-hak penduduk atas tanah tersebut. Perjumpaan yang sama dari
dua pemagang hak atas sebuah alas tanah yang sama akan menimbulkan persoalan besar,
terutama karena hak-hak penduduk bersandar dalam hukum tak tertulis, hukum kebiasaan
atau seperti umum saat ini mengenalnya sebagai apa yang disebut dengan hukum adat. Hak-
hak penduduk yang mana, seluas apa, tentulah akan menjadi satu hal yang menjadi sumber
persengketaan.”19

Uraian-uraian di atas secara tersirat hendak meneguhkan bahwa sejak awalnya (sebelum
kedatangan para planters dan onderneming), orang Melayu di Sumatera Utara telah memiliki
hak tanah mereka, baik secara individu maupun komunal. Catatan Anderson pada awal abad
ke 19 menyebutkan: “hutan-hutan banyak sekali ditumbuhi tumbuhan akar-akaran dan daun-
daunan yang juga digunakan sebagai sayuran. Orang-orang kampung melakukan cocok
tanam perladangan di hutan-hutan yang dibuka sementara, tidak jauh dari tepi-tepi sungai. Di
tempat-tempat tertentu, saya terpaksa berjalan kaki, karena perahu bergerak terlalu lambat, ia
mengikuti jalan-jalan kecil yang membentang menyusuri sungai. Ia sering menemukan orang
laki-laki sibuk menebangi kayu hutan untuk membuka ladang.20
De Chineese Immigratie naar Deli. Pertumbuhan yang sangat pesat dari para imigran ini terlihat di halaman 1
dan 91-nya. Dari sejumlah 37.608 jiwa per April 1915 menjadi 132.000 jiwa per tanggal 5 April 1916 .
17
Ibid. Hal. 24. De Ridder, J. Menambahkan bahwa ada dua faktor yang menyebabkan Batak Oorlog meletus.
Pertama adalah adanya kesulitan yang besar dari pemegang konsesi dan Sultan Deli untuk menentukan posisi
hukum para penduduk Batak yang datang dan tinggal dalam dan di luar batas-batas areal konsesi (yang dalam
hukum adat mereka sebelumnya bukan merupakan suatu masalah) dan yang kedua adalah para pemimpin Batak
di kawasan itu tidak mendapatkan bagian dari pembayaran pihak perkebunan kepada Sultan Deli) pada tahun-
tahun pertama konsesi perkebunan dibuka.
18
Gouw Giok Siong, Perkara Tembakau Indonesia di Bremen, (Jakarta:Penerbit Pesat NV, 1958), hal.10.
19
JFA.M. Buffart, .Dr. “Rechten van de Bevolking op in Landbouw Concessie Uitgegeven Gronden.” Overdruk
uit “Indische Gids”, Juli – Aflevering 1933. Uitgave Vereeniging Indie Nederland. Hal.3
20
Anderson, op.cit. hal.4.

5
Ridder, mencontohkan satu kondisi komunalisme di kalangan penduduk di kawasan Pantai
Timur Sumatera dengan mengutip satu laporan di wilayah Panei. “Op bladzijde 572 e.v. van
een bericht “over het landschap Panei”21 blijkt, dat het grondgebied communaal was.
Slechts bij het kiezen van een stuk grond om een ladang aan te leggen, dient de
kamponghoofd te raadplegen. De diensten, welke de bevolking moet verrichten zijn: a.
Wachtdiensten in de kampong; b. Hulp in nood, b.v wanneer eene kampong wordt bedreigd
door vijandelijke banden; c. Het bouwen van een huis voor den Vorst en het leveren van de
bouwmaterialen daarvoor; d. Het bewerken en beplanten van ladangs voor den Vorst en ook
voor de andere hoofden; e. Het vergezellen van zijn Vorst op zijne reizen. (di halaman 572
dari sebuah berita tentang wilayah Panei, kelihatan bahwa lahan tanah bersifat komunal.
Hanya, jika seseorang memilih sebidang tanah untuk dijadikan ladang, dia mesti meminta
izin kepada kepala kampung. Kewajiban/Tugas yang setiap penduduk (dewasa) harus
laksanakan adalah: a. Menjaga kampung; b.Pembangunan sebuah rumah untuk Raja dan
pengadaan bahan-bahan bangunan untuk itu; c. Mengerjakan dan menanami tanaman di
ladang untuk kepentingan Raja dan kepala-kepala (pimpinan kampung) lainnya; e.
Mengiringi Raja jika bepergian) 22

Kelihatannya ada perbedaan-perbedaan yang tegas tentang corak penguasaan tanah


dikalangan orang-orang Batak di dataran tinggi dan orang-orang Melayu di pesisir (dataran
rendah). Ridder mengungkapkannya dengan kalimat: In de Bataksche Landschappen behoort
de grond aan de heerschenden stam die zich het eerst in het land heeft gevestigd, dan wel dit
van de oorspronkelijke bezitters heeft veroverd, gerepresenteerd door de stam, tevens
landschapshoofden. In de praktijk is de beschikking over den grond echter bij de
dorpshoofden, als vertegenwoordigers van het stamhoofd. .. In het Maleische gedeelte kende
men alleen het recht verkregen door feitelijke inbezitname of door de wil van de radja. (Di
wilayah-wilayah Batak, tanah berada pada suku yang pertama sekali mendiami, pemilik-
pemilik terdahulu yang telah ditaklukkan, diwakili oleh Suku (penakluk, pen), dan juga
kepala-kepala kampung. Di dalam prakteknya, penguasaan atas tanah berada pada kepala-
kepala kampung, yang menjadi wakil kepala suku. Di wilayah orang-orang Melayu, orang
hanya mengenal hak-hak yang (tanah) yang diperoleh melalui kepemilikan faktual atau atas
kemauan (persetujuan) Raja.23

Namun begitu, Mahadi berpendirian: “hak-hak adat orang Melayu atas tanah baik sebelum
maupun setelah konsesi memang ada. Apabila sebelum konsesi ruang lingkup dan isi hak-hak
itu bersifat samar-samar, maka di dalam akta-akta konsesi hak-hak itu mendapat kodifikasi,
memperoleh rumusan, mendapat pengukuhan dan pengakuan.” Jadi seandainya ada Raja
memandang semua tanah adalah kepunyaannya, namun di dalam kenyataan, rakyat bebas
membuka hutan, boleh berladang secara berpindah-pindah, dimungkinkan membuka dan
memelihara kebun seluas kesanggupan, boleh kerja sendiri dengan bantuan anggota keluarga,
boleh dengan memakai tenaga upahan, dibenarkan mengambil kayu di hutan untuk
bermacam-macam keperluan, diizinkan mengambil hasil hutan tidak saja untuk keperluan
sehari-hari tetapi untuk diperniagakan kemudian setelah hubungan manusia dengan tanah
yang didudukinya sudah semakin kompleks sehingga terbuka pula kesempatan untuk
21
Dirujuk dari sebuah artikel dengan judul: “Mededelingen betreffende het Landschap Panei en het
Radjahgebied”. Bijdragen tot de Taal, Land en Volkenkunde van Ned-Indie, 7e. Volgreeks, Deel II, 1904. Lebih
jauh lihatlah de Ridder, op.cit. hal.14
22
Ridder (walau tidak terlalu setuju) mencoba mengikuti pandangan Schumpeter tentang dualisme corak
masyarakat, yakni: Statische en Dynamische maatschappij. Dan masyarakat Sumatera Timur masa itu adalah
mewakili kelompok statis dengan memakai sebutan “adatrechtelijk traditionalisme”. Ridder, ibid. hal.16-17.
23
Ridder. Ibid. hal. 23-24.

6
memperoleh suatu surat keterangan tentang hubungan yang sudah kontinu dan stabil itu,
surat itu mula-mula bernama surat kampung, kemudian surat Datuk dan seterusnya geran
(sertifikat), dengan alasan itulah kemudian Mahadi memberanikan diri untuk menduga bahwa
sejenis hak ulayat ada pada suku Melayu di Sumatera Timur dengan persekutuan hukumnya
ditingkatkan ke taraf Swapraja setelah Raja-Raja memperoleh kedudukan yang kuat.

Terkait pernyataan Mahadi soal bahwa akhirnya ada semacam pengukuhan dan pengakuan
atas tanah-tanah penduduk dalam akte-akte konsesi, oleh Buffart ditafsirkan lain, yang
membuat kita kembali mempertanyakan apakah pengakomodasian itu benar-benar didasarkan
pada pemahaman yang benar tentang hak-hak asli penduduk tersebut. Buffart secara kritis
mempertanyakan apakah sebenarnya bukan sesuatu yang terbalik meletakkan (atau mungkin
lebih tepat melekatkan) hak-hak penduduk atas tanah dalam akte-akte konsesi hanya sebagai
asesoris saja yang kesemuanya disandarkan atas perjanjian atau permufakatan antara
pemerintahan swapraja (kesultanan) dan para konsesionaris (pemegang hak konsesi).
Padahal, menurut beliau, hak penduduk atas tanahlah yang sebenarnya harus menjadi pilar
penting dalam penyusunan hak-hak apa saja yang dimiliki oleh pihak-pihak di dalam
perjanjian konsesi tersebut.

Dengan sedikit sinis ia mengatakan: “Orang lupa bahwa konsesi hanyalah sebuah perjanjian
antara dua pihak, pemerintahan swapraja dan pemegang konsesi. Penduduk dalam hal ini
bukan pihak-pihak (dalam perjanjian). Dan juga konsesi bukanlah pula, seperti hukum
Eropah menyebutnya, sebuah perjanjian untuk kepentingan pihak ketiga, yakni para
penduduk. Konsesi hanya mempengaruhi hak-hak dan kewajiban-kewajiban kedua belah
pihak yang ada dalam kontrak. Penduduk memang disebutkan di dalam kontrak tersebut , tapi
hanya bila menyentuh hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari pihak-pihak yang ada dalam
kontrak atas hak-hak penduduk. Hak-hak penduduk oleh karena itu hanya dituliskan secara
insidentil dalam aturan-aturan konsesi dan oleh karena itu mungkin bisa dihilangkan juga
dari akte konsesi tersebut.”24

Tentang siapa yang lebih berhak atas tanah komunal, Mahadi berkata: “kalau woeste grond
diartikan sebagai tanah hutan, yaitu tanah yang tiada seseorang tertentu mengakui sebagai
haknya, maka kita dapat bertitik tolak dengan sebuah dalil bahwa bahwa Sultan/Raja juga
tidak merupakan pemilik tanah tersebut (susunan aslinya sebenarnya adalah: Sultan/Raja
tidak mengakui tanah adalah miliknya)”.25 Walaupun di awalnya Mahadi sedikit ragu dalam
menunjukkan pihak yang paling tepat dianggap sebagai pemilik atas woeste grond tersebut,
namun dari elaborasi data yang dia deskripsikan kemudian beliau sampai pada kesimpulan,
dengan meminjam perkataan seorang sarjana Belanda, Lekkerkerker, de regeling van de
beschikking over gebruiksrechten op grond toekomst aan gemeenshappen (pengaturan dan
kekuasaan terhadap tanah terletak ditangan persekutuan hukum).26 Hak Raja tidak ada.
Kalaupun Raja itu menganggap dirinya (zich beschouwen) sebagai pemilik tanah, maka
anggapan itu harus kita tinjau dalam rangka sejarah naiknya seseorang itu sampai menduduki
kursi tahta kerajaan, yaitu melalui peperangan/pertempuran/perkelahian.

Penafsiran yang dipakai oleh Pemerintah Hindia Belanda tentang woeste grond secara jelas
menunjukkan cara pandang “Barat” atas tanah. Dengan woeste grond diartikan sebagai tanah-
tanah yang tidak dibudidayakan atau tidak digarap oleh penduduk pribumi dan juga bukan

24
Buffart, op.cit. hal. 6.
25
Mahadi, Ibid. Hal.87
26
Lekkerkerker, J.G.W. Concessie en Erfpachten ten behoeve van Landbouwondernemingen in de
Buitengewesten van Nederlands Indie. Groningen-Den Haag, JB.Wolters, 1928. Hal.112

7
milik bersama atau tidak termasuk ke dalam kekuasaan pimpinan/kepala kampung (gronden,
niet door de inlanders ontgonnen, noch als gemeene weide of uit eenigen anderen hoofde tot
de dorpen behoorende).27 Adakah tanah-tanah yang tidak digunakan dalam cara pandang
pribumi dan oleh karena itu tidak ada yang memilikinya atau memegang kekuasaan atasnya?
Pelzer menunjukkan bahwa di mata orang Melayu dan Batak tidak ada tanah yang sama
sekali tak terpakai, karena semua tanah berguna sebagai tanah perburuan dan juga dipakai
untuk tempat penimbunan hasil-hasil hutan seperti bahan bangunan, kayu api, damar, bahan
pangan, bahan-bahan mentah untuk pembuatan alat-alat, dan banyak lagi produk-produk
lainnya. Dan di atas semua itu, semua tanah adalah potensial bagi perladangan huma.
Pendeknya, semua tanah dalam cara apapun mendukung kehidupan seluruh penghuninya.28

Woeste grond inilah sebenarnya yang menjadi objek tanah dalam konsesi. Tanah hutan,
tanah liar, tanah tak terpakai, tanah kosong, tanah tak dibudidayakan atau apapun namanya
adalah jenis tanah yang dikonsesikan oleh Sultan-Sultan di Sumatera Timur kepada
pengusaha onderneming yang boleh jadi adalah tanah-tanah yang berada dalam wilayah
kampung dan susunan-susunan organisasi komunal di bawahnya. Inilah tanah yang
disebutkan oleh Kleintjes sebagai het recht, hetwelk tot inhoud heeft de bevoegheid van een
inlandsche gemeenschap – hetzij een territoriale als een dorp of dorpenbond, hetzij een
genealogische als een stam om aan zichzelf en haar leden het recht toe te kennen binnen een
zekeren gebiedskring den woestgebleven grond naar goedvinden in gebruik te nemen en aan
anderen it recht toe te kennen, alleen met haar toestemming tegen betaling van retributie of
een huldegift.29 (Tanah yang kewenangannya ada pada komunitas pribumi, yang bersfat
teritorial sebagai sebuah kampung atau kesatuan kampung, yang bersifat genealogis sebagai
sebuah suku yang memberikan hak kepada anggota komunitas kampung untuk menggunakan
tanah yang kosong dan juga buat orang luar dengan persetujuan dan pembayaran retribusi
atau pemberian yang bersifat penghormatan).

Uraian Kleintjes di atas bersesuaian dengan deskripsi Bool untuk persoalan yang sama. Bool
mengatakan: “vroeger dan had iedere kampong zijn eigene gronden, in cultuur gabrachte en
woest, waarvan de grenzen nauwkeurig bekend waren. Die kampongs met hunne gronden
vormden een zelfstandig deel van het rijk. De Datoes confereerden met de kamponghoofden.
De Kampongbewoners hadden een collectief bezit op de gronden.” ( Dahulu, setiap kampung
memiliki tanahnya masaing-masing, baik tanah-tanah yang diusahakan maupun tanah-tanah
liar (hutan), yang batas-batasnya diketahui dengan cermat. Kampung-kampung tersebut
beserta tanah-tanahnya membentuk sebuah wilayah otonom dari kerajaan. Para Datuk
bermusyawarah dengan kepala-kepala kampung. Penduduk kampung memiliki hak milik
kolektif atas tanah).30

Darus dengan mengutip HJ.Bool mengatakan:”Adanya kerajaan-kerajaan di sepanjang pantai


Sumatera Timur itu tidak merubah keinsyafan rakyat terhadap hukum adat tanah tersebut.
Bahwa kedudukan raja hanyalah sebagai pemangku adat yang mengurus, mengatur dan
mengawasi kelancaran dan tertibnya pelaksanaan hukum adat tanah dan bukan pemilik tanah.
Bahwa hak pertuanan itu adalah hak rakyat.”31

27
Lekkerkerker, J.G.W. Op.cit. Hal. 71.
28
Pelzer, K. Op.cit. Hal.96.
29
Kleintjes. Staatsinstellingen van Nederlandsch- Indie. Amsterdam, 1924 Hal.294.
30
Bool, H.J. De Landbouwconcessie in de Residentie Sumatra oostkust van Sumatra. Tanpa tahun, Hal.53.
31
Ibid. Hal.2.

8
Adat Rechtsbundel mencatat dalam versi yang sama soal ini: “De vorst, die de concessie gaf,
was zelf in zijn rechten beperkt door de gebruiksrechten, welke de bevolking ontleent aan de
volksinstellingen, die de vorst bij zijn optreden bezworen heeft te eerbiedigen.” (bahkan Raja,
yang memberikan konsesi, hak-haknya dibatasi oleh hak-hak untuk menggunakan/hak pakai
yang diserahkan rakyat kepadanya, dan oleh karena itu raja dengan tindakan-tindakannya
telah berjanji untuk respek (dengan rasa hormat) kepada rakyat). Di kampung orang-orang
Batak, hak pakai atas tanah itu oleh suku-suku lain dengan kompensasi bahwa mereka
dikenakan wajib untuk menjaga kampung dan sebagi penduduk yang tinggal di ladang-
ladang. Kepala rumah tangga, janda dengan anak-anaknya, kadang-kadang duda dengan
anak-anaknya juga memiliki hak untuk menggunakan lahan/hak pakai. Untuk orang-orang
“kecil (biasa)”, mereka hanya mempunyai hak pakai di kampung dimana mereka tinggal.
Sama sekali tidak ada bedanya, apakah kampung iti dipimpin oleh orang Batak atau orang
Melayu..32

Model akte 1877 yang memberikan kekuasaan kepada Sultan Siak dan Orang-Orang
besarnya untuk menyerahkan sebidang tanah hutan kepada pekebun asing menandai awal
terpenjaranya hak tanah komunal orang Melayu di Pesisisir Timur Sumatra secara lebih
formal. Senyatanya sejak konsesi-konsesi awal yang berusia 10 sampai 14 tahun, tanah-tanah
itu sudah disewakan melalui kontrak-kontrak konsesi yang berbeda dari satu wilayah ke
wilayah lain dan dari satu pengusaha ke pengusaha lain. Model akte 1877 menandai campur
tangan pemerintah Hindia Belanda yang lebih jauh untuk “menata” dan sekaligus intervensi
atas kontrak-kontrak perdata yang selama ini dibuat antara sultan dan para pengusaha
onderneming.

Kembali ke posisi hak tanah penduduk dalam konsesi-konsesi yang dibuat oleh Sultan
(terutama kesultanan Deli) dan pengusaha asing, setelah bertahun-tahun berjalan barulah
kementrian dalam negeri Belanda dan juga pemerintahan kolonial di Batavia menyadari
bahwa konsesi-konsesi awal, yang dirundingkan antara raja-raja kecil itu dengan pengusaha-
pengusaha onderneming tanpa peran serta dari seorang wasit yang mewakili kepentingan-
kepentingan ekonomi dan hukum pihak kawula (rakyat), adalah sangat tidak adil terhadap
rakyat kecil. Serangkaian contoh kontrak disusun, tetapi para pengusaha onderneming itu
keberatan dan keras terhadap gagasan untuk memperbaiki konsesi-konsesi awal. 33 Di dorong
oleh kekecewaan mereka, tidak jarang para petani itu membakari bangsal-bangsal
pengeringan yang penuh daun tembakau panenan.

Agrarische Wet dan Kontrol atas Tanah Adat

Di tingkat kebijakan yang lebih luas, tantangan terhadap eksistensi hak tanah adat (hak ulayat
adat) sebenarnya mulai jelas kelihatan tatkala Agrarisch Wet 1870 dengan pernyataan domein
dalam pasal 1 Agrarische Besluit (Staatsblad No.118 tahun 1870) diberlakukan. Pasal 1-nya
menyatakan: “ dengan perkecualian atas tanah-tanah yang dicakup dalam paragraf 5 dan 6
dari pasal 51 dari Indisch Staatsinrichting van Nederland Indie, semua tanah yang tidak
memiliki hak yang dapat dibuktikan maka ia menjadi milik negara. Aturan ini bagaimanapun
juga mendapat tantangan hebat dari para ahli hukum adat seperti, Ter Haar, Van Vollenhoven
dan Logemann. Menurut mereka, aturan tersebut berisi maksud para perancang undang-
undang untuk tidak mengecualikan tanah apapun juga. Semua tanah hutan bila perlu sampai

32
Adat rechtbundels, VII. 55-56
33
Pelzer, op.cit hal. 137.

9
puncak-puncak gunung, jika masyarakat mempunyai hak yang nyata maupun secara diam-
diam diakui, tanah itu bukan tanah negara.34

Lebih lanjut Van Vollenhoven menjelasakan bahwa untuk daerah luar pulau Jawa dan
Madura (antara lain Sumatera dan Minahasa) semua tanah yang tidak dibudidayakan
(termasuk kedalamnya tanah hutan) ditetapkan sebagai domein negara. Itu berarti di atas
tanah domein, penguasaan atas tanah sepenuhnya ada di tangan pemerintah kolonial. Namun
demikian, menurut Van Vollenhoven, akan jauh lebih baik apabila hak-hak masyarakat
bumiputera tidak diganggu-gugat. Ia juga menyatakan bahwa kewenangan pemerintah
kolonial maupun kewenangan kepala adat sebaiknya dipertimbangkan tatkala memutuskan
pemberian konsesi perkebunan, kepada misalnya orang Eropa dan Tionghua. Sehingga untuk
perkebunan dengan skala besar, pengajuan permohonan untuk mendapatkan persetujuan dari
pemerintah berdasarkan suatu peraturan umum seharusnya dipersyaratkan. Kenyataannya
masyarakat lokal tidak pernah dilibatkan dalam proses pemberian izin demikian, hak ulayat
mereka dikesampingkan begitu saja, dan tampaknya pemerintah kolonial tidak mau berbagi
klaim eksklusif mereka atas seluruh tanah yang ada.35

Pasal 9 dari Stb 1870 No 118 tersebut secara tegas menentukan tanah-tanah yang tidak bisa
dikenakan erfpacht, yakni: a. Tanah-tanah yang diatasnya ada hak orang lain (Gronden
waarop anderen regt hebben), kecuali mereka tidak ingin menggunakan haknya tersebut; b.
Tanah-tanah yang diaggap mempunyai hubungan magisch/suci (gewijde) oleh penduduk
pribumi; c. Tanah-tanah yang diperuntukkan untuk pasar-pasar atau peruntukan buat orang
banyak/umum (openbare markten of openbare dienst bestemd); d. Kebun-kebun kopi
permerintah; e. Tanah-tanah pohon Jati dan tanaman/kayu hutan lainnya; f. Tanah-tanah
yang terletak di dalam wilayah Gubernur Jenderal, yang ditetapkan untuk ditanami tanaman
pemerintah; f. Tanah-tanah yang disediakan untuk pengembangan tanaman kopi.36

Hanya tanah negara bebas yang dianggap sebagai domein negara, kedalamnya tercakup hak
keperdataan negara atas tanah. Sedangkan tanah negara tidak bebas adalah tanah di atas mana
masih melekat hak-hak adat maupun yang di atasnya dibebani hak milik mutlak berdasarkan
KUHPerdata (Burgerlijk Wetboek). Pertanyaan yang muncul di sini ialah hak-hak masyarakat
manakah yang dianggap berada di bawah yurisdiksi domein negara, dan mana yang tidak?
Pertanyaan ini tidak juga bisa dijawab, lebih disebabkan atas perbedaan konsepsional
(ketidakjelasan) tentang apa yang oleh pihak pemerintah kolonial dianggap sebagai vrij en
onvrij landsdomein itu berbeda dengan apa yang ditafsir atau dimaknai oleh penduduk
peribumi dan pimpinan-pimpinan adatnya.

Sesudah 1870, utamanya setelah Domeinnota dikeluarkan pada tahun 1916, Doktrin Domein
dalam arti luas telah diterima secara umum.37 Konsekuensi dari itu ialah bahwa tidak banyak
hak-hak masyarakat hukum adat yang diakui sekaligus mendapat jaminan hukum. Dengan
kata lain, rentang kendali kekuasaan negara dengan melalui prinsip domein menjadi sangat

34
Lebih jauh lihat Herman Slaats, Erman Rajagukguk dkk, Masalah Tanah di Inonesia dari Masa ke Masa,
(Jakarta: Lembaga Studi Hukum dan Ekonomi, 2007), hal.12
35
Ibid Hal.71, Termorshuizen-Arts, Op.cit. Hal.52.
36
Penyebutan tanah-tanah yang tidak bisa disewakan ini kemudian diperkuat lagi dengan Stb.1872 No.116,
wijziging van het Koninklijk besluit, opgenomen in Indisch Staatsblad 1870 No.118.
37
Pada tahun 1916 Domeinnota (Memorandum Domein)diterbitkan. Domeinnota tersebut dibuat oleh seorang
birokrat dari kementrian G.J.Nolst Trenite dan diterbitkan sebagai apendiks pada Agrarisch Reglement voor de
Residentie Sumatra’s Westkust met toelichting. Batavia:landsdrukkerij 1916. Domeinnota sejak itu dianggap
mewakili pandangan pemerintah mengenai cara seharusnya Doktrin Domein ditafsirkan dan diberlakukan.

10
luas.38 Dengan tafsir yang lebih luas, maka biasanya Deklarasi Domein biasanya dibaca
sedemikian rupa (cq pasal 520 KUHPerdata) bahwa tanah-tanah yang tidak dikelola dan tidak
ada pemiliknya akan dianggap kepunyaan (milik) negara. Ini jelas berbeda dari tafsir awalnya
yang hanya memberi kewenangan negara hanya pada vrije landsdomein. Dengan kata lain,
bahwa dengan tafsir seperti ini, negara juga merengsek masuk ke wilayah/lahan yang selama
ini telah diclaim sebagai tanah komunal adat dan yang sejenisnya (onvrije landsdomein),
sepanjang tidak bisa dibuktikan oleh pihak yang mengakuinya.39

Tuntutan Tanah Jaluran: Menjadi Pengemis di Tanah Tumpah Darahnya

Satu dari beberapa tanah komunal adat yang dikenal di kalangan orang Melayu Deli dan
sekitarnya serta menimbulkan polemik yang cukup panjang di kalangan pemegang konsesi
dan pemerintahan Hindia Belanda adalah tanah jaluran. Ini merupakan tanah bekas tanaman
tembakau yang diserahkan kepada opgezetenen (rakyat penunggu) untuk ditanami padi dan
atau jagung dalam satu periode waktu tertentu (sekali dalam setahun, satu musim panen).
Kata opgezetenen ini menimbulkan bermacam tafsir. Perkebunan menyatakan yang berhak
memperoleh tanah jaluran hanya orang-orang yang pada saat pemberian konsesi sudah
mempunyai rumah dalam persil konsesi. Namun pernyataan ini dipandang terlalu sempit.
Malah dalam akta konsesi 1884, pengertian opgezetenen berubah menjadi “semua kepala
keluarga baik yang telah tinggal di tanah yang bersangkutan maupun sesudah penyerahan
tanah, kedua golongan itu yang menurut adat digolongkan kepada yang berhak atas tanah.40

Tentang tanah jaluran, Ardiwilaga mengatakan: “bahwa rakyat disamping hak atas tanah
selingan, juga harus mempunyai kemungkinan untuk menanam padi di kebun yang baru
dituai. Dalam pasal 11 model akte 1884, pengusaha wajib menyerahkan tanah tersebut untuk
ditanam padi atau jagung dalam satu musim. Luasnya maksimum satu setengah bahu untuk
tiap penduduk yang harus membayar retribusi dan menjual hasilnya pada pemegang konsesi.
Dalam model akte 1892 (pasal 9), kata-kata satu musim dirubah dengan satu panen. Luas
tanah jaluran ditetapkan separuhnya, sedang syarat wajib menjual padi dan jagung kepada
pemegang konsesi dihapuskan. Dalam syarat umum tentang landbouwconcessie di wilayah
swapraja, dalam hal ini kekuasaan dipegang oleh Gubernement (1902) dimuat ketentuan-
ketentuan yang isinya sama seperti model akte 1982, hanya pasal 9 menegaskan bahwa bila
38
Lihat Termorshuizen-Arts, Marjanne. Rakyat Indonesia dan tanahnya: Perkembangan Doktrin Domein di
masa kolonial dan Pengaruhnya dalam Hukum Agraria Indonesia, dalam Safitri, Myrna A dan Tristan
Moeliono. Hukum Agraria dan Masyarakat Indonesia. Jakarta, HuMa, Van Vollen Hoven Institute dan KITLV-
Jakarta. 2010, hal,39.
39
Pasal 520 BW di Hindia Belanda , menurut Termorshuizen-Arts, sebenarnya harus dibaca sebagai penegasan
bahwa tanah-tanah yang tidak dikelola dan tidak ada pemiliknya, akan dianggap kepunyaan (milik) negara.
Pemberlakukan pasal 520 BW di atas berimplikasi bahwa adalah negara yang harus membuktikan bahwa suatu
bidang tanah memang tidak dikelola dan tidak dimiliki seseorang. Hanya dalam hal itulah negara boleh
mengklaim dirinya sebagai pemilik. Namun dalam kenyatannya, Deklarasi Domein versi Hindia Belanda
membalikkan beban pembuktian: Bukan negara yang harus membuktikan, tetapi orang yang mengklaim hak
atas tanah yang harus membuktikan dirinya sebagai pemilik atau penguasa tanah yang sah. Ibid. Hal.40.
40
Burhan Aziddin, Masalah Tanah Jaluran dan Areal Penanaman Tembakau di PTP IX (Medan:Skripsi FH
USU, 1981), hal.37. Tiga studi penting tentang tanah jaluran dalam periode awal abad 20 bisa dilihat dalam
Bool.H.J. “Landbouwconcessies in de Residentie Oostkust van Sumatra.”, Jansen, Gerard. “Granrechten in Deli.
Uitgave vanSumatra-Instituut. 1925 dan Buffart. Op.cit.(1933). Masing-masing daerah swapraja memeiliki
aturannya tersendiri tentang siapa yang dimaksud dengan Rakyat Penunggu. Peraturan Rakyat Penunggu (Ra’jat
Penoenggoe Regeling) tahun 1924 yang berlaku di Kesultanan Serdang, sekurangnya ada 9 golongan yang
dikategorikan sebagai “de rechthebbenden op djaloeran” (pemegang hak jaluran) . Lihatlah lebih jauh, de
Ridder. Op.cit. Hal.46. Mahadi, op.cit hal.149-151. Perret, Daniel. Kolonialisme dan Etnisitas: Batak dan
Melayu di Sumatera Timur laut. Jakarta, Kepustakaan Populer Gramedia, 2010. Hal. 206-207, mengikut Bool,
H.J. menyebutkan 10 golongan.

11
luasnya tanah jaluran itu adalah kurang dari 1 Ha untuk tiap keluarga, maka membagikannya
kepada rakyat penunggu yang berkepentingan akan dilakukan oleh Residen.41

Sekurang-kurangnya, dalam kacamata pemegang konsesi, ada 3 kesulitan utama dalam


pengaturan tanah jaluran ini: Pertama, Areal tanah jaluran itu terbatas, sehingga tanaman
yang bisa ditanami oleh penduduk menjadi lebih kecil; selain itu akibat krisi, areal tembakau-
tembakau yang ditanami diperkecil. Kedua, Dari pihak pemerintah diusulkan untuk membagi
dua kelompok pemegang hak jaluran, yakni mereka-mereka dan keturunan-keturunan orang
yang pada saat penyerahan konsesi telah terlebih dahulu ada/tinggal di kawasan konsesi dan
yang kedua, kelompok yang setelah penyerahan konsesi, berdasarkan aturan-aturan dari
rakyat penunggu dianggap sebagai orang-orang yang memiliki hak atas tanah jaluran.
Kesulitan datang, jika orang-orang pada kelompok kedua ini ingin merubah pembagian yang
sudah diputuskan sebelumnya, yang jelas-jelas itu tidak bisa dilakukan. di dalam pembagian
itu ; Ketiga, Jauh sebelumnya, pemegang konsesi telah mempunyai pendirian akan
memberikan jaluran kepada pemegang hak jaluran saja, seperti tertera dalam kontrak konsesi;
sebab dengan dihapuskannya poenale sanctie dan menurunnya upah kuli, jaluran menjadi
pengikat untuk mempertahankan tenaga kerja pribumi (Meer dan vroeger stellen zich de
concessionarissen op het standpunt, slechts aan djaloerans ter beschikking van de
rechthebbenden af te staan, wat contractueel is bedongen; omdat met afschaffing der
poenale sanctie en de sterk verminderde koeliloonen, de djaloerans een voornaam
bindmiddel vormen voor het behoud der inlandsche werkkrachten).42

Konsesi pertama di tahun 1864 yang diberikan kepada Nienhuijs misalnya, belum diatur
secara lengkap syarat-syarat mengenai hak rakyat. Hanya yang diatur jangka waktu
pemberian konsesi dan luas tanah yang diberikan. Pada tahun 1877 barulah untuk pemberian
konsesi ditentukan dalam model kontrak (Gouvernements Besluits 27 Januari 1877 No.4
Beijblad No.3381), pun di dalam model kontrak itu belum diadakan syarat-syarat yang
sempurna baik bagi rakyat setempat, maupun bagi pemegang konsesi. Hak rakyat setempat
hanya di ataur dalam satu ketentuan yang secara ringkas yang menyatakan manakala dalam
perusahaan tanan konsesi kedapatan kampung-kampung atau tanah-tanah yang masih dipakai
oleh rakyat, maka pemegang konsesi tidak boleh menguasai tanah itu.

Pemberian konsesi pada pengusaha-pengusaha Belanda atas tanah yang menjadi hak dari
masyarakat hukum (kampung) setempat membawa akibat bagi hak masyarakat hukum itu
atas tanah, baik untuk mereba (ontgeningrecht) maupun untuk mengambil hasil-hasil hutan,
berladang dan sebagainya. Oleh karena itu model Kontrak 1877 juga tidak dipandang
sempurna dan karena itu diadakan peninjauan dan penambahan terhadap syarat-syarat yang
sebenarnya di dalam akte konsesi. Demikianlah pada tahun 1878 model kontrak yang kedua
untuk perjanjian konsesi itu, dimana pertama kalinya terdapat suatu ketentuan tentang
kewajiban pemegang konsesi menyediakan tanah-tanah kebun kepada penduduk. Pasal 6
konsesi tersebut berbunyi: “jika dalam batas-batas tanah yang dimaksud dalam pasal 1
perjanjian ini terdapat rakyat, maka tanah-tanah yang mereka pergunakan , sendiri untuk
pertanian, ditambah dengan tanah yang cocok yang diperlukan untuk pengganti sampai luas
sejumlah empat bahu (1 bahu setara dengan 0.7 ha) untuk tiap-tiap rakyat harus tetap dapat
mereka pergunakan dengan bebas.”43

41
Ardiwilaga, Roestandi. Hukum Agraria Indonesia, (Jakarta:Penerbit Masa Baru, 1962), hal.370.
42
De Ridder, Op.cit. hal.47.
43
Soewanda, Usra. Masalah Tanah Jaluran sebagai Ujud Hukum Adat Tanah Melayu Sumatera Timur, skripsi
Institut Ilmu Pemerintahan, (Jakarta:1974). Hal.43-44.

12
Semua kontrak konsesi perkebunan yg disebutkan di atas berisi ketentuan-ketentuan, bahwa
setiap keluarga yang bertempat tinggal dalam daerah konsesi akan diserahkan empat hektar,
atau pada konsesi-konsesi kemudiannya empat bahu (2,8 hektar), atas dasar pindah tempat
untuk mereka kerjakan. Dalam prakteknya perkebunan tembakau cenderung mengabaikan
ketentuan ini, memanfaatkan semua tanah dari konsesi itu untuk mereka tanami. Begitu
berharganya tembakau Deli yang luar biasa mutunya untuk membungkus cerutu ini, sehingga
kaum planters begitu borosnya memanfaatkan tanah, yakin bahwa setiap tumpak tanah hanya
boleh ditanami tembakau satu kali dalam delapan atau sembilan tahun. Sistim menggilirkan
pemanfaatan tanah ini memungkinkan perkebunan untuk menyerahkan tanah sedang
“menganggur” sesudah panen tembakaunya untuk dipakai penduduk selama satu tahun
dimana mereka bisa berladang. Setelah satu tahun tanah ini kembali dikosongkan sampai
enam atau tujuh tahun untuk kemudian dipersiapkan kembali bagi penanaman tembakau.
Tanah perkebunan yang boleh dipakai penduduk untuk satu tahun itu dinamakan tanah
jaluran. Setiap keluarga penduduk mendapatkan 0.6 hektar tanah jaluran untuk satu tahun
pemakaian, tanah “yang gemuk dengan pupuk, cermat dipersiapkan dan umumnya sangat
subur. Luas yang sedemikian itu dapat menghasilkan panen sebanyak 600 gantang (1920 kg)
beras dengan tenaga kerja yang sedikit44.

Kesempatan mendapatkan pemakaian tanah jaluran yang subur itu mengurangi selera petani-
petani Melayu untuk mendapatkan tanah empat hektar yang ditentukan semula, karena
memerlukan pencangkulan dan pengolahan yang lebih banyak makan tenaga sedangkan
hasilnya biasanya sedikit. Petani Melayu yang mendapatkan jatah tanah jaluran itu dapat
mengerjakan tanamannya sendiri, atau menyewakannya kepada orang Cina atau Jawa. Pada
era-era sebelum tahun 1920, hanya tanah jaluran yang banyak diminta, dan setiap tuntutan
planter yang cenderung akan ditolak segera diimbangi dengan jatah tanah jaluran yang lebih
luas untuk melunakkan sikap terutama kepala-kepala suku dan ulama yang berpengaruh.
Dalam perjanjian konsesi kemudiannya, penyediaan tanah jaluran dicantumkan sebagai
kewajiban pihak perkebunan.

Tentang Tanah Jaluran ini, Pelzer menyebutkan para pengusaha onderneming tidak segan
menggunakan kedudukan mereka yang istimewa, umpamanya untuk meyakinkan Pejabat-
Pejabat Departemen dalam Negeri setempat bahwa orang Batak karo dan Melayu yang
“malas” itu akan menelantarkan tanah-tanah yang sangat produktif, atau menyebabkan
ketidaksuburan yang parah, dan lebih buruk lagi menyerahkan tanah-tanah yang indah ini
kepada petani-petani sayur-sayuran dan peternak babi Cina dan kepada petani-petani bagi
hasil Jawa. Keputusan resmi residen mengenai orang-orang Melayu yang tinggal di daerah
pantai adalah mereka bukan benar-benar petani melainkan nelayan, pedagang-pedagang dan
kusir-kusir sado. Rakyat mesti belajar sekali lagi bekerja dan mengolah tanah secara intensif.
Mereka mesti dibawa ke luar dari kebutuhan yang nyata dalam mana mereka sekarang berada
sebagai akibat sistem jaluran yang merusak. Mereka mesti menjadi petani-petani yang
sungguh-sungguh jika mereka ingin mempertahankan hasil-hasil pertanian yang sekarang
mereka nikmati berkat jaluran.45

Urusan tanah jaluran yang berbelit-belit dan politisasi yang terjadi di dalamnya adalah
sesuatu yang paradoks dalam ruang hidup masyarakat Melayu di pesisir Sumatera Timur.
Bagaimana satu kelompok masyarakat yang sudah tinggal lama dan menjadi bagian dari
penduduk asli wilayah tersebut, sekarang harus meminta-minta kepada planters pendatang
untuk dapat mengusahakan sedikit pertapakan lahan yang telah dibuka dan dipanen dari
44
Lah Husny, Op.cit. hal.90.
45
Perlzer, op.cit. hal.130.

13
penanaman tembakau. Seperti seorang pengemis, kelompok masyarakat Melayu ini, sejak
konsesi-konsesi tembakau memasukkan hak-hak rakyat penunggu di dalamnya, berjuang
untuk menegaskan kembali kepemilikannya atas dalil hak komunal yang mereka miliki.

Tarik menarik posisi tanah adat orang Melayu dalam konsesi terus terjadi dan itu bisa dilihat
dalam berbagai contoh-contoh konsesi 1877/1878, 1884, 1892 dan seterusnya sampai
berakhirnya kekuasan kolonial di pertengahan abad ke 20. Masuknya Jepang dan pergolakan
politik lokal (“revolusi sosial 1946, pembentukan Negara Sumatera Timur) menandakan
berakhirnya rezim konsesi perkebunan kolonial secara formal namun tidak secara
keseluruhan mengembalikan posisi hak adat yang telah dimiliki sebelumnya. Dalam bahasa
yang lain, ini malah menandakan zaman baru pergolakan dan perebutan jang menjurus
kepada sengketa jangka panjang yang lebih melelahkan bagi penduduk yang terlibat.46

Nasionalisasi atau Perampasan Hak?

Satu dekade sebelum nasionalisasi perkebunan milik bangsa Belanda terjadi, kekisruhan soal
tanah di wilayah ini semakin menjadi-jadi (terutama setelah Jepang kalah dari sekutu dan
meninggalkan kondisi perkebunan yang tercabik-cabik). Pemeriksaan-pemeriksaan lapangan
yang dilakukan pihak perkebunan terhadap tanah-tanah perkebunan selepas aksi polisionil
1948 menemukan keadaan dimana banyak dan tersebarnya penduduk yang mengusahakan
tanah-tanah tersebut untuk tanaman pangan dan tempat tinggal.47 Kondisi ini menyebabkan
kesulitan yang amat sangat dari pihak perkebunan untuk melakukan rehabilitasi perkebunan
secara utuh. Kedatangan Jepang di wilayah ini pada tahun-tahun sebelumnya menyebabkan
terjadinya penutupan seluruh perkebunan yang ada. Di sisi lainnya impor beras terhenti. Dua
kejadian itu menurut Van de Waal menyebabkan kelumpuhan (ontwricht) seluruh sel
ekonomi di wilayah ini.48

Jepang tidak saja menghancurkan fundamen penting pengelolaan perkebunan namun juga
terlibat penuh mendorong penduduk yang bukan berasal dari wilayah perkebunan (tembakau
utamanya) untuk menanam tanaman pangan, apalagi perang diperkirakan akan panjang dan
kebutuhan akan bahan pangan utama seperti beras dan palawija meningkat. Selepas kapitulasi
Jepang dan pemerintahan dikuasai oleh Republik Indonesia, ternyata okupasi lahan
perkebunan ini tidak juga mengecil termasuklah juga di dalamnya berbagai praktek
penguasaan lahan menjadi kepemilikan pribadi.49

46
Konflik tanah jaluran kembali memanas selepas kepergian Jepang, dan seterusnya bergulir di masa Soekarno,
zaman orde Baru Soeharto sampai kepemimpinan Soesilo Bambang Yudoyono sekarang ini. Walaupun rezim
berganti, tantangan yang dihadapi tetap, yakni soal ketidakkonsistenan negara (baca:pemerintah) dalam
mengakui hak tanah adat dan konstruksi negatif yang dibangun terhadap kelompok masyarakat Melayu yang
memperjuangkan tanah adatnya.
47
Satu peraturan tertanggal 1 Mei 1947 (No.1138/VI/16), yang dikeluarkan Residen Sumatera Timur di Tebing
Tinggi menyebutkan alasan kekurangan bahan makanan di wilayah ini sebagai suatu kondisi yang
melatarbelakangi diterbitkannya peraturan tersebut. Judul peraturan tersebut berbunyi: Peraturan tentang Tanah
Konsesi Kosong di Keresidenan Sumatera Timur. Dalam peraturan ini, tanah-tanah kosong dalam lingkungan
konsesi perkebunan meliputi juga tanah-tanah yang telah dipinjamkan kepada penduduk di zaman pemerintahan
Belanda, Jepang dan Negara Republik Indonesia. Pasal 4 dari peraturan ini berbunyi: “Penduduk yang tidak
mempunyai tanah perkebunan/persawahan boleh mendapat 1 Ha untuk tiap-tiap satu kelamin dan sudah harus
selesai dikerjakan (diusahai) selambat-lambatnya dalam tempo 6 (enam) bulan.
48
Van de Waal, Richtlijnen voor Een Ontwikkelinsgplan voor de Oostkust van Sumatra. Wageningen,
Landbouwhogescool, 1959:Hal.70.
49
Economisch Weekblad voor Ned.Indie, 14 Augustus 1948, No.33. Hal.1.

14
Kondisi ini menyebabkan penerima hak tanah jaluran tidak bisa lagi menggarap lahan-lahan
tembakau yang sudah dipanen, para buruh kebun tidak lagi mendapatkan upahnya dan
wilayah ini kehilangan hasil padi sekurang-kurangnya 10.000 ton per bulan, dan ini sama
nilainya dengan 50% dari konsumsi total penduduk per bulan. Teminologi Okupasi lahan
(grond occupatie) mulai diperkenalkan dalam periode ini. 50 Satu terminologi yang nantinya
secara negatif dikonstruksikan sebagai okupasi yang bertentangan dengan undang-undang
atau “Okupasi Liar” (onwettige of wilde occupatie). Okupasi mana terjadi di atas tanah-tanah
yang dulunya dikonsesikan untuk perusahaan perkebunan.

Aliran penduduk yang kelaparan datang dari mana saja, tak terkecuali dari kawasan Tapanuli,
terutama dari kawasan sekitar Danau Toba yang relatif padat penduduknya. Di kawasan ini,
eksploitasi tanah dengan sistem intensif pada masa sebelum perang telah menyebabkan
kerusakan kualitas tanah dan menyebabkan erosi dan kegersangan tanah. Kebutuhan tanah
yang lebih subur dan epidemi cacar ( pokkenepidemie) di tanah Batak pada tahun 1948
menyebabkan mereka pergi meninggalkan kampung halamannya menuju dataran rendah di
bekas-bekas lahan perkebunan.51

Usaha-usaha untuk membatasi onwettig occupatie sulit dijalankan sulit dijalankan mengingat
situasi sosial, ekonomi dan politik yang terjadi pada saat ini, apalagi untuk menerapkan satu
aturan yang tegas akan hal tersebut. Padahal, di tahun itu (1948) satu staatsblad dengan no
110, tertanggal 24 Juni 1948 telah dikeluarkan dengan sebuah pasal yang memberi ancamam
hukuman bagi pengambilan tanah pemerintah serta tanah perkebunan dengan tidak sah. Van
de waal mengambarkan situasi pada saat itu: “ De tijden waren onzeker, zodat de bevolking
zich zoveel doenlijk door grondbezit veilig trachtte te stellen tegen een mogelijk
voedseltekort bij stagnerende rijstaanvoer. De Chinezen die van grondbezit uitgesloten
waren geweest, kwamen naast de andere groepen van ocuppanten beslag leggen op een
bouwveld en toonden zich nog onhandelbaarder dan de overigen. Bovendien was de
occupatie ook een politiek strijd middel tegen het Nederlandse gezag.” (Situasi tidak
menentu, penduduk berusaha untuk mengamankan penguasan tanah untuk keamanan diri atas
kemungkinan berkurangnya bahan makanan akibat dihentikannya impor beras. Orang-orang
Cina yang tertutup kemungkinannya untuk menguasai tanah, datang untuk ikut juga menyita
tanah-tanah tersebut disamping kelompok-kelompok okupasi lainnya, dan juga tidak bisa
dikendalikan dibanding sebelumnya. Lagipula, Okupasi yang dilakukan merupakan juga
perlawanan politik yang dilakukan penduduk terhadap kekuasaan pemerintah Hindia
Belanda.)

Nasionalisasi perkebunan pada Desember 1957 mendorong terjadinya berbagai tindakan


penguasaan kembali lahan perkebunan tembakau oleh penduduk setempat. Pelzer menulis:
“whereas by 1 October 1957 a total some 121,000 hectares were occupied by squatters, the
area had increased to 122,000 hectares by the end of 1957 and to 126,000 hectares by the
end of 1958. Clash between the autochtonous population and plantation laborers over the
use of harvested tobacco fields had continued unabated and particularly pierce one erupted
in July 1958 as 500 estate workers battled, reportedly for an hour, with 100 villagers of

50
Van de Waal, Loc.cit.
51
Sebelum perang, umumnya tidak ada kesulitan bagi pemerintah (Hindia Belanda) untuk menyelesaikan kasus-
kasus onrechtmatigen occupanten melalui tindakan-tindakan pengosongan berbasis pasal-pasal dalam BW,
ordonansi Erfpacht, Staatsblad 1937/No/560, yang aturan pokoknya mengatakan bahwa individu atau mereka
yang menguasai tanah secara tidak sah harus meninggalkan tanah-tanah yang dikuasainya tersebut. Malah
Staatsblad 1937/No.560 tersebut juga menyediakan fasilitas ganti rugi bagi pihak perkebunan yang tanahnya
diambil dengan cara yang tidak sah.

15
Kampong Kelambir on the ex- United Deli Company estate Bulu Cina in the Kecamatan
Hamparan Perak.52

Sejak akhir 1957, kebanyakan perusahaan-perusahaan perkebunan diambil alih oleh negara.
Akibatnya, penataan kembali hubungan-hubungan antara negara, perkebunan dan petani
dengan pembaruan perundang-undangan agraria menjadi tak terelakkan. Dilatar belakangai
dengan kejadian-kejadian ini, Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) diumumkan dalam
tahun 1960 dengan menghapuskan Agrarische Wet dan Agrarische Besluit 1870. Dengan
perundang-undangan baru ini, dualisme hukum dalam masalah-masalah agraria diakhiri
dengan hukum-hukum adat lokal tunduk pada hukum nasional. Hak menempati individual
petani ditingkatkan menjadi hak milik. Hak penggunaan tanah oleh perusahaan-perusahaan
perkebunan disatukan ke dalam sebuah bentuk hak guna usaha yang baru dan hanya
diberikan kepada warga negara Indonesia atau perusahaan-perusahaan domestik. Semua jenis
tanah dianggap sebagai tanah negara. Dalam pengertian ini jiwa pernyataan domein negara
tetap diwarisi dari periode kolonial meskipun Agrarische Besluit yang lama telah
dihapuskan.53

Pengambilalihan yang dilakukan negara secara total atas tanah dan bangunan di atas lahan
yang selama ini menjadi objek kontrak konsesi antara kesultanan Melayu di Sumatera Utara
dengan perusahaan-perusahaan Belanda tidak menyisakan sedikitpun hak-hak yang sediakala
dimiliki oleh Kesultanan dan rakyatnya. Padahal di dalam konsepsi hukum perjanjian,
konsesi merupakan satu jenis perjanjian yang menimbulkan hak dan kewajiban diantara
kedua belah pihak. Tak ada satu norma hukumpun yang boleh mengakhiri atau
menghapuskan perjanjian tersebut jika ia telah memenuhi kriteria yang diatur dalam pasal
1320 KUHPerdata.54

Sekurang-kurangnya bisa disebutkan lima (5) alasan mengapa Nasionalisasi perkebunan


milik warganegara Belanda di tahun 1957 tersebut, menurut sejumlah kalangan, bertentangan
dengan hak azasi rakyat dan Kesultanan Melayu (utamanya Deli, Serdang dan Langkat):
1. Robert van De Waal dalam disertasinya menyebutkan bahwa de landbouw concessie
is een persoonlijk recht, berustend op een overeenkomst tussen de Sultan en de
concessionaris (Konsesi perkebunan adalah hak perseorangan yang bersandar kepada
perjanjian antara Sultan dan pemegang konsesi). Dan dalam tulisan tersebut juga
ditunjukkan fakta bahwa di Kesultanan Deli, Serdang dan langkat yang mencakup
5493 perkebunan, tidak ada satupun yang berbentuk hak erfpacht (yang setelah tahun
1960 melalui UU Pokok Agraria No.5/1960 dikonversi menjadi Hak Guna Usaha
(HGU)), melainkan hanyalah apa yang sejak awal dituliskan dalam banyak bukti
tertulis sebagai sebuah perjanjian Konsesi. Dengan demikian jelaslah bahwa konversi
konsesi menjadi HGU pada nasionalisasi tahun 1958 tidak mempunyai dasar hukum
yang kuat dalam mengambil dan menyatakan bahwa tanah-tanah eks konsesi adalah
dibawah kepemilikan Pemerintah Indonesia55

52
Pelzer, Planters against Peasants, op cit. hal.166.
53
Hiroyoshi, Kano. Tanah dan Pajak, Hak Milik dan Konflik Agraria: Tinjauan Sejarah Perbandingan, dalam
Noer Fauzi (Penyunting), Tanah dan Pembangunan, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1997), hal. 38-39.
54
Untuk logika hukum perjanjian terkait masalah ini, lihatlah Tan Kamello. Kontemplasi Pertanahan di
Sumatera Utara: Eks Hak Guna Usaha PTPN II: Milik Siapa? Paper dalam Seminar Refleksi Penanganan
Masalah Pertanahan di Sumatera Utara. FH USU. Januari 2011. Lihat juga: OK. Saidin..Konflik Penguasaan
Hak Atas Tanah Eks Konsesi Kesultanan Deli dalam Hasim Purba dkk. Sengketa Pertanahan dan Alternatif
Pemecahan: Studi Kasus di Sumatera Utara. Medan,Cahaya Ilmu:2006.
55
Van de Waal, Robert. Op.cit. Hal. 54 dst.

16
2. Di dalam hukum perdata internasional dikenal azas yang berbunyi “Lex rei sitae”.
Menurut kaedah ini maka tercipta dan hapusnya dan karenanya juga beralihnya, hak-
hak dan hak-hak atas benda-benda di atur oleh hukum daripada tempat dimana hak
atau benda bersangkutan terletak. Kaedah tentang “lex situs” ini berlaku baik untuk
benda-benda bergerak dan tidak bergerak. Lex situs ini juga dapat diperlakukan
berkenaan dengan peralihan hak-hak benda yang didasarkan atas nasionalisasi.
Negara didalam wilayah mana terletak benda yang terkena oleh nasionalisasi adalah
yang akan memutuskan apakah suatu perundang-undangan nasionalisasi secara
effektif telah mengalihkan hak milik kepada fihak negara. Martin Wolff telah
mengaskan hal ini. Penulis ini menetapkan lebih jauh bahwa sepanjang dekrit
konfiskasi bersangkutan berkenaan dengan benda-benda yang terletak di dalam
wilayah negara yang melakukan konfiskasi itu, maka akibatnya ialah peralihan titel
hak milik kepada negara yang bersangkutan dan ini akan diakui dimana-manapun
(this will be respected everywhere) juga dalam hal bahwa benda-benda yang
dikonfiskasi adalah kepunyaan daripada seorang asing dan bukan dari warganegara
negara yang melakukan konfiskasi56;
3. Pasal 1 UU No.86 tahun 1958 tentang Nasionalisasi perusahaan-perusahaan milik
Belanda menyatakan bahwa: “Perusahaan-perusahaan milik Belanda yang berada di
wilayah Republik Indonesia yang akan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah
dikenakan nasionalisasi dan dinyatakan menjadi milik yang penuh dan bebas negara
Republik Indonesia. Dalam pasal 1 PP No.2/1959 tentang Pokok-Pokok Pelaksanaan
Undang-Undang Nasionalisasi Perusahaan Belanda (LN 1959, No.5) dinyatakan yang
dikenakan nasionalisasi adalah seluruh kekayaan dan harta cadangan baik yang
berwujud barang tetap atau barang bergerak maupun yang merupakan hak atau
piutang. Norma hukum yang sangat jelas ini membimbing kita kepada sebuah
kesimpulan bahwa harta/kekayaan atau apapun yang melekat pada perusahaan
Belanda tersebut, namun bukan merupakan kekayaannya, seperti tanah konsesi dan
hak-hak yang melekat pada pemilik sah yakni Kesultanan Deli dan kesultanan-
kesultanan lainnya pada masa itu dengan pasti dan sah tidak bisa dinasionalisasikan
menjadi milik Republik Indonesia.
4. Setiap negara berhak melakukan nasionalisasi terhadap hak milik orang asing, tetapi
nasionalisasi itu harus disertai dengan prompt, adequate and effective compensation.
“It is an accepted rule that – provided there is no discrimination – every stated is
entitled to nasionalise propoerty located on its territory, even where it belongs to
aliens, provided such nasionalisation is accompanied by promt, adequate and
effectife compensation.” Pernyataan Prof.Kollowijn, Guru Besar Hukum
berkebangsaan Belanda dan mempunyai reputasi internasional itu memberi petunjuk
yang jelas akan kompensasi atas perbuatan nasionalisasi. 57 Yang hendak dikatakan
dalam hal ini adalah, jika seandainyapun nasionalisasi yang dilakukan oleh
Pemerintah Republik Indonesia itu dinyatakan sah dan benar atas hak atas tanah yang
dimiliki oleh Kesultanan dan Masyarakat adatnya, namun kenyataannya kepada
mereka sampai hari ini tidak ada pernah kompensasi itu terjadi apalagi yang bersifat
prompt, adequate and effective (layak/cocok, memadai dan effektif).
5. Dalam Gugatan NV Vereningde Deli Maatschappij dan NV Senembah Maatschappij
terhadap pemerintah Indonesia atas kepemilikan 3871 bal tembakau yang berasal dari
eks perkebunan Deli Maatschappij dan 1318 bal tembakau eks perkebunan Senembah,
hasil panen tahun 1958, yang telah tiba di Bremen pada tahun yang bersamaan para
56
Martin Wolff, Private International Law, Oxford, 1950, cetakan kedua, hal.522 dst.
57
Kollowijn, Prof.Mr.R.D. Nasionalitatie door Vreemde Staten, 1954, Hal.454) dan Nasionalisation without
Compensation and the transfer of property. N.T.I.R.Vol.VI (1959) April afl.2.h.140 dst.

17
pengacara Indonesia yang merupakan representatif (aperwakilan) pemerintah
Indonesia memberikan pembelaan bahwa:
1. Terkait dengan siapa yang menjadi pemilik tembakau tersebut dikatakan bahwa
tanah-tanah konsesi perkebunan ini merupakan tanah-tanah yang termasuk domein
swapraja (zelfbestuur) Sultan Deli dalam rangka susunan tata kenegaraan yang
berlaku tatkala diciptakan hak-hak tersebut. Tanah-tanah swapraja ini adalah
tanah-tanah yang takluk kepada hukum adat; Dan dalam hubungannya dengan
hasil panen, hukum adat mengenal, Wie zaait, die maait (Siapa yang menanam
dia yang memanen). Dan yang menanam tembakau-tembakau yang diperkarakan
itu adalah PPN baru.
2. Pihak perusahaan Belanda mendalilkan bahwa konsesi perkebunan antara para
Sultan beserta orang-orang besarnya dan perusahaan-perusahaan Belanda tersebut
sebagai hak-hak kebendaan (zakelijke rechten) dengan kata lain sebagai hak-hak
erfpacht. Dengan demikian seorang erfpachter menikmati segala hak yang
terkandung dalam hak eigendom atas tanah ( De erfpachter oefent alle de regten
uit, welke aan de eigendom van het erf verknocht zijn). Karena bersifat kebendaan,
maka hak-mereka atas hasil tanaman dipandang lebih teguh, karena mempunyai
suatu vruchttrekkingsrecht), namun pihak Indonesia membantah dan mengatakan
ahwa sifat dari sebuah konsesi adalah merupakan hak perseorangan
(persoonlijkrecht) yang dikenal dalam sistem hukum eropah.
Keputusan Oberlandesgericht di Jerman (yang menyidangkan kasus ini) adalah:
Perseroan-perseroan Belanda bersangkutan tidak dapat glaubhalft machen bahwa
hak-hak mereka ini adalah hak yang menyerupai eigendom (bersifat kebendaan).
Menurut keputusan-keputusan hakim di Indonesia dan bacaan-bacaan hukum,
sepanjang telah dipasrahkan oleh para pihak dalam proses ini, lebih beralasan untuk
menerima, bahwa pada hak-hak konsesi pertanian ini kita hanya berhadapan dengan
hak pribadi/perseorangan (persoonlijk, personliche rechte). (lebih jauh lihat, Prof.
Gouw Giok Siong, Hukum Internasional pada Nasionalisasi di Indoensia. Fakultas
Hukum dan Pengetahuan Masyarakat Jakarta, Maret 1960. Hal 154 dst.)

Nasionalisasi atas tanah-tanah ulayat orang Melayu di Sumatera Utara menjadi tonggak
penting dalam sejarah hukum tanah untuk menunjukkan secara jelas ketidaksahihan konsepsi
hukum adat yang selalu mengagung-agungkan bahwa jika hak ulayat mengecil, maka hak
perorangan membesar, begitu juga sebaliknya. Yang terjadi adalah bahwa semakin mengecil
dan hilangnya hak ulayat atas tanah-tanah orang Melayu di wilayah ini lebih disebabkan
campur tangan negara dengan ragam kebijakan yang pro kapital, kolutif dan konspiratif.
Melewati 50 tahun sejak berakhirnya kekuasan onderneming Belanda di Sumatera Utara,
telah terjadi begitu banyak kisah turun naiknya posisi dan pengakuan (recognition) hak-hak
atas tanah orang Melayu di tanahnya sendiri. Pukulan itu tidak saja pada aspek pengakuan
akan keberadaan hukum asli orang Melayu itu melainkan menjurus pada upaya kriminalisasi
para pendukungnya.58

Penutup
58
Sampai awal tahun 2011 ini, sejumlah kasus yang mengkriminalisasi para penduduk yang dianggap
menguasai lahan PTPN II masih sedang berlangsung di beberapa Pengadilan Negeri Medan, Deli Serdang dan
Langkat. Dengan pasal UU Perkebunan Pasal 47 ayat (1) dan (2) UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan
yang menyatakan: “Setiap orang yang dengan sengaja melanggar larangan melakukan tindakan yang
berakibat pada kerusakan kebun dan/atau aset lainnya, penggunaan lahan perkebunan tanpa izin dan/atau
tindakan lainnya yang mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
21, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00
(lima milyar rupiah)”, negara secara normatif dapat mempidanakan rakyatnya.

18
Deskripsi dan tafsir yang dikembangkan di atas menunjukkan bagaimana posisi kerentanan
dari kelompok masyarakat Melayu di wilayah ini dari waktu ke waktu. Di zaman kedigjayaan
perusahaan-perusahaan asing dan kolonialisme Belanda, individi-individu yang terakumulasi
dalam satuan kampung, terpinggirkan dari belas kasih Kesultanan dan Perusahaan-
Perusahaan Tembakau. Berbeda dengan sejumlah penulis sebelumnya (antara lain Mahadi,
Lah Husny, Agustono dan Sinar), saya lebih menyetujui pandangan Buffart yang melihat
ketidaksungguhan dari elite penguasa pada saat itu untuk memasukkan hak-hak komunal adat
sebagai elemen penting dalam penyusunan kontrak. Sebaliknya, dengan logika yang lebih
tendensius, bisa dikatakan bahwa masuknya beberapa pengaturan tentang hak-hak tanah
komunal memperjelas terperangkapnya hak-hak tanah yang sediakala dimiliki masyarakat
adat dalam logika pengaturan positivistis akte konsesi yang ada. Dengan bahasa yang lain,
kalaupun ada pengaturan di sana-sini tentang hak-hak rakyat atas lahan konsesi dan
sekitarnya, itu hanyalah asesori belaka yang bertolakbelakang dari posisi penting rakyat
sebagai pemegang hak.

Kewenangan opgezetenen (rakyat penunggu) atas sejumlah lahan yang terus berubah dari
satu model akte ke model akte yang lain tanpa melibatkan mereka menunjukkan posisi tawar
yang sangat rendah untuk tidak mengatakan nyaris tak didengar, dalam pertarungan untuk
mendapatkan pengakuan hak atas tanah yang lebih kokoh bagi penghidupan komunal mereka.
Tanah-tanah kampung yang dikuasi secara komunal sebelum kedatangan pekebun asing,
kemudian terperangkap dalam aturan-aturan yang disepakati antara Kesultanan dengan
pemegang konsesi. Meletusnya Perang Sunggal (Batak Oorlog) tahun 1872 menjadi titik
kulminasi tatkala kepala kampung/urung yang menjadi wakil dari satuan masyarakat dalam
kampung/urung tidak dilibatkan dalam penentuan batas untuk kontrak konsesi tembakau di
wilayah mereka. Sembilan tahun sejak Nienhuijs mengikat konsesi pertama dengan
Kesultanan Deli, adalah waktu yang cukup bagi penduduk yang mendiami kampung-
kampung di kawasan Sunggal untuk belajar bagaimana dan siapa yang diuntungkan dari
ekspansi perkebunan tembakau tersebut.

Situasi selepas kemerdekaan Agustus 1945, keluarnya Jepang dan masa-masa awal 1950an
meningkatkan tensi atau tekanan terhadap kelompok rakyat penunggu. Salah satu faktor yang
memicunya adalah munculnya kelompok-kelompok tani yang disana-sini afiliatif dengan
aliran tertentu. Jumlah kelompok yang menuntut lahan-lahan eks konsesi bukan lagi hanya
rakyat penunggu namun juga kelompok-kelompok tani lainnya. Jatuhnya apresiasi
masyarakat kepada Raja-Raja Melayu selepas revolusi di kesultanan-kesultanan Sumatera
Timur memunculkan pertarungan terbuka atas lahan-lahan yang ada. Klaim atas tanah adat
bejalan bersama-sama klaim petani yang butuh tanah/lahan untuk penghidupan keluarga.

Pemerintahan di Sumatera Timur mengeluarkan beberapa aturan 59 baik setingkat Keputusan


Gubernur maupun aturan-aturan teknis lainnya untuk menghalangi ekspansi penduduk atas
lahan-lahan eks konsesi. Pengadilan umum di dorong untuk menghukum para penduduk yang
sangat butuh lahan untuk bertani. Tahun-tahun 1950an ditandai dengan mulai di-
59
Lihat Ketetapan Residen Sumatera Timur N.R.I No.1138/VI/16 tertanggal 1 Mei tahun 1947 tentang
peminjaman lahan sebesar 40.000 ha. Maklumat Bersama No.248/1950 yang ditandatangani oleh Wali Negara
Sumatera Timur (T. Dr. Mansoer) dan Gubernur Militer VII (Kolonel M.Simbolon). Selanjutnya Melalui
keputusan Menteri Dalam Negeri No.12/5/14 tertanggal 28 Juni 1951 diputuskan bahwa 125.000 ha lahan
perkebunan tembakau di wilayah ini diserahkan ke dalam sebuah status hak kebendaan baru untuk paling lama
30 tahun dan dengan syarat-syarat yang ditetapkan oleh pemerintah sementara sisanya (125.000 ha) akan jatuh
kembali ke tangan negara. Lihat Juga, Keputusan Gubernur Sumatera Utara No.36/K/Agr. tertanggal 28
September 1951 tentang peruntukan tanah untuk perkebunan tembakau.

19
kriminalisasinya mereka-mereka yang merupakan keturunan “pemilik tanah” di rumahnya
sendiri karena dianggap telah melanggar ketentuan-ketentuan tentang mana yang boleh dan
mana yang tidak dari batas-batas lahan yang diatur untuk kepentingan perkebunan.

Perubahan-perubahan yang lebih struktural dalam apa yang dimaknakan sebagai “hak” antara
kelompok masyarakat Melayu dan Negara terwujud dalam tindakan politik yang bernama
nasionalisasi di tahun 1957 dan menyusul regulasinya dalam UU Nasionalisasi Perusahaan
Belanda di Indonesia No 86/1958.60 Undang-Undang tersebut secara radikal menegasikan
hak-hak Kesultanan dan masyarakat adatnya atas lahan-lahan eks konsesi dengan perusahaan
perkebunan Belanda. Nasionalisasi tidak hanya mengambil seluruh asset perkebunan bangsa
Belanda melainkan juga tanah-tanah yang menjadi bagian dari kontrak sewa jangka panjang
yang ditandatangani Kesultanan atas nama kedatukan dan para penghulu kampung orang-
orang Melayu di wilayah ini. Kontrak perdata yang bernama konsesi tersebut dimaknai
sebagai hak kebendaan dan oleh karena itu dianggap bahwa semuanya adalah milik Belanda
dan pantaslah diambil oleh Negara. Ini adalah pukulan yang sangat keras dan menyakitkan
bagi orang-orang Melayu. Dengan nasionalisasi inilah kemudian selanjutnya negara
menggelar kekuasaannya dan membangun perkebunan-perkebunan sampai kepada situasi
yang bisa kita lihat sekarang ini.

Setengah abad setelah peristiwa nasionalisasi tersebut, sekurang-kurangnya ada 200.000


hektar lahan eks konsesi (dari 250.000 ha yang merupakan lahan yang dikelola oleh eks PTP
IX) sejak peralihan kekuasaan pengelolaan ke tangan negara, yang hilang, berpindah baik
(dengan cara yang menurut kacamata negara, legal dan atau illegal) ke sejumlah orang,
organisasi, kelompok, termasuk juga instansi-instansi pemerintah lokal di dalamnya. 61
Kekacauan penataan lahan eks konsesi semakin menjadi-jadi setelah reformasi di tahun 1998.
Ini tidak saja disebabkan karena politik balas dendam atas mismanagement yang telah lama
sekali dilakukan oleh pemimpin-pemimpin perusahaan perkebunan atas pengalihan
peruntukan lahan HGU kepada pihak lain melainkan juga kegagalan dalam penegakan hukum
atas perampasan-perampasan tanah yang dilakukan oleh orang dan kelompok-kelompok lain
yang meng-claim tanah-tanah tersebut adalah di bawah kewenangan mereka.

Dalam kontestasi ini, masyarakat umum hampir tidak bisa lagi membedakan mana kelompok-
kelompok masyarakat Melayu yang secara historis telah berjuang puluhan tahun seperti
Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia (BPRPI)62 untuk memulihkan kedaulatan
haknya atas tanah-tanah komunal yang mereka miliki dan kelompok-kelompok baru yang
bermunculan pasca reformasi, untuk dan atas nama apapun, yang menggarap lahan-lahan eks
konsesi dan milik masyarakat Melayu, dengan politik dagang tanah pragmatis yang mereka
60
Pada akhir bulan November 1957 terjadi dua kejadian penting. Di tanggal 29 November-nya Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) gagal mengesahkan suatu resolusi yang menghimbau agar Belanda merundingkan suatu
penyelesaian mengenai Irian. Sedangkan pada tanggal 30 November terjadi usaha pembunuhan terhadap
Presiden Soekarno dalam peristiwa Cikini. Dua kejadian tersebut memunculkan raledakan radikalisme anti
Belanda. Pada tanggal 3 Desember 1957, serikat-serikat buruh Parti Komunias Indonesia dan Partai Nasional
Indonesia mulai mengambil alih perusahaan-perusahaan dan kantor-kantor Dagang Belanda. Untuk bahasan
lebih dalam soal-soal nasionalisasi bisa dilihat Kanumoyoso, Bondan. Nasionalisasi Perusahaan Belanda di
Indonesia. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2001. Sanusi, Ahmad. The Dynamics of Nationalization of Dutch-
Owned Enterprises in Indonesia. Indiana University, June 1963. Domke, Martin. Indonesian Nationalization
Measures Before Foreign Courts. The American Journal of International Law, Vol.54 No.2 April 1960.
61
Satu Penjelasan resmi dari PT.Perkebunan Nusantara II (Persero) tertanggal 20 Pebruari 2012 yang ditujukan
kepada Plt.Gubernur Sumatera Utara terurai jumlah areal HGU yang tersisa yang dikelola oleh PTPN II, yakni
seluas 43.164 ha untuk eks konsesi PTP IX dan 68.953 ha, yang berasal dari areal eks PTP II.
62
Untuk studi yang lebih luas tentang BPRPI, lihatlah Agustono, Budi dkk. Badan Perjuangan Rakyat
Penunggu Indonesia VS PTPN II: Sengketa Tanah di Sumatera Utara. Bandung, Akatiga dan WIM, 1997.

20
lakukan kepada pihak-pihak yang membutuhkannya.63 Apa yang kita persaksikan saat ini,
utamanya di tanah-tanah eks Kesultanan Deli, Serdang dan Langkat, adalah pengingkaran
atas kedaulatan adat atas tanah yang diterakan dalam pasal-pasal utama UU No.5 tahun 1960.
Pembiaran yang dilakukan secara evolutif menunjukkan kemana negara dan komparadornya
memihak. Sejarah akan mencatat semua pengkhianatan ini.

Bumi telah lama terhampar


Benih kian lama merekah
Kami berjuang cukup sabar
Maju berjuang membawa tuah
(Afnawi Noeh, Pemimpin BPRPI)

Medan, 24 Maret 2012


eikhsan@indosat.net.id

Daftar Pustaka

Agustono, Budi. Violence on North Sumatra Plantations, dalam Colombijn and Linblad
(eds), Roots of Violence in Indonesia. Leiden:KITLVPress, 2002.

Agustono, Budi dkk. Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia VS PTPN II: Sengketa
Tanah di Sumatera Utara. Bandung: Akatiga dan WIM, 1997.

63
Satu temuan lapangan terkini di awa tahun 2012, di kawasan Kelambir Lima, Kecamatan Hamparan Perak,
Deli serdang, kita menemukan sejumlah organisasi yang kerap melakukan pendudukan dan penjualan tanah
dengan sejumlah alasan, antara lain: Kelompok Wagirin Arman, MAHADI, Pemuda Panca Marga, AMPI,
Laskar Merah Putih, Komunitas Melayu Bumi Putera. Jumlah kelompok ini diperkirakan ada puluhan yang
tersebar di semua titik wilayah eks tanah-tanah konsesi Kesultanan Melayu. Disamping itu , sejak beberapa
tahun terakhir, PTPN II melakukan kerjasama dalam apa yang disebut dengan Kerjasama Usaha (KSU) dengan
sejumlah perusahaan swasta untuk pengusahaan lahan HGU melalui penanaman ubi dan jagung.

21
Ainon Mohd, Abdullah Hasan. Pepatah, Bidal dan Perumpamaan (Siri Kamus). Kuala
Lumpur: PTS Publications & Distributors Sdn. Berhad, 2003.

Anderson, Jhon. Mission to the East Coast of Sumatra :Under the Direction of the
Government of Prince of Wales Island. William Blackwood, Edinburgh: And T.Cadell,
Strand.London: Blackwood, 1826.

Ardiwilaga, R.Roestandi , Hukum Agraria Indonesia. Jakarta:Penerbit Masa Baru, 1962

Aziddin. Burhan. Masalah Tanah Jaluran dan Areal Penanaman Tembakau di PTP IX
.Medan:Skripsi FH USU, 1981.

Bool, H.J.Mr. Landbouw Concessie in de Residentie Oostkust van Sumatra. Tanpa tahun dan
Tempat.

Breman, Jan. Koelies, Planters en Koloniale Politiek, Het Arbeidsregime op de


Grootlandbouwondernemingen aan Sumatra’s Oostkust in het Begin van de Twintigtste
Eeuw, Leiden: KITLV Uitgeverij, 1992.

Bruin.A.G. Mededeling No.I. De Chinezeen ter Oostkust van Sumatra. Leiden: E.J.Brill,
1918.

Buffart, JFAM. Dr. Rechten van de Bevolking op in Landbouw Concessie .Uitgegeven


Gronden.” Overdruk uit “Indische Gids”, Juli – Aflevering 1933. Uitgave Vereeniging Indie
Nederland.

De Ridder.J. De Invloed van de Westersche Cultures op de Autochtone Bevolking ter


Oostkust van Sumatra. Wageningen: H.Veenman&Zonen, 1935.

Devi, T. Keizerina. Poenale Sanctie, Studi tentang Globalisasi Ekonomi dan Perubahan
Hukum di Sumatera Timur (1870-1950), Medan: Program Pasca Sarjana Universitas
Sumatera Utara, 2004.

Domke, Martin. Indonesian Nasionalization Measures before Foreign Courts. The American
Journal of International Law, 1960.

Gerard, Jansen. Granrechten in Deli. Uitgave vanSumatra-Instituut, 1925.

Husny, Tengku Lah. Lintasan Sejarah Peradaban dan Budaya Penduduk Melayu Pesisir
Deli di Sumater Timur 1612-1950. Medan:Badan Penerbit Husny.

Mahadi, Sedikit Sejarah Perkembangan Hak-Hak Suku Melayu atas Tanah di Sumatera
Timur (1800-1975). Bandung: Penerbit Alumni:1976.

Kano, Hiroyoshi. Tanah dan Pajak, Hak Milik dan Konflik Agraria: Tinjauan Sejarah
Perbandingan, dalam Noer Fauzi (Penyunting), Tanah dan Pembangunan, Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, 1997.

22
Kamello,Tan. Kontemplasi Pertanahan di Sumatera Utara: Eks Hak Guna Usaha PTPN II:
Milik Siapa? Paper dalam Seminar Refleksi Penanganan Masalah Pertanahan di Sumatera
Utara. Medan: FH USU, 2011.

Kanumoyoso, Bondan. Nasionalisasi Perusahaan Belanda di Indonesia. Jakarta: Pustaka


Sinar Harapan, 2001.

Kleintjes. Staatsinstellingen van Nederlandsch-Indie. Amsterdam, 1924.

Kollowijn, R.D. Prof.Mr. Nasionalitatie door Vreemde Staten. 1954.

___________ Nasionalitation without Compensation and the Transfer of Property. N.T.I.R,


Vol.VI, 1959.

Lekkerkerker, J.W.G. Concessie en Erfpachten ten behoeve van Landbouwondernemingen in


de buitengewesten van Nederlands Indie. Groningen-Den Haag: JB.Wolters, 1928.

Pandectecten van Het Adatrecht (I) ,Het Beschikkingsrecht over Grond en Water.
Amsterdam: Uitgave van het Instituut, Druk van J.H. de Bussy, 1914.

Pandecten van Het Adatrecht IVb. De Overige Rechten op Grond en Water. Amsterdam:
Uitgave van het Instituut. Druk van J.H. De bussy, 1918.

Pelly, Usman dkk. Sejarah Pertumbuhan Pemerintahan Kesultanan Langkat, Deli dan
Serdang. Jakarta: Departemen Pendidikan dan kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai
Tradisional, 1986.

Pelzer, Karl J. Planters and Peasant: Colonial Policy and The Agrarian Struggle in East
Sumatra 1863-1947. Verhandelingen KITLV No.84, ‘S-Gravenhage: Martinus Nijhoff,
1978.

Perret, Daniel. Kolonialisme dan Etnisitas: Batak dan Melayu di Sumatera Timur laut.
Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2010

Said, Muhammad. Aceh Sepanjang Abad. Medan:Penerbit Waspada, 1981, hal 269.

Schadee, WHM. Geschiedenis der Sumatra’s Oostkust, 1 dan II, hal.188 dalam
H.Mohammad Said, Suatu Zaman Gelap di Deli: Koeli Kontrak Tempo Doeloe, Dengan
Derita dan Kemarahannya,. Medan: Percetakan Waspada, 1977

Saidin.OK.Konflik Penguasaan Hak Atas Tanah Eks Konsesi Kesultanan Deli dalam Hasim
Purba dkk. Sengketa Pertanahan dan Alternatif Pemecahan: Studi Kasus di Sumatera Utara.
Medan: Cahaya Ilmu, 2006.

Sanusi, Ahmad. The Dynamics of Nationalization of Dutch-Owned Enterprises in Indonesia.


Indiana University, 1963.

Sinar, T.Luckman. Pembentukan Undang-Undang tentang Hak Konstitusional Masyarakat


Hukum Adat. Paper dalam Pertemuan Informal Tokoh-Tokoh Melayu, Medan Club, 2009.

23
_______________ Perang Sunggal (1872-1895).Medan: Percetakan Perwira: 1987.

Siong, Gouw Giok. Perkara Tembakau Indonesia di Bremen, Jakarta:Penerbit Pesat NV,
1958.

Slaats, Herman, Erman Rajagukguk dkk, Masalah Tanah di Indonesia dari Masa ke Masa.
Jakarta: Lembaga Studi Hukum dan Ekonomi, 2007.

Soewanda Usra, Masalah Tanah Jaluran sebagai Ujud Hukum Adat Tanah Melayu Sumatera
Timur, skripsi Institut Ilmu Pemerintahan. Jakarta:1974.

Termorshuizen-Arts, Marjanne. Rakyat Indonesia dan Tanahnya: Perkembangan Doktrin


Domein di Masa Kolonial dan Pengaruhnya dalam Hukum Agraria Indonesia, dalam Safitri,
Myrna A dan Tristan Moeliono. Hukum agraria dan Masyarakat Indonesia, Jakarta: Huma-
Van Vollenhoven Institute dan KITLV, 2010.

Van de Waal, R. Richtlijnen voor Een Ontwikkelinsgplan voor de Oostkust van Sumatra.
Wageningen: Landbouwhogescool, 1959.

Wolff, Martin. Private International Law. Oxford, 1950.

24

Anda mungkin juga menyukai