Anda di halaman 1dari 9

JERIT PETANI LAHAN GERSANG DI BALIK

PESONA KALDERA BATUR

I Putu Edi Swastawan, I Komang Suweca Hartha, San Niscara Wardana


Sudanegara, I Kadek Redana

Sejak tahun 2020, kejenuhan masa pandemi berhasil menuntun masyarakat


domestik mendatangi kedai kopi di kawasan Kaldera Batur. Dari kedai-kedai
kopi, wisatawan bisa bersenggama dengan pesona indah Kaldera Batur yang tak
terbantahkan. Kaldera yang mewadahi danau berbentuk bulan sabit, megahnya
Gunung Batur berhadapan langsung dengan Bukit Abang, hamparan hijau
pepohanan dan hitam sedimentasi larva erupsi Gunung Batur. Tidak heran
UNESCO pada 2012 berani menobatkan kawasan itu sebagai Global Geopark
(taman bumi global) pertama di Indonesia.
Pesona itu bahkan berhasil menutup hampir seluruh mata orang Bangli
terhadap jerit saudaranya sendiri yang bertempat tinggal di balik bukit kaldera.
Bagaimana tidak, kampanye wisata menjadi hegemoni yang membuat sebagian
orang lupa, bahkan tidak tau terhadap kondisi warga balik bukit. Dimana yang
dimaksud wilayah balik bukit? Siapa disana? Bagaimana kondisinya? Apa yang
dikerjakan masyarakatnya? Dan Kenapa bisa seperti itu? Mari ketahui bersama.

Termarjinalkan1
Bagi yang tau Kaldera Batur hanya berdasarkan perspektif kedai kopi,
diseberang latar belakang orang-orang berswafoto itulah yang akrab dikenal oleh
warga lokal dengan istilah “balik bukit”. Lebih tepatnya, dibelakang Gunung
Batur ada bukit sisi kaldera yang berseberangan dengan kawasan kedai-kedai kopi
di Batur, dibalik bukit sisi kaldera yang bersebrangan itu tempatnya. Bila
berangkat dari kawasan kedai kopi di Batur, jarak yang harus ditempuh untuk
sampai di balik bukit adalah 17 kilometer melalui jalan terjal. Bisa dikatakan
sangat jauh untuk jarak dalam satu kawasan yang sama, serupa dengan fakta
ketimpangan sosial yang terjadi.

1
Yang terpinggirkan, dalam kondisi tidak menguntungkan.
Belum terbayang? Jika tau wilayah pesisir Danau Batur, maka akan lebih
mudah membayangkannya. Jalan utama ke arah balik bukit terletak tepat di
sebelah Pura Hulundanu Batur. Untuk sekedar memperjelas karena di Kintamani
ada Pura Hulundanu Batur yang berlokasi di Desa Songan dan Pura Ulundanu
Batur yang berlokasi di Desa Batur. Pura yang dimaksud dalam tulisan ini adalah
yang terletak di Desa Songan, lokasinya tepat di sisi Danau Batur. Dari jalan
utama itu menuju naik ke atas bukit, jaraknya tidak kurang dari satu kilometer.
Banjar2 Alengkong adalah titik puncaknya, sekaligus menjadi titik balik
ketimpangan sosial terjadi.

Rumah Salah Satu Warga Balik Bukit


Rumah warga balik bukit dapat dijumpai di antara hamparan lahan
pertanian, dengan kondisi jarak antar rumah sangat berjauhan. Oleh sebab itu, bisa
diasumsikan per masing-masing keluarga memiliki lahan pertanian yang relatif
luas. Ketua Kelompok Tani Mekar Sari, I Ketut Kawi menyampaikan bahwa
lahan pertanian di sana sebagian besar telah tersertifikasi milik petani lokal.
Potensi luar biasa, namun faktanya lahan pertanian balik bukit mayoritas
termarjinalkan. Bukan karena tidak ada yang mau bertani, bukan karena lahannya
2
Pembagian wilayah administratif di Provinsi Bali, di bawah kelurahan atau desa.
tidak subur, dan bukan juga karena minimnya pengetahuan warga, tapi
masalahnya utamanya hanya satu, masalahnya adalah sumber daya air.

Lahan Marjinal di Balik Bukit Pada Musim Kemarau


Mayoritas petani balik bukit hanya bisa bertani pada musim hujan saja.
Menurut I Ketut Kawi, tanaman yang dibudidayakan seperti cabai, bawang, kubis,
dan lain sebagainya tumbuh baik pada musim hujan. Artinya, tidak ada indikasi
masalah serius terhadap aspek tanah di wilayah itu. Pasar pun tidak begitu
menjadi masalah, karena ada pengepul yang mau mengambil hasil produksi
langsung ke petani dengan harga yang sesuai. Kembali lagi, masalahnya hujan
hanya turun tiga sampai empat bulan saja dalam setahun, yaitu pada bulan
Desember sampai dengan April. Sementara selama delapan bulan, yaitu bulan Mei
sampai dengan November, lahan hanya ditumbuhi semak-semak gersang.
Berternak pun menjadi sulit, rumput pakan sapi tidak bisa tumbuh pada
musim kemarau. Petani mulai mengumpulkan rumput pakan pada musim hujan
untuk ditimbun dan dikeringkan. Saat kemarau, sapi milik petani balik bukit
hanya memakan rumput kering yang ditimbun itu, dicampurkan dengan garam
dan dedak. Terlebih bila musim kemarau berkepanjangan, sehingga stok rumput
kering sudah habis, petani harus mencari pakan sampai ke Desa Bebandem-
Karangasem. Jarak dari balik bukit ke Desa Bebandem cukup jauh, dan pakan
yang diambil di sana pun tentu tidak gratis.
Sampai saat ini, sumber air lokal di balik bukit khususnya di wilayah
Banjar Peradi memang belum ada. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja,
warga terpaksa memanfaatkan air Danau Batur yang jaraknya cukup jauh. Warga
balik bukit membentuk kelompok-kelompok besar untuk mengurus persoalan air.
Ada yang kelompoknya berbasis banjar, bahkan ada juga kelompok lintas banjar.
Masing-masing kelompok besar itu memiliki satu mesin pompa air sebagai alat
utama distribusi air dari Danau Batur ke balik bukit.
Dalam kondisi itu, warga tidak bebas menggunakan fasilitas air yang
tersedia. Terbatasnya mesin pompa dan instalasi pipa mengakibatkan warga harus
bergantian dengan warga lain sesuai waktu yang telah disepakati dalam kelompok.
Ketika mendapatkan giliran menggunakan fasilitas, warga menampung airnya
dalam bak air atau tempat penampungan sesuai dengan kemampuan masing-
masing warga. Keterbatasan itu yang mengakibatkan pasokan air tidak cukup bila
digunakan sebagai irigasi budidaya tanaman pada musim kemarau.

Bak Air di Rumah I Ketut Kawi Selaku Kelompok Tani Mekar Sari
Pemanfaatan air Danau Batur tidak serta merta mudah direalisasikan. Jarak
dari Danau Batur ke Banjar Peradi di balik bukit ± 10 kilometer, itu pun instalasi
air harus melewati perbukitan tinggi yang tadi diceritakan di awal. Air danau
harus “dilempar” terlebih dahulu melalui pipa ke atas bukit dengan jarak ± 3
kilometer. Dari atas bukit untuk mencapai Banjar Peradi, masih membutuhkan
instalasi sepanjang ± 7 kilometer. I Ketut Kawi menyampaikan, untuk instalasi
pipa saja membutuhkan biaya sampai ratusan juta rupiah. Oleh sebab banyaknya
modal awal yang dibutuhkan, pemekaran kelompok air dalam rangka
meningkatkan kuantitas distribusi air ke balik bukit sulit dilaksanakan.

Instalasi Pipa di Ruas Jalan Menuju Banjar Peradi di Balik Bukit


Untuk mensiasati ketidakberdayaan sektor pertanian balik bukit, pada
musim kemarau petani menciptakan sumber penghasilan alternatif. Salah satu
tanaman yang bisa bertahan saat musim kemarau adalah pohon lontar. Petani
memanen nira pohon lontar untuk diolah menjadi gula. Petani balik bukit memang
kreatif dan layak diapresiasi. Namun potensi lahan pertanian yang begitu luas
termarjinalkan dalam waktu yang lama, tentu tidak bisa dibenarkan. Dan lahan
pertanian yang termarjinalkan itu jelas bukan salah petani.

Intropeksi
Bangli terlalu larut dalam hegemoni dampak ekonomi Kaldera Batur.
Hasil dari aktivitas pariwisata, hasil yang diberikan oleh sektor perikanan di
Danau Batur, hasil dari sektor pertanian di sekitar Danau Batur, bahkan hasil
tambang pasir (galian C) di sekitar Gunung Batur, semua itu memang tidak haram
dan selayaknya dimanfaatkan. Namun, siapa yang akan mengingat petani balik
bukit? apa yang telah didapatkan oleh petani balik bukit? Siapa yang akan
memecahkan masalah-masalahnya? Siapa yang akan bertanggung jawab
membagikan “kue” Kaldera Batur kepada mereka? Dan siapa yang akan
menjawab pertanyaan-pertanyaan ini?
Bangli larut dalam suasana membangga-banggakan dirinya sendiri.
Kebanggaan yang lahir karena memiliki Global Geopark pertama di negeri ini.
Kebanggaan yang lahir karena menjadi tonggak sejarah peradaban Bali.
Kebanggaan yang lahir karena konon Danau Baturlah yang “menyusui” organisasi
pertanian subak di Bali. Namun jika diingat kembali, masihkah Bangli layak
bangga atas ketimpangan sosial yang terjadi? Masihkah bisa dikatakan sebagai
wilayah beradab ketika ketimpangan itu dibiarkan saja? Masihkah layak bangga
ketika balik bukit belum mendapatkan “susu segar” atas masalah sektor
pertaniannya? Dan masihkah Bangli layak bangga jika pertanyaan-pertanyaan ini
belum terjawab beberapa tahun kedepan?
Tahun ini, tahun 2021 menjadi saksi 20 tahun sudah Bangli dipimpin oleh
warna yang mengaku sebagai anak ideologisnya Bung Karno. Marhaenisme ialah
pedoman berfikir untuk membela dan melindungi kaum termarjinalkan, ialah
ajaran Bung Karno, ialah ideologi Bung Karno. Sudahkah ajaran-ajaran itu
dibumikan di Bangli? Jika mengacu fakta petani balik bukit, maka jelas bisa
disimpulkan bahwa Bangli belum mampu mengejawantahkan ajaran Bung Karno
secara komprehensif. Saudara di balik bukit ialah marhaen itu sendiri, saudara di
balik bukit ialah yang termarjinalkan. Yang harus dijawab Bangli sekarang,
kenapa saudara itu masih termarjinalkan hingga saat ini.
Uniknya lagi, berdasarkan diskusi dengan ketua Kelompok Tani Mekar
Sari, I Ketut Kawi menyampaikan sangat-sangat hilang semangatnya untuk
kembali mengajukan permohonan-permohonan bantuan. Selain karena jarak,
waktu, dan biaya, juga karena pengalaman ketidaseriusan respon yang diterima
dari permohonan-permohonan sebelumnya. Ini jelas adalah alarm bagi pemangku
kebijakan di Bangli. Karena apa? Sudah jelas terindikasi ada ketidakpercayaan
petani balik bukit terhadap pemerintahnya sendiri.
Beberapa peneliti, yaitu Haryanto; Rahmania; Mubarok; Dopo; Fauzi; dan
Fajri dalam Jurnal Psikologi (2015) mengklasifikasikan faktor penyebab
menurunnya kepercayaan publik terhadap elit politik, yaitu karena elit tidak
kompeten; tidak bertanggungjawab; malas; dan kurang transparan.
Ketidakpercayaan Kelompok Tani Mekar Sari sudah menjadi indikasi bahwa elit
politik Bangli sesuai dengan faktor penyebab yang dijabarkan oleh Haryanto dan
kawan-kawannya. Haryanto, dkk. menyarankan seharusnya elit politik mampu
memiliki karakter dengan motif baik dan erat dengan norma. Hal itu menjadi
stimulus agar ketidakpercayaan petani terhadap elit politik Bangli tidak berlarut-
larut terjadi.

Alternatif
Secara kongkret, tidak ada jalan lain untuk memulihkan kepercayaan
petani balik bukit. Elit politik Bangli harus segera berhasil memecahkan masalah-
masalah petani itu. Sederhananya, pemangku kebijakan harus ada di tengah-
tengah petani mendengar apa yang petani inginkan. Alternatif selanjutnya yaitu
mengkombinasikan hal yang diinginkan petani balik bukit dengan pemecahan
masalah irigasi pertanian yang telah diterapkan di daerah lain.
Petani balik bukit sebenarnya memiliki keinginan cukup sederhana, yaitu
memaksimalkan distribusi air Danau Batur (pompanisasi) ke balik bukit. I Ketut
Kawi menyampaikan cita-citanya agar setiap kelompok tani di balik bukit
memiliki instalasi distribusi air secara mandiri. Artinya tidak lagi bergabung
dengan kelompok distribusi air dalam lingkup besar, misalnya satu banjar atau
bahkan lintas banjar.
Dalam kondisi tidak mandiri seperti saat ini, air yang didapatkan masing-
masing anggota kelompok tani sangat terbatas. Hal itu karena anggota kelompok
tani harus bergantian menggunakan fasilitas distribusi air dengan warga di luar
kelompok, bahkan di luar banjarnya. Kemandirian pengelolaan instalasi distribusi
air memungkinkan anggota kelompok memiliki peluang mendapatkan kuantitas
air lebih tinggi. Sehingga memungkinkan digunakan sebagai irigasi tanaman pada
musim kemarau. Intinya cita-cita itu mengharapkan ada bantuan langsung fasilitas
distribusi air (mesin pompa, instalasi pipa, listrik, dan pendukung lainnya) untuk
masing-masing kelompok tani di balik bukit.
Hal lain yang dapat dilaksanakan oleh pemangku kebijakan di Bangli
adalah mengoptimalkan sumber air selain Danau Batur. Adopsi salah satu
program unggulan Kementerian Pertanian pada kepemimpinan Bapak Andi
Amran Sulaiman bisa mejadi alternatif, yaitu pengembangan teknologi panen air
hujan. Teknologi panen air hujan di balik bukit dapat direalisasikan melalui
kombinasi pembangunan sistem dam parit dan embung.
Dam parit merupakan cara mengumpulkan atau membendung aliran air
dalam suatu parit (drainage network) dengan tujuan untuk menampung aliran air
hujan di permukaan tanah. Sementara embung berfungsi untuk menyimpan air
dan menyediakan air bagi tanaman dan ternak pada musim kemarau. Selain dapat
digunakan untuk sistem irigasi, konsep itu juga dapat menurunkan kecepatan
aliran air (run off), erosi ,dan sedimentasi. Sistem itu dibahas secara lebih
komprehensif oleh Kementerian Pertanian RI dalam sebuah buku yang berjudul
“Panen Air: Menuai Kesejahteraan Petani”.
Buku itu juga membahas tiga keuntungan dam parit dan embung dalam
upaya mengantisipasi kekeringan. Pertama, menyimpan air yang berlimpah pada
musim hujan, sehingga aliran permukaan, erosi, dan bahaya banjir di daerah hilir
dapat dikurangi serta memanfaatkan air pada musim kemarau. Kedua, menunjang
pengembangan usaha tani di lahan kering, khususnya pada sub-sektor tanaman
pangan, perikanan, dan peternakan. Ketiga, menampung tanah erosi sehingga
memperkecil sedimentasi ke sungai, untuk memenuhi kebutuhan air rumah tangga
dapat dibuat sumur di sekitar embung.
Alternatif lain sebenarnya masih ada, yaitu pemanfaatan air tanah dan
rekayasa sistem irigasi. Pemanfaatan air tanah dapat dilaksanakan melalui
infrastruktur sistem pompa (pompanisasi). Rekayasa sistem irigasi yang dapat
dikembangkan untuk membebaskan tanaman dari cekaman kekeringan yaitu
sumur renteng; irigasi kapiler; irigasi tetes; irigasi semprot; irigasi parit; irigasi
bergilir; dan irigasi berselang. Intinya banyak alternatif cara yang bisa digunakan.
Masalah air petani balik bukit bukan masalah bisa atau tidak, tapi masalah
seberapa serius pemangku kebijakan Bangli mengurusnya, Sekali lagi ini bukan
masalah bisa atau tidak, tapi masalah mau atau tidak!

Anda mungkin juga menyukai