Anda di halaman 1dari 19

BAHAN SEMINAR HASIL PENELITIAN

JURUSAN KEHUTANAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS LAMPUNG

Judul Skripsi : KEANEKARAGAMAN JENIS HERPETOFAUNA DI


BLOK PEMANFAATAN HUTAN PENDIDIKAN
KONSERVASI TERPADU TAMAN HUTAN RAYA
WAN ABDUL RACHMAN
Nama Mahasiswa : Ihza Wijaya
NPM : 1614151025
Jurusan : Kehutanan
Pembimbing I : Dr. Hj. Bainah Sari Dewi, S.Hut., M.P.
Pembahas I : Yulia Rachma Fitriana, S.Hut., M.Sc.
Pembahas II : Dr. Arief Darmawan, S.Hut., M.Si.
Hari/Tanggal : Maret 2021
Waktu : WIB
Tempat : Ruang Seminar Jurusan Kehutanan

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman (Tahura WAR) di tetapkan sebagai
hutan pendidikan konsevasi terpadu Universitas Lampung, pengelolaan pada
hutan pendidikan konservasi terpadu Universitas Lampung telah dibagi menjadi
tiga blok yaitu blok pemanfaatan, blok lindung dan blok pendidikan (berdasarkan
surat keputusan penetapan tata batas nomor : 408/kpts-II/1993 tanggal 10 agustus
1993). Herpetofauna merupakan salah satu keanekaragaman fauna yang terdapat
di tahura, herpetofauna merupakan kelompok binatang melata yang terdiri dari
anggota amfibi dan reptil dan memiliki beragam jenis dan warna yang dan bentuk
yang menarik, di dalam ekosistem herpetofauna berperan sebagai bagian
penyusun rantai makanan dan juga berperan sebagai bioindikator kerusakan
terhadap habitatnya (Yani dkk, 2015).

Herpetofauna yang terdiri dari reptil dan amfibi merupakan potensi


keanekaragaman hayati hewani yang jarang diketahui dan kurang dikenal oleh
masyarakat. Herpetofauna juga merupakan kelompok satwa yang dapat menarik
perhatian (atraktif) (Subeno. 2018). Keberagaman herpetofaunana menjadi salah
satu parameter terhadap keberlangsungan dan keseimbangan kualitas lingkungan
disekitarnya. Data mengenai keanekaragaman jenis herpetofauna sangatlah
penting bagi suatu kawasan konservasi memiliki data fauna, karena masing-
masing fauna termasuk herpetofauna memiliki peranan yang penting (Irwanto
dkk, 2019). Menurut Setiawan dkk (2019), apabila di suatu wilayah tidak
ditemukan katak atau kodok, hal ini mengindikasikan kualitas lingkungan di
wilayah tersebut sangat buruk.

Herpetologi merupakan suatu cabang ilmu yang mempelajari tentang reptil dan
amfibi. Persebaran kelompok studi ini masih sangat minim di Indonesia, hal ini
2
tidak lain karena adanya paradigma negatif oleh masyarakat terhadap hewan-
hewan ini, sangatlah penting bagi suatu kawasan memiliki data tentang
keanekaragaman fauna, karena masing–masing fauna herpetofauna merupakan
salah satu komponen penyusun ekosistem yang memiliki peranan sangat penting
bagi kelangsungan proses ekologi karena merupakan agen bioindikator
perubahan kondisi lingkungan, dengan demikian herpetofauna bisa menjadi
rentan terhadap kepunahan (Adhiaramanti dan Sukiya, 2016). Termasuk
herpetofauna memiliki peran penting dalam menjaga keseimbangan dan
keberlangsungan ekosistem kawasan,peranannya di alam antara lain, pengendali
hama (jenis-jenis pemakan tikus dan juga serangga) dan tentunya sebagai sumber
plasma nutfah (Muslim, 2018).

Menurut Abaire dan Warobai (2018), saat ini herpetofauna salah satunya reptil
mengalami penurunan populasi dalam skala global dan terdapat lima ancaman
yang mempengaruhi kepunahan reptil yaitu kehilangan habitat, degradasi,
introduksi, polusi lingkungan, penyakit, dan perubahan iklim global. Menurut
Leksono dkk, (2017), tingginya ancaman terhadap keanekaragaman hayati
disebabkan ketidaktahuan masyarakat tentang arti penting keanekaragaman hayati
untuk kehidupan manusia. penelitian satwa liar di Indonesia salah satunya di
bidang herpetologi masih sangat terbatas (Noberio dkk, 2016). Kurangnya
informasi dan pemahaman masyarakat terhadap herpetofauna menyebabkan
potensinya belum tergali dengan baik. Hal ini yang mendorong untuk
dilakukannya penelitian dan diharapkan data keragaman herpetofauna dapat
digunakan sebagai upaya konservasi herpetofauna,di habitat alaminya.

1.2 Rumusan Masalah

Rumusan Masalah dalam Penenlitian ini adalah sebagai berikut.


1. Bagaimana keanekaragaman jenis herpetofauna di blok pemanfaatan Tahura
Wan Abdul Rachman Kabupaten Pesawaran?
2. Bagaimana perbandingan keanekaragaman jenis herpetofauna pada tiga tipe
habitat berbeda diblok blok pemanfaatan Tahura Wan Abdul Rachman
Kabupaten Pesawaran?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan pada penelitian ini iyalah sebagai berikut.


1. Mengidentifikasi keanekaragamn jenis herpetofauna di blok pemanfaatan
Tahura Wan Abdul Rachman.
2. Membandingkan keanekaragaman jenis herpetofauna berdasarkan tiga tipe
habitat berbeda di blok pemanfaatanTahura Wan Abdul Rachman.

1.4 Kerangka Pemikiran

Tahura Wan Abdur Rachman


3
Keanekaragaman

Herpetofauna

Amfibi Reptil

Metode
Amfibi

1. Line Transect
2. VES

Blok pemanfaatan

Sungai Semak Hutan Sekunder

 Indeks kekayaan Margalef


 Indeks keanekaragaman
Shannon Wienner
 Indeks kemerataan
 Indeks Kesamaan Komunitas

Analisis Data

Gambar1. Diagram alir kerangka penelitian keanekaragaman herpetofauna diblok


pemanfaatan pada Hutan pendidikan Universitas Lampung Tahura Wan
Abdul Rachman
4
II. METODE PENELITIAN

2.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan September 2020, di Blok Pemanfaatan Hutan
Pendidikan Universitas Lampung Tahura Wan Abdul Rachman Kabupaten
Pesawaran. Lokasi pengamatan yang diteliti teridiri dari tiga tipe habitat yaitu
sungai, semak, dan hutan sekunder. Peta penelitian Hutan Pendidikan Universitas
Lampung Tahura Wan Abdur Rachman dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Peta penelitian Hutan Pendidikan Universitas Lampung Tahura WAR

2.2 Alat dan Objek Penelitian

Alat yang digunakan pada penelitian ini meliputi headlamp dan baterai (alat
penerang survei malam), jam digital (pengukur waktu), tongkat kayu, binokuler,
dokumentasi berupa kamera, pH meter untuk mengukur pH air dan tanah,
thermohygro untuk mengukur suhu air, udara, dan kelembaban, GPS, serta
pencatatan berupa alat tulis dan tally sheet. Bahan yang digunakan adalah spesies
herpetofauna yang teramati di blok pemanfaatan Tahura Wan Abdul Rachman.

2.3 Batasan Penelitian

Batasan dalam penelitian ini sebagai berikut.


1. Pengamatan dan pengambilan data herpetofauna dilakukan pada malam hari
pukul 19.00 -22.00 WIB untuk mendapatkan jenis-jenis herpetofauna yang
aktif pada malam hari (nokturnal) dan pagi hari pukul 07.00 -11.00 WIB untuk
mendapatkan jenis-jenis herpetofauna yang aktif pada siang hari (diurnal)
(Heyer, dkk. 1994).
2. Penelitian ini dilakukan 6 kali ulangan pada masing-masing habitat.
3. Herpetofauna yang diamati hanya yang terdapat di lokasi diblok Pemanfaatan.
5
2.4 Jenis Data dan Teknik Pengumpulan Data

2.4.1 Data Primer

Data terkait jenis herpetofauna ini meliputi jenis, jumlah individu tiap jenis, waktu
saat ditemukan, perilaku dan posisi satwa dilingkungan habitatnya. Data terkait
habitat yang diambil berdasarkan checklist Heyer dkk (1994), meliputi tanggal
dan waktu pengambilan data, nama lokasi tempat ditemukan, tipe
habitat,ketinggian dan suhu udara lokasi.
2.4.2 Data sekunder

Data sekunder meliputi studi literatur yang mendukung penelitian ini untuk
mencari, mengumpulkan, dan menganalisis data penunjang berupa keadaan fisik
lokasi penelitian, vegetasi. Berbagai variabel data biologi, data fisik dan data
sosial.

2.5 Metode Pengambilan Data

2.5.1 Observasi Lapangan

Observasi lapangan dilakukan sebelum pengamatan, ini bertujuan untuk mengenal


areal penelitian, kondisi lapangan, dan titik pengamatan untuk memudahkan
pengamatan.

2.5.2 Metode VES Kombinasi Line Transek

Pengamatan amfibi menggunakan metode kombinasi Line transek dan Visual


encounter survey. Line transek adalah jalur sempit melintang lokasi yang akan
diamati. Tujuannya adalah untuk mengetahui keadaan lokasi pengamatan secara
cepat. Dalam hal ini, apabila vegetasi sederhana maka garis yang digunakan
semakin pendek (Yudha dkk, 2016). Pengamatan amfibi menggunakan metode
Visual encounter survey digunakan untuk menentukan kekayaan jenis suatu
daerah, menyusun suatu daftar jenis, serta memperhatikan kelimpahan jenis-jenis
relatif yang ditemukan (Heyer dkk, 1994).

Metode pengumpulan data menggunakan metode survey perjumpaan visual / VES


(Visual Encounter Survey) (Heyer, 1994). Dikombinasikan dengan sistem Line
transek (transek sampling) yang peletakkannya dilakukan secara purposive
berdasarkan dua tipe habitat yaitu aquatik dan terestrial (Kusrini, 2008).

Sebelum penangkapan, dilakukan penentuan jalur habitat terestrial dan akuatik,


jumlah jalur yang dibuat sebanyak 3 jalur, untuk tipe habitat akuatik dibuat 1 jalur
dengan panjang 300 meter, lebar jalur fleksibel mengikuti lebar sungai, dengan
,pengamatan dilakukan di sepanjang badan sungai dan lebar dari badan sungai
dengan luar badan sungai berjarak 10 meter (5 meter kekanan dan kekiri) badan
sungai.

Sedangkan untuk tipe habitat teresterial Hutan sekunder dan semak dibuat 2 jalur
dengan panjang 400 m dan lebar 10 meter (5 meter ke kiri dan kanan), peletakan
6
jalur terestrial ini sejajar dengan jalur akuatik dengan jarak 100 meter dengan
arah yang sama, pengamatan dilakukan disepanjang jalur Transek dengan melihat
obyek yang tampak baik diserasah, pohon, genangan air, dan lubang – lubang
pada pohon. Dan untuk habitat hutan sekunder dan semak dibuat plot ukuran
20×20 disetiap jarak 100 meter pada jalur transek untuk melihat jenis vegetasi
pohon yang terdapat pada habibat tersebut.

2.6 Analisis Data

2.6.1 Analisis Keanekaragaman Herpetofauna

Panduan jenis-jenis herpetofauna diambil berdasarkan buku panduan lapang


keanekaragaman jenis herpetofauna. Keanekaragaman jenis herpetofauna dihitung
dengan menggunakan indeks keanekaragaman Shannon-Wienner (Odum, 1996;
Indriyanto, 2006), dengan rumus sebagai berikut.
Rumus: H’ =-∑Pi ln(Pi), dimana Pi = (ni/N)Keterangan :

H’ =Indeks keanekaragaman Shannon-Wienner,


ni =Jumlah individu jenis ke-i,
N =Jumkah individu seluruh jenis,
Pi =Proporsi individu spesies ke-i`

Kriteria nilai indeks keanekaragaman Shannon-Wienner (H):

H < 1: keanekaragaman rendah,


1 < H < 3: keanekaragaman sedang,
H > 3: keanekaragaman tinggi.

3.6.2 Kekayaan Jenis (Margalef)

Nilai indeks kekayaan jenis yaitu jumlah total jenis dalam satu komunitas dihitung
menggunakan rumus Margalef sebagai berikut.
Rumus: Dmg = S-1
LnN

Keterangan :

Dmg :Indeks kekayaanMargalef


S : Jumlah jenis yang teramati
N: : Jumlah total individu yang teramati
Ln: Logaritma natural
Kategori nilai indeks kekayaan Margalef (Dmg) (Odum, 1996).:

Dmg < 1,5 : kekayaan jenis rendah


1,5< Dmg < 3,5 : kekayaan jenis sedang
Dmg > 3,5 : kekayaan jenis tinggi
7
2.6.3 Kemerataan jenis (Evenness)

Kemerataan jenis (Evenness) dihitung untuk mengetahui derajat kemerataan jenis


pada lokasi penelitian (Bower dan Zar, 1977).

Rumus: E = H’
InS

Keterangan:

E : Indeks Kemerataan Jenis


H : Indeks keanekaragaman Shannon-Wienner
S : Jumlah jenis yang ditemuka
Kriteria nilai indeks kesamaan komunitas (Odum,1996).
0,00 < E < 0,50 :Komunitas Tertekan
0,50 < E < 0,75 : Komunitas Labil 3.
0,75 < E < 1,00 : Komunitas Stabil

2.6.4 Indeks Kesamaan Komunitas (Indeks of Similarity)

Indeks kesamaan komunitas dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan


komposisi jenis Herpetofauna berdasarkan tiga tipe habitat.Indeks kesamaan
komunitas dihitungdengan menggunakan rumus Odum (1996).
Rumus: IS = 2C/(A+B)

Keterangan:

C= Jumlah spesies yang sama dan terdapat pada kedua tipe habitat
A= Jumlah spesiesyang dijumpai pada plot 1
B= Jumlah spesiesyang dijumpai pada plot 2

Kriteria nilai indeks kesamaan komunitas (Odum,1971).

1%-30% = kategori rendah


31%-60% = kategori sedang
61%-90% = kategori tinggi
91%-100% = kategori sangat tinggi

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Komposisi Jenis Herpetofauna di tiga tipe Habitat Berbeda di Blok


Pemanfaatan Hutan Pendidikan Konservasi Terpadu Tahura WAR

Pengamatan yang dilakukan pada kawasan Hutan Pendidikan Konservasi Terpadu


Tahura Wan Abdur Rachman pada tiga tipe habitat yang berbeda yakni sungai,
hutan dan semak,penggunaan habitat dapat digunakan untuk menduga bagaimana
seleksi dan preferensi satwa tersebut di habitatnya (Manly dkk. 2002). Metode
pengambilan data menggunakan metode VES dengan cara Transek, Pengamatan
8
dilakuan pada malam hari jam 07.00 -11.00 dan di pagi hari pada pukul 07.00-
11,00 yang dilakukan sebanyak enam kali pengumpulan data disetiap habitatnya
didapat jumlah induvidu dan jenis Herpetofauna yang bisa dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi Jenis Herpetofauna di Blok Pemanfaatan Hutan pendidikan


Konservasi Terpadu Tahura Wan Abdur Rachman

Tipe Habitat
Famili Spesies N
H1 H2 H3
Ranidae Bangkong Tuli (Limnonectes kuhlii) 22 0 0 22
Katak sawah (Fejervarya cancrivora) 8 0 0 8
Kongkang Racun (Odorrana hosii) 16 0 0 16
Agamidae Bunglon Surai (Bronchocela Jubata) 2 1 0 3
Bunglon Taman (Calotes versicolor ) 0 2 0 2
Scincidae Kadal Kebun (Eutropis multifasciata ) 9 13 11 33
Kadal Rumput (Takydromus
Lacertidae sexlineatus) 0 3 7 10
Rhacophoridae Katak Pohon Bergaris (Polypedates
3 0 0 3
leucomystax )
Kodok Buduk (Duttaphyrus
4 15 13 32
Bufonidae melanostictus)
Elapidae Ular Cobra (Naja sumatrana) 0 2 0 2
Colubridae Ular Pucuk (Ahaetulla prasina) 3 2 0 5
Ular Tambang (Dendrelaphis
caudolianeatus ) 2 0 0 2
Jumlah Total 12 Jenis 69 38 31 138

Keterangan :
H1 = Tipe habitat sungai
H2 = Tipe habitat hutan sekunder
H3 = Tipe habitat Semak
N = Jumlah Individu spesies

Menurut Muslim (2017) bahwa keberadaan air adalah faktor utama pembentuk
suatu ekosistem dan awal dari kehidupan suatu suksesi terutama terkait dengan
kehadiran dan keanekaragaman herpetofauna. Tiap wilayah dan tipe habitat
menunjukkan kekhasan dalam menampilkan keanekaragaman hayatinya baik flora
maupun fauna (Suwarso, 2019). Peta perjumpaan kenakeragaman herpetofauna
pada tiga tipe habitat bisa dilihat pada Gambar 3.
9
Gambar 3. Peta perjumpaan herpetofauna di Blok Pemanfaatan Hutan Pendidikan
Konservasi Terpadu Taman Hutan Raya Wan Abdul Racman

3.2 Indeks Keanekaragaman, Kekayaan ,Kemerataan dan Kesamaan


Herpetofaunan di Tiga Tipe Habitat Berbeda

Keberadaan herpetofauna pada lokasi pengamantan di tiga tipe habitat yang


berbeda, didapatkan indeks kenekaragaman, kekayaan dan kemerataan yang
berdeda pula. Sementara Jeffries (1997), mengatakan faktor yang juga
memengaruhi tinggi rendahnya keanekaragaman adalah luas areal dan
keberagaman habitat. Nilai ndeks keanekaragaman, kekayaan dan kemarataan
herpetofauana pada tiga tipe habitat berbeda bisa dilahat pada Tabel 2.

Tabel 2. Nilai indeks keanekaragaman, kekayaan dan kemerataan herpetofaunan


di tiga tipe habitat berbeda

No Tipe habitat N S Dmg H' E


1 Sungai 69 9 1.89 1.86 0.85
2 Hutan Sekunder 38 7 1.65 1.49 0.77
3 Semak 31 3 0.58 1.07 0.97

3.2.1 Indeks Keanekaragaman Shanon-Wiener (H’)

Dari hasil perhitungan indeks kenanekaragaman Shanon-Wiener (H’) pada tiga


tipe habitat berbeda didapatkan pada tipe habitat sungai sebesai 1.86, habitat
hutan sekunder 1.58 dan terendah pada habitat semak yakni sebesar 1.07 dan
masing –masing habitat memiliki kategori tingkat kenekaragaman sedang yang
berarti tidak terlau banyak dan tidak terlalu sedikit. tingkat heterogenitas yang
berbeda yang menyebabkan terjadi nya perbedaan keragaman jenis (Ariza dkk.,
2014). . Tipe habitat yang berbeda berpeluang menambah keanekaragaman jenis
amfibi (Setiawan, 2016). Holvort (1981) menyatakan bahwa keanekaragaman
berhubungan dengan banyaknya jenis dan jumlah individu setiap jenis penyusun
komunitas.

3.2.2 Indeks Kekayaan Jenis

Tingkat kekayaan spesies herpetofauna pada lokasi penelitian dapat dipengaruhi


oleh tinggi rendahnya jumlah spesies dan jumlah induvidu, hal tersebut dapat
disebabkan oleh kondisi tutupan lahan yang rapat, dan sangat beragamnya
komposisi mikrohabitat seperti pohon tumbang, serasah dan aliran sungai, yang
mana hakan mempengaruhi banyaknya spesies yang ditemukan pada lokasi
habitat (Kwatrina dkk, 2019).

Indeks kekayaan herprtofaunan pada tiga tipe habitat didapat hasil paling besar
didapt pada habitat sungai yakni 1.89 kategori sedang, habitat hutan sekunder 1.65
kategori sedang dan paling kecil pada habitat semak yakni 0.58 dengan kategori
rendah, pada habitat semak kekeyaan jenis rendah dikarenakan hanya terdapat 3
jenis hepetofauna yang menyebabkan rendahnya tingkat kekayaan jenis.
10
3.2.3. Indeks Kemerataan Jenis

Nilai kemerataan spesies herpetofauna digunakan untuk distribusi jumlah


induvidu tiap spesies pada habitat tertentu, nilai indeks kemerataan pada lokasi
penelitian terbesar pada habitat semak dengan nilai 0.97, habitat sungai dengan
nilai 0.85 dan terkecil pada habitat hutan sekunder 0.77. Menurut Findua dkk
(2016), nilai indeks kemerataan spesies dapat menggambarkan kestabilan suatu
komunitas, yaitu bila angka nilai kesamarataan lebih dari 0,75 maka dikatakan
komunitas stabil, bila angka kesamarataan berkisar antara 0,5 sampai 0,75 maka
dikatakan labil, dan bila angka kesamarataan di bawah 0,5 maka dikatakan
tertekan. Pernyataan tersebut sama halnya menyatakan bahwa semakin kecil nilai
indeks kemerataan spesies maka penyebaran spesies pada suatu habitat semakin
tidak merata. Dari hasil penelitian didapat bahwa ketiga tipe habitat memiliki
kategori merata tidak ada spesies yang mendominasi pada tipe habitat tertentu

3.2.4 Indeks Kesamaan Komuditas

Pada tiga tipe habitat berbeda pada lokasi penelitian didapatkan beberapa jenis
yang sama pada masing masing habitat, dan untuk mengetahui tingkat kesamaan
jenis diperlukan perhutingan dengan rumus kesemaan eveness yakni membanding
dua tipe habitat dari tiga tipe habitat yang ada lalu ditemukan hasil kesamaan pada
lokasi penetian yang bisa dilihat pada Tabel 3

Tabel 3. Indeks Kesamaan Komunitas Pada Tiga Tipe Habitat

No Tipe habitat A B C IS Keterangan


1 sungai-Hutan Sekunder 9 7 4 50% Kategori Sedang
2 Hutan-Semak 7 3 3 55% Kategori Sedang
3 Semak- sungai 3 9 2 33% Kategori Sedang

Nilai indeks kesamaan jenis herpetofauna di Blok Pemanfaatan Hutan Pendidikan


Konservasi Terpadu Tahura Wan Abdur Racman diperoleh nilai antar sungai dan
hutan sekunder S= 50%, artinya kurang lebih 50% jenis herpetofauna di kedua
habitat tersebut adalah sama, antara hutan dan semak diperoleh nilai 55% , yang
terkecil pada habitat semak dan sungai dipeoleh nilai 33%. Hal ini disebabkan
karena ketiga habitat tersebut mempunyai tutupan vegetasi, ketinggian, suhu dan
kembapan yang berbeda. Letak geografis dapat menentukan jumlah jenis
penghuninya, penyebaran satwaliar mempunyai pembatas-pembatas fisik seperti
sungai, samudera dan gunung serta pembatas ekologis seperti batas tipe hutan dan
jenis pesaing yang telah lebih lama beradaptasi di wilayah tersebut (Alikodra,
2002 dalam Darmawan, 2008).

3.3. Indeks Total Keanekaragaman, Kekayaan dan Kemerataan Jenis


Herpetofaunan di Blok Pemaanfataan Hutan Pendidikan Konservasi
Terpadu Tahura WAR

Dari hasil penelitian mengenai keanekaragaman jenis herpetofauna di blok


pemanfataan konservasi terpadu Tahura WAR didapat hasil total jumlah jenis,
11
induvidu, keanekaragaman, kekayaan dan kemerataan jenis dari keseluruhan tipe
habitat yang diamati meliputu sungai, hutan sekunder dan semak yang diasajikan
pada Tabel 4.

Tabel 4. Nilai Indeks Total Keanekaragaman, Kekayaan dan Kemerataan Jenis


Herpetofauna di Blok Pemanfaatan Hutan Pendidikan Konservasi
Terpadu Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman

No Variabel Nilai Keterangan


1 ∑ Induvidu (N) 138 -
2 ∑ Jenis (S) 12 -
3 Indeks kekayaan (Dmg) 2.23 Tingkat Kekayaan sedang
4 Indeks Keanekaragaman (H') 2.05 Tingkat Keanekaragaman Sedang
5 Indeks Kemerataan ( E ) 0.82 Tingkat Kemerataan Stabil

Lingkungan blok pemanfaatan konservasi terpadu Tahura Wan Abdul Racman


memiliki lingkungan yang cukup baik untuk mendukung keberlangsungan hidup
herpetofauna, karena apabila nilai keanekaragamn relatif rendah ini berarti kondisi
lingkungan terlalu ekstrim atau habitatnya terganggu sehingga hanya jenis
tertentu yang dapat toleransi dan beradaptasi hidup (Qurniawan dkk, 2013).
Habitat terganggu merupakan habitat alami yang telah banyak aktivitas manusia
bahkan telah diubah menjadi hunian manusia (Yudha dkk, 2017).

Tinggi rendahnya keanekaragaman herpetofauna terutaman jenis amfibi pada


suatu area dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor biotik dan abiotik. Faktor
biotik yang mempengaruhi meliputi keragaman struktur vegetasi, dan predator
alami, sedangkan faktor abiotik (lingkungan) yang menjadi faktor tinggi
rendahnya indeks diversitas antara lain waktu penelitian, intensitas cahaya, suhu,
kelembaban, ketinggian, dan curah hujan (Saputra, 2016).

Untuk nilai indeks kekayaan jenis lebih dari 3,5 tergolong tinggi, sedangkan 1,5 -
3,5 digolongkan sedang dan tergolong rendah dengan nilai Indeks kurang dari 1,5.
(Odum 1993). Total indeks kekayaan (dmg) pada hasil penelitian didapat dengan
nilai 2,23 dengan kategori kekayaan sedang. Nilai indeks kemerataan spesies
dapat menggambarkan kestabilan suatu komunitas. Pada lokasi pengamatan nilai
indeksnya 0,82, berarti komunitas stabil. Hal tersebut menunjukan bahwa tidak
ada dominansi satu spesies yang memiliki jumlah individu lebih banyak
dibandingkan individu lainnya (Sardi, 2014). Semakin rata persebaran satwa pada
suatu area tertentu menunjukkan semakin bagus kondisi lingkungan di area
tersebut sehingga dapat mendukung kelangsungan hidup satwa di dalamnya
(Lestari dkk., 2018). Menurut Drayer dan Richter (2016) keberadaan jenis yang
mendominansi mengakibatkan indeks kemerataan jenis menjadi semakin rendah.
Berdasarkan hasil pengamatan didapatkan juga besaran persentase peluang
perjumpaan herpetofauna diseluruh tipe habitat yang bisa dilihat pada Gambar 11.
12

Gambar 6. Persentase peluang perjumpaan herpetofauna di Blok Pemanfaatan


Konservasi Terpadu Tahura Wan Abdul Rachman

Pada persentase perjumpaan herpetofauna di Blok Pemanfaatan Konservasi


Terpadu Tahura Wan Abdul Rachman berdasatkan famili didapat hasil tertinggi
pada family ranidae sebesar 33% yang tediri dari 3 jenis yaitu bangkong tuli
(Limnonectes kuhlii), katak sawah (Fejervarya cancrivora) dan kongkang racun
(Odorrana hosii) dengan jumlah induvidu 46.

Pada hasil perjumpaan famili ranidae yang terdiri dari tiga jenis hapir semua
ditemukan pada tipe habitat sungai, berdasarkan hasil tersebut bahwa famili
ranidae memliki habitat yang berdekatan dengan sumber air. Menurut Kusrini
(2008), genus Rana adalah herpetofauna yang hidup dekat dengan perairan tawar.
Tanpa keberadaan sumber air tawar beberapa jenis Rana tidak mampu bertahan
hidup, dan persentase perjumpaan terkecil iyalah pada family colubridae sebesar
4 %, rhacophoridae 2% dan elapidae 1 %. Unuk family colubridae terdiri dari 2
jenis yaitu ular pucuk (Ahaetulla prasina) dan ular tambang (Dendrelaphis
caudolianeatus ) dengan jumlah induvidu 7, family Rachophoridae hanya satu
jenis yakni katak pohon bergaris (Polypedates leucomystax ) dengan jumlah
induvidu 3 dan famili elapidae terdapat satu jenis yaitu ular kobra (Naja
sumatrana) dengan jumlah induvidu 2. Pada saat pengamatan didapatkan juga
posisi dan prilaku herpetofauna pada saat dilapangan Posisi dan prilaku
herpetofauna pada di saat ditemukan di blok pemanfaatan konservasi terpadu
Tahura Wan Abul Racman bisa dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Prilaku dan Posisi Herpetofauna Pada Saat ditemukan di Blok


Pemanfaatan Konservasi Terpadu Tahura WAR

Spesies Prilaku Posisi satwa


Bangkong Tuli (Limnonectes kuhlii) Diam dan Ditengah sungai, di dalam
Bergerak air dan diatas batu
Katak sawah (Fejervarya cancrivora) Diam dan Ditepi sungai
bergerak
Kongkang Racun (Odorrana hosii) Diam, Ditengah sungai dan diatas
bergerak dan batu
13
ampleksus
Bunglon Surai (Bronchocela Jubata) Diam Dicabang ranting
Bunglon Taman (Calotes versicolor ) Diam Dicabang ranting
Kadal Kebun (Eutropis multifasciata ) Diam dan Ditepi sungai, diatas
bergerak rumput dan diatas batu
Kadal Rumput (Takydromus sexlineatus) Diam dan Diatas rumput dan tanah
bergerak
Katak Pohon Bergaris (Polypedates Diam dan Di badan sungai dan di
leucomystax ) bersuara ranting
Kodok Buduk (Duttaphyrus Diam dan Diatas rumput dan tanah
melanostictus) bergerak
Ular Cobra (Naja sumatrana) Bergerak Diatas tanah
Ular Pucuk (Ahaetulla prasina) Diam Dicabang ranting
Ular Tambang (Dendrelaphis pictus ) Diam Dicabang ranting

Menurut Kusrini (2006) aktivitas herpetofauna dapat dikelompokkan dalam


beberapa aktifitas sebagai berikut: diam atau istirahat, bersuara (calling),
berenang, berjalan atau melompat, dalam posisi kawin (ampleksus) atau
mengerami telur. Kisaran posisi herpetofauna saat ditemukan adalah diam.
Menurut Iskandar (1998), posisi diam herpetofauna khususnya amfibi
menggambarkan bahwa herpetofauna lebih banyak pada posisi istirahat atau
sedang menunggu mangsa, untuk spesies amfibi Kongkang Racun (Odorrana hosii)
tidak jarang ditemukan sedang dalam posisi kawin pada pengamatan pagi hari.

Umumnya spesies Anura yang dijumpai dalam penelitian ini adalah spesies-
spesies yang membutuhkan air. Sebagai contoh Bangkong Tuli (Limnonectes kuhlii)
Katak sawah (Fejervarya cancrivora) dan Kongkang racun (Odorrana hosii) sering
dijumpai di bebatuan pada aliran air, dan. spesies katak akuatik ini sangat
membutuhkan perairan untuk melarikan diri jika terganggu,dan Bangkong tuli
(Limnonectes kuhlii) spesies tersebut biasanya segera melompat, atau menyelam ke
dalam air, jika ada manusia mendekati lokasi mereka (Nasir dkk., 2013).
Kelompok reptil secara umum tidak selalu berasosiasi dengan air, sedangkan
untuk kelompok amfibi sebagian besar ditemukan sangat dekat dengan air. Hal ini
menunjukkan bahwa kedua kelompok herpetofauna ini memiliki batasan
lingkungan yang berbeda (Budiono. 2016)

4.4 Faktor Lingkungan dan Komposisi Vegetasi Pohon

Blok Pemanfaatan Hutan Pendidikan Konservasi Terpadu Tahura Wan Abdur


Racman memiliki keragaman jenis vegetasi yang berfungsi sebagai naungan
dimana pada pengambil sample jenis veegetasii dilakukan dengan cara membuat
plot dengan ukuran 20×20 meter sebanyak 4 plot pada habitat hutan sekunder dan
habitat semak pda jalur transek setiap jarak 100 meter. Keanekaragaman pohon
dapat dijadikan sebagi penciri (indikator) tingkatan komunitas berdasarkan
organisasi biologinya ( Wahyudi dkk. 2014). ). vegetasi yang terdapat pada lokasi
pengamatan juga merupakan faktor penentu keanekaragaman jenis herpetofauna
(Arista dkk. 2017). Data hasil komposis jenis vegetasi bisa dilihat pada Tabel 6.
14
Tabel 6. Komposisi vegetasi jenis pohon di Blok Pemanfaatan Hutan Pendidikan
Konservasi Terpadu Tahura Wan Abdul Racman

Hutan
No Jenis Pohon Nama Ilmiah Famili Semak N
Sekunder
1 Kakao Theobroma Malvacea 7 6 13
2 Duren Durio zibethinus Malvacea 0 5 5
3 Aren Arenga pinnata Arecaceae 0 5 5
4 Pinang Areca Catchu Arecaceae 6 6 12
5 Alpukat Persea americana Lauraceae 5 6 11
6 Kenanga Cananga odorata Annonaceae 0 5 5
Antocepalus
7 Jabon Rubiaceae 0 5 5
cadamba
18 38 56

Berdasarkan hasil pada Tabel 6 diketahui bahwa habitat hutan sekunder memliki
jumlah jenis pohon dan induvidu tertinggi dengan total induvidu 38 pohon yang
terdiri dari 7 jenis pohon (kakao, pinang, duren, aren, alpukat pinang dan
kenanga). Sedangkan pada habitat semak memliki jumlah induvidu dan jenis
pohon terendah dengan total induvidu sebanyak 18 pohon dari 3 jenis pohon
(Pinang, alpukat dan kakao).

Tingkat keberagam jenis vegetasi mempengaruhi tingkat keankaragaman


herpetofauna di habitatnya berdasarkan hasil diatas semakin tinggi tinggkat
keberagaman vegetasi maka akan tinggi pula tinggkat kanekaragaman jenis
herpetofauna ini sesuai dengan pendapat Nasir dkk (2013), keanekaragaman
habitat akan berpengaruh terhadap keanekaragaman jenis suatu fauna. Semakin
beranekaragam struktur habitat maka semakin besar keanekaragaman jenis fauna.
Hal ini dikarenakan habitat akan menyediakan sumber daya yang cukup untuk
bertahan hidup dan berkembang biak. Struktur vegetasi hutan merupakan salah
satu bentuk pelindung dan sumber pakan, kurangnya sumber pakan menyebabkan
satwa berpindah (Findua, 2016).

Beberapa faktor lingkungan yang memengaruhi kehidupan dan persebaran


herpetofauna, antara lain iyalah suhu, pH perairan, kelembaban, dan ketinggian..
Data hasil pengukuran tidak jauh berbeda pada setiap habitatnya. Siahaan dkk
(2019) menyebutkan bahwa kondisi lingkungan antara lain iyalah suhu, pH
perairan, kelembaban, yang tidak sesuai menyebabkan habitat katak akan
berkurang. Faktor keadaan lingkungan bisa dilihat pada Tabel 7

Tabel 7. Keadaan suhu, kelembapan, ketinggian, Ph tanah dan Ph air pada saat
pengamatan
Variabel
Tipe
No Suhu Kelembapan Ph Ph
habitat Ketinggian
Malam Pagi Malam Pagi tanah air

1 Sungai 250C 260C 77% 81% 136-355 mdpl 6,5 6,5


15
hutan 0 0
2 25 C 27 C 76% 80% 145-380 mdpl 6,5 -
sekunder
3 Semak 240C 290C 75% 77% 144-378 mdpl 7 -

Berdasarkan hasil pengukuran selama di lapangan diperoleh kisaran suhu udara


270C – 290C, hal tersebut sesuai dengan yang dikemukakan oleh Berry (1975)
yang menyatakan amfibi mendapatkan suhu pertumbuhan yang optimum antara
26°C - 33° C dan Van Hoeve (2003) yang menyatakan reptil hidup aktif pada
suhu antara 20°C - 40°C. Suhu udara antara 220C-260C dan kelembapan berkisar
antara 70-90% dapat mendukung kehidupan optimum herpetofauna di alam
(Rahayuningsih dan Abdullah, 2012). Respon dari herpetofauna cenderung pasif
terhadap temperatur lingkungan dan akan aktif selama kondisi intensitas cahaya
yang memungkinkan dan kelembapan yang sesuai (Kurniati,2013).

Data pH air di habitat sungai diperoleh kisaran pH 6 menunjukkan bahwa kondisi


air hampir netral. Payne (1986) dalam Darmawan (2008), menyatakan bahwa
kisaran pH air yang berada di daerah tropis adalah antara 4,3 - 7,5. Ukuran pH
tersebut merupakan kondisi yang baik dalam kehidupan amfibi, sehingga pada
penelitian ini tidak ditemukan kecacatan yang terjadi pada amfibi. Kondisi pH air
dan tanah di lokasi pengamatan juga sesuai untuk kehidupan Anura (Pujaningsih,
2007). Kondisi pH perairan sangat menentukan keberhasilan dan pertumbuhan
telur, serta berudu anura. Untuk Ph tanah dalam hasil penelitian menunjukkan
angka 6,5-7 yang mana menunjukan Ph tanah netral , menurut Pujaningsih
(2007) kondisi pH tanah berpengaruh terhadap vegetasi, yang mendukung
kelangsungan hidup herpetofauna, karena berfungsi sebagai tempat berlindung,
dan mendapatkan pakan.

IV. SIMPULAN DAN SARAN

4.1 SIMPULAN

Berdasarkan pada hasil penelitian keanekaragaman jenis herpetofauna di Blok


Pemanfaatan Konservasi Terpadu Tahura WAR, maka dapat disimpukan sebagai
berikut.
1. Keaneakaragaman jenis herpetofauna di Blok Pemanfaatan Tahura WAR
terdiri12 spesies dengan total induvidu 138 meliputi 5 jenis amfibi dan 8 jenis
reptile, untuk jenis amfibi yang paling banyak dijumpai iyalah kodok buduk
(Duttaphyrus melanostictus) 32 induvidu dan paling sedikit katak pohon
bergaris (Polypedates leucomystax ) 3 induvidu sedangkan dari jenis reptil
paling banyak dijumpai iyalah kadal kebun (Eutropis multifasciata ) 33
induvidu, paling sedikit iyalah ular (Naja sumatrana) 2 induvidu dan ular
tambang (Dendrelaphis caudolianeatus) 2 induvidu. Untuk indeks
kaenkaragaman (H’) sebesar 2.05 kategori sedang , indeks kekayaan (Dmg)
sebesar 2.23 kategori sedang dan indeks kemerataan (E) sebesar 0.82 kategori
stabil berarti tidak adanya spesies yang mendominansi.
2. Indeks keanekaragaman jenis herpetofauna terbesar pada habitat sungai sebesar
1.86, habitat hutan sekunder dengan nilai1.65 dan yang terkecil pada habitat
16
semak dengan nilai 1.07, dari semua tipe habitat yang meliputi sungai, hutan
sekunder dan semak memiliki kategori keanekaragaman sedang.

4.2 SARAN

Saran dari penelitian kaenekaragaman jenis herpetofauna di blok pemanfaatan


hutan pendidiakn konservasi terpadu Tahura WAR adalah sebagi berikut.
1. Perlunya monitoring dan penelitian lanjutan pada lokasi atau blok yang
berbeda karena masih banyak lokasi yang belum diketahui keberadaan
herpetofauna disekitarnya.
2. Masyarakat perlu ikut menjaga keberadaan herpetofaun karena selain peran
herpetofauna bagi lingkungan, herpetofauna juga merupakan daya tarik bagi
peneliti maupun akadmisi untuk melakukan penelitian.

DAFTAR PUSTAKA

Abaire, T dan Warobai, W.S. 2018. Deskripsi morfologi jenis ular dan katak pada
kawasan hutan di pulau mansinam. Jurnal Kehutanan Papuasia. Vol. 4(1):
57-64.
Adhiaramanti, T.dan Sukiya. 2016. Keanekaragaman anggota ordo anura di
lingkungan universitas negeri yogyakarta. J. Biologi. Vol. 15(6): 1-11.
Alikodra, H.S. 1990. Pengelolaan Satwaliar (Jilid I). Buku. Pusat Antar
Universitas (PAU) Ilmu Hayat. IPB. Bogor.
Ario A. 2010. Mengenal satwa Taman Nasional Gunung Gede Pangrango.
Conservation International Indonesia, Jakarta.
Arista, A., Winarno, G. Ddan Hilmanto, R. 2017. Keanekaragaman jenis amfibi
untuk mendukung megiatan ekowisata di desa brajaharjo sari kabupaten
lampung timur. Journal Biosfera.Vol. 34 (3): 103-109.
Ariza, Y. S., Dewi, B. S dan Darmawan, A. 2014.Keanekaragaman Jenis Amfibi
(Ordo Anura) Pada Beberapa Tipe Habitat Di Youth Camp Desa Hurun
Kecamatan Padang Cermin Kabupaten Pesawaran. Jurnal Sylva Lestari.
Vol. 2(2): 21-30.
Berry. 1975. The Amphibian Fauna of Peninsular Malaysia. Buku. Kuala
Lumpur: Tropical Pr.
Brower, J. E dan Zar,J. H. 1977. Field and Laboratory Methods for General
Ecoogy. Buku. Brown Co Publisher. Iowa. 254 hlm.
Budiono, E. 2016. Keanekaragaman Jenis Herpetofauna Pada Areal
Pertambakan Intensif Di Provinsi Lampung Dan Sumatera Selatan.
Skripsi. Universitas Lampung.
Darmawan B. 2008. Keanekaragaman Amfibi di Berbagai Tipe Habitat;
StudiKasus di Eks-HPH PT. Rimba Karya Indah Kabupaten Bungo,
Provinsi Jambi. Skripsi. Fakultas Kehutanan Jurusan Konservasi
Sumberdaya Hutan dan Ekowisata. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
17
Drayer ,A.N dan Richter, S.C. 2016. Physical wetland characteristics influence
amphibian community composition in constructed wetlands. Ecological
Engineering.Vol. 93(1): 166–174.
Findua, A. W., Harianto, S. P., dan Nurcahyani, N. 2016. Keanekaragaman Reptil
Di Repong Damar Pekon Pahmungan Pesisir Barat (Studi Kasus Plot
Permanen Universitas Lampung. Jurnal Sylva Lestari. Vol.4(1): 51-60.
Heyer, W. R., Donnelly, M. A., Diarmid, M. C., Haek, L. C dan Foster, M. S.
1994. Measuring and Monitoring Biological Diversity: Standard
Methodsfor Amfibians. Buku. Smithsonia Institution Press. Washington.
152 hlm.
Holvort VB. 1981. A study on population in the rural ecosystem of West Java,
Indonesia. A semi quantitative approach report. Nations Department
Agricultural University Wageningen. Belanda.
Indriyanto. 2006. Ekologi Hutan. Buku. PT Bumi Aksara. Jakarta. 210 hlm.
Irwanto, R., Lingga, R., Pratama, R dan Ifafah, A,S. 2019. Indentifikasi jenis-jenis
herpetofauna di taman wisata alam gunung permisan Bangka selatan,
provinsi kepulauan Bangka Belitung. Journal of Science Education. Vol.
3(2): 106-113.
Iskandar DT. 1998. Amfibi Jawa dan Bali. Seri Panduan Lapangan. Puslitbang
LIPI. Bogor.
Jeffries MJ. 1997. Biodiversity and conservation. Routledge. London. Hlm. 43.
Kurniati, H. 2013. Vocalization of Microhyla achatina Tschudi, 1838 (Anura:
Micohylidae) from The Foot Hills of Mount Salak, West Java. Jurnal
Biologi Indonesia. Vol. 9(2): 301-310.
Kusrini, M.D. 2008. Pedoman Penelitian Dan Survey Amfibi Di Alam. Buku.
Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
Kusrini, M.D. 2006. Panduan Penelitian Amfibi di Lapangan. Konservasi Sumber
Daya Hutan Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Kwatrina, R.T., Santosa, Ydan Maulana, P. 2019. Keanekaragaman spesies
herpetofauna pada berbagai tipe tutupan lahan di lansekap perkebunan
sawit: studi kasus di PT. BLP Central Borneo. Journal of Natural
Resources and Environmental Management. Vol. 9(2): 304-313.
Leksono, S.M. dan Firdaus, N. 2018. Pemanfaatan Keanekaragaman Amfibi
(Ordo Anura) di Kawasan Cagar Alam Rawa Danau Serang Banten
Sebagai Material Edu-Ekowisata. Proceeding Biology Education
Conference. Vol. 14(1): 75-78.
Lestari, V. C., Tatang, S. E., Melanie, Hikkat, K., dan W. Hewmawan. 2018.
Keanekaragaman Jenis Kupu-kupu Familia Nymphalidae dan Pieridae di
Kawasan Cirengganis dan Padang Rumput Cikamal Cagar Alam
Pananjung Pangandaran. Jurnal Agrikultura. Vol. 29(1): 1-8.
Manly, B.F.J,. McDonald, L.L., Thomas DL., McDonald, T.L and Erickson, W.P.
2002. Resource selection by animals: statistical design and analysis for
field studies. 2nd ed. Dordrecht, The Netherlands: Kluwer Academic
Publishers.
18
Muslim T. 2017. Herpetofauna community establishment on the micro habitat as a
result of land mines fragmentation in East Kalimantan, Indonesia. J.
Biodiversitas. Vol 18(2): 709-714.
Muslim, T., Rayadin, D dan Suhadirman, A. 2018. Prefrensi habitat berdasarkan
distribusi spasial herpetofauna di kawasan pertambangan batubara PT
singlurus pratama Kalimantan Timur. Jurnal Agrifor. Vol. 31(1): 175-190.
Nasir, M.D., Priyono, A dan Kusrini, MD. 2013. Keanekaragaman Amfibi (Ordo
Anura) di Sungai Ciapus Leutik, Bogor, Jawa Barat. Prosiding Seminar
Hasil Departemen Konservasi Sumber Daya Hutan. Institut Pertanian
Bogor.
Noberio,D., Setiawan, A., Setiawan, D. 2016. Inventory of herpetofauna in
regional germplasm preservation in pulp and Paper industry ogan
komering ilir regency south sumatra. Biological Research Journal E-ISSN.
Vol 1(1): 24-56.
Odum, E. P. 1996. Dasar-Dasar Ekologi. Terjemahan Ir. Tjahyono Samingan,
M.Sc. Buku. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. 667 hlm.
Odum, E.P. 1971. Fundamentals of Ecology. Buku. Saunders.Philadelphia. 349
hlm.
Pujaningsih, R.I. 2007. Seri Budidaya Kodok Lembu. Kanisius. Yogyakarta. 26
Qurniawan T..F., dan Eprilurahman R. 2013. Keragaman Jenis Amfibi Dan Reptil
Gumuk Pasir, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Jurnal Zoo
Indonesia. Vol. 22(2): 9-16.
Rahayuningsih, M. dan Abdullah. 2012. Persebaran dan keanekaragaman
herpetofauna dalam mendukung konservasi keanekaragaman hayati di
Kampus Sekaran Universitas Negeri Semarang. Indonesian Journal of
Conservation. Vol 1(1): 1-10.
Saputra, R., Yanti, A. H., dan Setyawati, T. R. 2016. Inventarisasi Jenis-jenis
Amfibi (Ordo Anura) Di Areal Lahan Basah Sekitar Danau Sebedang
Kecamatan Sebawi Kabupaten Sambas. Jurnal Protobiont. Vol. 5(3): 34-
40.
Setiawan, D., Yustian, I., Prasetyo, C. Y. 2016. Studi Pendahuluan: Inventarisasi
Amfibi di Kawasan Hutan Lindung Bukit Cogong II. Jurnal Penelitian
Sains. Vol. 18(2): 1-4.
Setiawan, W., Prihatini, W dan widiarti, S. 2019. Keberagaman spesies dan
persebaran fauna anura di Cagar Alam dan Taman Wisata Alam Telaga
Warna. Jurnal Ilmiah Ilmu Dasar dan Lingkungan Hidup. Vol. 19(2): 73-
79.
Siahaan. K,. Dewi, B.S dan Darmawan, A. 2019. Keanekaragaman amfibi ordo
anura di Blok Perlindungan dan Blok Pemanfaatan Hutan Pendidikan
Konservasi Terpadu, Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman. Jurnal
Sylva Lestari. Vol. 7(3): 370-378.
Subeno. 2018. Distribusi dan keanekaragaman herpetofauna di hulu sungai
gunung sindoro jawa tengah. Jurnal Ilmu Kehutanan. Vol 12(1): 40-51.
Suwarso, E.; Paulus, D R dan Widanirmala, M. 2019. Kajian database
keanekaragaman hayati kota semarang. Jurnal Riptek. Vol. 13 (1) 79-91.
19
Van Hoeve UWBV. 2003. Ensiklopedia Indonesia Seri Fauna : Reptilia dan
Amfibi. PT Ikrar Mandiri abadi. Jakarta
Wahyudi, A., Harianto, S.P dan Darmawan, A. 2014. Keanekaragaman jenis pohon di
Hutan Pendidikan Konservasi Terpadu Tahura Wan Abdul Rachman. . Jurnal
Sylva Lestari. Vol. 2 No. 3: 1-10.
Wanda, I. F., Novarino, W dan Tjong, D.H . 2012. Jenis-Jenis Anura (Amphibia)
Di Hutan Harapan, Jambi. Jurnal Biologi Universitas Andalas. Vol. 1(2) :
99-107.
Yani., Ahmad., Said, S dan Erianto. 2015. Keanekaragaman jenis amfibi ordo
anura di kawasan sengah temelia kabupaten landak kalimantan barat.
Jurnal Hutan Lestari. 3(2): 15-20.
Yudha, D. S., Eprilurahman, R., Muhtianda, I. A., Ekarini, D. F dan Ningsih, O.
C. 2016. Keanekaragaman spesies amfibi dan reptil di kawasan suaka
marga satwa sermo daerah Istimewa Yogyakarta. J.MIPA. Vol. 38(1): 7-
12.
Yudha, D.S,. Eprilurahman, R,. Sukma, A.M dan Setyaningrum, S.M. 2017.
Keanekaragaman Jenis Katak dan Kodok (Amphibia: Anura) di Sungai
Gadjah Wong, Daerah Istimewa Yogyakarta. J. Biota Vol. 2 (2): 53−61

Anda mungkin juga menyukai